Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH SAINTIFIKASI JAMU

INTERAKSI JERINGAU (Acorus calamus L.) DENGAN OBAT DAN MAKANAN

Dosen Pengampu :
Endah Puspitasri, S.Farm., M.Sc., Apt

Nama Anggota Kelompok 1 :


1. Nina Indah Lestari NIM. 192211101005
2. Fara Sukma Farkha NIM. 192211101019
3. Nabila Rahmadiba NIM. 192211101028
4. Wening Wulandari NIM. 192211101040
5. Cholista Rizki Yesinda NIM. 192211101070
6. Ifan Arif Maulana NIM. 192211101072
7. Bagus Tri Laksono NIM. 192211101082
8. Eka Ayu Amaliyah NIM. 192211101086
9. S. Nadya Riskia R NIM. 192211101089
10. Nuri Putri Azhari NIM. 192211101095

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

Judul ...................................................................................................................................i
Daftar Isi ........................................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULAN
1.1. Latar Belakang .....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
1.3. Tujuan...................................................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Tanaman ............................................................................................. 3
2.2. Interaksi Obat dan Makanan .................................................................................8
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1. Interaksi Tanaman dengan Obat .........................................................................16
3.2. Interaksi Tanaman dengan Makanan ..................................................................19
BAB 4. PENUTUP
4.1. Kesimpulan .........................................................................................................20
4.2. Saran ...................................................................................................................20
Daftar Pustaka .................................................................................................................21

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat herbal merupakan bahan baku atau sediaan, baik berupa bahan mentah
ataupun bahan yang mengalami proses lebih lanjut yang berasal dari tanaman dan
diketahui memiliki efek terapi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Sediaan herbal
dapat dikonsumsi secara langsung atau digunakan sebagai bahan baku produk herbal
(WHO, 2005). Obat herbal telah diterima secara luas di berbagai negara. Fakta
membuktikan bahwa 65% dari penduduk negara maju dan 80% penduduk negara
berkembang telah menggunakan obat herbal (Kemenkes RI, 2007).
Usia harapan hidup yang meningkat akibat peningkatan prevalensi penyakit
kronik dan semakin meluasnya akses informasi obat herbal di seluruh dunia menjadi
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di berbagai negara.
Kecenderungan gaya hidup masyarakat kembali ke alam, serta belum meratanya fasilitas
kesehatan dan mahalnya harga obat juga mendorong masyarakat untuk lebih memilih
menggunakan obat herbal yang beredar di pasaran dengan harga yang lebih ekonomis
(Pramono, 2002).
Penggunaan obat herbal dalam terapi penyakit tertentu dianggap aman bila
digunakan secara tunggal dan dengan dosis, serta waktu yang dianjurkan. Beberapa
laporan menunjukkan bahwa obat-obatan herbal sering dikonsumsi bersamaan dengan
obat konvensional (Lin et al., 2004). Hal ini dapat menimbulkan interaksi obat. Interaksi
obat adalah suatu kejadian dimana efek terapi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat
lain, baik konvensional maupun herbal, makanan, atau minuman. Interaksi dapat
meningkatkan ataupun menurunkan efek dari obat tersebut (Alifiar, 2016). Interaksi yang
tidak dikehendaki biasanya menyebabkan efek samping obat atau toksisitas karena
meningkatnya kadar obat di dalam plasma, sehingga efek terapi tidak optimal. Tidak
semua interaksi obat bersifat merugikan. Beberapa herbal dilaporkan berinteraksi dengan
obat dan bersifat menguntungkan, seperti mengurangi efek samping yang tidak
diinginkan atau mengurangi toksisitas (Piscitelli et al., 2000).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat herbal yaitu jeringau
(Acorus calamus L.). Jeringau adalah tanaman semak rumput yang biasanya hidup di tepi

1
sungai, kolam, rawa, dan parit. Jeringau juga dikenal dengan sebutan tanaman dringo.
Hasil Ristoja (2012), menunjukkan dringo digunakan 104 etnis di Indonesia untuk
mengobati berbagai penyakit seperti demam, sakit perut, cacingan, serta masuk angin
(Subositi et al., 2015).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pemanfaatan tanaman Acorus calamus secara empiris?
2. Bagaimana interaksi tanaman obat Acorus calamus dengan obat konvensional?
3. Bagaimana interaksi tanaman obat Acorus calamus dengan makanan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pemanfaatan tanaman Acorus calamus secara empiris.
2. Untuk mengetahui bagaimana interaksi tanaman obat Acorus calamus dengan
obat konvensional.
3. Untuk mengetahui bagaimana interaksi tanaman obat Acorus calamus dengan
makanan.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jeringau (Acorus calamus L.)


