Energi Surya Termal

(Solar Thermal Energy)

TUGAS MATA KULIAH

Teknologi Energi Terbarukan
(Dosen Pengampu :Prof. Dr. Istadi,S.T.,M.T.)

Disusun Oleh:

Muthi’ah Nur Fadlilah 21030119410017

Rosmawati Sipayung 21030119410019

Program Studi Magister Teknik Kimia

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
 KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya,
makalah berjudul “Energi Surya (Solar Thermal Energy)” dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Energi Terbarukan
dan sekaligus untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita akan energi. Pada makalah
ini disampaikan pengertian, prinsip dasar energi surya (solar thermal energy), peralatan
utama yang digunakan dalam prosesnya dan update teknologi yang digunakan baik konsep
dasar pengembangannya maupun teknologinya. Penulis sadar bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, agar makalah ini dapat menjadi
lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penulisan makalah ini dari awal hingga akhir. Besar harapan penulis agar makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi penulis sendiri.

Semarang, 26 November 2019

Penulis

ii
 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1

1.2 TUJUAN................................................................................................................. 2
1.3 MANFAAT ............................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 3

2.1 ENERGI SURYA ................................................................................................... 3

2.2 PRINSIP KERJA ENERGI SURYA TERMAL .................................................... 5
2.3 PERALATAN UTAMA SUMBER ENERGI SURYA TERMAL........................ 8
2.4 POTENSI ENERGI SURYA TERMAL DI INDONESIA .................................... 15
2.5 KENDALA PEMANFAATAN ENERGI .............................................................. 16

BAB III UPDATE TEKNOLOGI ......................................................................................... 17

BAB IV PENDAPAT TENTANG ENERGI SURYA TERMAL......................................... 26

DAFTAR PUSTAKA

iii
 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Peningkatan kebutuhan energi listrik terjadi akibat pertambahan penduduk
yang tinggi, tetapi hal ini tidak seimbang dengan peningkatan penyediaan tenaga listrik,
kapasitas daya terpasang masih tetap, sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat.
Masyarakat Indonesia tergantung pada pasokan listrik PLN, tidak hanya untuk kebutuhan
penerangan tetapi juga untuk mendukung kegiatan ekonomi.
Akibat yang ditimbulkan adalah sering terjadi pemadaman aliran listrik oleh PLN,
terutama pada saat beban puncak. Hal ini disebabkan oleh akibat pemakaian beban yang
melebihi daya yang telah disediakan. Kebutuhan energi listrik yang terus meningkat
itulah, maka diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk membangun suatu pembangkit
tenaga listrik. Para perencana sistem juga harus dapat melihat kemungkinan-
kemungkinan perkembangan sistem tenaga listrik di tahun-tahun yang akan datang. Maka
dari itu diperlukan pengembangan industri listrik yang meliputi perencanaan
pembangkitan, sistem kontrol dan proteksi, serta sistem transmisi dan distribusi listrik
yang akan disalurkan hingga sampai pada konsumen.
Pembangunan pembangkit skala besar sering terkendala besarnya investasi dan jangka
waktu pembangunan yang lama pada pusat-pusat tenaga listrik dibandingkan
pembangunan industri yang lain maka perlu diusahakan agar dapat memenuhi kebutuhan
tenaga listrik tepat pada waktunya. Dengan kata lain pembangunan bidang kelistrikan
harus dapat mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang akan terus meningkat tiap
tahunnya. Pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN secara umum menggunakan energi
yang termasuk tidak terbaharui, contoh : batubara, BBM.
Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat itulah, diperlukan
pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada (energi
terbarukan). PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) adalah salah satu pembangkit
tenaga listrik dengan sumber energi terbarukan. Hal ini dilihat dari segi ketersediaan
bahan baku dan keamanan. Karena dewasa ini cadangan energi fosil semakin berkurang

1
 sedangkan kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak terus meningkat, hal ini berdampak
pada krisis energi. Pengembangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) sangat
cocok untuk daerah terpencil atau pedesaan yang pada umumnya mendapat sinar radiasi
matahari yang tergolong tinggi seperti di daerah timur Indonesia. PLTS juga mempunyai
keuntungan utama karena sifatnya ramah lingkungan.

1.2 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

a. Mengetahui definisi Energi Termal Surya

b. Mengetahui pemanfaatan Energi Termal Surya
c. Mengetahui aplikasi/penerapan Energi Termal Surya di Indonesia
d. Mengetahui update teknologi tentang Energi Termal Surya di dunia dan di
Indonesia

1.3 MANFAAT
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi serta
menambah wawasan bagi pembaca mengenai apa itu Energi Termal Surya,
pemanfaatannya serta kebaruan dari teknologi energi tersebut.

2
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ENERGI SURYA

Surya/matahari dapat menjadi sumber energi yang cukup untuk keperluan tenaga
listrik di seluruh dunia. Sayangnya energi yang berasal dari matahari tidak bersifat
homogen. Nilainya tidak saja bergantung kepada cuaca setiap hari, namun berubah-ubah
sepanjang tahun. Artinya, energi yang tersedia untuk mengoperasikan peralatan listrik
juga akan berubah-ubah.
Energi surya meningkat hingga mencapai puncaknya pada tengah hari (setengah rotasi
antara terbit dan terbenam). Setelah itu (pada saat matahari bergerak ke arah barat),
energi yang tersedia berkurang. Efek lain yang kita perlu ingat adalah bahwa bumi
mengitari matahari sepanjang tahun. Pada belahan bumi selatan (dan tidak berada di garis
katulistiwa) terjadi musim dingin karena jalur matahari akan rendah di ufuk utara.
Sebaliknya pada saat musim panas, matahari akan berada pada jalur tinggi di ufuk utara.
Saat berada di belahan bumi utara gerak matahari mengikuti jalur yang sama tetapi di
ufuk selatan. Hal ini disebut sebagai gerak semu matahari (Vries DKK, 2011).
Disadari atau tidak disadari, gerak semu matahari ini mempengaruhi radiasi matahari
yang masuk ke bumi. Gerak Semu Harian (Gerak Diurnal), terjadi akibat rotasi Bumi.
Periode menengahnya yakni 24 jam. Arah pergerakannya adalah dari timur ke barat.
Kemiringan lintasan gerak harian Matahari tergantung letak geografis pengamat. Lintasan
pada bagian ekuator Bumi adalah berupa lingkaran tegak, di bagian kutub mendatar, di
belahan Bumi selatan terlihat miring ke arah utara dan sebaliknya di belahan Bumi utara
terlihat miring ke selatan. Besar kemiringan tersebut berbanding lurus dengan besar
lintangnya (Abdur Rachim, 1983).
Gerak Semu Tahunan (Gerak Annual), arah gerak semu tahunan Matahari yakni ke
arah timur sekitar 0º59’/hari. Periode gerak semu tahunan Matahari adalah sekitar 365,25
hari, akibatnya arah terbit dan tenggelam Matahari selalu berubah letaknya sepanjang
tahun (Muhyiddin Khazin, 2008).

3
 Gambar.1 Pola Gerak Semu Tahunan Matahari

Pada tanggal 21 Maret dan 23 September Matahari terbit tepat di titik timur dan
tenggelam tepat di titik barat, pada tanggal 22 Juni Matahari terbit dan tenggelam sejauh
23,5º ke arah utara dari titik timur dan barat, sebaliknya pada tanggal 22 Desember
Matahari berada 23,5º ke arah selatan dari titik timur dan barat. Posisi Matahari ketika
berada di dua titik terakhir disebut dengan soltitium, yang artinya pemberhentian
Matahari. Hal tersebut karena pada saat itu perubahan deklinasi Matahari sangat lambat
seolah-olah berhenti. Sebaliknya pada titik ekuinox, yakni ketika lintasan Matahari
berada tepat pada titik timur dan barat, perubahan deklinasi berlangsung cepat (Slamet
Hambali, 2012).

Harga bahan bakar fosil semakin tinggi mulai pertengahan decade 70-an, sehingga
energi matahari menjadi pusat perhatian sebagai salah satu sumber energi yang dapat
diperbaharui (renewable) (Vries DKK, 2011). Dalam waktu sehari energi matahari yang
tersedia mungkin tidak mencukupi kebutuhan energi secara sempurna, maka dibutuhkan
tempat penyimpan energi sebagai komponen yang tak terpisahkan dari suatu rancang
bangun sistem energi matahari (Reynold dan Perkins, 1983).

Mulai pada awal abad dua puluh kolektor sinar matahari digunakan untuk
memanaskan air. Panjang gelombang radiasi matahari yang diterima di permukaan bumi
berada pada daerah 0,29 sampai 2,5 μm. Emisi radiasi dari matahari ke bumi
menghasilkan intensitas radiasi surya yang hampir tetap di luar atsmosfer bumi. Solar
Constant (konstanta surya) Gsc = 1367 W/m2 (World Radiation Center (WRC))
merupakan energi dari matahari setiap satuan waktu yang diterima suatu satuan area

4
 permukaan tegak lurus dengan arah perambatan radiasi pada jarak rata-rata bumi-
matahari di luar atmosfer.

Energi surya adalah energi yang berupa sinar dan panas dari matahari (radiasi energi
dalam bentuk panas dan cahaya yang dipancarkan oleh matahari). Didapat dengan
mengubah energi panas surya melalui perlatan tertentu menjadi sumberdaya dalam
bentuk lain. Energi surya menjadi salah satu sumber pembangkit daya selain air, uap,
angin, biogas, batubara, dan minyak bumi. Energi ini dapat dimanfaatkan dengan
menggunakan serangkaian teknologi seperti pemanas surya, fotovoltaik surya, listrik
panas surya, arsitektur surya, dan fotosintesis buatan. Jika dilihat pada proses penyerapan,
pengubahan, dan penyaluran energi surya, teknologi energi surya secara umum
dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni teknologi pemanfaatan aktif dan teknologi
pemanfaatan pasif. Teknologi pemanfaatn aktif dimana sinar matahari diubah secara
langsung menjadi listrik dengan sel fotovoltaik, sedangkan untuk teknologi pemanfaatan
pasif dimana sinar matahari digunakan untuk memperoleh panas. Makalah ini akan
membahas lebih mendalam teknologi pemanfaatan pasif (Energi Surya Termal).

2.2 PRINSIP KERJA ENERGI SURYA TERMAL

Pada dasarnya teknologi ini memanfaatkan energi surya untuk memperoleh energi
termal (panas) menggunakan kolektor. Kolektor berfungsi sebagai pengumpul sinar
surya. Pada umumnya kolektor menggunakan penutup transparan (kaca/plastik) dengan
transmitansi tinggi untuk gelombang pendek dan absorptansi tinggi untuk gelombang
panjang sinar matahari. Pada dasarnya kolektor ditempatkan material penyerap efektif
untuk radiasi matahari tetapi bersifat emitansi rendah serta konduktivitas termal yang
tinggi untuk untuk menghasilkan panas cairan atau gas dan diberi coating berwarna gelap.
Panas yang diperoleh dapat langsung digunakan untuk keperluan sehari-hari
misalnya memasak, atau dapat juga menggunakan panas untuk memanaskan fluida
biasanya gas atau cairan. Fluida panas tersebut kemudian juga dapat digunakan secara
langsung untuk kebutuhan sehari-hari seperti air panas untuk mandi/udara panas saat
musim pendingin ataupun steam yang dihasilkan akan digunakan untuk menggerakkaan
generator yang kemudian menghasilkan listrik.

5
 Gambar.2 Sistem memasak surya

Sistem kerja solar water heater dibantu oleh yang namanya tabung air panas
atau storage tank yang fungsinya hampir sama seperti sebuah termos. Kemudian
tabung tersebut akan disambungkan dengan sebuah panel konektor yang fungsinya
sebagai tempat untuk memanaskan air. Panel ini terdiri dari plate absorber yang
bertindak seakan sebagai kompor serta pipa-pipa penghubung yang mengalirkan air
panas dari panel konektor ke tabung air. Pipa air dingin yang menuju ke tabung air
mengalir ke panel konektor ini dan terjadilah proses pemanasan air. Panas air yang ada
di dalam tabung bersuhu sekitar 60 derajat Celsius dan karena adanya dorongan air
dingin, maka air panas itu akan mengalir menuju ke kran. Proses ini juga ada
percampuran antara air panas dengan air dingin agar didapat suhu air panas yang aman
dan tidak berlebihan.

Gambar.3 Prinsip kerja pemanas air menggunakan tenaga surya

6
Berdasarkan cara kerjanya pemanas air menggunakan tenaga surya dibedakan menjadi
dua yakni:
 Sistem Pasif
sistem pasif mengandalkan konveksi atau dorongan panas pipa untuk
mengedarkan air atau pemanasan cairan dalam system sehingga sistem pemanas
air tenaga surya pasif menggunakan biaya yang lebih rendah dalam prosesnya
dan tidak memerlukan biaya pemeliharaan tinggi, namun untuk efisiensi juga
dapat dikatakana rendah.
 Sistem Aktif
Sistem aktif menggunakan satu atau lebih pompa untuk sirkulasi air dan / atau
cairan pemanasan dalam system. Meskipun sedikit lebih mahal, sistem aktif
menawarkan beberapa keuntungan:
a. Tangki penyimpanan dapat terletak lebih rendah dari kolektor, yang
memungkinkan peningkatan kebebasan
b. Dalam desain sistem dan memungkinkan tangki penyimpanan yang sudah ada
untuk digunakan.
c. Tangki penyimpanan dapat selalu disembunyikan dari pandangan.
d. Tangki penyimpanan dapat ditempatkan dalam ruang terkondisi atau semi-
AC, mengurangi kehilangan panas.
e. Tank drainback dapat digunakan.
f. Efisiensi Unggul
g. Peningkatan kontrol atas system

Sistem pemanas air suya aktif modern memiliki pengendali elektronik yang
menawarkan berbagai-macam fungsi, seperti modifikasi pengaturan yang mengontrol
sistem, interaksi dengan pemanas air listrik atau gas-driven cadangan, perhitungan dan
pengurangan energi yang disimpan oleh SWH sebuah sistem, fungsi keselamatan, akses
remote, dan berbagai display informatif, seperti pembacaan suhu.

7
 Gambar.5 Sistem Aktif
Gambar.4 Sistem Pasif

2.3 PERALATAN UTAMA SUMBER ENERGI SURYA TERMAL

2.3.1 KOLEKTOR
Berdasarkan suhu yang dapat diabsorbsi jenis kolektor energi surya termal
dibedakan menjadi dua, yakni kolektor pelat datar untuk suhu rendah hingga medium (
± 70 oC) dan kolektor pelat tabung untuk suhu tinggi (≥ 100 oC).
 Kolektor Pelat Datar
Kolektor pelat datar adalah teknologi panas matahari yang paling umum di Eropa.
Terdiri dari penutup yang berisi, pelat penyerap berwarna gelap dengan lorong
sirkulasi fluida, dan penutup transparan untuk memungkinkan transmisi energi surya
ke dalam penutup. Sisi dan belakang selungkup biasanya diisolasi untuk mengurangi
kehilangan panas ke sekitar. Cairan transfer panas disirkulasikan melalui saluran
cairan absorber untuk menghilangkan panas dari kolektor surya. Cairan sirkulasi
dalam iklim tropis dan sub-tropis biasanya berupa air. Dalam iklim di mana
pembekuan mungkin terjadi, fluida transfer panas mirip dengan
larutan antibeku otomotif dapat digunakan sebagai pengganti air, atau dalam campuran
dengan air. Jika fluida transfer panas digunakan, penukar panas biasanya digunakan
untuk mentransfer panas dari fluida pengumpul surya ke tangki penyimpanan air
panas.
Desain penyerap yang paling umum terdiri dari pipa tembaga yang digabung
dengan lembaran logam konduktivitas tinggi (tembaga atau aluminium). Lapisan gelap

8
 diterapkan pada sisi yang menghadap matahari dari rakitan penyerap untuk
meningkatkan penyerapan energi matahari. Lapisan penyerap umum adalah cat
enamel hitam.Dalam desain kolektor surya berkinerja lebih tinggi, penutup transparan
adalah kaca soda-kapur setelah mengurangi kandungan oksida besi sama seperti
untuk panel surya fotovoltaik. Kaca juga dapat memiliki pola penetapan dan satu atau
dua lapisan anti-reflektif untuk lebih meningkatkan transparansi .Lapisan penyerap
biasanya merupakan lapisan selektif, di mana selektif berarti memiliki sifat optik
khusus untuk menggabungkan penyerapan tinggi pada bagian
yang terlihat dari spektrum elektromagnetik yang digabungkan dengan
rendahnya pancaran dalam inframerah. Ini menciptakan permukaan selektif , yang
mengurangi emisi energi benda hitam dari penyerap dan meningkatkan kinerja.

Gambar.6 Kolektor Pelat Datar

 Kolektor Pelat Tabung

Kolektor tabung yang digunakan adalah teknologi panas matahari yang paling
umum di Cina dan di Dunia. Menggunakan tabung kaca untuk mengelilingi penyerap
dengan vakum tinggi dan secara efektif menahan tekanan atmosfer . Vakum yang
mengelilingi absorber sangat mengurangi kehilangan
panas konveksi dan konduksi,sehingga mencapai efisiensi konversi energi yang lebih
besar. Penyerap bisa berupa logam seperti dalam kasus kolektor pelat datar atau
menjadi tabung gelas konsentris kedua ("Sydney Tube"). Cairan transfer panas dapat

9
mengalir masuk dan keluar setiap tabung atau berada dalam kontak dengan pipa
mencapai panas di dalam tabung. Untuk yang terakhir, pipa panas mentransfer panas
ke fluida dalam penukar panas yang disebut "manifold" ditempatkan melintang
sehubungan dengan tabung. Manifolnya dibungkus dengan isolasi(wol kaca) dan
ditutupi oleh pelindung logam atau kotak plastik yang juga digunakan untuk
mendukung pemasangan.
Tabung kaca-logam dievakuasi dibuat dengan lembaran penyerap logam datar
atau melengkung sama dengan pelat datar. Lembaran-lembaran ini disambungkan
ke pipa atau pipa panas untuk membuat "sirip" dan ditempatkan di dalam tabung gelas
borosilikat tunggal. Lapisan anti-reflektif dapat disimpan pada permukaan bagian
dalam dan outers dari tabung tersebut untuk meningkatkan transparansi . Lapisan
selektif dan anti-reflektif (permukaan tabung bagian dalam) tidak akan terdegradasi
sampai vakum hilang. Namun diperlukan segel logam kaca ketat vakum tinggi di satu
atau kedua sisi setiap tabung yang dievakuasi. Segel ini didaur ulang antara suhu
sekitar dan suhu fluida setiap hari dari operasi pengumpul dan dapat menyebabkan
kegagalan pada waktunya.
Gelas-gelas tabung dievakuasi dibuat dengan dua tabung gelas
borosilikat menyatu bersama di satu atau kedua ujungnya (mirip botol vakum atau
labu dewar). Sirip penyerap ditempatkan di dalam ban dalam pada tekanan
atmosfer . Kaca-tabung gelas memiliki segel yang sangat andal, tetapi dua lapisan
kaca mengurangi jumlah sinar matahari yang mencapai penyerap. Lapisan selektif
dapat diendapkan pada tabung borosilikat bagian dalam (sisi vakum tinggi) untuk
menghindari hal ini, tetapi panas kemudian harus mengalir melalui ketebalan kaca
tabung dalam konduksi yang buruk. Selain itu, uap air dapat memasuki area yang tidak
dievakuasi di dalam ban dalam dan menyebabkan korosi penyerap khususnya ketika
terbuat dari bahan yang berbeda ( korosi galvanik ).
Bentuk umum kolektor pelat tabung :
1. Parabolic Through
Terdiri dari reflektor parabola linier yang cahaya terkonsentrasi ke
penerima/receiver diposisikan sepanjang garis fokus reflektor itu.
Penerima/receiver adalah tabung diposisikan tepat di atas tengah cermin

10
 parabola dan diisi dengan fluida kerja. Reflektor mengikuti matahari selama
siang hari dengan melacak sepanjang sumbu tunggal. Bersamaan dengan itu,
fluida kerja (misalnya molten-salt) menjadi dipanaskan hingga 150-350°C
kemudian mengalir melalui receiver dan kemudian digunakan sebagai sumber
panas untuk system pembangkit listrik.

Gambar.7 Parabolic Through

Kelebihan :

 Merupakan Thermal Concentrate yang paling maju dan banyak digunakan.

 Berpotensi untuk menyimpan energi panas matahari untuk digunakan selama
periode non-surya dan untuk mengirimkan ketika dibutuhkan.
 Penyimpanan energi termal (TES) memungkinkan pembangkit listrik mencapai
kapasitas tahunan lebih tinggi (25-70) % tanpa penyimpanan panas.

2. Dish Strilling
Terdiri dari sebuah reflektor parabola yang berdiri sendiri yang mengkonsentrasikan
cahaya ke receiver/penerima diposisikan pada titik fokus reflektor itu. Reflektor
mengikuti Matahari sepanjang dua sumbu. Fluida kerja di receiver/penerima dipanaskan
hingga 250 °C dan kemudian digunakan oleh mesin Stirling untuk menghasilkan listrik.
Tipe ini memiliki efisiensi tertinggi.

11
 Gambar.8 Dish Strilling

3. Fresnel reflector
Terdiri dari sebuah reflector tipis,strip cermin datar untuk mengkonsentrasikan
sinar matahari ke tabung melalui fluida kerja yang dipompa. Adapun kelebihan tipe ini
adalah :
 Permukaan lebih reflektif dibanding reflektor parabola, untuk menangkap lebih
banyak sinar matahari yang tersedia.
 Lebih murah daripada reflektor parabola.
 Fresnel reflektor dapat digunakan dalam berbagai ukuran.

Gambar.9 Fresnel Reflektor

4. Solar power tower

Terdiri dari sebuah array of dual-axis tracking reflectors (heliostats) yang
mengkonsentrasikan cahaya pada pusat receiver/penerima di atas menara, Didalam

12
 penerima/receiver berisi fluida kerja, yang dapat berupa air laut. Fluida kerja di
receiver/penerima dipanaskan hingga 500°C dan kemudian digunakan sebagai sumber
panas untuk pembangkit listrik atau energi sistem penyimpanan. Pengembangan Power-
tower kurang maju dibanding dengan parabolic trough , tetapi mereka menawarkan
efisiensi yang lebih tinggi dan lebih baik kemampuan penyimpanan energi.

Gambar.10 Solar Power Tower

2.3.2 HEAT EXCHANGER

Alat yang memungkinkan perpindahan panas dan bisa berfungsi

sebagai pemanas maupun sebagai pendingin. Biasanya, medium pemanas dipakai uap
lewat panas (super heated steam) dan air biasa sebagai air pendingin (cooling water).
Penukar panas dirancang sebisa mungkin agar perpindahan panas antar fluida dapat
berlangsung secara efisien. Pertukaran panas terjadi karena adanya kontak, baik antara
fluida terdapat dinding yang memisahkannya maupun keduanya bercampur langsung
begitu saja.

Shell and Tube adalah jenis umum dari alat penukar panas, biasanya digunakan
dalam kondisi tekanan relatif tinggi, yang terdiri dari sebuah selongsong yang
didalamnya disusun suatu anulus dengan rangkaian tertentu (untuk mendapatkan luas
permukaan yang optimal). Fluida mengalir di selongsong maupun di anulus sehingga
terjadi perpindahan panas antar fluida dengan dinding anulus sebagai perantara.
Beberapa jenis rangkaian anulus misalnya; triangular, segiempat, dll.

13
 Gambar.11 Heat Exchanger

2.3.3 HEAT STORAGE

Penyimpanan energi termal adalah penyimpanan energi sementara atau pemindahan
panas untuk penggunaan dikemudian hari. Penyimpanan energi termal dicapai dengan
teknologi yang beragam. Tergantung pada teknologi spesifik, metode penyimpanan ini
memungkinkan energi panas berlebih untuk disimpan dan digunakan berjam-jam,
berhari-hari, atau berbulan-bulan kemudian, pada skala mulai dari proses individu,
bangunan, kabupaten, kota, atau wilayah yang lebuh luas.
Media penyimpanan meliputi tangki air atau lumpur es, massa tanah asli atau batuan
dasar yang dihubungkan dengan penukar panas melalui lubang bor, akuifer dalam yang
terkandung di antara lapisan yang tidak tembus air, dengan lubang dangkal, berjajar
diisi dengan kerikil dan air dan terisolasi di bagian atas, serta
solusi eutektik dan material perubahan fase. bahan berbasis semen alumina
berkonsentrasi tinggi menawarkan kemampuan penyimpanan panas yang baik.
Garam leleh dapat digunakan sebagai metode penyimpanan energi termal untuk
mempertahankan energi termal. Saat ini, penyimpanan berbasis garam leleh adalah
teknologi yang digunakan secara komersial untuk menyimpan panas yang dikumpulkan
oleh tenaga surya terkonsentrasi (misalnya, dari menara surya atau bak surya). Panas
kemudian dapat diubah menjadi uap super panas untuk memberi daya turbin uap
konvensional dan menghasilkan listrik dalam cuaca buruk atau di malam hari.

14
2.4 POTENSI ENERGI SURYA TERMAL DI INDONESIA
Pemanfaatan energi surya termal sangat dipengaruhi oleh jumlah radiasi yang
diterima dari matahari. Jumlah radiasi yang diterima biasa disebut dengan DNI (Direct
Normal Irradiation). DNI adalah jumlah solar radiasi yang diterima oleh suatu
permukaan yang terletak tegak lurus dengan sudut datangnya sinar matahari. Sudut
optimal penerima DNI oleh suatu lensa dapat diukur oleh pyrheliometer. Berdasarkan
penelitian Jacobson,dkk angka DNI yang dpat diterima oleh Colector Solar Panel (CSP)
di Indonesia tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, teknologi ini tidak dapat menghasilkan
energi listrik secara optimal jika diterapkan di Indonesia. Didukung oleh biaya
pembuatan dan perawatan CSP juga cukup tinggi (Khan & Arsalan, 2016). Beberapa
negara dengan DNI tertinggi di dunia yang dapat memanfaatkan potensi energy ini
adalah :
 Africa ±13 jt km2
 Australia ± 6 jt km2
 Bagian tengah amerika selatan ± 1.2 jt km2
 China± 1.2 jt km2
 USA± 1 jt km2
 Mexico ± 0.37 jt km2
 India ± 0.11 jt km2
 EU ± 0.02 jt km2

Gambar.12 Pemetaan Radiasi Matahari di Indonesia

15
2.5 KENDALA PEMANFAATAN ENERGI SURYA TERMAL DI INDONESIA
Kendala pemanfaatan sumber energi surya termal di Indonesia :
 Letak geografis indonesia yang berdampak pada sinar matahari rata-rata Indonesia
yang hanya menjangkau kinerja collector suhu low-medium. Dimana collector tipe ini
hanya menghasilkan panas.
 Pengembangan teknologi penyimpanan/Storage yang belum optimal untuk
penyimpanan panas.
 Dengan kondisi yang ada, pemanfaatan sumber energi surya lebih diarahakan pada
pemanfaatan teknologi sel surya atau sel photovoltaic dibanding teknologi termal.

16
 BAB III
UPDATE TEKNOLOGI

Beberapa Negara telah banyak menggunakan teknologi untuk mengubah panas

matahari menjadi listrik secara langsung. Namun, banyak juga pengembangan yang
menggunakan panas matahari sebagai sumber pemanas untuk air dan juga udara. Salah satu
teknologi yang banyak dikembangkan untuk aplikasi pemanas adalah Flat Plate Collector
(FPC). Digunakan untuk komersil misalnya hotel. Namun dalam pengembangannya satu
kendala penting adalah ketersediaan lahan instalasi, sehingga solusi yang mungkin adalah
memperbesar optimasi FPC tersebut.

Meningkatkan optimasi FPC dapat dilakukan dengan 2 cara yakni:

1. Meningkatkan kemampuan absorbsi radiasi matahari melalui pengubahan kaca

penutup transparansi
2. Mengurangi kehilangan panas selama proses ke lingkungan.

Berdasarkan teori Holland (1965) menunjukkan bahwa jarak antara kaca penutup dan
plate absorbsi adalah faktor penting dalam design collector surya. Kehilangan panas biasanya
terjadi secara konveksi alami dari plate menuju kaca penutup, dimana secara teoritis
diprediksi memiliki hubungan empiris. Hubungan empiris tersebut terus diteliti dalam
beberapa dekade, beberapa diantaranya adalah:

17
  Nahar and Garg (1980) meninjau kembali hubungan empiris antara plate absorbs dan
kaca penutup FPC. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa nilai optimum jarak antara
plate absorbs dan kaca penutup adalah sekitar 50 mm. jika jarak diperbesar maka dapat
menyebabkan “bayangan” pada plate absorsi sehingga jumlah sinar yang dapat
diabsorbsi berkurang.
 Pemodelan numeric untuk konveksi juga dikembangkan kembali oleh koulibaly,dkk
(2015), berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap konveksi bebas yang terjadi
pada FPC dengan jarak yang divariasikan 25,30,40,dan 50 mm diperoleh nilai optimum
pada jarak 50 mm.
 Pengaruh panjangnya FPC terhadap kehilangan panas juga dianalisa oleh beberapa
peneliti, diantaranya koulibaly,dkk (2015) dan Goncalves,dkk (2016) yang
menyimpulakan bahwa penambahan panjang FPC meningkatkan koefisien konveksi
perpindahan panas, yang berdampak pada semakin banyaknya kehilangan panas yang
terjadi dari collector ke lingkungan. Hal ini disebabkan panas yang dihasilkan pada
setiap titik sepanjang FPC berbeda. Sehingga, disimpulkan bahwa kehilangan panas
yang disebabkan oleh panjang FPC lebih signifikan dibanding dengan kehilangan
panas oleh jarak plate absorbsi-kaca penutup.

Terhadap kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian mengenai efisiensi FPC, Hirasawa
melakukan pengembangan dan menemukan cara lain untuk mengurangi koefisien konveksi
perpindahan panas disepanjang FPC guna meningkatkan efisiensi ialah dengan menggunakan
Transparant Insulation Material (TIM). Adapun TIM yang digunakan berbahan layer nyilon
berdiameter 0,05 mm dengan jarak 2 mm per bagian. Pada penelitian diamati kehilangan
panas konveksi yang terjadi sebesar 7% pada temperature absorber 100 oC. Demikian
penelitian terus dikembangkan baik dalam hal pemilihan material TIM maupun jarak antar
TIM disepanjang FPC.

18
 Gambar.13 Ilustrasi Konveksi Internal FPC tanpa dan menggunakan
Barrier/TIM
Rafael,dkk(2019) turut andil dalam penelitian pengembangan optimasi FPC
menggunakan TIM melalui evaluasi koefisien kehilangan panas dan effisiensi thermal ketika
ditambahkan TIM/ Barrier secara tegak lurus. Penelitian menggunakan instrument yang sama
untuk setiap FPC. Instrument terdiri dari sensor, control,dan monitor untuk setiap FPC.

Barrier

Gambar.14 Rancangan FPC tanpa dan dengan Barrier

19
 Sebanyak FPC akan diuji pada saat yang sama, lingkungan yang sama, dan jumlah
serta jenis fluida yang sama. Ke 4 FPC divariasikan berdasarkan jumlah sekat yang
digunakan. 1,2,3,dan 4 sekat. Effiesiensi thermal akan dibandingkan untuk setiap keadaan
guna mencari kondisi terbaik.

Gambar.15 Pengujian FPC Gambar.16 Prosedur Pemasangan Barrier

Bagaimana TIM dapat meningkatkan effisiensi FPC?

Radiasi matahari diserap oleh absorber pelat hitam, kemudian panas yang dihasilkan
ditransfer ke fluida kerja yang mengalir dalam pipa-pipa dibawah absorber. Pemakaian
absorber pelat hitam tersebut dimaksudkan untuk mengisolasi energi radiasi surya yang sudah
mengenai absorber dengan maksimal ditransfer ke fluida kerja. Keseimbangan energi panas
pada kolektor pelat datar pada persamaan:

Dimana:
𝐴𝑐 = Luas permukaan kolektor ( m2)
𝑈𝐿 = Koefisien kehilangan panas kolektor (W/m2.K)
𝑇𝑝𝑚 =Temperatur Permukaan pelat / Temperatur absorber (K)
𝑇𝑎 = Temperatur udara lingkungan/ Temperatur ambient (K)
S = Energi Radiasi Matahari (W/m2)
τα = Koefisien transmisi-absorber
(Duffie, 2006).

20
Temperature utama dari pelat penyerap (Tpm) sulit untuk menghitung atau mengukur
nilainya. Oleh kerena itu fungsi desain kolektor saat radiasi memasuki kondisi fluida yang
bertujuan untuk menghubungkan kinerja dari kolektor ke temperatur fluida yang tidak
diketahui. Berikut dua faktor efisiensi kolektor F’ & FR yang diperkenalkan oleh Hottel-
Whiller-Bliss untuk memungkinkan penggunaan utama atau temperatur fluida masukan yang
terlihat pada persamaan:

Dimana:
𝐹′ = Faktor efisiensi kolektor
𝐹𝑅 = Faktor removel kolektor panas
𝑇𝑚 = Temperatur rata-rata fluida dalam kolektor (K)
R

𝑇𝑖 = Temperatur masuk fluida (K)

𝑇𝑎 = Temperatur udara lingkungan/ Temperatur ambient (K)

Efisiensi Kolektor
Efisiensi dari kolektor dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara panas yang berguna
dari kolektor dengan intensitas dari radiasi surya pada persamaan:

Barrier menurunkan nilai UL

Dimana;
𝜂 = Efisiensi Kolektor (%)
𝑞𝑢 = Nilai kalor (Qalor utilty) (J)
𝐴𝑐 R = Luas Permukaan Kolektor (m2)
S = Itensitas Radiasi (Watt/m2)
ṁ = Laju Aliran fluida (kg/det)

21
Cp = Panas spesifik (J/kg K)
𝑇𝑚 R = Temperatur rata-rata fluida dalam kolektor (K)
𝑇𝑖 = Temperatur masuk fluida (K)
𝐹′ = Faktor efisiensi kolektor
𝐹𝑅 R = Faktor penghapusan kolektor panas
Τα = Koefisien transmisi-absorber

𝑈𝐿 = Koefisien kehilangan panas kolektor (W/m2.K)

Barrier menurunkan Koefisien kehilangan panas

kolektor

Kerugian kalor dari absorber terjadi pada bagian atas, samping dan bawah absorber, sehingga :

Dimana:
𝑈𝐿 = koefisien kerugian kalor total;
𝑈𝑡 = koefisien kerugian kalor bagian atas;
𝑈𝑏 = koefisien kerugian kalor bagian bawah;
𝑈𝑒 = koefisien kerugian kalor bagian samping

 Kerugian Kalor Bagian Atas

Panas yang hilang dari bagian atas pelat penyerap karena adanya konveksi alam dan radiasi
dari bagian dalam pelat kolektor ke permukaan kaca. Dan panas ini dikonduksikan melalui
kaca ke permukaan luarnya yang kemudian dipindahkan ke atmosfer luar secara konveksi dan
radiasi. Namun biasanya pada pelat kolektor, kerugian kalor secara konduksi diabaikan sebab
tebal cover dan sirip pelat absorber kecil sehingga perbedaan temperatur tidak begitu
signifikan. Nilai koefisien kerugian kalor bagian atas secara teori dapat didekati dengan
persamaan:

22
Dimana dengan mempergunakan persamaan Empiric S.A. Klein yang telah dimodifikasi oleh
Agarwal dan Larson, maka kerugian kalor bagian atas dapat dicari menggunakan persamaan:

Dengan :
ℎ 𝑤𝑖𝑛𝑑 = 5.7 + 3.8v (W/m2.K)
ƒ = (1 – 0.04 ℎ 𝑤𝑖𝑛𝑑 + 0.0005 ℎ 𝑤𝑖𝑛𝑑2 ) (1 + 0.091 N)
C = 250 (1 – 0.0044(β – 90o))
Keterangan :
v = Kecepatan angin diatas permukaan cover paling atas (m/s)
N = Jumlah penutup
𝜀𝑐 = Emisivitas cover
𝜀𝑝 = Emisivitas pelat absorber
ζ = Konstanta Stefan Boltzman (5.67x10−8 W /m2 .K4)
𝑇𝑝 = Temperatur pelat absorber (K)
𝑇𝑎 = Temperatur lingkungan (K)

 Kerugian Kalor Bagian Bawah

Kerugian kalor pada bagian bawah terjadi secara konduksi dari absorber ke panel bawah
(bottom of panel), sedangkan kerugian konveksi dan radiasi diabaikan sebab nilainya lebih
kecil dibandingkan kerugian secara konduksi. Nilai koefisien kerugian kalor bagian bawah
didekati dengan persamaan:

23
Dimana:
𝑘 = konduktivitas termal insulator bagian bawah; 𝐿 = tebal insulator.

 Kerugian Kalor Pada Bagian Samping

Nilai koefisien kerugian kalor bagian samping juga didekati dengan persamaan:

Dimana:
UA = k/L x keliling kolektor x ketebalan kolektor.

ABagaimana hasil Percobaan Rafael,dkk (2019) ?

c = Luas permukaan kolektor (m2)

Gambar.17 FPC dengan 1 Barrier Gambar.18 FPC dengan 2 Barrier

Gambar.19 FPC dengan 3 Barrier Gambar.20 FPC dengan 4 Barrier

24
 Melalui hasil yang diperoleh oleh Rafael,dkk (2019) disimpulkan bahwa :
 Penambahan jumlah sekat tidak mempengaruhi penyerapan radiasi matahari ke
collector,namun hanya mengurangi kehilangan panas ke lingkungan pada beberapa
keadaan.
 Slope kurva FPC merujuk pada parameter koefisien panas yang hilang, melalui
efisiensi yang ditunjukkan grafik. Pada 1 TIM diperoleh efisiensi 76,1%, 2 TIM
diperoleh efisiensi 76,4%, 3 TIM diperoleh efisiensi 76,9%, dan 4 TIM diperoleh
efisiensi 76,1%.
 Efisiensi paling optimum ditunjukan oleh 3 TIM,sehingga dapat dikorelasikan bahwa
Koefisien panas yang hilang paling rendah diperoleh 3 TIM,bukan 4 TIM. Jumlah
sekat tidak secara pasti merujuk pada tingkatan efisiensi. Sehingga diperlukan
penelitian lebih lanjut tentang jarak optimum antar sekat dalam FPC agar dapat
mendesain panjang FPC dengan jumlah sekat yang harus digunakan.

25
 BAB IV

PENDAPAT TENTANG ENERGI SURYA TERMAL

Energi surya disebut-sebut oleh banyak orang sebagai sumber energi utama di masa
depan, banyak sekali keunggulan yang didapatkan dari sumber energi surya terutama energi
surya termal ini diantaranya energi surya merupakan sumber energi terbarukan yang tidak
dapat habis, tidak seperti bahan bakar fosil yang akhirnya akan habis. Setelah bahan bakar
fosil habis, dunia akan memerlukan alternatif sumber energi yang baik, dan energi surya jelas
terlihat sebagai salah satu alternatif terbaik. Energi surya termal merupakan sumber energi
yang ramah lingkungan karena tidak memancarkan emisi karbon berbahaya yang
berkontribusi terhadap perubahan iklim seperti pada bahan bakar fosil. Setiap watt energi
yang dihasilkan dari matahari berarti kita telah mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, dan
dengan demikian kita benar-benar telah mengurangi dampak perubahan iklim. Penelitian
terbaru melaporkan bahwa rata-rata sistem rumah surya mampu mengurangi 18 ton emisi gas
rumah kaca di lingkungan setiap tahunnya. Energi surya juga tidak memancarkan oksida
nitrogen atau sulfur dioksida yang berarti tidak menyebabkan hujan asam atau kabut asap.
Dan keuntungan utama dari jenis pembangkit listrik energi surya termal ini adalah bagaimana
ia dapat menyimpan tenaga hingga delapan jam penyimpanan energi panas garam cair setelah
matahari terbenam, yang memungkinkan penggunaan daya saat dibutuhkan.
Matahari merupakan sumber energi yang benar-benar bebas untuk digunakan oleh
setiap orang. Tidak ada yang memiliki Matahari, jadi setelah Anda menutupi biaya investasi
awal, pemakaian energi selanjutnya dapat dikatakan gratis. Lebih banyak energi matahari
yang kita gunakan maka semakin sedikit kita bergantung pada bahan bakar fosil. Ini berarti
akan meningkatkan ketahanan dan keamanan energi, karena akan mengurangi kebutuhan
impor minyak dari pihak asing. Dalam jangka panjang energi surya akan menghemat
pengeluaran uang untuk energi. Biaya awalnya memang cukup signifikan, namun setelah
beberapa waktu Anda akan memiliki akses ke energi yang benar-benar gratis, dan jika sistem
rumah tenaga surya menghasilkan energi yang lebih dari yang Anda butuhkan, di beberapa
negara perusahaan listrik dapat membelinya dari Anda, yang berarti ada potensi keuntungan
ekstra terlibat. Ada juga banyak negara yang menawarkan insentif keuangan untuk
menggunakan energi surya.

26
 Namun, untuk di indonesia sendiri sumber energi surya yang lebih banyak digunakan
adalah energi surya dengan sistem photovoltaik. Pemanfaatan energi surya termal di
Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Para petani dan nelayan di Indonesia
memanfaatkan energi surya untuk mengeringkan hasil pertanian dan perikanan secara
langsung. Sistem energi surya termal di Indonesia belum dikembangkan menjadi pembangkit
listrik seperti sistem photovoltaik dikarenakan kolektor terkonsentrasi yang dipakai untuk
mengumpulkan panas pada sistem ini membutuhkan radiasi matahari yang sangat tinggi untuk
bisa memanaskan garam cair agar bisa menjadi uap yang memutar turbin untuk menghasilkan
listrik. Suhu yang harus dicapai adalah sekitar 300-5000C, sehingga masih sangat susah di
lakukan di Indonesia dibandingkan dengan sistem photovoltaik yang tidak begitu
membutuhkan suhu panas yang tinggi untuk menghasilkan listrik. Namun, berdasarkan
perhitungan biaya sistem surya termal jauh lebih ekonomis dibandingkan sistem photovoltaik
sehingga harapannya semoga energi dengan sistem surya termal ini dapat segera
direalisasikan di Indonesia.

27
 DAFTAR PUSTAKA

Bhatia, S. C. Advanced Renewable Energy Systems. Advanced Renewable Energy Systems,

2014.

Boedoyo, Mohamad Sidik. “Potensi Dan Peranan PLTS Sebagai Energi Alternatif Masa
Depan Di Indonesia.” Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia 14, no. 2 (2012): 146–52.

Garcia, Rafael Paiva, Santiago del Rio Oliveira, and Vicente Luiz Scalon. “Thermal
Efficiency Experimental Evaluation of Solar Flat Plate Collectors When Introducing
Convective Barriers.” Solar Energy 182, no. November 2018 (2019): 278–85.
https://doi.org/10.1016/j.solener.2019.02.048.

Irawan, Riski. “Pembuatan Dan Pengujian Kolektor Surya Pelat Datar ( Flat-Plate Collectors )
Kondisi Steady Berdasarkan Standar En 12975” 12975 (2016): 61.

Listrik, Pembangkit, Tenaga Surya, Skala Rumah, Tangga Urban, and Nyoman S Kumara.
“Dan Ketersediaannya Di Indonesia” 9, no. 1 (2010).

“Pembuatan Kolektor Pelat Datar Sebagai Pemanas Air Energi Surya Dengan Jumlah Penutup
Satu Lapis Dan Dua Lapis,” n.d., 1–7.

Rahardjo, Irawan, and Ira Fitriana. “Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Di
Indonesia.” Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi
Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, Dan Energi Terbarukan, P3TKKE,
BPPT, Januari, 2005, 43–52.
http://www.geocities.ws/markal_bppt/publish/pltkcl/plrahard.pdf.

Syamsu, Danny, and Kristian Selleng. “Efektifitas Kolektor Energi Surya Pada Konfigurasi
Paralel-,” 2000, 10–16.

Yandri, Valdi Rizki. “Prospek Pengembangan Energi Surya Untuk Kebutuhan Listrik Di
Indonesia.” Jurnal Ilmu Fisika | Universitas Andalas 4, no. 1 (2012): 14–19.
https://doi.org/10.25077/jif.4.1.14-19.2012.

28
29
 Solar Energy 182 (2019) 278–285

Contents lists available at ScienceDirect

Solar Energy
journal homepage: www.elsevier.com/locate/solener

Thermal efficiency experimental evaluation of solar flat plate collectors T

when introducing convective barriers
⁎
Rafael Paiva Garciaa, , Santiago del Rio Oliveirab, Vicente Luiz Scalonb
a
Depto. da Indústria, Instituto Federal do Estado de São Paulo - IFSP, Birigui, SP, Brazil
b
Universidade Estadual Paulista (UNESP), Faculdade de Engenharia, Bauru, SP, Brazil

A R T I C LE I N FO A B S T R A C T

Keywords: The increase of renewable sources in power generation is a global concern. Research and development of re-
Solar flat plate collector newable energy devices use are leading to changes in the global energy mix. In this scenario, solar energy has a
Transparent insulation great potential for new applications. Thus, this study analyzes possible improvements in the thermal efficiency of
Free convection in cavities solar flat plate collectors commonly used in domestic water heating systems. The influence of the inclusion of
Solar energy thermal efficiency
convective barriers inside the air cavity located between the absorber plate and the glass cover is evaluated
based on the increase of the thermal efficiency in the solar collector. The use of these barriers limits the space
between the absorber plate and the glass cover, which may reduce heat losses in some conditions. The ex-
perimental analysis was performed using four solar collectors with one to four convective barriers. The results
obtained were compared with a reference solar collector, without any barrier. An instrumented test bench was
built to measure the flat plate solar collector thermal efficiency. The results showed that there was no significant
variation in solar radiation absorption since the maximum thermal efficiency remains unchanged. However, the
barriers inclusion implies in changes in heat loss. The experimental data shown that changes in heat loss are
−2,2%, −5,3% and 2,9% for two, three and four barriers, respectively. In this way, the convection barriers are
able to reduce the heat loss in two cases, but increase the heat loss in one case. This result indicates that there is
an optimal number of convective barriers for each solar collector design.

1. Introduction
Solar energy is now an important source of renewable energy pre-
sent in the world energy mix. Several countries have developed tech-
nologies for direct electricity generation by solar energy, but the use as
a heat source in domestic hot water or air systems still may be better
exploited. Several new applications of solar energy have been ap-
pearing and intensifying their use, as shown by works developed by
Esen (2004), Esen et al. (2017). The technology involved in flat plate
solar collectors is well established and widely applied domestic heating
devices. In commercial facilities, such as in hotels and larger plants,
there may be a limitation related to the energy demand and the
available roof space for the installation of solar collectors. In this case, a
possible solution is to enhance the efficiency of the solar collectors.
There are several ways to enhance the thermal efficiency of solar
flat plate collectors. For instance, increasing the incident radiation
absorptivity and the improving the cover glass transparency. Reducing
the thermal losses to the environment is another way. There are studies
testing all these cases. One that can be highlight is given in reference
Giovannetti et al. (2014), where the authors improve the transparency
of the glass for solar collector use. Another important study was pro-
posed by Nikolić and Lukić (2015), verifying the use of reflection sys-
tems to improve energy availability.
There is a large number of other studies considering the increase of
the thermal efficiency by the reduction the heat losses from the col-
lector top. One of the main studies, developed by Hollands (1965),
shows that the space between the cover and absorption plate is critical
factor in the design of solar collectors. The losses by natural convection
from the absorption plate to the cover were theoretically predicted by
empirical correlations, as the classic one developed by Hollands (1965).
Other authors have studied this phenomena, Nahar and Garg (1980)
presents a review of empirical correlations obtained by several authors.
Considering all the presented studies, it was found that an optimum
value for the spacing of cover-absorber plate is around 50 mm. Ac-
cording to Nahar and Garg (1980), the increment in this spacing in-
creases the shading in the absorption plate, decreasing the absorbed
energy. A numerical modeling for the convection on this cavity was also
developed by Koulibaly et al. (2015), considering free convection of air

⁎
Corresponding author.
E-mail addresses: rafaelgarcia@ifsp.edu.br (R.P. Garcia), santiago.oliveira@unesp.br (S.d.R. Oliveira), vicente.scalon@unesp.br (V.L. Scalon).

https://doi.org/10.1016/j.solener.2019.02.048
Received 23 November 2018; Received in revised form 13 February 2019; Accepted 20 February 2019
0038-092X/ © 2019 International Solar Energy Society. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
R.P. Garcia, et al.
Nomenclature
Greek symbols
β inclination of solar collector [°]
ΔT temperature difference defined in Eq. (3) [°C]
η thermal efficiency [Dimensionless]
Φ latitude [°]
Roman symbols
ṁ mass fluid flow [kg/s]
Q̇ thermal load absorbed by a solar collector [W]
Acol transparent solar collector area [m2]
in a flat solar collector. The distances analyzed were 25, 30, 40 and
50 mm and the minimum heat transfer was verified with a 50 mm
spacing.
The influence of the solar collector length in the heat losses was
analyzed in some studies developed by Koulibaly et al. (2015) and
Goncalves et al. (2016). The results show that increasing the length of
the solar collector causes the increase of the convective heat transfer
coefficient and, consequently, major heat loss from the solar collector to
the environment. Both studies also conclude that the heat losses due to
the increase of length are more significant than the losses due to the
spacing cover-absorber plate.
The internal convection can be reduced changing the absorption
plates from flat to an undulating surface. Some tests for this analysis can
be seen on Gao et al. (2000) and Varol and Oztop (2008). Both studies
use numerical analysis to investigate the internal convective heat
transfer coefficient of flat solar air heater changing geometric and
physical parameters of the solar collector with a corrugated absorber.
Varol and Oztop (2008) also checked the variation of the Nusselt
number as a function of the Rayleigh number. They found that the
undulating absorbers have higher Nusselt values for water flow when
compared to the values obtained by the flat absorbers.
Another way of reducing heat losses on top of flat plate solar col-
lectors is using the TIM (Transparent Insulation Materials). Wong et al.
(2007), Cadafalch and Cònsul (2014), Sun et al. (2018) directed their
studies into the main types of TIMs and their characteristics in terms of
thermal and optical behavior, as well as the benefits that can be ob-
tained through their application. Wong et al. (2007) analyzed the
payback time of these applications in the most diverse geometries. The
authors highlighted the relevance of using transparent insulation sys-
tems in solar collectors in order to increase their efficiency, with
highlights for colder regions. Peuportier and Michel (1995) carried out
a similar experimental study with TIM application in passive heating
systems in thrombus walls and verified efficiency increases of the order
of 25%. Jia et al. (2018) and Sun et al. (2018) focused on the analysis of
the use of TIMs in building windows, but their results can be used to
evaluate and analyze the benefit of applying TIMs to solar collectors.
Another possible use of this type of insulation is an application in hy-
brid collectors (PVT), where Hussain et al. (2015) demonstrated that it
is possible to obtain an expressive increase in the thermal efficiency
besides the improvement in the electrical efficiency of the system.
Osorio et al. (2017) also successfully applied transparent insulation
systems in parabolic solar concentrators. The application of this type of
insulation in high-temperature systems demands greater care with its
structural integrity Rommel and Wagner (1992) showed systems made
of glass capillary tubes that allowed the application in a stagnation
temperature of 261 °C. Wong et al. (2007) divided TIM schemes into
four groups classified into barriers parallel to the absorber plate, bar-
riers perpendicular to the absorber plate, structured barriers and airgel
barriers. Considering this classification, Hirasawa et al. (2013) used a
279
Solar Energy 182 (2019) 278–285
cp specific heat of water [J/(kg K)]
G global solar irradiation in the solar collector plane [W/m2]
S incident solar radiation on the solar collector [W]
Ta environmental temperature [°C]
Tm mean fluid temperature in collector presented in Eq. (3)
[°C]
Tb, i bulk temperature at collector inlet [°C]
Tb, i fluid temperature at the solar collector inlet [°C]
Tb, o bulk temperature at collector outlet [°C]
Tb, o temperature of the fluid at the outlet of the solar collector
[°C]
Ul overall heat loss coefficient [W/(m2K)]
structured barrier made of nylon screens, 0.05 mm in diameter and
spaced 2 mm apart. They observed a net reduction of the natural con-
vection heat loss of 7% to an absorber surface temperature of 100 °C.
The authors Baetens et al. (2011) and Cuce et al. (2014) have reviewed
the state of the art airgel materials that are used as TIMs. The authors
have identified that the disadvantage of airgel materials is linked to
their cost. However, the growth of its utility and the increase of its
production will tend to decrease the price and consequently its viabi-
lity.
Other evaluation of solar collectors with TIMs were performed by
Wong and Eames (2015). The authors presented the development of
mathematical models to calculate its optical performance. This mod-
eling system is based on a 6 mm outer glass plate, a poly-
methylmethacrylate (PMMA) capillary cell of 22 mm wide and an inner
glass plate of 8 mm. Kessentini et al. (2014) and Marcus (1983) per-
formed a numerical evaluation of the heat transfer in another TIM
schemes. In both studies, Kessentini et al. (2014) and Wong and Eames
(2015), there was a decrease in the convective heat transfer coefficient
with the use of TIMs in a solar collector. Considering other possibilities,
Riffel et al. (2009) compare the use of TIMs with a film of fluorescent
polymer (Teflon) and a double layer of glass on the cover of a solar
collector. The results show the best efficiency of the use of TIMs com-
pared to Teflon and a double layer of glass.
In this scenario, many authors note that the use of TIMs for the
optimization of solar collectors must consider many parameters such as
the choice of material, dimensions, and proportions. This study is very
important because there is an ideal TIM for each situation as shown by
Platzer (1992). Considering its implementation, Edwards et al. (1976) e
Hollands and Iynkaran (1985) show that the presence of small gaps in
the assembly does not affect its effectiveness. Many of the these studies
evaluate the economic and technical optimization of the flat solar col-
lector using transparent insulation.
Most of these studies cover structured insulators with different ar-
chitectures. The honeycomb structure is one of the most common. Thus,
this work intends to evaluate the influence of the inclusion of horizontal
barriers as a form of transparent isolation. The use of this type of as-
sembly, shown in Fig. 1, can be used with different spacing between the
barriers. Garcia et al. (2013) showed, through numerical simulation,
that there is the formation of a zone of low speed of recirculation in
certain situations. The formation of this region reduces the coefficient
of heat transfer between the plate and the glass, reducing the intensity
of the natural convection in that region. In this way, this work intends
to evaluate experimentally the impact of the presence of a defined
number of barriers in the efficiency curve of modified solar collectors.
In this context, this study intends to evaluate the heat loss coeffi-
cient and thermal efficiency of a flat solar collector when adding per-
pendicular barriers. The analysis was performed on a instrumented test
bench. The used instrumentation was identical for all solar collectors.
Five commercial solar collectors were tested at the same time to ensure
R.P. Garcia, et al.
Fig. 1. Illustrative lateral view of the internal convection flow of the solar
collector without barrier (A) and with Barrier (B).
the same environmental conditions with the same water flow control.
The analysis was based on a baseline line solar collector in its original
configuration. Two to four barriers equally spaced were added to the
other collectors. Fig. 2 shows an overview of the test stand. The thermal
efficiency of each one is compared to identifying the best conditions.
2. Methodology
In order to evaluate the thermal efficiency of the solar collectors,
tests were performed using the procedures described in the Brazilian
Standard Associação Brasileira de Normas Técnicas (2009). For this
performance analysis, test benches were constructed with sensors,
controllers, and monitors for each solar collector. All tests were per-
formed using the same model of the solar collector.
According to the principles demonstrated by different references,
such as Duffie and Beckman (2013) and Kalogirou (2013), the princi-
ples of the standard thermal efficiency test procedure were defined.
During the experimental tests it is necessary the measurements of
the water flow, inlet and outlet water temperatures, incident solar ra-
diation and the exposed area of the solar collector. Based on the values
obtained in these tests, it was possible to determine the thermal effi-
ciency of the solar collector under different situations. The test bench
was built to test up to five simultaneous solar collectors. The tests were
conducted at a location without buildings, towers, posts or other ele-
ments that could shade the solar collector during the test period.
However, the tests were performed outdoors and they are subject to
variations in solar radiation, wind speed and direction.
2.1. Experimental apparatus
The test bench was composed of several components, including in-
strumentation and support. The support for the solar collector has been
constructed to allow its fixation with variable angle and the necessary
hydraulic installation. The slope angle of the solar collector used in the
tests was based on a optimal condition for winter energy capture. In this
case, for the latitude of the city of Bauru-SP (Φ = −22.3°), the optimal
angle of inclination is β = 32.3°. For simplicity, the angle β = 35° was
used in this assembly. In addition to the angle of inclination, the solar
collectors were oriented northwards, as indicated for southern hemi-
sphere regions Kalogirou (2013).
For the hydraulic connections, polyethylene tubes with 1 in dia-
meter were used at inlet and outlet connections of the solar collector.
Valves and connections for fixing the water pump, sensors and con-
trollers were also included. Fig. 3 shown the hydraulic scheme of
connections and the identification of all components and sensors in the
test bench.
The solar collector used in the tests was a commercial model man-
ufactured by a local company. This solar collector is typical for re-
sidential applications and conforms to the standard testing procedures,
as determined by local regulations. The thermal efficiency curve was
obtained by a standardization test using a thermal simulator and was
available to whom it may concern. In these tests, a controller handles
280
Solar Energy 182 (2019) 278–285
several sensors and can correct some parameters during the test run.
The values read by the sensors are also stored on each programming
cycle on the SD memory-card. For these functions, an open platform
control board known as Arduino Mega was used. This board has a
processing capacity and the number of analog and digital ports that was
compatible with the needs of used sensors.
Temperature measurements were very sensitive in calculating the
operating parameters of the solar collector and its thermal efficiency. In
the case of the proposed test, temperatures were measured by a digital
temperature sensor DS18B20. The major advantage of this kind of
sensor is that it has multi-signal multiplexing capability. This sensor has
a 64-bit serial code that allows multiple sensors to use the same digital
port. Another important aspect is the fact that this sensor has a mea-
surement uncertainty of 0.5 °C for a range between −10 °C and 85 °C.
This type of sensor was used in all experiment temperature measure-
ments including inlet and outlet temperatures of the solar collector,
environmental parameters and thermal radiation. For measuring en-
vironmental conditions of temperature and humidity, a solar protection
system was constructed using an insulated PVC pipe with forced air
circulation by suction using a cooler. A temperature sensor of type
DS18B20 and a humidity meter with sensor type DHT11 were also
positioned inside the apparatus. In addition to these devices, a shell
anemometer and a resistive wind direction sensor were also used to
record environmental conditions during the test.
A pyranometer for measurement of thermal radiation was also as-
sembled from previous studies developed in the laboratory. Its principle
operation is based on the correlation of the difference of two tem-
perature sensors DS18B20 and the intensity of the solar radiation. The
sensors were positioned to measure the temperature of a small black
aluminum plate exposed to the sun and the environmental temperature
on pyranometer enclosure. A detailed description of the development
for this scheme based on temperature measurements using thermo-
couples can be seen in Avallone et al. (2018).
A water pump was used to perform forced circulation in the solar
collector circuit. In this system, a sensor YF-S201 was used for flow
measurements. Each flow sensor YF-S201 was previous calibrated and
positioned according to the number 6 in Fig. 3. During the tests, it was
strongly recommendable that water flow in each solar collector does
not changes significantly. The water flow is a fundamental parameter in
the calculation of the thermal efficiency of a solar collector. According
to the literature, the fluid flow rate should be adjusted to ṁ = 0.02 [kg/
(s m)] for m2 of solar collector opening area, or V̇ = 1.2 [L/(min m)],
according to Standard Associação Brasileira de Normas Técnicas
(2009). For controlling the flow rate, a device was developed coupling a
pressure valve to a stepper motor, as shown in Fig. 3. This device was
also controlled by Arduino Mega and adjustments on the water flow
could be done in real time. The values of all measurements obtained
were stored in a SD memory-card in defined time intervals. The re-
cording of these values was performed by the same controller board
Arduino Mega through a suitable shield. These results were later
Fig. 2. Solar collectors test bench overview.
R.P. Garcia, et al. Solar Energy 182 (2019) 278–285

Fig. 3. Solar collectors test bench scheme.

processed in a computer in order to determine the relationship between Tb, i + Tb, o

ΔT = Tm − Ta where Tm =
the thermal efficiency of the solar collector and the most relevant op- 2 (3)
eration parameters of the test.
Using this definition, Eq. (2) can be rewritten in the general form as:

2.2. Solar collector efficiency evaluation η = a − b ΔT / G − c G ΔT / G 2 (4)

where the values of the constants a, b and c can be obtained from a

Based on the physical parameters measured through the experi-
curve fit the using least squares method of the experimental data.
mental procedure, it is necessary to estimate the thermal efficiency of
However, before analyzing the experimental data, some filters were
the solar collector (η ). The definition of thermal efficiency is based on
defined for the data in order to ensure a good approximation of the
the relation between the useful energy collected and the incident en-
solar collector performance:
ergy on the solar collector surface. Fig. 4 shows the phenomena in-

• the initial values associated with the transient regime condition

volved in the processes of absorption and heat loss in the solar collector.
The energy balance of these variables results in the following equation:
were eliminated;

η=
Q̇
=
ṁ cp (Tb, o − Tb, i ) • the points that had flow values below 2.3 L/(min m) and above
S G Acol (1) 2.5 L/(min m) were discarded;
• only those points where the measured solar radiation intensity was
This equation is usually expanded by using an energy balance on the greater than 100 W/m2 and less than 1300 W/m2 were maintained.
absorber heat surface in the form:
After these previous filters, a Chauvenet statistical analysis Holman
FR
η= [(τα ) − Ul ΔT ] (2011) was also applied. So, this statistical analysis of the experimental
G (2)
data erased some data points based on the standard deviation for the
where the overall heat loss coefficient can be represented by a linear fitting curve. After all these statistical analyzes, the fitting coefficients
correlation with temperature Ul = a1 + a2 ΔT . are determined. However, it is very difficult to obtain a correlation
Although the temperature difference (ΔT ), presented in Eq. (2), is between the heat transfer coefficient and the temperature differences in
usually represented in the literature by ΔT = Tb, i − Ta , the Associação an outdoor test. In this case, wind speed variations are usually more
Brasileira de Normas Técnicas (2009) suggests a different definition. significant than changes in temperature differences. Therefore, the
Therefore, due the necessity of a the use of a solar standard curve for value obtained in the standardization tests of c = 2.7 W/(m2 K2) was
this solar collector, the same definition can be used: used as the default value in all cases. Based on these conditions, the

Fig. 4. Energy balance in a flat solar collector.

281
R.P. Garcia, et al.
experimental data were used to determine the values of a and b for each
of the solar collectors.
However, there is a considerable variation of the values of the ap-
proximation of a and b from the experimental data for solar collectors in
different positions. Analyzing the phenomena one could observe that:
• the solar collectors are installed in line, which implies in changes in
the of the external convection coefficient with the position as a
function of the wind direction and speed;
• small constructive changes that can lead to deviations in the thermal
efficiency of different solar collectors of the same type;
• the instruments used have some systematic errors that change the
measurements uniformly.
Considering one way to compensate this effects, this work proposes
a systematic correction of the measured values in order to compare the
results of all other solar collectors with the reference solar collector,
located at the end of the line. For this correction, it was proposed the
introduction of adjustment factors C1, C2 and C3 in the experimental
data fitting curve to compensate these discrepancies:
η = (a − C3) − b (C1 ΔT / G − C2)
− c G (C1 ΔT / G − C2 )2 , (5)
where the values of a and b are the same in all solar collectors and
obtained from the reference collector previously described. The values
of the correction parameters are obtained from the least squares fitting
method. The parameters are corrected in order to equalize the results
for all solar collectors, regardless of their position. These correction
parameters are related to a collector-instrumentation-position set. So,
when the changes were implemented in a particular solar collector,
their position and instrumentation were not changed in order to allow
the application of the same correction factors.
2.3. Experimental procedure
An apparatus composed by a set of original solar collectors (with no
changes) was used to evaluate the parameters defined for each solar
collector under different conditions. A series of tests was done during
Fig. 5. Arduino flowchart code for test bench.
282
Solar Energy 182 (2019) 278–285
several days to be able to obtain its thermal efficiency curves. The tests
were controlled by a system that allows corrections in operational
parameters, as shown in Fig. 5. Based on these tests, the thermal effi-
ciency curve for the reference solar collector was obtained as well as the
correction parameters for the other ones in the set.
The collectors used in the tests have the same model and their
thermal behavior at each bench position is evaluated. The experimental
procedure is similar to other previously developed studies such as Esen.
In this work, three solar collectors are also evaluated in the same
conditions and, later, the planned modifications are made. This same
study also highlights the importance of simultaneous tests as a way to
guarantee the same conditions of solar radiation, ambient air tem-
perature and wind speed in the tests, as performed this in work.
After this step, the solar collectors were modified including glass
barriers inside the cavity for new tests. Only the solar collector used as
reference was not modified. Because they were commercial solar col-
lectors, it was impossible to remove the glass cover without breaking it.
So, the top glass was also changed to another one in the modified solar
collectors. Fig. 6 shows how the whole process was performed. Glasses
with 4 mm thickness were used for the barriers and cover.
The modifications allowed the tests of solar collectors with 2, 3 and
4 barriers. In all cases, the barriers were included in the air-glass space
generating cavities of the same size. After the modifications, each solar
collector was mounted on the test bench in the same position and
sensors. The tests were performed in the same way previously pre-
sented. Considering the results, the thermal efficiency evaluation was
later corrected with parameters obtained on the original solar collector
test. So, the new tests allows the evaluation of thermal efficiency curve
for each solar collector with modifications.
3. Results
Based on the previous methodology, tests were performed on the
four solar collectors of the same model. The tests were performed si-
multaneously to ensure the same environmental conditions. The re-
ference solar collector remains the same on all tests. The other ones
were subsequently modified including 2, 3 and 4 transverse glass bar-
riers. For the tests, a commercial solar collector model was used on all
R.P. Garcia, et al. Solar Energy 182 (2019) 278–285

Fig. 6. Procedure for inclusion of convection barriers.

Table 1
Standard values for the commercial solar collector used in tests.
Coefficient a [%] b [W/(m2K)] c [W/(m2K2)]

Value 76.3 605.6 2.7

Table 2
Coefficients for adjustment of different positions in test apparatus.
Coletor C1 C2 C3

2 1.09986 −0.01142 6.77675

3 1.36149 −0.01600 14.28455
4 1.14138 −0.01582 15.38340

positions. The thermal efficiency of the solar collector is provided by

the manufacturer according to Eq. (4). This coefficient values are ob-
tained in the standardization tests for this model of solar collector can
be seen in Table 1.
These values are obtained from certification tests performed by a
company authorized in a previously calibrated solar simulator. The
results of the tests in the solar simulator are disponibilized by the
manufacturer. This parameter is important for the comparison with the
values obtained in this work and then used to validate experimental
results obtained for the solar collector without modifications.
The first part of the testing was performed with all solar collectors
without any kind of modification. The data was obtained from the
Laboratory of Heat Transfer in the city of Bauru(SP), Brazil with lati-
tude 22.35°S and longitude 49.04°W. Due to weather changes, the data
presented was collected in June/2018 on days 14, 16, 18 to 22 and 25.
The data was collected and treated according to the procedure es-
tablished in Section 2.2. Some filters were applied to the obtained data.
The correction procedure previously described was also applied to es-
timate a fit curve as a function of the operational parameters, posi-
tioning, and instrumentation. Thus, a parametrization of the results was
performed according to the baseline collector at position 1. Thus,
through a least squares adjustment, it was possible to obtain the ad-
justment parameters for the other positions, based on the correction Fig. 7. Solar collector thermal efficiency fit curve for tests without convective
proposed in Eq. (5). The values obtained for each position are shown in barriers.
Table 2.
The fitted thermal efficiency curves as a the function of the ΔT / G Fig. 7a shows the results for reference solar collector that occupies
parameter for all the collectors and its position on the test bench can be position 1. This position was used as a reference, according to the
seen in Fig. 7. The positions of each solar collector are highlighted in preferred direction of the on-site wind regime. In this way, the results
the lower right side on the figure. Position ”X” would be tested with for this position determined the adjustment coefficients presented in
another solar collector configuration, but its instrumentation had some Table 2. Figs. 7b-d show the results for the other solar collectors in
problems and, consequently, it was not used in this study. positions 2 to 4, respectively. The values presented in this figures are

283
R.P. Garcia, et al.
Fig. 8. Solar collector thermal efficiency fit curve for tests with convective
barriers.
already adjusted by the parameters defined in Table 2.
An analysis of this sequence of results shows that these tests are very
close to obtained in the solar simulator standard test for the same
collector model. This can be verified checking the similarity between
the coefficients for the fitted thermal efficiency curve with the ones
available and presented in Table 1.
284
Solar Energy 182 (2019) 278–285
It is worth mentioning the good agreement of all coefficients from
the fit adjustment for different positions after application the correction
of deviations associated with instrumentation and positioning. This
assertion is based on the fact that the thermal efficiency curves of all
solar collectors of the same model must be very close, despite their
position.
After conducting the initial tests to determine the correction para-
meters of the collector position, convective barriers were included in
some collectors as described before. This fact required the brake and
posterior replacement of the glass cover. The modified solar collectors
were later tested with the same methodology and previous positioning.
The tests were performed in July 2018 at the same location previously
described. Based on the most favorable climatic conditions, the data
obtained on days 1 to 5, 10 to 19 and 24 were used in the analysis. The
statistical data treatment was done with the application of the same
filters and analyzes used in the previous case. The data was also ad-
justed according to the correction parameters obtained in Table 2.
Fig. 8 shows the results obtained with used and eliminated points and
its fit curve for the thermal efficiency. Analyzing the results of the solar
collector in position 1, it is verified that changes in environmental
conditions implied in small deviations on its thermal efficiency curve.
Thus, this new thermal efficiency fitted curve is used to verify the ef-
fectiveness of inclusion of convection barriers in the other collectors.
Fig. 8a shows the experimental data from the reference solar col-
lector test with no modification on its original design. Different days
and environmental conditions were considered, so environmental
temperature, solar radiation, and wind regime changes from the first
test. Due to these variations, small changes in the fitted curve coeffi-
cients can be verified. The thermal efficiency in ΔT / G = 0 (η0 ) de-
creased by 3.4% and the coefficient of thermal losses increased by 2.2%
in relation to the previous test. Thus, this equation presented in Fig. 8a
was used as reference value for the second test with the new environ-
mental conditions. For the other positions, the same corrections es-
tablished in Eq. (5) and shown in Table 2 are applied for each bench
position.
Fig. 8b shows the experimental data and curve fit for the solar
collector with two convection barriers at position 2. The efficiency for
ΔT / G = 0 η0 ) remained practically unchanged when compared to the
reference one. The slope coefficient of the curve, representing the heat
loss coefficient, decreased by 2.2% in relation to the reference one
under the same conditions. The collector with three convective barriers,
presented in Fig. 8c, also did not change the thermal efficiency for
ΔT / G = 0 (η0 ) but had a greater reduction in the loss coefficient. In this
case, a 5.25% reduction in the slope of the curve was observed, in-
dicating the same reduction on the convection heat loss. However, this
reduction in heat loss coefficient is inverted when it is used four con-
vection barriers. In this case, there is an increase in the coefficient of
losses of 2.88% in relation to the reference solar collector as shown in
Fig. 8d. Despite the change in the coefficient, there was no change in
the transparency of the collector, since the efficiency for ΔT / G = 0 (η0 )
remained practically constant.
So, it was verified in the tests that the use of convective barriers was
effective in reducing the overall heat loss coefficient at the top of the
solar collector. According to the presented results, there is an optimum
spacing value to search for this effect. Further studies may explain
better which parameters could influence in this heat loss. If all influence
parameters are known, an optimization process can lead to the de-
termination of optimal values for convective barriers spacing in each
case.
4. Conclusion
All tests performed studied the solar collector efficiency under dif-
ferent environmental conditions. Based on the analysis of the results
one can conclude that:
R.P. Garcia, et al.
• a correction procedure was necessary for some collectors in an
aligned test bench. The correction procedure coefficients for each
line position were evaluated. These coefficients were later used in
the modified solar collectors.
• the baseline solar collector corrected data was similar to data ob-
tained by the standardization tests.
•
including different numbers of convective barriers did not modify
the solar collector transparency. Considering all changes, the effi-
ciency at ΔT / G = 0 remained almost constant. This can be justified
by the small change in the transparent area of solar collectors.
• the slope of the fitted curves for the modified solar collectors shows
changes that are statistically significant. The reduction in this
parameter implies the same change in global heat losses coefficient.
Analyzing the results, the lower global coefficient heat losses was
obtained using three equally spaced barriers. This case presents a
reduction of about 5.25% in global loss heat transfer coefficient.
Previous numerical and experimental studies such as Garcia et al.
(2013) and Garcia et al. (2016) have lead to similar conclusions.
Thus, the use of the appropriate number of barriers proved to be
able to improve the efficiency of solar collectors for situations where
ΔT / G > 0 . This implementation could help the use of solar systems in
cold regions or places with small space available for installations, such
as hotels and buildings.
References
Associação Brasileira de Normas Técnicas, 2009. ABNT NBR 15747-2: Sistemas solares
térmicos e sues componentes - Coletores Solares. Parte2: Métodos de ensaio,
Associação Brasileira de Normas Técnicas.
Avallone, E., Mioralli, P.C., Scalon, V.L., Padilha, A., Oliveira, S.d.R., 2018. Thermal
pyranometer using the open hardware Arduino platform. Int. J. Thermodyn. 21, 1–5.
https://doi.org/10.5541/ijot.5000209000. <http://dergipark.gov.tr/ijot/
400063> .
Baetens, R., Jelle, B.P., Gustavsen, A., 2011. Aerogel insulation for building applications:
A state-of-the-art review. Energy Build. 43, 761–769. https://doi.org/10.1016/j.
enbuild.2010.12.012. <http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
S0378778810004329> .
Cadafalch, J., Cònsul, R., 2014. Detailed modelling of flat plate solar thermal collectors
with honeycomb-like transparent insulation. Sol. Energy 107, 202–209. https://doi.
org/10.1016/j.solener.2014.06.003. <http://www.sciencedirect.com/science/
article/pii/S0038092X14002898> .
Cuce, E., Cuce, P., Wood, C., Riffat, S., 2014. Toward aerogel based thermal super-
insulation in buildings: A comprehensive review. Renew. Sustain. Energy Rev. 34,
273–299. https://doi.org/10.1016/j.rser.2014.03.017.
Duffie, J.A., Beckman, W.A., 2013. Solar Engineering of Thermal Processes, fourth ed.
John Wiley & Sons, Hoboken.
Edwards, D.K., Arnold, J.N., Catton, I., 1976. End-clearance effects on rectangular-hon-
eycomb solar collectors. Sol. Energy 18, 253–257. https://doi.org/10.1016/0038-
092X(76)90024-4. <http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
0038092X76900244> .
Esen, M., 2004. Thermal performance of a solar cooker integrated vacuum-tube collector
with heat pipes containing different refrigerants. Sol. Energy 76, 751–757. https://
doi.org/10.1016/j.solener.2003.12.009. <http://www.sciencedirect.com/science/
article/pii/S0038092X04000027> .
Esen, H., Esen, M., Ozsolak, O., 2017. Modelling and experimental performance analysis
of solar-assisted ground source heat pump system. J. Exp. Theoret. Artif. Intell. 29,
1–17. https://doi.org/10.1080/0952813X.2015.1056242. <https://www.
tandfonline.com/doi/full/10.1080/0952813X.2015.1056242> .
Gao, W., Lin, W., Lu, E., 2000. Numerical study on natural convection inside the channel
between the flat-plate cover and sine-wave absorber of a cross-corrugated solar air
heater. Energy Convers. Manage. 41, 145–151.. <www.elsevier.com/locate/
enconman> .
Garcia, R.P., Bollini, L.E., Padilha, A., Scalon, V.L., 2013. Thermal analysis of convection
losses by changing baffle spacing in a cavity. In: Procceedings of the International
Congress of Mechanical Engineering (COBEM 2013). ABCM, pp. 6838–6847..
<http://abcm.org.br/anais/cobem/2013/_web/> .
Garcia, R.P., Scalon, V.L., Padilha, A., 2016. Experimental evaluation of an enhanced
transparent insulation system on a glass-plate cavity. In: Procceedings of the 16th
Brazilian Congress of Thermal Sciences and Engineering. ABCM, pp. 6. https://doi.
org/10.26678/ABCM.ENCIT2016.CIT2016-0302. <http://abcm.org.br/anais-de-
eventos/CIT2016/0302> .
Giovannetti, F., Föste, S., Ehrmann, N., Rockendorf, G., transmittance, High, 2014. low
285
Solar Energy 182 (2019) 278–285
emissivity glass covers for flat plate collectors: Applications and performance. Sol.
Energy 104, 52–59. https://doi.org/10.1016/j.solener.2013.10.006. <http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S0038092X13004076> .
Goncalves, G., Padilha, A., Scalon, V.L., 2016. Thermal efficiency of a collector geometry
based on the direct absorption solar colector using OpenFOAM®. In: Procceedings of
the 16th Brazilian Congress of Thermal Sciences and Engineering. ABCM, pp. 8.
https://doi.org/10.26678/ABCM.ENCIT2016.CIT2016-0203. <http://abcm.org.
br/anais-de-eventos/CIT2016/0203> .
Hirasawa, S., Tsubota, R., Kawanami, T., Shirai, K., 2013. Reduction of heat loss from
solar thermal collector by diminishing natural convection with high-porosity porous
medium. Sol. Energy 97, 305–313. https://doi.org/10.1016/j.solener.2013.08.035.
<http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0038092X13003459> .
Hollands, K.G.T., 1965. Honeycomb devices in flat-plate solar collectors. Int. J. Heat Mass
Transf. 1.
Hollands, K.G.T., Iynkaran, K., 1985. Proposal for a compound-honeycomb collector. Sol.
Energy 34, 309–316. https://doi.org/10.1016/0038-092X(85)90044-1. <http://
www.sciencedirect.com/science/article/pii/0038092X85900441> .
Holman, J.P., 2011. Experimental Methods for Engineers, eighth ed. McGraw-Hill
Education, Boston.
Hussain, F., Othman, M.Y.H., Yatim, B., Ruslan, H., Sopian, K., Anuar, Z., Khairuddin, S.,
2015. An improved design of photovoltaic/thermal solar collector. Sol. Energy 122,
885–891. https://doi.org/10.1016/j.solener.2015.10.008. <http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S0038092X15005411> .
Jia, H., Zhu, J., Debeli, D., Li, Z., Guo, J., 2018. Solar thermal energy harvesting prop-
erties of spacer fabric composite used for transparent insulation materials. Sol.
Energy Mater. Sol. Cells 174, 140–145. https://doi.org/10.1016/j.solmat.2017.08.
039.
Kalogirou, S.A., 2013. Solar Energy Engineering: Processes and Systems, second ed.
Elsevier.
Kessentini, H., Capdevila, R., Castro, J., Oliva, A., Bouden, C., 2014. Three dimensional
heat transfer analysis of combined conduction and radiation in honeycomb trans-
parent insulation. Sol. Energy 105, 58–70. https://doi.org/10.1016/j.solener.2014.
02.027.
Koulibaly, A., Bayón, G., José, J., 2015. Modelación de un colector solar para calenta-
miento de aire. Ingeniería Energética 36, 292–302.. <http://scielo.sld.cu/scielo.
php?script=sci_abstract&pid=S1815-59012015000300007&lng=es&nrm=iso&
tlng=es> .
Marcus, S.L., 1983. An approximate method for calculating the heat flux through a solar
collector honeycomb. Sol. Energy 30, 127–131. https://doi.org/10.1016/0038-092X
(83)90204-9. <http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
0038092X83902049> .
Nahar, N.M., Garg, H.P., 1980. Free convection and shading due to gap spacing between
an absorber plate and the cover glazing in solar energy flat-plate collectors. Appl.
Energy 7, 129–145. https://doi.org/10.1016/0306-2619(80)90054-9. <https://
www.sciencedirect.com/science/article/pii/0306261980900549?via3Dihub> .
Nikolić, N., Lukić, N., 2015. Theoretical and experimental investigation of the thermal
performance of a double exposure flat-plate solar collector. Sol. Energy 119,
100–113. https://doi.org/10.1016/j.solener.2015.06.038. <http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S0038092X15003461> .
Osorio, J.D., Rivera-Alvarez, A., Girurugwiro, P., Yang, S., Hovsapian, R., Ordonez, J.C.,
2017. Integration of transparent insulation materials into solar collector devices. Sol.
Energy 147, 8–21. https://doi.org/10.1016/j.solener.2017.03.011. <http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S0038092X17301688> .
Peuportier, B., Michel, J., 1995. Comparative analysis of active and passive solar heating
systems with transparent insulation. Sol. Energy 54, 13–18. https://doi.org/10.1016/
0038-092X(94)00112-Q. <http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
0038092X9400112Q> .
Platzer, W.J., 1992. Calculation procedure for collectors with a honeycomb cover of
rectangular cross section. Sol. Energy 48, 381–393. https://doi.org/10.1016/0038-
092X(92)90047-E. <http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
0038092X9290047E> .
Riffel, D., Andrade, R., Domingos, P., Belo, F., Leite, A., 2009. Comparative study on
transmittance of transparent coverings for solar collectors. In: 29th ISES Biennial
Solar World Congress 2009, ISES 2009, vol. 1. pp. 772–780.
Rommel, M., Wagner, A., 1992. Application of transparent insulation materials in im-
proved flat-plate collectors and integrated collector storages. Sol. Energy 49,
371–380. https://doi.org/10.1016/0038-092X(92)90109-N. <http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/0038092X9290109N> .
Sun, Y., Wilson, R., Wu, Y., 2018. A Review of Transparent Insulation Material (TIM) for
building energy saving and daylight comfort. Appl. Energy 226, 713–729. https://
doi.org/10.1016/j.apenergy.2018.05.094.
Varol, Y., Oztop, H.F., 2008. A comparative numerical study on natural convection in
inclined wavy and flat-plate solar collectors. Build. Environ. 43, 1535–1544.
Wong, I., Eames, P., 2015. A method for calculating the solar transmittance, absorptance
and reflectance of a transparent insulation system. Sol. Energy 111, 418–425. https://
doi.org/10.1016/j.solener.2014.09.028.
Wong, I.L., Eames, P.C., Perera, R.S., 2007. A review of transparent insulation systems
and the evaluation of payback period for building applications. Sol. Energy 81,
1058–1071. https://doi.org/10.1016/j.solener.2007.04.004. <http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S0038092X07000850> .