Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI II

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fotogrametri II)


HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktikum Fotogrametri II ini telah diperiksa, disetujui dan disahkan oleh Asisten
Praktikum dan Dosen Pembimbing Praktikum Fotogrametri II, Program Studi Teknik Geodesi,
Univeristas Diponegoro
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL
BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Tingkat permintaan terhadap informasi geografis dan pemetaan semakin meningkat


secara signifikan di kalangan masyarakat seiring dengan kemajuan yang terus berlangsung. Di
era yang terus berkembang ini, perkembangan teknologi melaju dengan pesat. Ada berbagai
metode survei pengukuran atau pengamatan tata ruang yang dapat dipilih sesuai dengan
pertimbangan yang diperlukan. Disiplin ilmu Geodesi dan Geomatika menyediakan berbagai
teknologi untuk memfasilitasi akuisisi data spasial. Salah satu solusi teknologi yang relevan
dalam konteks pengukuran dan pengamatan adalah fotogrametri.

Fotogrametri adalah gabungan seni, ilmu, dan teknologi untuk menghasilkan informasi
yang dapat diukur mengenai objek fisik dan lingkungan. Metodenya melibatkan penggunaan
catatan gambar, khususnya foto udara atau citra satelit. Fotogrametri tidak hanya merekam visual
suatu wilayah, melainkan juga memungkinkan ekstraksi data terukur yang mendalam mengenai
objek dan kondisi lingkungan. Dengan memanfaatkan foto udara atau citra satelit, fotogrametri
mengintegrasikan unsur seni visual dengan metode ilmiah dan teknologi mutakhir untuk
memberikan pemahaman yang mendalam serta pemodelan objek-objek dalam dunia nyata.

(Wolf, 2000)

Kemajuan teknologi dalam pengolahan data fotogrametri terus berlangsung dengan pesat.
Hal ini dapat dilihat dalam pengolahan data fotogrametri, khususnya dalam konteks data foto
udara, yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Salah satu tahapan dalam fotogrametri
digital adalah proses orthorektifikasi dan pembuatan mozaik foto. Proses ini dapat dilaksanakan
dengan menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica (Santoso, 2016)

Pada kegiatan praktikum Fotogamteri II yang kami lakukan, software PCI Geomatica
digunakan untuk menghasilkan proses ortho dan pembuatan DEM (Digital Elevation Model)
dari hasil foto udara yang dibentuk. Tahapan yang dilakukan dalam praktikum kali ini,
diantaranya yaitu proses orthorektifikasi yang merupakan suatu proses dalam menghasilkan foto
udara yang tegak. Foto yang telah diortorektifikasi dapat memberikan representasi ketinggian
daerah yang dihasilkan dalam bentuk DEM. Selain itu, proses ini juga mampu menghasilkan
mozaik, yaitu gabungan dari seluruh foto yang saling tumpang tindih.

I.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam praktikum ini meliputi:

1. Bagaimana menganalisis hasil orthophoto yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan
menggunakan Digital Elevation Model (DEM)?
2. Bagaimana melakukan analisis terhadap hasil proses ekstraksi DEM menggunakan
perangkat lunak PCI Geomatica dan Summit Evolution?
3. Bagaimana menganalisis hasil Root Mean Square (RMS) dan mozaik yang diperoleh?
4. Bagaimana melakukan analisis perbandingan antara hasil pengolahan orthophoto dengan
Digital Base Map (DBM)?

I.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan pelaksanaan praktikum Fotogrametri II ini adalah sebagai berikut:

I.3.1 Maksud
Maksud praktikum ini adalah untuk memperkenalkan dan melatih mahasiswa dalam
menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica. Harapannya adalah bahwa melalui penggunaan
perangkat lunak tersebut, mahasiswa dapat menghasilkan data seperti RMS, orthophoto, dan
Digital Elevation Model (DEM).

I.3.2 Tujuan
Tujuan dalam praktikum ini meliputi:

1. Mengetahui hasil analisis orthophoto yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan
menggunakan Digital Elevation Model (DEM)
2. Mengetahui hasil proses ekstraksi DEM menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica
dan Summit Evolution
3. Mengetahui hasil analisi Root Mean Square (RMS) dan mozaik yang diperoleh selama
praktikum
4. Mengetahui analisis perbandingan antara hasil pengolahan orthophoto dengan Digital
Base Map (DBM)
I.4 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan untuk memastikan bahwa laporan hasil praktikum tetap
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, sehingga memudahkan pengumpulan data dan
informasi yang dibutuhkan. Pembatasan masalah yang telah ditetapkan melibatkan:

1. Penggunaan perangkat lunak PCI Geomatica dan Summit Evolution dalam proses ortho
dan ekstraksi DEM. Selama pelaksanaannya, daerah yang dijadikan batasan adalah
wilayah Belitung.
2. Pelaksanaan praktikum ini memfokuskan pada wilayah Belitung dalam konteks
triangulasi udara untuk memperoleh nilai RMS, hasil mozaik, dan DEM.

I.5 Sistematika Penulisan Laporan


Laporan praktikum disusun dengan format penyajian data hasil pengamatan dan analisis
foto udara di laboratorium, serta memberikan gambaran teori secara umum. Agar memudahkan
pemahaman keseluruhan laporan dan menyajikannya secara sistematis dan jelas, digunakan
sistematika laporan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan latar belakang fotogrametri, tujuan laporan, rumusan masalah, pembatasan


masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Menyajikan subbab-subbab yang berisi tinjauan pustaka mengenai Fotogrametri II yang terkait
dengan praktikum yang dilakukan.

BAB III: PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Memberikan penjelasan tentang seluruh kegiatan pelaksanaan praktikum, mulai dari


pengambilan data hingga tahap penggambaran.

