Anda di halaman 1dari 9

RESUME 6

KONSELING LINTAS BUDAYA


BUDAYA DAN POLA ASUH

DOSEN PEMBIMBING:
Prof. Dr. Mudjiran, M. S., Kons.

OLEH:
Ade Maharani
21006001

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
PETA KONSEP
BUDAYA DAN POLA ASUH

A. Komunikasi Antar Budaya


Komunikasi antar budaya dalam pola asuh adalah aspek yang penting dalam
pemahaman bagaimana individu mengasuh anak-anak mereka dalam konteks budaya
yang berbeda. Menurut Kim, Yang, dan Hwang (2006), pola asuh sering kali
mencerminkan nilai-nilai dan norma budaya orang tua, dan ini memengaruhi cara
mereka berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak-anak mereka. Komunikasi antar
budaya dalam pola asuh mengacu pada cara budaya orang tua memengaruhi interaksi
mereka dengan anak-anak dan pengambilan keputusan dalam mendidik mereka. Ini
mencakup bahasa yang digunakan, metode pengajaran, serta penghargaan terhadap
norma budaya tertentu.
Pentingnya memahami komunikasi antar budaya dalam pola asuh adalah agar
kita dapat mengidentifikasi bagaimana nilai-nilai, keyakinan, dan norma budaya
berpengaruh pada cara orang tua mendidik anak-anak mereka. Misalnya, dalam
budaya yang lebih kolektif, seperti dalam budaya Asia Timur, penting untuk
menanamkan rasa hormat kepada orang tua dan otoritas. Kim et al. (2006)
menjelaskan bahwa ini mungkin tercermin dalam cara orang tua berkomunikasi
dengan anak-anak mereka, dengan menekankan pada kepatuhan dan kesetiaan kepada
nilai-nilai tradisional. Di sisi lain, dalam budaya yang lebih individualistik, seperti di
sebagian besar negara Barat, pendekatan dalam pola asuh mungkin lebih terbuka
terhadap diskusi dan negosiasi, memungkinkan anak-anak untuk mengembangkan
kemandirian.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa komunikasi antar budaya
dalam pola asuh bukan hanya tentang bagaimana budaya orang tua memengaruhi
anak-anak mereka, tetapi juga bagaimana anak-anak menghadapi budaya yang
berbeda di luar keluarga mereka. Hal ini dapat memengaruhi bagaimana mereka
berinteraksi dengan teman sebaya, menghadapi tekanan sosial, dan membentuk
identitas mereka. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang hubungan
antara komunikasi antar budaya dalam pola asuh adalah kunci untuk memahami
perkembangan individu dalam konteks budaya yang kompleks.
B. Pengaruh Budaya dalam Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Pengaruh budaya dalam komunikasi verbal dan non-verbal sangat signifikan,
karena budaya memainkan peran penting dalam membentuk cara kita berkomunikasi
dengan orang lain.
1. Pengaruh Budaya dalam Komunikasi Verbal
Pengaruh budaya dalam komunikasi verbal dalam pola asuh adalah aspek
yang penting dalam memahami bagaimana individu dari latar belakang budaya
yang berbeda berinteraksi dengan anak-anak mereka. Seperti yang dijelaskan oleh
Ting-Toomey (1999), komunikasi verbal dalam konteks pola asuh mencerminkan
nilai-nilai, norma, dan keyakinan budaya orang tua yang memengaruhi bagaimana
pesan disampaikan dan diterima dalam hubungan antara orang tua dan anak-anak.
Budaya memainkan peran utama dalam memengaruhi bahasa yang digunakan,
