ABSTRAK
Resistensi antibiotik menimbulkan tantangan yang signifikan bagi industri akuakultur, sehingga
memerlukan eksplorasi strategi alternatif untuk mengendalikan infeksi bakteri patogen pada
ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi suplementasi jahe dalam pakan ikan
sebagai cara untuk memerangi resistensi antibiotik dan meningkatkan resistensi penyakit. Jahe
merupakan tanaman obat yang dikenal luas, memiliki beberapa senyawa bioaktif dengan sifat
antimikroba. Senyawa-senyawa ini, seperti gingerol dan shogaol, telah menunjukkan aktivitas
antibakteri terhadap spektrum bakteri patogen yang luas, termasuk yang biasa ditemukan di
lingkungan budidaya perikanan. Penelitian telah menunjukkan bahwa suplementasi jahe ke
dalam pakan ikan dapat meningkatkan respon imun ikan, sehingga meningkatkan ketahanan
terhadap penyakit. Senyawa bioaktif dalam jahe merangsang produksi peptida antimikroba,
meningkatkan aktivitas fagositik sel kekebalan, dan memodulasi ekspresi gen terkait kekebalan.
Senyawa bioaktif jahe menunjukkan kemungkinan resistensi bakteri yang lebih rendah
dibandingkan dengan antibiotik konvensional, sehingga menjadikannya solusi yang menjanjikan
untuk pengelolaan penyakit berkelanjutan. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa
suplementasi jahe dalam pakan ikan mempunyai potensi besar untuk mengurangi infeksi bakteri
patogen di lingkungan budidaya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengoptimalkan dosis,
mengevaluasi efek jangka panjang, dan menilai kemanjurannya pada spesies ikan dan kondisi
lingkungan yang berbeda. Dengan pertimbangan dan penerapan yang cermat, suplementasi jahe
dapat menjadi tambahan yang berharga bagi praktik budidaya perikanan berkelanjutan,
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan populasi ikan sekaligus memerangi resistensi
antibiotik.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor unggulan. Di Indonesia sektor perikanan
telah memberikan kontribusi besar pada perekonomian sebagai sumber penghasilan, penyedia
lapangan pekerjaan, dan ketahanan pangan. Indonesia juga salah satu penghasil ikan terbesar
kedua di dunia. Produksi perikanan pada tahun 2022 adalah sebesar 5,89 juta ton, yang terdiri
dari produksi perikanan tangkap sebesar 1,90 juta ton dan perikanan budidaya sebesar 3,99 juta
ton dengan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia pada tahun 2022 sebesar 1.530 juta USD. Dari
sektor perikanan budidaya komoditas ikan yang diproduksi adalah ikan nila (358 ribu ton), lele
(343 ribu ton), bandeng (243 ribu ton), udang (193 ribu ton), mas (170 ribu ton), patin (161 ribu
ton), gurame (48 ribu ton), dan lainnya (248 ribu ton) (KKP, 2022). Perikanan budidaya ini
sangat potensial dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Akan tetapi dalam proses
budidaya perikanan sering terjadi kendala terutama dalam hal kesehatan ikan. Dalam budidaya
perikanan masalah kesehatan ikan merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan.
Tingginya angka kematian, stress pada ikan, penurunan sistem kekebalan tubuh, kelangsungan
hidup yang rendah, dan serangan penyakit adalah kendala dalam proses budidaya (Sahu et al.,
2005: Fawole et al., 2016).
Ikan yang terserang penyakit dapat menyebabkan kegagalan dalam proses budidaya.
Ikan dapat terserang mikroorganisme patogen yang hidup di lingkungan perairan. Tingginya
kepadatan, kualitas air yang buruk menyebabkan perubahan fisiologis pada organisme, stres, dan
penekanan sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan sensitivitas ikan terhadap infeksi
(Quesada et al. 2013). Untuk mencegah kerugian yang besar akibat penyakit ikan, berbagai
macam obat digunakan untuk pencegahan dan pengobatan. Bahan ini sering digunakan sebagai
bahan tambahan pada pakan ikan untuk mendorong pertumbuhan, dapat berupa bentuk rendaman
atau suntikan (Rico et al. 2013). Pembudidaya kerap menggunakan antibiotik sintetik untuk
mengendalikan patogen, mengurangi stres, meningkatkan kekebalan tubuh, dan meningkatkan
ketahanan ikan terhadap penyakit (Dügenci,2003; Dawood 2018). Akan tetapi penggunaan terus
menerus antibiotik ini pada budidaya telah mengakibatkan efek residu dan risiko resistivitas
terhadap ternak serta pada kesehatan manusia. Untuk mengatasi hal ini penggunaan tanaman
obat herbal bisa menjadi alternatif sebagai suplemen pakan dalam budidaya perikanan dalam
mengurangi serangan infeksi penyakit dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh ikan
(Fawole et al., 2020). Penggunaan bahan tambahan pakan alternatif alami seperti jahe dapat
menjadi strategi pengendalian penyakit dalam budidaya perairan karena jahe dapat meningkatkan
ketahanan terhadap penyakit menular dengan meningkatkan mekanisme kekebalan non-spesifik
dan spesifik (Harikrishnan et al., 2011).
