Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1

Penelitian terdahulu

Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian

Fahwaniyya Riyasa Semarang Tradisional Objek bangunan


Anshar, Edy Darmawan, & Market dengan Pendekatan Semarang Tradisional
Masyiana Arifah Alfi Riza, Arsitektur Vernakular Market menjadi sarana
2020 perdagangan berskala
wilayah disesuaikan
dengan latar belakang
seluruh penduduknya yang
beraneka ragam. Sehingga
pasar tidak sekedar
bermanfaat oleh warga
yang memang berlatar
belakang sebagai
pedagang tapi juga dapat
dimanfaatkan oleh para
mahasiswa untuk memulai
menjadi wirausaha.

Persamaan : Perancangan yang dilakukan oleh Fahwaniyya Riyasa Anshar, Edy


Darmawan, & Masyiana Arifah Alfi Riza menggunakan variabel X pasar tradisional
semarang dan variabel Y yaitu pendekatan Arsitektur Vernakular. Sedangkan yang
dirancang oleh penulis adalah Pasar Tradisional Selopuro (X) dan Arsitektur
Vernakular (Y).
Sumber : hasil Kajian perancang, 2022

7
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian

Upaya Desain Bentuk Atap


Citra Dwi Soehindra, Hasil penelitian
Untuk Menampilkan
Mohammad Ischak, & Rita Lokalitas Dengan menunjukan bahwa jenis
Pendekatan Arsitektur
Walaretina, 2022 atap yang dapat
Vernakular Pada Pasar
Godean Yogyakarta menampilkan lokalitas
daerah Yogyakarta dengan
pendekatan arsitektur
vernakular dan sekaligus
yang dapat memenuhi
tuntutan keruangan
bangunan pasar
tradisional, adalah jenis
atap limasan lawakan.

Perbedaan : Perancangan yang dilakukan Citra Dwi Soehindra, Mohammad Ischak, &
Rita Walaretina menggunakan variabel X pasar tradisional Godean Yogyakarta dan
variabel Y yaitu Bentuk Atap pasar untuk menampilkan lokalitas dengan pendekatan
Arsitektur Vernakular.

Sedangkan yang dirancang oleh penulis adalah Pasar Tradisional Selopuro (X) dan
Fasad dari pasar tradisional Selopuro dengan pendekatan Arsitektur Vernakular (Y).
Sumber : hasil Kajian perancang, 2022

8
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian

adelia enjelina Kajian Arsitektur Rumah tradisional Desa Pekon


Vernakular (Ruang dan Hujung Lampung menggunakan
matondang,& A. Asrul
Struktur) Lampung: Desa elemen bangunan yang dapat
Sani
Pekon Hujung Lampung digunakan sebagai identitas
Barat Lampung adalah ukiran tanduk,
bentuk atap lancip, dan adanya
ruang beranda, dan rumah
panggung. Jika dilihat dari
kesimpulan maka sebagai saran
kepada masyarakat yang berada
pada kawasan rawan gempa
untuk tetap mempertahankan
sistem struktur kayu dalam
pembangunan bangunan.

Perbedaan : Perancangan yang dilakukan adelia enjelina matondang,& A. Asrul Sani


menggunakan variabel X Desa Pekon Hujung Lampung Barat dan variabel Y yaitu
Ruang dan Struktur Arsitektur Vernakular. Sedangkan yang dirancang oleh penulis
adalah Pasar Tradisional Selopuro (X) dan Fasad pasar tradisional Selopuro dengan
pendekatan Arsitektur Vernakular (Y) dengan identitas atap bangunan mengikuti
atap joglo makam bung karno sebagai identitas blitar.
Sumber : hasil Kajian perancang, 2022

9
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian

Eggi Septianto, Arif Kajian Arsitektur Dengan adanya Kajian Arsitektur

Rahman Hakim, Riza Vernakular Pada Vernakular pada bangunan

Septian Sudrajat, Sofwan Bangunan Kampung kampung mahmud ini

Nurzaman, & Yogi Mahmud menghasilkan Kajian mengenai

Suparman bangunan kampung mahmud

yang sudah tidak dikatakan lagi

sebagai bangunan dengan

struktur vernakular karena

pengaruh aspek Lingkungan dan

Bahan (Alam), aspek budaya,

aspek hubungan sosial

masyarakat, Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi.

Perbedaan : Perancangan yang dilakukan Eggi Septianto, Arif Rahman Hakim, Riza
Septian Sudrajat, Sofwan Nurzaman, & Yogi Suparman menggunakan variabel X
bangunan kampung Mahmud dan variabel Y yaitu kajian Arsitektur Vernakular pada
bangunan kampung mahmud. Sedangkan yang dirancang oleh penulis adalah Pasar
Tradisional Selopuro (X) dan Fasad pasar tradisional Selopuro dengan pendekatan
Arsitektur Vernakular (Y) dengan mengutamakan identitas blitar untuk meningkatkan
fasad pasar tradisional Selopuro.

Sumber : hasil Kajian perancang, 2022

10
2.2 Perancangan Pasar Tradisional Selopuro Kab. Blitar Dengan Pendekatn
Arsitektur Vernakular.

2.2.1 Tinjauan Pasar Tradisional

Pengertian pasar tradisional menurut beberapa ahli di antaranya yang


diungkapkan oleh Wiryomartono (2000), bahwa pasar sebagai kata benda dengan
sinonim peken, kata kerjanya adalah mapeken yang maksudnya berkumpul, tempat
berkumpul untuk berjual-beli. Sebuah rekaman sejarah Jawa menyebutkan bahwa, pada
tahun 1830, perdagangan melalui darat telah berkembang dengan baik. Saat itu telah
ada jaringan pasar yang luas dan pasar-pasar wilayah permanen yang besar berperan
penting dalam lintas perdagangan (Wiryomartono, 2000:58). Pasar tradisional
mempunyai karakter humanis sehingga mampu membangun kedekatan dan hubungan
“kekeluargaan” antara pedagang dengan pembeli. Selaras dengan hal tersebut Rahadi
(2012) menyatakan pula bahwa faktor kualitas layanan dan identifikasi konsumen
memainkan bagian penting untuk mendorong konsumen berbelanja atau melakukan
pembelian kembali di pasar tradisional. Dengan hubungan yang ramah dan saling
mengenal antara pedagang dan pembeli, menjadi karakteristik yang khas bagi pasar
tradisional (Rahadi, 2012).
Sedangkan pengertian tentang pasar menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk
melaksanakan transaksi, sarana interaksi sosial budaya masyarakat, dan
pengembangan ekonomi masyarakat (Permendagri, 2007). Di sisi lain
pengertian pasar adalah sebuah mekanisme yang dapat mempertemukan
pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa;
baik dalam bentuk produksi maupun penentuan harga. Syarat utama
terbentuknya pasar adalah adanya pertemuan antara pihak penjual dan
pembeli baik dalam satu tempat ataupun dalam tempat yang berbeda. Pasar
juga merupakan elemen ekonomi yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan
kesejahteraan hidup manusia (Toni, 2014).
Demikian pengertian pasar tradisional adalah tempat berkumpulnya
penjual dan pembeli yang mampu membangun kedekatan dan hubungan
kekeluargaan antara pedagang dan pembeli, sebagai pengembangan
perekonomian masyarakat dengan adanya transaksi jual beli barang mapun
jasa untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia.

11
2.1.2 Tinjauan Selopuro Kab. Blitar

Selopuro adalah satu kecamatan yang ada di kabupaten Blitar jawa timur. Desa
Selopuro memiliki luas wilayah 12.924.98 Ha dengan prosentase tanah sawah 261.00
Ha, tanah kering 12.443,23 Ha, tanah hutan 90.00 Ha. Memiliki jumlah penduduk 10.361
orang dimana laki-laki sebanyak 5.185 jiwa dan perempuan 5.176 jiwa dengan
kepadatan 1.367,45 per km. Kecamatan Selopuro sendiri memiliki 8 kelurahan sebagai
berikut Kelurahan/Desa Jambewangi, Kelurahan/Desa Jatitengah, Kelurahan/Desa
Mandesan, Kelurahan/Desa Mronjo, Kelurahan/Desa Ploso, Kelurahan/Desa Popoh,
Kelurahan/Desa Selopuro, dan Kelurahan/Desa Tegalrejo.
Selopuro sendiri memiliki 2 pasar tradisional yaitu pasar tradisional ploso dan
pasar tradisional selopuro. Dari keduanya pasar Selopuro menjadi tempat paling
strategis dan lengkap dibandingkan pasar ploso, sehingga pasar Selopuro banyak
dikunjungi oleh masyarakat selopuro khususnya dan masyarakat sekitar pada
umumnya.

