Anda di halaman 1dari 5

Mendirikan Provinsi Riau

A. Riau pada Awal Kemerdekaan Indonesia


‫رﯾﺎو دي أوك ﻛﻣردﯾﻛﺎ ﻣن أﻧدوﻧﯾﺳﯾﺎ‬

Kelahiran pemerintahan Indonesia menyusul kemerdekaan dari penjajah dibagi


berdasarkan provinsi-provinsi. Pada tahap awal, Sumatera yang dikenal sebagai pulau terbesar
keenam di dunia, melalui keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 19 Agustus 1945,
ditetapkan sebagai suatu provinsi bersifat administratif. Baru melalui Peraturan Pemerintah No.
8. tahun 1947, pulau ini ditetapkan berstatus menjadi provinsi penuh yang berpusat di Medan.
Tentu saja, rentang jarak antar daerah masih amat jauh. Oleh karena itu, usul agar
Sumatera dipecah-pecah lagi menjadi beberapa provinsi segara muncul begitu provinsi ini
disahkan. Tak lama kemudian, sekitar satu tahun setelah Provinsi Sumatera didirikan atau pada
tahun 1948, terbentuklah tiga provinsi lagi di pulau ini yakni Provinsi Sumatera Bagian Utara,
Sumatera Bagian Selatan, dan Sumatera Tengah.
Khusus Sumatera Tengah berpusat di Bukittinggi, berdiri berdasarkan UU No.10 tahun
1948, 15 April 1948. Daerahnya meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Keresidenan Jambi, dan
Keresidenan Riau. Khusus Keresidenan Riau terdiri atas empat kabupaten yakni Kampar,
Bengkalis, Inderagiri, dan Kepulauan Riau. Oleh karena keadaan dalam perang, Provinsi Sumatera
Tengah waktu ini bersifat militer atau disebut Provinsi Sumatera Tengah Jilid I. Baru tahun 1950,
melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang, No.4 tahun 1950 tanggal 15 Agustus
1950, daerah ini ditetapkan kembali menjadi Provinsi Sumatera Tengah.
Ditinjau dari keadaan sekarang pun, rentang jarak antar daerah di Sumatera Khususnya,
bukanlah dapat dipandang pendek, apalagi pada tahun 1950-an. Dari Pekanbaru ke Bukittinggi
saja misalnya, waktu itu tidak dapat ditempuh dalam sehari, apalagi dari ibukota-ibukota
kabupaten lain seperti Bengkalis (Kabupaten Bengkalis), Rengat (Kabupaten Inderagiri), dan
Tanjungpinang (Kabupaten Kepulauan Riau). Tak pelak, kenyataan di atas senantiasa menjadi
pembicaraan tidak saja di kalangan pejabat, tetapi juga masyarakat awam. Hal serupa juga terjadi
di provinsi-provinsi lain baik di Sumatera Bagian Utara maupun Sumatera Bagian Selatan.
Kabupaten yang paling merasa keadaan tersebut tentulah Kepulauan Riau. Bayangkan saja,
ibu kota Kabupaten Kepulauan Riau yang terletak di Tanjungpinang, tentu tidak begitu mudah
dijangkau dari Bukittinggi. Banyak masyarakat biasa yang malahan tidak tahu bagaimana jalan
menuju ibu kota provinsi tersebut yang dari Pekanbaru saja, tidaklah begitu mudah dicapai.

