Anda di halaman 1dari 18

Synopsis

1. The Title: Berbagi Rasa


2. The Genre: Romance
3. Rate: 18+
4. The Setting:
- Pengaturan waktu : waktu sekarang dan waktu mendatang.
- Pengaturan tempat : rumah kediaman keluarga Anggara, toko bunga milik
Nadira, toko roti milik Laskar, restoran, rumah sakit.
- Pengaturan suasana : bahagia, romantis, sedih, tegang, kecewa.
5. The Main Characters (including their ages, roles and relations with each other)
- Laskar Pramuditya: Lelaki berusia 26 tahun yang merupakan pacar dari Nadira
Prameswari Anggara. Laskar adalah pemeran utama lelaki dalam cerita ini. Ia memiliki
sifat penyayang dan pemarah. Laskar seorang wirausahawan sukses yang memiliki toko
roti tersebar di berbagai daerah. Ia nantinya terpaksa menikah dengan Mandira karena
Nadira yang menghilang di hari pernikahan mereka.
- Nadira Prameswari Anggara: Perempuan berusia 23 tahun yang merupakan pemeran
utama perempuan dalam cerita ini. Nadira memiliki sifat periang. Nadira anak kedua
dari keluarga Anggara. Ia memiliki toko bunga. Nadira akan berpura-pura menjadi
kekasih Jayden saat bertemu dengan Laskar dan Mandira yang sudah menjadi suami
istri.
- Mandira Kheswari Anggara: Perempuan berusia 25 tahun yang merupakan kakak dari
Nadira. Ia memiliki sifat lemah lembut dan pendiam. Mandira menyukai Laskar dan
akan menjadi istri Laskar di masa mendatang. Ia bekerja sebagai seorang guru sejarah di
SMA. Setelah kecelakaan yang membuatya tidak bisa berjalan lagi, Ia memutuskan
untuk menjadi seorang penulis novel.
- Abimanyu Anggara: Lelaki berusia 21 tahun yang merupakan anak bungsu di keluarga
Anggara. Ia adalah mahasiswa semester akhir. Abi sangat sayang dan peduli dengan
keluarganya. Ia akan berpacaran dengan Qiandra yang merupakan teman bertengkarnya.
Setelah mengetahui Qiandra adala anak dari kekasih baru ayahnya, Abi menerima
hubungannya dan Qiandra berakhir menjadi saudara tiri.
- Bimo Anggara: Pria berusia 55 tahun yang merupakan ayah dari Mandira, Nadira, dan
Abi. Pria ini dikenal bijaksana dan sangat menyayangi anaknya. Ia berteman baik
dengan ayah Laskar sejak SMA dulu. Bimo bertemu kembali dengan Rucinta yang
dulunya adalah gadis yang diperebutkan olehnya dan ayah Laskar. Bimo nantinya akan
menikah dengan Rucinta.
- Jayden Kurniawan: Lelaki berusia 25 tahun yang merupakan teman mengajar Mandira.
Ia memiliki sifat tidak sabaran dan pantang menyerah. Satu tahun ia memperjuangkan
cintanya untuk mendapatkan Mandira. Setelah mengetahui Laskar dan Mandira
menikah, Jay diam-diam tetap mencintai Mandira. Ia nantinya akan menikah dengan
Mandira setelah perempuan itu memutuskan untuk bercerai.
- Raga Setiawan: Pria berusia 55 tahun. Ia adalah ayah Laskar. Raga dan Bimo
memutuskan untuk menjodohkan anak mereka. Raga memiliki sifat bijaksana.
- Qiandra: perempuan berusia 20 tahun. Qiandra adalah anak Rucinta sekaligus pacar Abi.
Qiandra memiliki sifat judes dan pemarah. Qiandra dirundung oleh teman-temannya
karena memiliki ayah seorang koruptor yang mendekam di penjara.
- Rucinta Anindya: Wanita berusia 55 tahun yang dulunya disukai oleh Bimo dan Raga.
Ia akan menjadi dokter ortopedi Mandira. Rucinta memiliki sifat penyayang dan lemah
lembut. Hubungannya dengan Bimo awalnya ditentang oleh san anak, tetapi pada
akhirnya Qiandra menerima Rucinta menikah dengan Bimo.
6. The Plot (as detailed as possible, and shall include the start, the development, the climax, the
end, and main conflicts)

Nadira Prameswari Anggara adalah seorang perempuan berusia 23 tahun yang memiliki toko
bunga. Nadira anak kedua dari tiga bersaudara. Ia adalah perempuan yang ceria dan selalu
bersemangat. Nadira berpacaran dengan Laskar Pramuditya.

Laskar Pramuditya seorang pengusaha sukses di umurnya ke 26 tahun. Ia yang menjalankan


bisnis toko roti yang memiliki cabang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Laskar dan
Nadira sudah berpacaran sejak kuliah.

Bimo Anggara dan Raga Setiawan yang sudah sejak lama bersahabat pada akhirnya
memutuskan untuk menjodohkan anak mereka, Nadira dan Laskar. Tanpa mereka tahu
bahwa ada orang lain yang tersakiti karena keputusan mereka, yaitu Mandira Kheswari
Anggara.

Mandira, perempuan berumur 25 tahun itu adalah anak pertama dari keluarga Anggara yang
bekerja sebagai guru Sejarah. Sudah lama Mandira diam-diam menaruh rasa pada Laskar.
Mandira yang berparas cantik disukai banyak lelaki, satu di antaranya adalah Jayden
Kurniawan. Seorang guru di sekolah yang sama dengan Mandira. Ia begitu menyukai
Mandira dan terhitung sudah setahun berharap cintanya mendapat balasan.

Setelah mengetahui kabar perjodohan dan pernikahan yang akan berlangsung empat bulan
mendatang, Mandira memutuskan untuk melupakan cintanya. Namun, perhatian Laskar
untuk dirinya membuat Mandira tanpa tersadar menyatakan perasaannya. Celakanya
perkataan itu didengar oleh Nadira.
Mandira berusaha mencari Nadira yang pergi setelah mendengar penuturannya itu. Sampai
pada akhirnya Mandira mengalami kecelakaan yang membuatnya menjadi lumpuh.