Gambar Peta Kecamatan Selopuro

Sumber : https://images.app.goo.gl/xGvSefpy4TnKdEdc8

Demikian pengertian dari Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar adalah salah


satu kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar dimana Pasar Tradisional Selopuro berdiri.

12
2.1.3 Arsitektur Vernakular

Secara etimologis kata Verna berasal dari bahasa latin yang artinya home born
slave (Nuttgents,1993). Kata Vernakular juga berasal dari vernaculus (latin) berarti asli
(native). Dalam ilmu bahasa (Linguistik),bahasa vernakular mengacu pada penggunaan
bahasa untuk waktu, tempat atau kelompok lokal/tertentu. Dalam kebudayaan
khususnya arsitektur,terminologi tersebut merujuk pada jenis kebudayaan atau
arsitektur yang berlaku ditempat tertentu/lokal (tidak meniru dari tempat lain). Menurut
Yulianto Sumalyo (1993), vernakular adalah bahasa setempat, dalam arsitektur
istilah ini untuk menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya,
lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata
letak denah, struktur, detail-detail bagian,ornamen, dll).

Menurut Yulianto Sumalyo (1993), vernakular adalah bahasa setempat, dalam


arsitektur istilah ini untuk menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur
budaya, lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik
arsitektural (tata letak denah, struktur, detail-detail bagian,ornamen, dll). Menurut
Maquire, vernakular itu bukanlah suatu langgam atau gaya yang jadi sumber peniruan.
Signifikansi dari vernakular adalah kegunaannya sebagai suatu alat pembelajaran.
Pertama, vernakular senantiasa menunjukkan kejujuran. Kedua, vernakular senantiasa
mendemonstrasikan bagaimana suatu karakteristik yang kompleks dapat tercipta dari
suatu kejujuran, di mana kesederhanaan berkembang menjadi suatu kompeksitas
seiring dengan pemberlakuan yang konstan. Ketiga,vernakular memiliki kualitas yang
elusif yaitu: skala yang manusiawi, karena ia diciptakan secara langsung manusia untuk
manusia.
Selanjutnya Mentayani (2012), menuliskan berdasarkan berbagai pendapat
disimpulkan bahwa karakteristik arsitektur vernakular antara lain :
1. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional melainkan
dengan tenaga ahli lokal /setempat.
2. Diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial, budaya dan
lingkungan setempat.
3. Dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi, teknologi
dan material setempat,
4. Memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang berkembang
di dalam masyarakat tradisional,
5. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai

13
budaya masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat.
6. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi oleh aspek
struktur sosial, sistem kepercayaan dan pola perilaku masyarakatnya.
Demikian dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa Arsitektur Venakular
adalah gaya arsitektur tradisional yang ada dalam lingkungan masyarakat. Dimana gaya
arsitektur ini menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat,
diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, struktur, detail-detail
bagian,ornamen, dll).

2.2 Sejarah Arsitektur Vernakular

Pada zaman dahulu pembangunan suatu bangunan tidak ada campur tangan
profesional seperti saat ini. Perkembangan zaman yang semakin maju ini membuat para
profesional mengikuti rancangan modern yang lebih hemat daya dan mempunyai prinsip
pembangunan yang berkelanjutan. Semakin terbatasnya sumber daya alam yang
ada seolah mengharuskan siapa saja agar bisa lebih bijak lagi dalam melakukan
konstruksi bangunan dan properti. sebuah bangunan memiliki krontuksi dengan gaya
arsitektur tersendiri. Seperti halnya pada bangunan bangunan yang sudah ada sejak
dahulu. Bisa dilihat dari berbagai rumah adat yang ada di masing masing daerah memiliki
gaya arsitektur yang berbeda beda.
Mengutip Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), dalam Arsitektur Vernakular
Indonesia: Peran, Fungsi, dan Pelestarian di dalam Masyarakat; Sonny Susanto,
dosen arsitek di Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengatakan; arsitektur
vernakular merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur tradisional, yang mana
arsitektur tradisional masih sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup. Arsitektur
tradisional sebenarnya juga mengalami perkembangan. Namun, perkembangannya
tetap memertahankan karakter inti yang diturunkan dari generasi ke generasi,
menjadikannya sebagai karakter kuat akan suatu tempat tertentu dan tercermin pada
tampilan arsitektur lingkungan masyarakat tersebut. Sementara arsitektur vernakular,
dalam perkembangannya mengalami banyak tekanan, baik dari dalam maupun dari
luar. Antara lain dari masyarakat industri barat yang menebarkan potensi dari teknologi
modern dan bahan bangunan modern.

2.3 Contoh Contoh Arsitektur Vernakular

Di indonesia, jenis jenis rumah tradisional yang ada di masing masing daerah di

14
seluruh penjuru dianggap sebagai tradisi vernakular indonesia dan dipercayai memiliki
kesamaan dari asal usul tradisi pembangunan kuno. bentuk struktural rumah adat di
Indonesia memiliki 2 macam yaitu : rumah tradisional yang dibangun berdasarkan prinsip
tipikal tradisi arsitektural Austronesia kuno; struktur kotak yang didirikan di atas tiang
fondasi kayu, dapat ditanam ke dalam tanah atau diletakkan di atas permukaan tanah
dengan fondasi batu, lantai panggung, atap miring dengan jurai yang diperpanjang dan
bagian depan atap yang condong mencuat keluar.

Sedangkan di bagian timur kepulauan Indonesia banyak tipe rumah tradisional


digolongkan sebagai bagian dari tradisi arsitektur vernakular, di mana pada bentuk
bangunannya biasanya memiliki; lantai berbentuk lingkaran dan berstruktur atap kerucut
tinggi seperti bentuk sarang tawon atau struktur atap berbentuk kubah elips. Rumah
tradisional Indonesia saat ini merupakan contoh rumah yang mempunyai karakter dasar
dan fitur tradisi dari arsitektur vernakular yang masih kuat. Rumah-rumah ini dapat
ditemukan di beberapa daerah di berbagai pelosok Nusantara.
Berikut beberapa contoh rumah yang dikenali menggunakan gaya arsitektur
vernakular di Indonesia :

1. Arsitektur vernakular rumah Batak


Tradisi arsitektur vernakular Batak terdapat pada bangunan komunal (bale), lumbung
padi (soro), serta bangunan untuk menggiling beras dan rumah untuk orang menyimpan
jenazah (joro)

Dokumentasi : Rumah Batak. ~ via Pinterest


2. Rumah Aceh

Gaya rumah tradisional masyarakat Aceh merupakan sebuah contoh

15
percampuran tradisi arsitektural dan langgam bangunan Austronesia dengan tradisi dan
langgam bangunan masyarakat melayu. Bentuk luar rumah merupakan bentuk rumah
Austronesia, yaitu struktur tegak berupa tiang kayu, lantai yang ditinggikan sebagai
ruang keluarga, dan bentuk atap pelana yang meruncing tinggi.

3. Rumah Bali

Ada dua tipe rumah tradisional Bali; tipe rumah kelompok pemukiman masyarakat Bali yaitu

percampuran bentuk tradisi antara fitur lama dan baru. Dan yang kedua yaitu tipe rumah

tradisional Bali Aga yang masih berpegang pada tradisi vernakular dan langggam bangunan

kuno.

Dokumentasi : Rumah Bali. ~ via google

16
4. Rumah Sasak
Masyarakat Sasak mendiami pulau Lombok di bagian timur dan selatan. Contoh
bangunan yang dapat diklasifikasikan sebagai arsitektur vernakular yaitu rumah
tradisional Sasak dan gudang padi atau lumbung.

17
2.4 Studi Literatur

2.4.1 Semarang Tradisional Market Dengan Pendekatan Arsitektur Vernakular.


Perancangan Semarang Tradisional Market ini didasari dengan melakukan Pasar
Wonodri Semarang dan Fresh Market Kota Wisata Cibubur. Serta menimbang dan
membandingkan fasilitas yang ada dengan standart pembangunan prasarana
berupa pasar tradisional dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 37/M-DAG/PER/2017 Tentang Pedoman Pembangunan dan
Pengelolaan Sarana Perdagangan.

