Anda di halaman 1dari 40

Makalah Musaqah, Muzara'ah, Mukhabarah

Bab 1
Pendahuluan

1.1       Latar Belakang Permasalahan

Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus
berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang
bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan
bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang
diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah .Karena di
dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.

1.2       Rumusan masalah
Yang dimuat dalam rumusan masalah yakni sejumlah masalah yang dirumuskan yang
diawali dengan kata ganti  tanya dan diakhiri dengan tanda tanya. Serta mengacu pada
judul penelitian. Adapun yang menjadi masalah dalam karya tulis ini yaitu:
1.   Apa pengertian Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah?
2.    Apa hukum Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah beserta landasan  hukumnya?
1.3       Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan pembatan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengertian Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah dan mengetahui hukum-hukumnya
atau mengetahui semua yang berkaitan dengan Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah.

Bab 2
Pembahasan

A.           Musaqah
1.  Pengertian
Al musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang
menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi
imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan
sebidang tanah, kepada seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut
(seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian
yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk
pemiliknya.

2.  Dalil
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma:

ٍ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم َل أَ ْه َل خَ ْيبَ َر َعلَى َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا ِم ْن ثَ َم ٍر أَوْ زَ ر‬
‫ع‬ َ ِ‫أَ َّن َرسُو َل هللا‬.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk


menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan
hasil garapan lahan tersebut.” [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:

‫ َر ْك ُك ْم فِي‬ff‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْق ِس ْم بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ إِ ْخ َوانِنَا النَّ ِخي َل قَا َل الَ فَقَالُوا تَ ْكفُونَا ْال َمئُونَةَ َون َْش‬ َ ‫ت َْاألَ ْن‬
َ :‫صا ُر لِلنَّبِ ِّي‬ ِ َ‫قَال‬
‫ َس ِم ْعنَا َوأَطَ ْعنَا‬:‫الثَّ َم َر ِة قَالُوا‬.

“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah


pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka
mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’
Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’”

3.  Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
b. Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan
tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta
mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari
dan Muslim).

4.  Hukum
Hukum Musaqah:
1) Hukum musaqah sahih
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a) Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada
penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua,
b) Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan,
c) Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa,
d) Akad adalah lazim dari kedua belah pihak,
e) Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur,
f)  Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
g) Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di
izinkan oleh pemilik.
2) Hukum musaqah fasid
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a) Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad,
b) Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad,
c) Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan,
d) Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap,
e) Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian,
f) Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis wakt akad,
g) Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan,
h) Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.
5.  Syarat
Syarat-syarat musaqah:
1)      Ahli dalam akad
2)      Menjelaskan bagian penggarap
3)      Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari
hasil panen merupakan hasil bersama.
4)      Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5)      Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.

6.  Rukun
Rukun musaqah adalah
1) Shigat,
2) Dua orang yang akad (al-aqidain),
3) Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah),
4) Masa kerja, dan
5) Buah.

7.  Macam-macam
Musaqah ada 2 macam, yaitu :
1. Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik
tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar
tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik.
2. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja,
tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban
mencarikan jalan air, baik dengan menggali sumur, membuat parit, bendungan,
ataupun usaha-usaha yang lain.
8.  Hikmah
1.Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi
segala kekurangan dan kebutuhan.
2.Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3.Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan
akan tumbuh subur karena dirawat.
B.          Muzara’ah dan Mukhabarah
1.  Pengertian
Menurut etimologi, muzara,ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a”
artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti
tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:
a.  Ulama Malikiyah; “Perkongsian dalam bercocok tanam”
b.Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam
atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.
c.       Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti
mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan
mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama
yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu
Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan:
usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah merupakan asal dari ijarah
(mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak
sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian
dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan
keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila tanaman tersebut membuahkan
hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka
mereka menanggung kerugian bersama.
2.  Dalil
Dalil Muzara’ah
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
‫جرخيامرطشبربيخلهألماعملسوهيلعللهالصىبنالنأرمعنبإنع‬
34‫عرزوأمثنماهنم‬
Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada
orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan
mengambil sebagian dari hasilnya”.

Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah


‫دوهيال ربيخىطعأملسوهيلعللهالصلوسرالقهنعللهاىضرللهادبعنع‬
35‫اهنمجرخامرطشمهلواهوعرزيواهولمعينأىلع‬
Artinya:“Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah memberikan tanah kepada orang
Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang
dihasilakn dari padanya.”
Hadist-hadist tersebut di atas menunjukan bahwasannya bagi
hasil Muzara’ah diperbolehkan, karena Nabi SAW sendiri pernah melakukannya.

Dalil Mukhabarah
ْ ‫ض َعلَى اَ َّن لَنَا هَ ِذ ِه فَ ُربَ َما أَ ْخ َر َج‬
‫ ِذ ِه‬ffَ‫ت هَ ِذ ِه َولَ ْم تُ ْخ ِرجْ ه‬ َ ْ‫ار َح ْقالً فَ ُكنَّا نُ ْك ِرىاْالَر‬
ِ ‫ص‬َ ‫ْج قَا َل ُكنَّااَ ْكثَ َر ْاالَ ْن‬
ِ ‫ع َْن َرافِ ِع ْب ِن خَ ِدي‬
َ‫فَنَهَانَاع َْن َذلِك‬Artinya:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah
untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan
yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan
dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
ٍ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم َل أَ ْه َل َخ ْيبَ َر بِشَرْ ِط َمايَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا ِم ْن ثَ َم ٍر اَوْ زَر‬
)‫ع (رومسلم‬ َ ‫ع َْن اِ ْب ِن ُع َم َراَ َّن النَّبِ ِّي‬
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim)

3.  Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan
muzara’ah adalah:
a. Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah
untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan
yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan
dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nuslim dari Ibnu Abbas r.a.
“Sesungguhnya Nabi Saw. menyatakan, tidak mengharamkan muzara’ah, bahkan
beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan
katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau
diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja
tanah itu
c. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
d. Imam Al-Bukhari berkata, Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, Ia
berkata, tidaklah di Madinah ada penghuni rumah hijrah kecuali mereka bercocok
tanam dengan memperoleh sepertiga atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad
bin Malik,’Abdullah bin Mas’ud ,’Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Urwah ,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin melakukan
Muzaraah (HR.Bukhari).
e. Imam Ibnul Qayyim berkata : kisah Khaibar merupakan dalil kebolehan Muzara’ah
dan Mukhabarah, dengan membagi hasil yang diperoleh antar pemilik dan pekerjanya,
baik berupa buah buahan maupun tanaman lainnya. Raulullah sendiri bekerja sama
dengan orang-orang Khaibar dalam hal ini. Kerja sama tersebut berlangsung hingga
menjelang wafat Beliau, serta tidak ada nasakh yang menghapus hukum tersebut. Para
Khulafaur rasyidin juga melakukan kerja sama tersebut. Dan ini tidak termasuk dalam
jenis mu’ajarah (mengupah orang untuk bekerja) akan tetapi termasuk dalam
musyarakah (kongsi/kerjasama), dan ini sama seperti bagi hasil.

