Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan

A. Penentuan Awal Bulan Qamariyah Tarekat Naqsabandiyah Padang


Istilah Naqsabandiyah pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin
Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi, yang juga sekaligus
sebagai pendiri Tarekat Naqsabandiyah. Beliau dilahirkan pada tahun 1318 di desa
Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara, yang
juga merupakan tempat di mana ia wafat pada tahun 1389. Sebagian besar masa
hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana.
Ini dilakukan untuk menjaga prinsip “melakukan perjalanan di dalam negeri”, yang
merupakan salah satu bentuk “laku” seperti yang ditulis oleh Omar Ali-Shah dalam
bukunya “Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi”. Perjalanan jauh yang
dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.
Terakat Naqsabandiyah adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah
penyampaian ilmu spritualnya kepada Nabi Muhammad saw. melalui penguasa
Muslim pertama yakni Abu Bakar Shidiq , tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal
lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam Syi’ah, dan dengan demikian
melalui Imam ‘Ali, sampai Nabi Muhammad SAW. Tariqat Naqshbandiyah terbina
asas dan rukunnya oleh 5 bintang yang bersinar diatas jalan Rasulullah (s.a.w) ini dan
inilah yang merupakan ciri yang unik bagi tariqat ini yang membedakannya daripada
tariqat lain. Lima bintang yang bersinar itu ialah Abu Bakr as-Siddiq,Salman Al-
Farisi,Bayazid al-Bistami,Abdul Khaliq al-Ghujdawani dan Muhammad Bahauddin
Uwaysi a-Bukhari yang lebih dikenali sebagai Shah Naqshband – Imam yang utama
didalam tariqat ini.1
Tarekat Naqsabandiyah sebagai salah satu tarekat mu’tabarah, dalam
penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal sangat akomodatif dengan apa yang
ditetapkan oleh pemerintah. Mereka pada umumnya mengikuti ketetapan pemerintah.

1
Sri, mulyan, Mengenal dan memahami tarekat-tarekat mukhtabarah di Indonesia, (Jakarta: prenada media,
2007), hal 92
Sekali pun mereka memiliki sistem perhitungan atau penentuan awal bulan kamariah,
seperti yang ditemukan di daerah Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota,
Maninjau, Agam, Solok dan Padang Pariaman. Hanya saja tidak dijadikan untuk
pedoman bersama yang harus diikuti oleh seluruh pengikutnya.
Pengikut tarekat Naqsabandiyah yang menentukan sendiri penentuan awal
Ramadhan dan awal Syawal adalah seperti yang terdapat di Kota Padang. Mereka
telah berpuasa beberapa hari sebelum pemerintah menetapkan awal Ramadhan, begitu
juga dalam pelaksanaan salat Idul Fitri, mereka telah salat beberapa hari sebelum
keluar ketetapan dari pemerintah.
Metode hisab rukyah yang digunakan oleh tarekat Naqsabandiyah dalam
penentuan awal bulan kamariah, yaitu :
1. Almanak Hisab Munjid
Mursyid tarekat Naqsabandiyah Kota Padang, Syafri Malin Mudo menyatakan
bahwa Almanak Hisab Munjid ini dibawa oleh Syeikh Muhammad Thain dari
Mekah dan ditulis oleh seorang falak dari Mekah. Almanak Hisab Munjid bukan
hanya digunakan oleh tarekat Naqsabandiyah di Padang tetapi juga digunakan
oleh beberapa tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat. Tarekat Naqsabandiyah
di Payakumbuh, Agam dan Solok juga menggunakan Almanak Hisab Munjid
sebagai pedoman penentuan awal bulan kamariah. Perbedaan yang mendasar
antara tarekat Naqsabandiyah di Padang dengan tarekat Naqsabandiyah lainnya
adalah perbedaan hari dalam mengawali proses perhitungan. Tarekat
Naqsabandiyah di Padang mulai menghitung hari dari Kamis (tarekat
Naqsabandiyah al-Khamsiyah), sedangkan tarekat Naqsabandiyah lainnya mulai
menghitung dari hari Ahad (tarekat Naqsabandiyah Ahadiyah)
Langkah-langkah menentukan awal bulan kamariah dengan Almanak Hisab
Munjid adalah :
a) Tentukan tahun yang akan dicari.
Contoh : 1433 H. Untuk mencari tahun 1433 dibagi dengan 8 Sisa 1.
Berdasarkan Almanak Hisab Munjid urutan ke-1 itu adalah tahun alif.
No urut Tahun Bilangan
1 Alif 1
2 Ha 5
3 Jim 3
4 Zal 7
5 Dal 1 4
6 Ba 2
7 Waw 6
8 Dal 2 4

b) Tentukan bulan yang akan dicari. Contoh bulan Syawal. Berdasarkan


Almanak Hisab Munjid, bulan Syawal termasuk tahun zal (7)
Bulan Kamariyah Bulan Bilangan
Muharram Zal 7
Safar Ba 2

