Bab 1
Pendahuluan
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus
berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang
bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan
bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang
diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah .Karena di
dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.
1.2 Rumusan masalah
Yang dimuat dalam rumusan masalah yakni sejumlah masalah yang dirumuskan yang
diawali dengan kata ganti tanya dan diakhiri dengan tanda tanya. Serta mengacu pada
judul penelitian. Adapun yang menjadi masalah dalam karya tulis ini yaitu:
1. Apa pengertian Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah?
2. Apa hukum Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah beserta landasan hukumnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan pembatan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengertian Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah dan mengetahui hukum-hukumnya
atau mengetahui semua yang berkaitan dengan Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah.
Bab 2
Pembahasan
A. Musaqah
1. Pengertian
Al musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang
menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi
imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan
sebidang tanah, kepada seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut
(seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian
yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk
pemiliknya.
2. Dalil
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma:
ٍ ْصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم َل أَ ْه َل خَ ْيبَ َر َعلَى َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا ِم ْن ثَ َم ٍر أَوْ زَ ر
ع َ ِأَ َّن َرسُو َل هللا.
َر ْك ُك ْم فِيffصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْق ِس ْم بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ إِ ْخ َوانِنَا النَّ ِخي َل قَا َل الَ فَقَالُوا تَ ْكفُونَا ْال َمئُونَةَ َون َْش َ ت َْاألَ ْن
َ :صا ُر لِلنَّبِ ِّي ِ َقَال
َس ِم ْعنَا َوأَطَ ْعنَا:الثَّ َم َر ِة قَالُوا.
3. Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
b. Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan
tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta
mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
4. Hukum
Hukum Musaqah:
1) Hukum musaqah sahih
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a) Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada
penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua,
b) Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan,
c) Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa,
d) Akad adalah lazim dari kedua belah pihak,
e) Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur,
f) Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
g) Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di
izinkan oleh pemilik.
2) Hukum musaqah fasid
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a) Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad,
b) Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad,
c) Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan,
d) Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap,
e) Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian,
f) Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis wakt akad,
g) Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan,
h) Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.
5. Syarat
Syarat-syarat musaqah:
1) Ahli dalam akad
2) Menjelaskan bagian penggarap
3) Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari
hasil panen merupakan hasil bersama.
4) Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5) Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
6. Rukun
Rukun musaqah adalah
1) Shigat,
2) Dua orang yang akad (al-aqidain),
3) Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah),
4) Masa kerja, dan
5) Buah.
7. Macam-macam
Musaqah ada 2 macam, yaitu :
1. Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik
tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar
tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik.
2. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja,
tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban
mencarikan jalan air, baik dengan menggali sumur, membuat parit, bendungan,
ataupun usaha-usaha yang lain.
8. Hikmah
1.Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi
segala kekurangan dan kebutuhan.
2.Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3.Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan
akan tumbuh subur karena dirawat.
B. Muzara’ah dan Mukhabarah
1. Pengertian
Menurut etimologi, muzara,ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a”
artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti
tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:
a. Ulama Malikiyah; “Perkongsian dalam bercocok tanam”
b.Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam
atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.
c. Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti
mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan
mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama
yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu
Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan:
usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah merupakan asal dari ijarah
(mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak
sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian
dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan
keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila tanaman tersebut membuahkan
hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka
mereka menanggung kerugian bersama.
2. Dalil
Dalil Muzara’ah
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
جرخيامرطشبربيخلهألماعملسوهيلعللهالصىبنالنأرمعنبإنع
34عرزوأمثنماهنم
Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada
orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan
mengambil sebagian dari hasilnya”.