Jahe (Zingiber officinalis, Roscoe) sebagai obat herbal mengandung berbagai kandungan
kimia, termasuk senyawa fenolik, terpen, polisakarida, lipid, asam organik, dan serat; manfaat
jahe bagi kesehatan terutama disebabkan oleh senyawa fenoliknya, seperti gingerol dan shogaol
(Mao et al., 2019). Jahe juga telah banyak diteliti karena antioksidannya, antibakteri, antiparasit,
antiinflamasi, imunostimulator, dan sebagai growth promotor (Oh et al., 2022a). Manfaat jahe
bubuk, minyak esensial jahe, dan ekstrak jahe sebagai suplemen diet untuk ikan telah dilaporkan
memberikan efek positif. Diet bubuk jahe pada pakan ikan mas (Cyprinus carpio) dapat
meningkatkan kinerja pertumbuhan (peningkatan yang signifikan pada berat akhir, pertambahan
berat badan, laju pertumbuhan spesifik (SGR) dan rasio konversi pakan (FCR)), dan
meningkatkan kesehatan ikan (Jafarinejad et al., 2020). Suplementasi bubuk jahe secara
signifikan mempengaruhi ketahanan ikan nila tilapia (Oreochromis niloticus) terhadap infeksi
Aeromonas hydrophila (Payung et al., 2017). Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa
diet jahe dapat menjadi growth promotor, meningkatkan respon imun non-spesifik, tingkat
kelangsungan hidup, status fisiologis, ketahanan terhadap penyakit bakteri (Abdelrazak et
al.,2017;Sebai et al., 2018).
PEMBAHASAN
Jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun
berbatang semu. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (zingiberaceae), satu famili dangan
Temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Cucuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma
aeruginosa), kunyit, (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Languas
galanga), dan lain-lain. Jahe adalah tanaman yang dapat hidup di iklim tropis basah, jahe banyak
ditanam di Asia, Afrika, India, Jamaika, Meksiko, dan Hawaii (Ghayur, 2005) . Jahe merupakan
rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
bidang kesehatan. Tanaman jahe merupakan tanaman herba abadi dengan akar serabut, termasuk
dalam kelas monokotil. Jahe dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 10 hingga 1500 mdpl,
kecuali jahe gajah yang tumbuh pada ketinggian antara 500 hingga 950 mdpl. Suhu optimal
yang diperlukan untuk pertumbuhan jahe adalah 25–30°C (Januwati dan Herry, 1997). Jahe
dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Morfologi jahe secara umum terdiri dari akar, batang,
daun, bunga, dan buah. Batang jahe adalah batang semu dengan tinggi 30-100 cm. Akar jahe
berbentuk rimpang dengan daging akar berwarna kuning sampai kemerahan dengan bau yang
menyengat. Daun jahe menyirip dengan panjang 15-23 mm dan lebar 8-15 mm.
Berdasarkan ukuran, warna, dan bentuk rimpangnya, ada tiga jenis jahe yang dikenal, yaitu:
Jahe Gajah (Zingiber resmi var. Roscoe), Jahe Putih, Jahe Emprit (Zingiber officinale var.