4.  Hukum
Hukum muzara’ah dan mukhabarah
1)      Hukum muzara’ah dan mukhabarah sahih
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
a)      Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
b)      Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
c)      Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
d)     Menyiram atau menjaga tanaman.
e)      Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah
ditetapkan.
f)       Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap
tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
2)      Hukum Muzara’ah fasid
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah fasid adalah:
a)      Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
b)      Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
c)      Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya

5.  Syarat
Syarat Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja
atau bagian pemilik tanahdan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh
dari tanah tersebutseperti sepertiga, seperempat  atau lebih dari hasilnya.

6.  Rukun
Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah
Jumhur ulama’ yang membolehkan akad Muzara’ah menetapkan rukun yang harus
dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Ijab qabul (akad)
b. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
c. Adanya obyek (ma’qud ilaih)
d. Harus ada ketentuan bagi hasil.4152
Dalam akad Muzara’ah apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka pelaksanaan
akad Muzara’ah tersebut batal.
Rukun-rukun dalam Akad Mukhabarah
1. Akad mukhabarah diperbolehkan,berdasarkan hadist Nabi SAW:  ‫ﻋﻦﺍﺑﻦﻋﻤﺮﺍﻥﺍﻟﻨﺒﻲﺹْ ْﻡ‬
)‫(ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ‬ ‫ﻣﺎﻳﺤﺮجﻣﻨﻬﺎﻣﻦﺛﻤﺮﺃﻭﺯﺭع‬ ‫ﻋﻤﻞﺍﻫﻞﺣﻴﺒﺮﺑﺸﺮﻃ‬: “Sesungguhnya Nabi telah
menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan diperlihara,dengan
perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.”(HR.Muslim dari Ibnu Umar
ra.)
2. Adapun rukun mukhabarah menurut pendapat umum antara lain: Pemilik dan
penggarap sawah / ladang. Sawah / ladang Jenis pekerjaan yang harus dilakukan
Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah) Akad (sighat)

7.   Macam-macam
Macam-Macam Muzara’ah
     Ada empat 4 macam bentuk Muzara’ah.
1. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak sedangkan pihak lainnya menyediakan alat
juga melakukan pekerjaan. Pada jenis yang pertama ini hukumnya diperbolehkan.
Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dan benih berasal dari
pemilik tanah, sedangkan alatnya berasal dari penggarap .
2. Tanah disediakan satu pihak, sedangkan alat, bibit, dan pekerjaannya disediakan
oleh pihak lain. Hukum pada jenis yang kedua ini juga diperbolehkan. Disini
penggarap sebagai penyewa akan mendapatkan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
3. Tanah, alat, dan bibit disediakan pemilik, sedang tenaga dari pihak penggarap.
Bentuk ketiga ini hukumnya juga diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai
penyewa terhadap penggarap dengan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
4. Tanah dan alat disediakan oleh pemilik, sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak
penggarap. Pada bentuk yang keempat ini menurut, Zhahir riwayat, muzara’ah
menjadi fasid. Ini dikarenakan misal akad yang dilakukan sebagai menyewa tanah
maka alat dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, ini
disebabkan alat tidak mungkin mengikuti kepada tanah karena ada bedanya manfaat.
Sebaliknya, jika akad yang terjadi menyewa tenaga penggarap maka bibit harus
berasal dari penggarap yang mana akan menyebabkan ijarah menjadi fasid, ini
disebabkan bibit tidak mengikuti penggarap melainkan kepada pemilik.

8.  Hikmah
Muzara’ah
Adapun manfaat yang lainnya,antara lain: Terwujudnya kerjasama yang saling
menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani dan penggarap Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Tertanggulanginya kemiskinan Terbukanya lapangan
pekerjaan,terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak
memiliki tanah garapan.
Mukhabarah
Dalam MUKHABARAH, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah
hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya. Jika benih berasal dari kdeuanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya
jika sudah mencapai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Adapun hikmah Mukhabarah antara lain:
a.  Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan
petani penggarap.
b.  Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c.  Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan
bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.

Bab 3
Kesimpulan

1.    Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang
dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
2.    Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang
dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
3.    Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan
menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam
jumlah tertentu
4.    Dasar hukum yang dijadikan landasan Muzara’ah, mukhabarah dan musaqah
adalah hadits dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun
kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
5.    Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah maupun musaqah ini ditentukan
kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan hendaknya bagian tersebut
adalah hasil yang diperoleh dari tanah/buah tersebut seperti sepertiga, seperempat 
atau lebih dari hasilnya.
6.    Ada perbedaan pendapat mengenai hukum dari muzaraah dan mukhabarah di
kalangan ulama’ salaf, ada yang mengatakan muamalah ini haram dan ada yang
membolehkannya dikarenakan perbedaan pemahaman hadits Nabi Muhammad SAW.
7.    Hukum dari muzaraah, mukhabarah dan musaqah ada yang bersifat sahih yaitu
akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara’ dan ada yang bersifat
fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
syara’.