B. Wacana Pembentukan Provinsi Riau


‫وﭼﺎن ﻗﻣﺑﻧﺗوﻛن ﻓروﻓﯾﻧﺳﻲ رﯾﺎو‬

Usulan pembentukan Provinsi Riau didasari oleh banyak hal. Bergabung dengan Sumatra
Tengah dirasakan menghambat perkembangan Riau dalam hal urusan kedinasan dan
perekonomian. Kesejahteraan menurun jauh dibandingkan dengan ketika diperintah kerajaan.
Maka, usulan pemisahan Riau dari Provinsi Sumatra Tengah tidak lain hanya untuk memudahkan
urusan, memakmurkan rakyat, serta menjadikan Riau sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan
Melayu yang agamis di Asia Tenggara.
Secara sosial ekonomi, masyarakat Riau berkiblat ke Malaysia. Alat tukar dalam bentuk
uang dibuat cukup khusus seperti adanya Dollar Kepulauan Riau. Arah perdagangan dan
perkembangan pasar juga bergantung pada jalur selat Malaka Memang sejak sebelum dan pada
masa kolonial, Riau tidak dapat dipisahkan dengan negeri-negeri Melayu di semenanjung Malaysia
dan pulau-pulau yang ada di kepulauan Riau.
Tidak hanya persoalan kedinasan yang terbatas jarak tempuh, dan perekonomian,
geobudaya dan geososial di wilayah yang bernama Riau itu berbeda dibandingkan dengan
keresidenan di Sumatera Tengah lainnya yakni Sumatera Barat dan Jambi. Dari segi geografis, Riau
memiliki sungai dan lautan, menyebabkan penduduknya sangat tergantung pada perairan.
Riau memiliki alur tersendiri dalam hal sejarah peradaban manusia, mulai dari kejayaan
Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus sampai Melaka, Inderagiri, Johor, Siak, Lingga, Pelalawan
Gunung Sahilan, Andika Nan 44, Kuang Oso Tigopuluoh, dan sejumlah kerajaan lainnya termasuk
kedatuan maupun perbatinan. Secara bergantian, kerajaan-kerajaan Melayu di Riau dan Malaysia
menjadi imperium bagi kerajaan lainnya.
Selain itu, Riau juga memiliki sumber alam yang luar biasa. Luas kebun kelapa di Riau pada
tahun 1951 adalah 291.331 hektare, sedangkan di Sumatera Barat hanya 28.000 hektare dan Jambi
188.600 hektare. Begitu juga kebun karet di Riau yang pada tahun serupa adalah 182.572 hektare,
sedangkan di Sumbar 25.000 hektare. Tanaman pinang di Riau sekitar 10.000 hektare yang tidak
dijumpai di Sumatera Barat dan hanya sedikit di Jambi sekitar 300 hektare. Apalagi produksi laut
Riau tahun 1952 yang dari Bengkalis saja telah mencapai 15 juta ton. Begitu pula minyak bumi Riau
yang pada tahun 1954 telah mencapai 43.000 barrel per hari (Taufik Ikram Jamil, dkk., 2003).
Sebaliknya, pembangunan di Riau amat sedikit. Sebagai contoh adalah pendidikan. Pada
tahun 1950-an, di Provinsi Sumatera Tengah, terdapat 27 SMP Negeri (SMPN), tetapi hanya empat
SMPN saja yang berada di Keresidenan Riau, selebihnya yakni 21 SMPN berada di Sumatera Barat,
dan dua SMPN lagi di Jambi. Begitu juga Sekolah Teknik (ST) dan Sekolah Teknik Menengah (STM)
yang se-Sumatera Tengah berjumlah 14 sekolah, hanya satu sekolah berada di Riau dan Jambi,
sedangkan selebihnya di Sumatera Barat (ibid).
Membicarakan daerah waktu itu menjadi keniscayaan, menyusul semakin kondusifnya
keadaan Indonesia memasuki tahun 1950-an. Pengakuan kemerdekaan dari negara lain, termasuk
Belanda, sudah semakin mantap, sehingga pembicaraan ke dalam dengan sendirinya mendapat
kesempatan luas. Tak terkecuali memandang daerah sendiri dari sudut sejarah dan kebudayaan
secara umum. Keragaman Riau, misalnya percampuran antara kekerabatan sosial menurut garis
ayah dengan ibu, dipandang sebagai suatu hal untuk membedakannya dengan keresidenan lain.
Menurut Raja Hamzah Yunus semasa hidupnya pada awal 2000-an di Pulau Penyengat,
seiringan dengan hal itu, berbagai kekayaan tempatan mulai diperhatikan. Di Kepulauan Riau, saat
itulah naskah-naskah kuno mulai mendapat perhatian yang melibatkan dirinya. Pasalnya, ia yang
sudah mulai memerhatikan keberadaan naskah, walau masih amat muda, selalu pula diminta
ayahnya, Raja Muhamad Yunus ikut mengurus kekayaan tak ternilai itu dalam diskusi tokoh-tokoh
setempat berkaitan dengan keberadaan daerah dalam hubungannya dengan Provinsi Sumatera
Tengah.

