Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN KONSEP DIRI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia 1


Dosen Pengampu: Bambang Edi Warsito, S.Kp.M.Kes

Disusun oleh
Kelompok 1 - A22.1

Ripipita Nadyah Puspa Bahri 22020122130058

Kana Khairun Nisa 22020122130065

Halimah Dzatun Ni`am 22020122130069

Muhammad Eliazar Al-Fatih 22020122130073

Setyaningsih Rosita Dewi 22020122130079

Satria Nindya Wijayanti 22020122130087

Alyea Dhia Tohari 22020122130089

Anisa Kusuma Wulandari 22020122130103

Qurrota A'yun 22020122130107

Alif Maulana 22020122130110

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
A. Konsep Diri pada Berbagai Tahap Kehidupan Manusia
1. Konsep Diri Anak
a. Pentingnya Konsep Diri saat Usia Anak
Peran konsep diri pada usia anak sangat penting karena pada usia
tersebut disebut masa golden age, dimana mereka mengalami
lonjakan perkembangan pesat. Masa ini menjadi kunci untuk
mengembangkan konsep diri, memengaruhi pandangan anak
terhadap diri sendiri dan lingkungan. Pengajaran konsep diri sejak
dini oleh orang tua menjadi landasan penting, karena pada awal
kehidupan anak belum memiliki pandangan terhadap orang lain.
Interaksi dengan lingkungan sekitar, termasuk keluarga, saudara,
teman, dan tetangga, juga berperan dalam membentuk konsep diri
anak. Oleh karena itu, masa golden age dianggap ideal untuk
menanamkan konsep diri yang positif pada anak. (Hartanti, 2018)
Masa golden age, terutama pada rentang usia kanak-kanak
awal (2-6 tahun) dan akhir (6-12 tahun), dianggap krusial untuk
menanamkan konsep diri pada anak. Tidak melibatkan diri dalam
proses ini dapat berakibat rugi bagi orang tua, karena mereka
melewatkan kesempatan untuk mengajarkan anak menghargai diri
sendiri, mencegah perbandingan diri dengan orang lain, dan tidak
menggali potensi anak dengan baik. Peran aktif orang tua dalam
menentukan konsep diri anak melibatkan cinta, kasih sayang, dan
penghargaan, yang membantu membangun konsep diri yang
positif. Penting juga untuk menghindari anak membandingkan
dirinya dengan yang lain, dengan menjelaskan bahwa setiap anak
dilahirkan dengan perbedaan unik.
b. Karakteristik Konsep Diri pada Anak
Anak-anak memiliki karakteristik konsep diri berdasarkan
rentang usianya. Untuk anak berusia 0-1 tahun memiliki
karakteristik mulai untuk mempercayai serta mampu membedakan
diri dari lingkungan. Anak yang berusia 1-3 tahun mempunyai
kontrol terhadap beberapa bahasa, mulai menjadi otonom dalam
pikiran dan tindakan, menyukai tubuhnya sampai menyukai
dirinya. Lalu, anak-anak dengan usia 3-6 tahun dapat mengambil
inisiatif, mengidentifikasi gender, meningkatkan kewaspadaan diri,
keterampilan berbahasa meningkat. Adapun anak 6-12 tahun sudah
dapat mengatur diri sendiri, berinteraksi dengan teman sebaya,
harga diri meningkat dengan penguasaan keterampilan baru, serta
mampu menyadari kekuatan dan keterbatasan mereka.
Gambaran perubahan konsep diri anak usia 6-12 tahun
disebabkan oleh tuntutan akademik dan perubahan sosial yang baru
ditemui di sekolah atau pun lingkungan sosialnya. Sekolah
memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal perbedaan
antara dirinya dengan teman-temannya, sehingga ia memiliki
penilaian terhadap temannya secara rasional dan realistis.
Perubahan konsep diri anak dari tahun ke tahun dapat dilihat
perubahannya melalui karakteristik internal, aspek sosial, dan
perbandingan sosial (Devit & Ormrod dalam Hartanti, 2018).
