Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1
Penelitian terdahulu
7
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
Perbedaan : Perancangan yang dilakukan Citra Dwi Soehindra, Mohammad Ischak, &
Rita Walaretina menggunakan variabel X pasar tradisional Godean Yogyakarta dan
variabel Y yaitu Bentuk Atap pasar untuk menampilkan lokalitas dengan pendekatan
Arsitektur Vernakular.
Sedangkan yang dirancang oleh penulis adalah Pasar Tradisional Selopuro (X) dan
Fasad dari pasar tradisional Selopuro dengan pendekatan Arsitektur Vernakular (Y).
Sumber : hasil Kajian perancang, 2022
8
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
9
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
dan Teknologi.
Perbedaan : Perancangan yang dilakukan Eggi Septianto, Arif Rahman Hakim, Riza
Septian Sudrajat, Sofwan Nurzaman, & Yogi Suparman menggunakan variabel X
bangunan kampung Mahmud dan variabel Y yaitu kajian Arsitektur Vernakular pada
bangunan kampung mahmud. Sedangkan yang dirancang oleh penulis adalah Pasar
Tradisional Selopuro (X) dan Fasad pasar tradisional Selopuro dengan pendekatan
Arsitektur Vernakular (Y) dengan mengutamakan identitas blitar untuk meningkatkan
fasad pasar tradisional Selopuro.
10
2.2 Perancangan Pasar Tradisional Selopuro Kab. Blitar Dengan Pendekatn
Arsitektur Vernakular.
11
2.1.2 Tinjauan Selopuro Kab. Blitar
Selopuro adalah satu kecamatan yang ada di kabupaten Blitar jawa timur. Desa
Selopuro memiliki luas wilayah 12.924.98 Ha dengan prosentase tanah sawah 261.00
Ha, tanah kering 12.443,23 Ha, tanah hutan 90.00 Ha. Memiliki jumlah penduduk 10.361
orang dimana laki-laki sebanyak 5.185 jiwa dan perempuan 5.176 jiwa dengan
kepadatan 1.367,45 per km. Kecamatan Selopuro sendiri memiliki 8 kelurahan sebagai
berikut Kelurahan/Desa Jambewangi, Kelurahan/Desa Jatitengah, Kelurahan/Desa
Mandesan, Kelurahan/Desa Mronjo, Kelurahan/Desa Ploso, Kelurahan/Desa Popoh,
Kelurahan/Desa Selopuro, dan Kelurahan/Desa Tegalrejo.
Selopuro sendiri memiliki 2 pasar tradisional yaitu pasar tradisional ploso dan
pasar tradisional selopuro. Dari keduanya pasar Selopuro menjadi tempat paling
strategis dan lengkap dibandingkan pasar ploso, sehingga pasar Selopuro banyak
dikunjungi oleh masyarakat selopuro khususnya dan masyarakat sekitar pada
umumnya.
Sumber : https://images.app.goo.gl/xGvSefpy4TnKdEdc8
12
2.1.3 Arsitektur Vernakular
Secara etimologis kata Verna berasal dari bahasa latin yang artinya home born
slave (Nuttgents,1993). Kata Vernakular juga berasal dari vernaculus (latin) berarti asli
(native). Dalam ilmu bahasa (Linguistik),bahasa vernakular mengacu pada penggunaan
bahasa untuk waktu, tempat atau kelompok lokal/tertentu. Dalam kebudayaan
khususnya arsitektur,terminologi tersebut merujuk pada jenis kebudayaan atau
arsitektur yang berlaku ditempat tertentu/lokal (tidak meniru dari tempat lain). Menurut
Yulianto Sumalyo (1993), vernakular adalah bahasa setempat, dalam arsitektur
istilah ini untuk menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya,
lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata
letak denah, struktur, detail-detail bagian,ornamen, dll).
13
budaya masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat.
6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi oleh aspek
struktur sosial, sistem kepercayaan dan pola perilaku masyarakatnya.
Demikian dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Arsitektur Venakular
adalah gaya arsitektur tradisional yang ada dalam lingkungan masyarakat. Dimana gaya
arsitektur ini menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat,
diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, struktur, detail-detail
bagian,ornamen, dll).
Pada zaman dahulu pembangunan suatu bangunan tidak ada campur tangan
profesional seperti saat ini. Perkembangan zaman yang semakin maju ini membuat para
profesional mengikuti rancangan modern yang lebih hemat daya dan mempunyai prinsip
pembangunan yang berkelanjutan. Semakin terbatasnya sumber daya alam yang
ada seolah mengharuskan siapa saja agar bisa lebih bijak lagi dalam melakukan
konstruksi bangunan dan properti. sebuah bangunan memiliki krontuksi dengan gaya
arsitektur tersendiri. Seperti halnya pada bangunan bangunan yang sudah ada sejak
dahulu. Bisa dilihat dari berbagai rumah adat yang ada di masing masing daerah memiliki
gaya arsitektur yang berbeda beda.