Nadira diterpa kebimbangan. Kondisi sang kakak tidaklah baik. Setelah mengetahui perasaan
Mandira terhadap pacarnya, Nadira tahu bahwa Mandira akan semangat untuk menjalani
hidupnya jika Laskar berada di sisi sang kakak. Nadira memutuskan melepaskan Laskar
untuk bersama Mandira demi kesehatan sang kakak, tetapi Laskar tentu saja menolak keras.

Setelah berbagai cara tidak berhasil untuk membuat Laskar dan Mandira bersama, cara lain
yang tersisa adalah melarikan diri saat pernikahan akan berlangsung. Seluruh tamu undangan
sudah hadir, Laskar dan Mandira pun menikah demi menjaga nama baik keluarga.

Jay yang mengetahui pujaan hatinya tiba-tiba menjadi seorang istri lelaki lain, dirinya sangat
terpukul. Setelah sekian lama, Jay tidak sengaja bertemu dengan Nadira. Mereka pun menjadi
teman dekat. Jay tahu bahwa Nadira masih menaruh rasa kepada Laskar, begitu juga
dengannya yang masih mencintai Mandira.

Enam bulan berlalu, kondisi Mandira membaik. Laskar tetap bersikap baik pada istrinya,
tetapi Mandira sadar Laskar tidak mencintainya. Suatu hari, Mandira tidak sengaja
menemukan file dari laptop Laskar dengan inisial N. Pikiran Mandira melayang ke nama
sang adik. Ternyata di dalamnya terdapat foto-foto yang diambil dari jarak jauh. Mandira
cukup terkejut mengetahui kenyataan, bahwa sebenarnya Laskar sudah mengetahui
keberadaan sang adik dan diam-diam mengikutinya.

Mandira meminta Abi untuk menemaninya mencari Nadira berdasarkan foto-foto itu.
Namun, lagi-lagi Mandira terkejut saat melihat Nadira ternyata bersama Jay. Di sisi lain,
Nadira mengaku sudah melupakan Laskar dan menjalin hubungan dengan Jay.

Mandira sempat curiga, tetapi akhirnya ia percaya. Keinginan Mandira adalah sang adik
pulang ke rumah. Nadira akhirnya luluh dan tinggal kembali bersama Abi dan Bimo.

Mereka mengadakan makan malam untuk menyambut kepulangan Nadira. Abi merasa itu
adalah waktu yang tepat untuk memberitahukan bahwa ia berpacaran dengan Qiandra,
perempuan yang dulu adalah musuhnya. Semua ikut senang. Bimo pun ikut memberitahukan
bahwa ia berencana untuk menikah dengan Rucinta Anindya, seorang dokter ortopedi yang
mengobati Mandira. Ia adalah gadis yang dulunya disukai oleh Bimo dan Raga di masa
SMA.

Abi yang mengetahui bahwa Rucinta adalah ibu dari Qiandra pun merasa marah sekaligus
kecewa. Makan malam itu menjadi awal dari perubahan sikap Abi. Ia menjadi pendiam dan
menghindari keluarganya sendiri.
Melihat hal itu, Bimo menjadi sedih. Ia pun jadi berpikir untuk membatalkan pernikahannya
dengan Rucinta. Hal itu tentu saja membuat Mandira tak tega, ia tahu Bimo dan Rucinta
saling mencintai. Pun Mandira tidak bisa mengabaikan saat ia juga mengetahui perasaan Abi
dan Qiandra yang sebenarnya.

Qiandra, perempuan berumur 20 tahun yang memiliki sifat judes dan pemarah, ternyata
memiliki sisi rapuh. Ayahnya dikenal oleh teman-temannya sebagai seorang koruptor dan
tidak sedikit yang merundungnya.

Abi ingin melindungi Qiandra setelah tanpa sengaja melihat perempuan itu menangis seorang
diri, sehingga ia pun memutuskan menjadi pacar Qiandra, sampai pada akhirnya perasaan itu
hadir seiring dengan kebersamaan mereka. Namun, kenyataan keras memukul hati Abi dan
Qiandra ketika mengetahui bahwa orang tua mereka memiliki kedekatan dan memutuskan
untuk menikah. Abi dan Qiandra pun merenung, memikirkan segala kebaikan buat keluarga,
lalu memutuskan sebuah perkara yang akan mengubah jalan cerita hidup mereka.

Beberapa hari setelahnya adalah hari yang tenang, tetapi tidak bertahan lama saat Mandira
tanpa sengaja mendengar obrolan antara Nadira dan Jay mengenai kebohongan hubungan
mereka. Mandira juga mengetahui bagaimana Jay selama ini masih menaruh perasaan
padanya.

Mandira mengetahui cinta Laskar yang tidak pernah hilang, kemudian mengetahui bahwa
Nadira juga masih mencintai Laskar. Ia dilema dan selama seminggu mengamati Nadira,
Laskar, dan Jay. Di hari ketujuh, mereka mengadakan makan malam yang mengundang
Qiandra dan Rucinta. Mandira melihat bagaimana Abi dan Bimo yang sebelumnya berselisih,
kini tampak bahagia. Abi dan Qiandra pada akhirnya setuju dengan pernikahan yang akan
dilangsungkan oleh kedua orang tua mereka.

Keesokan harinya, Mandira meminta Laskar, Nadira, dan Jay berkumpul. Ia meminta cerai
dan menceritakan alasannya. Mandira telah belajar dari kisah adik dan ayahnya. Mandira
akan memilih seseorang yang jelas sangat mencintainya, yaitu Jay. Laskar pun dapat hidup
bahagia dengan Nadira.
7. A. What makes the story special and attractive? (Kelebihan cerita)
- Cerita ini mengajarkan tentang perlunya melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang
berbeda.
- Cerita ini mengajarkan arti dari sebuah keluarga, kesetiaan, dan pengorbanan.
- Cerita ini tentang percintaan yang terdapat konflik keluarga di dalamnya, sehingga
membuat pembaca tertarik bagaimana akhir dari cerita dua saudara yang mencintai satu
lelaki ini.
- Bahasa yang digunakan baku dan penulisan rapi.
- Gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca.

