SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi
Progam Studi S1 Farmasi, STIKes Karya Putra Bangsa
Oleh:
VIANNY PRAMESWARY
1713206029
i
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi ini bukanlah karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di Perguruan Tinggi dan
sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
diterbitkan dalam daftar pustaka.
Tulungagung, Agustus
2021 Penulis,
Vianny Prameswary
iv
KATA PENGANTAR
v
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sempurna. Oleh sebab itu, kritik
atau saran dinantikan. Harapannya, skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada
pembaca dan pengembangan ilmu farmasi.
Penulis
vi
Potensi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Stroke
Iskemik di RSUD Mardi Waluyo, Kota Blitar Tahun 2019
Vianny
Prameswary Prodi
S1 Farmasi
INTISARI
Stroke adalah kerusakan pada otak yang muncul mendadak, progresif, dan
cepat akibat gangguan peredaran darah otak non-traumatik. Penanganan stroke
adalah kegawatdaruratan sehingga membuat proses pemilihan obat, pemberian
dosis, dan pengawasan harus tepat agar tidak menyebabkan drug related problems.
Drug related problems (DRPs) adalah peristiwa tidak diinginkan yang dialami
pasien yang mempengaruhi atau berpotensi mempengaruhi tujuan terapi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik demografi, jenis, frekuensi,
dan persentase DRPs yang terjadi pada pasien stroke iskemik di RSUD Mardi
Waluyo, Kota Blitar tahun 2019. Penelitian ini adalah penelitian analisis deskriptif
menggunakan rekam medis. Data dari rekam medis dikumpulkan lalu dianalisis
dan dikategorikan berdasar Pharmaceutical Care Network Europe Association V
9.0 kategori penyebab dan kategori masalah. Hasil penelitian terkait demografi
pasien menunjukkan bahwa sebagian besar pasien stroke iskemik berjenis kelamin
perempuan (56,9%). Mayoritas pasien stroke iskemik pada penelitian ini masuk
kelompok umur manula (>65 tahun; 46,2%). Sebagian besar pasien stroke iskemik
memiliki hipertensi sebagai penyakit penyerta (45,4%). Penelitian terkait DRPs
menunjukkan bahwa efek terapi obat tidak maksimal (P1.2) adalah DRPs kategori
masalah yang paling sering terjadi (1.179 kejadian; 76%). Sedangkan, terapi obat
tidak diberikan atau tidak selesai diberikan meski masih ada indikasi (528
kejadian; C1.6) adalah DRPs kategori penyebab yang paling sering terjadi.
Berdasar data, dapat disimpulkan bahwa efek terapi obat tidak maksimal adalah
DRPs yang paling sering terjadi.
Kata kunci: stroke iskemik, drug related problems, pharmaceutical care network
europe association
vii
Potential of Drug Related Problems (DRPs) in Patients with Ischemic Stroke
at Mardi Waluyo General Hospital, Blitar City in 2019
Vianny Prameswary
Bachelor of
Pharmacy
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
3.3 Variabel Penelitian .............................................................. 33
3.4 Populasi dan Sampel ............................................................ 33
3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi .................................. 34
3.6 Definisi Operasional Variabel ............................................. 35
3.7 Pengumpulan Data ............................................................... 35
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 37
4.1 Karakteristik Demografi ....................................................... 37
4.2 Karakteristik Obat ................................................................ 39
4.3 Drug Related Problems ....................................................... 42
4.3.1 Kategori Masalah ....................................................... 42
4.3.2 Kategori Penyebab ..................................................... 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 47
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 47
5.2 Saran .................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 48
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. 52
x
DAFTAR
x
DAFTAR
Gambar 2.2.4.1 Infract core dan penumbra iskemik pada pasien stroke iskemik
akut .................................................................................. 16
x
DAFTAR
xi
DAFTAR
xi
BAB
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Stroke adalah kerusakan pada otak yang muncul mendadak, progresif, dan
cepat akibat gangguan peredaran darah otak non-traumatik (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Penyakit stroke disebut juga
cerebrovascular accident (CVA) atau apoplexy (Wittenauer and Smith, 2012).
Stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragi. Jenis stroke
yang paling banyak diderita adalah stroke iskemik (87%) (Ryan and Nestor, 2020;
Virani et al., 2020).
Prevalensi stroke global adalah 104,2 juta orang yang mana 82,4 juta di
antaranya menderita stroke iskemik; 17,9 juta menderita pendarahan intraserebal;
9,3 juta menderita pendarahan subaraknoid (Virani et al., 2020). Data di Indonesia
menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal kejadian,
kecacatan, maupun kematian (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,
2011). Prevalensi stroke di Jawa Timur meningkat dari 9,1% pada 2013 menjadi
12,4% pada 2018 (Laksmiarti et al., 2013; Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018) dan prevalensi stroke di Kota Blitar meningkat dari 1,1% pada
2007 menjadi 9,4% pada 2013 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2008; Laksmiarti et al., 2013).
Peningkatan prevalensi stroke disebabkan oleh peningkatan faktor risiko
stroke seperti hipertensi, merokok, diabetes melitus, atrial fibrilasi, dislipidemia,
usia tua, ras, dan faktor genetik (Ryan and Nestor, 2020; Virani et al., 2020).
Banyaknya faktor risiko stroke turut meningkatkan kompleksitas pengobatan
sehingga risiko terjadinya polifarmasi dan drug related problems pun meningkat.
Ditambah konsep ―time is brain‖ yang artinya penanganan stroke
adalah kegawatdaruratan, membuat proses pemilihan obat, pemberian dosis, dan
pengawasan harus tepat agar tidak menyebabkan masalah terapi obat atau
drugrelated problems (Strand et al. dalam Cipolle et al., 2012; Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011).
1
2
Drug related problems atau DRPs adalah peristiwa tidak diinginkan yang
dialami pasien yang mempengaruhi atau berpotensi mempengaruhi tujuan terapi.
DRPs meningkatkan biaya perawatan dengan rerata biaya tambahan 2.500 dolar
Amerika Serikat (Watanabe et al., 2018), berkontribusi pada morbiditas dan
mortalitas dengan menyebabkan 275.689 kematian di Amerika Serikat (Watanabe
et al., 2018), menurunkan kualitas hidup (penelitian oleh Chandrasekhar et al.,
2018), serta memperlama rawat inap hingga 3 kali lebih lama pada pasien stroke
dengan drug related problems (Michaels et al., 2010). Celin et al. (2012)
menyatakan bahwa pasien stroke adalah kelompok risiko tinggi DRPs sebab
polifarmasi, usia tua, dan komorbiditas. Sehingga, mengidentifikasi DRPs penting
untuk meningkatkan keamanan pasien dan outcome terapeutik.
Penelitian mengenai DRPs penyakit stroke iskemik yang dilakukan oleh
Kanagala et al. (2016) di Dr. Pinnamaneni Siddhartha Institute of Medical
Sciences and Research Foundation di India tahun 2016. Hasilnya, sebanyak 120
pasien mengalami DRPs dengan rincian: kategori masalah yang paling banyak
terjadi adalah terapi obat yang salah (35,03%) dan efek terapi obat tidak maksimal
(32,28%). Sedangkan, kategori penyebab yang paling banyak terjadi adalah butuh
obat profilaksis (27,66%) dan kombinasi obat tidak tepat (16,06%). Penelitian lain
dilakukan Nugraha et al. di RSUD dr. Iskak, Tulungagung pada 2018. Hasilnya,
terdapat 32 kejadian pemberian obat tanpa indikasi dan 31 kejadian pemberian
obat tidak diperlukan. Data dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa DRPs
pada pasien stroke iskemik sering terjadi. Peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai DRPs sebab pasien stroke memiliki banyaknya faktor risiko stroke dan
penanganan stroke merupakan kegawatdaruratan sehingga membuat proses
pemilihan obat, pemberian dosis, dan pengawasan harus tepat agar tidak
menyebabkan DRPs. Penyakit stroke iskemik dipilih sebab lebih banyak diderita
dibanding stroke hemoragi (87% dibanding 13%; menurut Virani et al., 2020).
Analisis DRPs pada penelitian ini menggunakan Pharmaceutical Care
Network Europe Association V 9.0 yang belum pernah dilakukan oleh penelitian
sebelumnya. Tempat penelitian dilakukan di RSUD Mardi Waluyo yang mana
karakteristik demografi dan fasilitas kesehatannya berbeda dengan penelitian
3
sebelumnya. Di RSUD Mardi Waluyo pada tahun 2019, penyakit stroke adalah
penyakit nomor satu yang paling banyak diderita sehingga dengan dilakukannya
penelitian ini diharap mampu memberikan gambaran potensi DRPs yang terjadi
dan mampu meningkatkan mutu layanan kesehatan di RSUD Mardi Waluyo, Kota
Blitar. Penelitian jenis ini belum pernah dilakukan di RSUD tersebut sehingga
peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui DRPs pada pasien stroke
iskemik yang dirawat inap di Instalasi Rawat Inap RSUD Mardi Waluyo, Kota
Blitar.
Blitar sehingga bisa menjadi bahan evaluasi dalam upaya meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.
5
6
Terdapat 8 kategori drug related problems yang disusun oleh Strand et al.
(dalam Cipolle et al., 2012):
C8 Pasien pindahan
Penyebab DRPs berkaitan dengan pindahnya
pasien antar fasilitas kesehatan primer,
sekunder, tertier, atau dalam satu fasilitas
kesehatan yang sama
C9 Lainnya
Intervensi yang I0 Tidak ada intervensi
direncanakan I Intervensi pada level pembuat resep
1 Intervensi pada level pasien
I Intervensi pada level obat
2 Intervensi lainnya
I
3
I4
Intervensi yang A1 Intervensi diterima
dilakukan A2 Intervensi tidak diterima
A3 Lainnya
Status DRPs O0 Tidak diketahui
O1 Selesai
O2 Sebagian selesai
O3 Masalah tidak selesai
Kategori masalah terdiri dari 3 domain: efek klinis terapi obat yang tidak
sesuai dengan tujuan terapi atau tidak adanya terapi obat (pada P1), pasien
mengalami reaksi obat merugikan pada dosis normal atau mengalami reaksi toksik
(pada P2), dan tampak tidak ada kesalahan pada pengobatan tetapi muncul
masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (pada P3) (Pharmaceutical Care
Network Europe Association, 2019).