Mengutip Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), dalam Arsitektur Vernakular
Indonesia: Peran, Fungsi, dan Pelestarian di dalam Masyarakat; Sonny Susanto,
dosen arsitek di Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengatakan; arsitektur
vernakular merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur tradisional, yang mana
arsitektur tradisional masih sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup. Arsitektur
tradisional sebenarnya juga mengalami perkembangan. Namun, perkembangannya
tetap memertahankan karakter inti yang diturunkan dari generasi ke generasi,
menjadikannya sebagai karakter kuat akan suatu tempat tertentu dan tercermin pada
tampilan arsitektur lingkungan masyarakat tersebut. Sementara arsitektur vernakular,
dalam perkembangannya mengalami banyak tekanan, baik dari dalam maupun dari
luar. Antara lain dari masyarakat industri barat yang menebarkan potensi dari teknologi
modern dan bahan bangunan modern.
Di indonesia, jenis jenis rumah tradisional yang ada di masing masing daerah di
14
seluruh penjuru dianggap sebagai tradisi vernakular indonesia dan dipercayai memiliki
kesamaan dari asal usul tradisi pembangunan kuno. bentuk struktural rumah adat di
Indonesia memiliki 2 macam yaitu : rumah tradisional yang dibangun berdasarkan prinsip
tipikal tradisi arsitektural Austronesia kuno; struktur kotak yang didirikan di atas tiang
fondasi kayu, dapat ditanam ke dalam tanah atau diletakkan di atas permukaan tanah
dengan fondasi batu, lantai panggung, atap miring dengan jurai yang diperpanjang dan
bagian depan atap yang condong mencuat keluar.
15
percampuran tradisi arsitektural dan langgam bangunan Austronesia dengan tradisi dan
langgam bangunan masyarakat melayu. Bentuk luar rumah merupakan bentuk rumah
Austronesia, yaitu struktur tegak berupa tiang kayu, lantai yang ditinggikan sebagai
ruang keluarga, dan bentuk atap pelana yang meruncing tinggi.
3. Rumah Bali
Ada dua tipe rumah tradisional Bali; tipe rumah kelompok pemukiman masyarakat Bali yaitu
percampuran bentuk tradisi antara fitur lama dan baru. Dan yang kedua yaitu tipe rumah
tradisional Bali Aga yang masih berpegang pada tradisi vernakular dan langggam bangunan
kuno.
16
4. Rumah Sasak
Masyarakat Sasak mendiami pulau Lombok di bagian timur dan selatan. Contoh
bangunan yang dapat diklasifikasikan sebagai arsitektur vernakular yaitu rumah
tradisional Sasak dan gudang padi atau lumbung.
17
2.4 Studi Literatur
18
berinteraksi dalam hal jual beli maka dibutuhkan suatu massa
yang dapat mengakomodir hal tersebut.
19
jenis-jenis atap tradisional Yogyakarta yang biasa digunakan pada fungsi
bangunan hunian, ibadah, dan keraton yang dapat digunakan untuk fungsi
pasar. Analisis tersebut dikaitkan terhadap tuntutan keruangan dan iklim pada
bangunan pasar tradisional di Yogyakarta.
Berdasarkan studi literatur dari empat jenis atap tradisional
Yogyakarta, terdapat tiga jenis atap yang bisa digunakan pada perancangan
bangunan pasar tradisional yaitu: (a) Panggang Pe; (b) Kampung dan (c)
Limasan Lawakan. Aspek penelitian pada jenis atap ini dilihat dari segi
tipologinya yaitu: (a) bentangan, (b) penghawaan, dan (c) pencahayaan alami.
Sedangkan dari segi vernakular dapat dilihat dari: (a) material lokal, dan (b) respon
terhadap kondisi lokal.
D.1 Panggang Pe
Berdasarkan segi tipologi, jenis atap Panggang Pe (gambar 9)
dapat menampung fungsi sebagai pasar tradisional karena desain penempatan
kolom tidak menganggu fungsi sebagai pasar tradisional yang memiliki tuntutan
kebutuhan ruang yang luas. Namun untuk tampilan bangunan akan menghasilkan
kesan yang monoton dan kurang atraktif karena bentuk masa yang memanjang atau
melebar. Pencahayaan dan penghawaan alami dapat direspon dengan pemberian
bukaan pada sisi dinding yang tegak, sehingga tidak perlu memodifikasi bentuk atap.
Dari segi vernakular penggunaan material lokal dapat digunakan genting tanah liat
dan rangka kuda-kuda dari bambu. Kemiringan atap yang membentuk sudut 35o
berfungsi untuk merespon iklim lokal berupa curah hujan yang cukup tinggi. Tampak
dari jenis atap panggang pe kurang dapat menampilkan nilai lokal daerah Yogyakarta,
karena memiliki bentuk yang sama pada bangunan umumnya.
D.2 Kampung
Berdasarkan aspek tipologi, bentangan jenis atap kampung dapat menampung
kegiatan fungsi pasar. Penghawaan alami dapat direspon oleh jenis atap
kampung karena bentuk atap yang tinggi dapat mengangkat udara panas dan
digantikan dengan udara yang lebih dingin. Untuk fungsi pasar tradisional
yang menuntut bentangan yang lebih besar dibutuhkan void dan sky light agar
penghawaan dan pencahayaan alami dapat optimal. Berdasarkan segi
vernakular, jenis atap kampung dapat menggunakan material lokal pada bagian rangka
nya dan penutup atapnya. Kemiringan jenis atap kampung dapat merespon
kondisi iklim tropis di Yogyakarta. Namun, dalam penggunaan jenis atap
20
kampung banyak ditemui disetiap daerah, sehingga kurang memiliki nilai lokal
Yogyakarta.