Daftar Pustaka
http://himawanyw.blogspot.com/2011/10/pengertian-muzaraah-dilihat-dari-segi.html
Adzim , Abdul bin Badawi. 2007. Al-Wajiz. diterjemahkan oleh Team Tasyfiyah,
Bogor: Pustaka Ibnu Katsir
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari, diterjemehkan oleh Abdul Hayyik Al-
Kattani dkk. Jakarta: Gema Insan
Ad-Dzibbi , Ahmad bin Muhammad. 2004.  Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’I. Beirut:
Dar Kutub Al-‘Ilmiayah
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur
Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam
Ayo Belajar Fiqih Muamalah, http://echyli2n.blogspot.com/fiqih-muamalah-musaqah/
akses: tanggal 6 maret 2009
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005-istiqomah2-
122-bab+II+2-6.pdf
http://jawharie.blogspot.com/2012/02/konsep-masaqah-muzaraah-mukhabarah-
dan.html

MUAMALAH
                                                     GHASAB

Ahmad Syahriza Ramadhan                                       13523107


Linda Dwi Lestari                                                       13523084
Sucahyo                                                                       12523294

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang terkadang membutuhkan orang lain, karena itulah manusia disebut
makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia biasanya saling
berinteraksi,saling melindungi, mengadakan hubungan timbal balik antara satu
dengan yang lain, tolong menolong dan lain-lain. Namun hal tersebut tentu ada
peraturannya atau biasa disebut tatakrama. Dalam agama islam, tentu peraturan-
peraturan tersebut harus bersumber dari Al-Qur’an dan hadist. Misalnya orang yang
melakukan perbuatan dosa akan mendapat hukuman didunia maupun di akhirat
seperti, orang yang mencuri pada zaman nabi Muhammad saw ,orang yang
melakukan pencurian akan dipotong tangannya sampai ruas pergelangan tangan.
Adapun hukum di akhirat akan disiksa di neraka. Akan tetapi bagaimana kalau
meminjam tanpa sepengetahuan pemiliknya. Apakah hal tersebut dikategorikan
sebagai tindakan pencurian atau sekedar pinjam meminjam dan apakah hukumnya
haram,halal,atau mubah? Mendapat dosakah ? Tentu hal itu akan menjadi pertanyaan
sebagian orang. Belajar dari Sayyidina Umar ra beliau berpesan, perhitungkan dirimu
sendiri sebelum engkau semua diperhitungkan amalanmu (oleh Allah swt.) dan
timbanglah dirimu (berapa yang baik dan berapa yang buruk dari amalan yang
dilakukan itu) sebelum engkau semua diperhitungkan.Peringatan Sayyidina Umar ra
ini, penting agar setiap orang, siapapun mereka, selalu membuat perhitungan, dan
keyakinan, bahwasannya Allah swt. Itu senantiasa meneliti segala amalan manusia.
Menurut sebagian ulama, tindakan di atas dinamakan ghasab. Mungkin dikalangan
luar istilah ghasab sangat asing, tapi kalau dikalangan para santri sudah sangat
familiar malah kerap dilakukan. Ghasab inilah yang diartikan meminjam tanpa ijin.
Pernah terbesit dalam pikiran kita apakah kita sudah pernah berghasab ?

                                                              BAB II
                                                               ISI
A. Pengertian                                                                     
Kata Ghasab menurut bahasa mempunyai makna mengambil sesuatu secara paksa dan
terang terangan, sedangkan menurut syara' Ghasab ialah menguasai hak orang lain
dengan jalan aniaya atau memanfaatkan atau menggunakan hak orang lain tanpa seijin
pemiliknya. . Ghasab tidak terbatas pada perkara yang berupa harta benda, tetapi juga
hal - hal yang berupa kemanfaatan, seperti : menyuruh berdiri orang yang sedang
duduk di masjid, duduk diatas alas (karpet, permadani) orang lain sekalipun tidak
digeser ketempat lain , mengusir orang dari rumahnya sendiri sekalipun tidak
dimasukinya dan lain.
Sedangkan menurut ulama, ghasab mendefisinisikan sebagai berikut:
Mazhab Hanafi : mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang
tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
Ulama Mazhab Maliki : mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan
dalam arti merampok)
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali : penguasaan terhadap harta orang lain secara
sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Dari perbedaan definisi diatas dapat dicontohkan sebagai berikut :
a.     Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
1.       Imam Hanafi dan Abu Yusuf : ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang
bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak tidak mungkin terjadi ghasab.
Seperti rumah dan tanah
2.      Jumhur Ulama : ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak. 
Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-
wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab
tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun
secara manfaat.

b.    Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.


1.     Imam Hanafi dan Abu Yusuf : hasil dari benda yang diambil merupakan amanah
yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu
dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab) maka
ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.
2.       Jumhur Ulama : Jika penggasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang
yang dighasabnya maka ia dikenakan denda
Macam-macam ghasab adalah sebagai berikut:
a.       Barang milik:
         Barang milik pribadi seperti; mengambil pena dan buku orang lain, atau
memecahkan kaca rumah orang lain.
         Barang milik umum seperti; mengambil barang-barang sekolah, memecahkan
lampu jalan, tidak mengeluarkan khumus, atau tidak mengeluarkan zakat.
b.      Hak-hak:
           Hak-hak pribadi seperti; menduduki bangku duduk orang lain di sekolah,
atau salat di tempat yang sudah dipilih oleh orang lain di masjid.
           Hak-hak umum seperti; melarang orang lain dari menggunakan masjid, atau
jembatan, atau jalan, atau mencegah orang lain dari melewatinya.