2.1.1 Klasifikasi Jeringau (Acorus calamus L.)

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Acorales
Famili : Acoraceae
Genus : Acorus
Spesies : Calamus (Balakumbahan et al., 2015)
2.1.2 Metabolit Sekunder Jeringau (Acorus calamus L.)
Jeringau (Acorus calamus L.) adalah tanaman yang mengandung bahan kimia aktif
pada bagian rimpang maupun daun baik dalam bentuk tepung ataupun minyak yang
dikenal sebagai minyak atsiri. Metabolit sekunder yang terdapat pada daun jeringau
(Acorus calamus L.) adalah flavanoid dan saponin, sedangkan rimpangnya mengandung
tanin, protein, kalsium oksalat dan minyak atsiri yang mengandung asaron, parasaron,
kalamen, asarilaldehid, sesquiterpen, methyleugenol, kalameon, akorin, eugenol,
kalamenol, asam n-heptyl, asam akorik. Pada rimpang tanaman terdapat minyak atsiri
berupa 1,2,4- trimetoksi-5-(1-profenil)-benzena atau yang lebih dikenal sebagai asaron
(Wahyuni et al., 2012).
3
Setiap tumbuhan memiliki komponen kimia yang spesifik dan demikian pula
komponen kimia yang terdapat pada tumbuhan jeringau (Acorus calamus L.). Komponen
kimia utama (mayor compound) yang terdapat pada tumbuhan ini adalah cis-asaron,
trans-asaron α-patchoulen, β-caryophyllen, humulen, metaleugenol, elemicine, cis-0cince
yang umumnya terdapat pada rimpangnya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
senyawa ini juga terdapat pada bagian lainnya termasuk pada daun (Wahyuni et al.,
2012).
2.1.3 Khasiat Jeringau (Acorus calamus L.)
Jeringau sudah sejak lama dikenal di Asia, Afrika hingga Eropa karena kegunaan
dan manfaatnya sebagai obat tradisional maupun ritual keagamaan. Di India, jeringau
merupakan salah satu tanaman yang terpopuler yang masuk dalam daftar pengobatan
tradisional India (Ayurveda). Beberapa penyakit yang diobati diantaranya insomnia,
neurosis, demam, keram perut dan kolik. Rimpang jeringau digunakan untuk mengobati
sakit dan ngilu gigi, asma, bronchitis dan sebagai penenang. Selain itu jeringau dipercaya
dapat meningkatkan daya ingat dan kecerdasan (Divya et al., 2011; Sreejaya and Santhy,
2013).
Di Cina, akar rimpang jeringau digunakan untuk mengatasi radang selaput lambung,
kolik (sakit perut), dan meningkatkan selera makan. Di Afrika Selatan, jeringau
digunakan untuk mengatasi perut kembung dan diare, sebagai tonik dan bubuk gigi, serta
meningkatkan libido. Di Rusia, akar rimpang jeringau digunakan untuk menyembuhkan
demam tifus, kolera, sifilis, dan kebotakan. Di Indonesia, jeringau digunakan sebagai
pembersih darah wanita pasca melahirkan dan meningkatkan ASI, serta mengatasi diare
dan membersihkan tubuh dari kuman (Motley, 1994). Selain digunakan sebagai obat, akar
rimpang jeringau dapat diaplikasikan sebagai bio pestisida (pestisida organik) pada
takaran tertentu karena mengandung komponen utama minyak esensial yaitu βasarone
yang dapat menghambat pertumbuhan fungi, bakteri dan nematoda, serta mematikan
beberapa hama serangga (Liu et al., 2013; Mungkornasawakul et al., 2012).
Selain β-asarone, kandungan fitokimia lainnya yang terdapat pada jeringau
diantaranya choline, flavone, acoradin, galangin, acolamone, isocolamone dan lutcolin-
6,8-cdiglucoside. Beberapa aktifitas farmakologis yang terdapat pada jeringau
diantaranya analgesik, antiinflamasi, anticonvulsant, immunosuppressive, antidiarrhoeal,

4
antiproliferatif, antidiabetes, hypolipidemic, nephroprotective , antioksidan,
hepatoprotektif, antispasmodic, antimikroba, antibakteri dan antifungi, antikanker,
antitumor, neurotoxicity, carminative, anthelmintic, dan antimutagenic/antiradiasi (Singh
et al., 2011; Balakumbahan et al., 2010).
2.1.4 Uji Aktivitas Jeringau (Acorus calamus L.)
Dari sekian banyak khasiat yang dimiliki tumbuhan jeringau (Acorus calamus L.),
beberapa diantaranya sudah melewati penelitian sebagai pembuktian adanya aktivitas dari
jeringau (Acorus calamus L.), antara lain:
a. Aktivitas Sebagai Repelen Terhadap Nyamuk Culex quinquefasciatus L.
Penelitian ini menggunakan nyamuk Cx quinquefasciatus betina umur 3-5 hari
sebagai obyek penelitian. Dimana sembilan puluh ekor nyamuk Cx. quinquefasciatus
dilaparkan lalu dimasukkan ke dalam 3 kandang, masing-masing 30 ekor. Tiga ekor
marmot dicukur habis bulunya, marmot pertama tidak diolesi apa-apa, marmot kedua
diolesi repelen DEET (merk dagang sari puspa) dan marmot ketiga diolesi minyak
rimpang jeringau. Masing-masing marmot selanjutnya dimasukkan ke dalam kandang
yang sudah berisi 30 ekor nyamuk. Kemudian dihitung nyamuk yang blood fed selama 5
menit setiap 60 menit mulai menit ke 0 sampai dengan ke 360. Data yang diperoleh dibuat
tabel, selanjutnya dianalisis dengan uji Anava dua arah dan uji t-test.
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Anava

Tabel 2. Hasil Uji Statistik t

5
Hasil uji anava dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 5%) didapatkan F hitung
(=5,6) lebih besar daripada F tabel (=2,01). Dengan demikian terdapat pengaruh yang
signifikan antara kedua faktor (repelen dan interval waktu) dan satu faktor interaksi
(repelen x interval waktu) terhadap nyamuk yang blood fed. Sedangkan pada analisa
statistik dengan uji t antara sari puspa-minyak jeringau, didapatkan t hitung (=2,43) > t
tabel (=2,013) dengan α = 5% . Hal ini menunjukkan ada perbedaan bermakna antara
kedua jenis repelen tersebut. Demikian pula antara sari puspa-kontrol dan minyak
rimpang jeringau kontrol, juga ada perbedaan bermakna. Dengan melihat hasil penelitian
tersebut diatas, dan setelah dianalisa dengan uji anava dan uji t, maka dapat disimpulkan
bahwa minyak rimpang jeringau berpotensi sebagai repelen terhadap nyamuk Cx.
quinquefasciatus. Meskipun dalam penelitian ini lama proteksi minyak tersebut lebih
rendah dibandingkan sari puspa, tetapi lebih alami dan lebih aman digunakan. Untuk itu
mungkin juga perlu dilakukan penelitian potensi minyak rimpang jeringau ini sebagai
repelen terhadap nyamuk vektor penyakit lainnya, misalnya vektor demam berdarah
ataupun malaria, sehingga dapat menunjang pengendalian vektor penyakit tersebut.
Dari data hasil penelitian yang didapatkan bahwa minyak rimpang jeringau (Acorus
calamus L.) berpotensi sebagai repelen terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus yang
merupakan vektor filariasis bancrofti (Utari et al., 2006).
b. Aktivitas Antimikroba Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro
Pada penelitian ini, uji aktivitas antimikroba ekstrak rimpang jeringau dilakukan
dengan metode Tube Dilution Test. Ekstrak Rimpang jeringau yang diperoleh dibuat
suspensi dengan media Saboroud Dextrose Broth (SDB) dalam tabung reaksi dengan
konsentrasi 4% (kontrol bahan), 2%, 1%, 0,5%, dan 0% (kontrol jamur). Lalu ke dalam
masing-masing tabung dimasukkan 10 µl larutan Candida albicans yang telah diencerkan
dalam Phosphate Buffer Saline (PBS). Kemudian diinkubasi pada suhu 37℃ selama 48
jam dan diamati perubahan kekeruhannya.
Dari kelima konsentrasi yaitu 4% (kontrol bahan), 2%, 1%, 0,5%, dan 0% (kontrol
jamur), dapat diamati bahwa kekeruhan mulai menghilang pada konsentrasi 0,5%.
Adanya aktivitas antimikroba ekstrak rimpang jeringau (Acorus calamus L.) diduga
karena kandungan senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai antimikroba.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, rimpang jeringau (Acorus calamus L.) memiliki