Kategori penyebab menjabarkan penyebab tiap masalah yang muncul atau
berpotensi muncul. Bagian ini terdiri dari 5 domain yaitu penyebab DRPs
berkaitan dengan: pemilihan obat (pada C1), pemilihan bentuk sediaan (pada C2),
jadwal pemberian obat (pada C3), durasi terapi (pada C4), proses dispensing
(pada C5), cara administrasi obat oleh tenaga medis (pada C6), kebiasaan dan
personalitas pasien (pada C7), perpindahan pasien (pada C7), dan penyebab lain
yang tidak disebutkan sebelumnya (pada C9) (Pharmaceutical Care Network
Europe Association, 2019).
Kategori intervensi yang direncanakan menjelaskan rencana intervensi
untuk menyelesaikan drug related problems. Terdapat 5 domain utama: tidak
dibutuhkan intervensi (pada I0), intervensi dilakukan melalui pembuat resep (pada
I1), intervensi dilakukan melalui pasien, anggota keluarganya, atau caregiver
(pada I3), intervensi dilakukan langsung dengan cara mengganti obat yang
1
digunakan (pada I3), dan intervensi lain (pada I4) (Pharmaceutical Care Network
Europe Association, 2019).
Kategori intervensi yang dilakukan menjelaskan intervensi mana yang
diterima dan dilakukan. Kategori ini terdiri dari 3 domain: intervensi diterima
(oleh pembuat resep atau pasien) (pada A1), intervensi tidak diterima (oleh
pembuat resep atau pasien) (pada A2), dan tidak ada intervensi yang diusulkan
atau penerimaan intervensi tidak diketahui (pada A3) (Pharmaceutical Care
Network Europe Association, 2019).
Kategori status DRPs menjelaskan mengenai status DRPs. Kategori ini
terdiri dari masalah telah diselesaikan sepenuhnya (pada O1), masalah sebagian
diselesaikan (pada O2), dan masalah tidak diselesaikan (pada O3)
(Pharmaceutical Care Network Europe Association, 2019).
2.2 Stroke
2.2.2 Definisi Stroke
Penyakit stroke disebut juga cerebrovascular accident (CVA) atau
apoplexy (Wittenauer and Smith, 2012). Wittenauer dan Smith (2012)
1
sebesar 15%, umur 55—64 tahun sebesar 26,8%, dan umur 65 tahun sebesar
23,5%.
Stroke di Indonesia umum diderita oleh kelompok usia 55—64 tahun
dengan prevalensi 32,4‰ per mil, usia 65—74 tahun dengan prevalensi 45,3‰
per mil, dan usia ≥75 tahun dengan prevalensi 50,2‰ per mil. Stroke di Indonesia
1
umumnya diderita oleh laki-laki dengan prevalensi 11,0‰ per mil (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
hari setelah TIA (American Stroke Association, 2020). Virani et al. (2020)
menyatakan bahwa pasien yang mengalami TIA memiliki risiko sebesar 19%
untuk mengalami stroke dalam 10 tahun dan risiko kombinasi stroke dengan
serangan jantung atau penyakit vaskular lain dengan risiko kematian sebesar 43%
(4% per tahun). Penelitian oleh Greater Cincinnati/Northern Kentucky Stroke
Study dalam Virani et al. (2020), mortalitas satu tahun setelah TIA adalah 12%.
Perkiraan risiko per pasien dipengaruhi oleh usia, tipe stroke iskemik, penyakit
komorbid, dan kepatuhan terapi preventif.
cm3/100 g per menit sedangkan aliran darah pada infract core adalah <6—8
cm3/100 g per menit (Kornienko et al., 2009).
Gambar 2.2.4.1 Infract core dan penumbra iskemik pada pasien stroke iskemik
akut (Kornienko et al., 2009)
1
Secara umum, penurunan fungsi otak terjadi saat aliran darah serebal turun
menjadi 15—20 ml/100 g per menit. Penurunan aliran darah serebal menjadi 70—
80% dari level normal (di bawah 50 ml/100 g per menit), diikuti dengan reaksi
penghambatan sintesis albumin. Penurunan aliran darah menjadi 50% dari level
normal (sekitar 35 ml/100 g per menit) menyebabkan aktivasi glikolisis anaerob
dan meningkatnya konsentrasi laktat yang mampu berkembang menjadi laktat
asidosis dan edema sitotoksik. Penurunan aliran serebal lebih lanjut (menjadi 20
ml/100 g per menit), diikuti oleh penurunan sintesis adenosin trifosfat, insufisiensi
energi, ketidakstabilan membran seluler, pelepasan transmiter amino asidergik,
dan kegagalan fungsi kanal transpor ion aktif. Aliran darah serebal di bawah 10
ml/100 g per menit menyebabkan depolarisasi membran dan diketahui sebagai
kerusakan sel permanen (Kornienko et al., 2009).
Penurunan suplai oksigen saat serangan stroke iskemik menyebabkan
deplesi adenosin trifosfat dan akumulasi kalium ekstraseluler, natrium intraseluler,
serta air yang akan menyebabkan sel bengkak dan lisis. Influks kalsium
intraselular mengaktivasi lipase dan protrease yang menyebabkan degradasi
protein dan lepasnya asam lemak bebas dari membran seluler. Asam amino seperti
glutamat dan aspartat yang lepas dari jaringan iskemik akan memperlama
kerusakan saraf dan menginduksi produksi prostaglandin, leukotriene, dan
reactive oxygen species. Proses ini terjadi dalam 2 hingga 3 jam dari onset stroke
iskemik dan mampu menyebabkan apoptosis sel dan nekrosis (Ryan and Nestor,
2020).
Sebagian besar pasien mengalami penumbra iskemik yang bisa diterapi
dalam 3 jam. Waktu ini disebut jendela terapeutik, bisa diberikan obat trombolisis.
Oleh sebab itu, identifikasi pasien perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi
pengobatan (Wittenauer and Smith, 2012).
Perubahan pembuluh darah dan perinkem yang disebabkan oleh iskemik,
membuat aliran darah tidak bisa kembali normal bahkan setelah penyebab
obstruksi hilang (―no-reflow phenomenon‖). Disabilitas fungsional tergantung
dari luas dan lokasi iskemik dan komplikasi yang dialami oleh pasien (Wittenauer
and Smith, 2012).
1
b. Diabetes melitus
Diabetes melitus meningkatkan kejadian stroke pada semua kelompok
usia, utamanya di bawah usia 65 tahun baik pada orang kulit putih maupun kulit
hitam. Terdapat hingga 28% pasien stroke iskemik yang menderita pre-diabetes
melitus dan 25%—45% yang menderita diabetes melitus (Kernan et al., 2014).
Keseluruhan, pasien stroke dengan diabetes melitus usianya lebih muda dan lebih
mudah menderita hipertensi, serangan jantung, dan kolesterol tinggi dibandingkan
pasien nondiabetes melitus (Virani et al., 2020).
Durasi diabetes melitus adalah prediktor kuat stroke iskemik dibanding
kontrol glikemik untuk pasien diabetes melitus dengan atrial fibrilasi. Durasi
diabetes melitus ≥3 tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke iskemik (2,9
orang/100 orang-tahun) dibandingkan durasi diabetes melitus <3 tahun (1,7
orang/100 orang-tahun) pada pasien diabetes melitus dengan atrial fibrilasi
(Virani et al., 2020).
Vaskulopati yang diinduksi hiperglikemia dikaitkan dengan kerusakan
endotelial akibat akselerasi terbentuknya aterosklerosis oleh diabetes melitus.
Resistansi insulin menyebabkan insulin tidak bisa menghambat lipolisis yang
akhirnya membuat asam lemak bebas lepas. Asam lemak bebas akan
menyebabkan mitokondria sel endotelial pembuluh darah memproduksi reactive
oxygen species yang akan mengaktivasi proses patogenesis sama seperti
hiperglikemia. Peningkatan asam lemak bebas menyebabkan perubahan profil
lipid seperti peningkatan trigliserida, penurunan HDL-C (high-density lipoprotein
cholesterol), dan peningkatan LDL-C (low-density lipoprotein cholesterol) yang
akan terakumulasi di dinding arteri (Tun et al., 2017).
Peningkatan asam lemak bebas dan deaktivasi reseptor insulin
menyebabkan apoptosis oleh makrofag dan pembersihan LDL-C yang rendah oleh
fagositosis. Hasilnya, terjadi nekrosis pada plak kaya lipid akan menyebabkan
kejadian sama seperti lesi aterosklerosis (Tun et al., 2017).
c. Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi non-valvular adalah faktor risiko kuat penyebab stroke,
meningkatkan risiko stroke ≈5 kali pada semua kelompok usia (Virani et al.,
2
2020) atau meningkatkan risiko stroke iskemik dari 5% hingga 20% per tahun,
bergantung pada komordibitas yang ada (Ryan and Nestor, 2020).
Persentase stroke yang disebabkan oleh atrial fibrilasi meningkat dari
1,5% pada usia 50—59 tahun menjadi 23,5% pada usia 80—89 tahun. Sebab
atrial fibrilasi sering kali asimptomatik, risiko stroke yang disebabkan oleh atrial
fibrilasi mungkin lebih tinggi dari yang diketahui saat ini (Virani et al., 2020).