B. Hukum Dan Dasar Hukum Al-Ghasab


  Dasar Hukum Al-Ghasab
1.     Surat An Nisa ayat 29
‫َراض ِم ْن ُكم َوالَ تَ ْقتُل ُوا أ ْنفُ َس ُكم‬
ٍ ْ   َّ‫يَأيهَا ال ِذينَ آ َمنُوا الَ تَأ ُكلُوا أ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِالبَا ِط ِل إال‬
‫أن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن ت‬
 ‫إن هللا َكانَ بِ ُكم َر ِحي ًما‬
ّ
Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2.     Surat Al Baqarah 188
َ‫إلثم َو أ ْنتُم تَ ْعلَ ُمون‬ ِ َّ‫ لِتَأ ُكل ُوا فَ ِريقًا ِم ْن أ ْم َوا ِل الن‬ ‫َو الَ تَأ ُكل ُوا أ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْالبَا ِط ِل َو تُ ْدلُوابِهَا إل َى ْال ُح ّك ِام‬
ِ ‫اس بِا‬
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
3.     Sabda Rasulullah
“Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi
Bakrah)
“Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati
pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).
  Hukum-hukum Ghasab
1.      Hukum seluruh macam ghasab adalah haram dan terhitung sebagai dosa besar.
2.      Jika seseorang meng-ghasab sesuatu, maka selain telah berbuat haram, dia juga
harus mengembalikannya kepada pemiliknya, dan jika barang yang di-ghasab-nya
hilang, dia harus menggantinya.
3.      Jika dia merusakkan barang yang di-ghasab-nya, dia harus mengembalikan
kepada pemiliknya berikut ongkos perbaikan. Jika setelah perbaikan harganya
menjadi lebih murah dari harga sebelumnya, dia harus membayar selisih harganya.
4.      Jika dia mengubah barang yang di-ghasab-nya menjadi lebih bagus-misalnya dia
memperbaiki sepeda yang di-ghasab-nya menjadi lebih bagus lalu pemiliknya
menuntutnya agar mengembalikan sepeda ini apa adanya, maka dia harus
menyerahkannya kepada pemiliknya dan tidak boleh meminta ongkos perbaikan juga
tidak berhak untuk mengubahnya lagi seperti semula.
  Hukuman bagi orang yang ghasab
Bagi orang yang mengghasab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada
pemiliknya, meskipun ghasib(orang yang melakukan ghasab) itu terkena tanggungan
(mengganti) dengan berlipat ganda harganya. Juga wajib bagi nya untuk menambah
kekurangannya. Jika memang terdapat kekurangan pada harta yang di ghasab. Seperti
contoh orang yang mengghasab pakaian kemudian dia memakainya, atau harta itu
berkurang tidak karena dipakai.maka wajib memberikan biaya yang sama. Sedangkan
jika maghsub (barang yang di ghasab) itu berkurang sebab harganya menjadi turun,
menurut pendapat yang shahih, ghasib tidak wajib menanggung nya.
Di dalam sebaGian keterangan dijelaskan bahwa siapa saja yang mengghasab harta
seseorang, maka dia harus dipaksa untuk mengembalikannya. Apabila barang yang di
ghasab itu rusak, maka ghasib wajib menanggungnya dengan jumlah yang sama
dengan barang yang di ghasab tersebut. adapun yang lebih sah bahwa barang itu
adalah barang - barang yang dapat di ukur dengan takaran atau timbangan (dapat di
ukur dengan nilai).
Harga maghsub dapat berbeda beda dengan bentuk harga yang lebih tinggi dari hari
pada saat barang tersebut di ghasab sampai pada hari kerusakan barang yang di
ghasab. Ghasib (orang yang meng-ghasab) dapat menjadi bebas setelah
mengembalikan barang maghsub (barang yang di ghasab) kepada pemiliknya dan
cukup meletakkan di sebelah pemiliknya. apabila di lupa siapa pemiliknya, maka
cukup dengan menyerahkannya kepada Qodli. (hakim)
Sedangkan menurut dari ulama’ dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.         Ia berdoasa jika ia mengtehui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik
orang lain.
2.         Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya.
3.         Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan
denda.

 C.  Menanami Tanah Yang Ghasab


Apabila seseorang menanami tanah orang lain tanpa ijin pemiliknya, sementara
tanamannya belum dapat dipanen atau diambil, maka tanaman tersebut adalah hak
milik yang mempunyai tanah dan yang menanami hanya mendapatkan upah dari si
pemilik tanah. Jika tanamannya telah dpanen, maka pemilik tanah tidak berhak apa-
apa kecuali hanya ongkos sewa tanahnya atau lahannya saja.
Bila orang yang menggashab menanam pohon dari hasil tanah ghasaban, maka ia
wajib mencabutnya. Sedangkan apabila seseorang membangun sebuah gedung atapun
rumah ditempat tanah ghasaban maka si pembangun wajib untuk membongkarnya.
Hal in berdasarkan hadist rasululloh Saw, yang artinya:
“ Siapa yang menanam tanaman diatas tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka ia
tidak berhak untuk memperoleh apapun kecuali ongkos pengolahan”. (Riwayat Abu
Dawud)

D. Pemanfaatan dan Kerusakan Tanah Ghasab      


Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah
diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat
mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada
diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini
berdasarkan kepada sabda Rasulullah

“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh
orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud
dari Urwah bin Zubair)
Ghasab adalah kezhaliman dan pelanggaran terhadap hak orang lain, maka pelakunya
harus bertaubat kepada Allah, karena tangan ghasib adalah tangan pelanggar maka di
samping bertaubat dia harus:

1- Mengembalikan tanah yang dighasab, bila tanah masih utuh seperti sediakala maka
dia mengembalikannya, bila rusak maka dia memperbaikinya dan bila sudah tidak ada
maka dia mengganti sepertinya atau dengan harganya.

2- Meminta maaf kepada pemilik hak, karena dia telah melanggar haknya agar bebas
dari tuntutan darinya di akhirat.

3- Bila ghasib telah mendirikan bangunan atau menanam pohon di tanah yang
dighasab, maka dia harus merobohkan bangunan dan mencabut pohon bila pemiliknya
menuntut itu.

5- Bila nilai harga tanah yang dighasab berkurang selama ia ada di tangan ghasib
maka ghasib bertanggung jawab atasnya.

6- Ghasib juga harus membayar harga sewa tanah kepada pemiliknya, karena dia telah
menghalangi pemiliknya untuk mengambil manfaat darinya.

Intinya semua tindakan ghasib terhadap barang yang dighasab adalah illegal secara
hukum, karena pemiliknya tidak mengizinkannya, maka siapa yang mengetahui tidak
boleh berakad dengannya melalui jual beli atau sewa menyewa atau yang sepertinya,
bila dia tetap melakukan maka dia bertanggung jawab.

Tindak Perusakan

Haram melanggar hak kepemilikan orang lain dengan mengambil atau merusaknya.