Dalil Mukhabarah
ْ ض َعلَى اَ َّن لَنَا هَ ِذ ِه فَ ُربَ َما أَ ْخ َر َج
ِذ ِهffَت هَ ِذ ِه َولَ ْم تُ ْخ ِرجْ ه َ ْار َح ْقالً فَ ُكنَّا نُ ْك ِرىاْالَر
ِ صَ ْج قَا َل ُكنَّااَ ْكثَ َر ْاالَ ْن
ِ ع َْن َرافِ ِع ْب ِن خَ ِدي
َفَنَهَانَاع َْن َذلِكArtinya:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah
untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan
yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan
dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
ٍ ْصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم َل أَ ْه َل َخ ْيبَ َر بِشَرْ ِط َمايَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا ِم ْن ثَ َم ٍر اَوْ زَر
)ع (رومسلم َ ع َْن اِ ْب ِن ُع َم َراَ َّن النَّبِ ِّي
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim)
3. Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan
muzara’ah adalah:
a. Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah
adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah
untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan
yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan
dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nuslim dari Ibnu Abbas r.a.
“Sesungguhnya Nabi Saw. menyatakan, tidak mengharamkan muzara’ah, bahkan
beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan
katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau
diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja
tanah itu
c. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
d. Imam Al-Bukhari berkata, Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, Ia
berkata, tidaklah di Madinah ada penghuni rumah hijrah kecuali mereka bercocok
tanam dengan memperoleh sepertiga atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad
bin Malik,’Abdullah bin Mas’ud ,’Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Urwah ,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin melakukan
Muzaraah (HR.Bukhari).
e. Imam Ibnul Qayyim berkata : kisah Khaibar merupakan dalil kebolehan Muzara’ah
dan Mukhabarah, dengan membagi hasil yang diperoleh antar pemilik dan pekerjanya,
baik berupa buah buahan maupun tanaman lainnya. Raulullah sendiri bekerja sama
dengan orang-orang Khaibar dalam hal ini. Kerja sama tersebut berlangsung hingga
menjelang wafat Beliau, serta tidak ada nasakh yang menghapus hukum tersebut. Para
Khulafaur rasyidin juga melakukan kerja sama tersebut. Dan ini tidak termasuk dalam
jenis mu’ajarah (mengupah orang untuk bekerja) akan tetapi termasuk dalam
musyarakah (kongsi/kerjasama), dan ini sama seperti bagi hasil.
4. Hukum
Hukum muzara’ah dan mukhabarah
1) Hukum muzara’ah dan mukhabarah sahih
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
a) Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
b) Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
c) Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
d) Menyiram atau menjaga tanaman.
e) Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah
ditetapkan.
f) Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap
tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
2) Hukum Muzara’ah fasid
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah fasid adalah:
a) Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
b) Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
c) Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya
5. Syarat
Syarat Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja
atau bagian pemilik tanahdan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh
dari tanah tersebutseperti sepertiga, seperempat atau lebih dari hasilnya.
6. Rukun
Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah
Jumhur ulama’ yang membolehkan akad Muzara’ah menetapkan rukun yang harus
dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Ijab qabul (akad)
b. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
c. Adanya obyek (ma’qud ilaih)
d. Harus ada ketentuan bagi hasil.4152
Dalam akad Muzara’ah apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka pelaksanaan
akad Muzara’ah tersebut batal.
Rukun-rukun dalam Akad Mukhabarah
1. Akad mukhabarah diperbolehkan,berdasarkan hadist Nabi SAW: ﻋﻦﺍﺑﻦﻋﻤﺮﺍﻥﺍﻟﻨﺒﻲﺹْ ْﻡ
)(ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻣﺎﻳﺤﺮجﻣﻨﻬﺎﻣﻦﺛﻤﺮﺃﻭﺯﺭع ﻋﻤﻞﺍﻫﻞﺣﻴﺒﺮﺑﺸﺮﻃ: “Sesungguhnya Nabi telah
menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan diperlihara,dengan
perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.”(HR.Muslim dari Ibnu Umar
ra.)
2. Adapun rukun mukhabarah menurut pendapat umum antara lain: Pemilik dan
penggarap sawah / ladang. Sawah / ladang Jenis pekerjaan yang harus dilakukan
Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah) Akad (sighat)
7. Macam-macam
Macam-Macam Muzara’ah
Ada empat 4 macam bentuk Muzara’ah.
1. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak sedangkan pihak lainnya menyediakan alat
juga melakukan pekerjaan. Pada jenis yang pertama ini hukumnya diperbolehkan.
Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dan benih berasal dari
pemilik tanah, sedangkan alatnya berasal dari penggarap .
2. Tanah disediakan satu pihak, sedangkan alat, bibit, dan pekerjaannya disediakan
oleh pihak lain. Hukum pada jenis yang kedua ini juga diperbolehkan. Disini
penggarap sebagai penyewa akan mendapatkan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
3. Tanah, alat, dan bibit disediakan pemilik, sedang tenaga dari pihak penggarap.
Bentuk ketiga ini hukumnya juga diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai
penyewa terhadap penggarap dengan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
4. Tanah dan alat disediakan oleh pemilik, sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak
penggarap. Pada bentuk yang keempat ini menurut, Zhahir riwayat, muzara’ah
menjadi fasid. Ini dikarenakan misal akad yang dilakukan sebagai menyewa tanah
maka alat dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, ini
disebabkan alat tidak mungkin mengikuti kepada tanah karena ada bedanya manfaat.
Sebaliknya, jika akad yang terjadi menyewa tenaga penggarap maka bibit harus
berasal dari penggarap yang mana akan menyebabkan ijarah menjadi fasid, ini
disebabkan bibit tidak mengikuti penggarap melainkan kepada pemilik.
8. Hikmah
Muzara’ah
Adapun manfaat yang lainnya,antara lain: Terwujudnya kerjasama yang saling
menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani dan penggarap Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Tertanggulanginya kemiskinan Terbukanya lapangan
pekerjaan,terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak
memiliki tanah garapan.
Mukhabarah
Dalam MUKHABARAH, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah
hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya. Jika benih berasal dari kdeuanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya
jika sudah mencapai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Adapun hikmah Mukhabarah antara lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan
petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan
bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
Bab 3
Kesimpulan
1. Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang
dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
2. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang
dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
3. Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan
menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam
jumlah tertentu
4. Dasar hukum yang dijadikan landasan Muzara’ah, mukhabarah dan musaqah
adalah hadits dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun
kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
5. Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah maupun musaqah ini ditentukan
kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan hendaknya bagian tersebut
adalah hasil yang diperoleh dari tanah/buah tersebut seperti sepertiga, seperempat
atau lebih dari hasilnya.
6. Ada perbedaan pendapat mengenai hukum dari muzaraah dan mukhabarah di
kalangan ulama’ salaf, ada yang mengatakan muamalah ini haram dan ada yang
membolehkannya dikarenakan perbedaan pemahaman hadits Nabi Muhammad SAW.
7. Hukum dari muzaraah, mukhabarah dan musaqah ada yang bersifat sahih yaitu
akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara’ dan ada yang bersifat
fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
syara’.
Daftar Pustaka
http://himawanyw.blogspot.com/2011/10/pengertian-muzaraah-dilihat-dari-segi.html
Adzim , Abdul bin Badawi. 2007. Al-Wajiz. diterjemahkan oleh Team Tasyfiyah,
Bogor: Pustaka Ibnu Katsir
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari, diterjemehkan oleh Abdul Hayyik Al-
Kattani dkk. Jakarta: Gema Insan
Ad-Dzibbi , Ahmad bin Muhammad. 2004. Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’I. Beirut:
Dar Kutub Al-‘Ilmiayah
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. diterjemahkan oleh Abu Usamah Fatkhur
Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam
Ayo Belajar Fiqih Muamalah, http://echyli2n.blogspot.com/fiqih-muamalah-musaqah/
akses: tanggal 6 maret 2009
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/3/jtptiain-gdl-s1-2005-istiqomah2-
122-bab+II+2-6.pdf
http://jawharie.blogspot.com/2012/02/konsep-masaqah-muzaraah-mukhabarah-
dan.html
MUAMALAH
GHASAB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang terkadang membutuhkan orang lain, karena itulah manusia disebut
makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia biasanya saling
berinteraksi,saling melindungi, mengadakan hubungan timbal balik antara satu
dengan yang lain, tolong menolong dan lain-lain. Namun hal tersebut tentu ada
peraturannya atau biasa disebut tatakrama. Dalam agama islam, tentu peraturan-
peraturan tersebut harus bersumber dari Al-Qur’an dan hadist. Misalnya orang yang
melakukan perbuatan dosa akan mendapat hukuman didunia maupun di akhirat
seperti, orang yang mencuri pada zaman nabi Muhammad saw ,orang yang
melakukan pencurian akan dipotong tangannya sampai ruas pergelangan tangan.