C. Perjuangan Pembentukan Provinsi Riau


‫ﻓرﺟواﻏن ﻗﻣﺑﻧﺗوﻛن ﻓروﻓﯾﻧﺳﻲ رﯾــــــــــﺎو‬

Pada bulan Maret 1953, dua peristiwa terjadi yang menjadi awal penyebutan Provinsi Riau
dalam panggung politik. Pertama, terbentuknya Panitia Kongres Rakyat Kepulauan Riau, 16 Maret
1953. Kedua, nama pemerintahan Provinsi Riau disebut-sebut dalam Konferensi Partai Nasional
Indonesia (PNI) Riau yang dilaksanakan di Rengat pada bulan Maret 1953. Peristiwa-peristiwa ini
mencerminkan adanya kesatuan pandangan geobudaya dalam menentukan sikap untuk berdiri
sendiri sebagai daerah otonom provinsi, terlepas dari Provinsi Sumatera Tengah. Kepulauan Riau
dapatlah disebutkan mewakili kawasan Riau lautan, sedangkan Rengat yang waktu itu pusat
kabupaten Inderagiri mewakili daerah Riau daratan.
Cuma, niat melaksanakan Kongres Rakyat Kepulauan Riau dihadang dengan kenyataan
inginnya kabupaten lain dilibatkan dalam kongres tersebut. Pasalnya, meskipun bersifat kongres
rakyat Kepulauan Riau, kegiatan itu akan sangat berkaitan erat dengan keberadaan Riau yang
berada di bawah Provinsi Sumatera Tengah. Oleh karena itu, utusan dari kabupaten lain di Riau
harus diikutsertakan dalam kongres tersebut. Berkaitan dengan hal itu
pula, harus ditetapkan tempat pelaksanaan di daerah yang mudah dijangkau oleh kabupaten lain.
Harus pula dipertimbangkan dengan saksama dari segi mata uang yang dipakai, sebagian besar
berbentuk rupiah, tidak hanya dollar sebagaimana terjadi di Kepulauan Riau. Persoalan-persoalan
ini menemui jalan buntu, sehingga Kongres Rakyat Kepulauan Riau yang direncanakan terebut,
tenggelam begitu saja.
Keinginan mendirikan provinsi tersendiri itu semakin lantang terdengar melalui Kongres
Pemuda Riau, 17 Oktober 1954 di Pekanbaru. Selain mendesak pemerintah pusat membentuk
Provinsi Riau, kongres pun membentuk Badan Kongres Pemuda Riau (BKPR) yang berkedudukan
di Pekanbaru dengan pengurusnya adalah Yahya Qahar, Atan bin Mat, H. Abdul Hamid Yahya,
Anas Bey, Wan Mochtar Hasan, Mahmud, dan Umar Amaludin. Kegiatan ini sampai mengirimkan
utusan ke pemerintah pusat untuk menyatakan perlunya Riau menjadi provinsi tersendiri. Yahya
Qahar, Atan bin Mat, Ali Asral Jamal, H. Muhamad, dan Ahmad Yusuf, dipercayakan untuk tugas
tersebut.
Gerakan pemuda Riau di Pekanbaru itu mendapat tanggapan positif dari pelajar dan
pemuda Riau di luar daerah. Malahan, pada 22 Oktober 1954, dilaksanakan Kongres Pemuda dan
Pelajar Riau se-Sumatera Barat di Bukittingi, dipimpin Hasan Basri Js sebagai ketua dan Intan Judin
sebagai sekretaris. Di ibu kota Provisi Sumatera Tengah itu, mereka menyatakan tekad
memisahkan Riau dari Sumatera Tengah. Semangat kongres ini pulalah yang membakar sehingga
terlaksananya Kongres Pemuda Riau Komisariat Kabupaten Kepulauan Riau, 22 Maret 1955.
Di parlemen masing-masing kabupaten, perjuangan membentuk Provinsi Riau tak kalah
maraknya diperbincangkan. Hal ini terlihat dalam sidang pleno DPRDS Bengkalis 25 Februari 1955
yang menyatakan perlunya Keresidenan Riau menjadi provinsi tersendiri. Lalu, semua DPRDS
Kabupaten se-Keresidenan Riau yakni Kepulauan Riau, Kampar, dan Inderagiri, bersama-sama
menyuarakan hal tersebut dalam Konferensi DPRDS se- Indonesia di Bandung, 10-14 Maret 1955.
Suara serupa juga yang mengkristal dalam Konferensi DPRDS se-Keresidenan Riau di
Bengkalis, 7 Agustus 1955. Hasil konferensi pada dasarnya adalah dua yakni mengajukan resolusi
kepada pemerintah agar daerah Riau yang meliputi empat kabupaten dijadikan sebagai daerah
otonom tingkat I. Selain itu, konferensi berhasil membentuk Panitia Persiapan Pembentukan
Provinsi Riau (P3R) yang diketuai oleh H. Abdul Hamid Yahya, sedangkan wakilnya adalah H.
Muhammad Amin. Duduk sebagai sekretaris adalah T. Kamarulzaman. P3R juga dilengkapi dengan
anggota yang berasal dari anggota dewan kabupaten-kabupaten peserta konferensi, masing-
masing dua orang.