Atrial fibrilasi dikaitkan dengan terjadinya darah statis tidak normal,
perubahan struktur atrium, aktivasi platelet dan faktor koagulasi (faktor Xa dan
trombin); disebut dengan Virchow's triad. Atrial fibrilasi mampu menginduksi
pembentukan trombus dan stroke iskemik melalui dilatasi dan kontraksi atrial,
menurunkan lapisan endokarnial normal, dan menyebabkan disfungsi endotelial
(Kim and Roh, 2016). Faktor risiko atrial fibrilasi seperti usia, jenis kelamin laki-
laki, hipertensi, diabetes melitus, dan penggunaan tembakau dikaitkan juga
dengan faktor risiko stroke (Kamel et al., 2016).
d. Dislipidemia
Tingginya kadar kolesterol total, LDL-C, lipoprotein alfa, dan rendahnya
HDL-C meningkatkan risiko stroke (Kernan et al., 2014). Tiap peningkatan 50
mg/dl total kolesterol, meningkatkan risiko stroke iskemik 22% dan penurunan
kadar LDL-C <70 mg/dl menurunkan risiko stroke iskemik 28% (Hackam and
Hegele, 2019).
Analisis oleh Emerging Risk Factors Collaboration dalam Virani et al.
(2020) menunjukkan bahwa risiko stroke iskemik pada pasien dengan nilai HDL-
C rendah lebih tinggi dibanding pasien dengan nilai HDL-C normal (1,12%
dibanding 0,93%). Hal ini karena rendahnya HDL-C tidak mampu menghambat
oksidasi yang dilakukan oleh LDL-C dan tidak mampu melindungi endotelium
pembuluh darah dari aterosklerosis. Penurunan risiko stroke 11—15% didapat
pada tiap kenaikan 10 mg/dl HDL-C (Kernan et al., 2014; Yaghi and Elkind,
2015).
Tingginya kadar nonfasting triglycerides menandakan tingginya kadar
kilomikron dan very low density-lipoprotein. Kedua senyawa ini bisa
menyebabkan stroke iskemik dengan menembus endotelium lalu menginduksi
2
gumpalan darah ini hancur dan terbawa menuju otak, bisa menyebabkan stroke
iskemik (Center for Disease Control and Prevention, 2020).
g. Aktivitas Fisik
Progam olahraga yang terstruktur menunjukkan peningkatkan mobilitas,
keseimbangan, dan ketahanan pada pasien stroke dan TIA. Olahraga mampu
menurunkan tekanan darah, meningkatkan fungsi endotelial, menurunkan
resistansi insulin, meningkatkan metabolisme lipid, dan membantu penurunan
berat badan (Kernan et al., 2014). Rutin berolahraga mampu menurunkan 40%
risiko stroke, serangan jantung, dan kematian karena penyakit kardiovaskular.
Efek ini muncul pada berbagai kelompok etnis baik pada usia tua maupun muda
(Kernan et al., 2014; Kleindorfer et al., 2021).
Pasien stroke dan TIA yang bisa dan bersedia melakukan aktivitas fisik,
disarankan melakukan olahraga intensitas menengah (contoh brisk walking)
dengan total olahraga 150 menit per minggu atau olahraga intensitas tinggi
(contoh lari) dengan total olahraga 75 menit per minggu (Kernan et al., 2014;
Arnett et al., 2019). Jika tidak memungkinkan, aktivitas fisik yang dilakukan bisa
disesuaikan dengan toleransi tubuh pasien, limitasi gerak tubuh pasien, stage of
recovery, dan dukungan sosial pasien (Kleindorfer et al., 2021)
h. Diet Tidak Sehat
Secara global, pola makan adalah faktor risiko stroke yang bisa
dimodifikasi dan faktor penentu beban stroke global yang bisa dimodifikasi.
(Kernan et al., 2014). Rekomendasikan pasien untuk membatasi konsumsi lemak
jenuh, lemak trans, kolesterol, natrium, kalsium, makanan dan minuman
mengandung pemanis buatan (seperti soda dan pastries), minuman beralkohol,
daging olahan serta daging merah. Edukasi pasien untuk mengonsumsi lebih
banyak sayuran (seperti kubis dan root vegetables), buah-buahan (seperti apel, pir,
dan pisang), gandum utuh, susu rendah lemak, ikan, kalium, dan kacang-kacangan
(Ryan and Nestor, 2020; Virani et al., 2020; Kleindorfer et al., 2021).
2
ulser peptik, dan alergi pada aspirin (Wittenauer and Smith, 2012; Anderson and
Cogan, 2015). Pasien yang kontraindikasi aspirin bisa mengonsumsi antiplatelet
alternatif (Powers et al., 2019).
Dosis aspirin yang direkomendasikan adalah 160—300 mg (Powers et al.,
2019). Dosis aspirin 300 mg/hari secara signifikan menurunkan stroke berulang
dalam 2 minggu pertama dan menurunkan dependensi dalam 6 bulan (Wittenauer
and Smith, 2012; Fagan and Hess, 2017). Aspirin 160 mg/hari menurunkan risiko
stroke berulang dalam 28 hari pertama tetapi efek kematian jangka panjang dan
disabilitas tidak berbeda dari plasebo (Fagan and Hess, 2017).
b. Klopidogrel
Pasien yang tidak bisa mengonsumsi aspirin untuk menurunkan risiko
stroke berulang, alternatifnya mengonsumsi klopidogrel (Wittenauer and Smith,
2012). Dosis klopidogrel 75 mg/hari sama efektifnya dengan aspirin 325 mg/hari
dengan klopidogrel memiliki efek pendarahan lebih ringan (Ryan and Nestor,
2020).
c. Dipiridamol
Dipiridamol digunakan sebagai terapi preventif stroke dan umumnya
dikombinasikan dengan aspirin menjadi extended-release dipyridamole plus
aspirin (ERDP-ASA) (Anderson and Cogan, 2015). Monoterapi dipiridamol lepas
lambat 200 mg menunjukkan penurunan risiko stroke (16,3%) meski tidak
sesignifikan terapi ERDP-ASA (37%) (Wittenauer and Smith, 2012).
d. Kombinasi Antiplatelet
Pasien TIA akut non-kardioemboli dan stroke iskemik minor (skor NIHSS
≤3) yang tidak mendapatkan terapi tPA, bisa diterapi dengan dua antiplatelet
(aspirin dan klopidogrel) yang dimulai dalam 24 jam setelah onset stroke dan
dilanjutkan selama 21 hari. Terapi ini dinilai efektif menurunkan stroke iskemik
berulang dalam 90 hari setelah onset dibandingkan monoterapi aspirin (Powers et
al., 2019; Diener and Hankey, 2020).
Pasien yang kontraindikasi atau tidak mau mengonsumsi antikoagulan oral,
diberikan aspirin 81—325 mg/hari atau kombinasi aspirin dengan klopidogrel.
2
c. Dabigatran
Dabigatran adalah salah satu DOAC. Obat ini digunakan untuk terapi
preventif stroke dan emboli sistemik pada pasien atrial fibrilasi non-valvular
(Anderson and Cogan, 2015). Dabigatran 150 mg, dua kali sehari dikaitkan
dengan penurunan risiko stroke atau emboli sistemik yang rendah (Kernan, et al.,
2014). Efek samping dabigatran adalah pendarahan, dispepsia, dan sakit
abdominal (Anderson and Cogan, 2015). Dabigatran dieliminasi melalui ginjal
sehingga pemberiannya pada pasien gagal ginjal harus diperhatikan (Diener and
Hankey, 2020).
d. Rivaroksaban dan Apiksaban
Baik rivaroksaban maupun apiksaban adalah DOAC yang digunakan
sebagai terapi dan tindakan preventif pada deep vein thrombosis, edema
pulmonari; sebagai tindakan preventif stroke pada pasien atrial fibrilasi non-
valvular. Obat ini dieliminasi melalui ginjal, sehingga gangguan ginjal akan
menganggu proses eliminasi (Anderson and Cogan, 2015).
Dosis rivaroksaban yang digunakan adalah 20 mg/hari. Dilakukan
penyesuaian dosis dengan menurunkan dosis rivaroksaban menjadi 15 mg/hari
jika pembersihan kreatininnya 30 hingga 49 ml/menit. Apiksaban 5 mg, dua kali
sehari lebih efektif digunakan pada pasien stroke dengan atrial fibrilasi dibanding
aspirin. Baik rivaroksaban maupun apiksaban, efek samping utamanya adalah
pendarahan gastrointestinal (Kernan et al., 2014).
33
3
n= 192
1 + (192 (0,052))
n = 130
Keterangan:
n : sampel yang diambil
N : banyaknya populasi
𝑒2 : persen kesalahan sebesar 5%
37
3
(masa remaja awal), 17—25 tahun (masa dewasa awal) 26—35 tahun (masa
dewasa akhir), 36—45 (masa dewasa akhir), 46—55 tahun (masa lansia awal), 56
—65 tahun (masa lansia akhir), dan >65 tahun (masa manula). Berdasar Tabel
4.1, diketahui stroke iskemik paling banyak diderita oleh kelompok umur >65
tahun. Indikasi menderita stroke berlipat ganda pada usia >55 tahun (hazard ratio:
1.74 tiap 10 tahun) (Rodgers et al., 2004). Hal ini karena usia tua mengubah
metabolisme tubuh, menurunkan drug clearance, meningkatkan prevalensi
transcient ischemic stroke (hazard ratio: 1,87), penyakit kardiovaskular (hazard
ratio: 1,55), hipertensi (peningkatanan tekanan darah sistolik per 10 mmHg
dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke dengan hazard ratio: 1,15), dan atrial
fibrilasi (hazard ratio 2,03) (Dagli and Sharma, 2014; Rodgers et al., 2004). Hasil
penelitian ini selaras dengan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(2018) yang menunjukkan bahwa stroke diderita lebih banyak oleh kelompok
umur >65 tahun dibanding kelompok umur lainnya.