Adapun hukum di akhirat akan disiksa di neraka. Akan tetapi bagaimana kalau
meminjam tanpa sepengetahuan pemiliknya. Apakah hal tersebut dikategorikan
sebagai tindakan pencurian atau sekedar pinjam meminjam dan apakah hukumnya
haram,halal,atau mubah? Mendapat dosakah ? Tentu hal itu akan menjadi pertanyaan
sebagian orang. Belajar dari Sayyidina Umar ra beliau berpesan, perhitungkan dirimu
sendiri sebelum engkau semua diperhitungkan amalanmu (oleh Allah swt.) dan
timbanglah dirimu (berapa yang baik dan berapa yang buruk dari amalan yang
dilakukan itu) sebelum engkau semua diperhitungkan.Peringatan Sayyidina Umar ra
ini, penting agar setiap orang, siapapun mereka, selalu membuat perhitungan, dan
keyakinan, bahwasannya Allah swt. Itu senantiasa meneliti segala amalan manusia.
Menurut sebagian ulama, tindakan di atas dinamakan ghasab. Mungkin dikalangan
luar istilah ghasab sangat asing, tapi kalau dikalangan para santri sudah sangat
familiar malah kerap dilakukan. Ghasab inilah yang diartikan meminjam tanpa ijin.
Pernah terbesit dalam pikiran kita apakah kita sudah pernah berghasab ?
BAB II
ISI
A. Pengertian
Kata Ghasab menurut bahasa mempunyai makna mengambil sesuatu secara paksa dan
terang terangan, sedangkan menurut syara' Ghasab ialah menguasai hak orang lain
dengan jalan aniaya atau memanfaatkan atau menggunakan hak orang lain tanpa seijin
pemiliknya. . Ghasab tidak terbatas pada perkara yang berupa harta benda, tetapi juga
hal - hal yang berupa kemanfaatan, seperti : menyuruh berdiri orang yang sedang
duduk di masjid, duduk diatas alas (karpet, permadani) orang lain sekalipun tidak
digeser ketempat lain , mengusir orang dari rumahnya sendiri sekalipun tidak
dimasukinya dan lain.
Sedangkan menurut ulama, ghasab mendefisinisikan sebagai berikut:
Mazhab Hanafi : mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang
tersebut berpindah tangan dari pemiliknya
Ulama Mazhab Maliki : mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan
dalam arti merampok)
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali : penguasaan terhadap harta orang lain secara
sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Dari perbedaan definisi diatas dapat dicontohkan sebagai berikut :
a. Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
1. Imam Hanafi dan Abu Yusuf : ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang
bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak tidak mungkin terjadi ghasab.
Seperti rumah dan tanah
2. Jumhur Ulama : ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak.
Karena yang penting adlah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-
wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab
tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun
secara manfaat.
“ Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh
orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud
dari Urwah bin Zubair)
Ghasab adalah kezhaliman dan pelanggaran terhadap hak orang lain, maka pelakunya
harus bertaubat kepada Allah, karena tangan ghasib adalah tangan pelanggar maka di
samping bertaubat dia harus:
1- Mengembalikan tanah yang dighasab, bila tanah masih utuh seperti sediakala maka
dia mengembalikannya, bila rusak maka dia memperbaikinya dan bila sudah tidak ada
maka dia mengganti sepertinya atau dengan harganya.