Lokasi : Jl. Imam Soeparto, Kelurahan Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota


Semarang, Jawa Tengah.
Luas : 10.368 m2 KDB : 60%
KLB : 0,8 dengan tinggi max 2 lantai
Batas Site:
Barat : Kantor Kecamatan Tembalang
Utara : Koramil Tembalang
Timur : Lahan Kosong
Selatan : Lahan Kosong
Arsitektur Vernakular adalah desain arsitektur yang menyesuaikan iklim
local, ekonomin masyarakat setempat. Dengan karekteristik bangunan vernacular
menggunakan teknik dan material local, dipengaruhi aspek sosial, budaya, dan
(Rapoport, 1969) : a. Bangunannya tidak didukung oleh prinsip dan teori bangunan
yang benar b. Menyesuaikan dengan lingkungannya c. Sesuai dengan
kemampuan masyarakat (teknologi dan ekonomi) d. Menggambarkan budaya
masyarakat (sebagai penanda,symbol) e. Terbuka terhadap sumber daya alam
yang ada.
a. Massa bangunan memiliki bentuk dasar bujursangkar yang
dikembangkan dengan cara menambahkan dan mengurangi
bentuk awal. Bentuk ini dinilai memudahkan gerak dan perpindahan
pengguna. Dan juga secara umum perhatikan bangunan-bangunan
arsitektur vernakular sangat akrab dengan jika di bentuk-bentuk
geometri salah satunya bujursangkar.

b. Terdiri dari massa tunggal karena fungsi bangunan yaitu tempat

18
berinteraksi dalam hal jual beli maka dibutuhkan suatu massa
yang dapat mengakomodir hal tersebut.

c. Beberapa bagian massa dibuat semi terbuka untuk ruang dagang


yang mengadopsi konsep ruang dagang pada umumnya yaitu
terbuka di bagian sirkulasi

d. Agar tetap aman ruang dagang berupa los-los akan dikelilingi


oleh kios-kios dan juga tembok-tembok ataupun panel berlubang
sebagai ventilasi.

e. Vegertasi diluar bangunan dan juga didalam bangunan perlu


sebagai peneduh dan juga menambah estetika dalam bangunan.

f. Parkiran mengelilingi pasar.

Pengaplikasian Arsitektur Vernakular pada atap bangunan menggunakan


bentuk atap Limasan bersusun 2 yang mengadopsi bentuk atap joglo, selain
bentuknya yang dinilai mencerminkan bangunan khas Jawa, atap seperti ini
bersahabat sangat bersahabat diiklim tropis. Bentuk bukaannya mengadopsi ventilasi
krepyak dan juga jendela bentuk menyilang dengan material kayu terinspirasi dari
bangunan bangunan khas Indonesia.
Material yang digunakan didominasi oleh kayu merbau. Kayu merbau dinilai
kayu yang awet, tidak disukai rayap dan juga warnanya hamper sama seperti kayu
jati. Penyelesaian masalah becek, tidak higienis dan tidak aman di
selesaikan dengan pengunaan floor drain sebagai saluran pembuangan air
kotor dari zona dagang. Penyediaan wastafel untuk cuci tangan, tempat sampah
yang akan dikelola oleh pengelola mulai dari pengumpulan sampai pemisahan
ke TPS Anorganik maupun TPS Organik. Keamanan dikontrol langsung oleh
pengelola dan juga terdapat pos pantau yang terdapat diatas sehingga dapat
melihat seluruh lingkungan pasar.

2.4.2 Upaya Desain Bentuk Atap Untuk Menampilkan Lokalitas


Dengan Pendekatan Arsitektur Vernakular Pada Pasar Godean Yogyakarta
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif yaitu dengan penggalian studi preseden dan analisis terhadap

19
jenis-jenis atap tradisional Yogyakarta yang biasa digunakan pada fungsi
bangunan hunian, ibadah, dan keraton yang dapat digunakan untuk fungsi
pasar. Analisis tersebut dikaitkan terhadap tuntutan keruangan dan iklim pada
bangunan pasar tradisional di Yogyakarta.
Berdasarkan studi literatur dari empat jenis atap tradisional
Yogyakarta, terdapat tiga jenis atap yang bisa digunakan pada perancangan
bangunan pasar tradisional yaitu: (a) Panggang Pe; (b) Kampung dan (c)
Limasan Lawakan. Aspek penelitian pada jenis atap ini dilihat dari segi
tipologinya yaitu: (a) bentangan, (b) penghawaan, dan (c) pencahayaan alami.
Sedangkan dari segi vernakular dapat dilihat dari: (a) material lokal, dan (b) respon
terhadap kondisi lokal.
D.1 Panggang Pe
Berdasarkan segi tipologi, jenis atap Panggang Pe (gambar 9)
dapat menampung fungsi sebagai pasar tradisional karena desain penempatan
kolom tidak menganggu fungsi sebagai pasar tradisional yang memiliki tuntutan
kebutuhan ruang yang luas. Namun untuk tampilan bangunan akan menghasilkan
kesan yang monoton dan kurang atraktif karena bentuk masa yang memanjang atau
melebar. Pencahayaan dan penghawaan alami dapat direspon dengan pemberian
bukaan pada sisi dinding yang tegak, sehingga tidak perlu memodifikasi bentuk atap.
Dari segi vernakular penggunaan material lokal dapat digunakan genting tanah liat
dan rangka kuda-kuda dari bambu. Kemiringan atap yang membentuk sudut 35o
berfungsi untuk merespon iklim lokal berupa curah hujan yang cukup tinggi. Tampak
dari jenis atap panggang pe kurang dapat menampilkan nilai lokal daerah Yogyakarta,
karena memiliki bentuk yang sama pada bangunan umumnya.
D.2 Kampung
Berdasarkan aspek tipologi, bentangan jenis atap kampung dapat menampung
kegiatan fungsi pasar. Penghawaan alami dapat direspon oleh jenis atap
kampung karena bentuk atap yang tinggi dapat mengangkat udara panas dan
digantikan dengan udara yang lebih dingin. Untuk fungsi pasar tradisional
yang menuntut bentangan yang lebih besar dibutuhkan void dan sky light agar
penghawaan dan pencahayaan alami dapat optimal. Berdasarkan segi
vernakular, jenis atap kampung dapat menggunakan material lokal pada bagian rangka
nya dan penutup atapnya. Kemiringan jenis atap kampung dapat merespon
kondisi iklim tropis di Yogyakarta. Namun, dalam penggunaan jenis atap

20
kampung banyak ditemui disetiap daerah, sehingga kurang memiliki nilai lokal
Yogyakarta.

D.3 Limasa Lawakan


Berdasarkan segi tipologi, jenisini memiliki atap yangtinggidan bentangan yang
cukup luas sehingga dimungkinkan untuk menampung fungsi pasar. Jenis atap inidapat
meminimalisir suhu panas di dalam bangunan dengan penambahan void. Sedangkan
untuk pencahayaan alami dapat ditambahkan sky light pada atap.
Berdasarkan segi vernakular, jenis penutup atap limasan lawakan dapat
menggunakan material lokal berupa genting tanah liat. Kemiringan jenis atap
ini dapat merespon kondisi iklim daerah Yogyakarta dengan curah hujan yang
cukup tinggi. Tampak dari jenis atap limasan lawakan memiliki bentuk yang
mirip dengan atap joglo yang merupakan atap khas Yogyakarta.

2.4.3 Kajian Arsitektur Vernakular (Ruang dan Struktur) Lampung : Desa


Pekon Hujung Lampung Barat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisa
kualitatif, berupa pemaparan kondisi objek yang diperoleh dari data primer dan data
sekunder, sehingga karakteristik arsitektur vernakular dan perkembangan sejarahnya
teridentifikasi. Metode penelitian diawali dengan melakukan pada bangunan tradisonal
Lampung, kemudian diikuti dengan penggambaran model

Pengukuran 3D dengan menggunakan software untuk menganalisa komposisi


ruang dan bentuk. Selanjutnya penelitian akan dilanjutkan untuk menganalisa organisasi
ruang, kualitas ruang,penggunaan ruang (penggunaan sehari-hari dan saat ada
hajatan) dan kajian tentang elemen sambungan serta struktur bangunan. Berikut
tahapan pengumpulan data:
• Tahapan Persiapan Kegiatan pada tahap persiapan yaitu studi literatur awal untuk
proposal penelitian, penyusunan daftar pertanyaan wawancara, pengumpulan
informasi terkaitan topik penelitian, dan menentukan kebutuhan alat untuk penelitian.