1. Karakteristik internal.
Masa kanak-kanak akhir biasanya ia lebih mampu memahami
dirinya melalui karakter internal dan eksternal. Ia memiliki
sensitivitas terhadap apa yang ia lakukan dan apa respon orang
lain terhadap perilakunya.
2. Karakteristik aspek sosial.
Individu dalam masa kanak-kanak mampu memahami dirinya
dan sering bergabung dengan kelompok-kelompok sosial
sebagai acuan dalam mendeskripsikan dirinya.
3. Karakteristik perbandingan sosial.
Perbandingan sosial dalam lingkungan sekitar dijadikan acuan
utama untuk pemahaman diri anak di usia 6-12 tahun. Pada
tahap perkembangan ini anak cenderung membandingkan
dirinya dengan orang lain secara absolut. Lingkungan
pertemanannya dijadikan acuan utama dalam memberikan
penilaian terhadap dirinya sendiri dan cenderung dijadikan role
model dalam perilakunya sehari-hari dalam menerapkan
konsep diri.
c. Masalah Konsep Diri pada Anak
Beberapa masalah dapat timbul karena kurangnya pengajaran
konsep diri kepada anak sejak dini. Permasalahan yang sering
muncul melibatkan idealisasi diri, kurangnya penghargaan
terhadap diri sendiri, dan citra diri yang terkait dengan konsep diri.
Dampak dari konsep diri negatif pada anak sangat serius, karena
jika anak tidak memiliki konsep diri yang positif, ia dapat
mengalami krisis dalam hal idealisasi diri, citra diri, dan harga diri
yang rendah.
Permasalahan yang mungkin timbul terkait konsep diri anak
usia dini dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Idealis seorang anak
Munculnya kepercayaan diri, keberanian, ketekunan,
kesabaran, upaya yang luar biasa, dan pemikiran positif pada
seorang anak dapat membentuk citra ideal dirinya. Penting
untuk memilih dan membentuk contoh sosok yang menjadi
panutan agar anak dapat mengembangkan kepribadiannya
dengan baik. Orang tua memiliki peran yang sangat penting
dalam mencegah anak mengidolakan sosok yang mungkin
tidak cocok sebagai panutan, sehingga perkembangan karakter
dan kepribadian anak dapat berjalan sesuai arah yang
diinginkan.
2. Citra diri
Cara pandang dan pemikiran seseorang terhadap dirinya
sendiri, yang disebut sebagai citra diri, memainkan peran kunci
dalam menentukan perilaku dan tindakan seseorang. Citra diri
dapat dilihat sebagai cermin internal yang mencerminkan
bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Jika seorang
anak melihat dirinya dengan keyakinan, hal ini akan
menciptakan tindakan yang sesuai dengan keyakinan tersebut.
Sebaliknya, jika citra diri mencerminkan pemalas, perilaku
anak pun akan mengikuti pola tersebut. Oleh karena itu,
pengembangan citra diri yang positif menjadi faktor penting
dalam meraih kesuksesan, dan pengaruh positif tersebut dapat
dihasilkan melalui pandangan positif yang ditanamkan pada
diri anak.
3. Harga diri
Harga diri anak merupakan hasil perbandingan antara citra diri
dan gambaran diri ideal. Semakin mendekati ideal, harga diri
anak akan semakin tinggi. Pikiran positif yang melingkupi
pikiran anak akan memotivasi dan memacu semangatnya.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, teknik
menggambar dapat digunakan sebagai salah satu alat
identifikasi potensi masalah pada konsep diri anak. Melalui
observasi gambar anak, dapat ditemukan apakah anak
cenderung menggambarkan hal-hal negatif atau positif, yang
dapat memberikan gambaran tentang konsep dirinya. Selain itu,
lingkungan bermain anak juga perlu diperhatikan, karena