(1) Pihak yang melakukan perusakan tanah orang lain, wajib mengganti kerugian.
(2) Pemilik berhak menuntut ganti rugi kepada perusak tanah  miliknya.
(3) Barang siapa yang merusak tanah milik orang lain, maka ia harus mengganti
kerugian walaupun tidak sengaja.
(4) Jika perusakan merusak keseluruhannya, maka ia harus mengganti seluruh harga
tanah itu.
(5) Jika perusakan tidak merusak keseluruhannya, maka ia harus mengganti senilai
yang dirusaknya.
(6) Seseorang yang melakukan sesuatu yang mengakibatkan penyusutan nilai harta
milik orang lain, ia harus mengganti kerugian.

Konsekuensi yang harus dilakukan orang yang ghasab, ketika barang yang dighasab
berpindah ke tangan orang lain (orang ketiga), kemudian benda itu hilang di tangan
orang ketiga itu. Ada dua pembahasan,
1.      Menuntut ganti rugi
2.      Siapa yang menanggung ganti rugi
Untuk yang pertama, menuntut ganti rugi, aturannya, pemilik barang boleh menuntut
ghasib atau pihak ketiga
Untuk yang kedua, siapa yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi?
Jawabannya: Ghasib yang bertanggung jawab. Kecuali dalam dua keadaan,
1]. Pihak ketiga mengetahui bahwa barang itu hasil ghasab
2]. Pihak ketiga menanggung semua kerugian harta.

   BAB III 
         KESIMPULAN
     Pengharaman ghashab, karena itu merupakan kedzaliman yang juga diharamkan
Allah atas diri-Nya dan dijadikan-Nya sebagai sesuatu yang haram di antara kita.
     Kedzaliman itu haram dalam masalah yang sedikit atau banyak. Inilah faidah
disebutkannya satu jengkal.
       Benda-benda yang tidak bergerak bisa dianggap dighashab dengan cara
menguasainya. Menurut Al-Qurtuby : “dari hadits yang disebutkan bahwa dapat
disimpulkan tentang kemungkinan masuknya meng-ghashab tanah dalam dosa-dosa
besar”.[10]
       Hak milik yang lahir ialah tanah dan hak milik batinnya adalah bagian dalam
tanah. Sehingga seseorang tidak boleh melubangi bagian dalam tanah di bawah
permukaan tanah, atau membuat lorong dan terowongan kecuali dengan ijinnya.
Pemilik tanah atau pemilik apapun yang terpendam dalam tanah itu, seperti batu-
batuan dan barang tambang sehingga dia berhak untuk menggali sesukanya. Para
ulama juga mengatakan bahwa udara juga mengikuti ketetapan. Siapa yang memiliki
sebidang tanah, maka dia juga memiliki apa yang ada diatasnya.

 DAFTAR PUSTAKA
1. http://triyokopambudi.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
2.http://www.siswa.tintaguru.com/2014/01/ghasab-meminjam-tanpa-ijintugas-9a.html
3.http://saidhudrihasibuan.blogspot.com/2011/12/makalah-ghasab.html
http://www.alsofwah.or.id/cetakfiqih.php?id=306                                 
http://pengusahamuslim.com/14-catatan-tentang-ghashab/#.VIMul2cwZ8c
https://www.scribd.com/doc/124438364/Makalah-Fiqih-II-Neng-Siti.html
MUZARA’AH
TUGAS INI DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIYAH
FIQIH

Dosen Pembimbing:
DRS. H. ATHOR SUBROTO S.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ”MIFTAHUL ‘ULA”
(STAIM)
NGLAWAK-KERTOSONO-NGANJUK

TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Segenap keluarga dan para sahabat
beliau, terlimah pula kepada segenap kaum muslimin dan muslimat selaku umat
beliau.
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat semester ganjil tahun ajaran
2016–2017 jurusan PGMI STAIM NGLAWAK KERTOSONO , penulis telah
berhasil menyusun Makalah “MUZARA’AH”.
Kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis mengucapkan terimakasih
terutama kepada :
1.      Bapak Drs. H.Athor Subroto., Spd.I.., selaku dosen pengampu mata
kuliah PGMI STAIM NGLAWAK
2.      Bapak/Ibu Dosen dan karyawan STAIM NGLAWAK
3.      Teman-teman mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 2 Tahun
Akademik 2016 -2017
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk itu segala kritik
dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi
perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat dalam meningkatkan
kualitas pembelajara Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.
                                                                                   NGANJUK 10 SEPTEMBER
2015

                                                                                        
Penulis

                                                     
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara agraris karena wilayah daratan Indonesia yang sangat
luas dan suburnya sebagian besar tanah di Indonesia, sehingga  tentunya banyak dari
warga Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani.
Tetapi kenyataannya tidak semua warga Indonesia atau lebih spesifiknya orang yang
mempunyai lahan pertanian bisa menggunakan dan memanfaatkan lahan bercocok
tanam yang mereka miliki. Sebaliknya banyak juga diantara warga Indonesia yang
mempunyai kemampuan, keahlian dan potensi untuk menggarap sawah dengan baik
yang tersia-siakan dikarenakan tidak adanya lahan yang mereka punyai. Maka dari itu
timbullah suatu sistem saling untung antara pemilik lahan dengan orang yang diserahi
amanah untuk menggarap lahannya, dengan sistem bagi hasil yang sesuai dengan
kesepakatan diantara mereka.
Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran
islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas. Dan kita mengetahui manfaatnya yang
besar bagi kedua pihak, kedua pihak mendapatkan keuntungan dari kerjasama ini.
Menggarap tanah dalam ajaran islam dikenal dengan istilah muzara’ah.
Muzara’ah ialah seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami
dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut. (misalnya sepertiganya atau
separuhnya). Tetapi ada sebagian ulama yang melarang perbuatan ini dan ada pula
yang menghuykumkan makruh pada permasalahan ini. Untuk itu akan saya jelaskan
mengenai persoalan ini pada makalah saya ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian muzara’ah?
2.      Bagaimana dasar hukum muzara’ah?
3.      Apa rukun dan syarat muzara’ah?
4.    Bagaimana zakat yang dikeluarkan dalam kerjasama muzara’ah?
5.      Apa hikmah dari bermuzara’ah?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian muzara’ah                  
2.      Untuk mengetahui dasar hukum muzara’ah,
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat muzara’ah
4.   Untuk mengetahui pengeluaran zakat dalam muzara’ah
5.      Untuk mengetahui hikmah bermuzara’ah
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muzara’ah
       Secara etimologis muzara’ah ( ‫ )المزارعة‬adalah wajan (‫)مفاعلة‬ dari kata ‫الزرع‬ yang
sama artinya dengan ‫ات‬ff‫االنب‬ ( menumbuhkan ). Muzara’ah yaitu kerjasama paroan
sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih antara pemilik tanah dengan petani
penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.[1] Menurut istilah muzara’ah
didfinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
1.      Menurut Hanafiyah, Muzara’ah ialah :
‫عقد على الزرع ببعض الخارج من االرض‬
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”
2.      Menurut Hanabilah, Muzara’ah ialah :
‫دفع االرض الى من يزرعها او يعمل عليها والزرع بينهما‬
“ Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya,
sedangkan tanaman hasilnya  tersebut dibagi diantara keduanya.”
3.      Menurut Syaikh Ibrahim al- Bajuri, Muzara’ah ialah :
‫عمل عامل فى االرض ببعض ما يخرج منها و البذر من المالك‬
“ Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal
dari pemilik tanah.”