B. The deficiency of the story (kekurangan cerita)


- Cerita berfokus ke banyak tokoh yang memiliki konflik berkaitan satu sama lain,
sehingga perlu mengenal satu per satu tokoh dengan baik.

- Alur cerita dari tokoh utama mudah ditebak, tetapi dengan adanya konflik yang menarik
dari tokoh lainnya, membuat cerita tidak terkesan membosankan dan pembaca akan
tertarik untuk menyelesaikannya.

8. Total Estimated Words & Chapters: 100.000 kata dan 60 chapter


9. Words Per Episode On Average: 1.700
10. Sample chapter(s)(at least 3000 words):
“Ayo! Jika sudah selesai, langsung angkat tangan. Hanya tiga pasangan tercepat yang
berkesempatan mendapatkan hadiah, ya,” ujar seorang guru dengan lantang sembari
berkeliling memantau muridnya yang fokus mengisi TTS. Tampak beberapa pasangan
sebangku yang begitu antusias mengisi kotak-kotak, terdiri dari sepuluh pertanyaan mendatar
dan sepuluh pertanyaan menurun.

Sari dan Ria menyatukan kedua kepala mereka. Bagi Sari, dua kepala yang bersatu dapat
membantu meningkatkan kecerdasaran otak. Ria tidak tahu benar salahnya itu, yang pasti
saat ini Sari hampir selesai menjawab semua pertanyaan sendirian. Ria takjub, sepertinya isi
otaknya sudah disedot oleh otak Sari. Pantas saja ia tidak bisa menjawab satu pun.

“Aku yakin jawabannya Rengasdengklok. Sebutan peristiwa penculikan terhadap Soekarno


dan Mohammad Hatta. Rengasdengklok, kan, Ria? Tapi ini kok kotaknya lima belas, sih?
TTS buatan Riki kayaknya salah, deh.” Sari menggerutu sembari menghitung ulang kotak-
kotak yang kosong. Waktu terbuang sia-sia karena satu kotak yang tersisa.

“Ada dua pilihan. Tulis Rengasdengkelok atau aku hapus kotak terakhir. Pilih mana?” tanya
Ria dengan enteng.

Guru cantik berambut panjang dengan kacamata yang bertengker di hidung itu berjalan ke
tempat duduk Sari dan Ria. “Kenapa, Sari, Ria?” tanyanya sambil melihat hasil kerja dua
muridnya itu.

“Ini, Bu. Kotaknya lebih. Padahal Sari yakin sama jawaban Sari.” Sari cemberut dan sesekali
melirik teman sekelasnya. Takut jika harus kehilangan kesempatan untuk mendapat hadiah.

“Isi saja dengan jawaban yang kalian anggap benar. Jangan ragu sama jawaban yang kalian
yakini. Terlalu lama bimbang, bisa kehilangan kesempatan.”
Dengan cepat Sari menuliskan jawabannya tanpa memedulikan satu kotak yang tersisa.
Kemudian mereka berdua angkat tangan, disusul dengan dua pasangan lainnya. Semua kertas
dikumpulkan dan sang guru memeriksa jawaban tiga pasangan tercepat.

“Sampai di sini mata pelajaran kita hari ini. Terima kasih atas antusias kalian. Selamat
siang,” ucap Mandira kemudian meninggalkan kelas sambil membawa kertas jawaban
siswanya.

Mandira, guru Sejarah yang diidolakan oleh banyak murid, terutama oleh murid lelaki.
Kulitnya putih, wajah yang elok dipandang, bola mata cokelat muda, dan suaranya yang
terdengar lembut, menjadi alasan dirinya menjadi idola.

Sesampainya di ruang guru, Mandira mengemasi barang-barangnya. Kotak pensil, ponsel,


charger, dan kertas jawaban kelas X IPS 1 dimasukkan ke tote bag bewarna cokelat tua.
Sebelum pulang, ia sempat berpamitan kepada beberapa guru yang masih sibuk di depan
laptop dan kertas masing-masing.

Hari sangat cerah, terlalu cerah hingga teriknya terasa menyengat kulit. Tergesa-gesa
Mandira melangkah ke arah parkiran. Tangannya merogoh saku depan tas, mencari kunci
mobil yang selalu ia simpan di sana dan saat ketemu langkahnya terhenti ketika ponsel
miliknya berdering.

“Halo, Dek,” sapanya sambil membuka pintu mobil. “Ada apa?” tanyanya kemudian.

“Kak, makan bakso, yuk!” ajak Nadira dari seberang telepon.

“Sekarang, Nad?” tanya Mandira.

“Iya, kakakku yang cantik. Mau, ya? Di tempat biasa aja,” ucap Nadira dengan ceria dan
terdengar manja.

Mandira jelas tidak bisa menolak keinginan adiknya itu. “Iya, aku ke sana sekarang.” Setelah
mematikan sambungan telepon, Mandira pun bergegas dengan mengendarai mobil miliknya.
Jalanan jauh dari kata lengang. Begitu padat dan suara klakson mendominasi sore itu. Tidak
heran, memang sudah jam pulang kantor.

Sekitar tiga puluh menit lamanya Mandira sampai di tempat tujuan. Bakso Hasan, tempatnya
bersih, parkiran luas, letaknya dekat dengan rumah, dan yang paling penting adalah rasanya
yang sangat enak. Tidak hanya menjual bakso, juga menjual empek-empek, soto, dan siomai.

Tidak terlihat mobil milik adiknya, tetapi ia mengenal pemilik salah satu mobil yang terparkir
tak jauh dari mobilnya. Sepertinya mereka juga janjian, pikir Mandira. Ia lantas menghadap
kaca mobil, merapikan rambutnya, dan membetulkan letak kacamatanya, walau sebenarnya
tidak ada yang salah dengan kacamata itu.