2- Meminta maaf kepada pemilik hak, karena dia telah melanggar haknya agar bebas
dari tuntutan darinya di akhirat.
3- Bila ghasib telah mendirikan bangunan atau menanam pohon di tanah yang
dighasab, maka dia harus merobohkan bangunan dan mencabut pohon bila pemiliknya
menuntut itu.
5- Bila nilai harga tanah yang dighasab berkurang selama ia ada di tangan ghasib
maka ghasib bertanggung jawab atasnya.
6- Ghasib juga harus membayar harga sewa tanah kepada pemiliknya, karena dia telah
menghalangi pemiliknya untuk mengambil manfaat darinya.
Intinya semua tindakan ghasib terhadap barang yang dighasab adalah illegal secara
hukum, karena pemiliknya tidak mengizinkannya, maka siapa yang mengetahui tidak
boleh berakad dengannya melalui jual beli atau sewa menyewa atau yang sepertinya,
bila dia tetap melakukan maka dia bertanggung jawab.
Tindak Perusakan
Haram melanggar hak kepemilikan orang lain dengan mengambil atau merusaknya.
(1) Pihak yang melakukan perusakan tanah orang lain, wajib mengganti kerugian.
(2) Pemilik berhak menuntut ganti rugi kepada perusak tanah miliknya.
(3) Barang siapa yang merusak tanah milik orang lain, maka ia harus mengganti
kerugian walaupun tidak sengaja.
(4) Jika perusakan merusak keseluruhannya, maka ia harus mengganti seluruh harga
tanah itu.
(5) Jika perusakan tidak merusak keseluruhannya, maka ia harus mengganti senilai
yang dirusaknya.
(6) Seseorang yang melakukan sesuatu yang mengakibatkan penyusutan nilai harta
milik orang lain, ia harus mengganti kerugian.
Konsekuensi yang harus dilakukan orang yang ghasab, ketika barang yang dighasab
berpindah ke tangan orang lain (orang ketiga), kemudian benda itu hilang di tangan
orang ketiga itu. Ada dua pembahasan,
1. Menuntut ganti rugi
2. Siapa yang menanggung ganti rugi
Untuk yang pertama, menuntut ganti rugi, aturannya, pemilik barang boleh menuntut
ghasib atau pihak ketiga
Untuk yang kedua, siapa yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi?
Jawabannya: Ghasib yang bertanggung jawab. Kecuali dalam dua keadaan,
1]. Pihak ketiga mengetahui bahwa barang itu hasil ghasab
2]. Pihak ketiga menanggung semua kerugian harta.
BAB III
KESIMPULAN
Pengharaman ghashab, karena itu merupakan kedzaliman yang juga diharamkan
Allah atas diri-Nya dan dijadikan-Nya sebagai sesuatu yang haram di antara kita.
Kedzaliman itu haram dalam masalah yang sedikit atau banyak. Inilah faidah
disebutkannya satu jengkal.
Benda-benda yang tidak bergerak bisa dianggap dighashab dengan cara
menguasainya. Menurut Al-Qurtuby : “dari hadits yang disebutkan bahwa dapat
disimpulkan tentang kemungkinan masuknya meng-ghashab tanah dalam dosa-dosa
besar”.[10]
Hak milik yang lahir ialah tanah dan hak milik batinnya adalah bagian dalam
tanah. Sehingga seseorang tidak boleh melubangi bagian dalam tanah di bawah
permukaan tanah, atau membuat lorong dan terowongan kecuali dengan ijinnya.