Malah konferensi mengirim utusan untuk menemui Menteri Dalam Negeri Soenarjo, 1
September 1955. Mereka dipimpin oleh T. Makhmud Anzam, didampingi T. Ibrahim, Mohd. Yacob,
Ahmad Yusuf, dan M. Amin. Selama di Jakarta, mereka juga bertemu dengan sejumlah tokoh Riau.
Tak hanya itu, utusan antar parlemen kabupaten itu membentuk Badan Penghubung Persiapan
Provinsi Riau yang diketuai oleh Wan Ghalib dan A.Djalil Madjid sebagai sekretaris. Masuk dalam
badan ini sebagai anggota adalah Moh. Sabir, Ali Rasahan, Azhar Husni, Hasan Ahmad, Umar Amin
Husin, T. Arief, Dt, Bandaro Sati, Nahar Efendi, dan Kamaruddin R.
Berbagai rapat dan pertemuan dilaksanakan setelah itu di Riau maupun di luar Riau, baik
oleh pelaku politik praktis sampai mahasiswa. Di antaranya yang paling fenomenal adalah Kongres
Rakyat Riau yang diprakarsai Panitia Persiapan Provinsi Riau (P3R) di bawah pimpinan Abdul
Hamid Yahya (ketua), H Muhamad Amin (wakil ketua), dan T. Kamarulzaman (sekretaris). Kongres
Rakyat Riau dilaksanakan di Pekanbaru, 31 Januari sampai 2 Februari 1956, diikuti berbagai
kalangan dari seluruh kabupaten Keresidenan Riau, dengan satu-satunya keputusan yakni
menuntut berdirinya Provinsi Riau.
Usaha Riau menjadi provinsi di ganjal habis-habisan oleh pemerintah Sumatera Tengah
yang memang tidak mau daerah kaya itu berpisah dengan mereka. Oleh karena berbagai
hambatan, P3R akhirnya mempersilakan Badan Penghubung di Jakarta yang dikomandoi Wan
Ghalib, mengambil tindakan-tindakan untuk memperlancar jalan bagi berdirinya Provinsi Riau. Di
sisi lain, perjuangan di parlemen pusat diperkuat seperti melalui tangan satu-satunya putra Riau
di lembaga tinggi negara itu yakni Ma'rifat Mardjani. Perjuangan melalui pers juga dilaksanakan
bukan saja untuk menangkis serangan melalui media oleh pihak yang tidak menyenangi berdirinya
Provinsi Riau, tetapi juga membuat opini betapa perlunya Provinsi Riau diwujudkan.
Dalam suatu wawancara dengan Wan Ghalib semasa ia masih hidup, "serangan" itu tidak
saja berbentuk kejiwaan, tetapi juga fisik. Wan Ghalib sendiri pernah menjadi target penangkapan
setibanya di Riau dari Jakarta, tetapi ia gagal berangkat karena pesawat penuh. Sekretaris P3R, T.
Kamarulzaman, harus angkat kaki dari Pekanbaru dan pindah ke Tanjungpinang akibat serangan
yang bertubi-tubi menimpanya karena ia tidak mau berkompromi sedikit pun dengan pihak
seberang.
Tekanan dari dalam semakin kuat terasa manakala pada saat bersamaan prajurit dari Devisi
Banteng menunjukkan aksi usai reuni mereka 21-24 November 1956 di Padang. Mereka dengan
segera memobilisir wilayah termasuk ke Riau, sedangkan pemerintahan yang sah Sumatera
Tengah, tampak tak berkutik. Kesannya, di antara kedua belah pihak bermain mata, apalagi dalam
menghadapi Riau yang memiliki kekayaan alam paling besar. Sementara salah satu perjuangan
Dewan Banteng adalah pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya, bahkan meniadakan
sentralisasi sebagaimana wujud dalam sistem pemerintahan Indonesia sejak pertama berdiri.
Dengan demikian, kekuatan di daerah menjadi modal utama dalam perjuangan. Malahan, tanggal
20 Desember 1956, Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo, menyerahkan segala
tugasnya kepada Dewan Banteng yang dipimpin Letkol Ahmad Husein. Timbang terimanya
dilakukan di Bukittinggi, 21 Desember 1956.
Dalam kerancuan pemerintahan itu pulalah, keluar Undang-undang Darurat No.19 tahun
1957 tanggal 9 Agustus tahun 1957 yang ditandatangani Presiden Soekarno di Bali. Isinya
menjadikan Keresidenan Riau sebagai provinsi, berpisah dengan Sumatera Tengah. Oleh karena
berbagai pertimbangan keamanan dan pembangunan waktu itu, seiringan dengan
pemberontakan Perlawanan Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI), buah dari aktivitas Dewan
Banteng, Tanjungpinang ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Riau.

