Makalah MUKHABARAH Asfan
Makalah MUKHABARAH Asfan
MUKHABARAH
MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS FIQIH
DOSEN : MINHAJUDIN,M.Pd.I
Disusun oleh :
ASFAN GHUFRON
FAKULTAS TARBIYAH
UNVERSITAS MA’ARIF LAMPUNG
MATRO LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat serta Hidayah-nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Fiqih “ MUKHABARAH “
yang insyaallah tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan. Dan semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun, dan mahasiswa.
ASFAN GHUFRON
NPM : 231210011
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulis.................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukhabarah..................................................................................................2
B. Dasar Hukum..................................................................................................................2
C. Hadis dalam Landasan Hukum Mukhabarah..................................................................3
D. Rukun dan Syarat Mukhabarah.......................................................................................4
E. Syarat-syarat Muzara’ah.................................................................................................4
F. Berahirnya Mukhabarah..................................................................................................6
G. Eksistensi Muzara’ah/Mukhabarah.................................................................................6
H. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah..............................................................................7
BAB III KESIMPULAN
KESIMPULAN......................................................................................................................8
SARAN...................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Mukahabarah yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan si pengarap dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama. Sedang benih
tanaman berasal dari pemilik tanah. Apabila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh
penggarap maka secara khusus kerja sama ini disebut Al Mukhabarah.
Dari permasalahan inilah penulis bertujuan menjelaskan hal – hal yang berkaitan
dengan masalah di atas dan menjadikan hal ini sebuah karya tulis untuk meluruskan dari
kesalah pahaman atau ketidak tahuan kita. dan juga nantinya bisa menjawab kepada
masyarakat apabila terdapat kasus yang sama dan kita dapat menyelesaikannya.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Mukhabarah
b. Dasar hukum
c. Hadis yang melandasi praktek ini
d. Rukun dan Syarat nya
e. Berakhirnya mukhabarah
f. Eksistensi mukhabarah
g. Hikmah adanya praktek mukhabarah
C. Tujuan Penulis
a. Memenuhi tugas Fiqh muamalah
b. Dapat menjdi wawasan yang sangat berguna demi upaya kita mensyariahkan ekonomi
masyarakat
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukhabarah
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang
benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup
kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama
muzara’ah.
B. Dasar Hukum
2
4. Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama, hal
itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika ada kesepakatan penggaraplah yang paling
bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5. Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap
tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
b. Waktu Muzara’ah fasid menurut Hanafiah
Telah disinggung bahwa ulama Syafi’iyah melarang Muzara’ah jika benih dari
pemilik, kecuali jika dianggap sebagai Muysaqoh. Begitu pula jika benih dari
penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam Musyaqoh.
Dengan demikian, hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya untuk pemilik,
sedangkan penggarap hanya diberi upah.
c. Hukum Muzara’ah Menurut Hanfiah
1. Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
2. Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
3. Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya
Landasan hukum yang membolehkan Mukhabarah dan Muzara’ah, dari sabda Nabi
saw :
َقاَل َع ْم ٌر َو َفُقْلُت َلُه َيا َأَبا َع ْبُد الَّرْح َمِن َلْو َتَر ْك َت َهِذِه الُم َخ اَبَر َة َفاِء َّنُهْم َيْز ُع ُم ْو َن َأَّن الَّنِبُي صل,َع ْن َطاُو ِس َأَّنُه َك اَن َيْخ ِبُر
َأْخ ِبْر ِنى َأْعَلُم ُهْم ِبَذ اِلَك َيْع ِنى ِأْبَن َعَّباٍس َّأَّن الَّنِبِى صل هللا عليه وسلم: هللا عليه وسلم َنَهى َع ِّن الُم َخ اَبَرِة َفَقاَل َاْي َع ْم ٌرو
)َلْم َيْنَه َع ْنَها ِإَّنَم ا َقاَل َيْم َنُح َأَح ُد ُك ْم َأَخ اُه َخْيٌر َلُه ِم ْن َأْن َيْأُخَذ َع َلْيَها َخ َر ًجا َم ْع ُلْو ًم ا (رواه مسلم
Artinya ;
“dari thawus ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata : lalu aku katakan
kepadanya : ya abu abdurahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti
mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang Mukhabarah. Lantas thawus
berkata : hai amr. Telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh – sungguh
mengetahui akan hal itu, yaitu ibnu abbas bahwa Nabi saw tidak melarang
Mukhabarah itu, hanya beliau berkata : seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu”. (HR.Muslim)
3
Jadi, hukum Mukhabrah sama seperti Muzara’ah yaitu Mubah atau boleh dan
seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberikan dan mendapat manfaatnya
dari kerjasama Muzara’ah dan Mukhabarah ini.
a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap
c) Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan menerima
tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul itu adalah “ Saya serahkan tanah
pertanian saya ini kepada kamu untuk di garap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”.