6
kandungan fitokimia diantaranya steroid, fenol, tannin, flavonoid, glikosida, diterpen,
triterpen dan alkaloid. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak rimpang
jeringau (Acorus calamus L.) secara in vitro memiliki daya antifungal terhadap
pertumbuhan Candida albicans (Susanti, 2016).
c. Aktivitas Antimikroba Terhadap Pertumbuhan Shigella flexneri Secara In Vitro
Pada penelitian ini, hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak jeringau (Acorus calamus
L.) dengan variasi konsentrasi 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%, 20%, 10%
dan dengan tiga kali pengulangan setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37℃
menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Shigella flexneri.
Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak metanol rimpang jeringau
(Acorus calamus L.) adalah alkaloid, minyak atsiri, saponin, tanin dan terpenoid.
Alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol jeringau memiliki aktivitas antibakteri.
Mekanisme aktivitas antibakteri yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh
dan menyebabkan kematian sel tersebut. Terpenoid yang bersifat lipofilik memiliki
aktivitas antibakteri. Terpenoid juga merupakan salah satu metabolit sekunder yang
terdapat pada tumbuhan jeringau. Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri yaitu dengan
cara merusak membran sel bakteri, senyawa ini akan bereaksi dengan sisi aktif membran,
melarutkan konstituen lipid dan meningkatkan permeabilitasnya.
Minyak atsiri sebagai salah satu metabolit sekunder yang terdapat pada jeringau
merah memiliki aktivitas antibakteri yang memiliki mekanisme kerja dengan cara
mengganggu permeabilitas dari membran sel bakteri. Penggangguan permeabilitas dari
membran sel bakteri ini diperankan oleh salah satu komponen penting dari minyak atsiri
yaitu β-asaron. Membran sel bakteri yang telah mengalami gangguan permeabilitas
tersebut kemudian mati akibat kebocoran cairan intrasel, pada ekstrak rimpang jeringau
(Acorus calamus L.) terdapat metabolit sekunder minyak atsiri yang memiliki peran
sebagai antibakteri.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa ekstrak metanol rimpang jeringau memiliki
aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Shigella flexneri dengan konsentrasi efektif
yaitu 100% (Wulandari et al., 2015).

7
2.2. Interaksi Obat dan Makanan
2.2.1 Definisi Interaksi
Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek dari suatu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan saat bersamaan. Selain itu, definisi lain dari
interaksi obat adalah apabila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih akan berubah (Aslam, 2003).
Beberapa herbal dapat berinteraksi dengan obat-obat konvensional, makanan, atau
minuman. Interaksi tersebut dapat bersifat potensiasi atau antagonis satu obat oleh obat
lainnya, atau kadang dapat memberikan efek yang lain (BPOM, 2008). Interaksi obat
merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan.
Interaksi dapat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat tidak selamanya merugikan,
terdapat dua efek yang dapat dihasilkan akibat adanya interaksi obat, yakni efek yang
dikehendaki (Desirable Drug Interaction) dan efek yang memang tidak dikehendaki
(Adverse Drug Interaction). Efek yang tidak dikehendaki biasanya menyebabkan efek
samping obat dan/atau toksisitas pada pengguna, karena terjadi peningkatan kadar obat
di dalam plasma, atau sebaliknya menurunkan kadar obat didalam plasma yang nantinya
akan menurunkan efektifitas hasil terapi (Gitawati, 2008).
Obat herbal umumnya dianggap aman bila digunakan tunggal pada dosis dan waktu
yang telah dianjurkan, terdapat beberapa bukti yang mengatakan bahwa interaksi obat
dengan herbal dapat menyebabkan efek samping yang serius atau kegagalan terapi
dengan obat-obatan konvensional, seperti terjadinya perdarahan yang disebabkan oleh
interaksi ginkgo biloba dengan aspirin (Izzo, 2004). Namun, tidak semua interaksi obat
dengan herbal, memiliki efek yang merugikan. Beberapa herbal yang berinteraksi dengan
obat dilaporkan memiliki efek yang menguntungkan, seperti mengurangi toksisitas atau
mengurangi efek samping lain yang mungkin dialami. Beberapa herbal juga dapat
meningkatkan atau menurunkan metabolisme obat, sehingga mempengaruhi ketersediaan
obat dalam darah (Piscitelli, 2000).
Interaksi obat dengan herbal dapat dikategorikan sebagai farmakodinamik (PD)
atau farmakokinetik (PK), ataupun keduanya. Interaksi farmakodinamik dapat terjadi
ketika konstituen dari produk herbal memiliki aktifitas, baik sinergis ataupun antagonis

8
dalam kaitannya dengan obat konvensional. Sedangkan, hasil interaksi farmakokinetik
berasal dari perubahan absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi dari obat
konvensional dengan produk herbal atau lainnya (Lal et al., 2011).
2.2.2 Jenis Interaksi
Berdasarkan jenis mekanisme kerjanya, interaksi obat dapat terjadi melalui beberpa
cara, antara lain: interaksi obat farmasetik, interaksi obat farmakokinetik, dan interaksi
obat farmakodinamik. Klasifikasi interaksi obat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Klasifikasi Interaksi Obat