Sebagian besar pasien stroke iskemik pada penelitian ini, berjenis kelamin
perempuan. Hasil penelitian ini berbeda dengan data dari Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (2018; 45,08% pasien stroke berjenis kelamin laki-laki) dan
penelitian Nugraha et al (2018) (57% pasien stroke iskemik berjenis kelamin laki-
laki). Indikasi stroke iskemik 33% lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan (Appelros et al., 2009) tetapi per 10 tahun setelah menopause, risiko
perempuan mengalami stroke meningkat dua kali lipat (Lisabeth and Bushnell,
2012). Menopause dikaitkan dengan terhambatnya produksi HDL-C, mengecilnya
ukuran partikel HDL-C sehingga kurang mampu memberikan proteksi
kardiovaskular, dan meningkatnya LDL-C. Oleh sebab itu, menurunnya estrogen
saat menopause berefek pada perubahan profil lipoprotein yang berkontribusi
pada aterosklerosis (Demel et al., 2018). Perbedaan proporsi jenis kelamin
penderita stroke iskemik pada penelitian ini dibanding data dari Kementrian
3
Tabel 4.2.1 Karakteristik obat yang diberikan pada pasien stroke iskemik di
RSUD Mardi Waluyo, Kota Blitar tahun 2019
Kelas Nama Jumlah
Terapi Obat Penggunaan
Penghambat agregrasi platelet Aspirin 103
Klopidogrel 31
Antagonis histamin H-2 Ranitidin 89
Neuroprotektan Pirasetam 101
Sitikolin 42
Penghambat pompa proton Omeprazol 29
Suplemen Vitamin B Cernevit 60
Neurobion 1
Neurodex 23
Neugain 3
Neurosanbe 22
Mersibion 48
Sohobion 2
Terapi stroke iskemik akut menggunakan alteplase (salah satu tPA [tissue
plasminogen activator]) dosis 0,9 mg/kg, dosis maksimal 90 mg dalam 60 menit
dengan 10% dosisnya diberikan secara bolus selama 1 menit, mampu menurunkan
mortalitas hingga 28% dalam 5 tahun dan 37% dalam 10 tahun. Pemberian tPA
dalam 3 jam memberikan hasil yang lebih baik yakni menurunkan mortalitas
hingga 32% dalam 5 tahun dan 42% dalam 10 tahun (Wittenauer and Smith, 2012;
Muruet et al., 2018).
Pada penelitian ini, pasien stroke iskemik tidak diterapi menggunakan tPA
tetapi aspirin atau klopidogrel. Pemberian aspirin 160 mg/hari menurunkan risiko
stroke berulang dalam 28 hari pertama tetapi efek kematian jangka panjang dan
disabilitas tidak berbeda dari plasebo (Ryan and Nestor, 2020). Efek samping
utama aspirin adalah pendarahan (Wittenauer and Smith, 2012; Anderson and
Cogan, 2015). Pasien yang tidak bisa mengonsumsi aspirin, alternatifnya
mengonsumsi klopidogrel (Wittenauer and Smith, 2012). Penggunaan klopidogrel
75 mg/hari memiliki efektivitas sama dengan aspirin 325 mg dengan efek
pendarahan yang lebih ringan (Ryan and Nestor, 2020).
Pemberian ranitidin dan omeprazol pada penelitian ini dilakukan sebagai
profilaksis pendarahan gastrointestinal. Pendarahan gastrointestinal umum terjadi
4
Tabel 4.3.1 Drug related problems kategori masalah pada pasien stroke iskemik
di RSUD Mardi Waluyo, Kota Blitar tahun
Jumlah 2019
Kejadian
Kode Domain Utama Persentase
n = 1.552 (%)
P1.2 Efek terapi obat tidak optimal 1.179 76
P1.3 Terdapat indikasi yang tidak 123 7,9
ditangani
P3.1 Terdapat masalah dengan cost 104 9,4
effectiveness terapi obat
P3.2 Terapi obat yang tidak diperlukan 146 9,4
4
Efek terapi obat tidak optimal (P1.2) merupakan DRPs kategori masalah
yang paling sering terjadi (1.179 kejadian; 76%). Efek terapi obat tidak optimal
terjadi saat terapi obat tidak memberikan efek terapeutik yang tidak adekuat. Pada
penelitian ini, efek terapi obat tidak optimal disebabkan tidak diberikan atau tidak
selesai diberikan meski masih ada indikasi (C1.6) dan dosis obat yang diberikan
terlalu rendah (C3.1). Terapi obat tidak diberikan atau tidak selesai diberikan
meski masih ada indikasi adalah DRPs kategori penyebab yang paling sering
terjadi (528 kejadian). Penyebabnya adalah indikasi yang tidak ditangani (P1.3;
123 kejadian, 7,9%) dan durasi terapi yang terlalu pendek (C4.1; 405 kejadian,
21,8%).
Terapi obat yang tidak diperlukan (P3.2; 146 kejadian, 9,4%) terjadi saat
pasien mendapatkan terapi obat yang tidak sesuai dengan indikasi yang ada. Pada
penelitian ini, pemberian pirasetam intravena 3x3.000 mg adalah pemberian obat
tidak diperlukan paling banyak terjadi (103 kejadian). Penggunaan neuroprotektan,
selain sitikolin intravena 2x1.000 mg, pada pasien stroke, tidak direkomendasikan
oleh Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2011).
Frekuensi dan persentase DRPs kategori masalah pada penelitian ini tidak
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugraha et al. (2018) dan Kanagala
et al (2016). Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan karena penelitian ini
dilakukan di tempat dengan karakteristik demografi yang berbeda. Selain itu,
analisis DRPs pada penelitian ini menggunakan Pharmaceutical Care Europe
Network V.9 yang lebih detail dibanding edisi sebelumnya sehingga
memungkinkan lebih banyak DRPs yang diidentifikasi dan dihitung.
Tabel 4.3.2 Drug related problems kategori penyebab pada pasien stroke iskemik
di RSUD Mardi Waluyo, Kota Blitar tahun
Jumlah 2019
Kejadian
Kode Domain Utama Persentase
n = 1.854 (%)
C1.1 Obat tidak tepat berdasarkan 116 6,3
guideline
C1.3 Obat tanpa indikasi 146 7,9
C1.4 Kombinasi obat dengan obat atau 17 0,9
obat dengan herbal atau obat
dengan suplemen yang tidak tepat
C1.5 Duplikasi obat dengan bahan aktif 67 3,6
atau kelompok terapi obat yang
sama
C1.6 Terapi obat tidak diberikan atau 528 28,5
tidak selesai diberikan meski
masih ada indikasi
C1.7 Terlalu banyak obat yang 70 3,8
diberikan untuk satu indikasi
C3.1 Dosis terlalu rendah 152 8,2
C3.2 Dosis terlalu tinggi 13 0,7
C3.3 Regimen dosis yang diberikan 144 7,8
terlalu jarang
C3.4 Regimen dosis yang diberikan 12 0,6
terlalu sering
C4.1 Durasi terapi terlalu pendek 405 21,8
C4.2 Durasi terapi terlalu lama 45 2,4
C6.6 Obat diadministrasikan melalui 70 3,8
rute yang salah
C9.1 Tidak ada atau tidak memadainya 69 3,7
monitoring outcome
Terapi obat tidak diberikan atau tidak selesai diberikan meski masih ada
indikasi adalah DRPs kategori penyebab yang paling sering terjadi (528 kejadian).
Penyebabnya adalah indikasi yang tidak ditangani (P1.3; 123 kejadian, 7,9%) dan
durasi terapi yang terlalu pendek (C4.1; 405 kejadian, 21,8%). Indikasi yang tidak
ditangani adalah kondisi saat pasien tidak mendapatkan perawatan yang memadai
untuk indikasi tersebut. Berdasar penelitian ini, tekanan darah tinggi yang tidak
mendapat antihipertensi (21 kejadian) dan profil lipid tidak normal yang tidak
mendapat obat hipolipidemik (21 kejadian) adalah indikasi tidak ditangani yang
paling banyak terjadi. Terapi pada hipertensi pada stroke iskemik akut (tekanan
darah ≤220/120 mmHg) tidak dianjurkan sebab bisa memperburuk iskemik
4
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, disarankan:
a. Disarankan pada dokter untuk lebih memperhatikan jenis, dosis, frekuensi,
durasi pemberian, dan cara pemberian obat pada pasien.
b. Disarankan pada dokter untuk lebih teliti melihat hasil laboratorium agar
pemberian obat tanpa indikasi bisa diminimalisasi dan terapi obat yang
diberikan bisa dioptimalkan.
4
DAFTAR PUSTAKA
Abajo, F. J. De, Rodr, S., et al. (2017) ‗Risk of Ischemic Stroke Associated With
Calcium Supplements With or Without Vitamin D: A Nested Case-Control
Study‘, Journal of the American Heart Association.
Álvarez-Sabín, J. and Román, G. C. (2013) ‗The Role of Citicoline in
Neuroprotection and Neurorepair in Ischemic Stroke‘, Brain Sciences.
American Diabetes Association (2020) ‗Standars of Medical Care in Diabetes -
2020‘, Diabetes Care.
American Hospital Formulary Service (2019) AHFS Drug Information. American
Society of Health System Pharmacists.
American Stroke Association (2020) TIA (Transient Ischemic Attack).
Amin, M. Al and Juniati, D. (2017) ‗Klasifikasi Kelompok Umur Manusia
Berdasarkan Analisis Dimensi Fraktal Box Counting Dari Citra Wajah
Dengan Deteksi Tepi Canny‘, Jurnal Ilmiah Matematika.
Anderson, K. V. and Cogan, P. (2015) ‗Anticoagulants and Antiplatelet Agents‘,
in Whalen, K., Finkel, R., and Panavelil, T. A. (eds) Lippincott Illustrated
Reviews: Pharmacology. 6th edn. Wolters Kluwer Health.
Appelros, P., Stegmayr, B. and Terent, A. (2009) ‗Sex differences in stroke
epidemiology: A systematic review‘, Stroke.
Arnett, D. K., Blumenthal, R. S., et al. (2019) 2019 ACC/AHA Guideline on the
Primary Prevention of Cardiovascular Disease: Executive Summary: A
Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines, Circulation.
Circulation.
Ashley, C. and Dunleavy, A. (2014) The Renal Drug Handbook. 4th Ed. Florida:
CRC Press.