cara berbicara, serta gaya komunikasi yang diterapkan dalam pola asuh.
Sebagai contoh, dalam budaya yang lebih formal, seperti di sebagian besar
negara Asia Timur, komunikasi dalam pola asuh mungkin lebih mengedepankan
penggunaan bahasa yang sopan dan hormat. Orang tua cenderung menggunakan
bentuk bahasa yang menggambarkan hierarki sosial dan penghormatan kepada
otoritas, seperti menyebut diri mereka dalam bentuk bahasa yang lebih tinggi. Di
sisi lain, dalam budaya yang lebih santai, seperti di beberapa budaya Barat,
komunikasi dalam pola asuh mungkin lebih terbuka terhadap ekspresi diri yang
lebih informal, yang memungkinkan anak-anak untuk berbicara kepada orang tua
mereka dengan cara yang lebih akrab.
Pemahaman yang mendalam tentang pengaruh budaya dalam komunikasi
verbal dalam pola asuh penting karena memengaruhi cara anak-anak memahami
dan merespons pesan yang disampaikan oleh orang tua. Selain itu, ini juga dapat
memengaruhi bagaimana anak-anak memahami norma sosial dan budaya dalam
komunikasi mereka dengan orang lain di luar keluarga. Oleh karena itu, budaya
memainkan peran sentral dalam membentuk cara komunikasi verbal dalam pola
asuh, dan pemahaman yang lebih baik tentang peran ini dapat membantu dalam
membangun hubungan yang sehat antara orang tua dan anak-anak mereka.
2. Pengaruh Budaya dalam Komunikasi Non-Verbal
Pengaruh budaya dalam komunikasi nonverbal dalam pola asuh adalah
aspek penting dalam memahami bagaimana nilai, norma, dan keyakinan budaya
berdampak pada interaksi antara orang tua dan anak-anak mereka. Seperti yang
dikemukakan oleh Matsumoto dan Hwang (2013), komunikasi nonverbal
mencakup bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerakan mata, dan banyak elemen lain
yang sering kali lebih kuat dan jelas dalam menyampaikan pesan dibandingkan
dengan komunikasi verbal. Budaya memengaruhi cara orang tua
mengekspresikan kasih sayang, ketidaksetujuan, penghargaan, dan berbagai
emosi lainnya dalam pola asuh mereka.
Misalnya, dalam beberapa budaya, seperti di sebagian besar negara Asia
Timur, ekspresi emosi sering kali lebih terkendali dan tidak begitu terbuka. Orang
tua mungkin menunjukkan kasih sayang melalui tindakan dan perhatian lebih dari
pada ekspresi verbal. Di sisi lain, dalam budaya yang lebih ekspresif, komunikasi
nonverbal dalam pola asuh mungkin mencakup pelukan, ciuman, dan kontak fisik
yang lebih sering digunakan sebagai cara mengekspresikan kasih sayang dan
dukungan.
Pemahaman yang mendalam tentang pengaruh budaya dalam komunikasi
nonverbal dalam pola asuh sangat penting karena ini memengaruhi bagaimana
anak-anak memahami ekspresi orang tua mereka dan cara mereka meresponsnya.
Ini juga memengaruhi perkembangan pemahaman anak-anak tentang norma sosial
dan budaya dalam komunikasi nonverbal dengan orang lain di luar keluarga
mereka. Oleh karena itu, budaya memainkan peran yang signifikan dalam
membentuk komunikasi nonverbal dalam pola asuh, dan pemahaman yang lebih
baik tentang peran ini dapat membantu dalam membangun hubungan yang sehat
antara orang tua dan anak-anak mereka.

