Anda di halaman 1dari 2

KERINGAT SANG ANAK

Siang itu,sepeda balap yang sudah mulai menggoreng bakwan jagung tanpa

menderit suara rantainya dikayuh lemas menuju memedulikan pujo. Mbok ikem memang agak

arah perbukitan sebelah tenggara berkurang pendengarannya menjelang usianya

sebuah sekolah menengah kejuruan daerah yang mendekati 80 tahun. Sudah enam tahun

Batu Retno,Wonogiri. Dibawah teriknya ini,ia menjadi orangtua bagi cucnya si pujo.

matahari yang mulai mendekati waktu Semenjak di tinggal mati oleh ibunya karena

asar,menambah beratnya kaki sipengayuh yang sakit keras, sedangkan bapaknya merantau ke

mulai kepayahan mendorong pedal sepeda Jakarta 4 4 tahun lalu hingga kini tak satu kabar

untuk menanjak perbukitan menuju gubuk pun terdengar pujo melangkah pelan kemudian

bambu reot yang sudah mulai nampak dari atas menepuk pundak mbok ikem sambil berkata

sepedanya. “mbok gorengane sing arep dikirim neng

Jalanan menanjak kini sudah selesai, digantikan warung mbatu wes siap urung? Tanya pujo

pemandangan persawahan menghijau kepada si mbahnya. Perempuan beruban yang

mengiringi perjalanan sang anak yang tampak elalu setia memakai pakaian adat kebaya jawa

lesu. Tiba di pekarangan rumahnya, dia dalam kesehariannya berpaling. “yo wes le,

meletakkan sepedanya disamping kandang segomu digowo dingo buko neng dalan”

kambing yang berada di timur rumahnya. Tanpa tambah mbok ikem sambil menyeka keringat di

melepas sepatunya untuk masuk kearea dapur keningnya.

rumahnya, karena memang alasnya masih “Mbok aku mangkat…” sahut pujo sambil

tanah, dengan setengah tergopoh gopoh dia berlalu mengemas gorengan dalam plastik

mencari si mbahnya “Mbook, neng endi? Teriak hitam dan pergi nyelonong keluar dapur. Mbok

pujo pada si mbahnya. Ketika masuk dapur ikem bergegas keluar mengikuti langkah cucnya

penggorengan, Mbok ikem sedang asyik menuju pintu dapur yang terhubung dengan
halaman rumahnya. Setelah memarkir sepeda

tuanya, pujo pamit pada mbok ikem dengan

mencium tangan untuk melanjutkan perjalanan.

“ jo kok kowe ora salin klambi disik? Sepatumu

ora mbok copot?” tanya mbok ikem lirih pada

sang cucu. “ora mbok, selak magrib” jawab pujo

sambil mengayuh sepedanya menuju warung di

sekitar pasar batu retno yang berjarak kurang

lebih 10 km dari rumahnya. Air mata menetes

membasahi pipi mbok ikem mengiringi

kepergian pujo. Dia masih ingat betul, waktu

ibunya meninggal. Pujo masih kelas enam SD

sedang sakit tifus tidak bisa bangun dari tempat

tidur. Mbok ikem sambil bergumam, “duh gusti

Allah. Kulo nyuwun penjenangan supados putu

si pujo besuk dadiyo wong sholeh, sukses” isak

mbok ikem sambil menyeka air matanya yang

semakin deras.

Anda mungkin juga menyukai