• Tahapan Pengumpulan dan Klasifikasi Data. Data primer merupakan data pokok yang
didapat langsung dari objek penelitian berupa data kualitatif yaitu data yang tidak
diukur secara nominal (data fisik permukiman, yang meliputi karakter visual dan
karakter spasial). Data sekunder merupakan data pelengkap yang berisi hal-hal yang

21
dapat mendukung dan berhubungan dengan data primer, berfungsi mendatangi situs
perkampungan tradisional yang masih ada, melakukan pemotretan dan pengukuran
terhadap objek yang diteliti, serta melakukan wawancara terhadap orang-orang usia
lanjut yang masih mengetahui seluk-beluk arsitektur tradisional tersebut. Data
penelitian berupa foto-foto, sketsa dan hasil wawancara, dianalisis secara tipologi,
diinterpretasi, serta dibandingkan dengan literatur yang sudah ada, dinarasikan secara
kualitatif dan disusun dalam bentuk buku laporan penelitiankegiatan pada tahap
ini terdiri dari studi literatur, observasi lapang (pemotretan, pengukuran, dan plotting
elemen permukiman), serta wawancara.
Desa Pekon Hujung merupakan pekon yang terbentuk pada tahun 1973. Jauh
sebelum berdirinya desa ini awalnya terdapat Pekon Tuha namun pada tahun
1950-an penduduk pindah ke Pekon Ginting/Pekon Geting yang artinya waswas.
Setelah itu terbentuklah Pekon Bumi Agung dan kemudian Pekon Tipik yang artinya
ditinggal. Barulah pada tahun 1973, Pekon Hujung dan Pekon Luas terbentuk. Desa
Pekon Hujung merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Belalau

Lampung Barat dengan dengan kondisi udara relatif lebih dingin berada
pada kisaran 20 sampai 24 derajat Celsius. Rumah tradisional yang diteliti
merupakan rumah yang berada di Desa Pekon Hujung dan sudah dihuni selama lima
generasi. Rumah tradisonal yang tersisa hanya empat rumah, dua rumah masih
dengan kondisi atap menggunakan penutup atap ijuk dan dua rumah sudah berganti
dengan penutup atap dari seng.
Rumah tradisonal yang tersisa masih dihuni oleh penduduk asli
yang penghasilan utamanya dari berkebun kopi, dan masih berfungsi
dengan baik walaupun sudah dihuni oleh lima generasi. Rumah yang masih
menggunakan penutup atap ijuk memang rawan bocor dan dari wawancara
dengan penghuni mereka berencana mengganti dengan penutup atap dari
metal karena saat ini kesulitan untuk menemukan atap yang terbuat dari ijuk,
dan juga penutup atap ijuk lebih cepat bocor dan kondisi ruang dalam rumah
cenderung lembab.

22
Susunan Ruang Dalam

Bentukan dasar denah rumah pada awalnya berbentuk persegi dimana


pembangunan rumah biasanya dilakukan bertahap dan kemudian mengalami
penambahan ke belakang atau ke depan atau ke samping. Penambahan ini yang
akhirnya membentuk pola denah menjadi persegi panjang dan berbentuk L atau T.
Penambahan didasarkan pada kebutuhan ruang yang diakibatkan oleh bertambahnya
penghuni dalam rumah.

23
Bentuk massa awal yang berupa persegi yang merupakan dasar
penyebutan rumah tradisional menjadi Lamban Pesagi. Perubahan bentuk
massa utama juga mempengaruhi perubahan bentuk atap yang dasarnya
berbentuk lancip. Selain diakibatkan oleh penambahan bentuk dikarenakan
penambahan penghuni, perubahan bentuk massa utama juga dipengaruhi
oleh sistem pembangunan bertahap diakibatkan kemampuan ekonomi pemilik
rumah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala pekon ditemukan bahwa bentukan
atap limas merupakan bentukan awal yang dibuat oleh nenek moyang beliau. Bentukan
atap yang berbeda dengan bentukan awal atap yang sebelum-sebelumnya,
menjadikan nenek moyang beliau didenda tujuh kwintal kopi karena membuat bentukan
atap yang berbeda. Seiring dengan perkembangan perubahan denah akibat kebutuhan
ruang yang meningkat, mengakibatkan atap rumah tradisional yang ada menjadi
berbentuk limas.

Pembagian rumah dimulai dari beranda yang berada di sisi depan rumah.
Beranda biasanya digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan acara pernikahan
dan acara khitanan. Setelah itu terdapat ruang tidur yang diperuntukkan bagi lajang
sehingga disebut sebagai kamar lajang. Kamar ini juga digunakan oleh pengantin baru
selama seminggu setelah pernikahan, kemudian setelah itu akan pindah ke kamar
utama yang ada di tengah ruangan. Kamar tengah merupakan kamar utama untuk orang
tua pemilik rumah dan anak tertua pemilik rumah setelah menikah. Pada ruang antara
dua kamar utama biasanya digunakan oleh anak kecil dan remaja untuk duduk saat ada
tamu atau ada acara di rumah tersebut.

24
Bagian tengah rumah merupakan inti ruangan sebagai tempat berkumpul di
dalam ruangan. Pada bagaian tengah rumah terdapat kolom utama yang disebut Sangai
Batin. Saat ada tamu atau ada acara di dalam rumah maka pemilik rumah akan duduk
di dekat kolom Sangai Batin. Tangga berada disisi kanan rumah karena menurut tradisi
jaman dulu posisi tetua pemilik rumah berada pada sisi kiri rumah sehingga tamu masuk
ke dalam rumah melalui sisi kanan. Sisi kiri rumah lebih diperuntukkan bagi usia yang
lebih tua sedangkan usia yang lebih muda berada pada sisi kanan rumah. Gambar 4
menunjukkan ruang-ruang di rumah tradisional Pekon Hujung.

Pada bagian ruang dalam rumah secara keseluruhan terkesan gelap dan lembap
akibat tidak terlalu banyak bukaan. Hal ini diakibatkan oleh hanya terdapat beberapa
jendela kecil yang dapat memasukkan cahaya di siang hari. Pemberian bukaan yang
tidak terlalu banyak juga didasari oleh suhu di daerah tersebut yang relatif dingin
terutama pada malam hari.

25
Dapur masih menggunakan tungku api. Pada bagian ruang tengah dan dapur
diberi dinding tetapi tidak menutup sampai atas. Terdapat celah untuk melihat dari ruang
tengah ke dapur. Sistem dinding ini sudah digunakan sejak dahulu, hal ini sekarang
banyak digunakan pada desain interior antara ruang tengah dan dapur.

Struktur dan Konstruksi Ruang

Sistem struktur rumah tradisional Pekon Hujung menggunakan sistem struktur


meja. Setiap kolom diikat kuat dengan balok sehingga struktur kaku. Ketika terjadi

26
gempa maka keseluruhan struktur akan berpindah atau bergeser dari umpak. Setelah
itu kemudian rumah dapat dikembalikan lagi ke atas umpak.

Pada awalnya konstruksi rumah panggung menggunakan umpak yang relatif


tinggi namun seiring perjalanannya ketinggian umpak semakin rendah bahkan sekarang
hanya ditaruh diatas beberapa bongkahan batu saja. Jika terjadi gempa maka kolom
hanya bergeser saja dari atas bongkahan batu.

Konstruksi rumah menggunakan sistem pasak tanpa paku.


Sambungan kolom dan balok menggunakan sistem melubangi kayu yang
kemudian diperkuat dengan menggunakan pasak.

27
Sistem pasak menggunakan sistem coak pada bagian kayu yang kemudian
dikunci oleh pasak yang terbuat dari kayu. Pada bagian ujung kayu kemudian diberi
sedikit ornamen dengan memberikan bentuk geometri sederhana pada bagian ujung
kayu.

Struktur lantai dua tidak menerus dari lantai satu. Hal ini terlihat dari
peletakan kolom yang tidak menerus dari lantai satu ke lantai dua. Hal ini
kemungkinan dikarenakan pembangunan yang dilakukan secara bertahap.
Namun belum ditemukan dengan jelas sistem peletakan kolom antara lantai
satu dengan lantai dua.

28
Sambungan kolom dan balok tidak menerus juga mungkin dipengaruhi oleh
membangunan yang memiliki sistem bertahap, dan juga karena memang
sistem struktur di rumah tradisonal Pekon Hujung menggunakan sistem struktur meja.

