Anda di halaman 1dari 8

Menulis untuk Mengubah Nasib

Oleh:
Abdu Rahmat Rosyadi
Dosen Pascasarjana - Universitas Ibn Khaldun Bogor

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(S. 96, Al-Alaq: 1-5)

Begitu selesai mengikuti pelatihan menulis SATUPENA selama tiga hari 09-11
November 2023) dalam “Creative Wraiting Session” yang dimotori oleh Ketua
Umum Satupena, Denny, J.A., dan dipandu oleh para penulis kenamaan dan
kepiawaiannya seperti Kang Asep Herna, om Budiman Hakim, opa Eka
Budianta serta para pemandu acara om Jonminofri dan Mbak Amelia. Saya
mendapatkan pengetahuan baru tentang ilmu menulis dari sekian banyak
pelatihan menulis yang pernah saya ikuti. Dampak positif dari mengikuti
pelatihan ini memunculkan ide-ide segar untuk menulis yang disampaikan kang
Asep – bagaimana ide menulis di bawah sadar bisa bermunculan karena bebas
hambatan dari berbagai peraturan dan keteraturan. Demikian juga ide menulis
yang disampaikan oleh om Bud, bahwa menulis tidak hanya disimpan tapi juga
perlu dipublish untuk mendapatkan cuan sehingga tulisan itu bermanfaat bagi
diri sendiri dan orang lain.
Materi pelatihan menulis dari opa Eka Budianta dapat mengingatkan pada
masa lalu saya, bahwa menulis tidak hanya asal menulis, tetapi juga menulis
untuk mengubah nasib. Hal ini diceritakan dalam tulisannya sendiri dengan
topik Menulis untuk Mengubah Nasib. Atas permintaan om Eka dan Crew
Creative Wraiting Session, bahwa setiap peserta wajib membuat tugas menulis
sebagai pengalaman menulis yang mungkin menjadi inspirasi bagi orang lain.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan kepada siapa pun, apa yang
dicetuskan oleh opa Eka Budianta tentang menulis dapat mengubah nasib dari
kebodohan menjadi kemuliaan, dari kemiskinan menjadi kemakmuran, dari
ketersembunyian menjadi kepopuleran, dan seterusnya menuju kesuksesan
dalam berbagai hal sesuai dengan hobby dan keprofesian masing-masing.

1
Demikian pun, saya memiliki pengalaman tersendiri dampak positif dari
menulis hingga saat ini. Dari menulis, saya pernah meraih kesuksesan dalam
kuliah dari Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3) tanpa harus
mengeluarkan uang sendiri, bahkan mendapat uang. Dari menulis, saya tanpa
harus melamar kerja, bahkan dilamar oleh salah satu instansi pemerintah dan
perguruan tinggi swasta. Dari menulis, saya dapat bepergian ke seluruh pelosok
nusantara dari Nol Kilometer Sabang di Aceh sampai Nol Kilometer Marauke di
Papua. Dari menulis, saya dapat bepergian ke luar negeri dilingkup negara-
negara anggota ASEAN. Dari menulis, saya dapat memenangkan lebih dari 20
kali berbagai lomba karya tulis. Dari menulis, saya dapat memublikasikan lebih
dari 90 buku lebih dan artikel yang diterbitkan oleh penerbit lokal, regional,
nasional, maupun Internasional. Dari menulis, saya dapat membantu orang lain
yang ingin menjadi penulis melalui pelatihan menulis, editing, dan asesor
peniulis. Dari menulis, saya sering mendapat pesanan dari pihak lain sebagai
Co-Wraiter, Gost Wriater, dan Editor. Dari menulis, saya memiliki berbagai
pengalaman yang bermanfaat yang tidak mungkin saya ceritakan dikolom ini.
Namun begitu, apa yang saya raih dari hasil pelatihan menulis
SATUPENA ini mendapatkan penyegararan dan pencerahan ide-ide, kara saya
juga sebelumnya memiliki landasan motivasi dan inspirasi menulis dari Allah
subhanahuwa-ta`ala yang berfirman dalam Q.S. 96, Al-Alaq: 1-5 dengan
memunculkan tagline: membaca itu membuka ilmu, menulis itu mengikat
ilmu, dan mengajar itu menebar ilmu. Coba renungkan firman Allah
subhanahuwata`ala di dalam alquran (S. 96, Al-`Alaq: 1-5) yang artinya
“bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan; Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah dan Tuhanmulah
Yang Maha Mulia; Yang mengajar manusia dengan pena; Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya”. Inilah wahyu pertama yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu`alaiwassalam.
Dalam firman Allah itu ada pesan utama dan pertama yaitu “membaca”;
kemudian “menulis dengan alqalam (pena)”; melalui membaca dan menulis itu
manusia “mengetahui” sesuatu yang belum diketahuinya. Kemudian setelah
mengetahui suatu ilmu wajib mengajarkannya kepada orang lain. Umaryadi
dalam bukunya “Rahasia Penciptaan” (2010: 28), mengemukakan bahwa
makhluk yang pertama kali diciptakan Allah ialah “alqalam”, artinya “pena”.
Seperti disampaikan oleh para ulama tentang hadis Rasulullah SAW yang
menyatakan penciptaan pena. “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan
Allah adalah alqalam. Maka Allah menyatakan kepadanya, “Tulislah!”. Maka
berkatalah alqalam itu, “Wahai Tuhanku, apakah yang harus aku tulis?”. Maka
2
berkatalah Allah kepadanya, “tulislah segenap taqdir segala kejadian sampai
datangnya hari kiamat” (HR. Ubadah bin Shamit). Pena menjadi simbol dan
sekaligus sarana bagi penulis buku untuk menuangkan gagasannya.
Aktifitas membaca, menulis, dan mengajar ternyata menjadi satu paket
kegiatan yang semestinya dilakukan oleh manusia secara paralel dan terus
menerus. Melalui membaca dan menulis manusia dapat mengetahui, memahami,
dan menghayati sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Apabila manusia
hanya membaca saja maka pengetahuan itu biasanya untuk dirinya sendiri.
Tetapi jika manusia itu membaca lalu menuliskan apa yang dibacanya maka
akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang baru sehingga akan bermanfaat bagi
orang lain yang membaca dan mempelajarinya. Kemudian menabarkan ilmu
dengan cara mengajarkannya kepada orang lain akan menambah wawasan
keilmuan.
Sesungguhnya aktifitas tulis-menulis mengikuti perkembangan hidup
manusia itu sendiri. Mulai dari menulis yang sederhana hingga menulis yang
lebih rumit dalam bentuk karya ilmiah. Menulis menjadi indikator sangat
penting untuk mengukur kemajuan suatu bangsa. Namun faktanya kebanyakan
masyarakat lebih suka berwacana dari pada menulis. Menulis belum menjadi
budaya masyarakat Indonesia sebagai salah satu upaya meningkatkan
pengetahuan dan membuka wawasan yang lebih luas. Demikian juga dikalangan
masyarakat terpelajar lebih menyukai menjadi presenter dalam workshop, dan
seminar ketimbang menjadi penulis buku.
Menyadarkan masyarakat untuk melek huruf saja agar mampu membaca
memerlukan beberapa generasi berikutnya. Apalagi untuk melahirkan
masyarakat gemar menulis atau menjadi penulis diperlukan sekian banyak
genarasi lagi. Fenomena ini harus segera diantisipasi melalui pemberdayaan
masyarakat menulis secara terencana. Menulis merupakan bagian dari budaya
yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Budaya menulis mampu
mengubah manusia bodoh menjadi pintar; masyarakat biadab menjadi beradab;
dan bangsa tertinggal menjadi maju dan makmur. Bahkan ada pendapat yang
mengatakan bahwa kemajuan Negara salah satunya diukur dengan produktifitas
bangsanya dalam menulis.
Membaca dan menulis merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki
oleh setiap individu dan masyarakat. Masyarakat pembelajar seperti dosen dan
guru tentu saja harus menunjukkan kelebihannya dalam membaca dan menulis
dibanding masyarakat biasa. Membaca dan menulis termasuk salah satu
indikator Human Development Index (HDI) menunju suatu bangsa kearah yang

3
lebih maju. Hasil survey HDI 2006, menempatkan Indonesia di posisi ke-110
dari 177 negara berada di bawah Thailand diurutan ke-73 dan Malaysia ke-61.
Salah satu indikator HDI antara lain adalah aktifitas membaca dan metulis
pada orang dewasa. Berkaitan dengan literacy rate sebagai indikator HDI,
membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat lemah dibandingkan dengan
Negara di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil studi Vincent Greanary, Word
Bank menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa SD kelas 6 rendah.
Indonesia mendapatkan nilai 51,7 di bawah urutan akhir setelah Filipina 52,6,
Thailand 65,1, Singapura 74,0 dan Hongkong 75,5 (Rahma Sugihartati, 2010:
3).
Untuk meningkatkan HDI tersebut masyarakat Indonesia perlu diberi
pembelajaran “membaca dan menulis”. Tentu saja masyarakat pembelajar harus
menunjukkan kemampuan dan kemauan menulis berbagai ilmu dan pengetahuan
sesuai bidangnya untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat lainnya.
Masyarakat yang menulis akan dikenang dalam sejarah kemanusiaan sekalipun
jasadnya telah terbaring di pusara. Sebaliknya masyarakat yang tidak menulis
akan hanyut dalam putaran sejarah kemanusiaan.
Membaca merupakan bagian dari belajar sehingga hukumnya menjadi
fardhu`ain untuk meningkatkan pengetahuan di berbagai bidang ilmu.
Sedangkan menulis merupakan bagian dari pembelajaran dan hukumnya fardhu
kifayah dalam upaya mengajarkan ilmu dan pengetahuan kepada orang lain.
Buku yang ditulis oleh seseorang menjadi media belajar bagi orang lain secara
langsung. Demikian juga bagi para pembaca atau pembelajar dapat mengetahui,
memahami, menghayati, atau bahkan melakukan apa yang dibacanya itu.
Melalui buku itulah terjadinya kesinamabungan ilmu dan pengetahuan dari satu
zaman ke zaman dan dari satu generasi ke genarasi lainnya.
Buku bukan hanya sekedar dokumen atau kumpulan kertas kosong atau
tulisan yang tersusun dari huruf, kata, frase, kalimat, atau paraghraf kemudian
menjadi sub-bab dan bab yang diberi judul tertentu. Buku juga tidak hanya
berisi pemkiran-pemikiran atau ide-ide dari penulisnya tanpa makna. Makna
dalam buku itu terorganisir secara sistimatis dalam topik dan tema tertentu yang
berwujud keilmuan. Jadi, buku itu merupakan kumpulan semuanya sehingga
menjadi satu kesatuan gagasan yang utuh, sistimatis, dan logis yang dapat
ditangkap maknanya secara tersurat maupun tersirat. Buku bagaimana pun isi,
bentuk dan jenisnya menjadi salah satu sumber keilmuan, karena ditulis oleh
orang yang memilki kompetensi di bidangnya.
Buku menjadi matarantai ilmu karena adanya kesinambungan ide pada
masa lalu, kini, dan mendatang yang ditulis oleh orang-orang yang se-zaman
4
atau berbeda zaman. Dengan demikian, buku menjadi sumber inspirasi bagi
orang lain yang membaca dan mempelajarinya. Melalui buku orang dapat
belajar dan mengajarkan kepada orang lain tentang suatu ilmu tertentu.
Transformasi ilmu ini berlangsung secara terus menerus dengan beragam cara
dan berbeda generasi. Bagi orang yang membaca dan mempelajarinya akan
mendapat manfaat yang luar biasa dari buku itu.
Tentu saja, manfaat buku bagi penulisnya berbeda dengan orang yang
hanya membaca dan mempelajarinya. Bagi penulis buku manafaatnya selain
menambah, meningkatkan pengetahuan juga dapat memperkuat keilmuannya.
Terpenting lagi bagi penulis buku dapat dikenang sepanjang sejarah kehidupan
walaupun penulisnya telah berbaring di pusara. Ia akan dikenang oleh orang
yang se-zaman atau berbeda zaman karena mewariskan buku yang ditulisnya.
Dari pandangan Islam jika buku itu bermanfaat bagi orang lain yang membaca
dan mempelajarinya maka akan menjadi amalan baik di dunia hingga ke akhirat.
Sebaliknya bagi orang yang tidak menulis buku ia akan dilupakan sepanjang
sejarah kehidupannya walaupun ia sendiri masih hidup.
Sebagai bukti bahwa siapa pun mengetahui dan mengenang para ahli fiqh,
ahli hadits, ahli tafsir dan penulis buku lainnya dari ragam ilmu yang berbeda
zaman. Padahal mereka tidak pernah mengenalnya karena hidup berbeda zaman
dengan para penulis itu. Mereka mengenal hanya melalui karya-karya tulisnya
yang masih dipelajari oleh orang-orang masa kini, mungkin di masa mendatang.
Apalagi ilmu-ilmu yang ditulisnya itu sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia di duania maupun di akhirat. Perubahan zaman dan perkembangan ilmu
dan teknologi tidak serta merta menghilangkan jejak karya tulis mereka yang
sudah melekat di benak dan fikiran para pembelajar. Bahkan buku-buku klasik
yang ada saat ini berisi asas-asas, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang tetap
masih berlaku hingga saat ini.
Pada kenyataannya tidak semua masyarakat dapat menulis karena berbagai
faktor antara lain: tidak memiliki ilmu pengetahuan menulis, tidak ada
kemampuan menulis, tidak ada kemauan menulis dan tidak mengetahui teknik
menulis. Faktor lainnya yang menjadi alasan masyarakat tidak menulis adalah
sibuk atau tidak punya waktu untuk menulis, padahal sesungguhnya malas.
Apabila alasan yang terakhir ini selalu menjadi “kambing hitam”, maka sampai
kapan pun masyarakat Indonesia tidak menulis. Kemandegan menulis ironisnya
justeru terjadi dikalangan masyarakat terpelajar. Padahal mereka setiap hari
bekerja berkaitan langsung dengan dunia menulis, misalnya dosen dan guru.
Banyak dosen yang tidak mencapai gelar Guru Besar (Profesor) dalam jenjang
kariernya karena tidak mampu menulis buku atau jurnal ilmiah sebagai
5
persyaratannya. Begitu pula banyak guru yang usianya masih muda jenjang
kariernya mentok karena tidak menulis makalah atau penelitian tindak kelas.
Bagaimana mungkin masyarakat biasa menulis?
Ada empat hal pokok dari firman Allah tersebut bahwa manusia harus
belajar (membaca) atas nama Allah untuk mengetahui kemuliaan-Nya. Dengan
membaca ayat-ayat qur`aniyah maka manusia dapat menambah pengetahuan
dan kemampuannya melalui membaca langsung (iqra) al-qur`an, buku-buku dan
dokumen-dokumen keilmuan. Manusia juga dapat menambah ilmu, pengetahuan
dan teknologi dengan jalan melakukan penelitian (istiqra) terhadap alam
semesta dengan membaca ayat-ayat kauniyah. Untuk memperkuat hasil
membacanya (iqra) dan hasil penelitiannya (istiqra) manusia juga belajar
menulis dengan alat-alat tulis (kalam/pena) untuk mengikat ilmu yang
dibacanya. Kemudian manusia itu juga harus mengajarkan ilmunya kepada
orang lain supaya manusia mengetahui sesuatu dari yang tidak diketahuinya.
Subhanallah.
Dengan membaca, menulis, mengajar itulah lahir keadaban dan perdaban
manusia di jagad raya sebagai pemegang tampuk kekhalifahan untuk memimpin
dunia (Kahlifah fil`ard). Seorang khalifah dapat memimpin dunia secara baik
dan bijaksana jika memiliki persyaratan pengatahuan (Knowladge), pengalaman
(research), dan kemampaun (Skill). Ketiga syarat tersebut hanya dapat diraih
dengan cara membaca dan menulis. Semakin banyak membaca semakin luas
ilmu yang diraih. Semakin sering menulis semakin kuat ilmu yang diperoleh.
Perpaduan dari aktifitas membaca dan menulis kemudian dipublikasikan
maka dampak dan efek manfaatnya semakin luas bagi dirinya dan masyarakat
pengguna di sekitarnya. Impaknya akan semakin tinggi hingga melahirkan
masyarakat pembelajar, berkeadaban dan berperadaban sehingga dapat
menciptakan negara yang kuat. Sejarah telah membuktikan dahsyatnya
membaca dan menulis yang ditunjukkan oleh generasi salafus-shalih dan para
tabiin hingga abad ke-7 dan 8 yang melahirkan para filosofis, cendikiawan,
ulama, dan ilmuan yang memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kealaman.
Mereka itulah generasi membaca tanpa batas; menulis tanpa henti hingga
menjadi manusia terhormat sejak awal sampai akhir hayatnya.
Manusia yang hidup saat ini dan generasi mendatang berikutnya tidak
sezaman dengan generasi salafus-shalih, tetapi manusia mengenal mereka
seperti Imam Al-Ghazli, Imam Asy-syafii, Imam Bukhari dan seterusnya hanya
melalui tulisan-tulisannya dalam bentuk buku-buku/kitab-kitab. Tulisan-tulisan
mereka sangat melegenda sampai saat ini mungkin hingga akhir zaman. Jasad-
jasad mereka sudah terbaring dipusara kematian dan hancur dimakan bumi.
6
Tetapi ilmu-ilmu mereka dikenang sepanjang hayat dan sejarah peradaban
manusia. Manusia sekarang ternyata banyak belajar dari mereka yang sudah
tiada.
Kekuatan mereka di dalam membaca tidak diragukan lagi mungkin setiap
detik, menit, jam, dan hari tanpa dilewatkan. Kemudian hasil membacanya itu
mereka ikat dengan menulis untuk mengkristalisasikan ilmunya. Ilm-ilmu yang
berserakan di dalam ayat-ayat qur`aniyah dihimpunnya menjadi disiplin ilmu-
ilmu agama. Demikian juga pengetahuan-pengetahuan yang bertebaran di dalam
ayat-ayat kauniyah digali oleh mereka melalui riset hingga menjadi ilmu,
pengetahuan dan teknologi dengan berbagai disiplin keilmuan. Perpaduan antara
ilmu-ilmu yang bersumber dari ayat-ayat qur`niyah dan ayat-ayat kauniah
menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam mengenal Allah sebagai
pencipta alam raya. Mereka tidak mengenalkan adanya dikhotomi antara ilmu
agama dan ilmu kealaman. Semua ilmu itu bersumber dari Allah yang
Mahaberilmu (Al-`Alim).
Berdasarkan sejarah peradaban keilmuan itu dapat diambil pelajaran
bahwa manusia yang membaca akan lebih pintar dari manusia yang tidak
membaca. Manusia yang membaca banyak buku jauh lebih berpengatahuan dan
berpengalaman daripada manusia yang sedikit membacanya. Manusia yang
membaca 100 buku jauh lebih hebat daripada manusia yang membaca hanya
satu buku. Buktikan!!!. Begitu juga manusia yang membaca kemudian
menuliskan ilmunya itu akan lebih dahsyat daripada manusia yang membaca
tapi tidak menuliskannya. Seterusnya manusia yang menulis akan dikenang
sepanjang masa walaupun jasadnya telah terbaring dikuburan. Sedangkan
manusia yang tidak menulis akan tergusur oleh zaman walaupun jasadnya masih
hidup. Manusia yang menulis dianggap ada sedangkan manusia yang tidak
menulis dianggap tiada.
Demikianlah taqdir Allah akan berlaku di dalam qur`aniyah dan akan
terbukti di alam kauniyah. Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia agar
mau dan senantiasa MEMBACA, MENULIS & MENGAJAR supaya mengenal
diri dan sekitarnya serta mengenal Mahapenciptanya sebagai tempat kembali.
Bayangkan oleh manusia tentang manfaat dan pahala dari buku. Jika manusia
menulis satu buku saja kemudian buku itu dibaca oleh 10 atau 1000 manusia
lainnya lalu buku yang dicanya itu dapat mengubah perilaku negatif manusia ke
arah positif bahkan menjadi produktif. Inilah yang disebut Multi Level Pahala
seperti yang disampaikan oleh Nabi Muhammad bahwa pahala yang tidak
pernah putus di dunia hingga akhirat adalah “Ilmun yuntafa`u bih”

7
Mulailah membaca sekarang tanpa putus dan menulis tanpa henti. Mulai
dari membaca huruf, kata, frase, kalimat dan paragraf hingga tuntas satu buku
dan seterusnya hingga sejuta buku. Menulis adalah merangkai “huruf”;
kemudian menjadi “kata”; dilanjutkan menjadi “frase”, hingga berbentuk
“kalimat” yang bermakna; kemudian menjadi “faraghraf” yang memiliki ide
atau gagasan. Rangkaian semua itu (huruf, kata, frase, kalimat, dan faraghraf)
akan menjadi tulisan lengkap dan sempurna dalam bentuk tulisan artikel atau
buku bacaan.
Allah akan mengangkat di antara manusia orang-orang yang beriman dan
berilmu perbedaan beberapa derajat. Samakah orang-orang yang berilmu dengan
orang-orang yang tidak berilmu? Perbedaan derajat kehidupan dalam status
ekonomi, sosial, dan keilmuan yang Allah janjikan ini ditentukan oleh seberapa
banyak buku-buku yang dibacanya dan seberapa jumlah tulisan yang
dipublikasikannya dalam bentuk artikel atau buku. Berapa pun buku yang
dibacanya dan ilmu yang dituliskannya, manusia harus tetap tawaddhu`
dihadapan Allah dan manusia lainnya karena ilmu yang dimilikinya hanya
sedikit bila dibandingkan dengan ilmunya Allah. Ilmu manusia pembelajar bila
dibandingkan dengan ilmunya Allah ibarat “setitik tinta yang ditaburkan ke
dalam luasnya samudera” maka ilmunya Allah tidak akan pernah habis
dituliskannya walaupun ditambah lagi tinta sekian kali lagi untuk menuliskan
ilmunya Allah. Allah berfirman: Suatu kelompok manusia tidak akan berubah
nasibnya, kecuali mengubahnya sendiri. Salah satu jalan untuk mengubah nasib
melalui menulis. Selamat menjadi penulis dalam kelompok SATUPENA.

Bogor, 13 November 2023


Penulis SATUPENA

Dr. H. Abdu Rahmat Rosyadi, Drs., S.H., M.H.

Anda mungkin juga menyukai