LESI ORAL
PROGRAM STUDI
PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
GIGI UNIVERSITAS TRISAKTI
. JAKARTA 2023
PENYUSUN
BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT
130
LESI
ORAL
Seluruh pasien yang datang dengan keluhan adanya lesi oral, dilakukan
tahapan sebagai berikut:
A. Pemeriksaan Umum
1. Identitas pasien
Dalam identitas pasien, dilakukan pengisian nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, ras, alamat, nomor telepon
2. Anamnesis
Kontak pertama kali antara dokter gigi dan pasien merupakan
kunci utama dalam pengembangan komunikasi, kepercayaan dan
keyakinan pasien untuk dapat menceritakan segala yang
ditanyakan dokter gigi sehubungan dengan penyakit pasien.
Sebelum melakukan anamnesis, dokter gigi harus dapat me-
yakinkan pasien bahwa dokter gigi tersebut memiliki sikap peduli
atau simpati kepada pasiennya, dengan memperhatikan latar
belakang usia, budaya, intelegensia dari pasien. Dokter gigi harus
mampu menyakinkan pasien untuk bercerita dalam bahasa
pasien, sesuai dengan pertanyaan sistematik yang diajukan oleh
dokter gigi dalam pengungkapan keluhan pasien. Anamnesis
dapat dibagi menjadi auto anamnesis dan allo anamnesis. Auto
anamnesis dilakukan pada pasien itu sendiri, sedangkan allo
anamnesis dilakukan pada orang lain yang mengantar pasien,
seperti anggota keluarga, wali dan lainnya. Allo anamnesis
sebaiknya dihindari, selama pasien masih dapat menjawab
pertanyaan dokter gigi, namun teknik ini diperlukan terutama pada
anak-anak, lanjut usia, pasien yang mempunyai gangguan bicara
atau pendengaran atau gangguan mental. Anamnesis meliputi
beberapa indikator, yaitu:
a. Keluhan utama
Pada keluhan utama, perlu diidentifikasi mengenai keluhan yang
dirasakan sekarang oleh pasien, contoh sariawan yang timbul
beberapa hari yang lalu.
131
LESI
ORAL
133
LESI
ORAL
e. Riwayat keluarga
Pada riwayat keluarga, dokter gigi mencari faktor herediter
yang berperan dalam timbulnya lesi oral. Beberapa lesi oral
yang diketahui dapat diturunkan secara herediter antara lain
white sponge nevus, stomatitis aftosa, hereditary
angioedema, diabetes melitus dan lain-lain.
134
LESI
ORAL
B. Pemeriksaan Klinis
1. Ekstra oral
Pemeriksaan ekstra oral dilakukan pada:
a. Bentuk muka
b. Pembengkakan
c. Kelenjar limfe (submental, submandibula, servikal)
d. Bibir
e. Kulit sekitar mulut
f. Lainnya: mata, temporomandibular, persarafan dan lain-lain.
2. Intra oral
Pemeriksaan intra oral dilakukan secara visual pada
a. Mukosa labial
b. Mukosa bukal
c. Mukosa palatum keras dan lunak
d. Mukosa lidah (dorsal, lateral dan ventral)
e. Mukosa dasar mulut
f. Mukosa gingiva (marginal, attached dan free)
g. Gigi-geligi
h. Lainnya: tonsil, duktus kelenjar liur, vestibulum, gigi-geligi, gigi
tiruan, piercing.
Beberapa hal yang perlu diamati jika ditemukan lesi oral (deskrispsi lesi) adalah:
a. Jenis lesi (deskripsi lesi)
b. Lokasi
c. Bentuk
d. Tepi
e. Dasar lesi
f. Ukuran
g. Konsistensi
h. Jumlah (soliter atau multiple)
i. Sebaran (disseminata atau berkelompok)
j. Lainnya: perdarahan, lesi menjadi hilang saat ditekan atau ditarik atau diseset
135
LESI
ORAL
136
LESI
ORAL
137
LESI
ORAL
C. Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis dan pemeriksaan klinis bertujuan untuk menentukan diag-
nosis dan prognosis suatu penyakit atau bahkan untuk menentukan
diagnosis banding dari suatu penyakit. Pemeriksaan yang tidak
adekuat dapat menyebabkan misdiagnosis, penatalaksanaan yang
tidak tepat, efek samping dari perawatan yang tidak tepat dan bahkan
tuntutan hukum. Namun pemeriksaan yang berlebihan juga dapat
menyebabkan waktu yang lama, biaya tinggi, dan kecemasan pasien
meningkat. Oleh karena itu, dokter gigi dapat melakukan pemeriksaan
penunjang yang bertujuan untuk membantu dalam mendiagnosis suatu
kelainan atau penyakit. Pemeriksaan penunjang ini antara lain:
1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan seperti periapikal,
panoramik, oklusal, TMJ, CT Scan, Magnetic Resonance Imaging
(MRI), ultrasound dan lain-lain
2. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan seperti darah, urin,
sekret, hormon, antibodi, serologi, mirkobiologi, dan lain-lain.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk kasus yang dicurigai mempunyai
latar belakang penyakit sistemik.
3. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan seperti biopsi, swab
sitologi mulut, kultur, dan lain-lain.
4. Tes kulit
Tes kulit biasanya dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
alergi terhadap bahan kedokteran gigi tertentu.
D. Diagnosis
Diagnosis dapat dibedakan menjadi:
a. Definitive diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis tetap. Diagnosis ini dibuat ber-
dasarkan pemeriksaan menyeluruh dan sistematik yang selan-
jutnya menjadi acuan dalam terapi. Umumnya untuk lesi mu- lut,
anamnesis dan pemeriksaan klinis sudah cukup untuk me-
negakkan diagnosis tetap, tetapi kadangkala diperlukan pe-
meriksaan penunjang terutama untuk lesi mulut yang disebabkan
kondisi sistemik.
138
LESI
ORAL
b. Provisional diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis sementara. Pada kondisi ini,
dokter gigi belum dapat menentukan diagnosis tetap dan
diperlukan pemeriksaan penunjang. Contoh manifestasi penyakit
Crohn dalam rongga mulut berupa ulkus yang tidak sembuh dalam
waktu 3 minggu, diperlukan pemeriksaan endoskopi.
c. Clinical diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis klinis. Diagnosis ini dibuat
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis saja, tanpa
didukung hasil pemeriksaan penunjang. Contoh lesi putih mulut
yang diduga hereditary benign intraepithelial dyskeratosis yang
sangat sulit ditegakkan hanya dengan pemeriksaan biopsi lesi
saja, tetapi diperlukan biopsi mata.
d. Working diagnosis
Disebut juga diagnosis kerja. Diagnosis ini dibuat berdasarkan
pengalaman, epidemiologi klinis dan kadang didukung dari
pemeriksaan skrining (radiologi). Melalui diagnosis kerja ini,
pengobatan penyakit dapat dilakukan terlebih dahulu, selama
menunggu pemeriksaan penunjang spesifik. Contoh: lesi
kandidiasis mulut pada pasien HIV.
e. Differential diagnosis
Disebut juga sebagai diagnosis banding. Diagnosis ini dibuat
berdasarkan gejala atau gambaran klinis yang menyerupai lesi
oral pasien.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam bidang penyakit mulut dapat dikelompokkan
menjadi 5 tahapan yaitu:
1. Identifikasi faktor etiologi dan risiko/prediposisi
Sebelum melakukan perawatan, dokter gigi sebaiknya
menentukan terlebih dahulu faktor etiologi dan risiko apa saja
yang berperan dalam timbulnya lesi oral. Jika kedua faktor
tersebut tidak terindentifikasi, maka akibatnya lesi oral tidak
sembuh atau lama sembuh atau rekuren, biaya pengobatan
meningkat, efek samping obat bertambah dan kepercayaan
pasien terhadap dokter berkurang.
139
LESI
ORAL
2. Terapi simtomatik/gejala
Pasien yang datang berobat ke dokter gigi seringkali
mengeluhkan rasa sakit atau kecemasan terhadap apa yang
dialaminya dalam atau sekitar rongga mulut. Rasa sakit pada erosi
atau ulkus dapat diatasi dengan pemberian covering agent
(seperti asam hialuronat, lanolin, vaselin), atau anestetikum
topikal (benzidamin, lidokain, diphenhidramin). Rasa sakit pada
lesi lainnya (tanpa disertai hilangnya integritas epitel), dapat
diberikan terapi analgesik sistemik dan kortikosteroid.
3. Terapi kausatif/penyebab
Terapi kausatif ini ditujukan untuk lesi oral yang secara jelas
disebabkan karena penyebab tertentu, contoh infeksi (bakteri,
jamur, virus); necrotizing ulcerative stomatitis diberikan
antibakteri, kandidiasis mulut diberikan antijamur, herpes labialis
diberikan antivirus. Ulkus dekubitalis akibat akar gigi yang tajam,
dilakukan pengasahan atau pencabutan akar gigi.
4. Terapi suportif
Terapi suportif diberikan untuk mempercepat perbaikan lesi oral
atau meningkatkan kondisi sistemik pasien yang mengalami
keterbatasan dalam asupan nutrisi akibat adanya lesi oral. Contoh
pasien noma yang faktor prediposisinya adalah malnutrisi, dapat
diberikan nutrisi yang tinggi kalori dan tinggi protein; pasien ulkus
yang dalam, dapat diberikan vitamin A untuk mempercepat
penyembuhan lesi.
5. Komunikasi, Instruksi, Edukasi
Komunikasi, Instruksi dan edukasi harus selalu diberikan kepada
pasien mengenai kelainan atau penyakit yang dialami pasien, apa
yang dapat timbul jika penyakit tidak ditangani, penggunaan obat,
waktu kontrol, dan lain-lain.