Batubara, C. A., Ritarwan, K. and Rambe, A. S. (2018) ‗Effectiveness differences
of ranitidine and omeprazole in prevention of stress ulcer and its effect on
pneumonia occurrence and outcome of acute stroke patients‘, IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science.
Bazroon, A. A. and Alrashidi, N. F. (2021) Bisoprolol, StatPearls Publishing.
Celin, A., Seuma, J. and Adepu, R. (2012) ‗Assessment of Drug Related
Problems in Stroke Patients Admitted to a South Indian Tertiary Care
Teaching Hospital‘, Indian Journal of Pharmacy Practice.
Center for Disease Control and Prevention (2020) Smoking and Heart Disease
and Stroke.
Chandrasekhar, D., Pradeep, A., et al. (2018) ‗Impact of intensified
pharmaceutical care on health related quality of life in patients with stroke
in a tertiary care hospital‘, Clinical Epidemiology and Global Health.
Cipolle, R. J., Strand, L. M. and Morley, P. C. (2012) Pharmaceutical Care
Practice: The Patient• Centered Approach to Medication Management
Services. 3rd edn. McGraw-Hill Education.
Dagli, R. J. and Sharma, A. (2014) ‗Polypharmacy: a global risk factor for elderly
people.‘, Journal of International Oral Health.
Demel, S. L., Kittner, S., et al. (2018) ‗Stroke risk factors unique to women‘,
4
4
Riwayat Penyakit
Riwayat Pengobatan
Riwayat Sosial
Diagnosis
52
5
TANDA-TANDA VITAL
TANGGAL
PARAMETER
DATA LABORATORIUM
TANGGAL
PARAMETER NILAI NORMAL
Profil Darah
Hemoglobin P: 11,5 – 16 g/dl
L: 13 – 17 g/dl
Leukosit 4.000 – 11.000/Cmm
Trombosit 150.000 – 450.000
Eritrosit P: 3.000.000 –
6.000.000/Cmm
L: 4.500.000 –
6.500.000/Cmm
Asam urat P: <6,0 mg/dl
L: <7,0 mg/dl
Faal Ginjal
Serum kreatinin P: <1,2 mg/dl
L: <1,4 mg/dl
Natrium (Na) 136 – 145 mmol/l
Kalium (K) 3,5 – 5,1 mmol/l
Klorida (Cl) 98 – 106 mmol/l
Kalsium (Ca) 8,8 – 10,5 mg/dl
Ureum/BUN
BUN <23,4 mg/l
5
TERAPI OBAT
ATURAN TANGGAL
NAMA OBAT RUTE
PAKAI
5
SOAP
Problem Plan/ Monitoring
Subject Object Asessment
Medis Rekomendasi Efektivitas ESO
5
Gagal ginjal Nomor pasien 6 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,35 mg/dl
kronis
Nomor pasien 7 Serium kreatinin laki-laki: <1,4 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,55 mg/dl
Nomor pasien 9 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 2,92 mg/dl
Nomor pasien 27 Serium kreatinin laki-laki: <1,4 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,4 mg/dl
Nomor pasien 30 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 2,9 mg/dl
Nomor pasien 49 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 2,9 mg/dl
Nomor pasien 63 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,51 mg/dl
Nomor pasien 66 Serium kreatinin laki-laki: <1,4 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,4 mg/dl
Nomor pasien 75 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,6 mg/dl
Nomor pasien 76 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,35 mg/dl
Nomor pasien 79 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 2,92 mg/dl
Nomor pasien 91 Serium kreatinin laki-laki: <1,4 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,4 mg/dl
Nomor pasien 123 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,3 mg/dl
Nomor pasien 128 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,51 mg/dl
Nomor pasien 130 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,8 mg/dl
Nomor pasien 41 Serium kreatinin perempuan: <1,2 mg/dl Serium kreatinin pasien: 2,1 mg/dl
Nomor pasien 51 Serium kreatinin laki-laki: <1,4 mg/dl Serium kreatinin pasien: 1,4 mg/dl
Gangguan hati Nomor pasien 41 Nilai bilirubin total: <1,00 mg/dl Nilai bilirubin total pasien: 2,32 mg/dl
Nilai bilirubin direct normal: <0,25 mg Nilai bilirubin direct pasien: 1,76 mg/dl
Gelisah Nomor 45
Hiperurisemia Nomor pasien 68 Nilai urat normal perempuan: <6,0 Nilai urat pasien: 6,1 mg/dl
mg/dl
Nomor pasien 63 Nilai urat normal perempuan: <6,0 Nilai urat pasien: 6,5 mg/dl
mg/dl
Nomor pasien 128 Nilai urat normal perempuan: <6,0 Nilai urat pasien: 6,5 mg/dl
mg/dl
Nomor pasien 120 Nilai urat normal perempuan: <6,0 Nilai urat pasien: 8,3 mg/dl
6
mg/dl
Nomor pasien 84 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 9,5 mg/dl
Nomor pasien 111 Nilai urat normal perempuan: Nilai urat pasien: 6,0 mg/dl
<6,0 mg/dl
Nomor pasien 51 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 8,5 mg/dl
Nomor pasien 41 Nilai urat normal perempuan: Nilai urat pasien: 8,0 mg/dl
<6,0 mg/dl
Nomor pasien 107 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 7,0 mg/dl
Nomor pasien 6 Nilai urat normal perempuan: Nilai urat pasien: 6,9 mg/dl
<6,0 mg/dl
Nomor pasien 59 Nilai urat normal perempuan: Nilai urat pasien: 6,2 mg/dl
<6,0
mg/dl dan laki-laki: <7,0 mg/dl
Nomor pasien 61 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 9,1 mg/dl
Nomor pasien 32 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 13,2 mg/dl
Nomor pasien 14 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 10,2 mg/dl
Nomor pasien 103 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 7,4 mg/dl
Nomor pasien 125 Nilai urat normal perempuan: Nilai urat pasien: 7,2 mg/dl
<6,0 mg/dl
Nomor pasien 76 Nilai urat normal perempuan: Nilai urat pasien: 6,9 mg/dl
<6,0 mg/dl
Nomor pasien 53 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 7,4 mg/dl
Nomor pasien 101 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 9,5 mg/dl
Nomor pasien 28 Nilai urat normal laki-laki: <7,0 mg/dl Nilai urat pasien: 7,0 mg/dl
Hipertensi Nomor pasien 124 Tekanan darah normal <140 mmHg 25/8: 180/100 mmHg
26/8: 130/90 mmHg
27/8: 140/90 mmHg
28/8: 160/100 mmHg
29/8: 150/90 mmHg
7
Nomor pasien 96 Tekanan darah normal <140 mmHg 27/7: 160/80 mmHg
28/7: 150/90 mmHg
29/7: 150/80 mmHg
30/7: 150/100 mmHg
31/7: 150/90 mmHg
Nomor pasien 75 Tekanan darah normal <140 mmHg 11/12: 160/80 mmHg
12/12: 170/100 mmHg
13/12: 160/100 mmHg
14/12: 160/100 mmHg
15/12: 150/90 mmHg
16/12: 140/100 mmHg
Nomor pasien 84 Tekanan darah normal <140 mmHg 18/5: 160/70 mmHg
19/5: 150/80 mmHg
20/5: 150/90 mmHg
21/5: 160/80 mmHg
22/5: 140/80 mmHg
23/5: 150/80 mmHg
Nomor pasien 3 Tekanan darah normal <140 mmHg 27/7: 160/100 mmHg
28/7: 140/90 mmHg
29/7: 130/90 mmHg
30/7: 130/90 mmHg
31/7: 140/80 mmHg
1/8: 120/80 mmHg
Nomor pasien 72 Tekanan darah normal <140 mmHg 5/4: 180/100 mmHg
6/4: 150/90 mmHg
7/4: 150/100 mmHg
8/4: 150/100 mmHg
9/4: 150/90 mmHg
7
Nomor pasien 58 Tekanan darah normal <140 mmHg 31/5: 190/80 mmHg
1/6: 170/90 mmHg
2/6: 160/90 mmHg
3/6: 160/80 mmHg
4/6: 140/90 mmHg
Nomor pasien 7 Tekanan darah normal <140 mmHg 11/10: 150/80 mmHg
12/10: 170/90 mmHg
13/10: 160/100 mmHg
14/10: 160/90 mmHg
15/10: 140/90 mmHg
16/10: 140/100 mmHg
Nomor pasien 11 Tekanan darah normal <140 mmHg 5/3: 180/100 mmHg
6/3: 150/90 mmHg
7/3: 150/90 mmHg
8/3: 150/100 mmHg
9/3: 150/90 mmHg
Nomor pasien 17 Tekanan darah normal <140 mmHg 21/5: 170/120 mHg
22/5: 180/90 mmHg
Nomor pasien 21 Tekanan darah normal <140 mmHg 15/10: 150/100 mmHg
16/10: 160/70 mmHg
17/10: 170/90 mmHg
18/10: 140/80 mmHg
Nomor pasien 33 Tekanan darah normal <140 mmHg 15/6: 170/100 mmHg
16/6: 150/80 mmHg
17/6: 160/80 mmHg
Nomor pasien 38 Tekanan darah normal <140 mmHg 3/10: 190/100 mmHg
4/10: 170/100 mmHg
5/10: 130/90 mmHg
7
81, 84, 85, 87, 88, 77, 89, 90, 73, 91, 92, 82, 94, 95, 96, 97, pasien stroke iskemik.