D. Riau sebagai Provinsi


‫رﯾﺎو ﺳﺑﺎﻛﺎي ﻓروﻓﯾﻧس‬

Meskipun Provinsi Riau sudah berdiri, pemerintah pusat belum menunjuk gubernur. Sekali
lagi kerancuan terjadi, ketika PRRI mengangkat Syamsi Nurdin sebagai Gubernur Militer Riau,
dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi, bukan di Jakarta. Pemerintah pusat, baru menunjuk
Mr S.M. Amin sebagai Gubernur Riau yang dilantik tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang. Provinsi
ini pertama meliputi empat kabupaten yakni Kepulauan Riau, Kampar, Indragiri, dan Bengkalis,
dengan wilayah yang luas hingga ke Laut Cina Selatan, memiliki sekitar 3.000 pulau. Ibu kota
Provinsi Riau dipindahkan ke Pekanbaru pada 1960.
Riau terus berkembang, kini menjadi 12 kabupaten/kota, bahkan satu kabupaten pada
masa awalnya yakni Kepulauan Riau menjadi provinsi tersendiri yakni Provinsi Kepulauan Riau.
Sebanyak 13 tokoh telah memimpin daerah ini sebagai gubernur dengan masa jabatan berbeda-
beda. Masa pengabdian, 2019-2024, Riau dipimpin oleh Drs H. Syamsuar M. Si yang didampingi
Brigjen TNI (Purnawirawan) Edy Natar Nasution.
Tentu saja, Riau berkembang pesat. Jumlah SMP di Riau tahun 1950-an hanya empat unit,
pada tahun 2013 sudah berjumlah 934 unit (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2013: 102). Luas
perkebunan kelapa 521.792 hektare, kebun karet 500.851 hektare. Kebun sawit sekitar 2,3 juta
hektare yang dikembangkan tahun 1980-an atau setelah sekitar satu generasi berdirinya Provinsi
Riau (ibid, 196), merupakan perkebunan sawit terluas di Indonesia.
Saat Gubernur Riau dijabat Saleh Djasit (1998-2003), semua komponen Riau bersatu untuk
menjadikan Riau sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan Melayu dalam masyarakat yang agamis
di Asia Tenggara tahun 2020, dituangkan dalam Peraturan daerah (Perda) No.36 tahun 2001.
Semangat ini pada hakikatnya mengaktualkan landasan awal berdirinya Provinsi Riau, bahkan
merupakan jawaban atas tantangan perkembangan kesejagatan. Menurut pakar futuristik,
manusia memang berusaha mencari jati dirinya yang hanya bisa diperlihatkan oleh agama dan
tradisi. Melayu sendiri yang terlibat langsung dengan tradisi, mengidentikkan dirinya sebagai
Islam.

Anda mungkin juga menyukai