pengaruhnya dapat memengaruhi konsep diri anak. Jika
lingkungan bermain cenderung memberikan pengaruh negatif,
hal tersebut dapat mempengaruhi konsep diri anak secara
negatif juga. Oleh karena itu, perhatian terhadap lingkungan
bermain anak menjadi penting dalam pengembangan konsep
dirinya.
2. Konsep Diri Remaja
a. Karakteristik Konsep Diri pada Remaja (kana)
Konsep diri usia remaja yakni pada usia SMP-SMA adalah, konsep
diri yang mana mereka mengalami perkembangan yang sangat
kompleks dan melibatkan sejumlah aspek dalam diri mereka.
Santrock (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik
perkembangan konsep diri pada remaja yaitu:
1. Abstrak dan Idealistik
Pada masa remaja, anak-anak cenderung lebih mungkin
membuat gambaran tentang diri mereka dengan kata-kata yang
abstrak dan idealistic. Gambaran abstrak tentang diri seorang
anak dapat dilihat dari pernyataan anak usia 14 tahun berikut:
“Saya seorang manusia. Saya tidak dapat memutuskan
sesuaatu. Saya tidak tahu siapa diri Saya.” Sedangkan deskripsi
idealistic dari konsep diri remaja dapat dilihat dari pernyataan:
“Saya orang yang sensitive. Saya sangat peduli terhadap
perasaan orang lain. Saya rasa, Saya cukup cantik.”
2. Differentiated
Pada tahap ini remaja lebih mungkin untuk menggambarkan
dirinya sendiri dengan konteks atau situasi yang semakin
terdiferensiasi. Misalnya remaja berusaha menggambarkan
dirinya dalam menggunakan sejumlah karakteristik dalam
hubungannya dengan keluarga, atau dalam hubungannya
dengan teman sebaya, dan bahkan dalam hubungannya yang
romantis dengan lawan jenis
3. Contradiction within the self
Istilah Kontradiksi adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan diri mereka secara kontradiktif dapat berupa
misalkan jelek dan menarik, mudah bosan dan ingin tau, peduli
dan tidak peduli, tertutup dan suka bersenang- senang.
4. The Fluctiating Self
Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya yang
memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan lintas
waktu yang tidak mengejutkan.. Seorang peneliti menjelaskan
sifat fluktuasi dalam diri remaja tersebut disebut dengan
metafora “The Barometic” (diri barometik). Maksudnya
adalah diri seorang remaja akan terus memiliki ciri
ketidakstabilan hingga masa dimana remaja berhasil
membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh.
5. Real and Ideal, True and False Selves.
Kemudian munculah kemampuan remaja untuk
mengkonstruksikan diri ideal mereka disamping diri yang
sebenarnya, tetapi hal tersebut masih membingungkan remaja.
Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan antara diri
yang nyata dengan diri yang ideal menunjukkan adanya
perkembangan kognitif pada diri remaja.
6. Social Comparison.
Dibandingkan dengan anak-anak remaja lebih senang
menggunakan perbandingan untuk mengevaluasi diri mereka.
Namun, kesedian remaja untuk mengevaluasi diri sendiri akan
menurun pada masa ini, karena menurut mereka perbandingan
sosial itu tidak diinginkan.
7. Self-Conscious
Karakteristik lain pada remaja yaitu bahwa remaja lebih sadar
akan dirinya disbanding dengan anak-anak. Remaja menjadi
lebih introspektif, yang mana hal ini merupakan bagian dari
kesadaran diri mereka dan bagian dari eksplorasi diri.
8. Self -Protective
Self-Protective merupakan mekanisme untuk mempertahankan
diri. Dalam upaya melindungi dirinya, remaja cenderung
menolak adanya karakteristik negatif dalam diri mereka.
Mereka cenderung berusaha menunjukan diri yang memiliki