140
LESI
ORAL
usia lebih dari 12 tahun. Pasien anak- anak (usia dibawah dari 12
tahun) wajib didampingi oleh orangtua atau wali.
Kontrol
Kontrol dilakukan berkisar antara 1-4 minggu setelah indikasi pasien.
Mahasiswa wajib menyertakan rekam medik dan foto klinis lesi awal
atau sebelumnya dan/atau hasil pemeriksaan penunjang. Saat kontrol,
dilakukan:
a. Anamnesis singkat mengenai keluhan pasien, penggunaan obat,
kondisi lain yang meringankan atau memperberat gejala
b. Mendiskripsikan gambaran klinis dan perubahan lesi
c. Menentukan pengobatan lanjutan apa yang akan diberikan
kepada pasien
141
LESI
ORAL
LANDASAN TEORI
142
LESI
ORAL
143
LESI
ORAL
144
LESI
ORAL
diperlukan terapi apapun kecuali edukasi bahwa kondisi ini merupakan
varian normal
145
LESI
ORAL
Frictional keratosis. Lesi ini berupa lesi putih akibat iritasi kronis.
Iritasi yang berlangsung terus menerus terhadap mukosa mulut akan
merangsang pembentukan keratin yang berlebih. Lesi putih terasa
sedikit menonjol dan tidak sakit. Penyebab biasanya cusp gigi yang
tajam atau edontulus area yang lama tidak memakai gigi palsu.
Terapinya dengan pengasahan tepi gigi atau restorasi yang tajam.
146
LESI
ORAL
higiene oral, penyikatan dorsum lidah, dan obat kumur.
Herpes zoster. Penyakit infeksi virus akut pada mukosa mulut yang
disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella zoster. Faktor predisposisi
lesi antara lain stres, trauma, kelelahan, paparan sinar matahari,
infeksi saluran pernapasan, alergi, penurunan sistem imun, kehamilan
dan keganasan. Umumnya didahului masa prodromal 1-2 minggu
berupa demam, lesu, rasa sakit sepanjang area yang dipersarafi saraf
sensoris yang terkena, umumnya berlokasi unilateral. Pada kulit,
bercak kemerahan berkembang menjadi vesikel dengan sebaran
unilateral mengikuti alur persarafan. Selanjutnya vesikel pecah
menjadi ulserasi, dan dalam waktu 2 minggu lesi mengering
membentuk krusta dan mengelupas. Pada mukosa mulut, melibatkan
saraf trigeminal cabang kedua dan ketiga. Mukosa yang terlibat antara
lain mukosa pipi, lidah, uvula, faring dan laring. Vesikel muncul dengan
sebaran unilateral, yang pecah membentuk erosi, yang selanjutnya
bergabung menjadi ulserasi dangkal dengan batas tegas. Gambaran
khas lesi adalah sebaran unilateral, umumnya ketika lesi membesar
akan berhenti pada midline. Setelah infeksi primer, virus akan laten
pada ganglion saraf sensoris. Jika terdapat faktor predisposisi dan
defek imun, maka virus akan teraktivasi kembali. Dapat terjadi
komplikasi berupa post herpetic neuralgia dan osteomyelitis pada
rahang. Untuk terapi dapat diberikan asiklovir 400- 800 mg 5 kali sehari
148
LESI
ORAL
selama 7-10 hari. Jika perawatan standar tidak memberikan respon
atau terdapat latar belakang sistemik, sebaiknya dilakukan konsultasi
medik ke spesialis penyakit dalam atau saraf atau kulit dan kelamin.
Linea alba bukalis. Lesi ini merupakan perubahan pada mukosa bukal
yang berhubungan dengan tekanan, friksi atau trauma isap dari
permukaan gigi. Secara klinis, berupa garis putih keabuan lebar 1-2
mm, dengan panjang dan penonjolan keluar yang bervariasi pada
mukosa pipi setinggi garis oklusi, berjalan horisontal dari molar ke-2
sampai regio kaninus secara bilateral. Biasanya tanpa keluhan. Tidak
diperlukan terapi apapun.
Torus palatinus. Lesi ini merupakan massa tulang yang keras, yang
terdapat pada sutura midline palatum durum. Penyebab tidak diketahui
dan masih diperdebatkan antara faktor genetik autosomal dominant
dengan faktor stres mastikasi. Biasanya pasien tidak menyadari
adanya lesi ini. Umumnya torus berukuran kecil (kurang dari 2cm), dan
dapat bertambah besar secara perlahan hingga menutupi lengkung
palatal. Bentuk torus palatinus bervariasi. Kadangkala torus palatinus
timbul bersama dengan torus mandibularis. Tidak memerlukan
perawatan kecuali jika teriritasi.
153
LESI
ORAL
EVALUASI
154
LESI
ORAL
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitzpatrick TB, Klauss Wolff, Wolff KD, Johnson RR, Suurmond D, RichardS.
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. New York:
McGraw-Hill Medical. 2005.
3. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and
Maxillofacial Pathology. Ed ke-2. Philadelphia: WB Saunders.
2002.
155