98, 100, 102, 103, 106, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 117, Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2011)
118, 119, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 128, 68, 129, 130
Ketokonazol Intravena 3x30 mg Nomor pasien 23 Pasien tidak ada indikasi infeksi jamur
Laktulosa Oral 1x15 mg Nomor pasien 52, 119 Pasien tidak ada indikasi hipertensi portal
Levofloksasin Intravena 1x500 mg Nomor pasien 119 Pasien tidak ada indikasi infeksi bakteri
Metoklopramid Intravena 1x10 mg Nomor pasien 108 Pasien tidak ada indikasi mual atau muntah
Metoklopramid Intravena 3x10 mg Nomor pasien 26, 38, 42, 45, 60, 88,
Pasien tidak ada indikasi mual atau muntah
113, 119, 121, 123
Metronidazol Oral 3x500 mg Nomor pasien 52 Pasien tidak ada indikasi infeksi bakteri
Nistatin Oral 3x2 ml Nomor pasien 18, 24 Pasien tidak ada indikasi infeksi jamur
Ondansetron Intravena 3x4 ml Nomor pasien 121 Pasien tidak ada indikasi mual atau
muntah
Pirasetam Intravena 3x3.000 mg Nomor pasien 1, 3, 67, 98, 5, 6, 7, 9, 11, Penggunaan pirasetam pada pasien stroke
36, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 15, 8, 21, iskemik sebagai neuroprotektan, tidak
22, 23, 24, 25, 43, 26, 27, 28, 30, 31, menunjukkan benefit nyata
32, 33, 34, 35, 37, 67, 39, 40, 41, 44,
45, 46, 47, 49, 50, 52, 53, 54, 57, 59,
62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 72, 74,
75, 76, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 87, 88,
77, 89, 90, 73, 91, 92, 82, 94, 95, 96,
97, 98, 100, 102, 103, 106, 108, 109,
110, 111, 112, 113, 117, 118, 119, 121,
122, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 130
Propafenon Oral 2x150 mg Nomor pasien 119 Pasien tidak ada indikasi aritmia
Seftriakson Intravena 2x1.000 mg Nomor pasien 9, 42 Pasien tidak ada indikasi infeksi bakteri
Sukralfat Oral 3x500 mg Nomor pasien 119, 42, 45 Pasien tidak ada indikasi ulser duodenal atau
luka epitel
7
Nomor pasien 55, 71, 104 Gemfibrozil 1x300 mg dengan Penggunaan statin bersamaan dengan gemfibrozil meningkatkan risiko miopati parah pada
atorvastatin 1x20 mg pasien.
Evaluasi: Jika pasien yang sedang terapi statin membutuhkan terapi fibrat,
Nomor pasien 124 Gemfibrozil 1x300 mg dengan direkomendasikan untuk menggunakan fenofibrat dibanding gemfibrozil sebab efek
simvastatin 20 mg miopatinya lebih ringan.
Sumber: Grundy et al. (2019)
Nomor pasien 24, 37, 42 Klonidin 3x0,15 mg dengan Penggunaan klonidin (alpha-agonist) bersamaan dengan bisoprolol (beta blocker).bisa
bisoprolol 1x5 mg menyebabkan barikardi parah dan additive hypotension.
Evaluasi: Jika bisoprolol dan klonidin diberikan bersamaan, bisoprolol dihentikan lebih
dulu selama beberapa hari sebelum menghentikan klonidin.
Sumber: Lilja et al. (1982) dan Karachalios et al. (2005)
Nomor pasien 24, 37 Klonidin 3x0,15 mg dengan Penggunaan klonidin (alpha-agonist) bersamaan dengan nifedipin (calcium channel
nifedipin 1x30 mg blocker) meningkatkan risiko barikardi dan atrioventricular block.
Evaluasi: Hentikan penggunaan dengan menurunkan dosis klonidin perlahan guna
menghindari rebound effect.
Sumber: Schwartz et al. (1988) dan Karachalios et al. (2005)
Nomor pasien 45 Sukralfat 3x500 mg dengan Penggunaan sukralfat oral dengan digoksin oral mampu menurunkan serum digoksin di
digoksin 1x0,25 mg darah antara 20%—40%.
Evaluasi: Lakukan evaluasi serum digoksin sebelum dan selama digoksin oral dan
sukralfat oral diadministrasikan.
Sumber: (Digoxin: serious drug interaction, 2010)
d. Duplikasi obat dengan bahan aktif atau kelompok terapi obat yang sama
(C1.5)
Duplikasi Obat Keterangan
Nomor Pasien atau Suplemen
7
Nomor pasien 1, 41, 45, 95 Aspirin dengan Aspirin menekan konsentrasi protrombin di plasma darah sehingga meningkatkan risiko
klopidogrel pendarahan jika diberikan bersamaan dengan klopidogrel.
8
Evaluasi: Gunakan asesmen cost versus benefit saat saat memberikan aspirin bersamaan dengan
klopidogrel. Perhatikan risiko pendarahan, utamanya pada pasien geriatrik (>65 tahun).
Sumber: So and Eckman (2017) dan Johnston et al. (2018)
Nomor pasien 6, 7, 76, 101 Atorvastatin dengan Pemberian atorvastatin dan simvastatin secara bersamaan meningkatkan risiko hepatotoksisitas
simvastatin dan tidak menunjukkan benefit nyata memperbaiki profil lipid.
Evaluasi: Berikan simvastatin 1x40 mg atau atorvastatin 1x20 mg lalu evaluasi profil lipid
pasien.
Sumber: Grundy et al. (2019) dan Newman et al. (2019)
Nomor pasien 4, 120 Insulin glargin dengan Baik insulin glargin maupun insulin detemir adalah insulin kerja panjang yang mencapai darah
insulin detemir beberapa jam setelah injeksi. Administrasi insulin glargin dengan insulin detemir secara
bersamaan meningatkan risiko hipoglikemia.
Evaluasi: Pilih satu insulin kerja panjang, entah insulin glargin entah insulin detemir lalu
evaluasi kadar glukosa darah pasien.
Nomor pasien 120 Insulin aspart dengan Baik insulin aspart maupun insulin glulisin adalah insulin kerja pendek yang bekerja 15 menit
insulin glulisin setelah injeksi. Administrasi insulin aspart dengan insulin glulisin secara bersamaan
meningatkan risiko hipoglikemia.
Evaluasi: Pilih satu insulin kerja pendek, entah insulin aspart entah insulin glulisin lalu evaluasi
kadar glukosa darah pasien.
Nomor pasien 9, 30, 49, 2, 23, 24, 35, Ranitidin dengan Ranitidin (antagonis reseptor H2) dan omeprazol (penghambat pompa proton) diberikan pada
37, 89, 90, 92, 113, 121 omeprazol pasien critically ill untuk mencegah pendarahan gastrointestinal. Baik ranitidin maupun
omeprazol memiliki efektivitas sama sebagai profilaksis pendarahan gastrointestinal.
Evaluasi: Pilih salah satu dari ranitidin dan omeprazol, administrasikan ke pasien critically ill.
Sumber: Batubara et al. (2018) dan Ye et al. (2020)
Nomor pasien 1, 3, 4, 5, 6, 10, 11, 6, 10, Suplemen vitamin B Pemberian suplemen vitamin B dilakukan untuk menurunkan kadar homosistein pada pasien
11, 12, 13, 14, 18, 23, 28, 33, 35, 40, stroke iskemik.
48, 50, 53, 54, 60, 61, 62, 66, 72, 74, Evaluasi: Pilih salah satu suplemen vitamin B (Cernevit, Neurobion, Neurodex, Neugain,
76, 80, 81, 83, 90, 97, 98, 100, 101, Neurosanbe, Mersibion, Sohobion) lalu administrasikan melalui rute dan regimen obat yang
103, 111, 113, 118, 68 tepat hingga pasien keluar dari rumah sakit.
8
e. Terapi obat tidak diberikan atau tidak selesai diberikan meski masih ada indikasi (C1.6)
Terapi obat tidak diberikan atau tidak selesai diberikan meski masih ada indikasi disebabkan oleh indikasi yang tidak
ditangani (P1.3) dan durasi terapi yang terlalu pendek (C4.1).
f. Terlalu banyak obat yang diberikan untuk satu indikasi (C1.7)
Nomor Pasien Indikasi Nilai Laboratorium Obat yang Diberikan
Nomor pasien 1, 41, Antiplatelet Aspirin 1x160 mg dengan klopidogrel 1x75 mg
45, 95
Nomor pasien 4 Hiperglikemia GDA normal (<200 mg/dl) GDA pasien: 260 mg/dl Insulin glulisin dengan insulin detemir
Nomor pasien 120 GDA normal (<200 mg/dl) GDA pasien: 221 mg/dl Insulin glulisin dengan insulin detemir
Nomor pasien 120 GDA normal (<200 mg/dl) GDA pasien: 221 mg/dl Insulin glargine dengan insulin aspart
Nomor pasien 37 Hipertensi Tekanan darah normal: Tekanan darah pasien: Bisoprolol 1x5 mg dengan nifedipin 1x30 mg
<140/90 mmHg 19/9: 180/100 mmHg dengan klonidin 3x0,5 mg
20/9: 170/100 mmHg
21/9: 170/100 mmHg
22/9: 180/90 mmHg
23/9: 150/90 mmHg
24/9: 170/100 mmHg
Nomor pasien 24 Hipertensi Tekanan darah normal: Tekanan darah pasien: Bisoprolol 1x5 mg dengan nifedipin 1x30 mg
<140/90 mmHg 20/10: 190/120 mmHg dengan klonidin 3x0,5 mg
21/10: 180/100 mmHg
22/10: 170/80 mmHg
23/10: 180/100mmHg
24/10: 170/100 mmHg
25/10: 170/90 mmHg
Nomor pasien 42 Hipertensi Tekanan darah normal: Tekanan darah pasien: Bisoprolol 1x5 mg dengan klonidin 3x0,5 mg
82
Insulin glarglin Subkutan tinggi (~1 unit/kg berat badan). Titrasi bisa dilakukan hingga
pasien mencapai target HbA1C (American Diabetes
Association, 2020).
Nistatin Oral 3x2 ml Ashley and 100.0 —1.000.000 unit tiap 6 jam
(tiap ml mengandung Dunleavy:
1.000 IU)
Sitikolin Intravena 1x500 mg PERDOSSI: 2x1.000 mg
Sitikolin Intravena 2x250 mg
Sitikolin Intravena 2x500 mg
Sitikolin Intravena 3x250 mg
Nomor pasien 45 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 35,87 Ketorolak, untuk menghindari penggunaan ketorolak (Ashley and
P: <1,2 mg/dl 1,35 mg/dl ml/menit Intravena, Dunleavy, 2014).