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi hasil praktikum dan analisis mendalam terhadap data yang diperoleh.

BAB V: PENUTUP

Merangkum kesimpulan dari hasil praktikum dan memberikan saran yang diperlukan untuk
pihak terkait, baik dalam pelaksanaan praktikum berikutnya maupun bagi mereka yang akan
melaksanakannya, dengan tujuan agar proses selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Foto Udara
Foto udara merupakan representasi gambar yang tercetak pada medium kertas, dihasilkan
melalui proses pemotretan dengan menggunakan teknik fotografi. Produk ini menjadi salah satu
kontribusi dalam bidang ilmu geografi untuk mengambil gambar objek, daerah, atau fenomena
yang ada di permukaan bumi, menggunakan kamera dengan perekaman fotografi yang
melibatkan detector atau alat pendeteksi seperti film. Film yang merekam hasil pemotretan
kemudian dicetak secara kimiawi di dalam ruang gelap guna mendapatkan gambar yang optimal
(Wicaksono, 2009). (Noor, 2012) menambahkan bahwa foto udara adalah rekaman detail
permukaan bumi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk panjang fokus lensa kamera,
ketinggian terbang pesawat, waktu pemotretan, serta jenis film dan filter yang digunakan saat
pemotretan. Secara umum, foto udara dapat diartikan sebagai gabungan dari citra atau gambar
yang dibuat untuk memahami unsur-unsur dalam proses interpretasi. Secara geometri, foto udara
pada dasarnya merupakan foto perspektif yang terkait dengan jenis kamera yang digunakan
selama proses pemotretan.
II.1.1 Jenis Foto Udara

Pengelompokan atau klasifikasi jenis foto udara dapat dilakukan berdasarkan beberapa
sudut pandang yang berbeda. Berikut adalah pembagian jenis foto udara berdasarkan berbagai
sudut pandang (Wahyono, 2017):

1. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik


Foto udara dapat diklasifikasikan berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan.
Contohnya :
a. Foto Udara Pankromatik: Foto udara yang menggunakan spektrum pankromatik,
yang menghasilkan gambar hitam-putih.

b. Foto Udara Inframerah: Foto udara yang menggunakan spektrum inframerah.

2. Berdasarkan Skala Fotonya


Foto udara juga dapat dikelompokkan berdasarkan skala fotonya, yang terdiri dari:
a. Foto Skala Besar : Foto udara skala besar memiliki rasio yang lebih besar dari
1:10.000, yang berarti bahwa setiap satuan panjang pada foto tersebut mewakili jarak
yang lebih dari 10 meter di permukaan bumi. Foto-foto ini menampilkan detail yang
cermat dan sering dimanfaatkan dalam konteks perencanaan dan rekayasa.
b. Foto Skala Menengah : Foto udara skala menengah memiliki skala antara 1:10.000
dan 1:250.000, yang berarti bahwa satu sentimeter pada foto mewakili 10 hingga 250
meter di permukaan bumi. Foto-foto ini menunjukkan detail yang cukup dan sering
digunakan untuk tujuan pemetaan dan perencanaan
c. Foto Skala Kecil : Foto udara skala kecil memiliki skala yang lebih kecil dari
1:250.000, yang berarti bahwa satu sentimeter pada foto mewakili lebih dari 250
meter di permukaan bumi. Foto-foto ini menunjukkan cakupan area yang luas dan
sering digunakan untuk tujuan perencanaan regional
3. Berdasarkan Jenis Kamera yang Digunakan
Klasifikasi juga dapat dilakukan berdasarkan jenis kamera yang digunakan, seperti:
a. Foto Udara dengan Satu Saluran: Menggunakan kamera tunggal untuk merekam
panjang gelombang tertentu.
b. Foto dengan Berbagai Saluran: Biasanya direkam menggunakan kamera jamak yang
dapat merekam berbagai saluran sekaligus.
4. Berdasarkan Sumbu Kameranya:
Jenis foto udara juga dapat dikelompokkan berdasarkan sumbu kameranya, yaitu:
a. Foto Vertikal: Foto udara yang diambil dari sudut pandang yang tegak lurus terhadap
permukaan bumi.
b. Foto Condong: Foto udara yang diambil dari sudut pandang condong atau miring
terhadap permukaan bumi.
Dengan pengelompokan ini, jenis foto udara dapat lebih mudah dipahami dan
dikelompokkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.

II.1.2 Geometri Foto Udara


Sifat mendasar dari sebuah foto udara adalah bahwa setiap bayangan yang terlihat di atas
foto tersebut sesuai dengan titik tunggal dari objek yang difoto. Terdapat hubungan geometris
antara posisi relatif spasial dari bayangan dua dimensi di atas foto dan posisi sebenarnya dari
objek dalam tiga dimensi (Wahyono, 2017).Proyeksi pada foto udara umumnya merupakan
proyeksi sentral, yang berarti garis-garis proyeksi dari objek ke bidang proyeksi (biasanya
bidang negatif) melalui suatu titik pusat proyeksi. Bayangan pada bidang negatif tersebut
terbalik, sementara pada bidang positif, posisi bayangan sesuai dengan posisi sebenarnya.