sifat periang, cantik, menarik, dan suka bersenang-senang.
Dibandingkan sifat jelek, pemurung, penyendiri, dan pendiam.
Hal ini merupakan kecenderungan remaja untuk
menggambarkan dirinya secara idealistik
9. Unconscious.
Unconscious merupakan karateristik yang tdai disadari.
Artinya, remaja yang lebih tua yakin adanya aspek-aspek
tertentu dari pengalaman mental diri mereka yang berada di
luar kesadaran atau kontrol mereka dibandingkan dengan
remaja yang lebih mudah.
10. Self-Integration
Pada masa remaja akhir konsep diri remaja akan lebih
terintegrasi, dimana bagian yang berbeda-beda dari diri secara
sistematik menjadi satu kesatuan. Maksudnya adalah remaja
yang lebih tua lebih mampu mendeteksi adanya
ketidakkonsistenan dalam gambaran diri mereka. Pada saat
yang sama, ketika remaja menghadapi tekanan untuk
membagibagi diri menjadi sejumlah peran, munculah
pemikiran formal operasional yang mendorong proses
integrase dan perkembangan dari suatu teori diri yang konsisten
dan koheren.
b. Masalah Konsep Diri pada Remaja (niam)
Merasa ditolak oleh orang lain akan menimbulkan konsep diri
rendah, ketidakstabilan emosional dan unresponsiveness, dan
pandangan negatif dari dunia, sedangkan perasaan diterima oleh
orang lain akan mengakibatkan perasaan bahagia, konsep diri yang
lebih tinggi, stabilitas emosional dan responsiveness, dan
pandangan positif dari dunia.
Pentingnya persepsi diri untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak telah dibuktikan dalam penelitian yang
menunjukkan bagaimana konsep diri dapat meningkatkan atau
merusak tingkat fungsi kognitif dan kinerja.
Perilaku manusia dapat secara substansial dijelaskan oleh
konsep diri, yang dipengaruhi identitas diri, penghakiman orang
lain dan persepsi sosial dengan orang lain. Selain itu, pendidikan
orang tua, kegagalan, depresi dan kritik internal juga
mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang.
Kehidupan dan perilaku seorang individu, keberhasilan dan
ketidakberhasilan dalam kehidupan, dan kemampuannya
menghadapi tantangan dan tekanan kehidupan, sangat dipengaruhi
oleh persepsi, konsep, dan evaluasi individu tentang dirinya,
termasuk citra yang ia rasakan dari orang lain tentang dirinya, dan
tentang akan menjadi apa ia, yang muncul dari suatu kepribadian
yang dinilai dari pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Atau
dengan kata lain, kehidupan, perilaku, dan kemampuan individu
tersebut dalam kehidupan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh
apa yang diistilahkan dengan konsep diri.
3. Konsep Diri Dewasa & Orang tua
a. Karakteristik Konsep Diri pada Dewasa dan Orang Tua (alif)
Pada masa dewasa muda perubahan kognitif, sosial dan perilaku
terus terjadi sepanjang hidup. Dewasa muda adalah periode untuk
memilih, menetapkan tanggung jawab, mencapai kestabilan dalam
pekerjaan, dan mulai melakukan hubungan erat. Dalam masa ini
konsep diri dan citra tubuh menjadi relatif stabil. Masa dewasa
menuju orang tua sering dijadikan waktu untuk mengevaluasi
kembali pengalaman hidup dan mendefinisikan kembali tentang
diri dalam peran dan nilai hidup. Orang usia dewasa tengah yang
menerima usia mereka dan tidak mempunyai keinginan untuk
kembali pada masa-masa muda menunjukkan konsep diri yang
sehat.
Perubahan konsep diri pada masa lansia atau orang tua
sangat signifikan. Perubahan pada lansia tampak sebagai
penurunan bertahap struktur dan fungsi. Terjadi penurunan