3x30 mg
Nomor pasien 64 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 30 Ketorolak,
L: <1,4 mg/dl 1,7 mg/dl ml/menit Intravena,
3x30 mg
Nomor pasien 75 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 42,52 Ketorolak,
L: <1,4 mg/dl 1,6 mg/dl ml/menit Intravena,
3x30 mg
Nomor pasien 91 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 39,64 Ketorolak,
L: <1,4 mg/dl 1,4 mg/dl ml/menit Intravena,
3x30 mg
Nomor pasien 119 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 28,76 Ketorolak,
L: <1,4 mg/dl 1,7 mg/dl ml/menit Intravena,
3x30 mg
Nomor pasien 123 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 35,87 Ketorolak,
P: <1,2 mg/dl 1,3 mg/dl ml/menit Intravena,
3x30 mg
Nomor pasien 45 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 35,87 Metoklopramid, Pasien dengan gangguan ginjal, direkomendasikan
P: <1,2 mg/dl 1,3 mg/dl ml/menit Intravena, melakukan penyesuaian dosis metoklopramid guna
3x10 mg menghindari akumulasi obat (Isola et al., 2021).
Nomor pasien 119 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 28,76 Metoklopramid,
L: <1,4 mg/dl Pada pasien dengan pembersihan kreatinin <40
1,7 mg/dl ml/menit Intravena,
ml/min, dosis metoklopramid diturunkan 50% dari
3x10 mg
Nomor pasien 123 Serum kreatinin: Serum kreatinin: dosis awal. Sedangkan, pada pasien dengan
35,87 Metoklopramid, pembersihan kreatinin <10 mL/min, dosis
P: <1,2 mg/dl 1,3 mg/dl ml/menit Intravena, metoklopramid diturunkan 75% dari dosis awal
3x10 mg (Medscape, 2021a).
8
Nomor pasien 41 Serum kreatinin: Serum kreatinin: 27,88 Nitrogliserin, Nitrogliserin memperlambat glomerular filtration rate
P: <1,2 mg/dl 2,1 mg/dl ml/menit Oral, dan meningkatkan blood urea nitrogen (Ng et al.,
3x2,5 mg 2012). Oleh sebab itu, penyesuaian dosis perlu
dilakukan pada pasien gagal ginjal yang menerima
nitrogliserin. Pada pasien dengan pembersihan
kreatinin 10—50 ml/menit, nitrogliserin
diadministrasikan 24—72 jam. Sedangkan pada pasien
dengan pembersihan kreatinin <10 ml/menit,
nitrogliserin diadministrasikan 72—96 jam
(Medscape, 2021b).
72, 74, 75, 78, 79, 81, 83, 84, 85, 87, 89, 90, 92, 94,
97, 99, 100, 103, 116, 106, 106, 107, 109, 110, 112,
113, 118, 119, 121, 123, 125, 126, 115
Nomor pasien 12, 29, 83 Sitikolin Intravena 1x500 mg
Nomor pasien 92 14/5/2019— Alopurinol Oral 1x100 mg Pemeriksaan asam urat pasien dilakukan pada
16/5/2019 11/5/2019, sebaiknya administrasi alopurinol
dilakukan segera setelah nilai asam urat pasien
diketahui.
Nomor pasien 93 15/9/2019— Alopurinol Oral 1x100 mg Pemeriksaan asam urat pasien dilakukan pada
17/9/2019 13/9/2019, sebaiknya administrasi alopurinol
dilakukan segera setelah nilai asam urat pasien
diketahui.
Nomor pasien 105 9/9/2019— Alopurinol Oral 1x100 mg Pemeriksaan asam urat pasien dilakukan pada
11/9/2019 7/9/2019, sebaiknya administrasi alopurinol
dilakukan segera setelah nilai asam urat pasien
diketahui.
Nomor pasien 122 9/7/2019— Alopurinol Oral 1x100 mg Pemeriksaan asam urat pasien dilakukan pada
11/7/2019 8/7/2019, sebaiknya administrasi alopurinol
dilakukan segera setelah nilai asam urat pasien
diketahui.
Nomor pasien 123 26/6/2019— Alopurinol Oral 1x100 mg Pemeriksaan asam urat pasien dilakukan pada
4/7/2019 24/6/2019, sebaiknya administrasi alopurinol
dilakukan segera setelah nilai asam urat pasien
diketahui.
Nomor pasien 16 2/5/2019— Amlodipin Oral 1x10 mg Pemberian antihipertensi pada pasien stroke iskemik
6/5/2019 yang tidak menerima alteplase intravena dan
Nomor pasien 19 28/6/2019— Amlodipin Oral 1x10 mg memiliki komorbiditas bisa dilakukan dengan target
2/7/2019 penurunan 15% selama 24 jam pertama. Pemberian
Nomor pasien 15 9/8/2019— Amlodipin Oral 1x10 mg antihipertensi dilanjutkan hingga tekanan darah
12/8/2019 pasien terkontrol.
Nomor pasien 39 4/7/2019— Amlodipin Oral 1x10 mg
7/7/2019
9
(10/6/2019).
Nomor pasien 14 20/4/2019— Aspirin Oral 1x160 mg Sejak 2 hari ini, pasien tampak lemas.
23/4/2019 Administrasi aspirin (antiplatelet) baiknya diberikan
sejak pasien masuk IGD (18/4/2019) hingga keluar
rumah sakit (23/4/2019).
Nomor pasien 19 28/6/2019— Aspirin Oral 1x160 mg Sejak 2 minggu lalu, sulit bicara dan badannya
2/7/2019 lemas. Administrasi aspirin (antiplatelet) baiknya
diberikan sejak pasien masuk IGD (27/6/2019)
hingga keluar rumah sakit (2/7/2019).
Nomor pasien 15 7/8/2019 Aspirin Oral 1x160 mg Aspirin (antiplatelet) baiknya diadministrasikan sejak
pasien masuk IGD (7/8/2019) hingga pasien keluar
rumah sakit (12/8/2019).
Nomor pasien 24 21/10/2019— Aspirin Oral 1x160 mg Sejak 3 hari lalu, tangan dan kaki lemas.
25/20/2019 Administrasi aspirin (antiplatelet) baiknya diberikan
sejak pasien masuk IGD (20/10/2019) hingga keluar
rumah sakit (25/10/2019).
Nomor pasien 30 10/10/2019— Aspirin Oral 1x160 mg Dua hari lalu, tersedak saat makan dan susah
14/10/2019 mengegrakkan tangan. Aspirin (antiplatelet) baiknya
diadministrasikan sejak pasien masuk IGD
(10/10/2019) hingga pasien keluar rumah sakit
(15/10/2019).
Nomor pasien 32 26/4/2019— Aspirin Oral 1x160 mg Sejak beberapa hari, tangan dan kaki pasien lemas.
29/4//2019 Administrasi aspirin (antiplatelet) baiknya diberikan
sejak pasien masuk IGD (24/4/2019) hingga keluar
rumah sakit (29/4/2019).
Nomor pasien 37 2/9/2019— Aspirin Oral 1x160 mg Sejak 4 hari lalu, tangan dan kaki pasien lemas dan
6/9/2019 susah diajak bicara. Administrasi aspirin
(antiplatelet) baiknya diberikan sejak pasien masuk
9
Nomor pasien 9 7/10/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
9/10/2019 8/10/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
diteruskan hingga pasien keluar rumah sakit.
Nomor pasien 21 17/10/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
19/10/2019 15/10/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 23 15/9/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
20/9/2019 14/9/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 38 4/10/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
10/10/2019 3/10/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 52 21/11/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
23/11/2019 19/11/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 55 3/11/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
4/11/2019 3/11/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 61 20/3/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
25/3/2019 19/3/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 71 16/4/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
17/4/2019 16/4/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
diteruskan hingga pasien keluar rumah sakit.
Nomor pasien 76 23/9/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
28/9/2019 22/9/2019, sebaiknya administrasi atorvastatin
dilakukan segera setelah profil lipid pasien diketahui.
Nomor pasien 81 16/10/2019— Atorvastatin Oral 0-0-20 mg Pemeriksaan profil lipid pasien dilakukan pada
1
Nomor pasien 4 19/7/2019— Kandesartan Oral 0-0-16 mg antihipertensi dilanjutkan hingga tekanan darah
20/7/2019 pasien terkontrol.
Nomor pasien 20 4/8/2019— Kandesartan Oral 0-0-16 mg
6/8/2019
Nomor pasien 55 4/11/2019— Kandesartan Oral 0-0-16 mg
8/11/2019
Nomor pasien 8 6/9/2019 Kaptopril Oral 1x25 mg Pemberian antihipertensi pada pasien stroke iskemik
Nomor pasien 29 22/6/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg yang tidak menerima alteplase intravena dan
27/6/2019 memiliki komorbiditas bisa dilakukan dengan target
Nomor pasien 47 2/4/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg penurunan 15% selama 24 jam pertama. Pemberian
6/4/2019 antihipertensi dilanjutkan hingga tekanan darah
Nomor pasien 61 20/3/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg pasien terkontrol.
25/3/2019
Nomor pasien 82 4/2/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg
6/2/2019
Nomor pasien 95 9/9/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg
12/9/2019
Nomor pasien 98 2/11/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg
7/11/2019
Nomor pasien 106 2/11/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg
4/11/2019
Nomor pasien 68 22/5/2019— Kaptopril Oral 1x25 mg
25/5/2019
Nomor pasien 114 6/10/2019 Kaptopril Oral 3x12,5 mg
Nomor pasien 1 5/8/2019— Kaptopril Oral 2x25 mg
9/8/2019
Nomor pasien 13 22/4/2019 Kaptopril Oral 3x25 mg
Nomor pasien 20 28/7/2019— Kaptopril Oral 3x25 mg
10
3/8/2019
Nomor pasien 34 1/8/2019— Kaptopril Oral 3x25 mg
7/8/2019
Nomor pasien 35 19/12/2019 Kaptopril Oral 3x25 mg
Nomor pasien 13 18/4/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Klopidogrel (antiplatelet) baiknya diadministrasikan
22/4/2019 sejak 16/4/2019 hingga pasien keluar rumah sakit
(22/4/2019).