• Tahapan Pengumpulan dan Klasifikasi Data. Data primer merupakan data pokok yang
didapat langsung dari objek penelitian berupa data kualitatif yaitu data yang tidak
diukur secara nominal (data fisik permukiman, yang meliputi karakter visual dan
karakter spasial). Data sekunder merupakan data pelengkap yang berisi hal-hal yang
21
dapat mendukung dan berhubungan dengan data primer, berfungsi mendatangi situs
perkampungan tradisional yang masih ada, melakukan pemotretan dan pengukuran
terhadap objek yang diteliti, serta melakukan wawancara terhadap orang-orang usia
lanjut yang masih mengetahui seluk-beluk arsitektur tradisional tersebut. Data
penelitian berupa foto-foto, sketsa dan hasil wawancara, dianalisis secara tipologi,
diinterpretasi, serta dibandingkan dengan literatur yang sudah ada, dinarasikan secara
kualitatif dan disusun dalam bentuk buku laporan penelitiankegiatan pada tahap
ini terdiri dari studi literatur, observasi lapang (pemotretan, pengukuran, dan plotting
elemen permukiman), serta wawancara.
Desa Pekon Hujung merupakan pekon yang terbentuk pada tahun 1973. Jauh
sebelum berdirinya desa ini awalnya terdapat Pekon Tuha namun pada tahun
1950-an penduduk pindah ke Pekon Ginting/Pekon Geting yang artinya waswas.
Setelah itu terbentuklah Pekon Bumi Agung dan kemudian Pekon Tipik yang artinya
ditinggal. Barulah pada tahun 1973, Pekon Hujung dan Pekon Luas terbentuk. Desa
Pekon Hujung merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Belalau
Lampung Barat dengan dengan kondisi udara relatif lebih dingin berada
pada kisaran 20 sampai 24 derajat Celsius. Rumah tradisional yang diteliti
merupakan rumah yang berada di Desa Pekon Hujung dan sudah dihuni selama lima
generasi. Rumah tradisonal yang tersisa hanya empat rumah, dua rumah masih
dengan kondisi atap menggunakan penutup atap ijuk dan dua rumah sudah berganti
dengan penutup atap dari seng.
Rumah tradisonal yang tersisa masih dihuni oleh penduduk asli
yang penghasilan utamanya dari berkebun kopi, dan masih berfungsi
dengan baik walaupun sudah dihuni oleh lima generasi. Rumah yang masih
menggunakan penutup atap ijuk memang rawan bocor dan dari wawancara
dengan penghuni mereka berencana mengganti dengan penutup atap dari
metal karena saat ini kesulitan untuk menemukan atap yang terbuat dari ijuk,
dan juga penutup atap ijuk lebih cepat bocor dan kondisi ruang dalam rumah
cenderung lembab.
22
Susunan Ruang Dalam
23
Bentuk massa awal yang berupa persegi yang merupakan dasar
penyebutan rumah tradisional menjadi Lamban Pesagi. Perubahan bentuk
massa utama juga mempengaruhi perubahan bentuk atap yang dasarnya
berbentuk lancip. Selain diakibatkan oleh penambahan bentuk dikarenakan
penambahan penghuni, perubahan bentuk massa utama juga dipengaruhi
oleh sistem pembangunan bertahap diakibatkan kemampuan ekonomi pemilik
rumah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala pekon ditemukan bahwa bentukan
atap limas merupakan bentukan awal yang dibuat oleh nenek moyang beliau. Bentukan
atap yang berbeda dengan bentukan awal atap yang sebelum-sebelumnya,
menjadikan nenek moyang beliau didenda tujuh kwintal kopi karena membuat bentukan
atap yang berbeda. Seiring dengan perkembangan perubahan denah akibat kebutuhan
ruang yang meningkat, mengakibatkan atap rumah tradisional yang ada menjadi
berbentuk limas.
Pembagian rumah dimulai dari beranda yang berada di sisi depan rumah.
Beranda biasanya digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan acara pernikahan
dan acara khitanan. Setelah itu terdapat ruang tidur yang diperuntukkan bagi lajang
sehingga disebut sebagai kamar lajang. Kamar ini juga digunakan oleh pengantin baru
selama seminggu setelah pernikahan, kemudian setelah itu akan pindah ke kamar
utama yang ada di tengah ruangan. Kamar tengah merupakan kamar utama untuk orang
tua pemilik rumah dan anak tertua pemilik rumah setelah menikah. Pada ruang antara
dua kamar utama biasanya digunakan oleh anak kecil dan remaja untuk duduk saat ada
tamu atau ada acara di rumah tersebut.