a. Interaksi Obat Farmasetik
Sebagian besar interaksi obat farmasetik atau yang sering disebut dengan
inkompatibilitas, terjadi di luar tubuh sedangkan interaksi farmakologis terjadi di dalam
tubuh. Interaksi farmasetik umumnya terjadi sebelum obat-obatan benar-benar diberikan
kepada pasien. Interaksi obat farmastik dibagi menjadi dua, kimia dan fisika (Scott and
Nicholas, 2013).
Interaksi kimia adalah perubahan yang terjadi karena timbulnya reaksi-
reaksi kimia pada waktu mencampurkan bahan obat. Contoh dari reaksi kimia adalah
inkompatibilitas kalium fosfat dan kalsium klorida dalam persiapan nutrisi parenteral
total, juga dikenal sebagai TPN atau hiperalimentasi. Kedua obat dapat berinteraksi untuk
membentuk kalsium fosfat, yang akan menghasilkan endapan dalam kantong cairan
intravena. Kejang persisten (status epilepticus) adalah kondisi yang mengancam jiwa
yang membutuhkan obat untuk menghentikan kejang sesegera mungkin. Dua obat
antikonvulsan yang biasa digunakan, fenitoin (Dilantin) dan lorazepam (Ativan),
keduanya menjadi tidak efektif jika dicampur bersama dalam kantung intravena atau
jarum suntik yang sama (Scott and Nicholas, 2013).
9
Interaksi fisika adalah interaksi yang menyebabkan perubahan secara fisik
formulasi obat. Contoh interaksi secara fisika yaitu pengaruh satu obat yang dapat
mengubah formulasi obat lain, seperti kombinasi diazepam (Valium) dengan emulsi
propofol (Diprivan). Diazepam mengganggu stabilitas emulsi propofol, hal tersebut
menyebabkan fase minyak keluar dan menjadikannya berbahaya untuk diberikan secara
intravena. Selain itu, kondisi lingkungan dapat mempengaruhi obat. Cahaya dapat
menyebabkan beberapa obat menurun kualitasnya dan menjadi kurang efektif. Inilah
sebabnya mengapa botol obat biasanya berwarna kuning atau buram. Kelembaban dapat
memiliki efek serupa pada obat-obatan. Kondisi lingkungan lainnya dapat mempengaruhi
absorbsi obat (Scott and Nicholas, 2013).
b. Interaksi Obat Farkmakokinetik
Farmakokinetik didefinisikan sebagai apa yang dilakukan tubuh terhadap suatu
obat, atau lebih tepatnya, pergerakan obat melalui tubuh termasuk proses absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) (Scott and Nicholas, 2013). Interaksi obat
farmakokinetik umumnya juga akan menghasilkan perubahan pada efek
farmakodinamik. Hal ini dikarenakan, dewasa ini kebanyakan pemberian obat dalam
praktik klinis anastesi harian dilakukan titrasi untuk mendapatkkan efek klinis yang
diinginkan, dalam pengaplikasiannya, interaksi farmakokinetik sering dianggap tidak
terpisah dari interaksi farmakodinamikanya. Namun demikian, dokter harus memahami
mekanisme interaksi farmakokinetik untuk dapat mengetahui konsekuensi dari skema
pemberian dosis yang melibatkan kombinasi obat (Van den Berg et al., 2017).
(i) Interaksi Obat Fase Absorbsi
Absorbsi adalah proses farmakokinetik pertama. Secara umum, obat memerlukan
penyerapan agar memiliki efek farmakologis. Obat-obatan yang diberikan secara peroral
harus diabsorbsi melalui lambung dan/atau usus untuk mencapai saluran sistemik, yang
kemudian akan dilanjutkan ke target site. Demikian juga, obat yang diberikan dengan
injeksi intramuskular, subkutan, obat yang diberikan secara nasal, sublingual (di bawah
lidah), atau dengan rute non-oral lainnya, maka harus diabsorbsi dari lokasi
administrasinya. Obat-obatan yang diberikan secara intravena diberikan langsung ke
dalam darah, dengan melewatkan proses absorbsi; dengan demikian, efek yang
ditimbulkan akan lebih segera. Obat yang diberikan secara subkutan atau intramuskular

10
dan rute non-oral lainnya memberikan efek farmakologis lebih lambat dari obat intravena,
akan tetapi biasanya lebih cepat daripada obat oral (Scott and Nicholas, 2013).
Interaksi pada fase absorbsi dapat terjadi karena beberapa hal yaitu, memperpendek
atau memperpanjang waktu pengosongan lambung yaitu dengan merubah pH lambung
atau membentuk kompleks obat. Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal,
misalnya seperti terjadinya peningkatan pH karena adanya antasida, H2-blocker, ataupun
proton pump inhibitor akan menurunkan absorbsi obat basa lemah (misal, ketokonazol,
itrakonazol) dan akan meningkatkan absorpsi obat-obat asam lemah (misal, glibenklamid,
glipizid, tolbutamid). Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorbsi
antibiotika golongan selafosporin seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim proksetil
(Gitawati, 2008).
Selain itu, mekanisme interaksi pada fase absorbsi lainnya melibatkan reduksi
absorbsi melalui mekanisme pengikatan dan kelasi (pembentukan kompleks yang tidak
larut). Sebagai contoh, kombinasi antibiotik ciprofloxacin dan suplemen zat besi atau
kalsium (atau kalsium dalam susu, yogurt, es krim, dll.) Menghasilkan penyerapan
ciprofloxacin yang lebih rendah (Scott and Nicholas, 2013).
(ii) Interaksi Obat Fase Distribusi
Interaksi pada fase distribusi dapat terjadi ketika dua obat bersaing untuk
mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Apabila salah satu obat
tergeser dari ikatan protein, maka akan banyak obat dalam bentuk bebas yang bersirkulasi
dalam plasma, sehingga dapat meningkatkan kerja obat dan menimbulkan toksik.
Interaksi pada fase distribusi hanya terjadi jika obat tersebut memiliki ikatan kuat dengan
protein (> 90%), obat dengan jendela terapi sempit, volume distribusi kecil dan memiliki
onset yang cepat. Derivat sulfonamide, salisilat, fenilbutazon memiliki ikatan kuat
dengan protein, obat-obat ini dapat menggeser obat yang tidak terikat kuat dengan protein
Volume distribusi adalah volume yang jelas di mana dosis yang diberikan perlu
dilarutkan untuk menghasilkan beberapa konsentrasi plasma tertentu. Ketika suatu obat
memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk jaringan selain plasma, volume distribusinya
mungkin besar, bahkan bisa jauh lebih besar daripada ukuran tubuh manusia. Hal ini
terdapat pada kasus propofol, ditandai dengan redistribusi yang cukup besar ke jaringan