Amarum) atau Jahe Putih kecil dan Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum) atau Jahe
Sunti. Jahe yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Jahe Gajah, Jahe Merah, dan Jahe
Emprit (Utami et al., 2022). Jahe emprit atau disebut dengan jahe putih kecil merupakan salah
satu jenis jahe yang digunakan sebagai bahan baku minuman, bumbu makanan dan penyedap
makanan. Bentuknya agak pipih, warnanya putih, seratnya lembut, dan aromanya kurang tajam
(Fathona, 2011). Jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) mempunyai struktur rimpang jahe
merah, berlapis-lapis kecil dan daging rimpangnya berwarna kuning kemerahan, ukurannya lebih
kecil dari jahe kecil, berbutir kasar serat. Rasanya pedas dan aromanya sangat tajam (Setyawan,
2015). Varietas jahe gajah banyak ditanam beredar di masyarakat dan dikenal dengan sebutan
(Zingiber officinale var officinarum). Ukuran rimpang lebih besar dan lebih gemuk dibandingkan
jenis jahe lainnya; bila diiris, rimpangnya yang berwarna putih akan mengembang. Jahe jenis ini
dapat dikonsumsi baik pada usia muda maupun tua, baik sebagai jahe segar maupun olahan jahe
(Putri, 2014). Klasifikasi tumbuhan kunyit (Zingiber officinale Rosc) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Rosc. (Http://www.gbif.org.2019).
Rimpang jahe ditemukan memiliki aktivitas biologis seperti aktivitas antioksidan, anti-
inflamasi, antimikroba, antiobesitas, antidiabetes, antimual, antiemetik, efek penurun lipid,
kardioprotektif, efek stimulan pencernaan dan antikanker (Srinivasan, 2017;Mao et al., 2019).
Kandungan kimia rimpang jahe adalah 60–70% karbohidrat, 3–8% kasar serat, 9% protein, 8%
abu, 3–6% minyak lemak, dan 2–3% minyak atsiri (Srinivasan, 2017). Jahe kaya akan bahan
aktif, seperti senyawa fenolik dan terpen (Prasad dan Tyagi, 2015). Senyawa fenolik pada jahe
adalah gingerol, shogaol, dan paradol. Dalam jahe segar, Gingerol adalah polifenol utama,
seperti 6-gingerol, 8-gingerol, dan 10-gingerol. Ada juga banyak senyawa fenolik lainnya di
dalamnya jahe, seperti quercetin, zingerone, gingerenone-A, dan 6-dehydrogingerdione (Ji et al.,
2017; Schadich et al., 2016). Ada beberapa senyawa terpen dalam jahe, seperti β-bisabolene, α-
curcumene, zingiberene, α-farnesene, dan β-sesquiphellandrene, yang dianggap sebagai unsur
utama pada minyak atsiri jahe (Yeh et al., 2014) . Selain itu, polisakarida, lipid, asam organik,
dan serat mentah juga ada dalam jahe (Prasad dan Tyagi, 2015). Kandungan metabolit sekunder
yang terdapat pada tanaman rimpang jahe merupakan antimikroba golongan fenol, flavonoid,
terpenoid, dan minyak atsiri yang terdapat pada ekstrak jahe dan merupakan kelompok senyawa
bioaktif yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Flavonoid merupakan salah satu
senyawa golongan fenol alami terbesar yang memiliki berbagai aktivitas farmakologi, salah
satunya sebagai antibakteri (Arifin et al., 2018).
Senyawa aktif pada jahe yang memiliki aktivitas antibakteri adalah senyawa gingerol dan
shogaol dari gugus fenolik. Senyawa ini merusak membran dan dinding sel sehingga terjadi
perubahan permeabilitas dan pelepasan unsur intraseluler seperti ribosa dan Na-glutamat. Namun
senyawa ini juga mempengaruhi fungsi membran bakteri seperti elektron transportasi,
penyerapan nutrisi, sintesis asam nukleat dan protein dan aktivitas enzim. Kedua mekanisme ini
menghambat aktivitas bakteri patogen (Nadifah dan Sari, 2016). Penelitian yang telah dilakukan
Wang et al., (2020) senyawa pada jahe dalam menghambat aktivitas bakteri adalah pertama,
menghambat ekspresi beberapa gen yang terkait dengan metabolisme energi bakteri dengan
mempengaruhi permeabilitas membran sel mengakibatkan kebocoran beberapa zat
makromolekul (protein dan asam nukleat) dan penghancuran metabolisme energi. Kedua,
menghambat metabolisme bakteri dengan mengganggu siklus TCA. Terakhir, jahe juga dapat
mengganggu metabolisme DNA dengan cara menghambat replikasi DNA dan perbaikan DNA
protein. Mekanisme aktivitas antibakteri dari jahe yaitu senyawa kimia jahe langsung bekerja
pada membran sel, menghancurkan struktur membran sel, dan kemudian meningkatkan
permeabilitas membran sel, sehingga menyebabkan bakteri kehilangan fungsi struktural dasarnya
dan akhirnya menyebabkannya kematian sel bakteri pada konsentrasi tertentu. Selain itu,
senyawa hidrofobik jahe berinteraksi dengan bagian lipofilik membran dan mengisolasi
mitokondria, mengganggu integritasnya dan fungsinya (protein, asam nukleat, metabolisme
energi, dan aktivitas enzim). Oleh karena itu, jahe memiliki beberapa cara untuk mempengaruhi
sel mikroba sehingga bisa mengakibatkan kematian.