24
Bagian tengah rumah merupakan inti ruangan sebagai tempat berkumpul di
dalam ruangan. Pada bagaian tengah rumah terdapat kolom utama yang disebut Sangai
Batin. Saat ada tamu atau ada acara di dalam rumah maka pemilik rumah akan duduk
di dekat kolom Sangai Batin. Tangga berada disisi kanan rumah karena menurut tradisi
jaman dulu posisi tetua pemilik rumah berada pada sisi kiri rumah sehingga tamu masuk
ke dalam rumah melalui sisi kanan. Sisi kiri rumah lebih diperuntukkan bagi usia yang
lebih tua sedangkan usia yang lebih muda berada pada sisi kanan rumah. Gambar 4
menunjukkan ruang-ruang di rumah tradisional Pekon Hujung.
Pada bagian ruang dalam rumah secara keseluruhan terkesan gelap dan lembap
akibat tidak terlalu banyak bukaan. Hal ini diakibatkan oleh hanya terdapat beberapa
jendela kecil yang dapat memasukkan cahaya di siang hari. Pemberian bukaan yang
tidak terlalu banyak juga didasari oleh suhu di daerah tersebut yang relatif dingin
terutama pada malam hari.
25
Dapur masih menggunakan tungku api. Pada bagian ruang tengah dan dapur
diberi dinding tetapi tidak menutup sampai atas. Terdapat celah untuk melihat dari ruang
tengah ke dapur. Sistem dinding ini sudah digunakan sejak dahulu, hal ini sekarang
banyak digunakan pada desain interior antara ruang tengah dan dapur.
26
gempa maka keseluruhan struktur akan berpindah atau bergeser dari umpak. Setelah
itu kemudian rumah dapat dikembalikan lagi ke atas umpak.
27
Sistem pasak menggunakan sistem coak pada bagian kayu yang kemudian
dikunci oleh pasak yang terbuat dari kayu. Pada bagian ujung kayu kemudian diberi
sedikit ornamen dengan memberikan bentuk geometri sederhana pada bagian ujung
kayu.
Struktur lantai dua tidak menerus dari lantai satu. Hal ini terlihat dari
peletakan kolom yang tidak menerus dari lantai satu ke lantai dua. Hal ini
kemungkinan dikarenakan pembangunan yang dilakukan secara bertahap.
Namun belum ditemukan dengan jelas sistem peletakan kolom antara lantai
satu dengan lantai dua.
28
Sambungan kolom dan balok tidak menerus juga mungkin dipengaruhi oleh
membangunan yang memiliki sistem bertahap, dan juga karena memang
sistem struktur di rumah tradisonal Pekon Hujung menggunakan sistem struktur meja.
Rumah bangsawan Bugis Bone (Bola Soba) yang terletak di Jalan Latenritatta
disebut Bola Soba atau Saoraja. Arsitekturnya hampir mirip dengan rumah
adat Kelurahan Tanete Riattang Kecamatan Kota Watampone, Sulawesi
Selatan yang Gowa yakni Balla Lompoa. Bola Soba atau dalam bahasa Indonesia
yang diartikan lampau. Bangunan tradisional Bugis bermaterial kayu ini berdiri di
29
atas lahan seluas hampir 0,5 hektar di ruas Jalan Latenritatta, Watampone.
Kokohnya bangunan ini menandakan bahwa masyarakat Bone pada masa lampau
telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang mumpuni.
Bola Soba telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Awalnya, terletak di
Jalan Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati Bone.
Selanjutnya, dipindahkan ke Jalan Veteran dan terakhir di Jalan Latenritatta sejak tahun
1978. Pemugaran dilakukan berturut-turut tahun 1976-1978,1979-1980 dan 1981-1982.
Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Bola Soba didesain untuk mendekati bangunan
aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan
bahan maupun ukurannya aslinya.
30
dan grafik.
2. Analisis digital : proses awal penentuan mode/frekuensi dari rasio yang
dihasilkan dengan bantuan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service
Solution).
31
hanya rumah panggung yang dapat berdiri di lokasi tersebut. Keadaan alam
yang subur memungkinkan pohon kayu dan bambu tumbuh di kawasan tersebut
yang dapat digunakan untuk material bangunan. Salah satu ciri khas bangunan
rumah di Kampung Mahmud adalah rumah panggung berbentuk L, walaupun
ada pula yang berbentuk persegi panjang. Ukuran bangunannya relatif besar,
dan dihuni keluarga besar. Rumah asli di Kampung Mahmud, mempunyai ruang
depan (tepas), tengah rumah (tengah imah), kamar, dapur, dan goah. Umumnya
rumah panggung tersebut menggunakan kayu sebagai struktur utama dan
struktur atap, bambu sebagai dinding bilik dan lantai palupuh. Atap
bangunannya berbentuk pelana dan perisai, dengan penutup atap dari genting.
Tipe atap pelana biasanya terdapat pada jenis bangunan publik (kios, jamban,
kandang dan lain-lain). Sedangkan atap perisai biasanya terdapat pada bangunan
hunian dan peribadahan.
32
Tipologi bangunan dipengaruhi oleh beberapa aspek vernakular yaitu:
a) Iklim mengakibatkan bentuk atap pada setiap bangunan di Kampung Mahmud
berbentuk atap miring ini di akibatkan oleh iklim sekitar,
b) Budaya masyarakat Kampung Mahmud yang sangat menghormati unsur
budaya, dapat dilihat dari bangunan rumah yang memiliki kesamaan bentuk dan
material yang seragam, memakai bahan kayu dan bambu,
c) Lingkungan (Alam) yaitu lokasi Kampung Mahmud yang dahulunya rawa
yang di timbun tanah, keadaan tanah yang labil itu tidak memungkinkan
untuk membangun rumah dari bahan material tembok yang memungkinkan
hanya rumah bergaya panggung. Tidak memungkinkan membuat sumur di tanah
yang masih labil yang akan mengakibatkan longsor, masyarakat Kampung
Mahmud memanfaatkan sungai citarum menjadi sumber air bersih untuk keperluan
hidup masyarakatnya. Maka dari itu setiap tipologi rumah di Kampung Mahmud
tidak terdapat toilet dan sumur,
d) Teknik membangun yang dianut masyarakat Kampung Mahmud memilih
kayu dan bambu menjadi bahan utama untuk bangunan rumahnya. Sehingga
pada tipologi bangunan di Kampung Mahmud menggunakan bahan material
tersebut. Masyarakat Kampung Mahmud dalam membangun suatu bangunan
di kerjakan oleh masyarakat Kampung Mahmud sendiri maka dari itu
33
mengakibatkan terbentuknya tipologi yang mirip,
e) Hukum adat yang berlaku pada bangunan di Kampung Mahmud, di haruskan
rumah yang berpanggung atau berkolong, memakai bahan material yang ramah
lingkungan, tidak boleh memakai material yang mewah dan tidak boleh
membangun unsur yang kotor seperti toilet dan tidak boleh membuat sumur,
f) Religi (kepercayaan) masyarakat Kampung Mahmud percaya akan kayu dan
bambu memiliki kekuatan magis. Sehingga bahan utama yang dipakai setiap bangunan
di Kampung Mahmud adalah kayu dan bambu,
g) Hubungan sosial masyarakat Kampung Mahmud banyak, ruang tersebut
biasanya di gunakan untuk kegiatan keagaman yang rutin oleh masyarakat Kampung
Mahmud. sangatlah kental dengan kepercayaan agamanya, khususnya agama
islam. Besaran ruang tengah (tengah imah) memiliki besaran yang cukup
menampung orang.
34
hitam. Nilai-nilai kebudayaan dan aturan adat hilang sejak kurang lebih tahun 1987 sampai
sekarang.
35
a) Aspek iklim dimana pengaruh iklim pada bentuk bangunan di Kampung
Mahmud dapat dilihat dari tipologi bangunan yang memakai atap miring
menggunakan genteng tanah liat dan sebagian telah menggunakan atap asbes dan
bahan atap pabrikan yang berkembang saat ini dapat dilihat pada
bangunanan dan sampai sekarang pun masih menggunakan atap miring.
Namun dalam pemakaian bahan penutup atap sudah tidak menggunakan
rumbia, kebanyakan tipologi 1 (gbr 4.4), tipologi 2 (gbr 4.5), tipologi 3 (gbr 4.6),
b) Aspek budaya yang memberi pengaruh budaya luar yang mengakibatkan budaya
yang ada di Kampung Mahmud terkikis. Bangunan saat ini sudah tidak memiliki
kesamaan bentuk, material yang seragam dan ada pula bangunan yang tidak
bergaya panggung lagi, dapat dilihat pada bangunanan tipologi 1 (gbr 4.4),
tipologi 2 (gbr 4.5), tipologi 3 (gbr 4.6),
c) Aspek lingkungan dan bahan (alam) setelah sungai citarum tidak lagi bersih
dan tanah mulai mengeras masyarakat Kampung Mahmud sudah berani
membangun rumah yang tidak bergaya panggung, memakai material tembok dan
membuat sumur dan toilet. Perkebunan yang dulunya subur sudah mereka jual
pada orang luar Kampung Mahmud. Maka dari itu masyarakat Kampung
Mahmud harus membeli bahan material bangunan dari luar daerah Kampung Mahmud,
e) Aspek hukum adat saat ini hukum adat yang ada di Kampung Mahmud sudah
terkikis dengan perkembangan jaman yang sudah maju. Masyarakat Kampung
Mahmud sudah menghiraukan hukum adat yang dibuat oleh karuhunnya. Sudah
banyak pula rumah-rumah yang menggunakan bahan material dinding tembok
dan ada juga yang sudah meninggalkan bangunan panggung. Hal lain yang
mengakibatkan hilangnya hukum adat di Kampung Mahmud yaitu hampir seluruh
masyarakat Kampung Mahmud sudah mempunyai toilet dan sumur disetiap
36
rumahnya, sebagai sumber air bersih untuk keperluan hidup masyarakan
di Kampung Mahmud,
f) Aspek religi (kepercayaan) masyarakat Kampung Mahmud sudah tidak
mempercayai lagi dengan kayu yang memiliki kekuatan magisnya, material
yang digunakan oleh masyarakat Kampung Mahmud sudah memakai material
mewah seperti tembok dan lantai keramik,
g) Aspek hubungan sosial masyarakat sudah banyak rumah yang bergaya modern
tetapi masyarakat Kampung Mahmud masih mempertahankan ruang tengah
yang cukup besar untuk menampung orang banyak dalam kegiatan religi
dan perkumpulan acara sosial masyarakat yang terdapat pada bangunanan
tipologi 1 (gbr 4.1), tipologi 2 (gbr 4.2), tipologi 3 (gbr 4.3).