11
adiposa, menghasilkan volume distribusi yang besar, yaitu >300 liter (Van den Berg et
al., 2017).
Obat yang diberikan secara bersama dapat mempengaruhi volume distribusi melalui
beberapa mekanisme. Pertama, obat dapat bersaing untuk mengikat situs pada protein
plasma (misalnya, pada albumin dan α1-asam glikoprotein), sehingga berpotensi
meningkatkan fraksi yang tidak terikat dan menghasilkan volume distribusi yang lebih
tinggi. Kedua, obat yang menurunkan curah jantung dapat mengurangi perfusi jaringan
yang terlibat dalam redistribusi obat lain, sehingga mengubah volume distribusinya.
Adanya esmolol, dapat mengurangi kebutuhan akan propofol, hal ini dimungkinkan
sebagai akibat dari perubahan distribusi (Van den Berg at al., 2017).
(iii) Interaksi Farmakokinetik Fase Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah proses memetabolisme atau merubah
senyawa obat yang biasanya bersifat lipofil (non polar) yang sukar dieliminasi menjadi
metabolit inaktif (polar) sehingga mudah untuk dieliminasi dari tubuh melalui urin dan
feses. Proses ini dilakukan oleh enzim pemetabolisme yang ada di hati. Interaksi obat
pada fase ini dapat meningkatkan atau menurunkan kadar obat di dalam darah (Wynn et
al., 2009).
Hati penghasil enzim adalah pemeran utama dalam metabolisme obat, yang
diklasifikasikan sebagai metabolisme fase I dan fase II. Pada metabolisme fase I, hati
menghasilkan berbagai enzim untuk memetabolisme (memecah) obat dan membuatnya
lebih mudah larut dalam air dan lebih mudah untuk dieliminasi. Obat yang dipecah oleh
enzim disebut metabolit. Metabolit mungkin aktif dengan aktifitas farmakologis yang
sama atau berbeda sebagai obat induk (obat asli), atau tidak aktif secara farmakologis.
Suatu obat dapat mengalami beberapa jenis metabolisme.

Gambar 2. Interaksi Farmakokinetik Fase Metabolisme (Scott dan Nicholas, 2013).

12
Metabolisme fase I melibatkan reaksi kimia yang menghasilkan metabolit yang
merupakan molekul berbeda dari obat induknya. Metabolisme fase II lebih sederhana.
Obat (metabolit fase I) terkonjugasi dengan molekul yang diproduksi oleh tubuh seperti
glukuronida, glutathione, atau sulfat, proses ini disebut konjugasi. Sebagai contoh, aspirin
mengalami metabolisme fase I menjadi asam salisilat, kemudian asam salisilat bergabung
(terkonjugasi) dengan glukuronida oleh metabolisme fase I, metabolit glukuronida
diekskresikan oleh ginjal sebagai metabolit tidak aktif. Metabolisme fase I dipengaruhi
oleh penuaan sedangkan penuaan memiliki sedikit efek pada metabolisme fase II.
Interaksi obat fase metabolisme paling banyak terjadi pada metabolisme fase I (Scott and
Nicholas, 2013).
Obat-obatan dapat mempengaruhi metabolisme dengan jalur yang berbeda
tergantung pada dosis dan kondisi lainnya. Sebagai contoh, 95% dosis terapetik
asetaminofen (Tylenol, 650-1000 mg 3x sehari menjadi 4x sehari) dimetabolisme oleh
metabolisme fase II dan dieliminasi sebagai asetaminofen glukonat dan konjugat sulfat.
5% sisanya dimetabolisme melalui metabolisme fase I oleh CYP2E1, yang menghasilkan
metabolit hepatotoksik. Metabolit toksik selanjutnya dimetabolisme oleh metabolisme
fase II menjadi metabolit glutathione, yang tidak membahayakan hati. Dalam kasus
overdosis asetaminofen, tubuh menggunakan semua glukuronida dan sulfat yang tersedia,
sehingga metabolisme bergeser dari metabolisme fase II ke fase I. Metabolisme fase I
menghasilkan begitu banyak metabolit toksik, sehingga glutathione pelindung juga
banyak digunakan, dan hati mengalami kerusakan yang sangat parah. Acetylcysteine
kadang-kadang diberikan di ruang gawat darurat untuk mengisi kembali glutathione dan
mencegah akumulasi metabolit toksik, sehingga mengurangi toksisitas hati.
Penyalahgunaan alkohol kronis, terutama pada overdosis asetaminofen, menginduksi
produksi CYP2E1, mendukung pengembangan metabolit hepatotoksik. Namun
menariknya, konsumsi alkohol akut diketahui dapat menghambat aktifitas CYP2E1 dan
dapat melindungi hati dalam kasus overdosis asetaminofen (Scott and Nicholas, 2013).
(iv) Interaksi Obat Fase Eliminasi
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada fase ekskresi melalui empedu, sirkulasi
enterohepatik, sekresi tubuli ginjal dan perubahan pH urin. Interaksi obat fase ekskresi
melalui ekskresi empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk

13
sistem transport yang sama, contohnya kuinidin dapat menurunkan ekskresi empedu
digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu dari rifampisin. Obat – obat tersebut
memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu P – glikoprotein (Silverman, 2000).
Interaksi obat fase ekskresi pada sirkulasi enterohepatik dapat terjadi akibat supresi flora
normal usus yang berfungsi untuk menghidrolisis konjugat obat, akibat supresi flora
normal usus konjugat obat tidak dapat dihidrolisis dan direabsorbsi. Contohnya adalah
antibiotik rifampisin dan neomisin dapat mensupresi flora normal usus dan dapat
mengganggu sirkulasi enterohepatik metabolit konjugat obat kontrasepsi oral atau
hormonal, sehingga kontrasepsi oral tidak dapat dihidrolisis, reabsorbsinya terhambat dan
efek kontrasepsi menurun (Gitawati, 2008).
Interaksi obat pada sekresi tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan
metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama sistem 6 transport untuk obat
bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam. Contohnya adalah fenilbutazon dan
indometasin dapat menghambat sekresi tubuli ginjal obat-obat diuretik thiazid dan
furosemid, sehingga efek diuretiknya menurun. Interaksi obat karena perubahan pH urin
dapat mengakibatkan perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif
di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik bila fraksi obat yang diekskresi utuh
oleh ginjal cukup besar (>30%) dan obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau
asam lemah dengan pKa 3,0 – 7,5. Contohnya adalah efedrin yang merupakan basa lemah
dengan obat yang dapat mengasamkan urin seperti Ammonium Klorida dapat
menyebabkan klirens ginjal efedrin menurun. Fenobarbital yang bersifat asam dengan
obat yang membasakan urin seperti antasida dapat menyebabkan klirens ginjal
fenobarbital menurun dan efeknya juga menurun (Gitawati, 2008).
c. Interaksi Obat Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah istilah untuk efek yang dimiliki suatu obat terhadap tubuh.
Farmakodinamik suatu obat diuraikan dalam bentuk efek farmakologis vs dosis obat.
Secara umum, ketika dosis atau konsentrasi obat meningkat, efek farmakologis
meningkat secara proporsional (Scott and Nicholas, 2013). Interaksi farmakodinamik
adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem
fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa
ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi

14
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan
obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, kejadian interaksi farmakodinamik umumnya dapat
diprediksikan, sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja
obatnya (Gitawati, 2008).
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya: interaksi
antara β-blocker dengan agonis-β2 pada penderita asma; interaksi antara penghambat
reseptor dopamin (haloperidol, metoclopramid) dengan levodopa pada pasien parkinson.
Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara lain sebagai
berikut: interaksi antara aminoglikosida dengan furosemid akan meningkatkan risiko
ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; β-blocker dengan verapamil
menimbulkan gagal jantung, blok AV, dan bradikardi berat; benzodiazepin dengan etanol
meningkatkan depresi susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-obat trombolitik,
antikoagulan dan anti platelet menyebabkan perdarahan. Penggunaan diuretik kuat (misal
furosemid) yang menyebabkan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit seperti
hipokalemia, dapat meningkatkan toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama.
Pemberian furosemid bersama relaksan otot (misal, d-tubokurarin) menyebabkan
paralisis berkepanjangan. Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton,
amilorid) bersama dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia.
Kombinasi anti hipertensi dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang
menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama, dapat
menurunkan efek antihipertensi (Gitawati, 2008).

15
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1. Interaksi Tanaman Jeringau (Acorus calamus L.) dengan Obat


Acorus calamus L. umumnya dikenal sebagai jeringau datau dlingo. Tanaman ini
ditemukan di daerah beriklim subtropis di Utara Asia, Amerika Utara, dan Eropa. Acorus
calamus L. atau selanjutnya disebut AC telah digunakan sebagai resep Cina dan India
tradisional untuk efek yang menguntungkan pada gangguan memori, kinerja belajar,
konten lipid peroksida, aktivitas anti-penuaan dan antikolinergik. Selain itu, studi
farmakologis telah mengungkapkan bahwa rimpang AC mengandung α-dan β-asarone
yang memiliki berbagai efek farmakologis seperti obat penenang, depresan SSP,
antikonvulsan, penghambat acetylcholinesterase, meningkatkan daya ingat, anti-
inflamasi, antioksidan, antispasmodic, kardiovaskular, hipolipidemik, imunosupresif,
cytoprotective, antidiare, anthelmintic, insektisida, aktivitas diuretik, antioksidan,
genotoxic, mutagenic, dan antimikroba (Mukherjee et al., 2007)
3.1.1. Interaksi tanaman jeringau (Acorus calamus L.) dengan B Azole dan Amfoterisin
Sebagai Anticandidal
Menurut penelitian yang dilakukan Kumar et al. 2015, bahwa α- dan β- asarone
adalah senyawa bioaktif utama yang terdapat dalam AC. Pada penelitian ini senyawa α-
dan β- asarones diisolasi dari AC yang dikombinasi dengan dua obat B azole dan
amfoterisin kemudian digunakan untuk pengujian terhadap patogen jenis Candida.
Kombinasi tersebut memberikan hasil yang menjanjikan untuk terapi obat anticandidal.
Interaksi ini bersifat menguntungkan dengan kata lain AC yang dikombinasi dengan dua
obat B azole dan amfoterisin memiliki efek sinergis. Senyawa β-Asarone yang
bertanggung jawab sebagai antifungi dibandingkan α- asarone (Kumar et al., 2015;
Mukherjee et al., 2007 ).
Dalam penelitian ini, secara klinis digunakan agen antijamur yang dikombinasikan
dengan α- dan β- asarone. Peningkatan yang signifikan dalam aktivitas asarones dan
azoles dan amfoterisin B mungkin karena penghambatan ergosterol. Ergosterol adalah
komponen penting dari membran plasma jamur, dan penghambatan sintesis negatif
mempengaruhi fluiditas membrane. Efek antijamur dari asarones disebabkan karena
sebagian asarone memiliki peran pada tingkat ergosterol, serta efek tidak langsung

16
asarone pada signaling sel, proliferasi, dan diferensiasi melalui penghambatan sintesis
terpenoid. Mekanisme yang tepat dari aksi asarones dan azoles dan amfoterisin B masih
perlu dijelaskan secara mendalam (Kumar et al., 2015).
3.1.2. Interaksi tanaman jeringau (Acorus calamus L.) dengan Antasida
Acorus calamus (AC) dilaporkan memiliki aktivitas antiinflamasi dengan
mekanisme kerja menghambat jalur COX dari metabolisme asam arakidonat.
Prostaglandin (PG) endogen yaitu PGI2 dan PGE2 diproduksi dari asam arakidonat
melalui siklooksigenase (COX). PGE2 bersifat gastroprotektif karena menjaga integritas
mukosa saluran gastrointestinal (GI) melalui stimulasi sekresi HCO3 dan lendir atau
mukosa lambung yang dimediasi oleh reseptor EP3/EP4. Penghambatan jalur COX
terutama COX-1 oleh agen antiinflamasi menyebabkan penghambatan pembentukan
PGE2, sehingga terjadi peningkatan asam lambung yang tidak disertai perlindungan
mukosa dan sekresi HCO3 . Hal ini berlawanan dengan mekanisme kerja dari obat
antasida oleh karena itu efektifitas dari obat antasida menjadi turun apabila digunakan
bersamaan dengan AC (Takeuchi and Amagase, 2018).
3.1.3. Interaksi tanaman jeringau (Acorus calamus L.) dengan Carbamazepin (CBZ)
Menurut penelitian yang dilakukan Fong et al., (2013) AC tidak mengubah kadar
plasma atau parameter farmakokinetik lainnya dari CBZ pada hewan percobaan atau
manusia. Mengenai interaksi farmakodinamik antara CBZ dan AC terbukti memiliki
aktivitas antiepilepsi aditif dalam studi hewan. Interaksi farmakodinamik mengacu pada
perubahan efikasi (aktivitas antiepilepsi) dan atau efek samping dari CBZ terhadap
produk alami. AC memiliki potensi aktivitas antikonvulsan dari CBZ namun tidak
berpengaruh pada kadar plasma dari CBZ pada hewan percobaan. Meskipun memiliki
efek meningkatkan, pilihan yang terbaik adalah untuk menghindari penggunaan AC
dengan CBZ sampai ada bukti klinis lebih lanjut tentang penggunaan yang aman dari
kombinasi tersebut (Fong et al., 2013).
3.1.4. Interaksi Tanaman Jeringau (Acorus calamus L.) dengan Fenitoin dan
Fenobarbital
Menurut penelitian yang dilakukan Yende et al. (2008), AC adalah obat
tradisional yang berfungsi sebagai alternative obat saraf dan antikonvulsan. Pada
penelitian ini menggunakan AC, fenitoin dan fenobarbital yang diuji cobakan ke tikus