2.4.4 Studi Kasus : Bola Soba Di Kota Watampone,Sulawesi Selatan )

Rumah bangsawan Bugis Bone (Bola Soba) yang terletak di Jalan Latenritatta
disebut Bola Soba atau Saoraja. Arsitekturnya hampir mirip dengan rumah
adat Kelurahan Tanete Riattang Kecamatan Kota Watampone, Sulawesi
Selatan yang Gowa yakni Balla Lompoa. Bola Soba atau dalam bahasa Indonesia
yang diartikan lampau. Bangunan tradisional Bugis bermaterial kayu ini berdiri di

29
atas lahan seluas hampir 0,5 hektar di ruas Jalan Latenritatta, Watampone.
Kokohnya bangunan ini menandakan bahwa masyarakat Bone pada masa lampau
telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang mumpuni.
Bola Soba telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Awalnya, terletak di
Jalan Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati Bone.
Selanjutnya, dipindahkan ke Jalan Veteran dan terakhir di Jalan Latenritatta sejak tahun
1978. Pemugaran dilakukan berturut-turut tahun 1976-1978,1979-1980 dan 1981-1982.
Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Bola Soba didesain untuk mendekati bangunan
aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan
bahan maupun ukurannya aslinya.

2.4.4.1 Eksplorasi Studi Kasus


Ada 3 tahapan eksplorasi berkaitan dengan proses pendataan, meliputi :
1. Eksplorasi vernakular : Penelusuran dan investigasi di lapangan untuk tujuan
memilah dan menetapkan bangunan Bola Soba sebagai sampel penelitian berdasar
parameter (ciri umum) vernakular. Tolok ukur lain adalah riwayat obyek dan tampakan
fisik terutama pada konstruksi elemen-elemen pembentuk proporsinya.
2. Eksplorasi visual : Pendataan detil obyek melalui pemotretan keseluruhan obyek
maupun parsial (eksterior dan interior), terutama dari sisi konstruksi elemenelemen
bangunan. Tujuannya guna memperoleh informasi otentik sebagai acuan proses
konversi dan rekonstruksi ke format digital.
3. Eksplorasi Numerik : Pengukuran detil komponen per komponen properti konstruksi
pada gugus obyek (sumbu x,y dan z), untuk memperoleh informasi berupa ukuran-
ukuran (dimensi). Di samping membantu saat rekonstruksi menjadi gambar digital
(terskala), juga menjadi alat analisis untuk pencarian proporsinya. Sumbu x dan y
mewakili figurasi denah, sedangkan sumbu z mewakili tampak dan potongan.

2.4.4.2 Konversi Digital


Upaya me-rekonstruksi-kan hasil rekaman eksplorasi data visual dan numerik ke
format digital (gambar dengan AutoCAD) terskala, untuk digunakan sebagai acun dasar
proses analisis. Analisis Manual dan Digital

1. Analisis manual : proses lanjut untuk perhitungan perbandingan antar rasio,


berdasar parsial tangkapan gugus obyek hasil analisis digital. Proses perhitungannya
dibantu perangkat lunak Microsoft Excel agar bisa disajikan dalam bentuk tabel

30
dan grafik.
2. Analisis digital : proses awal penentuan mode/frekuensi dari rasio yang
dihasilkan dengan bantuan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service
Solution).

2.4.5 Kajian Arsitektur Vernakular Pada Bangunan Di Kampung Mahmud


Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif secara
kualitatif dengan mengadakan survey kelapangan guna memaparkan dan menganalisa
tipologi dan perkembangan tipologi bangunan. Tahapan yang dilakukan meliputi
penetapan pembahasan, pengumpulan data, dan pengolahan data untuk
menghasilkan suatu kesimpulan. Pembahasan penulisan ini sebagai batasan dari
bangunan di Kampung Mahmud. Adapun metoda pengumpulan data dilakukan
dengan mencari studi literatur tentang masalah yang akan dibahas, yaitu : Teori
Arsitektur Vernakular, Teori Tipologi, dan Teori Transformasi.
Sedangkan data survey mengenai perkampungan adat di Kampung Mahmud
diperoleh dengan melakukan wawancara dan dokumentasi lapangan. Secara
administratif Kampung Mahmud termasuk ke dalam wilayah desa Mekarrahayu,
Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Lokasi Kampung Mahmud berada di RW
04, terdiri dari 2 RT yaitu RT 01 dan RT 02. Lokasi Kampung Mahmud terpisah dengan
perkampungan lainnya. Batas-batas yang mengelilingi Kampung Mahmud adalah
Sungai Citarum dengan batas-batas sebagai berikut:
Barat : Sungai Citarum Lama
Selatan : Sungai Citarum Lama
Timur : Desa Balandongan
Utara : Sungai Citarum baru
2.4.5.1 Tipologi Bangunan

Kampung Mahmud mempunyai sejarah sebagai perkampungan yang


mengasingkan diri dari kejaran penjajah Belanda. Sejarah ini memberikan
pengaruh terhadap bentuk bangunan yang menjadi ciri Kampung Mahmud, nilai-
nilai arsitektur yang dibentuknya merupakan merupakan nilai arsitektur yang
menonjolkan nilai keindahan. Pada awalnya kawasan Kampung Mahmud
terletak pada sebuah delta sungai Citarum. Kawasan ini merupakan suatu
bentukan dari tanah rawa yang kemudian ditimbun tanah, sehingga menjadi
lahan perkampungan. Keadaan tanah yang masih labil, memungkinkan bahwa

31
hanya rumah panggung yang dapat berdiri di lokasi tersebut. Keadaan alam
yang subur memungkinkan pohon kayu dan bambu tumbuh di kawasan tersebut
yang dapat digunakan untuk material bangunan. Salah satu ciri khas bangunan
rumah di Kampung Mahmud adalah rumah panggung berbentuk L, walaupun
ada pula yang berbentuk persegi panjang. Ukuran bangunannya relatif besar,
dan dihuni keluarga besar. Rumah asli di Kampung Mahmud, mempunyai ruang
depan (tepas), tengah rumah (tengah imah), kamar, dapur, dan goah. Umumnya
rumah panggung tersebut menggunakan kayu sebagai struktur utama dan
struktur atap, bambu sebagai dinding bilik dan lantai palupuh. Atap
bangunannya berbentuk pelana dan perisai, dengan penutup atap dari genting.
Tipe atap pelana biasanya terdapat pada jenis bangunan publik (kios, jamban,
kandang dan lain-lain). Sedangkan atap perisai biasanya terdapat pada bangunan
hunian dan peribadahan.

32
Tipologi bangunan dipengaruhi oleh beberapa aspek vernakular yaitu:
a) Iklim mengakibatkan bentuk atap pada setiap bangunan di Kampung Mahmud
berbentuk atap miring ini di akibatkan oleh iklim sekitar,
b) Budaya masyarakat Kampung Mahmud yang sangat menghormati unsur
budaya, dapat dilihat dari bangunan rumah yang memiliki kesamaan bentuk dan
material yang seragam, memakai bahan kayu dan bambu,
c) Lingkungan (Alam) yaitu lokasi Kampung Mahmud yang dahulunya rawa
yang di timbun tanah, keadaan tanah yang labil itu tidak memungkinkan
untuk membangun rumah dari bahan material tembok yang memungkinkan
hanya rumah bergaya panggung. Tidak memungkinkan membuat sumur di tanah
yang masih labil yang akan mengakibatkan longsor, masyarakat Kampung
Mahmud memanfaatkan sungai citarum menjadi sumber air bersih untuk keperluan
hidup masyarakatnya. Maka dari itu setiap tipologi rumah di Kampung Mahmud
tidak terdapat toilet dan sumur,
d) Teknik membangun yang dianut masyarakat Kampung Mahmud memilih
kayu dan bambu menjadi bahan utama untuk bangunan rumahnya. Sehingga
pada tipologi bangunan di Kampung Mahmud menggunakan bahan material
tersebut. Masyarakat Kampung Mahmud dalam membangun suatu bangunan
di kerjakan oleh masyarakat Kampung Mahmud sendiri maka dari itu

33
mengakibatkan terbentuknya tipologi yang mirip,
e) Hukum adat yang berlaku pada bangunan di Kampung Mahmud, di haruskan
rumah yang berpanggung atau berkolong, memakai bahan material yang ramah
lingkungan, tidak boleh memakai material yang mewah dan tidak boleh
membangun unsur yang kotor seperti toilet dan tidak boleh membuat sumur,
f) Religi (kepercayaan) masyarakat Kampung Mahmud percaya akan kayu dan
bambu memiliki kekuatan magis. Sehingga bahan utama yang dipakai setiap bangunan
di Kampung Mahmud adalah kayu dan bambu,
g) Hubungan sosial masyarakat Kampung Mahmud banyak, ruang tersebut
biasanya di gunakan untuk kegiatan keagaman yang rutin oleh masyarakat Kampung
Mahmud. sangatlah kental dengan kepercayaan agamanya, khususnya agama
islam. Besaran ruang tengah (tengah imah) memiliki besaran yang cukup
menampung orang.

2.4.5.2 Perkembangan Tipogi


Kampung Mahmud ternyata tidak dapat mempertahankan nilai-nilai budaya dan
aturan adat istiadatnya, mereka lebih mengikuti perkembangan jaman dan arus informasi
yang terus mendesak perkembangan pada bangunan dan perkampungan mereka. Hal itu
disebabkan karena manusia adalah mahkluk yang mempunyai sifat rasa ingin tau yang
lebih. Kebudayaan luar yang terjadi menghasilkan benturan-benturan nilai yang memiliki
dampak langsung terhadap nilai kebudayaan yang ada di Kampung Mahmud. Nilai-nilai
yang ada kini tercermin dari bentuk rumah tinggal masyarakatnya, pada akhirnya tempat
tinggal mereka menghasilkan nilai-nilai baru.
Masyarakat Kampung Mahmud sekarang sudah berani memakai kaca pada
jendela rumah mereka sebagai asesoris rumahnya. Sudah banyak pula rumah-rumah
berdiri megah yang menggunakan bahan material dinding setengah meninggalkan nilai
budaya dan aturan adat di Kampung Mahmud yaitu hampir seluruh masyarakat
Kampung Mahmud sudah mempunyai toilet dan sumur disetiap rumahnya, sebagai
sumber air bersih untuk keperluan hidup masyarakan di bata dan ada juga yang
sudah meninggalkan bangunan panggung. Hal lain yang Kampung Mahmud, di akibatkan
sumber air pada waktu dulu sudah tercemar limbah pada sungai citarum yang kini tampak

34
hitam. Nilai-nilai kebudayaan dan aturan adat hilang sejak kurang lebih tahun 1987 sampai
sekarang.

Perkembangan tipologi bangunan di Kampung Mahmud dipengaruhi oleh


beberapa aspek, yaitu:

35
a) Aspek iklim dimana pengaruh iklim pada bentuk bangunan di Kampung
Mahmud dapat dilihat dari tipologi bangunan yang memakai atap miring
menggunakan genteng tanah liat dan sebagian telah menggunakan atap asbes dan
bahan atap pabrikan yang berkembang saat ini dapat dilihat pada
bangunanan dan sampai sekarang pun masih menggunakan atap miring.
Namun dalam pemakaian bahan penutup atap sudah tidak menggunakan
rumbia, kebanyakan tipologi 1 (gbr 4.4), tipologi 2 (gbr 4.5), tipologi 3 (gbr 4.6),
b) Aspek budaya yang memberi pengaruh budaya luar yang mengakibatkan budaya
yang ada di Kampung Mahmud terkikis. Bangunan saat ini sudah tidak memiliki
kesamaan bentuk, material yang seragam dan ada pula bangunan yang tidak
bergaya panggung lagi, dapat dilihat pada bangunanan tipologi 1 (gbr 4.4),
tipologi 2 (gbr 4.5), tipologi 3 (gbr 4.6),
c) Aspek lingkungan dan bahan (alam) setelah sungai citarum tidak lagi bersih
dan tanah mulai mengeras masyarakat Kampung Mahmud sudah berani
membangun rumah yang tidak bergaya panggung, memakai material tembok dan
membuat sumur dan toilet. Perkebunan yang dulunya subur sudah mereka jual
pada orang luar Kampung Mahmud. Maka dari itu masyarakat Kampung
Mahmud harus membeli bahan material bangunan dari luar daerah Kampung Mahmud,

d) Aspek teknik membangun saat ini masyarakat Kampung Mahmud sudah


meninggalkan kayu dan bambu pada bangunannya dan di ganti oleh tembok
untuk dinding bangunannya dan lantai ubin. Adapun bangunan yang masih
memakai material kayu dan bambu pada bagian depan tetapi bagian belakang
yang sifatnya basah sudah memakai dinding tembok dan lantai ubin. Pembuatan
rumahnya pun sudah tidak dilakukan oleh masyarakat sekitar tetapi memanggil
orang luar untuk pengerjaan rumahnya, maka dari itu bentuk dan materialnya pun sudah
tidak seragam lagi,

e) Aspek hukum adat saat ini hukum adat yang ada di Kampung Mahmud sudah
terkikis dengan perkembangan jaman yang sudah maju. Masyarakat Kampung
Mahmud sudah menghiraukan hukum adat yang dibuat oleh karuhunnya. Sudah
banyak pula rumah-rumah yang menggunakan bahan material dinding tembok
dan ada juga yang sudah meninggalkan bangunan panggung. Hal lain yang
mengakibatkan hilangnya hukum adat di Kampung Mahmud yaitu hampir seluruh
masyarakat Kampung Mahmud sudah mempunyai toilet dan sumur disetiap

36
rumahnya, sebagai sumber air bersih untuk keperluan hidup masyarakan
di Kampung Mahmud,
f) Aspek religi (kepercayaan) masyarakat Kampung Mahmud sudah tidak
mempercayai lagi dengan kayu yang memiliki kekuatan magisnya, material
yang digunakan oleh masyarakat Kampung Mahmud sudah memakai material
mewah seperti tembok dan lantai keramik,
g) Aspek hubungan sosial masyarakat sudah banyak rumah yang bergaya modern
tetapi masyarakat Kampung Mahmud masih mempertahankan ruang tengah
yang cukup besar untuk menampung orang banyak dalam kegiatan religi
dan perkumpulan acara sosial masyarakat yang terdapat pada bangunanan
tipologi 1 (gbr 4.1), tipologi 2 (gbr 4.2), tipologi 3 (gbr 4.3).

Dengan adanya studi literatur ini diharapkan perancang dapat melihat


perbedaan dari masing masing studi literatur yang telah dilakukan perancang
sebelumnya. Selain itu, diharapkan juga dalam perancangan selanjutnya dapat
memperlihatkan kekurangan dan juga kelebihan antara perancangan sebelumnya
dengan yang akan dilakukan. Dari beberapa perancangan mengapa berbeda
dikarenakan perancangan dilakukan dimasing
masing tempat yang berbeda sehingga menunjukkan karkateristik masing masing
perancang. Sedangkan untuk kesamaan perancangan diatas dan perancangan
yang akan dilakukan adalah perancangan yang berfokus kepada pengembangan pasar
tradisional.

2.5 Ciri-ciri Pasar Tradisional


Menurut Permen No.20 tahun 2012, pasar tradisional memiliki beberapa ciri-ciri
sebagai berikut:

1) Dimiliki, dibangun, dan dikelola oleh pemerintah daerah atauswasta.

2) Adanya sistem tawar-menawar antara penjual dan pembeli.

3) Terdapat berbagai macam jenis usaha yang menyatu pada lokasi yang sama.

4) Sebagian besar barang dan jasa yang dijual berbahan lokal.