4.      Menurut Syafi’i, muzara’ah ialah :


‫معاملة العامل فى االرض ببعض ما يخرج منها على ان يكون البذر من المالك‬
“ menggaarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.”
B.     Dasar Hukum Muzara’ah
        Dalam membahas hukum al- muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama,
Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya
fasid. Menurut Asy-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslimah dari Tsabit Ibn al-Dhahak :
ّ
) ‫ نهى عن المزارعة بلمؤجرة و قال بأس ( رواه مسلم‬: ‫ان رسول هللا ص م‬
“ Bahwa Rasulullah SAW telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa-
menyewa saja dan Rasulullah saw bersabda, itu tidak mengapa “ (HR. Muslim)
        Menurut mereka, objek akad dalam al-muzara’ah belum ada dan tidak jelas
kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang
belum ada ( al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan
yang akan dibagi, sejak semula belum jelas.
       Dalam sebuah hadits lain ada yang membolehkan hukum muzara’ah adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra ;
‫ا او‬f‫ه ارض فليزرعه‬f‫انت ل‬f‫ه من ك‬f‫هم ببعض بقول‬f‫ق بعض‬f‫ر ان يرف‬f‫ة ولكن ام‬f‫لم يحرم المزارع‬  .‫ان النبى ص م‬
)‫ليمنحها اخاه فان ابى فليمسك ارضه (رواه البخارى‬
“ Sesungguhnya Nabi saw menyatakan ,tidak mengharamkan  bermuzara’ah bahkan
beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain,dengan
katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau
memberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja
tanah itu.”