Kakinya melangkah biasa saja, berbeda dengan detak jantungnya yang tidak biasa-biasa saja.
Terlalu cepat hingga membuatnya seakan-akan kehilangan oksigen. Langkahnya semakin
mendekati sosok lelaki yang duduk di meja pojok kanan ruangan.

“Hai!” sapanya yang terdengar kaku. Mandira mengambil tempat duduk tepat di depan lelaki
berkemeja navy itu.

Tersadar dengan perempuan yang duduk di depannya, Laskar meletakkan ponselnya. “Hai,
Ra. Gimana hari ini? Lancar ngajarnya?” tanya Laskar diakhiri sebuah kekehan.

“Lancar, kok, Kak,” jawab Mandira yang hanya direspons senyuman oleh Laskar. Diam,
tidak ada lagi perbincangan. Terlalu canggung dan jujur ia takut detak jantungnya terdengar
oleh lelaki yang tengah memandangi botol kecap itu.

“Tadi aku pesan bakso dengan mie kuning saja. Benar, kan?” tanya Laskar tiba-tiba.

Mandira sedikit kaget. Selain sibuk meredakan rasa gugupnya, ia juga merasa bahagia
mendapatkan perhatian dari Laskar. “Iya, Kak. Benar. Masih ingat, ya?”

“Tadi Nadira yang suruh aku pesan itu,” jawab Laskar. Tanpa ia sadari, perempuan di
depannya merasa kecewa dengan jawaban itu.

Mereka diam dan tidak lama kemudian tiga pesanan sudah sampai. Bakso dengan mie
kuning, bakso tanpa sayur, dan soto. Dilengkapi dengan tiga gelas es jeruk besar.

Laskar ingin menghubungi Nadira, tetapi kecupan singkat di pipinya menandakan orang yang
ia cari sudah hadir. “Kok lama, Sayang?” tanya Laskar sembari menggeser duduknya.

“Tadi pas keluar toko ada kecelakaan. Aku diminta nunjukin CCTV yang terpasang di depan
tokoh. Ck! Masih mending kalau jadi saksi nikah, ini malah jadi saksi kecelakaan.” Nadira
mencebik.

“Tapi kamu nggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Laskar dengan raut khawatir.

Nadira menunjukkan senyumnya. “ Nggak kok, Sayang. Ya udah, kita makan dulu, yuk! Aku
udah lapar banget.” Nadira mengambil mangkuk bakso tanpa sayur. Menambahkan sedikit
kecap dan sambal yang lumayan banyak. Sadar dengan Laskar yang melayangkan tatapan
tajam padanya, ia berhenti memasukkan sambal ke mangkuknya.

Mandira hanya terdiam sambil sesekali tersenyum. Dua orang di depannya tampak sangat
bahagia. Dadanya lagi-lagi terasa sesak.
“Aku duluan, ya, Nad, Kak. Sekalian mau mampir beli cokelat,” kata Mandira setelah
menghabiskan bakso dan air minumnya.

Perempuan itu terlihat tergesa-gesa, seperti dikejar sesuatu. Laskar sampai dibuat bingung
olehnya.

“Cokelat hadiah untuk murid lagi, Kak?” tanya Nadira mengulum senyum di bibir.

Mandira mengangguk. Lalu, pergi meninggalkan dua orang yang kembali asyik
bercengkerama.

“Kak, tadi papa telepon aku. Kakak dan Om Raga juga diajak buat makan malam bersama.
Katanya ada hal penting yang mau diomongin,” ucap Nadira menatap kepergian Mandira.

Kening Laskar mengerut. Entah, tapi ada yang terasa mengganjal di hatinya. “Jangan-jangan
kamu mau dijodohin?”

Nadira mendengkus. “Nggak mungkin! Lagian Papa juga tahu kok kalau aku cinta banget
sama Kakak,” jelas Nadira.

Laskar manggut-manggut, membenarkan. Meskipun tetap saja ada ketakutan di dalam


hatinya.

Malam harinya, di kediaman Bimo. Dua keluarga itu berkumpul di meja makan. Laskar
duduk di samping Nadira. Ini bukan pertama kali bagi Laskar ikut makan malam bersama
keluarga Anggara. Namun, kali ini rasanya berbeda. Laskar memandangi Bimo, pria berumur
lima puluh lima tahun itu tampak seperti biasanya.

“Ayo! Silahkan dimakan,” pinta Bimo.

Gerakan Mandira yang ingin mengambil nasi terhenti karena ucapan Laskar. “Maaf, Om.
Ada hal penting apa, ya, yang mau Om bicarakan?” Terdengar tidak sopan dan terburu-buru.
Untung saja Bimo menunjukkan senyumnya.

“Ternyata ada yang penasaran.” Bimo tertawa melihat Laskar yang menggaruk tengkuk. “Ya
sudah kalau begitu. Ini juga kabar baik, jadi nggak apa-apa kita bahas terlebih dulu.”

Mandira tampak bingung. Ia baru tahu kalau makan malam hari ini bukan yang seperti
biasanya. Ada hal penting yang ingin Bimo bicarakan. Ia lantas ikut penasaran.

“Om akan menjodohkan anak om,” ujar Bimo sambil tersenyum.

Mandira menegang. Ia merasa jantungnya berdegup kencang.

“Om ingin menjodohkan kamu dan Nadira.”


Kalimat itu membuat seisi ruangan tiba-tiba menjadi hening. Tanpa terkecuali Mandira.
Hatinya berdenyut nyeri, tetapi beberapa detik kemudian suara tawa terdengar dan
menyentak lamunan Mandira. Ia menjatuhkan sendok dari tangan yang tiba-tiba bergetar, lalu
menyembunyikannya di bawah meja.

Mandira tersenyum perih, sungguh ini makan malam terburuk yang ia alami. Seharusnya
Mandira bahagia, tetapi kabar kebahagiaan sang adik justru memukulnya begitu keras.