C. Komunikasi Lintas Budaya, Konflik dan Pemecahannya


Komunikasi lintas budaya adalah proses interaksi antara individu atau
kelompok yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Dalam konteks
komunikasi lintas budaya, konflik sering kali muncul karena perbedaan dalam bahasa,
nilai-nilai, norma, dan keyakinan budaya yang memengaruhi cara pesan disampaikan
dan diterima. Seperti yang dijelaskan oleh Ting-Toomey (1999), konflik dalam
komunikasi lintas budaya sering kali dipicu oleh ketidakpahaman atau
kesalahpahaman terkait norma budaya, persepsi, atau ekspektasi yang berbeda.
Konflik semacam ini dapat memengaruhi hubungan antarbudaya dan membutuhkan
pemecahan yang bijaksana.
Pemecahan konflik dalam komunikasi lintas budaya melibatkan pemahaman
mendalam tentang budaya dan kesediaan untuk beradaptasi. Menurut Kim dan Abbe
(2013), penting untuk berusaha memahami perspektif budaya dari kedua belah pihak
yang terlibat dalam konflik. Ini berarti berusaha memahami perbedaan budaya yang
mendasari konflik dan mencari solusi yang menghormati budaya masing-masing
pihak. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran diri terkait dengan
budaya dan cara komunikasi kita sendiri sehingga kita dapat menghindari kesalahan
dan prasangka yang dapat memperburuk konflik.
Pendekatan yang inklusif, dialog terbuka, dan empati dalam memecahkan
konflik antarbudaya dapat membantu memperkuat hubungan dan mengurangi
ketegangan. Pendidikan tentang keanekaragaman budaya dan pelatihan komunikasi
lintas budaya dapat mendukung upaya pemecahan konflik yang efektif. Dengan
pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana budaya memengaruhi komunikasi dan
konflik, kita dapat bekerja menuju pemecahan konflik yang saling menguntungkan,
yang menghormati nilai dan norma budaya, sambil menciptakan ruang bagi dialog
yang lebih efektif dan kolaboratif.

D. Jenis Pola Asuh


1. Otoritatif
Pola asuh jenis otoritatif adalah pendekatan yang diterapkan oleh orang
tua yang menggabungkan kedua aspek, yaitu kedisiplinan yang tegas dan kasih
sayang yang hangat. Menurut Baumrind (1995), pola asuh otoritatif melibatkan
kombinasi antara tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dan tingkat kasih sayang
yang kuat. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif memberikan batasan
yang jelas bagi anak-anak mereka, tetapi juga memberikan perhatian, dukungan,
dan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan anak-anak. Dalam pola asuh
otoritatif, anak-anak diberi kebebasan untuk berpendapat dan mengemukakan
pendapat mereka, sambil tetap tunduk pada struktur dan panduan yang diberikan
oleh orang tua.
Dalam pola asuh otoritatif, komunikasi antara orang tua dan anak-anak
sangat penting. Orang tua menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak-
anak merasa nyaman berbicara dan berbagi perasaan mereka. Mereka juga
memberikan penjelasan dan alasan yang masuk akal untuk aturan dan keputusan
yang mereka buat. Sebagai hasilnya, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh
otoritatif cenderung mengembangkan kemandirian, kemampuan berkomunikasi,
serta pemahaman tentang tanggung jawab mereka dalam mengelola perilaku dan
tindakan mereka. Pola asuh otoritatif telah terbukti berkontribusi pada
perkembangan anak yang sehat dan memiliki hubungan yang positif antara orang
tua dan anak.

2. Otoriter
Pola asuh jenis otoriter adalah suatu pendekatan dalam mendidik anak
yang dikenal dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi, namun cenderung kurang
mengakomodasi perasaan dan keinginan anak. Orang tua yang menerapkan pola
asuh otoriter seringkali memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap perilaku dan
kinerja anak mereka, dan mereka cenderung menetapkan aturan-aturan yang ketat
serta menegakkan hukuman atau sanksi ketika aturan tersebut dilanggar. Sebagian
besar orang tua dengan pola asuh otoriter mendasarkan pendekatan ini pada
pandangan bahwa kontrol yang ketat akan menghasilkan anak-anak yang patuh
dan disiplin.
Menurut Penelope Leach (2010), pola asuh otoriter cenderung
menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa tekanan dan kekakuan. Hal
ini dapat mengakibatkan anak-anak kurangnya kebebasan untuk mengemukakan
pendapat mereka dan menghambat perkembangan kemandirian mereka. Selain
itu, pola asuh otoriter sering kali tidak memberikan ruang bagi anak-anak untuk
belajar dari pengalaman atau membuat keputusan sendiri. Meskipun pola asuh ini
mungkin memiliki manfaat dalam hal menjaga tata tertib dan kedisiplinan, ia juga
dapat menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki tingkat kebahagiaan dan
kesejahteraan yang lebih rendah.