Rabi’ul Awal Jim 3


Rabi’ul Akhir Ha 5
Jumadil Awal Waw 6
Jumadil Akhir Alif 1

Rajab Ba 2
Sya’ban Dal 4
Ramadhan Ha 5
Syawak Zal 7
Dzulqa’idah Alif 1
Dzulhijjah Jim 3

c) Lihatlah pada Almanak Hisab Munjid tahun alif dan bulan zal terletak pada
kolom apa. Setelah itu tariklah dari tahun alif ke bawah dan tarik pula dari
bulan zal ke samping kiri. Keduanya akan bertemu pada satu kolom hari.
Tahun alif dan bulan zal akan bertemu pada kolom hari Kamis

Berdasarkan Almanak Hisab Munjid dapat diketahui nama-nama dan


jumlah hari dalam tahun hijriah, yaitu :

No Nama Bulan Hari Hari


1 Muharram 30 30

2 Safar 29 59
3 Rabi’ul Awal 30 89
4 Rabi’ul Akhir 29 118
5 Jumadil Awal 30 148
6 Jumadil Akhir 29 177
7 Rajab 30 207
8 Sya’ban 29 236
9 Ramadhan 30 266
10 Syawal 29 296
11 Dzulqa’dah 30 325
12 Dzulhijjah 29/30 354/355
Siklus atau daur pada Almanak Hisab Munjid ini adalah selama 8 tahun (1
windu), dengan begitu dapat ditetapkan bahwa pada urutan 2, 5 dan 7
merupakan tahun panjang (355 hari), sedangkan pada urutan ke 1, 3, 4, 6
dan 8 merupakan tahun pendek (354 hari).

Tahun-tahun dalam satu windu (8 tahun) diberi nama dengan huruf jumali
yaitu :

No Tahun Nama Tahun Bilangan


1 Tahun Pertama Alif 1
2 Tahun Kedua Ha 5
3 Tahun Ketiga Jim 3
4 Tahun Keempat Zal 7
5 Tahun Kelima Dal Awal 4
6 Tahun Keenam Ba 2
7 Tahun Ketujuh Waw 6
8 Tahun Kedelapan Dal Akhir 4

Jika ditelusuri dalam Almanak Hisab Munjid, maka dalam tahun setiap windu
meliputi 354 x 8 + 3 = 2835 hari. Selanjutnya KPK dari 8 (siklus Almanak
Hisab Munjid) dan 30 (siklus penanggalan hijriah) adalah 120. Kemudian
untuk Almanak Hisab Munjid, 120 : 8 = 15 dan 15 x 2835 hari = 42525 hari.
Untuk tahun hijriah, 120 : 30 = 4 dan 4 x 10631 hari = 42524 hari. Hal ini juga
dapat diketahui dengan model perhitungan yang lain, yaitu :

Untuk Almanak Hisab Munjid = 354 3/8 hari

Untuk tahun Hijriyah = 354 11/30 hari

Selisih = 354 3/8 – 354 11/30

= 354 45/120 – 354 44/120 = 1/120

Almanak Hisab Munjid = 120 X 354 3/8 = 42525 hari

Tahun Hijriyah = 120 X 354 11/30 = 42524 hari

Dalam waktu 120 tahun sistem Almanak Hisab Munjid akan melonjak
1 hari bila dibandingkan dengan sistem hijriah. Oleh karena itu, setiap 120
tahun ada pengurangan 1 hari, yaitu yang seharusnya tahun panjang (kabisat)
dijadikan tahun pendek (basithah).

Hasil perhitungan dari Almanak Hisab Munjid terpaut perbedaan 1 hari


dari hasil perhitungan kalender hijriah, oleh sebab itu harus dilakukan koreksi
dengan cara memajukan Almanak Hisab Munjid 1 hari setiap 120 tahun. Hal
ini karena 1 tahun peredaran Bulan pada Almanak Hisab Munjid selama 354
3/8 hari atau 354 hari 9 jam, sedangkan 1 tahun peredaran Bulan pada tahun
Hijriah selama 354 11/30 hari atau 354 hari 8 jam 48 menit.