“Kak ....” Suara Abi yang duduk di sampingnya menyapa indra pendengaran Mandira yang
sejak tadi membeku, tanpa suara. Jangan tanyakan apa yang perempuan itu rasakan. Senyum
terpaksa itu lagi-lagi hadir di wajah seiring tatapan sendu sang adik kepadanya. Tangan Abi
bergerak mengenggam tangannya kuat. Seolah-olah jari-jemari itu tengah memberi kekuatan
untuk menghadapi kenyataan ini.

Apa mungkin Abi tau tentang perasaanku? Pikir Mandira.

“Ini serius, Pa?” Laskar bertanya serius kepada papanya, Raga. Mandira bisa melihat
pancaran kebahagiaan di mata laki-laki itu.

Raga tersenyum, lalu mengangguk. “Ini sudah kami rencanakan sejak dulu. Bukan begitu,
Bim?”

Bimo mengangkat alisnya. “Iya, baik papa dan Om Raga belasan tahun lalu sudah berjanji
untuk menjodohkan anak kami nantinya. Saat tahu ternyata kalian memiliki hubungan yang
spesial, kami merasa terbantu.”

Tawa kedua pria dari generasi yang sama itu pun terdengar renyah.

“Yes!” Nadira yang sejak tadi hanya terdiam mendadak berseru, berdiri, lalu menoleh. “Kak,
kamu dengar itu, kan?” tanyanya dengan wajah semringah.

Mandira mengangguk pelan. “He-em,” jawab Mandira singkat. “Selamat ya, Dek,”
lanjutnya.

Nadira yang diselimuti rasa bahagia itu sontak memeluk Mandira. Merasa tidak percaya,
seakan-akan saat ini sedang berada di alam mimpi sampai suara Laskar menyadarkannya, ini
benar-benar nyata.

“Boleh ikut nggak?” tanya Laskar yang mendekat ke arah mereka dengan merentangkan
kedua tangannya.

“Nggak!” jawab perempuan itu bersamaan. Tatapan tajam yang dilayangkan keduanya
membuat Laskar bergidik ngeri dan mengambil langkah mundur. Lelaki itu hanya nyengir
sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal itu.
Usai makan, mereka berpindah ke ruang tengah. Pembahasan para lelaki itu cukup berat
seputaran dunia bisnis dan politik. Abi yang notabenenya lebih menyukai musik sama sekali
tidak tertarik dan memutuskan beranjak menuju kamarnya.

Abimanyu Anggara bisa melihat kesedihan di mata Mandira. Berada di sana dan tahu kedua
kakaknya merasakan emosi yang berbeda membuatnya merasa dilema. Kendati demikian, ia
enggan untuk menanyakan hal itu ke Mandira, baginya sikap dan mata itu mampu
mengatakan isi hati sang kakak.

Laki-laki berusia dua puluh satu tahun itu mengembuskan napas berat. Ia merebahkan
tubuhnya dengan tangan menyilang di belakang kepala sembari memejam.

Saat tengah tenggelam dengan pikirannya, ia menyadari seseorang sedang memutar gagang
pintu secara perlahan-lahan dari luar. Abi menarik sudut bibirnya, saat mencium aroma
parfum dari langkah orang yang semakin dekat.

“Kak Ra,” tebak Abi.

Mandira pun menghentikan langkahnya, tidak percaya. “Bagaimana bisa?”

“Aku bisa mencium bau parfum Kakak dari jarak setengah meter.” Abi membuka mata dan
menggeleng-geleng melihat Mandira bertingkah seperti anak kecil yang mengendap-endap
masuk ke kamarnya.

Perempuan itu lantas mendudukkan bokongnya di kursi dan melipat kedua tangannya di meja
dengan bibir mencebik.

Abi pun terduduk dan menatap punggung perempuan yang membelakanginya itu dengan
perasaan gamang. “Apa Kak Laskar dan Om Raga udah pulang?”

“Belum.” Mandira menjawab tanya itu dengan singkat. Berada di sana, melihat Nadira dan
Laskar saling beradu pandang membuatnya tidak nyaman.

Kamar itu menjadi hening, keduanya terdiaam untuk beberapa saat. Sampai mata Mandira
terfokus pada jepitan rambut matahari di meja dan menguak ingatannya. Seulas senyum pun
menghiasi wajah perempuan itu.

“Bi ....”

Abi berubah waspada, terlebih saat sang kakak memutar posisinya dengan tatapan penuh
selidik. Jangan lupakan, perempuan di depannya itu memiliki perubahan mood yang tidak
terduga. Benar-benar menyebalkan.

Dengan tampang santainya, laki-laki itu balik bertanya, “Kenapa, Kak?”


Mandira memutar bola matanya malas. “Nggak usah pura-pura,” balas Mandira, ia
memperlihatkan benda di tangannya. “Jepitan ini, kan, yang waktu itu dicari si gadis berpipi
bakpao?”

Abi mengangkat bahunya santai. “Oh, itu.”

Laki-laki itu kemudian berdiri, mengambil jepitan dari tangan Mandira. Namun, diam-diam
Abi teringat seorang perempuan yang tanpa sengaja ia temui sedang menangis di bawah
pohon di pagi buta sebulan lalu. Ia sempat takut saat melihatnya, apalagi rambut yang
tergerai panjang lurus serta kulit putih bersih, membuatnya ragu untuk mendekat saat itu.

“Jawabnya 'Oh' tapi kok senyam-senyum gitu? Kamu suka, kan?” Mandira menodongnya
dengan rentetan pertanyaan.

Abi tertawa dan terdengar garing.

“Nggak, lah! Apa Kakak nggak bisa liat? Dia sangat cerewet dan bar-bar. Main asal pukul
orang, bukan tipe aku. Untung waktu itu aku lagi baik hati, jadi bersedia mengantarnya
pulang walaupun kepaksa juga karena Kakak,” sanggahnya semakin membuat Mandira
tersenyum.