Kemudian petani penggarap menawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di
garap dengan imbalan hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad
itu telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan bahwa penerimaan
(qabul) al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan,
yaitu petani langsung menggarap tanah itu.
E. Syarat-syarat Muzara’ah
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang
yang telah balig dan berakal. Karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang di
anggap telah cukup bertindak hukum. Pendapat lain kalangan ulama Hanafiyah
menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar
dari agma islam), karena tindakan hukum orang yang murtad di anggap mauquf (tidak
punya efek hukum, sampai ia masuk islam kembali).
4
Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak
menyetujui syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah boleh
dilakukan antara muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga
sesuai dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan
menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan menghasilkan.
Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak
memungkinkan di jadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-
muzara’ah tidak sah.
Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad sejak
semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa
atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya di sesuaikan
dengan adat kebiasaan setempat.
5
Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa
dilihat dari segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:
1) Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani, sehingga
yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
2) Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan
bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah manfaat
tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3) Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga
yang menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka akad al-
muzara’ah juga sah.
4) Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta kerja
dari petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-
Hasan asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad
ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Menurut
mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena
tanah adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan
manfaat alat hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut mereka,
harus mengikut kepada petani penggarap, bukan kepada pemilik tanah.
F. Berahirnya Mukhabarah
G. Eksistensi Muzara’ah/Mukhabarah
Menurut Abu yahya dan Muhammad (dua sahabat abu hanafiah), Muzara’ah
mempunyai empat keadaan, tiga sahih dan satu batal.
a. Dibolehkan Muzara’ah jika tanah dan benih berasal dari pemilik. Sedangkan
pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
6
b. Dibolehkan Muzara’ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih, alat penggarap.
Dan alat pekerjaan dari penggarap.
c. Dibolehkan Muzara’ah jika tanah, benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik.
Sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.
d. Muzara’ah tidak boleh jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah, sedangkan
benih dan pekerjaan dari penggarap.
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, dan yang
lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya,
tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah,
tanah, ladang, dan lainnya. Yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki
binatang untuk mengelola sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat
untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat
menghasilkan suatu apa pun.
Muzara’ah dan Mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal – hal lainnya yang
bersifat teknis disesuaikan dengan Syirkah yaitu konsep berkerja sama dalam upaya
menyatukan potensi yang ada pada masing – masing pihak dengan tujuan saling
menguntungkan.
7
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwasannya mukhabarah
memiliki makna yang sangan deka sekali dengan muzara’ah. Karena hal itu pula, baik hokum
maupun syarat dan rukun juga sama dengan muzara’ah. Adapun pengertian dari mukhabarah
adalah usaha kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap, dimana hasilnya akan dibagi
sesuai dari kesepakatan kedua belah pihak dalam aqad, namun ( bibit ) nya dari penggarap.
Berkenaan dengan hikmahnya, adanya praktek dari mukharabah ini akan sangat
membatu bagi kedua belah pihak, sebagai mana kita lihat pada realitanya, banyak orang yang
memiliki lahan, namun tidak memiliki tenaga ataupun keahlian dalam mengelolanya,
sehingga apa yang mereka miliki menjadi terbengkalai, sedangkan realitanya kita juga dapat
melihat banyak orang yang sangat bertenaga dan ahli dalam pengelolaan lahan. Namun tidak
memiliki lahan untuk digarap, hal ini tentu akan menjadikan tenaga ataupun lahan tadi
menjadi sia-sia belaka, dengan adanya praktek dari mukhabarah ini, maka kesia-siaan ini
akan teratasi.
SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini, maka semakin banyak orang yang paham akan
cara pengelolaan lahan yang baik. Dengan cara mukhabarah ataupun muzara’ah.
8
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/17951856/AL_MUKHABARAH