Pemilik tanah atau pemilik apapun yang terpendam dalam tanah itu, seperti batu-
batuan dan barang tambang sehingga dia berhak untuk menggali sesukanya. Para
ulama juga mengatakan bahwa udara juga mengikuti ketetapan. Siapa yang memiliki
sebidang tanah, maka dia juga memiliki apa yang ada diatasnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://triyokopambudi.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
2.http://www.siswa.tintaguru.com/2014/01/ghasab-meminjam-tanpa-ijintugas-9a.html
3.http://saidhudrihasibuan.blogspot.com/2011/12/makalah-ghasab.html
http://www.alsofwah.or.id/cetakfiqih.php?id=306
http://pengusahamuslim.com/14-catatan-tentang-ghashab/#.VIMul2cwZ8c
https://www.scribd.com/doc/124438364/Makalah-Fiqih-II-Neng-Siti.html
MUZARA’AH
TUGAS INI DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIYAH
FIQIH
Dosen Pembimbing:
DRS. H. ATHOR SUBROTO S.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ”MIFTAHUL ‘ULA”
(STAIM)
NGLAWAK-KERTOSONO-NGANJUK
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Segenap keluarga dan para sahabat
beliau, terlimah pula kepada segenap kaum muslimin dan muslimat selaku umat
beliau.
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat semester ganjil tahun ajaran
2016–2017 jurusan PGMI STAIM NGLAWAK KERTOSONO , penulis telah
berhasil menyusun Makalah “MUZARA’AH”.
Kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis mengucapkan terimakasih
terutama kepada :
1. Bapak Drs. H.Athor Subroto., Spd.I.., selaku dosen pengampu mata
kuliah PGMI STAIM NGLAWAK
2. Bapak/Ibu Dosen dan karyawan STAIM NGLAWAK
3. Teman-teman mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam semester 2 Tahun
Akademik 2016 -2017
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, untuk itu segala kritik
dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi
perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat dalam meningkatkan
kualitas pembelajara Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah.
NGANJUK 10 SEPTEMBER
2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara agraris karena wilayah daratan Indonesia yang sangat
luas dan suburnya sebagian besar tanah di Indonesia, sehingga tentunya banyak dari
warga Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani.
Tetapi kenyataannya tidak semua warga Indonesia atau lebih spesifiknya orang yang
mempunyai lahan pertanian bisa menggunakan dan memanfaatkan lahan bercocok
tanam yang mereka miliki. Sebaliknya banyak juga diantara warga Indonesia yang
mempunyai kemampuan, keahlian dan potensi untuk menggarap sawah dengan baik
yang tersia-siakan dikarenakan tidak adanya lahan yang mereka punyai. Maka dari itu
timbullah suatu sistem saling untung antara pemilik lahan dengan orang yang diserahi
amanah untuk menggarap lahannya, dengan sistem bagi hasil yang sesuai dengan
kesepakatan diantara mereka.
Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran
islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas. Dan kita mengetahui manfaatnya yang
besar bagi kedua pihak, kedua pihak mendapatkan keuntungan dari kerjasama ini.
Menggarap tanah dalam ajaran islam dikenal dengan istilah muzara’ah.
Muzara’ah ialah seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami
dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut. (misalnya sepertiganya atau
separuhnya). Tetapi ada sebagian ulama yang melarang perbuatan ini dan ada pula
yang menghuykumkan makruh pada permasalahan ini. Untuk itu akan saya jelaskan
mengenai persoalan ini pada makalah saya ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian muzara’ah?
2. Bagaimana dasar hukum muzara’ah?
3. Apa rukun dan syarat muzara’ah?
4. Bagaimana zakat yang dikeluarkan dalam kerjasama muzara’ah?
5. Apa hikmah dari bermuzara’ah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian muzara’ah
2. Untuk mengetahui dasar hukum muzara’ah,
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat muzara’ah
4. Untuk mengetahui pengeluaran zakat dalam muzara’ah
5. Untuk mengetahui hikmah bermuzara’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muzara’ah
Secara etimologis muzara’ah ( )المزارعةadalah wajan ()مفاعلة dari kata الزرع yang
sama artinya dengan اتffاالنب ( menumbuhkan ). Muzara’ah yaitu kerjasama paroan
sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih antara pemilik tanah dengan petani
penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.[1] Menurut istilah muzara’ah
didfinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah, Muzara’ah ialah :
عقد على الزرع ببعض الخارج من االرض
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”
2. Menurut Hanabilah, Muzara’ah ialah :
دفع االرض الى من يزرعها او يعمل عليها والزرع بينهما
“ Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya,
sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi diantara keduanya.”