17
yang diinduksi Phentylenetetrazol (PTZ) seizure pada dosis 60 mg/kg/ip atau dosis
minimum yang diperlukan untuk menginduksi kejang klonik. Pada penelitian tersebut
dibagi menjadi 9 kelompok perlakuan dosis yaitu:
Kelompok 1: Pemberian Vehicle dengan dosis 10 mg/kg berat badan.
Kelompok 2: AC 150 mg/kg berat badan
Kelompok 3: AC 250 mg/kg berat badan
Kelompok 4: Fenitoin 25 mg/kg berat badan
Kelompok 5: Fenitoin 10 mg/kg berat badan
Kelompok 6: PB 20 mg/kg berat badan
Kelompok 7: PB 2 mg/kg berat badan
Kelompok 8: AC 150 mg/kg berat badan + Fenitoin 10 mg/kg berat badan
Kelompok 9: AC 150 mg/kg berat badan + PB 2 mg/kg berat badan
Hasil uji dari setiap kelompok menyatakan bahwa kelompok 3,4 dan 6
menunjukkan penurunan yang signifikan. Sementara kelompok 2,5 dan 7 tidak
menunjukkan adanya penurunan yang signifikan. Kemudian 3,4,dan 6 menunjukkan
perlindungan 100% dari hewan dari kejut listrik sementara. Kelompok 1 diberikan
perlakuan 2,5 dan 7 menunjukkan hasil nilai 0, 20, 20 dan 0% terhadap perlindungan
hewan dari kejut listrik masing-masing. Kelompok 2 dikombinasi dengan kelompok 5
menunjukkan penurunan yang signifikan. Hal tersebut juga sama dengan kombinasi
kelompok 2 dengan 7 yang hasilnya menunjukkan penurunan yang signifikan. Oleh
karena itu pada penelitian ini mencoba kombinasi AC (150 mg / kg) dengan Fenitoin (10
mg / kg) dan fenobarbital (2 mg / kg) yang hasilnya menunjukkan 100% perlindungan
terhadap hewan uji dari kejutan listrik yang diberikan (Yende et al., 2009).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian bersamaan ekstrak
metanol rimpang AC bersamaan dengan fenitoin dan fenobarbital menunjukkan
sinergisme dalam aksi antikonvulsan pada dosis non efektif. Mekanisme aksi sinergi ini
terjadi karena senyawa α -asarone yang terkadung di dalam AC, α-asarone mungkin
bertanggung jawab untuk kegiatan anticonvulsion dan bersinergis dalam mengurangi
dosis fenitoin dan fenobarbital untuk lebih sinergis dan berkontribusi untuk mengurangi
efek samping dari obat antiepilepsi (Yende et al., 2009).

18
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian bersamaan ekstrak
metanol rimpang AC aksi antikonvulsan pada dosis non efektif. Pada penelitian ini di
indikasi interaksi ramuan obat farmakodinamik positif untuk aktivitas antikonvulsan
sintetis. Oleh karena itu, ramuan seperti AC dapat diambil sebagai aditif dalam terapi
antiepilepsi kronis. Selain itu, studi klinis yang diperlukan untuk verifikasi dan
konfirmasi efektifitas kombinasi pengobatan AC dengan fenitoin dan fenobarbital yang
digunakan sebagai pengobatan epilepsi (Yende, et al., 2009).

3.2.Interaksi Tanaman Jeringau (Acorus calamus L.) Dengan Makanan


Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai interaksi Acorus calamus L
dengan makanan. Namun, terdapat potensi menurunnya kerja AC sebagai antiepilepsi
apabila dikonsumsi bersamaan dengan kafein. Hal ini didasarkan pada penelitian Fong et
al. (2013), dimana carbamazepin dan AC digunakan sebagai antiepilepsi menunjukkan
efek sinergis, tetapi efektivitas keduanya menurun saat digunakan bersamaan dengan
kafein, sehingga untuk meminimalisir terjadinya interaksi yang tidak diinginkan berupa
kurang efektifnya AC untuk pengobatan epilepsi, maka perlu dihindari penggunaan AC
bersamaan dengan makanan atau minuman yang mengandung kafein.

19
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Rimpang jeringau digunakan untuk mengobati sakit dan ngilu gigi, asma,
bronchitis dan sebagai penenang. Selain itu jeringau dipercaya dapat
meningkatkan daya ingat dan kecerdasan.
2. Interaksi Acorus calamus L. dengan azole dan amfoterisin sebagai anticandidal,
dengan carbamazepin, fenitoin dan fenobarbital sebagai anti konvulsan (epilepsi)
bersifat sinergis, sedangkan interaksi dengan antasida bersifat antagonis yang
dapat menurunkan efektivitas dari antasida.
3. Interaksi Acorus calamus L. sampai saat ini belum ada penelitian dengan
makanan, namun terdapat potensi interaksi berupa menurunnya aktivitas AC
apabila digunakan bersamaan dengan makanan atau minuman yang mengandung
kafein dalam terapi epilepsi.