Penyakit bakterial pada ikan merupakan ancaman serius bagi industri akuakultur,
mengakibatkan penurunan produksi dan kerugian ekonomi yang signifikan. Salah satu penyakit
yang seringkali menyebabkan dampak besar adalah vibriosis. Vibriosis pada ikan merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri batang gram negatif anaerobik fakultatif dari genus Vibrio
(Salwany et al., 2019). Vibriosis pada ikan ditandai dengan berbagai gejala seperti nekrosis kulit
yang menyebabkan malformasi tubuh, ulserasi pada kulit, pendarahan, kemerahan pada seluruh
tubuh, sirip, ekor, mata, dan mulut, serta bola mata menonjol dan lesi pada kornea yang
menyebabkan kekeruhan pada mata, yang pada akhirnya dapat memborok dan menyebabkan lesi
pada kornea, anoreksia (kehilangan nafsu makan), pertumbuhan lambat, dan kematian. Vibriosis
dapat disebabkan oleh berbagai spesies Vibrio, antara lain Vibrio anguillarum, V. ordalii, V.
vulnificus, dan V. salmonicida (Fernandes et al., 2022). Penyakit ini lebih sering terjadi pada
ikan laut, namun beberapa spesies juga dapat menginfeksi ikan air tawar. Tindakan pencegahan
dan pengendalian vibriosis meliputi: identifikasi dan deteksi patogen, menggunakan ikan bebas
penyakit, menerapkan langkah-langkah biosekuriti, menjaga kualitas air yang baik, vaksinasi,
pemantauan dan deteksi dini, pengobatan, jika terjadi wabah vibriosis tindakan pengobatan
harus segeradilakukan (Salwany et al., 2019; Xu et al., 2023).
Infeksi Pseudomonas pada ikan disebabkan oleh berbagai spesies bakteri Pseudomonas.
Beberapa spesies yang menginfeksi ikan meliputi: Pseudomonas aeruginosa, P. putida, P.
fluorescens, dan P. syringae (Ardura et al., 2013; Algammal et al., 2020). Spesies ikan yang
dapat terserang Pseudomonas antara lain ikan rainbow trout, nila, lele, dan salmon yang
dibudidayakan. Tanda-tanda umum ikan terinfeksi pseudomonas adalah sirip geripis dan
kemerahan pada pangkal sirip, munculnya bisul atau bintik merah pada kulit, nafsu makan
menurun, dan kematian mendadak (Algammal et al., 2020). Cara mencegah penyebaran bakteri
Pseudomonas adalah dengan melakukan protokol karantina yang ketat seperti memilih benih
berkualitas dan tidak terserang penyakit, menjaga kualitas air, mengurangi kepadatan ikab, dan
meningkatkan imunitas ikan (Walczak et al., 2017).
Infeksi Aeromonas pada ikan disebabkan oleh bakteri dari genus Aeromonas. Infeksi
Aeromonas dapat menyerang ikan air tawar dan ikan laut, dan gejalanya dapat berkisar dari bisul
kulit hingga septikemia hemoragik, perut kembung, dan kerusakan ginjal (Mzula et al., 2019).
Bakteri ini ditemukan hidup lingkungan perairan. Beberapa spesies yang dikaitkan dengan
penyakit ikan antara lain Aeromonas salmonicida, A. hydrophila, dan A.veronii. Salah satu jenis
bakteri Aeromonas yang biasa menyerang ikan adalah A. salmonicida. Bakteri ini menyebabkan
Septikemia Aeromonas atau furunkulosis pada ikan. A. salmonicida dapat menginfeksi ikan di
perairan tawar maupun laut. Ikan yang terinfeski penyakit ini memunculkan gejala seperti
ulserasi kulit dan pendarahan (Irshath et al., 2023). Jenis bakteri Aeromonas patogen lainnya
yang dapat menyerang ikan adalah A. hidrofila. Bakteri ini banyak ditemukan di lingkungan air
tawar dan menyebabkan infeksi pada berbagai spesies ikan. Bakteri ini dapat menimbulkan
gejala seperti bintik merah, pendarahan, dan perubahan patologis lainnya pada ikan yang
terinfeksi (Shabirah et al., 2019 ; Rosidah et al., 2020). Spesies ikan yang rentan terhadap
infeksi Aeromonas antara lain koi, ikan mas, lele, bass, nila, dan salmon (Mzula et al.,
2019;Semwal et al., 2023 ; Chen et al., 2019). Penyebab utama infeksi Aeromonas pada ikan
adalah sanitasi yang buruk, nutrisi yang kurang, dan stres, yang dapat melemahkan sistem
kekebalan ikan dan membuat ikan lebih rentan terhadap infeksi.