         Jumhur ulama membolehkan akad al-muzara’ah,tetapi harus mengemukakan


rukun dan syarat harus dipenuhi sehingga akad dianggap sah.
Hukum-hukum Muzara’ah
1.      Masa muzara’ah harus ditentukan misalnya satu tahun.
Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, sepertiga
atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika
pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: “Engkau berhak atas apa yang tumbuh
ditempat ini dan tidak ditempat yang lainnya.” Maka hal ini tidak sah.
 Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian
sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat
pembaginnya maka muzara’ah tidak sah.
Jumhur ulama melarang penyewaan tanah dengan makanan, karena itu artinya jual
beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda dan harga berbeda yang
diharamkan agama.
Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah. Jika bibit tanaman dari penggarap
tanah, itu namanya mukhabarah. Tetapi ada perbedaan pendapat dalam masalah ini,
seperti perkataan Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal
dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya; berkata
Imam Bukhari rohimahulloh: Umar ra memperkerjakan orang-orang, jika benih dari
Umar maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian
mereka adalah seperti itu (setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak
mengapa jika tanah itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama
maka apa yang keluar (tumbuh) untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.
Menyewakan tanah dengan kontan lebih baik dari pada dengan akad muzara’ah.
Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada
saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ُ‫َت لَهُ أَرْ ضٌ فَ ْليَ ْز َر ُعهَا فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْز َر ْعهَاأَوْ لِيَ ْمنَ ُحهَاأَ َخاه‬
ْ ‫َم ْن َكان‬
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia
menyuruh saudaranya untuk menanaminya.”
Juga sabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam:
‫أَ ْن يَ ْمنَ َح أَ َح ُد ُك ْم أَرضةُ خَ ْي ٌر ِم ْن أَ ْن يَأْ ُخ َذ َعلَ ْيهَا خَ َر َجا َم ْعلُوْ ًما‬
“Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya
daripada ia mengambil imbalan tertentu.”
Muzara’ah Fasid
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti
pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap
mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena
hasilnya belum ada, bisa jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk
pemilik tanah bagus dan bagian tanaman penggarap gagal panen ataupun sebaliknya.
Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah satu pihak dirugikan. Padahal
muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menanggung keuntungan maupun
kerugian bersama-sama. Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari
tanah yang dekat dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap
mendapat sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan,
kezhaliman dan ketidakjelasan.
 Tetapi dalam dalam muzaraah harus disepakati pembagian dari hasil tanah tersebut
secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan bagian separuh dari hasil
tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga, kemudian setelah ditanami dan
dipanen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua, begitu juga bila hasilnya untung
maka harus dibagi dua. Dan pada kasus ini ada kejelasan pembagian hasil, dan ini
diperbolehkan.
Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Dan tidak boleh muzaraah dengan syarat
sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap.
Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah berkata bagianku dari tanah ini adalah
sejumlah berapa wasak
ُ‫لَّى هللا‬f‫ص‬َ ‫ ِد النَّبِي‬f‫ض َعلَى َع ْه‬ َ ْ‫ رُوْ نَ األَر‬f‫انُوْ ا يَ ْك‬ff‫ي أَنَّهُ ْم َك‬
َ ‫ َدثَنِّ ْي َع َّما‬f‫ َح‬:‫ا َل‬fَ‫ْج ق‬ ٍ ‫س عن َرافِ ِع ْب ِن َخ ِدي‬ ٍ ‫ع َْن َح ْنظَلَةَ ب ِْن قَ ْي‬
. َ‫ك‬ffِ‫لَّ َم ع َْن َذل‬f‫ ِه َو َس‬f‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي‬
َ ‫ فَنَهَى النَّبِ ُّي‬,‫ض‬ِ ْ‫احبُ األَر‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ُت َعلَى األَرْ بِ َعا ِء أَوْ َش ْي ٍء يَ ْست َْثنِ ْي ِه‬
ُ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َما يَ ْنب‬
َ ْ‫ْس بِهَا بَأ‬
.‫س بِال ِّد ْين َِر َو الدِّرْ ه َِم‬ ُ ‫فَقُ ْل‬
َ ‫ لَي‬:ٌ‫ فَ َك ْيفَ ِه َي بِال ِّد ْين َِر َو الدِّرْ ه َِم؟ فَقَا َل َرافِع‬:‫ت لِ َرافِ ٍع‬
.“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah
menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi
saw dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah
dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallahu ’alaihi wa sallam melarang
hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka
Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
Sesungguhnya orang-orang pada zaman Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
menyewakan tanah dengan imbalan apa yang tumbuh di saluran air dan parit, dan
berupa aneka tanaman. Kemudian terkadang tanaman ini rusak dan itu selamat,
terkadang juga tanaman ini selamat dan tanaman itu rusak, sedangkan orang-orang
tidak mempunyai sewaan kecuali itu, oleh karena itu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya. Adapun sesutu (imbalan) yang jelas diketahui dan terjamin maka
tidak apa-apa.
Dari dua hadits yang ada menggunakan lafadz menyewakan tanah namun
menyewakan tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzaraah (menggarap
tanah), karena imbalan yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini
dinamakan muzaraah. Sedangkan apabila imbalannya berupa emas, perak, uang
ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut penyewaan tanah. Pelarangan
muzaraah pada hadits di atas juga tidak secara mutlak, karena sebenarnya muzaraah
diperbolehkan sebab nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengamalkan
muzaraah dan juga salafus shalih. Namun pelarang muzaraah pada hadits di atas
karena tidak adanya pembagian hasil yang jelas.
Maka haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzaraah harus menentukan
pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau
seperempat dari hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik
tanah karena muzaraah adalah kerja sama (persekutuan), dan yang namanya kerja
sama keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama.
Kesimpulannya bahwa menggarap tanah adalah termasuk akad kerjasama
(persekutuan/syirkah) yang harus jelas pembagian hasilnya seperti separuh, sepertiga
atau seperempat atau bagian yang tertentu dari hasil tanaman yang diperoleh,
sehingga apabila mengalami kerugian ataupun keberhasilan ditanggung bersama
karena pembagiannya hasil tanaman yang dihasilkan tanah tersebut. Dan menggarap
tanah hukumnya dibolehkan.
C.    Rukun dan Syarat Muzara’ah
1.      Rukun muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :
a.       Pemilik tanah
b.      Petani penggarap
c.       Objek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
d.      Ijab
e.       Qabul
2.      Syarat muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :
a.       Menyangkut orang yang berakad
Untuk menyangkut orang yang berakad disyaratkan bahwa keduanya harus orang
yang telah baligh dan berakal.
b.      Menyangkut benih yang akan ditanam
Untuk menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan
tanah itu dan akan menghasilkan.
c.       Untuk menyangkut tanah pertanian
Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika
tanah itu adalah tanah tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan
tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah. Batas-batas tanah itu jelas, tanah
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap, dan apabila pemillik tanah ikut
mengelola pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.
d.      Untuk menyangkut hasil panen
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar
milik bersama orang yang berakad,tanpa bolah ada pengkhususan. Pembagian hasil
panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad,
sehingga tidak menimbulkan perselisihan dikemudian hari dan penentuaannya tidak
boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti : satu kuintal untuk pekerja
atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu
atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu
e.       Untuk menyangkut jangka waktu
Syarat untuk menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak
semula
f.       Untuk menyangkut objek akad
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah mensyaratkan juga
harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari
pemilik tanah.
D. Berakhirnya Akad Al-Muzara’ah
                 Akad al-muzaraah ini bisa berakhir manakala maksud yang dituju telah
dicapai, yaitu:
1) Jangka waktu yang disepakati pada waktu akad telah berakhir. Akan tetapi bila
waktu habis namun belum layak panen, maka akad muzara’ah tidak batal melainkan
tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama;
2) Meninggalnya salah satu dari kedua orang yang berakad. Menurut ulama
Hanafiyah bila salah satu dari dua unsur tadi wafat maka akad muzaraah ini dianggap
batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses penanaman. Namun Syafi’iyah
memandangnya tidak batal.
3) Adakalanya pula berakhir sebelum maksud atau tujuannya dicapai dengan adanya
berbagai halangan atau uzur, seperti sakit, jihad dan sebagainya.
E. Zakat Muzaraah
              Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya
benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada
hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa
tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada
hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan
yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya,
maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan  sebelum di bagi

F.    Hikmah Muzara’ah
Hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah :
1.      Saling tolong menolong ( ta’awun), dimana antara pemilik tanah dengan petani
penggarap saling menguntungkan
2.      Tidak terjadi adanya kemubaziran, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh
orang yang membutuhkan, begitupu pemilik tanah merasa diuntungkan karena
tanahnya tergarap.
3.      Meimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan
petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.
2.      Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah tetapi harus memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditentukan
3.      Rukun muzara’ah adalah pemilik tanah, petani penggarap,objek muzara’ah, ijab
dan qabul
4.      Hikmah bermuzara’a diantaranya ; saling tolong menolong (taawun), tidak
terjadi adanya kemubaziran, dan menimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.
B.     Saran
       Demikian pembahasan yang kami sampaikan. Harapan kami, dengan adanya
tulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita,semoga  bermanfaat
bagi para pembaca dan sudilah memberi motivasi, kritik, saran yang selalu penulis
nantikan untuk membebani karya-karya tulis yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung. Sinar Baru Algesindo.