3. Menurut Syaikh Ibrahim al- Bajuri, Muzara’ah ialah :
عمل عامل فى االرض ببعض ما يخرج منها و البذر من المالك
“ Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal
dari pemilik tanah.”
F. Hikmah Muzara’ah
Hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah :
1. Saling tolong menolong ( ta’awun), dimana antara pemilik tanah dengan petani
penggarap saling menguntungkan
2. Tidak terjadi adanya kemubaziran, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh
orang yang membutuhkan, begitupu pemilik tanah merasa diuntungkan karena
tanahnya tergarap.
3. Meimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan
petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.
2. Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah tetapi harus memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditentukan
3. Rukun muzara’ah adalah pemilik tanah, petani penggarap,objek muzara’ah, ijab
dan qabul
4. Hikmah bermuzara’a diantaranya ; saling tolong menolong (taawun), tidak
terjadi adanya kemubaziran, dan menimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.
B. Saran
Demikian pembahasan yang kami sampaikan. Harapan kami, dengan adanya
tulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita,semoga bermanfaat
bagi para pembaca dan sudilah memberi motivasi, kritik, saran yang selalu penulis
nantikan untuk membebani karya-karya tulis yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
و
َ
ٰ
ى
َ
التَـّـَّق
ِْْ
بربر
ِِِّّّ
و
َ
ل
َى ال
َ
ُن
وا ع
َ
ع
َ
او
تـ
ِ
و
◌
َ
ْ
ع
ُ
ْ
د
و
َ
ان
ال
َ
ِ
ْ
مثثم
ِ
و
َ
ل
َ
ْ
ى اإلإل
َ
ُن
وا ع
َ
ع
َ
او
ُ
وا الَلـَّّه
َ
و
◌
َ
َ
الال
تـ
إ
َََّّّ ِ
ن الَلَّـّه
َ
و
◌
َ
اتَـّـَّق
ْ
ع
ِ
ق
َ
ِ
اب
ُ
ال
ش.
د
ِ
يد
َ
8
Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.(Q.S. al-Māidah: 2).
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba
hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan
baik dan meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong
ٓ
ْت ْٱل َح َرا َم َ ى َواَل ْٱل َق ٰلَئِدَ َوٓاَل َءٓام
َ ِّين ْٱل َبي َ وا َش ٰ َٓعئ َِر ٱهَّلل ِ َواَل ٱل َّشه َْر ْٱل َح َرا َم َواَل ْٱل َه ْد ۟ ُّوا اَل ُت ِحل َ ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ
۟ ِين َءا َم ُن
ص ُّدو ُك ْم َع ِن َ وا ۚ َواَل َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنٔـََٔانُ َق ْو ٍم أَن ۟ ٱص َطا ُد ْ ض ٰ َو ًنا ۚ َوإِ َذا َحلَ ْل ُت ْم َفْ ون َفضْ اًل مِّن رَّ ب ِِّه ْم َو ِر َ َي ْب َت ُغ
۟ ُوا َعلَى ٱإْل ْثم َو ْٱل ُع ْد ٰ َو ِن ۚ َوٱ َّتق
ۖ َ وا ٱهَّلل ۟ وا َعلَى ْٱل ِبرِّ َوٱل َّت ْق َو ٰى ۖ َواَل َت َع َاو ُن ۟ ْٱل َمسْ ِج ِد ْٱل َح َرام أَن َتعْ َت ُد
۟ وا ۘ َو َت َع َاو ُن
ِ ِ ِ
بِ إِنَّ ٱهَّلل َ َشدِي ُد ْٱل ِع َقا
Referensi: https://tafsirweb.com/1886-quran-surat-al-maidah-ayat-
2.html