3) Terdapat berbagai macam jenis usaha yang menyatu pada lokasi yang sama.
37
Ciri‐ciri pasar tradisional adalah sebagai berikut:
1. Adanya sistem tawar menawar antara penjual dan pembeli. Tawar
menawar mampu memberikan dampak psikologis yang penting bagi
masyarakat. Setiap orang yang berperan pada transaksi jual beli akan
melibatkan seluruh emosi dan perasaannya, sehingga timbul interaksi sosial
dan persoalan kompleks. Penjual dan pembeli saling bersaing mengukur
kedalaman hati masing‐ masing, lalu muncul pemenang dalam
penetapan harga. Tarik tambang psikologis itu biasanya diakhiri
perasaan puas pada keduannya. Hal ini yang dapat menjalin hubungan sosial
yang lebih dekat. Konsumen dapat menjadi langganan tetap stan pada
pasar tradisional. Kelancaran komunikasi sosial antar pembeli dan
penjual dalam pasar tradisional tersebut menunjang ramainya stan
tersebut. Maka, dibutuhkan ruang sirkulasi berupa ruang pedestrian
dengan lebar yang cukup. (Kasdi,1995)
2. Ciri pasar berdasarkan pengelompokan dan jenis barang pasar, yakni:
Lilananda (1997), Jenis barang di pasar umumnya dibagi dalam empat kategori:
a. Kelompok bersih (kelompok jasa, kelompok warung, toko)
b. Kelompok kotor yang tidak bau (kelompok hasil bumi dan buah‐ buahan)
c. Kelompok kotor yang bau dan basah (kelompok sayur dan bumbu)
d. Kelompok bau, basah, kotor, dan busuk (kelompok ikan basah dan daging)
3. Ciri pasar berdasarkan tipe tempat berjualan Lilananda (1997), Tempat
berjualan atau lebih sering disebut stan, dipilih dengan cara undian (stan yang ada adalah
stan milik sendiri dengan membayar biaya retribusi per m2 /hari sesuai dengan biaya yang
telah ditetapkan). Jenis barang yang telah dikelompokkan, dilihat jenis barang dagangan
apa yang paling banyak diperdagangkan dan paling diminati. Bagian atau blok‐blok yang
telah ditetapkan tempat‐tempat yang strategis diutamakan diundi dahulu untuk pengurus
setiap bagian, setelah itu sisanya diundi untuk pedagang lainnya.
38
2.6 Macam Pengguna Pasar
Pada Pasar Tradisional Selopuro terdapat 4 (empat) macam pengguna tetap yang
dapat kita temui yaitu para pedagang, pembeli, pengunjung, dan staf pengelola pasar. Pada
pasar ini pembeli dan pengunjung dapat dibedakan definisinya karena tidak semua
pengunjung pasar melakukan kegiatan beli-membeli. Macam-macam pengguna dan
definisinya antara lain:
a. Pedagang
Pedagang adalah pengguna inti dari pasar yang sekaligus merupakan penggerak dari
kegiatan pasar. Pedagang merupakan orang yang menjalankan kegiatan
menjual/berdagang. Pada Pasar Tradisional Selopuro terdapat 3 jenis pedagang antara lain
pedagang produk kering (pakaian, kelontongan, snack kering, dan lain-lain), pedagang
produk basah (daging-daging dan sayuran), dan terakhir adalah pedagang klitikan (barang
bekas, komponen listrik, komponen kendaraan, dan barang barang interor).
b. Pembeli
Pembeli merupakan orang yang melakukan kegiatan membeli barang-barang yang
disediakan oleh para pedagang di pasar. Karena Pasar Tradisional Selopuro merupakan
pasar terbesar di kecamatan selopuro, maka terdapat 2 (dua) jenis pembeli yaitu pelanggan
lokal (pelanggan yang notabennya asli orang selopuro) dan pelanggan non local (pelanggan
dari lain desa sekitar selopuro)
c. Pengunjung
Pengunjung merupakan orang yang mendatangi pasar tanpa melakukan kegiatan
jual-beli barang dan biasanya hanya berkunjung. Jenis pengunjung yang ada pada Pasar
Tradisional Selopuro dapat berupa warga setempat dan warga sekitar selopuro. Kegiatan
yang dilakukan oleh pengunjung didominasi oleh para warga setempat yang sering
berkumpul di area jual bei hewan unggas.
d. Pengelola
Pengelola pasar merupakan orang yang mengelola semua kegiatan yang
berlangsung di pasar. Mulai dari pendataan pedagang, pendataan kios, kegiatan kebersihan
yang dilakukan oleh staf cleaning service, keamanan yang dilakukan security dan beberapa
juru parkir, dan lain-lain. Biasanya semua anggota pengelola pasar diketuai oleh lurah pasar
yang bertugas untuk melaporkan kegiatan pasar pada Dinas Pengelolaan Pasar.