Penyakit flexibacteriosis pada ikan disebabkan oleh bakteri dari genus Tenacibaculum
termasuk Tenacibaculum maritimum, Photobacterium damselae, Cytophaga marina, Flexibacter
marinus, dan F. maritimus (Toranzo et al., 2005). Penyakit ini ditandai dengan lesi nekrotik pada
tubuh, kepala, sirip, dan insang, dengan lesi erosif pada permukaan kulit luar (Gelderen et al.,
2011). Flexibacteriosis dapat menyerang berbagai spesies ikan, termasuk turbot, salmon, sole,
sea bass, dan gilthead (Irshath et al., 2023). Tenacibaculum maritimum diketahui menyebabkan
flexibacteriosis pada berbagai spesies ikan budidaya laut, termasuk salmon Atlantik. Lesi
flexibacteriosis dapat terlihat pada organ dalam ikan yang terinfeksi (Van Gelderen et al., 2011).
Sedangkan P. damselae dapat menyerang berbagai jenis ikan budidaya seperti ikan bass Eropa
(Dicentrarchus spp.), ayu sweetfish (Plecoglossus altivelis) dan ikan air tawar hitam (Mylio)
serta spesies ikan laut lainnya (Elkamel, 2002; Ragab et al., 2022). P. damselae dapat
menyebabkan penyakit pada udang, seperti penyakit kotoran putih (WFD). Pencegahan
flexibacteriosis pada ikan dapat dilakukan dengan memantau kualitas air, vaksinasi , dan
penerapan tindakan sanitasi dan karantina (Neidorf dan Morozova, 2021).
Francisellosis adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri dari genus Francisella
yang menginfeksi ikan baik yang dibudidayakan maupun yang di alam. Bakteri yang termasuk
penyebab francisellosis adalah Francisella noatunensis dan F. orientalis (Colquhoun dan Duodu,
2011; Duodu dan Colquhoun, 2010). Penyakit ini sangat menular menyebabkan lesi
granulomatosa kronis pada ginjal, limpa, hati, dan jantung. Hal ini ditandai dengan penurunan
nafsu makan, dan pertumbuhan yang lambat. Sejumlah spesies ikan yang terinfeksi termasuk cod
Atlantik, Gadus morhua, nila, salmon Atlantik, Salmo salar; bass, Morone chrysops, M. saxatilis,
Parapristipoma trilinineatum (Colquhoun dan Duodu, 2011;Birkbeck et al., 2011). Pencegahan
dan pengobatan francisellosis pada ikan memerlukan pendekatan yang mencakup biosekuriti
yang ketat, pengelolaan lingkungan budidaya seperti kualitas air, melakukan diagnosis dini, dan
penggunaan antibiotik yang tepat (Jeffery et al., 2010).
Untuk mengatasi penyakit bakterial pada ikan budidaya, berbagai upaya telah
dikembangkan dan diterapkan dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. Langkah-langkah
ini termasuk penggunaan vaksin, yang dapat memberikan kekebalan terhadap patogen tertentu,
dan probiotik, yang meningkatkan kesehatan dan sistem kekebalan ikan secara keseluruhan.
Selain itu, mengelola kepadatan ikan yang optimal dan menyediakan pakan berkualitas tinggi
merupakan hal yang dapat diterapkan dalam mencegah berjangkitnya penyakit dengan
mengurangi stres dan meningkatkan ketahanan ikan terhadap infeksi. Secara historis, antibiotik
telah digunakan sebagai metode upaya terakhir untuk mengendalikan infeksi bakteri dalam
budidaya perikanan (Jafarinejad et al., 2020). Namun, penggunaannya telah dikaitkan dengan
berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yang menimbulkan risiko signifikan
bagi kesehatan hewan dan manusia. Akibatnya, terjadi penurunan substansial dalam penggunaan
antibiotik dalam budidaya perikanan di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Sehingga diperlukan
metode alternatif non-antibiotik untuk mengendalikan penyakit bakteri pada ikan.