kekuatan otot dan tonus otot. Konsep diri selama masa lansia
dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Masa lansia adalah
waktu dimana orang bercermin pada hidup mereka, meninjau
kembali keberhasilan dan kekecewaan dan dengan itu menciptakan
rasa kesatuan dari makna tentang diri makna tentang diri mereka
dan dunia membentuk generasi yang lebih muda dalam cara yang
positif. Para lansia mengembangkan perasaan telah meninggalkan
warisan. Para lansia cenderung sudah memiliki perencanaan masa
depan anak-anaknya dan sudah mengakomodasikan kebutuhan
anak cucunya kelak dengan warisan yang sudah disiapkan. Hal ini
menjadi salah satu bentuk cerminan konsep diri yang dimiliki para
lansia dalam masa perkembangan orang tua. Selain itu, mereka
cenderung mengabaikan perkembangan fisik dan sudah
meninggalkan pemikiran terkait kebutuhan fisiologis. Kondisi ini
menjadikan aspek diri fisik pada individu menurun. Semakin
bertambah tuanya individu semakin menurun pula kondisi
beberapa aspek dalam konsep dirinya.
b. Konsep Diri Orang Tua
Konsep diri pada orang tua, sejatinya sama halnya dengan konsep
diri pada masa kanak-kanak dan masa remaja, yakni memiliki
permasalahan dengan karakteristik konsep diri negatif. Seorang
individu yang sudah lansia dengan usia lebih dari 60 tahun yang
memiliki konsep diri negatif akan memiliki kekurangan bahkan
ketidakmampuan dalam mengekspresikan kasih sayang kepada
orang lain termasuk keluarganya, cenderung narsistik, dan bersikap
egois sebagai kompensasi diri yang berlebihan. Sementara itu,
orang tua yang memiliki konsep diri positif akan bertingkah
sebaliknya. Mereka cenderung memiliki keoptimisan, keyakinanan
dalam hidup, dan dapat mengekspresikan kasih sayang yang
dimiliki kepada orang lain dengan baik.
Orang tua merupakan lingkungan sosial yang sangat krusial
dalam pembentukan konsep diri positif pada anak. Orang tua
dengan konsep diri poistif akan memiliki karakter yang cenderung
optimis, mampu menerima kenyataan dan menghadapi situasi
dengan baik, ekspresif dalam menunjukkan kasih sayang, mampu
menghargai, serta mampu menanggulangi masalah dan situasi sulit
dengan jiwa yang lapang. Konsep diri orang tua, baik disadari atau
tidak akan berbanding lurus dengan konsep diri anak. Orang tua
merupakan figur atau sosok yang menjadi teladan dalam kehidupan
dan proses kehidupan anak.
Anak-anak pada umumnya memiliki sifat-sifat seperti sulit
membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang patut dicontoh
atau harus diabaikan. Anak-anak belum memiliki selfcensorship
dan batasan nilai. Lebih lanjut, menurut teori pembelajaran sosial
menegaskan bahwa manusia melakukan imitasi dan pengkajian
dengan cara belajar melalui pengamatan terhadap tingkah laku
orang lain dilingkungan sekitarnya. Imitasi dapat baik dilakukan
dengan cara langsung melakukan hal yang dilihat atau dimatai,
maupun mengkopi model sebagai realisasi dari keinginan untuk
menjadi seperti sosok yang diamati dengan melihat beberapa
karakteristik dan kualitas yang lebih luas.
Apabila proporsi teori pembelajaran sosial dikaitkan dengan
pembentukan konsep diri anak maka dapat dibuktikan bahwa jika
anak diberi kekerasan dan diperlakukan kasar maka anak akan
mengadopsi kekerasan tersebut, tanpa memahami bentuk perilaku
baik dan buruk mana yang pantas ditiru. Menurut KPAI, sebanyak
73,3 % anak Indonesia mengalami kekerasan di rumah baik secara