37
Ciri‐ciri pasar tradisional adalah sebagai berikut:
1. Adanya sistem tawar menawar antara penjual dan pembeli. Tawar
menawar mampu memberikan dampak psikologis yang penting bagi
masyarakat. Setiap orang yang berperan pada transaksi jual beli akan
melibatkan seluruh emosi dan perasaannya, sehingga timbul interaksi sosial
dan persoalan kompleks. Penjual dan pembeli saling bersaing mengukur
kedalaman hati masing‐ masing, lalu muncul pemenang dalam
penetapan harga. Tarik tambang psikologis itu biasanya diakhiri
perasaan puas pada keduannya. Hal ini yang dapat menjalin hubungan sosial
yang lebih dekat. Konsumen dapat menjadi langganan tetap stan pada
pasar tradisional. Kelancaran komunikasi sosial antar pembeli dan
penjual dalam pasar tradisional tersebut menunjang ramainya stan
tersebut. Maka, dibutuhkan ruang sirkulasi berupa ruang pedestrian
dengan lebar yang cukup. (Kasdi,1995)
2. Ciri pasar berdasarkan pengelompokan dan jenis barang pasar, yakni:
Lilananda (1997), Jenis barang di pasar umumnya dibagi dalam empat kategori:
a. Kelompok bersih (kelompok jasa, kelompok warung, toko)

b. Kelompok kotor yang tidak bau (kelompok hasil bumi dan buah‐ buahan)

c. Kelompok kotor yang bau dan basah (kelompok sayur dan bumbu)

d. Kelompok bau, basah, kotor, dan busuk (kelompok ikan basah dan daging)
3. Ciri pasar berdasarkan tipe tempat berjualan Lilananda (1997), Tempat
berjualan atau lebih sering disebut stan, dipilih dengan cara undian (stan yang ada adalah
stan milik sendiri dengan membayar biaya retribusi per m2 /hari sesuai dengan biaya yang
telah ditetapkan). Jenis barang yang telah dikelompokkan, dilihat jenis barang dagangan
apa yang paling banyak diperdagangkan dan paling diminati. Bagian atau blok‐blok yang
telah ditetapkan tempat‐tempat yang strategis diutamakan diundi dahulu untuk pengurus
setiap bagian, setelah itu sisanya diundi untuk pedagang lainnya.

38
2.6 Macam Pengguna Pasar

Pada Pasar Tradisional Selopuro terdapat 4 (empat) macam pengguna tetap yang
dapat kita temui yaitu para pedagang, pembeli, pengunjung, dan staf pengelola pasar. Pada
pasar ini pembeli dan pengunjung dapat dibedakan definisinya karena tidak semua
pengunjung pasar melakukan kegiatan beli-membeli. Macam-macam pengguna dan
definisinya antara lain:
a. Pedagang

Pedagang adalah pengguna inti dari pasar yang sekaligus merupakan penggerak dari
kegiatan pasar. Pedagang merupakan orang yang menjalankan kegiatan
menjual/berdagang. Pada Pasar Tradisional Selopuro terdapat 3 jenis pedagang antara lain
pedagang produk kering (pakaian, kelontongan, snack kering, dan lain-lain), pedagang
produk basah (daging-daging dan sayuran), dan terakhir adalah pedagang klitikan (barang
bekas, komponen listrik, komponen kendaraan, dan barang barang interor).
b. Pembeli
Pembeli merupakan orang yang melakukan kegiatan membeli barang-barang yang
disediakan oleh para pedagang di pasar. Karena Pasar Tradisional Selopuro merupakan
pasar terbesar di kecamatan selopuro, maka terdapat 2 (dua) jenis pembeli yaitu pelanggan
lokal (pelanggan yang notabennya asli orang selopuro) dan pelanggan non local (pelanggan
dari lain desa sekitar selopuro)
c. Pengunjung
Pengunjung merupakan orang yang mendatangi pasar tanpa melakukan kegiatan
jual-beli barang dan biasanya hanya berkunjung. Jenis pengunjung yang ada pada Pasar
Tradisional Selopuro dapat berupa warga setempat dan warga sekitar selopuro. Kegiatan
yang dilakukan oleh pengunjung didominasi oleh para warga setempat yang sering
berkumpul di area jual bei hewan unggas.
d. Pengelola
Pengelola pasar merupakan orang yang mengelola semua kegiatan yang
berlangsung di pasar. Mulai dari pendataan pedagang, pendataan kios, kegiatan kebersihan
yang dilakukan oleh staf cleaning service, keamanan yang dilakukan security dan beberapa
juru parkir, dan lain-lain. Biasanya semua anggota pengelola pasar diketuai oleh lurah pasar
yang bertugas untuk melaporkan kegiatan pasar pada Dinas Pengelolaan Pasar.

39
2.6.1 Kategori Pembeli Pasar
Pembeli pasar sendiri mempunyai beberapa kategori (diluar pengunjung). Kategori ini
dibagi menurut bagaimana waktu kunjung dan cara berkunjung para pembeli yang nantinya
akan berpengaruh kepada bagaimana dampaknya kepada kualitas ruang yang dibutuhkan
(Hermanto, 2008).
1. Pembeli yang mengutamakan kenyamanan, keterbatasan waktu untuk berbelanja dan
bagaimana memutuskan dimana akan berbelanja dan cara untuk menyeleksi barang
kebutuhan yang cepat tersaji.
2. Pembeli rutin, merupakan kategori pengunjung yang memiliki waktu rutin untuk
mengunjungi pasar. Disini akan sangat diperlukan faktor kenyamanan namun tetap
mengutamakan faktor harga barang yang akan dibeli.
3. Pembeli tidak tetap, mereka hanya akan datang ke pasar untuk membeli barang
tertentu. Maka faktor kenyamanan ruang tidak terlalu diperlukan.
4. Pembeli yang bertujuan untuk berekreasi, bagi pembeli seperti ini faktor yang
dibutuhkan adalah berupa tingkat keunikan dan kualitas barang.

2.6.2 Pola Sirkulasi Pasar

Bangunan pasar juga merupakan salah satu tempat yang memilliki kesamaan jenis
sirkulasi dengan pusat perbelanjaan lainnya. Jika dilihat dari pola sirkulasi pusat
perbelanjaan, terdapat 3 (tiga) jenis pola penataan ruang yang mempengaruhi sirkulasi
pengunjung, yaitu I,L, dan T. Pola sirkulasi yang baik adalah yang dimana dapat
mengarahkan pengunjung agar arah belanja menjadi lebih tertib dan tidak berantakan.
Berikut beberapa pola sirkulasi menurut Nadine Beddington pada buku nya yang berjudul
“Design for Shopping Center” tahun 1989:
1. Pola 1 (Banyak Koridor)

Pada pola ini (Gambar 2.6.3.1) dapat dilihat bahwa banyak koridor yag
diciptakan dari penataan ruang yang bagian tengah. Koridor bagian tengah
membuka jalan menuju area toko-toko yang bagian luar. Pada pola ini terdapat

40
kekurangan yaitu dimana bagian toko yang di tengah dianggap lebih strategis dan
lebih menonjol.

Gambar : 2.6.3.1 Sirkulasi Banyak koridor

Sumber : Buku Redesain Pasar Niten Bantul


2. Pola 2 (Plaza)

Dapat dilihat pada Gambar 2.6.3.2 bahwa pada pola ini terdapat satu ruang kosong
yang luas dan berpusat pada bangunan yaitu berupa void atau ruang terbuka. Void tersebut
difungsikan agar menjadi pusat orientasi sirkulasi pengunjung di dalam bangunan dan dapat
menjadi pembatas area pertokoan. Pada bagian void ini bisa digunakan sebagai area taman
ataupun tangga (jika memiliki 2 lantai). Untuk sistem sirkulasi antar toko tetap menggunakan
pola sirkulasi koridor.

41
Gambar : 2.6.3.2 Gambar Sirulasi Plaza

Sumber : Sumber : Buku Redesain Pasar Niten Bantul

3. Pola 3 (Mall)

Pola ini (Gambar 2.6.3.3) memfokuskan arah sirkulasi hampir ke semua bagian
pertokoan. Di bagian tengah terdapat 2 (dua) buah void yang dapat memecah orientasi
sirkulasi pengunjung untuk dapat jalan kesemua arah toko. Pola seperti ini cocok dijadikan
sebagai bagian sirkulasi utama dari sebuah bangunan karena dapat menghubungkan dua
titik area pertokoan.

Gambar : 2.6.3.3 Gambar Sirulasi Mall

Sumber : Sumber : Buku Redesain Pasar Niten Bantul

2.7 Klasifikasi Pasar

Menurut Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan Sarana Perdagangan yang


ditetapkan oleh Kementrian (61/M-DAG/per8/2015), terdapat klasifikasi bangunan pasar
berdasarkan luasan bangunan pasar dan jumlah pedagang yang ada, yaitu:
1. Tipe A Kriteria:

a. Memiliki luas lahan minimal 5000 m2

b. Memiliki jumlah pedagang minimal 750 orang

42
c. Jam operasional harian

d. Berlokasi di ibukota provinsi/kabupaten/kota

2. Tipe B Kriteria:

a. Memiliki luas lahan minimal 2000 m2

b. Memiliki jumlah pedagang minimal 150 orang

c. Jam operasional minimal 3 kali dalam seminggu

d. Berlokasi di ibukota kabuaten/kota

3. Tipe C Kriteria:

a. Memiliki luas lahan minimal 500 m2

b. Memiliki jumlah pedagang minimal 50 orang

c. Jam operasional minimal 2 kali dalam seminggu

d. Berlokasi di ibukota kecamatan/desa

4. Tipe D Kriteria:

a. Memiliki luas lahan minimal 500 m2

b. Memiliki jumlah pedagang minimal 50 orang

c. Jam operasional minimal 1 kali dalam seminggu

d. Berlokasi di ibukota kecamatan/desa

2.8 Kriteria Pasar

Secara umun terdapat 2 (dua) kriteria pasar menurut Dinas Pengelolaan Pasar Kota
Yogyakarta Tahun 2009, yaitu:
1. Kriteria sesuai kelasnya

a. Kelas I Fasilitas yang tersedia harus lengkap mulai dari tempat parkir,
loadingunloading barang, tempat promosi, pelayanan kesehatan, kantor pengelola, tempat

43
ibadah, WC, sarana pengelolaan kebersihan, pengamanan, sarana penerangan
umum, sarana air bersih, dan sarana listrik. Dan semua fasilitas itu harus ternaungi didalam
sebuah lahan dengan luas minimal 2000 m2.
b. Kelas II

Pasar yang tergolong kelas dua merupakan pasar yang terdapat fasilitas berupa tempat
parkir, tempat ibadah, tempat promosi, pelayanan kesehatan, kantor pengelola, sarana
pengaman, sarana air bersih, sarana listrik, dan WC. Luas lahan minimal 1500 m2.
c. Kelas III

Pasar yang digolongkan sebagai pasar kelas III yaitu pasar yang fasilitasnya berupa tempat
promoi, kantor pengelola, tempat ibadah, WC, sarana pengaman, sarana air bersih, dan
instalasi listrik. Semua fasilitas itu harus ternaungi didalam sebuah lahan dengan luas
minimal 1000 m2 .
d. Kelas IV

Fasilitas yang dibutuhkan sebuah pasar agar tergolong pasar kelas empat adalah pasar itu
harus memiliki fasilitas berupa tempat promosi, WC, layanan pengaman, kantor pengelola,
sarana air bersih, penerangan, dan instalasi listrik dengan luas dasaran minimal 500 m2 .
e. Kelas V

Untuk kategori pasar kelas 5, terdapat dua fasilitas yang dibutuhkan yaitu berupa sarana
pengaman dan pengelola kebersihan dengan luas dasaran minimal 50 m2 .

2. Kriteria sesuai jenis barang dagangan

a. Golongan A

Barang-barang yang dijual pada pasar golongan A berupa logam mulia, batu mulia,
kebutuhan sehari-hari, tekstil, dan komponen kendaraan bermotor.
b. Golongan B

Barang yang dijual pada pasar bergolongan B lebih beragam seperti pakaian, pakaian adat,
pakaian pengantin, aksesoris, sandal dan sepatu, souvenir, kebutuhan sehari-hari,
kelontong, obat-obatan, barang pecah belah, kacamata dan arloji, barang-barang bekas,
daging, sayur, dan bumbu-bumbu dapur.
c. Golongan C

44
Barang : beras, ketan, palawija, jagung, ketela, terigu, gula, telur, minyak goreng, susu,
garam, bumbu, berbagai jenis maknan, melinjo, kripik emping, kering-keringan mentah, mie,
teh, kopi, buah-buahan, kolang kaling, sayur mayur, jajanan, bahan jamu tradisonal,
tembakau, kembang, daun, hewan peliharaan, makanan hewan, sangkar, obat-obatan
hewan, tanaman hias, pupuk, pot, ikan hias, akuarium, elektronik baru/bekas, onderdil
baru/bekas, alat pertukangan baru/bekas, alat pertanian baru/ bekas, kerajinan
anyaman,gerabah, ember, kompor minyak, sepeda baru/ bekas, goni, karung gandum,
majalah baru/bekas, koran, arang, dan yang dipersamakan. Pada golongan C juga terdapat
jasa-jasa yang ditawarkan seperti jasa menjahit, tukang cukur, salon, dan sablon.
d. Golongan D

Pasar yang dikategorikan bergolongan D adalah pasar yang menjual barang-barang berupa
barang bekas seperti kertas bekas, kardus bekas, rongsokan, dan sejenisnya.

2.9 Penggolongan Pasar

Pasar digolongkan dalam beberapa macam berdasarkan jenis komoditas, ukuran


pasar, fungsi, kegiatan dan waktu. Berikut beberapa jenis atau tipe pasar :
2.9.1 Penggolongan pasar secara umum

a. Pasar homogen, yaitu pasar yang menjual hanya satu jenis barang dagangan, misal :
pasar buah, pasar ikan
b. Pasar heterogen, yaitu pasar yang menjual lebih dari satu jenis barang dagangan,
seperti berbagai macam kebutuhan sandang pangan
2.9.2 Penggolongan pasar secara khusus

a. Pasar menurut kegiatan

- Pasar eceran, yaitu pasar dimana permintaan dan penawaran barang atau pemberian
jasa secara eceran atau retail
- Pasar grosir, yaitu permintaan dan penawaran barang atau pemberian dalam jumlah
besar
- Pasar induk, yaitu pasar yang menjadi pusat pengumpulan, pelelangan, penyimpanan
bahan-bahan pangan untuk disalurkan kepada grosir atau pusat pembelian.
b. Pasar menurut lokasi dan skala pelayanan

45
- Pasar lingkungan Jenis pasar yang memiliki cakupan wilayah layanan dalam skala
lingkungan seperti dalam lingkungan desa atau perumahan
- Pasar wilayah Jenis pasar yang memilki cakupan wilayah layanan dalam skalah wilayah
yang lebih luas dari skala lingkungan, seperti pasar pada skala kecamatan

- Pasar kota Jenis pasar yang memiliki cakupan layanan yang cukup luas yaitu skala kota,
biasanya pasar jenis ini disebut sabagai pasar induk. Pasar kota menjadi pusat aktivitas
penggerak roda ekonomi kota.
c. Pasar menurut waktu kegiatan

- Pasar pagi hari

- Pasar siang hari

- Pasar malam hari

d. Pasar menurut jenis barang dagangan

- Pasar umum, mencakup berbagai jenis barang dagangan

- Pasar khusus, mencakup satu jenis barang dagangan

2.10 Ketentuan Pasar

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 21 tahun 2021 pasal 11 Pasar Tradisional
minimal memiliki sarana dan prasarana penunjang paling sedikit :
- Kantor Pengelola

- Toilet

- Pos Ukur Ulang

- Pos Keamanan

- Ruang Menyusui

- Ruang Kesehatan

- Ruang Peribadatan

- Sarana dan akses pemadam kebakaran

46
- Tempat Parkir

- Tempat Penampungan sampah sementara

- Sarana air bersih

- Instalasi listrik

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20 Tahun 2012 Ketentuan pasar


tradisional mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2012. Dalam hal ini, masalah infrastruktur persyaratan
pasar dalam pasalpasal peraturan yang telah ditetapkan menjadi kajian sebagai salah satu
standar perancangan :

Tujuan pengelolaan dan pemberdayaan pasar tradisional tertulis pada pasal 2, yaitu :
- Menciptakan pasar tradisional yang tertib, teratur, aman, bersih dan sehat

- Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

- Menjadikan pasar tradisional sebagai penggerak roda perekonomian daerah

- Menciptakan pasar tradisional yang berdaya saing dengan pusat perbelanjaan dan toko
modern
Fasilitas bangunan dan tata letak Fasilitas dan tata letak pasar tradisional
mengacu pada peraturan yang telah ditetapkan pada pasal 6, yaitu :
- Bangunan yang berupa toko, kios, los dibuat dengan standard ukuran ruang
tertentu
- Petak atau blok dengan akses jalan pengunjung ke segala arah

- Pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup

- Penataan toko, kios, los dikelompokkan berdasarkan jenis barang dagangan

- Bentuk bangunan pasar tradisional selaras dengan karakteristik budaya daerah Standar
operasional pada pasar tradisional disarkan pada standar yang telah ditetapkan pada pasal
10, ayat 2, yaitu:

- Sistem penarikan retribusi

- Sistem keamanan dan ketertiban

47
- Sistem kebersihan dan penanganan sampah

- Sistem perparkiran

- Sistem pemeliharaan sarana pasar

48

Anda mungkin juga menyukai