Penggunaan tanaman herbal seperti jahe tidak hanya sejalan dengan tren global dalam
mengurangi penggunaan antibiotik dalam budidaya perikanan, namun juga menawarkan beragam
manfaat kesehatan yang dapat meningkatkan ketahanan ikan budidaya terhadap bakteri pathogen
(Oh et al., 2022b). Seiring dengan pertumbuhan industri akuakultur, mengintegrasikan
pengobatan alami seperti jahe ke dalam pakan ikan dapat memainkan peran penting dalam
praktik budidaya ikan berkelanjutan.
Suplementasi jahe pada pakan ikan telah terbukti menjadi strategi yang menjanjikan
untuk meningkatkan ketahanan ikan terhadap infeksi bakteri. Penelitian yang dikutip di atas
menunjukkan bahwa jahe dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan, respon imun, dan sistem
antioksidan pada ikan, sekaligus memiliki sifat antibakteri. Selain itu, jahe terbukti aman untuk
digunakan dalam pakan ikan, dan tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap
kesehatan ikan. Temuan ini menunjukkan bahwa jahe mungkin merupakan agen nutraceutical
yang bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan ikan dalam sistem budidaya,
sekaligus berpotensi mengurangi dampak infeksi bakteri. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengoptimalkan suplementasi jahe dalam pakan ikan dan untuk memahami sepenuhnya
mekanisme di balik efek menguntungkannya.
Tabel 1. Penelitian suplementasi jahe pada pakan
DAFTAR PUSTAKA
Algammal, A.M. et al. 2020. Emerging MDR-Pseudomonas aeruginosa in fish commonly harbor
oprL and toxA virulence genes and bla TEM, bla CTX-M, and tetA antibiotic-resistance genes’,
Scientific Reports, 10(1), pp. 1–12.
Almeida, R.G.D.S. et al. 2021. Dietary supplementation of ginger (Zingiber officinale) essential
oil exhibits positive immunomodulatory effects on the neotropical catfish pseudoplatystoma
reticulatum without negative effects on fish liver histomorphometry. Latin American Journal of
Aquatic Research, 49(4), pp. 595–607.
Ardura, A. et al. 2013. Genetic detection of Pseudomonas spp. in commercial Amazonian fish’,
International Journal of Environmental Research and Public Health, 10(9), pp. 3954–3966.
Ashry, A.M. et al. 2023. Effects of ginger (Zingiber officinale) on the growth performance,
digestive enzyme activity, antioxidative response, and antibacterial capacity of striped catfish
(Pangasianodon hypophthalmus) reared in outdoor conditions’, Aquaculture Reports,
33(October), p. 101760.
Bakhtiari Aqmasjed, S. et al. 2021. Effects of dietary ginger (Zingiber officinale) extract and
curcumin on growth, hematology, immunity, and antioxidant status in rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss)’, Aquaculture Reports, 32(September), p. 101714.
Birkbeck, T.H. et al. 2011. Francisella infections in fish and shellfish’, Journal of Fish Diseases,
34(3), pp. 173–187.
Bullock, G.L. and Herman, R.L. 1986. DigitalCommons @ University of Nebraska - Lincoln
COLUMNARIS DISEASE OF FISHES’, Aquaculture and Fisheries Commons [Preprint].
Chen, F. et al. 2019. Isolation, Identification and Characteristics of Aeromonas veronii From
Diseased Crucian Carp (Carassius auratus gibelio). Frontiers in Microbiology, 10(November),
pp. 1–10.
Colquhoun, D.J. and Duodu, S. (2011) ‘Colquhoun etal francisella 16srRNA.pdf’, Veterinary
Resea, pp. 1–15.
Duodu, S. and Colquhoun, D. (2010) ‘Monitoring the survival of fish-pathogenic Francisella in
water microcosms’, FEMS Microbiology Ecology, 74(3), pp. 534–541. doi:10.1111/j.1574-
6941.2010.00973.x.
El-Sebai, A. et al. (2018) ‘Effect of ginger dietary supplementation on growth performance,
immune response and vaccine efficacy in Oreochromis niloticus challenged with Aeromonas
hydrophila’, Slovenian Veterinary Research, 55(Suppl 20), pp. 31–39. doi:10.26873/SVR-625-
2018.
Elkamel, A.A. (2002) ‘Pathogenic mechanisms of Photobacterium damselae subspecies piscicida
in hybrid striped bass’, The Department of Pathobiological Sciences, Ph D., p. 181.
Eryalcin, K.M. (2018) ‘Effects of Different Commercial Feeds and Enrichments on Biochemical
Composition and Fatty Acid Profile of Rotifer (Brachionus Plicatilis, Müller 1786) and Artemia
Franciscana’, Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 18, pp. 81–90.
doi:10.4194/1303-2712-v18.
Van Gelderen, R. et al. (2011) ‘Experimentally induced marine flexibacteriosis in Atlantic
salmon smolts Salmo salar. II. Pathology’, Diseases of Aquatic Organisms, 95(2), pp. 125–135.
doi:10.3354/dao02329.
Ina-Salwany, M.Y. et al. (2019) ‘Vibriosis in Fish: A Review on Disease Development and
Prevention’, Journal of Aquatic Animal Health, 31(1), pp. 3–22. doi:10.1002/aah.10045.
Irshath, A.A. et al. (2023) ‘Bacterial Pathogenesis in Various Fish Diseases: Recent Advances
and Specific Challenges in Vaccine Development’, Vaccines, 11(2), pp. 1–14.
doi:10.3390/vaccines11020470.
Jafarinejad, R. et al. (2020) ‘Dietary ginger improve growth performance, blood parameters,
antioxidant capacity and gene expression in Cyprinus carpio’, Iranian Journal of Fisheries
Sciences, 19(3), pp. 1237–1252. doi:10.22092/ijfs.2018.119876.
Jeffery, K.R. et al. (2010) ‘An outbreak of disease caused by Francisella sp. in Nile tilapia
Oreochromis niloticus at a recirculation fish farm in the UK’, Diseases of Aquatic Organisms,
91(2), pp. 161–165. doi:10.3354/dao02260.
Lee, K.W. et al. (2020) ‘Dietary inclusion effect of yacon, ginger, and blueberry on growth, body
composition, and disease resistance of juvenile black rockfish (Sebastes schlegeli) against Vibrio
anguillarum’, Fisheries and Aquatic Sciences, 23(1). doi:10.1186/s41240-020-00157-8.
Leung, K.Y. et al. (2019) ‘Edwardsiella piscicida: A versatile emerging pathogen of fish’,
Virulence, 10(1), pp. 555–567. doi:10.1080/21505594.2019.1621648.
Mao, Q.Q. et al. (2019) ‘Bioactive compounds and bioactivities of ginger (zingiber officinale
roscoe)’, Foods, 8(6), pp. 1–21. doi:10.3390/foods8060185.
Mitiku, M.A. (2018) ‘A Review on Columnaris disease in freshwater farmed fish Marshet’, Int.
J. Adv. Res. Biol. Sci, 5(6), pp. 79–90. doi:10.22192/ijarbs.
Mzula, A. et al. (2019) ‘Phenotypic and molecular detection of Aeromonads infection in farmed
Nile tilapia in Southern highland and Northern Tanzania’, Heliyon, 5(8), p. e02220.
doi:10.1016/j.heliyon.2019.e02220.
Nadifah, F. and Sari, R.M. (2016) ‘The effect of ginger (Zingiber officinale) and green tea
(Camellia sinensis) against bacteria growth on soymilk’, AIP Conference Proceedings, 1744.
doi:10.1063/1.4953496.
Neidorf, A. and Morozova, M. (2021) ‘Diagnosis and treatment of flexibacteriosis of koi carp
(Cyprinus carpio koi)’, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 937(3).
doi:10.1088/1755-1315/937/3/032040.
Oh, H.Y. et al. (2022a) ‘Dietary Supplementation with Ginger (Zingiber officinale) Residue
from Juice Extraction Improves Juvenile Black Rockfish (Sebastes schlegelii) Growth
Performance, Antioxidant Enzyme Activity, and Resistance to Streptococcus iniae Infection’,
Animals, 12(5). doi:10.3390/ani12050546.
Oh, H.Y. et al. (2022b) ‘Dietary Supplementation with Ginger (Zingiber officinale) Residue
from Juice Extraction Improves Juvenile Black Rockfish (Sebastes schlegelii) Growth
Performance, Antioxidant Enzyme Activity, and Resistance to Streptococcus iniae Infection’,
Animals, 12(5), pp. 1–12. doi:10.3390/ani12050546.
Park, S. Bin et al. (2012) ‘Pathogenesis of and strategies for preventing Edwardsiella tarda
infection in fish’, Veterinary Research, 43(1), pp. 1–11. doi:10.1186/1297-9716-43-67.
Payung, C.N. et al. (2017) ‘Dietary ginger (Zingiber officinale) enhance resistance of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) against Aeromonas hydrophila’, AACL Bioflux, 10(4), pp. 962–968.