Pada Almanak Hisab Munjid yang digunakan oleh tarekat


Naqsabandiyah di Kota Padang tidak mengenal adanya pengurangan 1 hari
dalam jangka waktu 120 tahun. Ini menyebabkan terjadinya perbedaan hasil
perhitungan yang cukup jauh dalam penentuan awal bulan kamariahnya
apabila dibandingkan dengan kalender hijriah. Formulasi Almanak Hisab
Munjid yang digunakan oleh tarekat Naqsabandiyah pada saat ini adalah
formulasi yang seharusnya digunakan antara tahun 1 H – 120 H. Ketika
tarekat Naqsabandiyah menentukan 1 Syawal 1433 H jatuh pada hari Kamis,
maka dapat diketahui bahwa hari Kamis yang dimaksud bukanlah hari Kamis
pada tanggal 16 Agustus 2012, karena seharusnya hingga saat ini sudah ada
pengurangan 11 hari Almanak Hisab Munjid dari ketetapan sebelumnya.
Tarekat Naqsabandiyah al-Khamsiyah ini memulai menghitung hari
dari hari Kamis, yaitu berpedoman kepada ketetapan bahwa 1 Muharram
tahun 1 Hijriah adalah jatuh pada hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M. Hal ini
dapat dilihat pada tabel Almanak Hisab Munjid, tabel dimulai pada hari Kamis
yang bertepatan dengan tahun 1 H. Setelah mencermati hal tersebut maka
hendaknya harus ada reformulasi tabel yang dijadikan panduan dalam
penentuan awal bulan kamariah oleh tarekat Naqsabandiyah di Kota Padang.

Ketentuan yang harus dipertimbangkan adalah sejak tahun 1 H hingga


sekarang sudah berapa kali seharusnya pengurangan hari dalam Almanak
Hisab Munjid. Seperti ketentuan di atas, setiap 120 tahun ada pengurangan 1
hari, maka dapat disimpulkan bahwa seharusnya ada pengurangan beberapa
hari dari hasil ketetapan awal bulan kamariah yang digunakan oleh tarekat
Naqsabandiyah di Kota Padang. Berdasarkan hal tersebut, dapat dibuat sebuah
formulasi baru untuk pedoman penentuan awal bulan menurut Almanak Hisab
Munjid, yaitu :

1) Tahun 1 H – 120 H = Kamis


2) Tahun 121 H – 240 H = Rabu
3) Tahun 241 H – 360 H = Selasa
4) Tahun 361 H – 480 H = Senin
5) Tahun 481 H – 600 H = Ahad
6) Tahun 601 H – 720 H = Sabtu
7) Tahun 721 H – 840 H = Jum’at
8) Tahun 841 H – 960 H = Kamis
9) Tahun 961 H – 1080 H = Rabu
10) Tahun 1081 H – 1200 H = Selasa
11) Tahun 1201 H – 1320 H = Senin
12) Tahun 1321 H – 1440 H = Ahad
2. Hitungan Lima
Hitungan lima yang digunakan oleh tarekat Naqsabandiyah masih tergolong
‘urfi. Dalam keilmuan falak, hisab ‘urfi tidak relevan dijadikan dasar perhitungan
awal bulan kamariah, apalagi sesuatu yang kaitannya dengan ibadah. Sebaiknya
jika hal itu berkaitan dengan ibadah, proses perhitungan lebih baik menggunakan
hisab kontemporer. Setelah itu hasil perhitungan diverifikasi dengan rukyah al-
hilal.
Ketetapan awal bulan kamariah dari Almanak Hisab Munjid dan hitungan lima
tidak selamanya sama bahkan cenderung lebih sering berbeda. Perbedaan tersebut
tidak menjadi persoalan yang berarti bagi pengikut Tarekat Naqsabandiyah karena
keputusan akhir dari penetapan awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Dzulhijjah
berada di tangan mursyid. Untuk penentuan awal bulan kamariah yang berkaitan
dengan prosesi ibadah awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Dzulhijjahmursyid
menggunakan metode Almanak Hisab Munjid. Keputusan diambil tanpa sidang
itsbat atau pun keputusan bersama dari semua pengikut tarekat Naqsabandiyah.
3. Melihat Bulan
Rukyah al-hilal yang dilakukan oleh tarekat Naqsabandiyah berbeda dengan
rukyah al-hilal yang dilakukan oleh pemerintah atau pun oleh organisasi
keagamaan lainnya. Proses melihat hilal dilakukan dengan mata telanjang pada
tanggal 8, 15 dan 22 di setiap bulannya. Jika setelah dilihat, umur Bulan dan
bentuk Bulan tidak sesuai, maka mereka memundurkan harinya sesuai dengan
bentuk Bulan.
Pada dasarnya, pemilihan hari ke-8, 15 dan 22 untuk melihat Bulan karena
diperkirakan bentuk Bulan akan kelihatan jelas ketika dilihat dengan mata
telanjang. Ketika Bulan bergerak, maka ada bagian Bulan yang menerima sinar
Matahari terlihat dari Bumi. Bagian Bulan ini yang terlihat dari Bumi sangat kecil
dan membentuk Bulan sabit. Itulah yang dikenal dengan hilal awal bulan. Pada
awal bulan, hilal sangat sulit dilihat dengan mata telanjang. Semakin jauh Bulan
bergerak meninggalkan ijtima’, semakin besar pula cahaya Bulan yang tampak
dari Bumi. Sekitar tujuh hari kemudian sesudah Bulan mati, Bulan akan tampak
dari Bumi dengan bentuk setengah lingkaran. Itulah yang disebut dengan kwartir
II atau tarbi’ awal. Pada fase ini, umur Bulan diperkirakan 7-8 hari. Bulan yang
berbentuk setengah lingkaran cukup mudah untuk dirukyah.
Pada akhirnya sampailah Bulan pada titik terjauh dari Matahari dan secara
penuh menghadap ke Matahari yang disebut dengan saat istiqbal. Pada saat
istiqbal, Bumi persis sedang berada antara Bulan dan Matahari. Bagian Bulan
yang sedang menerima sinar Matahari hampir seluruhnya terlihat dari Bumi,
akibatnya Bulan tampak seperti bulatan penuh yang dinamakan badr atau Bulan
purnama. Pada fase ini diperkirakan umur Bulan adalah 14-15 hari. Setelah itu
Bulan bergerak terus dan bentuk Bulan semakin mengecil. Sekitar tujuh hari
kemudian setelah purnama, Bulan akan tampak dalam bentuk setengah lingkaran
lagi itulah yang disebut dengan kwartir II atau tarbi’ sani. Pada fase ini, umur
Bulan berkisar antara 21, 22, 23 hari. Akhirnya sampailah pada saat ijtima’
kembali dan menjelang bulan berikutnya dimana sama sekali tidak tampak dari
Bumi (Bulan mati).
Melihat Bulan untuk menentukan awal bulan kamariah juga kadang menemui
beberapa hambatan. Untuk melihat Bulan, tarekat Naqsabandiyah menggunakan
mata telanjang dan tidak pernah menggunakan teropong. Kemungkinan Bulan
untuk bisa terlihat tentu akan sulit, terlebih jika merujuk kepada beberapa faktor
dalam perukyahan seperti keadaan tempat, ketinggian tempat, atmosfir dan faktor
alam. Sekalipun Bulan dapat terlihat, perkiraan umur Bulan yang dijadikan
pedoman awal bulan masih bersifat ‘urfi.
B. Penentuan Awal Bulan Qamariyah Tarekat Naqsabandiyah Khalidyah Jombang
Syekh Ja’fani merupakan salah satu pembawa agama Islam di Jawa khususnya
di daerah Jombang. Sehingga nama beliau diabadikan menjadi salah satu nama desa
dikecamatan Gudo kabupaten Jombang yakni desa Japanan. Syekh Abdullah Faqir
merupakan salah satu murid Syekh Alawi Gedangan Tambakberas Jombang, beliau
juga mendapatkan ilmunya dari Jabalqubais Makkah. Ajaran-ajaran tersebut juga
diajarkan kepada putranya Syekh Yazidil Bustomi. Dari sinilah cikal bakal berdirinya
tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di dusun Kapas ini.
Ajaran tarekat Naqsabandyah Kholidyah sama dengan ajaran tarekat pada
umumnya yang mengajarkan tentang zuhud, mensucikan hati dan mendekatkan diri
untuk makrifat kepada Allah. Namun tarekat ini lebih menekankan pada amalan salat
dan wirid. Berbeda dengan ajaran tarekat lain, Tarekat ini hanya mengijazahkan
amalan pada waktu tertentu yang dikenal dengan istilah “lelebon” artinya para jamaah
akan berkhalwat selama 40 hari terhitung sejak memasuki tanggal 1 bulan Selo
(Zulqo’dah) sampa pada tanggal 10 Zulhijjah. Khalwat dilakukan dengan melakukan
salat malam dan membaca beberapa wirid yang diijazahkan oleh leluhur tarekat
Naqsabandiyah Khalidiyah.
Tentang penentuan awal bulan kamariyah, tarekat yang akrab disebut
Nashabandiyah Khalidiyah ini juga meyakini telah menggunakan cara-cara beribadah
Rasulullah Muhammad SAW dengan utuh. Cara-cara itu yang selama ini sudah mulai
ditinggalkan oleh umat Islam kebanyakan dan menggantinya dengan pendekatan
teknologi. Yang paling khas adalah penggunaan cara hitung kuno (Aboge) untuk
menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah.
Karena mereka menganggap selama ini umat islam kebanyakan hanya
menggunakan rukyatul hilal atau melihat bulan secara langsung (biasa dipakai
Nahdlatul Ulama) dan hisab atau menghitung secara matematis pergantian bulan
(biasa dipakai Muhammadiyyah).
Mengenai historisitas pemberlakuan metode hisab rukyat yang mereka pakai,
mereka lebih menekankan pada prinsip mengikuti “lelakon wong duwuran” artinya
segala tatacara yang mereka lakukan lebih mengikuti pada tradisi yang telah
berlangsung pada zaman leluhur mereka. Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah
mengenal metode hisab Jawa Islam Aboge. Selain itu, metode rukyat juga beliau
peroleh dari pengetahuan tentang hadits masalah penetapan awal bulan kamariyah.
Namun menurut tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah cara Aboge lebih bisa
menentukan dengan pas seperti yang diajarkan oleh mursyid (panutan) syekh
Abdullah Faqir.
Dalam penetapan awal bulan kamariyah, biasanya setiap tanggal 27, 28, 29
kalender Jawa Islam Aboge tarekat ini mengirim sejumlah pemuda dibeberapa titik
yang dianggap bisa melihat hilal seperti kawasan pegunungan Tunggorono Jombang,
Tembalang, Tanjungkodok dan lain-lain. Selanjutnya, jika hilal memang sudah
nampak maka pimpinan tarekat dalam hal ini diwakili oleh kiai Nasuha Anwar
mengumumkan kepada seluruh jamaah didusun Kapas bahwasanya besok sudah
mulai bulan baru.
Metode yang dipakai tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah juga menggunakan
dua cara yakni hisab dan rukyat sebagaimana yang digunakan pemerintah
Kementerian Agama RI yaitu:
1. Menggunakan Hisab
Sebelum menentukan awal bulan kamariyah aliran ini melakukan hisab
dengan menggunakan prinsip Aboge. Aboge ini digunakan karena menurutnya
merupakan metode yang pas dan pasti. Tehnik tersebut di atas dilakukan
perhitungan sejak tiga bulan sebelum bulan Syawal secara berturut-turut
mengingat tiga bulan itu berkaitan langsung dengan rangkaian ritual
keagamaan yang mereka lakukan.
Aliran ini melakukan perhitungan sendiri untuk penentuan awal bulan
kamariyah. Mereka tidak menggunakan patokan kalender hijriyah yang
biasanya sudah tertera pada taqwim (kalender) yang beredar di masyarakat.
Karena menurut mereka kalender yang beredar beserta datanya merupakan
buatan manusia, sehingga untuk lebih memberikan kemantapan Haqqul Yaqin
dalam penetapan ibadah mereka melakukan perhitungan sendiri.
Adapun yang menjadi titik tekan hisab pada aliran ini adalah metode
hisab menggunakan sistem Aboge. Kemudian, hasil hisabnya digunakan
sebagai arah-arah atau pedoman dalam rukyatul hilal. Bukan menjadi dasar
dalam penentuan awal bulan kamariyah. Sedangkan yang menjadi dasar dalam
penetapan awal bulan kamariyah adalah rukyatul hilal. Namun, jika gagal
terlihat, maka harus diistikmalkan (disempurnakan). Hal tersebut sesuai
dengan firman Allah :
‫يا َأُّي َها الَّذي َن آ َمنُوا ال تُقَ ِ ّد ُموا بَ ْي َن َيَديِّ هلال ِّ َو َر ُسو ِّل ِ ّه َو َّاتُقوا هلال َ إِّ َ ّن هلال َ َسمي ٌع َعلي ٌ م‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian semua
mendahului kehendak Allah SWT dan Rosul-Nya”. (QS. Al Hujurot : 1) 140
2. Menggunakan Rukyatul Hilal
Di samping menggunakan hisab, tarekat ini juga melanjutkan hasil
hisabnya dengan rukyatul hilal pada tanggal 27, 28, 29 pada waktu sore hari
menjelang maghrib ke arah mana dimungkinkan hilal akan muncul. Adapun
cara yang ditempuh dalam rukyatul hilal adalah dengan mengirimkan
kelompok-kelompok delegasi yang ditugaskan untuk melakukan rukaytul
hilal, baik secara kelompok, secara pribadi maupun bergabung dengan
kelompok rukyatul hilal yang diadakan pemerintah. Tarekat ini mengenal dua
metode rukyat, antara lain :
a) Rukyat bil Fi’li
Rukyat bil Fi’li diartikan sebagai rukyat dengan mata
telanjang. Tanpa menggunakan alat bantu apapun. Hilal harus
dilihat dengan mata telanjang, masyarakat Jombang mengenal
metode ini dengan sebutan Rukyat bil Haq.
Ketentuan jika hilal bisa dilihat dengan menggunakan
alat, hal tersebut belum dikatakan hilal telah tampak. Jamaah
tarekat ini tidak mempercayai akan keberadaan alat bantu
buatan manusia. Mereka menganggap bahwasanya alat-alat
tekhnologi tersebut merupakan buatan manusia sehingga
kemungkinan besar akan menimbulkan kesalahan itu amat
besar. Dengan mata adalah indra penglihatan yang diberikan
oleh Allah SWT untuk melihat kekuasaannya. Sebagai isyarat
petunjuk dari Allah SWT bahwasanya telah ditetapkan esok
harinya adalah bulan baru.
Mengenai langkah, prinsip dan tatacara rukyat sama
halnya bagaimana rukyat pada umumnya. Mereka tidak
memiliki kriteria serta batasan hilal kemungkinan dapat dilihat.
Untuk membantu mereka terkadang memakai gawang lokasi,
hal tersebut hanya bersifat membantu mengfokuskan
pandangan mata perukyat. Karena mereka tidak menggunakan
alat bantu sama sekali, terkadang mereka sangat kesulitan
untuk mendapatkan kemunculan hilal. Sehingga jika rukyat
dimulai pada tanggal 27 maka mereka akan melakukan rukyat
kembali pada tanggal berikutnya. Jika sampai tanggal 29
mereka tetap tidak mendapatkan hilal. Maka mereka akan
melakukan Istikmal menjadi 30 hari.
b) Rukyah bil Qalbi
Rukyat bil Qalbi adalah rukyat dengan keyakinan.
Pendekatan ini jarang digunakan dan hanya digunakan oleh
orang-orang tertentu yang mencapai tingkatan tertentu.
Maksudnya, dalam melakukan rukyatul hilal, tidak semata-
mata melakukan rukyat dengan mata saja, melainkan melihat
dengan hati disertai adanya keyakinan dalam hati yang
berkaitan dengan Haq Al-Yaqin dan Akmal Al-Yaqin. Adapun
dasar yang mereka gunakan adalah Qoidah Al-Ushuliyyah yang
berbunyi :
Artinya :“Keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keragu-
raguan.”
Sehingga rukyat bil Qalbi sebagai penunjang untuk
lebih memperkuat keyakinan terhadap hasil rukyat. Serta
meningkatkan kemantapan hati dalam mengambil keputusan
dalam penetapan awal bulan kamariyah khususnya Ramadhan,
Syawal dan Zulhijah.
C. PENENTUAN BULAN HIRIAH MENURUT
SYATTARIAH

Didalam firman Allah disebutkan:


‫ه َو الَّ ِّذي جعَل الش ْمس ضَياء وا ْلَق َمر ُنورا وقَدَّرهُ مَنا ِّزل لت علَموا عدَدَ ال ِّسنين وا ْلحساب‬
‫ما‬
‫ال بِّا ْلح ِّق ُي َف صل اآليَات ل َق ْو م يََعلمون‬
َّ ‫خلَق لّالُ َذ ِّلك ِّإ‬
"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tandatanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang
yang mengetahui."

ayat diatas menjelaskan bahwa dengan adanya matahari, bulan, siang, dan malam,
supaya manusia bisa mengetahui hitungan waktu. Sehingga dengan hitungan tersebut
manusia bisa mengetahui istilah hari, minggu, bulan, dan tahun.
Diantara perhitungan waktu yang saat ini muncul, adalah perhitungan penanggalan
yang didasarkan pada matahari dan bulan. Dari perhitungan tersebut muncullah beberapa
penanggalan, dimana salah satunya merupakan penanggalan yang saat ini dijadikan pedoman
oleh umat Islam. Sehingga, bulan-bulan yang berada didalamnya dikatakan sebagai bulan
Islam.

Bulan Qamariyah sendiri diartikan dengan perhitungan bulan yang berlandaskan peredaran
bulan mengelilingi bumi. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 12 nama bulan yang
tergolong sebagai bulan Qamariyah. Masing-masing diantaranya adalah bulan Muharram,
Shafar, Rabî‟ul Awwal, Rabî‟ul Akhir, Jumâdil Ula, Jumâdil Âkhirah, Rajab, Sya‟ban,
Ramadlân, Syawwal, Dzulqa‟dah, Dan bulan Dzulhijjah. Kedua belas bulan tersebut
tersusun secara urut sebagaimana penulisan diatas dan terangkum kedalam sebuah
penanggalan yang disebut dengan Kalender Hijriyah, Sehingga hitungan tahunnya dikenal
sebagai tahun Hijriyah. Sebutan kalender Hijriyah muncul karena perhitungan kalender
tersebut dimulai dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Namun dalam
keterangan lain dijelaskan, bulan Qamariyah yang ada di Indonesia, tidak hanya bulan-bulan
yang terangkum kedalam kalender Hijriyah saja, melainkan juga yang terkumpulkan menjadi
Kalender Jawa Islam. Kalender Jawa Islam juga dikenal dengan sebutan kalender Sultan
Agung dan kalender Huruf. Kalender Jawa Islam dimulai saat Penobatan Prabu Syaliwahono
(Adji Soko) yang bertepatan dengan hari Sabtu tanggal 14 Maret tahun 78 M. Awalnya
penanggalan ini dinamai dengan penanggalan Hindu Jawa dan biasa disebut dengan Tahun
Hindu Jawa atau Tahun Soko yang didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari.
Namun pada tahun 1633 M, tahun Soko disenyawakan, disambungkan, atau disatukan dengan
tahun Hijriyah. Sehingga acuan tahun Soko yang sebelumnya menggunakan matahari,
berpindah kepada peredaran bulan mengelilingi bumi. Perubahan ini dilakukan oleh Sultan
Muhammad atau yang lebih dikenal dengan Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo karena
beliau ingin memperluas pengaruh agama islam waktu itu. Hanya saja hitungan tahunnya
tetap 1555 dengan daur atau windunya berumur 8 tahun. Sesuai dengan dihitungnya awal
tahun soko, yaitu satu tahun setelah dimulainya hari pertama dalam penanggalan ini. Dengan
demikian, sejak saat itu penanggalan tahun soko menjadi penanggalan jawa islam. Mengingat
kalender Jawa Islam tergolong kedalam penanggalan bulan Qamariyah, maka nama bulan
yang ada didalamnya berjumlah sama dengan namabulan yang terdapat dalam kalender
Hijriyah. Hanya saja nama-nama bulan dalam kalender Jawa Islam sedikit berbeda dengan
yang ada didalam kalender hijriyah
1. Awal Bulan Qamariyah

menurut ahli hisab yang menggunakan kriteria imkân alru‟


yah, berpendapat sama dengan ahli hisab yang menggunakan prinsip wujȗd Alhilâl.
Hanya saja terdapat syarat tambahan yaitu harus terlihat oleh mata kepala
manusia. Apabila setelah terjadi konjungsi/ijtimâ‟ bulan sabit tidak terlihat oleh
mata manusia, maka untuk mengatakan keesokan harinya sebagai awal bulan
baru disyaratkan saat matahari terbenam ketinggian bulan di atas horison tidak
kurang dari pada 2° dan jarak lengkung matahari sampai bulan (sudut elongasi)
harus tidak kurang dari pada 3°. Dengan kata lain, selain harus berketinggian
minimal 2° diatas horizon, umur bulan juga harus tidak kurang dari 8 jam selepas
ijtimak/konjungsi berlaku sampai saat bulan terbenam. Lain halnya dengan ahli ru‟yah.
Mereka mengartikan awal bulan Qamariyah dengan adanya hilâl diatas ufuq pada saat
matahari terbenam dan dapat dilihat oleh mata kepala manusia. Baik menggunakan alat bantu
maupun tidak. Berbeda lagi dengan pakar astronomi. Mereka berpendapat bahwa
terhitungnya awal bulan dimulai sejak terjadinya konjungsi/ijtimâ‟ segaris antara matahari
dan bulan. Tidak memandang apakah metahari terbenam lebih dahulu
atau tidak, juga tidak memandang harus terlihat oleh mata atau tidak
2. Metode Penentuan Awal Bulan

Qamariyah A Ru’yah al-Hilâl

Menurut Ahmad Sabiq pengertian ru‟yah al-hilâl adalah kegiatan


yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan
secara visual terhadap kemunculan hilal. Baik menggunakan mata langsung
maupun dengan bantuan alat. Alat bantu visual yang biasa digunakan diantaranya
teleskop, bino kular, dan kamera
Ru‟yah al-hilâl yang dilakukan dengan mata telanjang, biasa disebut
dengan ru‟yah Bi al-Fi‟li atau Bi al-Aini. Ru‟yah Bi al-Fi‟li merupakan praktek
ru‟yah yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW dan hanya melihat kearah ufuk
barat saja tanpa ada kefokusan terhadap posisi tertentu Sedangkan ru‟yah al-hilâl
yang didukung dengan alat bantu, dalam dunia astronomi dikenal dengan istilah
observasi. Disebut dengan observasi karena sebelum melakukan ru‟yah, si
pelaksana ru‟yah sudah mengetahui posisi hilâl yang akan dilihat dengan cara
melakukan perhitungan dengan metode hisâb. Sehingga dalam melakukan ru‟yah pandangan
lebih terfokus pada posisi tertentu sesuai dengan hasil hitungan
hisâb Selama ini para ahli ru‟yah melakukan praktik ru‟yah dengan
mempersiapkan segala kebutuhan dan merencanakan semua kegiatan yang akan
dilakukan. Adapun hal-hal yang harus dilakukan adalah menentukan tujuan
penyelenggaraan, membentuk tim, menentukan lokasi, menentukan arah mata
angin dengan menggunakan alat, menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan,
menyediakan data hilal, membuat peta ru‟yah, menentukan sistem laporan
sekaligus sarananya, dan menentukan anggaran biaya langkah selanjutnya adalah melakukan
pengawasan.
Pengawasan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah semua progam
berjalan sesuai rencana atau tidak. Apabila tidak, maka perlu adanya pembenahan. Setelah
proses ru‟yah/observasi selesai, maka akan ditemukan
kesimpulan terkait hilal dapat dilihat atau tidak. jika hilal dapat dilihat, maka
malam itu juga sudah memasuki bulan baru. Tapi jika hilal masih belum terlihat,
sampai matahari terbenam, maka dilanjutkan dengan proses Istikmâl. Yang
dimaksud Istikmâl dalam hal ini adalah menyampurnakan hitungan bulan
Qamariyah menjadi 30 hari

Hisâb
Metode hisab awal bulan Qamariyah dapat diklasifikasikan terhadap dua
jenis berikut:
a. Hisâb ‘Urfi.
Hisab „Urfi adalah metode atau cara perhitungan penanggalan yang
didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan
secara konvensional. Peredaran bulan mengelilingi bumi, dalam satu putaran bisa
mencapai 29 hari 12 jam 44 menit 2, 8 detik. Apabila dilipatkan 12 kali, maka
lamanya menjadi 354 hari 8 jam 48,5 menit
Perhitungan hisab ini dapat dilakukan dengan mengacu pada empat hal
berikut:
1) 1 tahun Basithah = 354 hari. Pada tahun ini Bulan dzulhijjah = 29
hari. Sedangkan dalam 1 tahun Kabisat = 355 hari. Pada tahun ini
bulan Dzulhijjah = 30 hari.
2) Jika hisab “Urfi digunakan untuk menghitung kalender hijriyah,
maka 1 daur tahun hijriyah = 30 tahun
3) Jika hisab “Urfi digunakan untuk menghitung kalender Jawa
Islam, maka 1 daur tahun hijriyah = 8 tahun.
4) Tahun-tahun kabisat dalam kalender Hijriyah jatuh pada urutan
tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. Sedangkan tahun-
tahun kabisat dalam kalender Jawa Islam jatuh pada urutan tahun ke 2,
5,
dan 8.
b. Hisâb Haqîqi
Hisâb haqîqi adalah perhitungan sesungguhnya yang dilakukan dengan
seakurat mungkin terhadap peredaran bumi dan bulan, dengan menggunakan
kaedah-kaedah ilmu ukur segitiga bola (Spherical trigonometri

Hisab haqiqi dapat diklasiikasikan menjadi tiga kelompok. Kelompok


pertama yaitu Hisâb Haqîqi Taqrîbi. Perhitungan hisab ini bersumber pada data
yang disusun oleh "Zeij Ulugh Beyk”. Teori yang dicetuskankanya adalah teori
geosentris, yang menyatakan bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit.
Kelompok kedua yaitu Hisâb Haqîqi Tahqîqi. Perhitungan dalam hisab
ini mengacu pada data astronomi yang telah disusun oleh syaikh Husain Zaid
Alauddin Ibnu Syatir. Dia adalah astronomi muslim berkebangsaan mesir yang
mendalami ilmu astronomi di Prancis. Karya ilmiah yang dihasilkanya adalah
buku yang berjudul al-Mathla‟ al-Sa‟îd Fi Hisâbah al-Kawâkib al-Rusydi al-
Jadîdi. Sedangkan kelompok ketiga, yaitu Hisâb Haqîqi Tadqîqi yang mengacu
pada data-data astronomi modern. Pada dasarnya ilmu hisab yang ini adalah
pengembangan dari ilmu hisâb haqîqi tahqîqi, dengan memperluas dan menambahkan
koreksi-koreksi gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumus
spherical trigonometri. Dengan begitu, maka data yang didapat akan sangat
akurat Metode hisab haqiqi tadqiqi sendiri tidak bisa dilakukan tanpa
mengetahui data refraksi dan kerendahan ufuk. Yang dimaksud dengan refraksi
adalah pembiasan cahaya karena melalui atmosfir bumi, sehingga hilal terlihat
dari bumi bergeser sebesar refraksi tersebut

Anda mungkin juga menyukai