39
2.6.1 Kategori Pembeli Pasar
Pembeli pasar sendiri mempunyai beberapa kategori (diluar pengunjung). Kategori ini
dibagi menurut bagaimana waktu kunjung dan cara berkunjung para pembeli yang nantinya
akan berpengaruh kepada bagaimana dampaknya kepada kualitas ruang yang dibutuhkan
(Hermanto, 2008).
1. Pembeli yang mengutamakan kenyamanan, keterbatasan waktu untuk berbelanja dan
bagaimana memutuskan dimana akan berbelanja dan cara untuk menyeleksi barang
kebutuhan yang cepat tersaji.
2. Pembeli rutin, merupakan kategori pengunjung yang memiliki waktu rutin untuk
mengunjungi pasar. Disini akan sangat diperlukan faktor kenyamanan namun tetap
mengutamakan faktor harga barang yang akan dibeli.
3. Pembeli tidak tetap, mereka hanya akan datang ke pasar untuk membeli barang
tertentu. Maka faktor kenyamanan ruang tidak terlalu diperlukan.
4. Pembeli yang bertujuan untuk berekreasi, bagi pembeli seperti ini faktor yang
dibutuhkan adalah berupa tingkat keunikan dan kualitas barang.
Bangunan pasar juga merupakan salah satu tempat yang memilliki kesamaan jenis
sirkulasi dengan pusat perbelanjaan lainnya. Jika dilihat dari pola sirkulasi pusat
perbelanjaan, terdapat 3 (tiga) jenis pola penataan ruang yang mempengaruhi sirkulasi
pengunjung, yaitu I,L, dan T. Pola sirkulasi yang baik adalah yang dimana dapat
mengarahkan pengunjung agar arah belanja menjadi lebih tertib dan tidak berantakan.
Berikut beberapa pola sirkulasi menurut Nadine Beddington pada buku nya yang berjudul
“Design for Shopping Center” tahun 1989:
1. Pola 1 (Banyak Koridor)
Pada pola ini (Gambar 2.6.3.1) dapat dilihat bahwa banyak koridor yag
diciptakan dari penataan ruang yang bagian tengah. Koridor bagian tengah
membuka jalan menuju area toko-toko yang bagian luar. Pada pola ini terdapat
40
kekurangan yaitu dimana bagian toko yang di tengah dianggap lebih strategis dan
lebih menonjol.
Dapat dilihat pada Gambar 2.6.3.2 bahwa pada pola ini terdapat satu ruang kosong
yang luas dan berpusat pada bangunan yaitu berupa void atau ruang terbuka. Void tersebut
difungsikan agar menjadi pusat orientasi sirkulasi pengunjung di dalam bangunan dan dapat
menjadi pembatas area pertokoan. Pada bagian void ini bisa digunakan sebagai area taman
ataupun tangga (jika memiliki 2 lantai). Untuk sistem sirkulasi antar toko tetap menggunakan
pola sirkulasi koridor.
41
Gambar : 2.6.3.2 Gambar Sirulasi Plaza
3. Pola 3 (Mall)
Pola ini (Gambar 2.6.3.3) memfokuskan arah sirkulasi hampir ke semua bagian
pertokoan. Di bagian tengah terdapat 2 (dua) buah void yang dapat memecah orientasi
sirkulasi pengunjung untuk dapat jalan kesemua arah toko. Pola seperti ini cocok dijadikan
sebagai bagian sirkulasi utama dari sebuah bangunan karena dapat menghubungkan dua
titik area pertokoan.
42
c. Jam operasional harian
2. Tipe B Kriteria:
3. Tipe C Kriteria:
4. Tipe D Kriteria:
Secara umun terdapat 2 (dua) kriteria pasar menurut Dinas Pengelolaan Pasar Kota
Yogyakarta Tahun 2009, yaitu:
1. Kriteria sesuai kelasnya
a. Kelas I Fasilitas yang tersedia harus lengkap mulai dari tempat parkir,
loadingunloading barang, tempat promosi, pelayanan kesehatan, kantor pengelola, tempat
43
ibadah, WC, sarana pengelolaan kebersihan, pengamanan, sarana penerangan
umum, sarana air bersih, dan sarana listrik. Dan semua fasilitas itu harus ternaungi didalam
sebuah lahan dengan luas minimal 2000 m2.
b. Kelas II
Pasar yang tergolong kelas dua merupakan pasar yang terdapat fasilitas berupa tempat
parkir, tempat ibadah, tempat promosi, pelayanan kesehatan, kantor pengelola, sarana
pengaman, sarana air bersih, sarana listrik, dan WC. Luas lahan minimal 1500 m2.
c. Kelas III
Pasar yang digolongkan sebagai pasar kelas III yaitu pasar yang fasilitasnya berupa tempat
promoi, kantor pengelola, tempat ibadah, WC, sarana pengaman, sarana air bersih, dan
instalasi listrik. Semua fasilitas itu harus ternaungi didalam sebuah lahan dengan luas
minimal 1000 m2 .