Ragab, R.H. et al. (2022) ‘Mass kills in hatchery-reared European seabass (Dicentrarchus labrax)
triggered by concomitant infections of Amyloodinium ocellatum and Vibrio alginolyticus’,
International Journal of Veterinary Science and Medicine, 10(1), pp. 33–45.
doi:10.1080/23144599.2022.2070346.
Rahmani, A.H. et al. (2014) ‘Active ingredients of ginger as potential candidates in the
prevention and treatment of diseases via modulation of biological activities’, International
Journal of Physiology, Pathophysiology and Pharmacology, 6(2), pp. 125–136.
Rawat, P. et al. (2022) ‘Determining the efficacy of ginger Zingiber officinale as a potential
nutraceutical agent for boosting growth performance and health status of Labeo rohita reared in a
semi-intensive culture system’, Frontiers in Physiology, 13(August), pp. 1–12.
doi:10.3389/fphys.2022.960897.
Rosidah et al. (2020) ‘Histopathological Changes in Gold Fish (Carassius auratus (Linnaeus,
1758)) Infected by Aeromonas hydrophila Bacteria with Various Densities’, World Scientific
News, 142(February), pp. 150–168. Available at: www.worldscientificnews.com.
Sanches-Fernandes, G.M.M. et al. (2022) ‘Vibriosis Outbreaks in Aquaculture: Addressing
Environmental and Public Health Concerns and Preventive Therapies Using Gilthead Seabream
Farming as a Model System’, Frontiers in Microbiology, 13(July), pp. 1–25.
doi:10.3389/fmicb.2022.904815.
Semwal, A. et al. (2023) ‘A review on pathogenicity of Aeromonas hydrophila and their
mitigation through medicinal herbs in aquaculture’, Heliyon, 9(3), p. e14088.
doi:10.1016/j.heliyon.2023.e14088.
Shabirah, A. et al. (2019) ‘Effect of Types Isolated Lactic Acid Bacteria on Hematocrit and
Differential Leukocytes Fingerling Common Carp (Cyprinus carpio L.) Infected with Aeromonas
hydrophila bacteria’, World News of Natural Sciences, 24(February), pp. 22–35. Available at:
www.worldnewsnaturalsciences.com.
El Sohaimy, S.A. et al. (2019) ‘Extend shelf-life of vacuum-packaged herring fish fillets using
garlic and ginger extracts’, Journal of Pure and Applied Microbiology, 13(3), pp. 1571–1581.
doi:10.22207/JPAM.13.3.30.
Srinivasan, K. (2017) ‘Ginger rhizomes (Zingiber officinale): A spice with multiple health
beneficial potentials’, PharmaNutrition, 5(1), pp. 18–28. doi:10.1016/j.phanu.2017.01.001.
Sukumaran, V. et al. (2016) ‘Role of dietary ginger Zingiber officinale in improving growth
performances and immune functions of Labeo rohita fingerlings’, Fish and Shellfish
Immunology, 57, pp. 362–370. doi:10.1016/j.fsi.2016.08.056.
Talpur, A.D. et al. (2013) ‘Nutritional effects of ginger (Zingiber officinale Roscoe) on immune
response of Asian sea bass, Lates calcarifer (Bloch) and disease resistance against Vibrio
harveyi’, Aquaculture, 400–401, pp. 46–52. doi:10.1016/j.aquaculture.2013.02.043.
Toranzo, A.E. et al. (2005) ‘A review of the main bacterial fish diseases in mariculture systems’,
Aquaculture, 246(1–4), pp. 37–61. doi:10.1016/j.aquaculture.2005.01.002.
Utami, D.A. et al. (2022) ‘Physical characteristics of ginger tuber based on harvesting age and
varieties’, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 977(1). doi:10.1088/1755-
1315/977/1/012078.
Walczak, N. et al. (2017) ‘Bacterial flora associated with diseased freshwater ornamental fish’,
Journal of Veterinary Research (Poland), 61(4), pp. 445–449. doi:10.1515/jvetres-2017-0070.
Wang, X. et al. (2020) ‘Antibacterial Activity and Mechanism of Ginger Essential Oil against
Escherichia coli and Staphylococcus aureus’, Molecules, 25(17).
doi:10.3390/molecules25173955.
Xu, K. et al. (2023) ‘Strategies for Prevention and Control of Vibriosis in Asian Fish Culture’,
Vaccines, 11(1), pp. 1–21. doi:10.3390/vaccines11010098.