3. Permisif
Pola asuh jenis permisif adalah pendekatan dalam mendidik anak di mana
orang tua cenderung memberikan tingkat kebebasan yang tinggi kepada anak-
anak mereka tanpa banyak batasan atau pengawasan. Dalam pola asuh ini, orang
tua seringkali menunjukkan tingkat kesabaran dan penerimaan yang tinggi
terhadap anak-anak, memungkinkan mereka untuk melakukan apa yang mereka
inginkan dan mengambil keputusan sendiri dengan sedikit intervensi atau disiplin.
Secara umum, orang tua dengan pola asuh permisif berusaha untuk menciptakan
suasana yang nyaman dan bebas bagi anak-anak mereka.
Menurut Baumrind (1991), pendekatan pola asuh permisif cenderung
menghasilkan anak-anak yang memiliki otonomi dan kreativitas yang tinggi,
namun juga dapat mengakibatkan kurangnya disiplin dan kontrol diri. Anak-anak
yang dibesarkan dalam lingkungan permisif cenderung memiliki ekspektasi yang
lebih rendah terhadap aturan dan struktur, yang dapat berdampak pada
kemampuan mereka dalam menghadapi tugas-tugas yang mengharuskan disiplin
dan tanggung jawab. Selain itu, pola asuh ini juga dapat memunculkan tingkat
konflik yang tinggi antara orang tua dan anak jika anak merasa terlalu bebas atau
kurangnya panduan.

4. Neglectful
Pola asuh jenis neglectful, atau sering disebut juga sebagai pola asuh yang
abai, adalah pendekatan dalam mendidik anak di mana orang tua menunjukkan
tingkat perhatian dan keterlibatan yang sangat rendah terhadap anak-anak mereka.
Orang tua yang menerapkan pola asuh neglectful cenderung tidak memberikan
dukungan emosional atau fisik yang memadai kepada anak-anak mereka, dan
seringkali terlibat dalam aktivitas-aktivitas lain yang mengabaikan kebutuhan dan
perkembangan anak-anak. Hal ini dapat mengakibatkan anak-anak merasa
terabaikan, tidak diperhatikan, dan tidak dihargai, yang pada gilirannya dapat
berdampak negatif pada perkembangan mereka.
Menurut J. Arnett (2020), pola asuh neglectful dapat menghasilkan anak-
anak yang merasa tidak aman, cenderung memiliki masalah emosional, dan
mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Orang tua
yang menerapkan pola asuh ini seringkali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang kebutuhan dan perkembangan anak, atau mungkin terlalu sibuk dengan
masalah pribadi atau pekerjaan mereka. Sebagai akibatnya, anak-anak mungkin
tumbuh dalam lingkungan yang kurang mendukung dan kurangnya panduan dari
orang tua, yang dapat menghambat perkembangan mereka.
DAFTAR RUJUKAN

Arnett, J. J. (2020). Human Development: A Cultural Approach. Pearson.


Baumrind, D. (1991). The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and
Substance Use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.
Baumrind, D. (1995). Child Care Practices Anteceding Three Patterns of Preschool Behavior.
Genetic Psychology Monographs, 75(1), 43-88.
Kim, U., Yang, K. S., & Hwang, K. K. (2006). Indigenous and Cultural Psychology:
Understanding People in Context. Springer Science & Business Media.
Kim, Y. Y., & Abbe, A. (2013). Multiculturalism and Intergroup Relations. Taylor &
Francis.
Leach, P. (2010). Your Baby and Child: From Birth to Age Five. Knopf.
Matsumoto, D., & Hwang, H. C. (2013). Culture and Psychology. Cengage Learning.
Ting-Toomey, S. (1999). Communicating Across Cultures. Guilford Press.

Anda mungkin juga menyukai