“Suka juga nggak apa-apa kok, Bi.” Mandira mendekat dan duduk di samping Abi. Ia
menepuk punggung adiknya dan kembali berkata, “ Mungkin dengan mengatakan itu kamu
bisa merasa lega dan memiliki kesempatan untuk bersama.”

Helaan napas dari perempuan itu terasa mengusik hati Abi. Bingung, harus mengucapkan apa
untuk menghiburnya. “Aku bahkan tidak mengenal dia siapa, Kak,” ucapnya lirih.

“Oh, ya?” Mandira tampak tertarik dengan jawabannya.

“Dia itu nggak punya sopan santun. Bilang makasih aja nggak ada. Dasar cewek aneh!”

Mandira tergelak mendengar ucapan Abi. Laki-laki ini sepertinya menyimpan dendam ke
perempuan itu. Cinta memang datang dalam bentuk yang tidak terduga. Dari benci jadi cinta.
“Begitu ternyata, tapi dia cantik, kan Bi?”

“Iya.” Menyadari apa yang baru saja ia katakan sontak Abi menggeleng cepat. “Eh, salah,
Kak. Dia itu j.e.l.e.k!” sangkalnya penuh penekanan.

Lagi, Mandira tertawa. Abi yang dikenal cuek, kini tumbuh jadi laki-laki yang jika wajahnya
diberi nilai satu sampai sepuluh, Abi berada di angka delapan. Tidak buruk.
“Iya, iya, cewek yang jelek. Sampai rela-relain nyari penjepit rambut cewek itu, ya,” sindir
Mandira yang dihadiahi tatapan tajam oleh sang adik. “Oke-oke, aku keluar.” Mandira pun
melengos pergi setelah menarik hidung sang adik.

Mandira menutup pintu dengan tawa kecilnya, mengabaikan Abi di dalam sana yang pasti
sedang kesal dan mengambil langkah menuju dapur. Namun, kaki itu mendadak terhenti.

“Ternyata kamu di sini.” Suara lelaki itu memaku Mandira di tempatnya. “Dari tadi aku
nyariin kamu.”

“Ada apa ya, Kak?” tanyanya saat melihat lelaki itu menatapnya sedikit berbeda.

“Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampak pucat.”

“Aku nggak apa-apa, Kak,” kilahnya, tidak ingin semakin terjebak dengan sikap manis yang
diberikan lelaki itu. “ Oh, iya. Kak Laskar ada perlu apa?”

“Aku pengen ngomong sesuatu.”

Anggukan singkat dari Mandira mengantarkan mereka ke teras belakang rumah yang sejauh
mata memandang di penuhi aneka jenis tanaman hias yang ia tanam. Keduanya pun
tenggelam dengan pikiran masing-masing.

“Apa ada yang menganggu pikiranmu, Ra?”

Pertanyaan dari Laskar mencubit sudut hati Mandira, bagaimana mungkin ia tidak terganggu
setelah mendengar kabar yang semakin memperjelas bahwa Laskar tidak akan pernah bisa
Mandira gapai.

“Kenapa Kak Laskar bertanya seperti itu?”

Lelaki itu menoleh menatap wajah Mandira dari samping. “Aku merasa kamu tidak bahagia
mendengar kabar tentang perjodohan kami, Ra.”

Perempuan itu berusaha menyembunyikan rasa gugupnya, ia tidak ingin Laskar curiga lebih
jauh lagi. Perlahan, Mandira menunjukkan senyum di wajahnya, “Kak Laskar ini ngomong
apa, sih? Tentu saja aku bahagia, setiap orang kan menyampaikan rasa bahagianya dengan
cara yang berbeda-beda, Kak,” sangkalnya terlihat meyakinkan.

Laskar manggut-manggut, mungkin apa yang ia rasakan sejak tadi hanya ketakutan yang
tidak beralasan. Laskar mengenal Mandira, sebagai pribadi yang tertutup, kerap kali memilih
menyendiri seolah-olah sedang bahagia, tetapi matanya justru menyatakan sebaliknya. Entah,
Laskar selalu dibuat penasaran. “Aku sempat mengira kamu marah.”
Mandira menoleh dan tanpa sengaja beradu pandang dengan iris cokelat milik lelaki yang
sejak tadi ternyata memandanginya dari samping. Mampu memicu degup jantung perempuan
itu menjadi keras dan bisa terdengar jelas oleh yang empunya. Diam-diam ia berharap Laskar
tidak mendengarnya.

Demi mengalihkan rasa gugup itu, Mandira memukul jidat Laskar keras hingga membuat
lelaki itu meringis. Ia tampak mengusapnya berulang kali. Sepertinya benar-benar sakit.
Mandira suka ekspresi wajah itu, terlihat lucu. Mandira pun dengan cepat membuang
pandangannya ke sembarang tempat.

Mandira menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Kak Laskar ini ada-ada
saja.” Mandira menjeda ucapannya. “Serius, aku bahagia untuk kalian. Tadi itu sedikit kaget
saja, jadi responsnya diam, padahal pengen teriak juga,” lanjutnya mempertahankan senyum
di wajah.

Laskar ikut menghela napas lega. “Syukurlah, Ra. Nggak enak saja liat kamu diam seperti
tadi.” Laskar mengacak-acak rambut Mandira. “Jika ada apa-apa cerita sama aku, bahkan
jika ada lelaki yang membuatmu sedih juga harus bilang sama aku. Biar kuberi pelajaran
orang itu.”

Hati perempuan itu terasa nelangsa, jika saja Laskar tahu yang sebenarnya.

“Ra ....” Laskar terdengar serius, tatapannya jauh tertuju ke langit. Bagi Laskar, Mandira
perempuan yang baik dan mandiri. Sejauh lelaki itu mengenalnya, penyuka es krim itu tidak
pernah menampakkan sisi lemah. Kadang-kadang Laskar dibuat takjub dengan sikapnya itu,
tetapi di sisi lain ia juga merasa takut ada lelaki lain yang akan menyakitinya.