4.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut interaksi Acorus calamus L. dengan obat
maupun makanan

20
DAFTAR PUSTAKA

Alifiar, I. 2016. Gambaran Potensi Interaksi Obat dengan Makanan pada Pasien Hepar
Yang Dirawat di Sebuah Rumah Sakit di Kota Tasikmalaya. Jurnal Surya Medika.
2 (1): 47-52.
Aslam, M., Kaw Tan, C., dan Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Balakumbahan, R., K. Rajamani, dan K. Kumanan. 2015. Acorus calamus : an overview.
(September)
BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia: Jakarta.
Divya, G., S. Gajalakshmi, S. Mythili and A. Sathiavelu. 2011. Pharmacological
Activities of Acorus calamus: A Review. Asian Journal of Biochemical and
Pharmaceutical Research 4(1):57-64.
Fong, S. Y. K., Gao, Q., & Zuo, Z. (2013). Interaction Of Carbamazepine with Herbs,
Dietary Supplements, and Food: A Systematic Review. Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine, 2013.
Gitawati, R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang Kesehatan.
18 (4): 175-184.
Izzo, A.A. 2004. Herb-Drug Interaction: An Overview Of The Clinical Evidence.
Fundamental and Clinical Pharmacology. 19. 1-16.
Kemenkes RI. 2007. Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Kumar, S. N., Aravind, S. R., Sreelekha, T. T., Jacob, J., & Kumar, B. D. (2015).
Asarones From Acorus Calamus In Combination with Azoles and Amphotericin B:
A Novel Synergistic Combination to Compete Against Human Pathogenic Candida
Species in Vitro. Applied Biochemistry and Biotechnology, 175(8), 3683-3695.
Lal, V.K., dkk. 2011. Interaction of Aqueous Extract of Trigonella Foenum-Graecum
Seeds with Glibenclamide in Streptozotocin Induced Diabetic Rats. American
Journal of Pharmacology and Toxicology. 6 (4): 102-106.

21
Lin, Y. C.,Bioetau, A. B., Ferrari, L. R. Dan Berde, C. B. 2004. The Use Of Herbs And
Complementary and Alternative Medicine in Pediatric Preoperative Patients.
Journal Of Clinical Anesthesia. 16, 4-6.
Liu, X.C., L.G. Zhou, Z.L. Liu and S.S. Du. 2013. Identification Of Insecticidal
Constituents Of The Essential Oil Of Acorus Calamus Rhizomes Against
Liposcelis Bostrychophila Badonnel. Molecules 18: 5684-5696.
Mukherjee, P. K., Kumar, V., Mal, M., & Houghton, P. J. (2007). Acorus calamus.:
Scientific Validation Of Ayurvedic Tradition From Natural Resources.
Pharmaceutical Biology, 45(8), 651-666.
Mungkornasawakul, P., D. Supyen, C. Jatisatienr and A. Jatisatienr. 2012. Proc. Int. Conf.
On MAP Eds. J. Bernáth. p 341-345.
Piscitelli, S.C., Burstein, A.H., Chaitt, D., Alfaro, R.M., Fallon, J. Indinavir
Concentrations and St. John’s Wort. Lancet. 2000. 355: 547-548.
Pramono, S. 2002. Kontribusi Bahan Obat Alam Dalam Mengatasi Krisis Bahan Obat di
Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 1 (1): 18-20.
Subositi, D., Mujahid, R., dan Widyastuti, Y. 2015. Keragaman Genetik Dringo (Acorus
calamus L.) Berdasarkan ISSR. Buletin Kebun Raya. 18 (2): 125-134.
Scott, A. G. dan G.S. Nicholas. 2013. Mechanisms of Drug Interactions. Drug
Interactions in Infectious Disease. 18 (3): 13-39.
Singh, R., P.K. Sharma and R. Malviya. 2011. Pharmacological Properties And
Ayurvedic Value Of Indian Buch Plant (Acorus Calamus): A Short Review. Advan.
Biol. Res. 5 (3): 145-154
Silverman, J.A. P-glycoprotein. In: Levy, R.H., Thummel, K.E, Trager, W.F., Hansten,
P.D., Eichelbaum, M., editors. Metabolic drug interactions. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins: 2000.
Sreejaya, S.B. and K.S. Santhy. 2013. Cytotoxic Properties Of Acorus Calamus In MCF
-7 Breast Cancer Cells . Int.J.Curr.Res.Aca.Rev. 1(1):106-111.
Susanti, N. 2016. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Rimpang Jeringau (Acorus calamus )
Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans. 1(1):55–58.

22
Takeuchi, K., & Amagase, K. 2018. Roles Of Cyclooxygenase, Prostaglandin E2 and EP
Receptors In Mucosal Protection And Ulcer Healing In The Gastrointestinal
Tract. Current Pharmaceutical Design, 24(18): 2002-2011.
Utari C. S., T. Widyarini, S. D., dan D. Ruben Dharmawan. 2006. Potensi Minyak
Rimpang Jeringau (Acorus calamus L.) Sebagai Repelen Terhadap Nyamuk Culex
Quinquefasciatus. Skripsi.
Van Den Berg, J. P., H. E. M. Vereecke, J. H. Proost, D. J. Eleveld, J. K. G. Wietasch, A.
R. Absalom, dan M. M. R. F. Struys. 2017. Pharmacokinetic and Pharmacodynamic
Interactions in Anaesthesia. A Review Of Current Knowledge And How It Can Be
Used To Optimize Anaesthetic Drug Administration. British Journal of
Anaesthesia. 118(1):44–57.
Wahyuni, A., A. Kadir, dan A. Najib. 2012. Isolasi dan Identifikasi Komponen Kimia
Fraksi N-Heksana Daun Tumbuhan Jeringau (Acorus Calamus Linn.). 04(01):58–
64.
Wulandari, R., M. A. Wibowo, D. F. Liana, P. S. Kimia, dan F. Untan. 2015. Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Metanol Rimpang Jeringau Merah (Acorus Calamus Linn.)
Terhadap Pertumbuhan Shigella Flexneri Secara In Vitro. Skripsi :317–331.
WHO. 2005. National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal
Medicines. Report of a WHO global survey. Geneva
Wynn, G.H., Jessica, R.O., Kelly, L.C., dan Scott, C.A. 2009. Clinical manual of drug
interaction principles for medical practice. Washington, DC: American Psychiatric
Pub.
Yende, S. R., Harle, U. N., Bore, V. V., Bajaj, A. O., Shroff, K. K., & Vetal, Y. D. (2009).
Reversal Of Neurotoxicity Induced Cognitive Impairment Associated with
Phenytoin And Phenobarbital by Acorus Calamus In Mice. Journal of Herbal
Medicine and Toxicology, 3(1), 111-115.

23

Anda mungkin juga menyukai