d. Kelas IV
Fasilitas yang dibutuhkan sebuah pasar agar tergolong pasar kelas empat adalah pasar itu
harus memiliki fasilitas berupa tempat promosi, WC, layanan pengaman, kantor pengelola,
sarana air bersih, penerangan, dan instalasi listrik dengan luas dasaran minimal 500 m2 .
e. Kelas V
Untuk kategori pasar kelas 5, terdapat dua fasilitas yang dibutuhkan yaitu berupa sarana
pengaman dan pengelola kebersihan dengan luas dasaran minimal 50 m2 .
a. Golongan A
Barang-barang yang dijual pada pasar golongan A berupa logam mulia, batu mulia,
kebutuhan sehari-hari, tekstil, dan komponen kendaraan bermotor.
b. Golongan B
Barang yang dijual pada pasar bergolongan B lebih beragam seperti pakaian, pakaian adat,
pakaian pengantin, aksesoris, sandal dan sepatu, souvenir, kebutuhan sehari-hari,
kelontong, obat-obatan, barang pecah belah, kacamata dan arloji, barang-barang bekas,
daging, sayur, dan bumbu-bumbu dapur.
c. Golongan C
44
Barang : beras, ketan, palawija, jagung, ketela, terigu, gula, telur, minyak goreng, susu,
garam, bumbu, berbagai jenis maknan, melinjo, kripik emping, kering-keringan mentah, mie,
teh, kopi, buah-buahan, kolang kaling, sayur mayur, jajanan, bahan jamu tradisonal,
tembakau, kembang, daun, hewan peliharaan, makanan hewan, sangkar, obat-obatan
hewan, tanaman hias, pupuk, pot, ikan hias, akuarium, elektronik baru/bekas, onderdil
baru/bekas, alat pertukangan baru/bekas, alat pertanian baru/ bekas, kerajinan
anyaman,gerabah, ember, kompor minyak, sepeda baru/ bekas, goni, karung gandum,
majalah baru/bekas, koran, arang, dan yang dipersamakan. Pada golongan C juga terdapat
jasa-jasa yang ditawarkan seperti jasa menjahit, tukang cukur, salon, dan sablon.
d. Golongan D
Pasar yang dikategorikan bergolongan D adalah pasar yang menjual barang-barang berupa
barang bekas seperti kertas bekas, kardus bekas, rongsokan, dan sejenisnya.
a. Pasar homogen, yaitu pasar yang menjual hanya satu jenis barang dagangan, misal :
pasar buah, pasar ikan
b. Pasar heterogen, yaitu pasar yang menjual lebih dari satu jenis barang dagangan,
seperti berbagai macam kebutuhan sandang pangan
2.9.2 Penggolongan pasar secara khusus
- Pasar eceran, yaitu pasar dimana permintaan dan penawaran barang atau pemberian
jasa secara eceran atau retail
- Pasar grosir, yaitu permintaan dan penawaran barang atau pemberian dalam jumlah
besar
- Pasar induk, yaitu pasar yang menjadi pusat pengumpulan, pelelangan, penyimpanan
bahan-bahan pangan untuk disalurkan kepada grosir atau pusat pembelian.
b. Pasar menurut lokasi dan skala pelayanan
45
- Pasar lingkungan Jenis pasar yang memiliki cakupan wilayah layanan dalam skala
lingkungan seperti dalam lingkungan desa atau perumahan
- Pasar wilayah Jenis pasar yang memilki cakupan wilayah layanan dalam skalah wilayah
yang lebih luas dari skala lingkungan, seperti pasar pada skala kecamatan
- Pasar kota Jenis pasar yang memiliki cakupan layanan yang cukup luas yaitu skala kota,
biasanya pasar jenis ini disebut sabagai pasar induk. Pasar kota menjadi pusat aktivitas
penggerak roda ekonomi kota.
c. Pasar menurut waktu kegiatan
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 21 tahun 2021 pasal 11 Pasar Tradisional
minimal memiliki sarana dan prasarana penunjang paling sedikit :
- Kantor Pengelola
- Toilet
- Pos Keamanan
- Ruang Menyusui
- Ruang Kesehatan
- Ruang Peribadatan
46
- Tempat Parkir
- Instalasi listrik
Tujuan pengelolaan dan pemberdayaan pasar tradisional tertulis pada pasal 2, yaitu :
- Menciptakan pasar tradisional yang tertib, teratur, aman, bersih dan sehat
- Menciptakan pasar tradisional yang berdaya saing dengan pusat perbelanjaan dan toko
modern
Fasilitas bangunan dan tata letak Fasilitas dan tata letak pasar tradisional
mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan pada pasal 6, yaitu :
- Bangunan yang berupa toko, kios, los dibuat dengan standard ukuran ruang
tertentu
- Petak atau blok dengan akses jalan pengunjung ke segala arah
- Bentuk bangunan pasar tradisional selaras dengan karakteristik budaya daerah Standar
operasional pada pasar tradisional disarkan pada standar yang telah ditetapkan pada pasal
10, ayat 2, yaitu:
47
- Sistem kebersihan dan penanganan sampah
- Sistem perparkiran
48