“Heem.” Mandira kembali menoleh ke arah lelaki itu, salahkan matanya yang seolah-olah
terhipnotis saat menatap wajah Laskar yang tengah sibuk melayangkan pandangan ke atas
sana. Diam-diam ia merasa cemburu pada langit yang bertabur bintang itu, karena telah
mampu menarik perhatian dari Laskar Pramuditya.

***
“Abiii, tolong bantu aku ya,” rengek Nadira kepada sang adik yang sibuk bermain Pou. Pou
adalah makhluk segitiga bewarna cokelat muda yang dipelihara Abi di ponselnya. Awalnya
Abi menganggapnya berjenis kelamin perempuan dengan nama Jesie, tetapi Abi terlalu
miskin sampai tidak bisa membeli rok dan berakhirlah si Pou dengan nama Jojo.
“Nggak mau, Kak. Aku sebagai seorang ayah, perlu mencari nafkah untuk anakku, si Jojo.
Kasihan Jojo yang terpaksa menjadi lelaki.” Abi menjauhkan tangannya yang memegang
ponsel dari jangkauan Nadira.

Mandira yang baru selesai mandi, mendengar kehebohan dari kamar Abi pun ikut bergabung.
“Kalian itu kenapa, sih?” tanya Mandira sembari mengeringkan rambut dengan handuknya.

“Ini nih, Kak. Abi nggak mau ajarin aku main keyboard. Aku kan rencananya mau main satu
lagu di acara resepsi nanti.” Nadira mencebik.

“Lagian percuma, Kak. Kak Nad itu susah diajarin main alat musik. Ingat kan waktu aku
ajarin main gitar? Waktu tangan kanannya jreeeng, tangan kirinya ikut bergetar, ngikutin
getar senar. Terus waktu diajarin main seruling, ingat kan bunyinya gimana? Suaranya kecil,
tapi liurnya ke mana-mana. Aku ogah ajarin dia lagi.” Abi mendengkus dan membaringkan
dirinya.

“Ya ampun, Bi. Ngomongnya kok suka benar, sih! Tapi ayolah, Bi. Ini acara penting, kakak
mau ngasih yang terbaik.” Nadira ikut berbaring seraya memukul punggung Abi.

“Aduh, enak, Kak. Ke bawah lagi.” Abi terkekeh.

“Jahat banget jadi adek. Sana, cari kakak baru. Keluar dari sini!” Nadira menarik selimut
hingga menutupi kepalanya.

“Ini, kan, kamarku.” Abi menarik selimut dan berakhir dengan adegan tarik-menarik selimut.

Mandira hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkah keduanya. “Satu lagu dalam empat
bulan pasti bisa kok, Bi.”

Abi menghela napas. Oke, alat musik ketiga, keyboard. Mari lihat hal konyol apa yang
dilakukan Nadira kali ini. “Ya udah, mau belajar lagu apa?” tanya Abi dengan nada tidak
ikhlas.

“Lagu All of Me dari John Legend,” jawab Nadira bersemangat.

Mandira duduk di kasur sembari memandangi dua adiknya di depan keyboard. “Kenapa pilih
lagu itu, Dek?” tanyanya.

Nadira nyengir. “Karena suka.”

“Aku nggak peduli, pokoknya Kakak harus fokus! Aku ajarin seminggu dan sisanya Kakak
belajar sendiri.” Abi mencontohkan chord Am dengan tangan kiri. “Coba!” perintahnya
dengan galak.

“Gimana, Bi? Pakai jari yang mana?” Terlihat Nadira kesulitan meletakkan jarinya.
“Jari tangan, Kak. Jangan jari kaki. Mana tangannya?” tanya Abi sambil melihat ke kaki
Nadira.

Nadira memukul bahu adiknya yang tertawa. “Serius, Bi!”

Sekitar lima menit Abi membenarkan posisi jari Nadira. Bahkan lelaki itu sudah berkeringat.
Tidak ada yang lebih susah daripada mendiamkan jari Nadira di tuts yang benar. Saat Abi
memarahi kakaknya karena jari itu bergeser, Nadira dengan santai menjawab 'jarinya gerak
sendiri, Bi'. Ingin rasanya Abi mengumpat saat ini.

“Udah, udah bisa chord Am. Terus apa lagi, Bi?”

Abi mencontohkan chord F. Bentuk jarinya sama, hanya saja bergeser ke sebelah kanan.
“Ayo, coba!”

“Ya ampun, Bi. Jauh banget tutsnya. Ini gimana cara gesernya, Bi? Jariku udah nyaman di
tuts ini.” Nadira heboh sendiri.

“Tinggal dipindah aja apa susahnya, sih, Kak?” Abi mendengkus. “Udah, ah! Kakak main
pianika saja.”

“Abi, kamu lupa ya kakakmu tiup seruling liurnya ke mana-mana? Kalau main pianika,
gimana nasib pianikanya?” Mandira tertawa.

Abi mengacak rambutnya. “Ya Allah, kenapa aku punya kakak seperti ini?” Ia berjalan
gontai ke kasur. Mengambil ponsel dan kembali ke Jojo. Melihat Jojo setidaknya membuat
hatinya sedikit tenang.

“Jahat!” Nadira mencebik sambil menekan asal tuts keyboard, sampai tiba-tiba ponsel milik
Nadira berdering, cepat ia mengangkatnya.

“Sayang, aku di bawah,” ucap seseorang.

“Langsung naik aja, Kak. Aku di kamar Abi,” balas Nadira dengan wajah semringah.

Beberapa saat kemudian, Laskar muncul dari balik pintu.

“Seru banget!” ucapnya menarik perhatian ketiga orang tersebut. “Lagi belajar keyboard,
ya?” tanyanya sambil menahan tawa saat melihat Nadira mengangguk.

“Lagu wedding barat. Sepuluh menit Ia nggak berhenti main, kotoran telingaku bisa-bisa
keluar semua,” kata Abi ketus.

Laskar sontak terbahak, sambil mendekati Nadira yang sudah menekuk wajahnya. “Bisa,
kok, pasti bisa!”
“Iya, kan, Sayang?” Nadira merasa di atas angin mendapat dukungan.

Laskar mengangguk seraya mengacak rambut Nadira dengan gemas.

“Sebenarnya kenapa sih Kak Laskar bisa suka sama Kak Nad? Perasaan nggak ada bagus-
bagusnya,” ujar Abi yang langsung mendapatkan pelototan dari Nadira.

Laskar tersenyum. “Mungkin karena khilaf.” Semua tertawa, terkecuali Nadira. Laskar
menyambung ceritanya. “Kakak kamu itu cewek paling usil yang pernah aku temui. Mulai
dari ban motor dikempesin, makanan dikasih sambal banyak, tas dimasukin tikus, dan masih
banyak lagi.”

Nadira tersipu malu mendengarnya. Sedikit pun ia tidak merasa bersalah. Baginya, itu pujian,
bukan sindiran.

“Dan suatu hari, ada tawuran antar fakultas. Aku jadi salah satu korbannya dan nggak
nyangka cewek jahil ini yang menolong saat semua orang justru takut mendekat.” Laskar
mengelus surai Nadira.

Abi bersiul.

“Besok-besoknya Ia nggak jahil lagi dan rasanya ada yang kurang, tapi begitu aku sembuh, Ia
mulai lagi.” Laskar terkekeh, mengingat masa lalunya.

“Ternyata seperti itu. Aku selama ini cuma tau kalau kalian saling kenal karena Kak Laskar
nggak sengaja nyeggol Kak Nad sampai masuk selokan.” Abi menaik turunkan alisnya,
menggoda Nadira.

“Ayo, Sayang! Kita nonton TV aja,” ajak Nadira berusaha mengalihkan topik.

Mandira yang sejak tadi hanya terdiam, tiba-tiba teringat kembali kejadian tawuran dulu.
Kalau saja waktu itu Mandira yang menolong, apa Laskar akan menyukainya?

***
Bosan di kamar, Mandira memilih keluar. Terdengar dari atas gelak tawa di lantai dasar di
kesunyian malam. Suara Nadira yang renyah mengukir senyum di wajah Mandira.

Bersikap seperti biasanya, perempuan itu ikut bergabung dan mengambil jarak. Kehadirannya
bahkan tidak disadari oleh kedua orang tersebut. Nadira fokus ke layar TV dengan kepala
bersandar di pundak Laskar.

“Sayang, yakin mau nikah sama aku?”


Mendengar pertanyaan Nadira, Mandira mendelik. Laskar pun ikut mengerutkan alis,
bingung tiba-tiba mendapat pertanyaan random seperti itu. “Yakin dong, Sayang! Kenapa
bertanya seperti itu?”

“Ada perempuan yang lebih baik dari aku. Lebih pintar, lebih dewasa, dan memiliki
kelebihan lainnya. Apa Kakak tetap memilih aku?”

Laskar menghela napas. “Nggak ada yang lain, hanya kamu.” Kali ini Laskar merasakan
pundaknya basah.

“Aku takut, Kak. Jika nanti ada perempuan yang datang dengan segala kelebihannya dan
sangat mencintai Kakak.”

“Sekalipun Ia memiliki kelebihan, tapi aku hanya mencintai kamu, Nadira.”

Dua perempuan yang mendengarkannya terenyuh. Nadira terharu dengan ucapan Laskar
sedangkan Mandira merasa sedih. Sudah sejelas itu, tetapi kenapa hati Mandira masih
bertahan? Air matanya tak terbendung lagi, terlalu sakit rasanya mencintai sendiri. Mandira
bangkit dengan wajah tertunduk dan bergerak.

Bimo yang muncul dari dapur dengan memegang secangkir teh menyadari bahwa anak
sulungnya terlihat menangis. Ia menahan Mandira yang akan ke kamar.

“Kamu kenapa, Nak?” tanya Bimo sembari melirik ke ruang TV. Terlihat Laskar dan Nadira
di sana. “ Siapa yang bikin kamu nangis?”

“Itu filmnya sedih, Pa. Ya udah, Pa. Mandira ke kamar dulu.” Dengan langkah cepat ia
menaiki tangga. Masuk ke kamar dan membanting pintu. Tangisnya pun pecah.

Bimo menduduki tempat Mandira sebelumnya. Matanya melihat Nadira tengah menangis dan
berhasil membasahi kaos Laskar. “Ini kenapa dua anak perempuan papa menangis? Sesedih
itu filmnya?”

“Si-siapa yang na-nangis, Pa?” tanya Nadira sambil sesenggukan.

“Kamu lah. Itu kakakmu juga nangis. Tadi katanya nangis karena nonton film,” ucap Bimo,
heran.

“Tadi kakak ada di sini?” Nadira mengambil tisu dan menghapus jejak air matanya. Laskar
menggeleng karena ia sendiri pun tidak sadar ada Mandira di sebelahnya tadi.

Alis Bimo tertaut. Benar saja di TV sedang menayangkan acara masak. “Jadi kalian nangis
bukan karena film?” tanya Bimo, kembali memastikan.
Nadira mengangguk. “Bukan, Pa.”
Ada yang tidak beres, kenapa Mandira menangis? batin Bimo.

11. Blurb
Laskar dan Nadira adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Perjodohan yang
dilakukan oleh kedua ayah mereka pun menjadi kabar baik. Namun, Mandira menganggap
kabar itu adalah kabar terburuk yang pernah ia dengar seumur hidupnya.

Mandira, sosok yang lembut dan tertutup, mencintai lelaki bernama Laskar. Ya, Mandira
mencintai kekasih adiknya sendiri. Bimbang, ia harus memilih antara memperjuangkan atau
merelakan cinta itu demi kebahagiaan sang adik.

Lalu, sebuah kecelakaan terjadi dan mengubah segalanya. Sampai Nadira dihadapkan dengan
dua pilihan. Mempertahan Laskar di sisinya atau merelakan sang kekasih untuk Mandira.

Anda mungkin juga menyukai