Nomor pasien 20 1/8/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Sejak 3 hari lalu, kepala pusing dan setengah badan
6/8/2019 lemas. Administrasi klopidogrel (antiplatelet)
baiknya dilakukan sejak pasien masuk IGD
(28/7/2019) hingga keluar rumah sakit (6/8/2019).
Nomor pasien 8 3/9/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Sejak seminggu lalu, anggota gerak kanan lemas dan
6/9/2019 sejak kemarin susah bicara. Administrasi klopidogrel
(antiplatelet) baiknya dilakukan sejak pasien masuk
IGD (1/9/2019) hingga keluar rumah sakit
(6/9/2019).
Nomor pasien 43 25/10/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Klopidogrel (antiplatelet) baiknya diadministrasikan
27/10/2019 sejak 22/10/2019 hingga pasien keluar rumah sakit
(27/10/2019).
Nomor pasien 34 5/8/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Sejak seminggu lalu, susah bicara dan sejak kemarin
10/8/2019 susah beraktivitas. Administrasi klopidogrel
(antiplatelet) baiknya dilakukan sejak pasien masuk
IGD (1/8/2019) hingga keluar rumah sakit
(10/8/2019).
Nomor pasien 67 7/10/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Klopidogrel (antiplatelet) baiknya diadministrasikan
10/10/2019 sejak 5/10/2019 hingga pasien keluar rumah sakit
(10/10/2019).
Nomor pasien 45 26/6/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Sejak 3 hari lalu, anggota gerak kiri lemas.
4/7/2019 Administrasi klopidogrel (antiplatelet) baiknya
dilakukan sejak pasien masuk IGD (24/6/2019)
hingga keluar rumah sakit (4/7/2019).
Nomor pasien 59 18/7/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Klopidogrel (antiplatelet) baiknya diadministrasikan
10
(30/8/2019).
Nomor pasien 110 16/6/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Klopidogrel (antiplatelet) baiknya diadministrasikan
20/6/2019 sejak 15/6/2019 hingga pasien keluar rumah sakit
(20/6/2019).
Nomor pasien 112 21/1/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Klopidogrel (antiplatelet) baiknya diadministrasikan
22/1/2019 sejak 19/1/2019 hingga pasien keluar rumah sakit
(22/1/2019).
Nomor pasien 119 1/4/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Sejak 2 hari lalu, tubuh bagian kiri lemas.
2/4/2019 Administrasi klopidogrel (antiplatelet) baiknya
dilakukan sejak pasien masuk IGD (28/3/2019)
hingga keluar rumah sakit (2/4/2019).
Nomor pasien 123 27/6/2019— Klopidogrel Oral 1x75 mg Sejak 3 hari lalu, badan lemas. Administrasi
4/7/2019 klopidogrel (antiplatelet) baiknya dilakukan sejak
pasien masuk IGD (24/6/2019) hingga keluar rumah
sakit (4/7/2019).
Nomor pasien 26 24/20/2019 Lisinopril Oral 1x5 mg Pemberian antihipertensi pada pasien stroke iskemik
Nomor pasien 88 24/6/2019 Lisinopril Oral 1x5 mg yang tidak menerima alteplase intravena dan
Nomor pasien 125 13/4/2019— Lisinopril Oral 1x5 mg memiliki komorbiditas bisa dilakukan dengan target
16/4/2019 penurunan 15% selama 24 jam pertama. Pemberian
Nomor pasien 86 22/2/2019— Lisinopril Oral 2x5 mg antihipertensi dilanjutkan hingga tekanan darah
29/2/2019 pasien terkontrol.
Nomor pasien 71 17/4/2019— Lisinopril Oral 1x10 mg
21/4/2019
Nomor pasien 92 12/5/2019— Lisinopril Oral 1x10 mg
16/5/2019
Nomor pasien 104 4/1/2019— Lisinopril Oral 1x10 mg
8/1/2019
Nomor pasien 117 22/8/2019— Lisinopril Oral 1x10 mg
11
29/8/2019
Nomor pasien 24 22/10/2019— Nifedipin Oral 1x30 mg Pemberian antihipertensi pada pasien stroke iskemik
23/20/2019 yang tidak menerima alteplase intravena dan
Nomor pasien 31 14/5/2019— Nifedipin Oral 2x20 mg memiliki komorbiditas bisa dilakukan dengan target
18/5/2019 penurunan 15% selama 24 jam pertama. Pemberian
Nomor pasien 37 3/9/2019— Nifedipin Oral 1x30 mg antihipertensi dilanjutkan hingga tekanan darah
6/9/2019 pasien terkontrol.
Nomor pasien 89 6/8/2019— Nifedipin Oral 1x30 mg
9/8/2019
Nomor pasien 118 16/9/2019— Parasetamol Oral 4x500 mg Gejala sakit kepala dialami pasien sejak 14/9/2019—
18/9/2019 18/9/2019. Administrasi parasetamol (analgesik
antipiretik) baiknya dilakukan 14/9/2019—
18/9/2019.
Nomor pasien 123 25/6/2019 Parasetamol Oral 3x1.000 mg Gejala pusing dialami pasien sejak 25/6/2019 hingga
26/6/2019. Administrasi parasetamol (analgesik
antipiretik) baiknya dilakukan 25/6/2019—
26/6/2019.
Nomor pasien 1, 3, 67, 98, 5, 6, 7, Pirasetam Intravena 3x3.000 mg Pemberian pirasetam sebagai neuroptrotektan, tidak
9, 11, 36, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, dianjurkan oleh Persatuan Dokter Spesialif Saraf
15, 8, 21, 22, 23, 24, 25, 43, 26, 27, Indonesia sebab tidak menunjukkan benefit.
28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 67,
39, 40, 41, 44, 45, 46, 47, 49, 50,
52, 53, 54, 57, 59, 62, 63, 64, 65,
66, 69, 70, 72, 74, 75, 76, 78, 79,
80, 81, 84, 85, 87, 88, 77, 89, 90,
73, 91, 92, 82, 94, 95, 96, 97, 98,
100, 102, 103, 106, 108, 109, 110,
11
Nomor pasien 83 3/10/2019 Sitikolin Intravena 1x500 mg pasien masuk rumah sakit.
Nomor pasien 14 31/5/2019 Sitikolin Intravena 2x1.000 mg
Nomor pasien 58 31/5/2019 Sitikolin Intravena 2x1.000 mg
Nomor pasien 61 19/3/2019 Sitikolin Intravena 2x1.000 mg
Nomor pasien 84 20/5/2019 Sitikolin Intravena 2x1.000 mg
Nomor pasien 101 31/7/2019 Sitikolin Intravena 2x1.000 mg
Nomor pasien 106 31/10/2019 Sitikolin Intravena 2x1.000 mg
Suplemen Pemberian suplemen vitamin B baiknya diberikan
vitamin B saat pasien di instalasi gawat darurat hingga keluar
rumah sakit.
Nomor pasien 12 10/6/2019 Spironolakton Oral 25-0-0 Pemberian antihipertensi pada pasien stroke iskemik
yang tidak menerima alteplase intravena dan
Nomor pasien 45 28/6/2019— Spironolakton Oral 25-0-0
memiliki komorbiditas bisa dilakukan dengan
4/7/2019
target penurunan 15% selama 24 jam pertama.
Nomor pasien 83 8/10/2019— Spironolakton Oral 25-0-0 antihipertensi
Pemberian dilanjutkan hingga tekanan darah
11/10/2019
pasien terkontrol.
Nomor pasien 110 17/6/2019— Spironolakton Oral 25-0-0
20/6/2019
Nomor pasien 119 1/4/2019— Spironolakton Oral 25-0-0
2/4/2019
Nomor pasien 121 23/4/2019— Spironolakton Oral 25-0-0
24/4/2019
Nomor pasien 122 10/7/2019— Spironolakton Oral 25-0-0
11/7/2019
Nomor pasien 12 10/6/2019 Spironolakton Oral 25-0-0
104, 111, 119, 120, 123, 127, 129, 115 menghindari hipoglikemia dan mengetahui
efektivitas pengobatan yang dilakukan.
Nomor pasien 1, 12, 40, 59, 64, 4, 45, 53, Serum kreatinin pada pasien Pemantauan serum kreatinin pada pasien gagal
60, 69, 92, 107, 110, 119, 120, 125, 19 gagal ginjal yang mendapatkan ginjal yang mendapat obat antihipertensi baiknya
terapi antihipertensi dilakukan rutin untuk mengetahui efektivitas
pengobatan yang dilakukan.
Nomor pasien 9, 27, 45, 46, 49, 79, 73, Serum urat pada pasien Pemantauan serum urat pada pasien
91, 92, 93, 105, 122, 123 hiperurisemia yang mendapatkan hiperurisemia yang mendapat alopurinol
alopurinol baiknya dilakukan rutin untuk mengetahui
efektivitas pengobatan yang dilakukan.
Nomor pasien 45 Serum digoksin pada pasien Penggunaan sukralfat oral dengan digoksin oral
yang mendapatkan digoksin oral mampu menurunkan serum digoksin di darah
dan sukralfat oral secara antara 20%--40%. Evaluasi serum digoksin
bersamaan sebelum dan selama digoksin oral dan sukralfat
oral diadministrasikan baiknya dilakukan rutin.
Lampiran 5 Analisis Deskriptif Demografi Pasien Stroke Iskemik
11
11
Lampiran 6 Analisis Deskriptif DRPs Kategori
11
Lampiran 7 Analisis Deskriptif DRPs Kategori
12
Lampiran 8 Surat Rekomendasi Permintaan Data oleh Badan Kesatuan
Politik, dan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Blitar
12
Lampiran 9 Lembar Disposisi RSUD Mardi Waluyo, Kota
12
12