http://aikochi-sinichi.blogspot.co.id/2011/01/makalah-muzaraah.html          
https://syamsulariefin.wordpress.com/2012/03/15/muzaraah/
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi syara’,
terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail
mereka berpendirian bahwa akad al-musāqāh dengan ketentuan petani
penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah,
karena musāqāh seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan
sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.6
Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, hukum musāqāh itu boleh
atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
ُ
‫اب‬
ِ
‫ن‬
ْ
‫ع‬
ِ
‫ن‬
َ
‫ع‬
َ
‫م‬
َ
ْ
‫ه‬
ُ
‫م‬
َ
‫ار‬
َ
‫نـ‬
َ
ِ
‫ض‬
‫ي‬
‫َ‬
‫الل‬
‫ّ‬
‫هع‬
‫اَ‬
‫َََّّّ‬
‫ن‬
‫رَ‬
‫ر‬
‫سِ‬
‫َ‬
‫ول‬
‫ُ‬
‫ُ‬
‫ص‬
‫ل‬
‫َََّّّ‬
‫َ‬
‫االلهاللهاللهاهلل‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ى االلهاللهاللهاهلل‬
‫ْ‬
‫ع‬
‫ل‬
‫ى‬
‫ِ‬
‫َ‬
‫ه‬
‫سَ‬
‫ل‬
‫ّ‬
‫َ‬
‫و‬
‫َ‬
‫َ م‬
‫ع‬
‫ام‬
‫َ‬
‫ْ ل َ‬
‫ا‬
‫ه‬
‫َ‬
‫َ‬
‫ْ ل خ‬
‫ى‬
‫َ‬
‫بـ‬
‫َ‬
‫رِ‬
‫شب‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫ر‬
‫ط‬
‫ِ‬
‫َ‬
‫ام‬
‫ْ‬
‫ُ‬
‫َ‬
‫خييخ‬
‫ر‬
ُ
ِ
‫ج‬
‫م‬
ْ
‫نـ‬
َ
ِ
‫ه‬
ََ
ْ
‫ام‬
‫ر‬
‫ن‬
‫مثثم‬
ِ
َ
‫ا‬
ْ
‫و‬
َ
‫ز‬
‫ر‬
ٍ
)‫ مسلمـ امححمد خببخارى و رواه( ع‬.
ْ
7
Artinya : Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan
kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari
penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil
tanaman”(HR.Muslim)
Musāqāh juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama),
karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial
antara sesama manusia dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka
yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al
Maidah ayat 2, yaitu:
6 Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah…, 282
7 Al- Imam Abi-Husain Muslimbin al-Hijaji al-Qusairi an-Nai Sabury, ShahiMuslim, 1186. Edi
ted w
ith
the trial version
of
Foxit Advanced PDF Editor
T
o remove this notice, visit:
w
ww.foxitsoftware.com/shopping
21
ْ

‫و‬
َ
ٰ
‫ى‬
َ
‫التَـّـَّق‬
ِْْ
‫بربر‬
ِِِّّّ
‫و‬
َ
‫ل‬
َ‫ى ال‬
َ
‫ُن‬
‫وا ع‬
َ
‫ع‬
َ
‫او‬
‫تـ‬
‫ِ‬
‫و‬
‫◌‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫ع‬
‫ُ‬
‫ْ‬
‫د‬
‫و‬
‫َ‬
‫ان‬
‫ال‬
‫َ‬
‫ِ‬
‫ْ‬
‫مثثم‬
‫ِ‬
‫و‬
‫َ‬
‫ل‬
‫َ‬
‫ْ‬
‫ى اإلإل‬
‫َ‬
‫ُن‬
‫وا ع‬
‫َ‬
‫ع‬
‫َ‬
‫او‬
‫ُ‬
‫وا الَلـَّّه‬
‫َ‬
‫و‬
‫◌‬
‫َ‬
‫َ‬
‫الال‬
‫تـ‬
‫إ‬
‫َََّّّ ِ‬
‫ن الَلَّـّه‬
‫َ‬
‫و‬
‫◌‬
‫َ‬
‫اتَـّـَّق‬
‫ْ‬
‫ع‬
‫ِ‬
‫ق‬
‫َ‬
‫ِ‬
‫اب‬
‫ُ‬
‫ال‬
‫ش‪.‬‬
‫د‬
‫ِ‬
‫يد‬
‫َ‬
‫‪8‬‬
Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.(Q.S. al-Māidah: 2).
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba
hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan
baik dan meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong

ٓ
‫ْت ْٱل َح َرا َم‬ َ ‫ى َواَل ْٱل َق ٰلَئِدَ َوٓاَل َءٓام‬
َ ‫ِّين ْٱل َبي‬ َ ‫وا َش ٰ َٓعئ َِر ٱهَّلل ِ َواَل ٱل َّشه َْر ْٱل َح َرا َم َواَل ْٱل َه ْد‬ ۟ ُّ‫وا اَل ُت ِحل‬ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬
۟ ‫ِين َءا َم ُن‬
‫ص ُّدو ُك ْم َع ِن‬ َ ‫وا ۚ َواَل َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنٔـََٔانُ َق ْو ٍم أَن‬ ۟ ‫ٱص َطا ُد‬ ْ ‫ض ٰ َو ًنا ۚ َوإِ َذا َحلَ ْل ُت ْم َف‬ْ ‫ون َفضْ اًل مِّن رَّ ب ِِّه ْم َو ِر‬ َ ‫َي ْب َت ُغ‬
۟ ُ‫وا َعلَى ٱإْل ْثم َو ْٱل ُع ْد ٰ َو ِن ۚ َوٱ َّتق‬
ۖ َ ‫وا ٱهَّلل‬ ۟ ‫وا َعلَى ْٱل ِبرِّ َوٱل َّت ْق َو ٰى ۖ َواَل َت َع َاو ُن‬ ۟ ‫ْٱل َمسْ ِج ِد ْٱل َح َرام أَن َتعْ َت ُد‬
۟ ‫وا ۘ َو َت َع َاو ُن‬
ِ ِ ِ
‫ب‬ِ ‫إِنَّ ٱهَّلل َ َشدِي ُد ْٱل ِع َقا‬

Referensi: https://tafsirweb.com/1886-quran-surat-al-maidah-ayat-
2.html

Anda mungkin juga menyukai