fisik maupun verbal yang bervariasi, mulai dari bicara kasar dan
jorok, menghardik, merendahkan, memaki, mengata-ngatai,
bahkan menyudutkan anak. Tingginya tingkat kekerasan orang tua
pada anak tersebut mengindikasikan adanya ketidaktahuan
mengenai konsep diri pada sebagain besar orang tua yang akan
diturunkan dan mempengaruhi konsep diri anak.
B. Tahap Perkembangan Konsep Diri
Dalam buku Psikologi Pendidikan karya Djaali (2007), ada lima
tahapan perkembangan konsep diri pada manusia menurut Erikson, yaitu:
1. Perkembangan dari Sense of Trust vs Sense of Mistrust
Perkembangan ini terjadi saat manusia berusia 1,5-2 tahun. Pada tahap
ini, akan timbul kesan dasar pada diri manusia apakah orang tuanya bisa
dipercaya atau tidak. Jika pada tahap ini manusia merasa bahwa orang
tuanya dapat melindungi dan memberikan rasa aman, maka ia akan
percaya terhadap orang dewasa yang nantinya akan berkembang
menjadi perasaan yang bersifat positif.
2. Perkembangan dari Sense of Anatomy vs Shame and Doubt
Perkembangan ini terjadi saat manusia berusia 2-4 tahun. Pada tahap
ini, manusia akan mengalami perkembangan pesat pada kemampuan
motorik dan berbahasa. Kedua kemampuan tersebut akan
memungkinkan seseorang tumbuh menjadi pribadi yang mandiri
(autonomy). Jika pada tahap ini manusia diberikan kesempatan untuk
melakukan banyak hal sesuai kemampuannya sendiri walau masih
terbatas tanpa banyak bantuan dan tanpa dicela, maka kemandirian
dalam dirinya akan terbentuk. Begitu pula sebaliknya, jika tidak pernah
diberi kesempatan untuk mencoba sesuai dengan kemampuannya, maka
ia akan sering merasa malu dan ragu-ragu dalam bertindak.
3. Perkembangan dari Sense of Initiative vs Sense of Guilt
Perkembangan ini terjadi saat manusia berusia 4-7 tahun yang sedang
memiliki sifat keingintahuan tinggi. Pada usia ini, manusia akan
memiliki perasaan ingin tahu yang tinggi, memiliki sikap suka
menjelajah, dan senang mencoba-coba banyak hal. Jika pada tahap ini
seorang manusia tidak diberikan kebebasan yang cukup untuk
menjelajah dan diberikan hukuman karena rasa keingintahuannya,
maka ia akan memiliki keberanian yang kurang dalam mengambil
inisiatif, sering merasa takut, dan sering memiliki perasaan bersalah.
4. Perkembangan dari Sense of Industry vs Sense Inferiority
Perkembangan ini terjadi saat usia 7-11 tahun atau 12 tahun yang mana
seseorang akan memiliki keinginan yang besar untuk membuktikan
usaha dan menunjukkan keberhasilannya. Setiap orang akan
berkompetisi dan berusaha untuk menunjukkan prestasi. Di sisi lain,
kegagalan yang berulang-ulang dapat mematahkan semangat dan
memunculkan rasa rendah diri.
5. Perkembangan dari Sense of Identity Diffusion
Perkembangan ini terjadi saat manusia ada dalam masa remaja. Pada
tahap ini seseorang akan memiliki minat yang besar terhadap dirinya
sendiri dan ingin tahu jawaban tentang siapa dirinya dan bagaimana
dirinya. Untuk menemukan jawaban tersebut, seseorang akan
mengumpulkan banyak informasi yang berkaitan dengan dirinya pada
masa lalu. Jika informasi kenyataan, perasaan, dan pengalaman yang
dimiliki tentang diri sendiri tidak bisa diintegrasi menjadi suatu konsep
diri yang utuh, maka seseorang akan terus bimbang dan tidak mengerti
tentang dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Djaali. (2007). Psikologi Pendidikan. Bumi Aksara
Hartanti, J. (2018). Konsep Diri Karakteristik Berbagai Usia. Universitas PGRI
Adi Biana Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai