Anda di halaman 1dari 17

PPAM KESPRO PADA KRISIS BENCANA

PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN


HIV/AIDS PADA KRISIS KESEHATAN (SITUASI TANGGAP DARURAT
BENCANA)

Dosen pengampu:

Linda Yusanti,S.ST.,M .Keb

Kelompok 5 disusun oleh:

1. Maya Lestari (F0G022001)


2. Izzah Halimah (F0G022007)
3. Serly Wahyuningsih (F0G022014)
4. Nurul Janah Andriani (F0G022017)
5. Melani Nurhalisa (F0G022019)
6. Dewi Intan Fitriani (F0G022021)
7. Lydia Fitriani (F0G022023)

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BENGKULU

TAHUN 2024/2025
KATA PENGANTAR

Pencipta puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena
atas rahmat-nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Pencegahan penularan infeksi menular seksual dan hiv/aids pada krisis
kesehatan (situasi tanggap darurat bencana)”. Makalah ini disusun sebagai
salah satu tugas mata kuliah ppam kespro pada penanggulangan bencana di
universitas bengkulu. Dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima
kasih sedalam-dalamnya kepada bunda Linda Yusanti,S.ST.,M.Keb selaku dosen
mata kuliah ppam kespro pada nanggulangan bencana yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi para pelajar. Dan juga semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk kedepannya bagi kita semua. Sebelumnya
kami mohon maaf sebesar-besarnya kami menyadari bahwa penyelesaian
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dalam segi pembahasan,
penulisan dan penyusunan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritikan dan
saran dari dosen pembimbing mata kuliah ppam kespro pada penanggulangan
bencana untuk menyempurkan makalah ini. Jika ada kesalahan dalam penyusunan
kata. Tak ada yang sempurna di dunia ini terkecuali sang maha pencipta allah swt.

Bengkulu,21 Februari 2024

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................II

DAFTAR ISI........................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar belakang..............................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Tranfusi darah yang aman dan.....................................................................2


B. Pemantauan penularan infeksi menular seksual dan hiv/aids pada krisis
kesehatan (situasi tanggap gawat bencana)..................................................3

BAB III PENUTUP..............................................................................................10

A. Kesimpulan................................................................................................10
B. Saran...........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA
yang spesifik menyerang sistem imun kekebalan tubuh manusia. Penurunan
sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai
infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.Indonesia masih
menghadapi permasalahan terkait HIV/AIDS dan penyakit infeksi menular
seksual (IMS). Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia hingga Triwulan I tahun 2021, jumlah kumulatif kasus HIV di
Indonesia dilaporkan sebanyak 427.201 kasus dan jumlah kasus AIDS
dilaporkan sebanyak 131.147 kasus. Selama periode Januari hingga Maret
2021, jumlah kasus HIV dilaporkan sebanyak 7.650 kasus serta jumlah kasus
AIDS sebanyak 1.677 kasus. Jika dilihat distribusi kasus HIV berdasarkan
karakteristik usia, persentase kasus HIV didominasi oleh kelompok usia
produktif (25-49 tahun), yaitu mencapai 71,3% serta diikuti oleh kelompok
usia muda (20-24 tahun), yaitu mencapai 16.3%. Jika dilihat berdasarkan
karakteristik jenis kelamin, persentase kasus HIV pada laki-laki jauh lebih
besar (69,0%) dibandingkan dengan kelompok perempuan (31,0%). Sedangkan
jika dilihat dari faktor risiko, persentase kasus HIV masih didominasi pada
kelompok heteroseksual (51,5%), homoseksual (20,0%), dan penggunaan
jarum suntik secara bergantian (10,6%) (Kemenkes RI, 2021).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tranfusi darah yang aman ?
2. Bagaimana pemantauan penularan infeksi menular seksual dan hiv/aids
pada krisis kesehatan (situasi tanggap gawat bencana)?
C. Tujuan
1. Mengetahui tranfusi darah yang aman ?
2. Mengetahui pemantauan penularan infeksi menular seksual dan hiv/aids
pada krisis kesehatan (situasi tanggap gawat bencana)?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tranfusi Darah Yang Aman


Penggunaan darah secara rasional dan aman untuk transfusi darah sangat
penting untuk mencegah penularan HIV dan infeksi-infeksi lain yang dapat
menular melalui transfusi (TTI/Transfusion-Transmissible Infection) seperti
hepatitis B. hepatitis C dan sifilis. Jika darah yang tercemar HIV
ditransfusikan, maka penularan HIV kepada penerima hampir 100%. Transfusi
darah tidak boleh dilakukan jika fasilitas, perlengkapan dan staf yang terlatih
tidak ada.
Transfusi darah yang rasional mencakup:
1. Transfusi darah hanya dalam keadaan yang mengancam nyawa dan bila
tidak ada alternatif lain
2. Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau mengurangi perdarahan
aktif (misalnya oksitosin)
3. Menggunakan pengganti darah untuk mengganti volume yang hilang seperti
cairan pengganti berbasis kristaloid (Ringer Laktat, Normal Salin) atau
substitusi berbasis koloid (haemaccell, gelofusin) jika memungkinkan.
Transfusi darah aman mencakup:
1. Pengumpulan darah hanya dari donor darah sukarela yang tidak dibayar
dengan risiko rendah tertular infeksi lain melalui transfuse (TTI) dan
menetapkan kriteria seleksi donor darah yang lebih ketat
2. Melakukan skrining terhadap semua darah untuk transfusi, minimal untuk
HIV 1 dan 2, hepatitis B, hepatitis C, dan sifilis, dengan menggunakan alat
tes yang paling tepat. Satu tes skrining HIV tidak cukup untuk menentukan
status HIV. Jangan mengungkapkan hasil tes skrining yang positif kepada
donor jika mereka tidak dapat dirujuk untuk mendapat layanan konseling
dan tes sukarela (VCT). Dalam hal ini lakukan skrining terhadap darah.
untuk transfusi dan buang darah itu jika tidak dapat digunakan. Hubungkan
jasa transfuse darah dengan layanan VCT sesegera mungkin setelah
ditetapkan sebagai bagian dari respon yang komprehensif dan rujuklah
donor ke VCT sebelum skrining darah mereka.

2
3. Melakukan pengelompokan ABO dan tipe Rhesus D (RhD) dan, jika ada
waktu, melakukan pemeriksaan silang
4. Hanya melakukan transfusi darah kepada wanita usia subur dengan darah
tipe RhD yang sesuai
5. Memastikan praktik transfusi yang aman di sisi tempat tidur dan
pembuangan kantong darah, alat suntik, dan jarum suntik secara aman.
B. Pemantauan Penularan Infeksi Menular Seksual Dan HIV/AIDS Pada
Krisis Kesehatan (Situasi Tanggap Darurat Bencana)
Layanan HIV dari komunitas dalam situasi kebencanaan harus
mempertimbangkan kebutuhan kesehatan reproduksi, kesehatan ibu hamil, dan
kesehatan anak. Salah satu isu krusial yang harus dipersiapkan adalah
kontrasepsi. Kehamilan yang sehat memerlukan sumber daya yang besar bagi
ibu hamil. Sumber daya yang lebih besar diperlukan bagi ibu hamil dari
populasi rentan berkaitan dengan peningkatan risiko HIV dan IMS. Oleh
karena itu, komunitas diharapkan dapat memfasiltiasi layanan kontrasepsi bagi
populasi rentan HIV. Selain layanan kontrasepsi, kesehatan ibu dan anak dalam
konteks layanan HIV dalam situasi bencana juga harus mampu melakukan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Layanan PMTCT diharapkan
dapat terus berjalan dalam situasi kebencanaan. Secara teknis, hal ini berarti
menghubungkan layanan deteksi dan pengobatan HIV dengan layanan
kesehatan primer yang menangani perawatan antenatal ibu hamil dalam situasi
bencana. Penjaringan HIV pada ibu hamil harus terus berlanjut dalam situasi
bencana. Ibu hamil dan menyusui dengan HIV juga harus menjadi populasi
prioritas dalam distribusi ARV, walaupun ibu hamil dan menyusui tersebut baru
terdiagnosis dan belum menerima ARV sebelumnya. Promosi kesehatan juga
harus dijalankan dengan menyediakan paket informasi mengenai cara
menyusui bayi yang benar bagi ibu dengan HIV. Layanan ini diharapkan
tersedia segera setelah bencana dan dapat dikembangkan pada fase stabilisasi
dengan mengintegrasikan layanan PMCTC dengan layanan perawatan
antenatal umum.Pada situasi bencana dapat terjadi peningkatan risiko
penularan HIV karena faktor-faktor sebagai berikut, misalnya:

3
1. Kesulitan dalam menerapkan praktik kewaspadaan standar karena
keterbatasan alat dan bahan
2. Terjadinya peningkatan kasus kekerasan seksual yang berpotensi
menularkan HIV.
3. Terjadinya peningkatan risiko tranfusi darah yang tidak aman,
4. Terjadi hubungan seksual tidak aman.
HIV dapat ditularkan melalui:
1. Melakukan hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV
2. Berbagi jarum suntik atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi HIV
3. Menerima transfusi darah yang terkontaminasi HIV
4. Penularan dari ibu penderita HIV kepada janin/bayi selama kehamilan,
kelahiran atau menyusui.
Pencegahan penularan HIV pada situasi krisis kesehatan difokuskan kepada:
1. Petugas kesehatan
2. Penyintas kekerasan seksual
3. Penerima donor darah baik untuk korban luka maupun untuk ibu bersalin
yang mengalami perdarahan.

Prioritas pencegahan penularan hiv:

1. Memastikan kegiatan transfusi darah aman dan rasional yang dilakukan oleh
lembaga/organisasi yang bergerak di bidangnya, misalnya: Palang Merah
Indonesia (PMI)
2. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal dimulainya
koordinasi dan memastikan penerapannya
3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pascapajanan
4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan organisasi dan
lembaga yang bekerja di bidang kesehehatan reproduksi dan keluarga
berencana (pemerintah dan non pemerintah)
5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan yang
terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak)
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam
untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat rutin lainnya.

4
Langkah-langkah/kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penularan HIV
adalah:
1. Memastikan kegiatan transfusi darah aman dan rasional yang dilakukan oleh
lembaga/organisasi yang bergerak dibidangnya, misalnya: Palang Merah
Indonesia (PMI)
a. Pastikan darah berasal dari lembaga yang resmi yaitu Unit Transfusi
Darah (UTD) PMI, UTD Pemerintah serta BDRS (Bank Darah Rumah
Sakit) untuk menjamin darah aman digunakan dan dilakukan di fasilitas
kesehatan yang mempunyai perlengkapan dan tenaga kesehatan yang
kompeten. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, transfusi darah tidak
boleh dilakukan.
b. Lakukan koordinasi untuk mengetahui contact person/penanggung jawab
yang dapat dihubungi di UTD PMI dan UTD Pemerintah serta BDRS
setempat untuk pemantauan ketersediaan darah.
c. Perhatikan prinsip pelaksanaan transfusi darah yang rasional meliputi:
1) Transfusi darah hanya dilakukan untuk keadaan yang mengancam
nyawa dan tidak ada alternatif lain
2) Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau mengurangi
perdarahan aktif (misalnya Oksitosin, Asam
3) Tranexamat,dll)
d. Lakukan koordinasi dengan puskesmas atau rumah sakit untuk
penyediaan dan penggunaan cairan pengganti darah seperti cairan
pengganti berbasis kristaloid.
2. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal dimulainya
koordinasi dan memastikan penerapannya
a. Berkoordinasi dengan organisasi atau lembaga mitra sektor kesehatan
terkait untuk memastikan penerapan kewaspadaan standar tetap
dilakukan setiap saat, meskipun pada situasi krisis kesehatan.
b. Berkoordinasi dengan klaster kesehatan untuk penyediaan alat-alat,
bahan dan media KIE untuk penerapan kewaspadaan standar (misalnya,
masker, sarung tangan, apron, sepatu boot, leaflet, poster, dll) kepada

5
tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan posko-posko
kesehatan.
3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pascapajanan
a. Memastikan ketersediaan Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) di layanan
kesehatan
b. Memastikan petugas mengetahui PPP sebagai paket tindakan pencegahan
standar untuk mengurangi risiko penularan infeksi di tempat kerja
(mengidentifikasi dan menentukan petugas yang bertanggung jawab
untuk melayani kebutuhan PPP)
c. Pasang pengumuman/informasi tentang cara-cara pertolongan pertama di
ruang-ruang kerja dan informasikan kepada semua petugas bagaimana
mengakses perawatan untuk keterpaparan.
d. Menyelenggarakan sesi orientasi di pelayanan kesehatan mengenai
tindakan kewaspadaan standar untuk para petugas kesehatan dan petugas
lain.
e. Menetapkan sistem pengawasan dan melakukan observasi dengan
menggunakan daftar tilik (check list) sederhana untuk memastikan
kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, misalnya dengan
memperhatikan kebiasaan cuci tangan, pembuangan limbah tajam, cara
membersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh lainnya, dll.Pada
sumber pajanan maupun korban pajanan harus dilakukan tes HIV sebagai
dasar penentuan PPP, tetapi waktunya tidak boleh terlalu lama yaitu
paling lama 3 hari.Jika sumber pajanan tidak diketahui, biasanya PPP
hanya diberikan pada kasus yang sifatnya berat, misalnya:lesi akibat
jarum berlubang besar, tusukan yang dalam dan kontak dengan darah
yang terlihat pada alat medis (misalnya gunting, jarum, dll), pajanan pada
membran mukosa non-genital atau kulit yang tidak utuh, serta pajanan
terhadap darah atau cairan sperma yang berjumlah banyak.
4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan organisasi dan
lembaga yang bekerja di bidang kesehehatan reproduksi dan keluarga
berencana (pemerintah dan non pemerintah).
Koordinator perlu memastikan tersedianya kondom sejak masa awal
tanggap darurat krisis kesehatan, karena kondom mampu mencegah

6
penularan IMS dan HIV, melalui koordinasi antara Dinkes, BKKBN,
atau lembaga lain.
a. Pastikan pemberian kondom harus dilakukan sesuai dengan budaya
masyarakat setempat (misalnya: melalui fasilitas kesehatan setempat).
Kondom diberikan pada kelompok seksual aktif, penderita IMS dan HIV,
kelompok berisiko tinggi tertular IMS dan HIV.
b. Berikan informasi cara penggunaan kondom kepada masyarakat yang
belum mengetahui cara penggunaannya.Untuk kondom perempuan,
sebaiknya tidak disediakan apabila masyarakat belum mengenal dan
mengetahuinya.
5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan yang
terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak)
a. Memastikan ketersediaan data ODHA, layanan ARV dan layanan
HIV/AIDS lainnya di wilayah tersebut. Data dapat diperoleh dari
puskemas, LSM atau kelompok dukungan sebaya yang menjadi
pendamping minum obat ARV. Pemberian ARV dapat dilakukan di
puskesmas dan rumah sakit oleh petugas kesehatan yang terlatih.
1) Puskesmas: memberikan ARV untuk orang dengan HIV AIDS (ODHA)
tanpa komplikasi.
2) Rumah Sakit:
a) Memberikan ARV untuk ibu hamil dengan HIV
b) Memberikan ARV profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu HIV,
c) Pasien yang memiliki infeksi oportunistik dirawat di rumah sakit.
b. Pastikan saat krisis kesehatan pemberian ARV tidak boleh terputus oleh
karena itu penanggung jawab komponen pencegahan HIV/AIDS harus
berkoordinasi dengan penyedia layanan ARV.
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam
untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat rutin
lainnya.Informasi ketersediaan ARV maupun obat lainnya perlu diketahui
oleh ODHA, untuk memudahkan akses terhadap terapinya. Penanggung
jawab komponen pencegahan HIV/AIDS mengkoordinasikan:

7
a. Di setiap layanan kesehatan ditempatkan papan informasi terkait nama
petugas, nomor kontak dan lokasi untuk mengakses ARV dan obat
penunjang lainnya
b. Diumumkan atau disosialisasikan pada pertemuan masyarakat di
pengungsian tentang cara mengakses obat ARV dan obat penunjang
lainnya.
Layanan IMS terkait HIV dalam situasi kebencanaan
1. Respon minimal
a. Menyediakan terapi IMS berdasarkan diagnosis empiris
b. Mengusahakan ketersediaan obat-obatan IMS, baik modalitas
pilihan pertama ataupun alternatif
2. Respon komprehensif
a. Melakukan deteksi kasus IMS dengan penjaringan aktif di populasi
rentan
b. Mengusahakan ketersediaan obat-obatan pilihan pertama untuk
IMS
c. Mengintegrasikan layanan IMS dengan layanan HIV
d. Berjejaring dengan layanan pemerintah untuk menjamin akses bagi
populasi rentan HIV dan IMS

Layanan infeksi menular seksual (IMS) di komunitas sebagian


besar seharusnya terintegrasi dengan layanan pencegahan, diagnosis,
dan Pengobatan HIV mengingat faktor risiko yang sangat beririsan.
Akan tetapi, beberapa pertimbangan khusus tetap harus diberikan
untuk layanan IMS dalam kebencanaan. Hal ini terutama berkenaan
dengan perbedaan dalam algoritma diagnosis serta logistik yang
diperlukan dalam pelayanan.Algoritma diagnosis IMS sebagian besar
lebih sederhana dibandingkan dengan HIV. Hal ini terutama didasari
diagnosis IMS yang tidak selalu harus didasari pemeriksaan
penunjang. Klinisi dapat memulai terapi empiris IMS berdasarkan
diagnosis klinis tanpa menunggu pemeriksaan penunjang. Obat-obatan
IMS juga tidak bersifat sangat spesifik. Walaupun terapi pilihan
pertama tidak tersedia, terapi alternatif IMS sering kali merupakan

8
modalitas antibiotika yang umum tersedia di berbagai layanan
kesehatan. Hal ini membutuhkan
sumber daya yang lebih sedikit sehingga dapat segera dikerjakan
segera setelah bencana walaupun tidak terdapat cadangan alat dan
bahan yang telah dipersiapkan sebelumnya (UNAIDS,
2010).Sementara itu, pada fase stabilisasi, layanan komprehensif dapat
diluncurkan secara terintegrasi dengan layanan HIV. Deteksi kasus
IMS secara aktif dapat dilakukan bersamaan dengan deteksi kasus
HIV melalui tes mobile atau tes indeks. Sementara itu, kualitas
layanan terapi IMS juga dapat ditingkatkan dengan mengusahakan
tersedianya antibiotika lini pertama untuk terapi IMS. Jika komunitas
tidak dapat menyediakan layanan ini, layanan komprehensif dapat
dilakukan dengan berjejaring dengan layanan pemerintah.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penggunaan darah secara rasional dan aman untuk transfusi darah sangat
penting untuk mencegah penularan HIV dan infeksi-infeksi lain yang dapat
menular melalui transfusi (TTI/Transfusion-Transmissible Infection) seperti
hepatitis B. hepatitis C dan sifilis. Layanan PMTCT diharapkan dapat terus
berjalan dalam situasi kebencanaan. Secara teknis, hal ini berarti
menghubungkan layanan deteksi dan pengobatan HIV dengan layanan
kesehatan primer yang menangani perawatan antenatal ibu hamil dalam situasi
bencana. Penjaringan HIV pada ibu hamil harus terus berlanjut dalam situasi
bencana. Ibu hamil dan menyusui dengan HIV juga harus menjadi populasi
prioritas dalam distribusi ARV, walaupun ibu hamil dan menyusui tersebut baru
terdiagnosis dan belum menerima ARV sebelumnya. Promosi kesehatan juga
harus dijalankan dengan menyediakan paket informasi mengenai cara
menyusui bayi yang benar bagi ibu dengan HIV. Layanan ini diharapkan
tersedia segera setelah bencana dan dapat dikembangkan pada fase stabilisasi
dengan mengintegrasikan layanan PMCTC dengan layanan perawatan
antenatal umum.
B. Saran
Perlu adanya peningkatan dalam pemahanan dan pengetahuan tentang
transfusi darah yang aman dan sangat penting untuk mencegah penularan HIV
dan infeksi-infeksi lain yang dapat menular melalui transfusi (TTI/Transfusion-
Transmissible Infection) seperti hepatitis B. hepatitis C dan sifilis

10
DAFTAR PUSTAKA

BNPB (2016) Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.

Kemenkes RI (2021) Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi


Menular Seksual (PIMS) Triwulan I tahun 2021.

Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI dan UNFPA,2017,


Pedoman Nasional Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan
Reproduksi Remaja pada Krisis Kesehatan, Jakarta, UNFPA.

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2011,


Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana,
Jakarta, Kementerian Kesehatan RI

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan,Kementerian Kesehatan RI, 2015, Pedoman Nasional
Penanggulangan Infeksi Menular Seksual, Jakarta, Kementerian
KesehatanRI

Kelompok Kerja Antar Lembaga untuk Kesehatan Reproduksi dalam Situasi


Krisis, 2010, Buku Pedoman Lapangan Antar-Lembaga Kesehatan
Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana, Versi Bahasa Indonesia,
Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai