Anda di halaman 1dari 28

BUKU MODUL

LESI ORAL

PROGRAM STUDI
PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
GIGI UNIVERSITAS TRISAKTI

. JAKARTA 2023
PENYUSUN
BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

1. Prof. drg. Rahmi Amtha, MDS., PhD, Sp.PM


2. Dr. drg. Dewi Priandini, Sp.PM
3. drg. Enny Marwati R., M.Kes
4. drg. Andrian Nova Fitri, Sp.PM
5. drg. Indrayadi Gunardi, Sp. PM
6. drg. Firstine Kelsi Hartanto, MclintDent, Sp.PM
7. drg. Najla Nadiah, M.Med.Sci
8. drg. Maria Lenny Raiyon, Mphil. Sp.PM

Disusun di Jakarta, 26 Mei 2023


LESI
ORAL

Oral medicine is that area of special competence concerned


with the health of and with diseases involving the oral and
surrounding structures. It includes those principles of
medicine that relate to the mouth, as well as research in
biological, pathological, and clinical spheres. Oral medicine
includes the diagnosis and medical management of
diseases specific to the orofacial tissues and of oral
manifestations of systemic diseases. It further includes the
management of behavioural disorders and the oral and
dental treatment of medically compromised patients.

Usulan dalam the World Workshop


on Oral Medicine, di Chicago, USA,
1998

130
LESI
ORAL

DIRECT OBSERVATION OF PROCEDURAL SKILLS

Seluruh pasien yang datang dengan keluhan adanya lesi oral, dilakukan
tahapan sebagai berikut:

A. Pemeriksaan Umum

1. Identitas pasien
Dalam identitas pasien, dilakukan pengisian nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, ras, alamat, nomor telepon
2. Anamnesis
Kontak pertama kali antara dokter gigi dan pasien merupakan
kunci utama dalam pengembangan komunikasi, kepercayaan dan
keyakinan pasien untuk dapat menceritakan segala yang
ditanyakan dokter gigi sehubungan dengan penyakit pasien.
Sebelum melakukan anamnesis, dokter gigi harus dapat me-
yakinkan pasien bahwa dokter gigi tersebut memiliki sikap peduli
atau simpati kepada pasiennya, dengan memperhatikan latar
belakang usia, budaya, intelegensia dari pasien. Dokter gigi harus
mampu menyakinkan pasien untuk bercerita dalam bahasa
pasien, sesuai dengan pertanyaan sistematik yang diajukan oleh
dokter gigi dalam pengungkapan keluhan pasien. Anamnesis
dapat dibagi menjadi auto anamnesis dan allo anamnesis. Auto
anamnesis dilakukan pada pasien itu sendiri, sedangkan allo
anamnesis dilakukan pada orang lain yang mengantar pasien,
seperti anggota keluarga, wali dan lainnya. Allo anamnesis
sebaiknya dihindari, selama pasien masih dapat menjawab
pertanyaan dokter gigi, namun teknik ini diperlukan terutama pada
anak-anak, lanjut usia, pasien yang mempunyai gangguan bicara
atau pendengaran atau gangguan mental. Anamnesis meliputi
beberapa indikator, yaitu:
a. Keluhan utama
Pada keluhan utama, perlu diidentifikasi mengenai keluhan yang
dirasakan sekarang oleh pasien, contoh sariawan yang timbul
beberapa hari yang lalu.

131
LESI
ORAL

b. Riwayat keluhan utama


Pada riwayat keluhan utama, beberapa aspek yang perlu
diperhatikan adalah:
i. Sejak kapan onset penyakit dimulai
ii. Durasi atau lamanya keluhan timbul
iii. Skala rasa nyeri (1-10)
iv. Lokasi dari keluhan
v. Faktor-faktor yang memperberat dan meringankan
gejala
vi. Ada tidaknya gejala prodromal
vii. Keluhan di bagian tubuh lain
viii. Perawatan yang sudah dilakukan oleh pasien Leading
question (=pertanyaan yang mengarah pada jawaban
tertentu) sebaiknya dihindari. Dokter gigi sebaiknya
menggunakan ‘open question’.

c. Riwayat kesehatan umum


Riwayat kesehatan umum terdiri atas:
i. Penyakit sistemik yang dulu pernah diderita. Contoh:
pasien dahulu pernah mengalami cacar air, sekarang
timbul infeksi herpes zoster oral.
ii. Obat-obatan yang rutin diminum
iii. Riwayat rawat inap dan operasi
iv. Riwayat alergi (makanan/obat dan lain lain)

Penyakit sistemik yang mempunyai relevansi terhadap


diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis dari lesi oral
pasien. Contoh: pasien diabetes melitus yang juga
mengidap liken planus oral dan harus mendapatkan
pengobatan kortikosteroid, dimana kortikosteroid dapat
memperparah diabetes melitus; pasien yang sedang
dalam terapi heparin atau warfarin, dalam rongga
mulutnya ditemukan infeksi kandidiasis sehingga
memerlukan pengobatan nistatin, dimana nistatin dapat
meningkatkan aktivitas obat pengencer darah sebesar
10 kali lipat.
Dalam riwayat kesehatan umum ini, dokter gigi
132
LESI
ORAL
sebaiknya juga mencari episode sebelumnya mengenai
keluhan yang relevan atau menyerupai keluhan utama
pasien. Contoh: pada pasien liken planus oral, lesi liken
planus juga dapat ditemukan di kulit, pada pasien
serostomia akibat sindrom Sjögren, lesi juga dapat
ditemukan pada mata.

133
LESI
ORAL

d. Riwayat kesehatan gigi


Riwayat kesehatan gigi terdiri atas:
i. Kontrol berkala pasien ke dokter gigi
ii. Berapa kali kunjungan ke DRG (sikap pasien terhadap perawatan
dokter gigi)
iii. Masalah gigi mulut sebelumnya yang relevan dengan
keluhan utama
iv. Riwayat kebersihan gigi dan mulut

e. Riwayat keluarga
Pada riwayat keluarga, dokter gigi mencari faktor herediter
yang berperan dalam timbulnya lesi oral. Beberapa lesi oral
yang diketahui dapat diturunkan secara herediter antara lain
white sponge nevus, stomatitis aftosa, hereditary
angioedema, diabetes melitus dan lain-lain.

f. Riwayat sosial dan kultural


Pada riwayat sosial dan kultural dapat diketahui antara lain:
i. Apakah pasien mempunyai sanak keluarga yang dapat
membantu penatalaksanaan penyakit pasien
ii. Bagaimana kondisi lingkungan hidup pasien
iii. Kontak dengan binatang peliharaan atau binatang lain.
iv. Perjalanan wisata pasien ke daerah yang cenderung
tinggi infeksi tropiknya.
v. Riwayat seksual pasien
vi. Masalah dalam pekerjaan
vii. Kebiasaan pasien, contoh: merokok, minum alkohol,
narkoba, menyirih, dll
viii. Pola makan, hidrasi dan suplemen yang dikonsumsi
ix. Kondisi psikologik

g. Harapan atau keinginan pasien

134
LESI
ORAL

B. Pemeriksaan Klinis

1. Ekstra oral
Pemeriksaan ekstra oral dilakukan pada:
a. Bentuk muka
b. Pembengkakan
c. Kelenjar limfe (submental, submandibula, servikal)
d. Bibir
e. Kulit sekitar mulut
f. Lainnya: mata, temporomandibular, persarafan dan lain-lain.

Pada pemeriksaan ekstra oral ini, perlu diamati adanya perubahan


warna, tekstur, pembengkakan, kelainan atau lesi.

2. Intra oral
Pemeriksaan intra oral dilakukan secara visual pada
a. Mukosa labial
b. Mukosa bukal
c. Mukosa palatum keras dan lunak
d. Mukosa lidah (dorsal, lateral dan ventral)
e. Mukosa dasar mulut
f. Mukosa gingiva (marginal, attached dan free)
g. Gigi-geligi
h. Lainnya: tonsil, duktus kelenjar liur, vestibulum, gigi-geligi, gigi
tiruan, piercing.

Beberapa hal yang perlu diamati jika ditemukan lesi oral (deskrispsi lesi) adalah:
a. Jenis lesi (deskripsi lesi)
b. Lokasi
c. Bentuk
d. Tepi
e. Dasar lesi
f. Ukuran
g. Konsistensi
h. Jumlah (soliter atau multiple)
i. Sebaran (disseminata atau berkelompok)
j. Lainnya: perdarahan, lesi menjadi hilang saat ditekan atau ditarik atau diseset

135
LESI
ORAL

Deskripsi lesi yang perlu diketahui antara lain:


a. Makula adalah lesi berupa perubahan warna dan rata (tanpa disertai
peninggian atau cekungan), dengan tepi tegas atau difus, variasi dalam
ukuran, tetapi biasanya berukuran kurang dari 5 mm
b. Bercak adalah lesi makula yang berukuran lebih dari 5 mm. Bercak
mungkin mengalami perubahan struktur permukaan epitel (seperti
“bersisik” atau “berkerut”).
c. Papula adalah lesi yang menonjol bulat, berkonsistensi padat,
berukuran kurang dari 1 cm.
d. Plak adalah papul yang berukuran besar atau papul yang berkumpul
menjadi satu.
e. Nodul adalah papul yang berukuran lebih dari 5 mm.
f. Vesikel adalah lesi yang menonjol, berisi cairan dan berukuran kurang
dari 5 mm.
g. Bula adalah vesikel yang berukuran lebih dari 5 mm dengan bentuk
bulat atau iregular.
h. Pustula adalah lesi yang menonjol, berisi cairan purulen, berwarna putih
atau merah.
i. Kista adalah rongga patologis yang dilapisi oleh epitel, dapat berisi
cairan, semi solid atau solid.
j. Erosi adalah hilangnya integritas epitel mukosa mulut tanpa melibatkan
jaringan ikat di bawah epitel.
k. Ulkus adalah hilangnya sebagian epitel mukosa mulut hingga mencapai
jaringan ikat di bawah epitel.
l. Krusta adalah serum, pus atau darah yang mengering, biasanya
bercampur dengan epitel dan kadang debris bakterial.
m. Fisura adalah celah.
n. Deskuamasi adalah terlepasnya lapisan keratin dari mukosa dan
nampak berupa daerah eritema.
o. Eksfoliasi adalah deskuamasi yang masih disertai lapisan keratin.

136
LESI
ORAL

Gigi-geligi yang perlu diperhatikan antara lain:


a. Bentuk gigi (contoh gigi Hutchinson, mulberry molar)
b. Warna gigi (contoh pewarnaan intrinsik akibat tetrasiklin)
c. Jumlah (contoh supernumerary teeth, mesiodens, disto molar)
d. Letak (contoh kaninus yang bertukar tempat dengan premolar)

Setelah dilakukan pemeriksaan klinis, mahasiswa wajib melakukan foto


klinis dari profil wajah pasien, dan lesi oral (ekstra maupun intra). Foto
lesi oral dan profil wajah pasien dimasukan dalam rekam medis.

Gambar 1. Berbagai jenis lesi oral (Wikipedia, 2012).

137
LESI
ORAL

C. Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis dan pemeriksaan klinis bertujuan untuk menentukan diag-
nosis dan prognosis suatu penyakit atau bahkan untuk menentukan
diagnosis banding dari suatu penyakit. Pemeriksaan yang tidak
adekuat dapat menyebabkan misdiagnosis, penatalaksanaan yang
tidak tepat, efek samping dari perawatan yang tidak tepat dan bahkan
tuntutan hukum. Namun pemeriksaan yang berlebihan juga dapat
menyebabkan waktu yang lama, biaya tinggi, dan kecemasan pasien
meningkat. Oleh karena itu, dokter gigi dapat melakukan pemeriksaan
penunjang yang bertujuan untuk membantu dalam mendiagnosis suatu
kelainan atau penyakit. Pemeriksaan penunjang ini antara lain:
1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan seperti periapikal,
panoramik, oklusal, TMJ, CT Scan, Magnetic Resonance Imaging
(MRI), ultrasound dan lain-lain
2. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan seperti darah, urin,
sekret, hormon, antibodi, serologi, mirkobiologi, dan lain-lain.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk kasus yang dicurigai mempunyai
latar belakang penyakit sistemik.
3. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan seperti biopsi, swab
sitologi mulut, kultur, dan lain-lain.
4. Tes kulit
Tes kulit biasanya dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
alergi terhadap bahan kedokteran gigi tertentu.

D. Diagnosis
Diagnosis dapat dibedakan menjadi:
a. Definitive diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis tetap. Diagnosis ini dibuat ber-
dasarkan pemeriksaan menyeluruh dan sistematik yang selan-
jutnya menjadi acuan dalam terapi. Umumnya untuk lesi mu- lut,
anamnesis dan pemeriksaan klinis sudah cukup untuk me-
negakkan diagnosis tetap, tetapi kadangkala diperlukan pe-
meriksaan penunjang terutama untuk lesi mulut yang disebabkan
kondisi sistemik.
138
LESI
ORAL

b. Provisional diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis sementara. Pada kondisi ini,
dokter gigi belum dapat menentukan diagnosis tetap dan
diperlukan pemeriksaan penunjang. Contoh manifestasi penyakit
Crohn dalam rongga mulut berupa ulkus yang tidak sembuh dalam
waktu 3 minggu, diperlukan pemeriksaan endoskopi.
c. Clinical diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis klinis. Diagnosis ini dibuat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis saja, tanpa
didukung hasil pemeriksaan penunjang. Contoh lesi putih mulut
yang diduga hereditary benign intraepithelial dyskeratosis yang
sangat sulit ditegakkan hanya dengan pemeriksaan biopsi lesi
saja, tetapi diperlukan biopsi mata.
d. Working diagnosis
Disebut juga diagnosis kerja. Diagnosis ini dibuat berdasarkan
pengalaman, epidemiologi klinis dan kadang didukung dari
pemeriksaan skrining (radiologi). Melalui diagnosis kerja ini,
pengobatan penyakit dapat dilakukan terlebih dahulu, selama
menunggu pemeriksaan penunjang spesifik. Contoh: lesi
kandidiasis mulut pada pasien HIV.
e. Differential diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis banding. Diagnosis ini dibuat
berdasarkan gejala atau gambaran klinis yang menyerupai lesi
oral pasien.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam bidang penyakit mulut dapat dikelompokkan
menjadi 5 tahapan yaitu:
1. Identifikasi faktor etiologi dan risiko/prediposisi
Sebelum melakukan perawatan, dokter gigi sebaiknya
menentukan terlebih dahulu faktor etiologi dan risiko apa saja
yang berperan dalam timbulnya lesi oral. Jika kedua faktor
tersebut tidak terindentifikasi, maka akibatnya lesi oral tidak
sembuh atau lama sembuh atau rekuren, biaya pengobatan
meningkat, efek samping obat bertambah dan kepercayaan
pasien terhadap dokter berkurang.

139
LESI
ORAL

2. Terapi simtomatik/gejala
Pasien yang datang berobat ke dokter gigi seringkali
mengeluhkan rasa sakit atau kecemasan terhadap apa yang
dialaminya dalam atau sekitar rongga mulut. Rasa sakit pada erosi
atau ulkus dapat diatasi dengan pemberian covering agent
(seperti asam hialuronat, lanolin, vaselin), atau anestetikum
topikal (benzidamin, lidokain, diphenhidramin). Rasa sakit pada
lesi lainnya (tanpa disertai hilangnya integritas epitel), dapat
diberikan terapi analgesik sistemik dan kortikosteroid.
3. Terapi kausatif/penyebab
Terapi kausatif ini ditujukan untuk lesi oral yang secara jelas
disebabkan karena penyebab tertentu, contoh infeksi (bakteri,
jamur, virus); necrotizing ulcerative stomatitis diberikan
antibakteri, kandidiasis mulut diberikan antijamur, herpes labialis
diberikan antivirus. Ulkus dekubitalis akibat akar gigi yang tajam,
dilakukan pengasahan atau pencabutan akar gigi.
4. Terapi suportif
Terapi suportif diberikan untuk mempercepat perbaikan lesi oral
atau meningkatkan kondisi sistemik pasien yang mengalami
keterbatasan dalam asupan nutrisi akibat adanya lesi oral. Contoh
pasien noma yang faktor prediposisinya adalah malnutrisi, dapat
diberikan nutrisi yang tinggi kalori dan tinggi protein; pasien ulkus
yang dalam, dapat diberikan vitamin A untuk mempercepat
penyembuhan lesi.
5. Komunikasi, Instruksi, Edukasi
Komunikasi, Instruksi dan edukasi harus selalu diberikan kepada
pasien mengenai kelainan atau penyakit yang dialami pasien, apa
yang dapat timbul jika penyakit tidak ditangani, penggunaan obat,
waktu kontrol, dan lain-lain.

Sebelum penatalaksanaan pasien yang melibatkan pemberian


obat atau tindakan medik berupa pemeriksaan penunjang,
sebaiknya dilakukan informed consent kepada pasien. Informed
consent awalnya berupa penjelasan kepada pasien secara lisan
dan setelah pasien mengerti, dilanjutkan secara tertulis. Informed
consent hanya boleh diisi dan ditandatangani oleh pasien dengan

140
LESI
ORAL

usia lebih dari 12 tahun. Pasien anak- anak (usia dibawah dari 12
tahun) wajib didampingi oleh orangtua atau wali.

Kontrol
Kontrol dilakukan berkisar antara 1-4 minggu setelah indikasi pasien.
Mahasiswa wajib menyertakan rekam medik dan foto klinis lesi awal
atau sebelumnya dan/atau hasil pemeriksaan penunjang. Saat kontrol,
dilakukan:
a. Anamnesis singkat mengenai keluhan pasien, penggunaan obat,
kondisi lain yang meringankan atau memperberat gejala
b. Mendiskripsikan gambaran klinis dan perubahan lesi
c. Menentukan pengobatan lanjutan apa yang akan diberikan
kepada pasien

Reaksi Hipersensitivitas akibat pengobatan


Pengobatan yang diberikan baik secara topikal maupun sistemik,
dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas ini
dapat timbul antara lain stomatitis medikamentosa, angioneurotik
edema, reaksi likenoid, eritema multiforme, sindroma Stevens Johnson
dan lain-lain. Segala pengobatan yang menyebabkan reaksi ini,
selanjutnya didiskusikan dan diindaklanjuti oleh DPJP (Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan) dari modul Lesi Oral.

141
LESI
ORAL

LANDASAN TEORI

Ilmu penyakit mulut adalah ilmu yang mempelajari mengenai


kesehatan, kelainan atau penyakit oral dan struktur sekitar oral. Di samping
itu, juga dipelajari mengenai; a) Prinsip pengobatan yang berhubungan
dengan kondisi oral baik secara biologik, patologik maupun klinis; b)
Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit spesifik dari jaringan orofasial
dan manifestasi oral dari penyakit sistemik; c) Penatalaksanaan kelainan
sikap atau tingkah laku; dan d) Penatalaksanaan gigi mulut dari pasien
kompromis medik. Berdasarkan definisi ini, maka banyak penyakit intraoral
maupun ekstraoral yang dapat menjadi bahan pembelajaran dalam bidang
Ilmu Penyakit Mulut. Oleh karena itu, diperlukan batasan-batasan
mengenai penyakit apa saja yang perlu diketahui oleh dokter gigi umum
sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Gigi Indonesia.
Dari daftar penyakit mulut yang sering ditemukan, disusunlah tingkat
pencapaian yang diharapkan bagi dokter gigi. Tingkat pencapaian ini dapat
dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu:
1 Dapat mengenal gambaran klinis suatu penyakit, dikaitkan dengan
pengetahuan dari literatur dan mengetahui bagaimana mencari
informasi lebih lanjut tentang penyakit tersebut. Level ini menunjukkan
overview saja.
2 Dapat membuat diagnosis klinik penyakit sendiri berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti
laboratorium sederhana dan rontgen, serta dapat menentukan kapan
pasien perlu dirujuk segera kepada spesialis yang sesuai.
3A Dapat membuat diagnosis klinik penyakit sendiri berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti
laboratorium sederhana dan rontgen, serta dapat menentukan dan
memberikan terapi awal sebelum pasien dirujuk kepada spesialis yang
sesuai pada kasus–kasus non darurat.
3B Dapat membuat diagnosis klinik penyakit sendiri berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti
laboratorium sederhana dan rontgen, serta dapat menentukan dan
memberikan terapi awal sebelum pasien dirujuk kepada spesialis yang
sesuai pada kasus–kasus darurat.

142
LESI
ORAL

4 Dapat membuat diagnosis klinik penyakit sendiri berdasarkan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sederhana seperti
laboratorium sederhana dan rontgen, serta mampu mengelola sendiri
suatu penyakit.

Sebagai dasar teori, modul ini akan membahas mengenai beberapa


penyakit yang memiliki tingkat pencapaian 4.

Ulkus dekubitalis dan chemical burn. Ulserasi oral yang paling


sering ditemukan adalah ulkus traumatikus. Ulkus ini disebabkan oleh
adanya trauma, baik mekanik, maupun kimiawi. Gambaran klinis dari
ulser ini bervariasi tergantung dari intensitas dan ukuran penyebab
trauma. Ulser tersebut biasanya nampak cekung dan oval. Daerah
eritematus nampak mengelilingi ulser, dengan dasar ulser yang
kuning- keabuan. Ulkus dekubitalis tidak disertai rasa sakit, namun
penyebabnya masih tetap menimbulkan iritasi pada ulser tersebut.
Sedangkan pada chemical burn, terdapat riwayat penggunaan
obat-obat topikal (contoh aspirin, bubuk hijau, medikamen perawatan
endodontik) dan nampak berupa ulser yang sakit dengan batas tegas,
ditutupi membran tipis putih. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, dan pemeriksaan klinis. Untuk penatalaksanaannya,
penyebab trauma harus dihilangkan dan daerah ulser dapat diberi
covering agent, seperti asam hialuronat.

Duktus stensoni prominen. Kelenjar parotis mempunyai muara


saluran kelenjar di mukosa bukal dekat gigi molar satu atas. Duktus ini
ada yang hanya berupa lubang ukuran < 1 cm, atau bahkan nodul
ukuran 1 cm, berwarna sama dengan mukosa mulut normal. Duktus
stensoni yang nampak sebagai nodul dan berwarna merah, dapat
menimbulkan kecemasan bagi pasien, terutama pada pasien
kankerfobia atau rasa takut setelah timbul trauma pada nodul tersebut.
Pada duktus yang berbentuk nodul, jika dilakukan palpasi tekan, akan
nampak aliran saliva yang keluar dari duktus. Untuk
penatalaksanaannya, pasien cukup dilakukan edukasi bahwa kondisi
ini merupakan varian normal mukosa mulut dan tetap memotivasi
pasien untuk menjaga higiene oral.

143
LESI
ORAL

Exfolliative cheilitis, merupakan peradangan pada vermilion bibir


berupa terkelupasnya lapisan epitel permukaan bibir. Penyebabnya
tidak diketahui, tetapi ada riwayat rasa kering kronis pada bibir dan
sensitif. Umumnya asimptomatik kecuali menimbulkan gangguan
estetis. Secara klinis, permukaan vermilion bibir menjadi kasar,
mengelupas, kadang menjadi ulkus dan selanjutnya terjadi krusta.
Terapi dapat diberikan bahan pelembab atau salep kortikosteroid
potensi rendah.

Fissured tongue. Nama lain scrotal tongue, merupakan gambaran


lidah yang memiliki fisur atau groove atau celah pada bagian
dorsumnya. Etiologinya tidak diketahui secara pasti, namun
diperkirakan faktor herediter autosomal dominan berperan, dan akibat
proses penuaan. Secara klinis, celah dapat berjalan sejajar,
transversal terhadap midline fissure, oblique, dan large central fissure
yang bercabang- cabang kecil ke samping. Ukuran, kedalaman
maupun jumlah celah bervariasi. Kelainan ini biasanya tidak
memberikan keluhan, kecuali jika ukuran celah tersebut dalam dan ada
sisa makanan yang terjebak di dalamnya sehingga menyebabkan
peradangan. Fissured tongue kadangkala ditemukan bersamaan
dengan geographic tongue.

Fordyce’s spots. Nama lain Fordyce’s granules atau ectopic


sebaceous glands, merupakan varian keadaan normal berupa
kumpulan kelenjar sebacea pada tempat- tempat tertentu dalam
rongga mulut. Kelenjar sebacea intraoral ini timbul sebagai akibat dari
penyimpangan letak jaringan ektodermal dalam mulut pada periode
fusi dari prosesus maksilaris dan prosesus mandibularis selama
perkembangan embrional. Pada fordyce spot, kelenjar sebacea tidak
berhubungan dengan folikel rambut. Umumnya pasien tidak menyadari
lesi ini dan biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan rutin. Secara
klinis, nampak berupa makulopapular berwarna kuning, dapat
berkelompok atau berdiri sendiri atau tersebar. Beberapa kelompok
lesi dapat bersatu membentuk plak kuning yang kasar. Lesi ditemukan
bilateral simetris. Tidak memberi keluhan kecuali rasa kasar atau
estetik jelek. Tempat predileksinya antara lain mukosa bukal sekitar
duktus stenoni, daerah retromolar, bibir atas dan sudut bibir. Tidak

144
LESI
ORAL
diperlukan terapi apapun kecuali edukasi bahwa kondisi ini merupakan
varian normal

145
LESI
ORAL

Frictional keratosis. Lesi ini berupa lesi putih akibat iritasi kronis.
Iritasi yang berlangsung terus menerus terhadap mukosa mulut akan
merangsang pembentukan keratin yang berlebih. Lesi putih terasa
sedikit menonjol dan tidak sakit. Penyebab biasanya cusp gigi yang
tajam atau edontulus area yang lama tidak memakai gigi palsu.
Terapinya dengan pengasahan tepi gigi atau restorasi yang tajam.

Geographic tongue. Nama lain benign migratory glossitis, merupakan


peradangan ringan pada lidah. Lesi ini kadangkala dapat timbul pada
bibir, mukosa bukal, atau palatum. Etiologi tidak diketahui dengan
pasti, namun ada faktor genetik yang berperan. Sekitar 4% pasien
psoriasis juga memiliki geographic tongue. Di samping itu, geographic
tongue juga ditemukan pada pasien dengan ektopik alergi, seperti hay
fever dan beberapa macam makanan (misalnya keju), dan diabetes
melitus. Karakteristik lesi ini adalah lesi di dorsum lidah berupa peta
yang tidak teratur, berwarna merah muda atau merah karena
depapilasi, berubah bentuk, bertambah luas, dan menghilang atau
berpindah- pindah dalam beberapa waktu. Daerah merah selalu
dikelilingi daerah putih kekuningan dan tampak sebagai batas yang
jelas. Biasanya jumlahnya multipel dengan berbagai ukuran.
Geographic tongue biasanya ditemukan bersama dengan fissure
tongue. Biasanya lesi tidak menimbulkan keluhan, namun dapat pula
timbul sensitivitas terhadap makanan panas dan pedas. Pemeriksaan
penunjang seperti sitologik jamur dapat dilakukan untuk mengeliminasi
infeksi jamur sebagai penyebab. Geographic tongue biasanya tidak
memerlukan perawatan. Pasien diberikan penyuluhan bahwa kelainan
tersebut bukan keganasan. Jika ada keluhan subyektif, pasien
diinstruksikan untuk menghindari makanan yang panas, pedas dan
asam.

Hairy tongue. Black hairy tongue merupakan gambaran lidah


kehitaman pada bagian dorsum posterior lidah. Papila filiformis
mengalami perpanjangan ukuran dan berwarna hitam atau kecoklatan
akibat akumulasi epitel yang mengalami deskuamasi dan proliferasi
mikroorganisme kromogenik. Faktor prediposisinya antara lain pada
perokok, hiposalivasi, diet makanan lunak, penggunaan antimikrobial,
dan higiene oral buruk. Terapi dapat diberikan melalui perbaikan

146
LESI
ORAL
higiene oral, penyikatan dorsum lidah, dan obat kumur.

Halitosis. Halitosis atau disebut sebagai malodor, merupakan kondisi


yang paling sering dijumpai dalam masyarakat. Halitosis dapat dibagi
menjadi fisiologik, patologik dan halitofobia. Contoh halitosis akibat
kondisi fisiologik antara lain halitosis saat pagi hari setelah bangun
tidur, dan halitosis setelah makan makanan tertentu. Halitosis akibat
kondisi patologik, dibagi menjadi faktor lokal maupun sistemik. Faktor
lokal antara lain acute necrotizing ulcerative gingivostomatitis, dan
karsinoma sel skuamosa oral; sedangkan faktor sistemik antara lain
bau keton pada diabetes melitus, bau amoniak pada pasien gagal
ginjal kronik, dan bau ikan busuk pada trimethylaminuria. Halitofobia
adalah perasaan bau mulut yang hanya dapat dirasakan oleh pasien,
sedangkan operator tidak merasakan bau tersebut. Diagnosis halitosis
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis,
kadangkala diperlukan pemeriksaan penunjang seperti glukosa darah,
fungsi ginjal dan sebagainya. Untuk penatalaksanaannya, dilakukan
identifikasi dan kontrol faktor etiologi dan risiko dari halitosis. Jika
penyebabnya berhubungan dengan faktor sistemik, maka pasien
dapat dikonsulkan ke dokter spesialis penyakit dalam. Dokter gigi
dapat melakukan terapi awal berupa pembersihan karang gigi,
penambalan karies gigi dan pencabutan sisa akar

Herpes labialis. Infeksi virus herpes simplek yang rekuren dapat


bermanifestasi sebagai vesikel dan ulser kecil, kadangkala vesikel atau
ulser saling menyatu menjadi berukuran besar, berjumlah banyak,
kadang ulser ditutupi krusta kekuningan pada daerah mukokutaneus
bibir. Sebelum vesikel timbul, pasien merasakan adanya parestesia
atau rasa terbakar pada daerah yang akan timbul vesikel. Faktor risiko
herpes labialis antara lain demam, infeksi febril, paparan sinar
matahari, menstruasi, stres, dan iritasi lokal. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Untuk
penatalaksanaannya, dapat diberikan krem asiklovir. Instruksi kepada
pasien yang dapat diberikan adalah pasien boleh melakukan aplikasi
asiklovir saat dirasakan terbakar atau gatal, sebelum pembentukan
vesikel. Hal ini bertujuan untuk mengontrol replikasi virus dalam
jaringan.
147
LESI
ORAL

Stomatitis herpetika. Infeksi virus herpes simplek rekuren lainnya


adalah stomatitis herpetika. Secara klinis, ditemukan vesikel dan ulser
dangkal berukuran 1-3 mm, kadangkala ulser menyatu satu sama
lainnya membentuk ulser berukuran besar, tepi tegas, bentuk oval,
dikelilingi kelim merah, berjumlah banyak, terutama pada mukosa
berkeratin. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis, namun pemeriksaan penunjang berupa tes
serologi dapat dilakukan. Untuk penatalaksanaannya, asiklovir oral
dapat diberikan agar tidak terjadi komplikasi ensefalitis herpetik.
Asiklovir dalam sediaan suspensi juga dapat digunakan sebagai obat
kumur yang kemudian ditelan, terutama untuk kasus stomatitis
herpetika berat. Pasien dianjurkan untuk beristirahat, tinggi asupan
cairan dan diet lunak. Stomatitis herpetika yang tidak mengalami
penyembuhan selama 7 hari, patut dicurigai adanya faktor
imunodefisiensi.

Herpes zoster. Penyakit infeksi virus akut pada mukosa mulut yang
disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella zoster. Faktor predisposisi
lesi antara lain stres, trauma, kelelahan, paparan sinar matahari,
infeksi saluran pernapasan, alergi, penurunan sistem imun, kehamilan
dan keganasan. Umumnya didahului masa prodromal 1-2 minggu
berupa demam, lesu, rasa sakit sepanjang area yang dipersarafi saraf
sensoris yang terkena, umumnya berlokasi unilateral. Pada kulit,
bercak kemerahan berkembang menjadi vesikel dengan sebaran
unilateral mengikuti alur persarafan. Selanjutnya vesikel pecah
menjadi ulserasi, dan dalam waktu 2 minggu lesi mengering
membentuk krusta dan mengelupas. Pada mukosa mulut, melibatkan
saraf trigeminal cabang kedua dan ketiga. Mukosa yang terlibat antara
lain mukosa pipi, lidah, uvula, faring dan laring. Vesikel muncul dengan
sebaran unilateral, yang pecah membentuk erosi, yang selanjutnya
bergabung menjadi ulserasi dangkal dengan batas tegas. Gambaran
khas lesi adalah sebaran unilateral, umumnya ketika lesi membesar
akan berhenti pada midline. Setelah infeksi primer, virus akan laten
pada ganglion saraf sensoris. Jika terdapat faktor predisposisi dan
defek imun, maka virus akan teraktivasi kembali. Dapat terjadi
komplikasi berupa post herpetic neuralgia dan osteomyelitis pada
rahang. Untuk terapi dapat diberikan asiklovir 400- 800 mg 5 kali sehari
148
LESI
ORAL
selama 7-10 hari. Jika perawatan standar tidak memberikan respon
atau terdapat latar belakang sistemik, sebaiknya dilakukan konsultasi
medik ke spesialis penyakit dalam atau saraf atau kulit dan kelamin.

Leukoedema. Lesi ini merupakan varian normal mulut berupa


gambaran keputihan atau abu-abu pada mukosa bukal, biasanya
ditemukan pada ras Afrika atau perokok. Karakteristik lesi akan hilang
jika mukosa bukal diregangkan. Tidak diperlukan terapi apapun.

Linea alba bukalis. Lesi ini merupakan perubahan pada mukosa bukal
yang berhubungan dengan tekanan, friksi atau trauma isap dari
permukaan gigi. Secara klinis, berupa garis putih keabuan lebar 1-2
mm, dengan panjang dan penonjolan keluar yang bervariasi pada
mukosa pipi setinggi garis oklusi, berjalan horisontal dari molar ke-2
sampai regio kaninus secara bilateral. Biasanya tanpa keluhan. Tidak
diperlukan terapi apapun.

Median rhomboid glossitis. Lesi ini nampak sebagai daerah eritema


pada dorsum tengah lidah bagian posterior, di depan papilla
sirkumvalata. Etiologinya akibat gangguan perkembangan atau infeksi
kandida. Faktor predisposisinya antara lain kebiasaan merokok dan
penggunaan kortikosteroid. Secara klinis, daerah yang terlibat,
mengalami atrofi papila filiformis sehingga nampak berupa plak atau
nodula atau fisura eritematus, berbatas tegas. Biasanya asimtomatik,
namun pada kasus berat dapat disertai rasa terbakar atau sakit ringan.
Untuk menentukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang usapan infeksi jamur. Jika disebabkan karena kelainan
perkembangan, maka tidak diperlukan terapi apapun, namun pada
kasus infeksi jamur dapat diberikan terapi anti jamur berupa nistatin.

Morsicatio buccarum. Nama lainnya adalah cheek biting, merupakan


lesi pada mukosa bukal yang terjadi akibat kebiasaan menggigit-gigit,
dan bermanifestasi berupa permukaan mukosa yang mengelupas dan
di antaranya tampak daerah eritema. Kebiasaan menggigit-gigit
mukosa bukal ini mungkin dilatarbelakangi oleh adanya gangguan
psikogenik. Umumnya lesi asimtomatik, terjadi bilateral pada daerah
tengah mukosa bukal sepanjang garis oklusi, walaupun dapat juga
unilateral. Permukaan lesi nampak menebal, keratotik, putih dan tidak
149
LESI
ORAL
rata, menyerpih atau mudah mengelupas diselingi daerah eritema,
erosi atau ulserasi akibat trauma. Lesi tidak memerlukan perawatan
khusus, hanya cukup menghentikan kebiasaan menggigit-gigit mukosa
bukal.

Jika dengan perawatan standar tidak memberikan penyembuhan, maka


sebaiknya konsultasi medik ke psikolog.

Papila circumvalata prominen. Papila circumvalata merupakan papil


lidah yang paling besar, tersusun rapi membentuk huruf V terbalik di
depan linea terminalis kiri dan kanan dari foramen caecum pada
punggung lidah. Secara klinis, ukuran dan bentuk bervariasi.
Adakalanya rudimenter atau berupa nodul yang menonjol. Jumlahnya
10- 15 buah dan memiliki kapiler serta reseptor perasa. Tidak
diperlukan terapi, namun karena gambarannya dapat menimbulkan
kecemasan pada pasien, sehingga diperlukan edukasi bahwa kondisi
ini merupakan varian normal.

Papila foliata prominen. Papila foliata merupakan papil lidah yang


terletak di tepi lateral lidah seperti garis-garis vertikal. Secara klinis,
papila foliata prominen nampak berupa nodul di daerah posterior
lateral lidah regio molar kedua. Nodul ini dapat berwarna merah atau
sama dengan jaringan sekitarnya. Biasanya tidak menimbulkan
keluhan, namun jika ditemukan secara kebetulan, pasien dapat
menjadi cemas. Tidak diperlukan terapi apapun, cukup edukasi bahwa
kondisi ini merupakan varian normal mulut.

Pigmentasi fisiologis. Pigmentasi ini nampak berupa perubahan


warna gelap pada mukosa mulut yang ditemukan pada orang berkulit
sawo matang, biasanya berhubungan dengan ras. Etiologinya akibat
produksi berlebih pigmen melanin pada lapisan basal mukosa mulut.
Oleh karena merupakan varian keadaan normal, maka tidak diperlukan
terapi apapun.

Primary herpetic gingivostomatitis. Lesi ulseratif intra oral yang


multipel terutama pada gingiva, akibat infeksi primer virus Herpes
simplek tipe 1. Faktor predisposisi timbulnya lesi antara lain defisiensi
nutrisi, demam, infeksi radang tenggorokan, dan penyakit sistemik.
150
LESI
ORAL
Biasanya terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa. Lesi biasanya
didahului gejala prodromal 1 atau 2 hari sebelumnya berupa demam,
sakit kepala, anoreksia, lesu, lemah, mual dan limfadenopati. Vesikel
berjumlah banyak akan timbul pada mukosa mulut dikelilingi area
kemerahan, yang dengan segera pecah meninggalkan area ulserasi
kecil dangkal dengan batas tegas. Lesi ulserasi dapat membesar,
saling bergabung satu sama lainnya membentuk lesi ulserasi dengan
bentuk ireguler. Gambaran ulkus kekuningan, dengan dasar
kemerahan dikelilingi area kemerahan. Lesi timbul terutama pada
mukosa berkeratin namun dapat pula terjadi pada mukosa tidak
berkeratin. Terapi penyebab lesi dengan pemberian asiklovir dan untuk
mengurangi rasa sakit diberikan anestetikum atau covering agent
secara topikal serta untuk mencegah infeksi dengan pemberian
antiseptik atau antibakterial. Perawatan suportif juga diberikan berupa
diet tinggi protein dan makan makanan yang lunak. Konsultasi medik
sebaiknya dilakukan ke spesialis anak jika timbul bersama anoreksia
dan kondisi tubuh memburuk.

Smoker’s melanosis. Pigmentasi berupa perubahan warna cokelat


kehitaman pada gingiva, mukosa labial, mukosa bukal akibat
kebiasaan merokok. Kondisi ini biasanya ditemukan pada perokok
berat. Untuk terapinya, pasien diberikan edukasi dan motivasi agar
dapat mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok.

Stomatitis aftosa rekuren. Stomatitis aftosa dibagi menjadi tipe


minor, mayor dan herpetiform. Lesi ulserasi dangkal, berbentuk bulat
atau oval dengan batas tegas, sakit, dikelilingi oleh kelim merah, soliter
maupun multipel pada mukosa mulut tidak berkeratin, bersifat rekuren,
sembuh dalam beberapa hari hingga 1 bulan, tergantung dari tipe.
Etiologi belum diketahui, diperkirakan bersifat multifaktor. Faktor
predisposisi bervariasi, antara lain: trauma, defisiensi nutrisi, faktor
psikologis, faktor alergi, ketidakseimbangan hormonal, kelainan darah,
gastrointestinal, infeksi bakteri, gangguan sistem imun, dan herediter.
Awalnya, pada daerah yang akan timbul ulser mengalami terasa panas
atau gatal, kemudian muncul makula atau papula berwarna merah
dengan bagian tengah yang memucat. Di bagian tengah lesi terbentuk
jaringan nekrotik. Selanjutnya terbentuk erosi, berwarna putih
kekuningan, berbentuk bulat atau oval, yang dikelilingi kelim merah
151
LESI
ORAL
dan terasa sakit. Penyembuhan dimulai dari bagian tepi ke tengah lesi
dan sembuh dalam waktu 10-21 hari, dengan atau tanpa pengobatan.
Umumnya lesi terjadi pada permukaan mukosa mulut tidak berkeratin.
Limfadenopati juga ditemukan, namun jarang disertai demam,
umumnya sebagian besar pasien dalam kondisi baik. Pemeriksaan
penunjang dilakukan jika lesi tidak sembuh atau bersifat rekuren.
Pemeriksaan laboratoris, meliputi darah lengkap, kadar zat besi,
ferritine, asam folat, vitamin B12, serologi, dan biopsi. Terapi dapat
diberikan larutan kumur antiseptik atau antibakterial untuk mengurangi
peradangan dan aktivitas bakteri. Obat kumur kortikosteroid topikal
atau anestetikum juga dapat diberikan. Terapi suportif berupa
multivitamin yang mengandung vitamin A, vitamin B, Fe, zinc dan asam
folat untuk mempercepat penyembuhan lesi. Jika perawatan tidak
memberikan respon penyembuhan atau ada latar belakang sistemik,
konsultasi medik sebaiknya dilakukan ke spesialis.

Stomatitis nikotina. Nama lain smoker’s keratosis atau stomatitis


palatina, merupakan lesi yang terjadi di palatum, pada perokok berat
baik sigaret, pipa, atau cerutu dan reverse smoker. Secara klinis
nampak eritema multipel pada palatum dikelilingi daerah putih dan
tidak sakit. Daerah eritema ini sebenarnya peradangan duktus kelenjar
liur minor pada palatum. Terapinya cukup menghentikan kebiasaan
merokok.

Thermal burn. Kelainan pada mukosa mulut akibat berkontaknya


benda, makanan atau minuman dengan suhu tinggi. Lesi ditutupi
membran putih yang dapat diseset meninggalkan daerah eritema atau
kadang mengalami perdarahan, bentuk tidak teratur, sakit, ukuran
bervariasi tergantung dari luasnya benda atau makanan atau minuman
yang berkontak. Terapinya dapat diberikan covering agent yang
dicampur dengan anestetikum topikal.

Torus mandibularis. Lesi ini merupakan penonjolan tulang sepanjang


bagian lingual mandibula di atas linea mylohyoidea regio premolar.
Penyebab tidak diketahui, namun diduga bersifat multifaktorial
termasuk faktor herediter dan faktor lokal seperti bruksisme. Biasanya
pasien tidak mengetahuinya dan ditemukan secara kebetulan pada
waktu pemeriksaan gigi rutin atau sewaktu membuat gigi tiruan. Jika
152
LESI
ORAL
dibandingkan dengan torus palatinus, torus mandibularis lebih jarang
ditemukan. Umumnya terlihat hanya 1 nodul, tetapi dapat bervariasi.

Kadangkala bilateral tori tersebut dapat begitu besar sehingga hampir


bertemu di midline, biasa disebut “kissingtori”. Tidak diperlukan
perawatan kecuali jika teriritasi

Torus palatinus. Lesi ini merupakan massa tulang yang keras, yang
terdapat pada sutura midline palatum durum. Penyebab tidak diketahui
dan masih diperdebatkan antara faktor genetik autosomal dominant
dengan faktor stres mastikasi. Biasanya pasien tidak menyadari
adanya lesi ini. Umumnya torus berukuran kecil (kurang dari 2cm), dan
dapat bertambah besar secara perlahan hingga menutupi lengkung
palatal. Bentuk torus palatinus bervariasi. Kadangkala torus palatinus
timbul bersama dengan torus mandibularis. Tidak memerlukan
perawatan kecuali jika teriritasi.

White sponge naevus. Nama lain pachyderma oralis atau white


folded gingivostomatitis merupakan lesi putih yang tidak dapat diseset
pada hampir seluruh mukosa mulut. Etiologinya karena autosomal
dominan pada keratin. Secara klinis lesi pada mukosa mulut yang
nampak putih, tidak sakit, berlipat atau berkerut atau menebal, terjadi
secara bilateral. Biasanya ditemukan pada mukosa bukal, namun
mukosa mulut lainnya dapat terlibat seperti lidah, dasar mulut, hidung
dan traktur respiratori atas, faring, oesofagus, genital, dan anus.
Diagnosis banding adalah hereditary benign intraepithelial
dyskeratosis. Tidak diperlukan terapi apapun, cukup dengan edukasi
dan motivasi bahwa kondisi ini merupakan varian normal.

153
LESI
ORAL

EVALUASI

Ujian Mini-CEX (Mini clinical evaluation examination)

1. Ujian Mini-CEX modul Lesi Oral dilakukan setelah mahasiswa


menyelesaikan seluruh persyaratan (4 DOPS, CST, dan 4 CBD)
2. Mini-CEX terdiri dari ujian CBT dan OSCE
3. Ujian OSCE terdiri dari 3-4 station, dengan nilai batas lulus dari
masing- masing station adalah 56.
4. Mahasiswa dianggap lulus OSCE jika keempat station tersebut lulus.
5. Nilai batas lulus CBT adalah 62
6. Mini-CEX dianggap lulus jika nilai OSCE dan CBT lulus.
Nilai akhir Mini-CEX adalah penggabungan nilai CBT dan OSCE yang
sudah lulus.

154
LESI
ORAL

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick TB, Klauss Wolff, Wolff KD, Johnson RR, Suurmond D, RichardS.
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New York:
McGraw-Hill Medical. 2005.

2. Konsil Kedokteran Gigi Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Gigi Indonesia.


Jakarta. 2006

3. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and
Maxillofacial Pathology. Ed ke-2. Philadelphia: WB Saunders.
2002.

4. Scully, C. Oral and Maxillofacial Medicine: The basis of diagnosis


and treatment. Ed ke-2. Edinburgh: Churchill Livingstone. 2008.

2. Wikipedia. Cutaneous condition. Update 3 Januari 2012. Diunduh 4 Febuari


2012. http://en.wikipedia.org/wiki/Vesicle_(dermatology)

155

Anda mungkin juga menyukai