Secara geometris, sebuah bayangan positif terletak pada jarak fokus di depan titik nodal
depan sebuah kamera. Foto udara sering diklasifikasikan berdasarkan orientasi sumbu optik
kamera, yang dapat ditentukan dari garis sepanjang titik kamera. Sumbu optik menghubungkan
titik pusat film dengan pusat lensa, dan kemudian melalui depan kamera ke arah luar. Foto udara
tegak (vertikal) diambil dari satu kamera di mana sumbu optik ke arah bawah membentuk sudut
90° atau tegak lurus terhadap permukaan tanah. Meskipun ada beberapa batasan, foto udara
vertikal masih diklasifikasikan sebagai jenis foto vertikal (Noor, 2012).
II.1.3 Perencanaan Pemotretan Foto Udara
Tujuan dari pemotretan foto udara adalah untuk mendapatkan gambar udara yang nantinya akan
digunakan untuk proses pemetaan menggunakan metode fotogrametri, atau untuk keperluan
interpretasi foto udara (Sudarsono, 2008). Proses perekaman foto udara melalui beberapa
tahapan kerja, yakni:

1. Tahapan Perencanaan: Tahapan awal adalah perencanaan yang mencakup skala foto, rute
penerbangan, arah penerbangan, tumpang tindih (overlap), batas dan luas area yang akan
difoto, pemilihan kamera, peta rencana rute penerbangan, ketinggian penerbangan,
kecepatan penerbangan, dan hal-hal lain yang perlu direncanakan sebelum pengambilan
data.
2. Tahapan Persiapan: Persiapan melibatkan persiapan sistem kamera, perencanaan rute
penerbangan, dan pemasangan kamera pada wahana udara. Persiapan kamera udara
mencakup langkah-langkah seperti pemasangan program pada sistem kamera, integrasi
sistem IMU (Inertial Measurement Unit) dan GPS, pembuatan dudukan kamera,
penentuan panjang fokus kamera, perhitungan GSW (Ground Swath Width), GSD
(Ground Sample Distance), dan dwell time kamera, serta kalibrasi kamera udara.
Selanjutnya, persiapan rute penerbangan melibatkan observasi dan penentuan lokasi
pengambilan gambar.
3. Tahapan Pelaksanaan: Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama pemotretan udara di
lapangan meliputi penyelesaian premark di lapangan agar tampak jelas pada hasil foto,
waktu yang tepat untuk pemotretan agar mendapatkan pencahayaan yang optimal, batas
jumlah awan dalam hasil foto agar tidak ada bayangan, variasi tinggi penerbangan yang
sesuai, proses fotografi seperti pencucian dan pencetakan foto udara hasil perekaman di
lapangan, dan memastikan kamera berfungsi dengan baik. Cuaca yang baik juga menjadi
faktor penting dalam pengambilan foto.

II.1.4 Skala Foto Udara


Skala foto udara merujuk pada perbandingan antara jarak pada foto udara dengan jarak di
permukaan bumi. Pada foto udara, terdapat istilah skala foto yang mengacu pada skala rata-rata
dari foto tersebut. Istilah "skala rata-rata" digunakan karena proyeksi pada foto udara bersifat
perspektif sentral dan berpusat pada titik utama principal point. Oleh karena itu, skala di setiap
titik pada foto tidak akan seragam, kecuali jika foto udara tersebut berada dalam kondisi tegak
dan permukaan tanah sangat datar. Besarnya skala rata-rata ditentukan oleh tinggi terbang,
ketinggian permukaan bumi, dan fokus kamera yang digunakan (Subakti, 2017)

Menurut (Noor, 2012) skala foto pada dasarnya mirip dengan skala peta. Skala foto
merupakan perbandingan jarak dua objek dalam foto dengan jarak sebenarnya di atas tanah.
Perbedaan utama antara keduanya terletak pada fakta bahwa pada peta, skala akan tetap sama di
setiap titik karena peta merupakan proyeksi orthogonal dari suatu area di permukaan tanah.
Sebaliknya, foto udara merupakan hasil proyeksi sentral yang mengakibatkan variasi skala sesuai
dengan ketinggian setiap titik terhadap suatu bidang referensi tertentu. Hanya jika daerah yang
difoto benar-benar datar (suatu situasi yang jarang terjadi), aturan untuk menghitung skala peta
dapat diterapkan untuk menghitung skala foto.

Skala foto dari suatu daerah datar :

Skala adalah fungsi dari Panjang focus kamera (f) yang digunakan untuk mendapatkan
foto dan tinggi terbang di atas objek (H). Skala citra udara dapat dihitung melalui rumus sebagai
berikut :

f
S=
H

Dimana :

f = focus lensa

H = tinggi terbang diatas permukaan datum


Skala foto udara tegak dari suatu daerah yang tidak datar :

Untuk daerah-daerah yang tidak datar, maka dapat menghitung skala dengan rumus :

f
S=
H −hA

Dimana :

f = focus lensa

H = tinggi terbang diatas permukaan datum

HA = tinggi titik A diatas permukaan datum

Skala foto udara terhadap tinggi daerah rata-rata :

S=f /(H−h)

Dimana :

f = focus lensa

H = tinggi terbang diatas permukaan datum


h = tinggi rata-rata daerah yang dipotret

II.1.5 Sumber-Sumber Kesalahan pada Foto Udara


umumnya foto udara yang didapat dari hasil pemotretan tidak sepenuhnya tegak
sempurna. Beberapa kesalahan yang terjadi pada waktu pemotretan udara:
1. Crab, yaitu kesalahan akibat pemasangan kamera yang tidak sempurna.

Gambar II.1 ilustrasi kesalahan crab


2. Drift, yaitu kesalahan akibat pengaruh angin sehingga arah terbang tidak sempurna.
Gambar II.2 ilustrasi kesalahan drift

3. Tilt, yaitu kesalahan akibat pengaruh angin dari samping sehingga menyebabkan
pesawat mengalami kemiringan.

Gambar II.3 ilustrasi kesalahan tilt


4. Tip, yaitu kesalahan akibat pengaruh angin dari depan atau belakang.

Gambar II.4 ilustrasi kesalahan tip

Selain kesalahan-kesalahan tersebut, ada beberapa kesalahan lainnya dalam foto udara
yaitu:
1. Kesalahan yang terjadi di titik awal
2. Kesalahan akibat penyusutan atau pengembangan bahan fotografi (film dan/atau
kertas foto)
3. Distorsi lensa kamera
4. Pengaruh refraksi atmosfer
5. Pengaruh kelengkungan bumi

II.2 Konsep Orthomozaic

Orthomozaic adalah gambar satelit atau foto udara yang telah disesuaikan secara
geometrik sehingga memiliki akurasi spasial yang tinggi dan dapat digunakan untuk pengukuran
dan analisis. Proses ini melibatkan transformasi gambar, yang sering melibatkan koreksi distorsi
geometrik dan radiometrik, sehingga setiap piksel pada gambar mewakili suatu area pada
permukaan bumi dengan akurasi yang diperluka

Dalam konsep orthomozaic ini ada beberapa langkah langkah yang diterapkan yaitu :

1. Pengumpulan Data: Data dapat diperoleh dari satelit, pesawat terbang, atau drone. Foto
udara atau citra satelit direkam selama misi pengumpulan data.
2. Praproses Data: Langkah ini melibatkan koreksi distorsi geometrik dan radiometrik pada
setiap citra agar sesuai dengan model bumi yang benar dan memiliki intensitas
radiometrik yang konsisten.
3. Pemadanan Citra (Image Matching): Proses ini mencocokkan titik-titik pengamatan yang
sama pada beberapa citra untuk membangun model tiga dimensi dari area yang
diabadikan
4. Generasi Model 3D: Dengan menggunakan titik-titik kontrol dan data elevasi, model tiga
dimensi dari permukaan bumi dibangun.
5. Proyeksi Orthografis: Citra disesuaikan dengan model 3D sehingga setiap piksel pada
citra mewakili titik yang tepat pada permukaan bumi. Ini melibatkan proyeksi ortografis
yang mempertahankan proporsi dan sudut yang benar.

Proses pengolahan yang pertama dilakukan adalah proses pengumpulan dan pengecekan data.
Pada tahapan ini semua data dikumpulkan lalu dilakukan pengecekan. Selanjutnya dilakukan
proses penamaan semua data foto yang akan digunakan untuk menghindari adanya duplikasi
nama file foto. Pada penelitian ini data foto dibagi menjadi tiga area dikarenakan kurangnya
spesifikasi hardware yang dimiliki. Pada tahap ini juga dilakukan resize foto untuk mengurangi
ukuran file tanpa menurunkan kualitas foto. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan data
menggunakan WebODM. Pada tahapan ini dilakukan proses yang dimulai dari identifikasi GCP,
processing image and GCP, download data, hingga mosaic data. Setelah hasil output didapatkan,
dilakukan proses analisa data. Pada tahap analisa data, data hasil pengolahan foto udara kedua
software dilakukan uji akurasi horisontal dan vertikal dengan menggunakan data
ICP(Independent Control Point). Data koordinat horisontal didapatkan dari hasil mosaic
orthofoto sedangkan data koordinat vertikal didapatkan dari data DSM hasil pengolahan masing-
masing software. (Sukililo, 2022)

II.2.1 Orientasi Dalam


 Dalam konteks fotogrametri, dikenal beberapa sistem koordinat yang
berhubungan foto udara, yaitu sistem koordinat foto (model) dan sistem
koordinat peta atau tanah. Foto yang diperoleh dari hasil perekaman, memiliki
sistem koordinat piksel sehingga harus ditransformasikan menjadi sistem
koordinat foto. Transformasi ini diesbut dengan orientasi dalam (Interior
Orientation). Tujuan dari orientasi dalam adalah melakukan rekonstruksi berkas
sinar pada instrumen fotogrametri dan untuk mengkoreksi foto agar sesuai pada
saat akuisisi data. Selain itu, orientasi dalam juga mengeliminasi kesalahan-
kesalahan yang terjadi pada pemotretan udara seperti kesalahan tinggi terbang
(Sarkawi, 2016). Pada orientasi ini yang dikerjakan antara lain:
1. Memasang diapositif pada piringan penyangga yang ada di stereo plotter
2. Menyetel jarak utama pada masing-masing proyektor sesuai dengan fokus kamera
udara yang digunakan
3. Menghilangkan distorsi yang ada
4. Mengeliminasi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada pemotretan udara seperti
kesalahan terbang

II.2.2 Orientasi Luar

Orientasi eksternal (orientasi luar) adalah orientasi parameter-parameter dari berbagai


berkas sinar. Orientasi luar pada dasarnya terbagi atas dua jenis yaitu orientasi relatif dan
orientasi absolut.
1. Orientasi relatif
Orientasi relatif adalah penentuan kemiringan dan posisi relatif dua buah foto
pasangan stereo. Sasaran orientasi relatif adalah mengorientasikan dua buah foto
sehingga setiap pasangan sinar yang sekawan dari dua foto tersebut berpotongan pada
ruang.
2. Orientasi absolut

Orientasi absolut adalah proses penyamaan antara koordinat model dengan


koordinat tanah, sehingga terdapat proses penegakan dan penyekalaan. Orientasi
absolut memposisikan model 3D ke sistem koordinat tanah (Prahasta, 2008)

II.3 Kalibrasi Kamera

Kalibrasi kamera adalah proses menentukan parameter internal dari sebuah kamera.
Parameter internal dibutuhkan untuk dapat merekonstruksi ulang berkasberkas sinar pada saat
pemotretan dan untuk mengetahui besarnya kesalahan sistematik dari sebuah kamera. Proses
kalibrasi ini dilakukan untuk mencari parameter intrinsik dan parameter ekstrinsik
menggunakan gambar 2D suatu objek, yang dikorespondensikan dengan koordinat 3D objek
tersebut, dengan kata lain korespondensi ini merupakan transformasi antar sistem koordinat.
Beberapa parameter tersebut antara lain, focal lenght, titik pusat koordinat, resolusi, rotasi
kamera, distorsi lensa. Untuk keperluan fotogrametri teliti posisi tanda tepi, bersama-sama
dengan titik tengah foto, panjang fokus dan distorsi lensa harus ditentukan dengan cara
kalibrasi kamera (Wicaksono, 2009).

Dalam kalibrasi kamera, kita akan memperoleh unsur unsur dalam orientasi dalam yang
terdiri dari :
1. Jarak utama/principal point

Jarak utama adalah jarak tegak lurus antara titik pusat lensa (titik fokus)
dengan bidang proyeksi kamera CCD (Charge-Coupled Device) atau CMOS
(Complimentary Metal-oxide Semiconductor) dalam kamera digital, atau film dalam
kamera analog). Umumnya dari metadata sebuah foto digital dapat diketahui panjang
fokusnya, namun nilainya belum tentu sama dengan jarak utama yang diperlukan dan
merupakan nilai pendekatan dari pabrik pembuat kamera tersebut. Pekerjaan
fotogrametri dibutuhkan nilai yang pasti dari jarak utama, karena sangat berhubungan
dengan hasil pengukuran obyek.

2. Posisi titik utama foto (Xp, Yp)

Titik utama adalah titik hasil proyeksi tegak lurus titik pusat perspektif (titik
pusat proyeksi) pada bidang foto. Posisi ini dinyatakan dengan Xp dan Yp yang
merupakan koordinat titik utama dalam sistem koordinat foto. Sistem koordinat foto
adalah sistem kordinat yang berpangkal pada titik pusat foto, dimana sumbu X positif
adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik yang berhadapan pada sebuah foto
(sejajar arah jalur pemotretan). Sedangkan sumbu Y positif adalah tegak lurus
berlawanan arah jarum jam dari sumbu X positif.

3. Distorsi lensa

Distorsi lensa dapat menyebabkan bergesernya titik citra pada foto dari posisi
yang sebenarnya, sehingga akan memberikan ketelitian pengukuran yang kurang baik.
Distorsi lensa tidak akan mempengaruhi kualitas ketajaman foto yang dihasilkan.
Namun untuk pekerjaan fotogrametri, besarnya distorsi tak dapat diabaikan. Distorsi
lensa diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu distorsi radial dan distorsi tangensial
(decentering).
a. Distorsi radial

Distorsi radial merupakan “aberasi” lensa yang menyebabkan sinar


datang yang masuk melalui lensa kamera mengalami deviasi setelah melalui
titik pusat proyeksi lensa. Deviasi ini terjadi akibat tidak sempurnanya
komposisi lensa. Distorsi lensa akan mengakibatkan pergeseran bayangan ke
arah radial terhadap titik utama.
b. Distorsi tangensial

Semua elemen dalam sistem lensa, idealnya harus diatur sejajar dengan
sumbu optis dari seluruh sistem lensa. Pergeseran vertikal ataupun rotasi pada
elemen lensa dari susunan yang sempurna akan mengakibatkan pergeseran
geometrik dari foto, yang dikenal sebagai distorsi tangensial. Distorsi
tangensial mempunyai komponen radial dan tangensial.
II.4 Titik Kontrol

Titik kontrol pada fotogrametri atau disebut dengan kontrol medan terdiri dari
sembarang titik-titik yang posisinya diketahui pada suatu sistem koordinat rujukan tempat
objek dan juga dapat teridentifikasi di foto udara. Didalam fotogrametri, tempat suatu objek
adalah di permukaan tanah dan berbagai macam sistem koordinat medan dapat digunakan
untuk untuk menentukan letak suatu titik. Titik kontrol dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu titik kontrol mendatar (horizontal) dan titik kontrol tegak (vertikal). Titik kontrol
mendatar adalah titik di ruang yang diketahui dalam hubungannya dengan rujukan mendatar /
horizontal sedangkan titik kontrol vertikal merupak titik kontrol yang memiliki nilai
ketinggian dan berhubungan dengan rujukan tegak (Putu Harianja, 2020)
Titik kontrol tanah juga dikenal dengan istilah GCP (Ground Control Point). GCP
merupakan suatu titik berupa benchmark yang ada dibumi yang bergeoreferensi sehingga
diketahui informasi mengenai koordinat dan tinggi titik tersebut. Disamping titik GCP,
adapula titik-titik yang disebut dengan ICP (Independent Check Point) yakni titik yang
digunakan untuk menguji kualitas hasil dan tidak diikutkan pada proses pengolahan foto
udara. pengukuran titik-titik GCP dan ICP dapat dilaksanakan dengan metode pengukuran
satelit GPS (Global Positioning System).

Gambar II.5 titik kontrol

Selain fungsi utama tersebut, GCP secara khusus juga memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Faktor penentu ketelitian geometris hasil olah foto (ortofoto, DSM, DTM), semakin
teliti GCP maka semakin baik pula ketelitian geometris output (dengan kaidah-kaidah
peletakan GCP yang dipenuhi).
2. Faktor yang mempermudah proses orientasi relatif antar foto sehingga keberadaan
GCP bisa meningkatkan akurasi geometrik dari peta foto.
3. Mengkoreksi hasil olah foto udara yang berupa ball effect (kesalahan yang
mengakibatkan model 3D akan berbentuk cembung di tengah area yang di ukur).
4. Menyatukan hasil olah data yang terpisah dengan lebih cepat dan lebih efektif.

II.5 Parameter Kamera


Dalam konteks fotogrametri, parameter kamera merujuk pada sejumlah parameter yang
digunakan untuk menggambarkan karakteristik dan sifat geometris kamera yang digunakan
untuk mengambil citra. Beberapa parameter kamera yang umumnya digunakan dalam
fotogrametri meliputi:(virgus, 2017)

1. Focal Length (Panjang Fokus): Merupakan jarak antara titik fokus kamera dan sensor
citra. Dinyatakan dalam satuan panjang, seperti milimeter.
2. Principal Point (Titik Utama): Merupakan titik di mana sumbu optik kamera memotong
sensor citra. Dalam koordinat piksel, ini dinyatakan sebagai koordinat (u₀, v₀).
3. Distortion Parameters (Parameter Distorsi): Distorsi lensa dapat menyebabkan
perubahan pada bentuk objek dalam citra. Distorsi lensa dapat diukur dengan parameter
distorsi radial dan tangensial.
4. Radial Distortion: Terkait dengan perubahan jarak radial antara titik-titik di sekitar titik
utama.

5. Tangential Distortion: Terkait dengan perubahan jarak tangensial antara titik-titik di


sekitar titik utama.

II.6 Titik Ikat

Titik ikat merupakan titik penerus yang mengikat jalur-jalur foto. Dalam fotogrametri
ada tahapan pekerjaan yang sangat penting yaitu triangulasi udara (aerial triangulation).
Sistem penomoran merupakan proses pemindahan titik tahapan pertama yang tidak dapat
diabaikan. Penomoran titik sangat berkaitan dengan ketelitian dan kualitas hubungan
antarfoto. Terdapat
kaidah-kaidah baku dalam penomoran ini yang bertujuan untuk mempermudah
pengontrolan atau melacak titik itu ada pada foto yang mana dengan mudah. Berhati-hatilah
dalam pemilihan, penomoran dan pengamatannya karena sekali salah, pada program ini akan
sulit untuk memperbaikinya. Harus penuh konsentrasi, sebelum titik kontrol tanah diberikan
pada blok ini.(Petrus, 2019)

II.7 Mosaik Foto Udara

Mozaik foto udara adalah hasil gabungan dari beberapa citra udara yang tumpang tindih
secara signifikan untuk membentuk satu citra yang lebih besar dan lengkap. Proses pembuatan
mozaik foto udara melibatkan sejumlah langkah fotogrametri dan pemrosesan citra untuk
menyatukan dan menyusun citra-citra tersebut. Berikut adalah konsep-konsep utama dalam
pembuatan mozaik foto udara:

1. Pengumpulan Data:

Pengambilan citra udara dari drone, pesawat terbang, atau satelit.

Pengumpulan citra dilakukan dengan tumpang tindih yang signifikan untuk memastikan
kesinambungan data.

2. Praproses Citra:

Koreksi radiometrik: Menyesuaikan nilai intensitas piksel untuk memperbaiki


perbedaan dalam kondisi pencahayaan.

3.

II.8 DEM
Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan
bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik yang mewakili bentuk permukaan bumi dapat
dibedakan dalam bentuk teratur, semi teratur, dan acak. Sedangkan dilihat dari teknik
pengumpulan datanya dapat dibedakan dalam pengukuran secara langsung pada objek
(terestris), pengukuran pada model objek (fotogrametris), dan dari sumber data peta analog
(digitasi). (Hery Purwanto, 2017)
Teknik pembentukan DEM selain dari terestris, fotogrametris, dan digitasi ada juga
dengan pengukuran pada model objek, dapat dilakukan seandainya dari citra yang dimiliki
bisa direkonstruksikan dalam bentuk model stereo. Produk primer dari fotogrametri digital
adalah model elevasi digital (DEM), citra terektifikasi-orto atau citra orto (orthoimages) dan
fitur-fitur terekstaksi (vektor). Produk yang paling popular adalah DEM. DEM adalah file
digital yang berisi elevasi medan yang sesuai dengan posisinya di lapangan secara tetap
menempati interval horisontal (Hery Purwanto, 2017).
DEM merupakan suatu sistem, model, metode dan alat dalam pengumpulan,
pengolahan dan penyajian informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili
distribusi spasial dari karakteristik medan, distribusi spasial diwakili oleh nilai-nilai pada
sistem koordinat X, Y dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem
koordinat Z.

Gambar II.6 Digital Elevation Model

II.8.1 DTM

Digital Terrain Model (DTM) merupakan bentuk digital dari terrain (permukaan tanah,
tidak termasuk objek di atasnya) yang digambarkan sebagai tiga dimensi permukaan medan
yang terdiri dari X, Y, Z koordinat disimpan dalam bentuk digital yang juga mencakup
ketinggian dan elevasi unsur-unsur geografis.

DTM secara singkat merupakan DEM yang telah ditambah dengan unsur-unsur seperti
breaklines dan pengamatan selain data asli. DTM merupakan salah satu output dalam pemetaan
RBI yang dibentuk dari unsur-unsur hipsografi seperti masspoint, garis punggung bukit dan
perairan. Unsur-unsur tersebut dibentuk menggunakan teknik fotogrametri menggunakan stereo
image, dimana pada skala besar umumnya menggunakan foto udara, sedangkan pada skala
menengah digunakan data citra (Setiyoko & Kumar, 2015).

Gambar II.7 Digital Terrain Model

II.8.2 DSM

Digital Surface Model (DSM) adalah model ketinggian yang menampilkan elevasi
pada permukaan pertama di tanah. DSM digunakan untuk membentuk Digital Terrain Model
(DTM) dengan membuang semua fitur dan area pohon secara digital. Digital Surface Model
(DSM) merupakan representasi suatu permukaan fisik dari sekumpulan titik-titik koordinat
tiga dimensi. Data hasil DSM mencakup vegetasi, jalan, bangunan, dan fitur terrain alami.
Sehingga dapat dibuat model tiga dimensi dari berbagai sudut pandang dengan menambahkan
land covernya. DSM mendeskripsikan ketinggian dari vegetasi misalnya pohon dan fitur-fitur
lainnya misalnya bangunan (Hirt, 2015).
Gambar II.7 Digital Surface Model

II.9 Konsep Pembentukan DEM Hasil Ekstraksi Foto Udara


Perkembangan teknologi dalam pengolahan data fotogrametri semakin pesat, terbukti
dengan hasil pengolahan data foto udara yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan. Salah satu
produk dari pengolahan data foto udara tersebut adalah Digital Elevation Model (DEM), yang
secara umum merepresentasikan topografi permukaan bumi dengan menyimpan titik-titik 3D
secara digital. Selain foto udara, DEM juga dapat dihasilkan melalui teknik pemetaan LiDAR
(Doyle, 1981).

Proses pembuatan sebaran titik hasil ekstraksi dari foto udara, yang dikenal sebagai
stereoplotting, dilakukan melalui ekstraksi data secara stereoskopis. Titik-titik ini, yang disebut
sebagai mass point, kemudian mengalami interpolasi menggunakan metode TIN, IDW, dan
Kriging untuk menghasilkan model DEM. Interpolasi dilakukan untuk menentukan perbedaan
dalam model DEM antara metode yang menggunakan sumber data yang sama. Analisis
dilakukan terhadap hasil interpolasi elevasi untuk menentukan presentasenya. Metode TIN dan
IDW menunjukkan kemiripan dalam presentasi pada setiap kelas ketinggian, sementara metode
Kriging menyoroti korelasi antara titik-titik dengan radius tertentu, menghasilkan permukaan
yang tidak ekstrem dalam tinggi rendahnya. (Arfaini & Handayani, 2016)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan data penting yang mendukung berbagai
kegiatan, seperti pembuatan peta topografi, koreksi geometrik citra, pemetaan daerah rawan
bencana (seperti banjir, tsunami, longsor, dan gunung api), serta perencanaan tata ruang wilayah.
DEM memberikan informasi tentang ketinggian dan koordinat posisi pada permukaan bumi, atau
dengan kata lain, DEM mengandung informasi X, Y, dan Z dari setiap titik. (Arfaini &
Handayani, 2016).

Proses digitasi unsur alam dan unsur buatan yang dilakukan pada model stereo memiliki urutan
pengejaan sebagai berikut:
1. Perairan
2. Breaklines
3. Mass point dan spotheight
4. Jaringan transportasi
5. Bangunan dan permukiman
6. Tutupan lahan

Biasanya, stereoplotting diperbarui menggunakan citra satelit apabila usia data foto udara (data
RADAR) yang digunakan terlalu jauh dari tahun pelaksanaan.
1. Stereoplotting
Stereoplotting merupakan proses ekstraksi data dari data radar menjadi data vektor
melalui digitasi tiga dimensi secara stereoskopis. Tahapan ini memberikan informasi
mengenai posisi planimetris dan ketinggian yang sesuai dengan kondisi lapangan.
Pemetaan pada foto udara skala besar juga memberikan detail lebih lanjut tentang data
lapangan yang tersedia. (Arfaini & Handayani, 2016).
2. Kesalahan dalam Stereoplotting
Berikut adalah kesalahan dalam proses stereoplotting:
a. Kesalahan saat pemasangan GCP, GCP yang dipasang tidak nampak saat pemotretan.
b. Kesalahan saat kalibrasi kamera
c. Kesalahan saat digitasi, kenampakan objek belum benar-benar 3D
d. Kesalahan dalam memasukkan layer digitasi
e. Kesalahan saat menginterpretasi objek.

II.10 Ketentuan Pembuatan Peta RBI


Peta Rupa Bumi Indonesia (Peta RBI) adalah peta garis yang menampilkan visualisasi
permukaan bumi, mencakup garis pantai, garis kontur, perairan, nama-nama geografis, batas
administratif, infrastruktur transportasi, bangunan, fasilitas umum, serta penggunaan lahan.
(Bakosurtanal, 2009).
II.10.1 Ketentuan Digitasi
Dalam pendigitasian peta RBI, unsur kenampakan rupa bumi dikelompokkan menjadi tema
sesuai kategorinya masing-masing. Adapun pembagian tema tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tema 1: Penutup lahan
area tutupan lahan seperti hutan, sawah, pemukiman dan sebagainya. Cara digitasi
penutup lahan yaitu dengan mendigit daerah luar dan batas-batasnya, jika medigit sawah
digit juga galengan sawah yang berada di tengah-tengahnya. Acuan ketelitian dalam mendigit
yakni sampai objek yang akan didigit tidak ada bayangannya
2. Tema 2:
Hidrografi meliputi unsur perairan seperti sungai, danau, garis pantai dan sebagainya.
Cara digitasi hidrografi yaitu dengan mendigit pinggiran sungai atau danau atau garis
pantainya. Acuan ketelitian dalam mendigit yaitu sampai objek yang akan didigit tidak
ada banyangannya
3. Tema 3: Hipsografi
Data ketinggian seperti titik tinggi dan kontur. Cara digitasi hipsografi yaitu dengan
mendigit tanah-tanah yang sekiranya memiliki ketinggian lebih dari wilayah sekitarnya.
Acuan ketelitian dalam mendigit yaitu sampai objek yang akan didigit tidak ada
banyangannya.
4. Tema 4: Bangunan
Gedung, rumah dan bangunan perkantoran dan budaya lainnya. Cara digitasi bangunan
yaitu dengan mendigit atap bangunannya. Acuan ketelitian dalam mendigit yaitu sampai
objek yang akan didigit tidak ada banyangannya
5. Tema 5: Transportasi dan Utilitas
jaringan jalan, kereta api, kabel transmisi dan jembatan. Cara digitasi transportasi dan
utilitas yaitu dengan mendigit pinggiran jalan atau jalan kereta api atau jembatan. Acuan
ketelitian dalam mendigit yaitu sampai objek yang akan didigit tidak ada bayangannya.
6. Tema 6: Batas administrasi
Batas negara provinsi, kota/kabupaten, kecamatan dan desa. Cara digitasi batas
administrasi yaitu dengan mendigit batas-batas poligon daerah tersebut. Acuan ketelitian
dalam mendigit yaitu sampai objek yang akan didigit tidak ada banyangannya.
7. Tema 7: Toponim
nama-nama geografi seperti nama pulau, nama selat, nama gunung dan sebagainya. Cara
digitasi toponim yaitu dengan membuat poligon terlebih dahulu lalu diberi label, jika
objek yang akan didigit berupa point makan digit objeknya lalu di beri label. Acuan
ketelitian dalam mendigit yaitu sampai objek yang akan didigit tidak ada banyangannya.
II.10.2 Ketentuan Arah dan Dimensi
Ketentuan arah pada Peta RBI adalah sebagai berikut:
1. Utara sebenarnya/True Northy yaitu utara yang mengarah pada kutub utara bumi.
2. Utara Magnetis/Magnetic North yaitu utara yang ditunjuk oleh jarum magnetis kompas,
dan letaknya tidak tepat di kutub utara bumi.
3. Utara Peta/Map North yaitu arah utara yang terdapat pada peta
4. Deklinasi Peta adalah beda sudut antara sebenarnya dengan utara peta. Ini terjadi karena
perataan jarak paralel garis bujur peta bumi menjadi garis koordinat vertikal yang
digambarkan pada peta.
5. Deklinasi Magnetis Selisih beda sudut utara sebenarnya dengan utara magnetis.
6. Deklinasi Peta magnetis Selisih besarnya sudut utara peta dengan utara magnetis bumi.
7. Letak kutub utara magnetis bumi tidak selalu sama dengan kutub utara geografis bumi.
Arah utara magnetis pada peta dapat bervariasi tergantung pada tahun pembuatan peta,
karena pergeseran posisi kutub magnetis bumi akibat rotasi bumi yang terjadi dari tahun
ke tahun.
Untuk mendapatkan peta dasar yang tepat dan berguna, dimensi peta RBI harus dipenuhi dengan
istilah atau proses perencanaan. Ada beberapa di antaranya: Error Square Rata-rata (RMSE),
Error Circular 90% (CE90), Linear Error 90% (LE90), Error Matrix/Confasion Matrix, dan
Level Kepercayaan 95% (CL95).

II.10.3 Merancang Simbol Peta Tematik

Simbol dalam peta memegang peran yang sangat penting karena merupakan media komunikasi
gratis antara pembuat peta (map made) dengan pengguna peta (map users). Simbol adalah alat
yang digunakan untuk menggambarkan keadaan medan dan posisinya di dalam peta (Miswar,
2013). Simbol yang efektif adalah yang mudah dikenali dan digambar. Secara umum, syarat-
syarat simbol yang baik meliputi:

1. Sederhana
2. Mudah digambarkan
3. Mudah untuk dimengerti dan dibaca
4. Dapat mencerminkan data dengan teliti
5. Bentuknya seragam dalam satu peta maupun dalam peta seni
6. Bersifat umum.

Merancang tata letak pada peta tematik merupakan tahapan kerja yang perlu diperhatikan bagi
setiap orang yang akan menggambar peta. Hal itu dimaksudkan agar peta benar-benar
komunikatif serta mudah dibaca dan ditafsirkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna
peta. Adapun unsur-unsur peta yang perlu diatur posisinya adalah:

1. Judul peta
2. Skala peta
3. Keterangan/legenda
4. Koordinat lintan dan bujur
5. Inset peta
6. Sumber data serta infromasi-informasi lainnya.

Bahkan dalam peta-peta tematik simbol merupakan informasi utama untuk menunjukkan tema
suatu peta. Perancangan gambar suatu simbol di dalam peta sangat tergantung dan data yang ada
dan informasi yang ingin diperoleh. Desain simbol secara tepat bagi penyajian suatu informasi
sangat diperlukan. Tahapan yang perlu dilakukan dalam mendesain simbol antara lain:

1. Perhatikan jenis data yang akan dipresentasikan untuk menentukan apakah itu bersifat
kualitatif atau kuantitatif. Secara umum, karakteristik simbol dapat diklasifikasikan
menjadi kualitatif atau kuantitatif.
2. Berdasarkan karakteristik simbol tersebut, pilihlah bentuk simbol yang akan digunakan,
apakah itu simbol titik, garis, atau luas.
3. Desainlah bentuk simbol dengan tepat dan sesuaikan dengan audiens pengguna peta,
termasuk masyarakat umum, perencana, atau bahkan siswa sekolah. Hal ini berkaitan
dengan keselamatan dan kejelasan simbol yang digunakan.
4. Perancangan simbol harus disesuaikan dengan teknis dan pembiayaan. Bentuk simbol
yang rumit akan mengalami kesulitan
5. Kesulitan dalam teknis pembuatan dan pencetakan. Simbol dengan banyak warna
memerLukan biaya pencetakan yang lebih mahal

II.10.4 Tata Letak Peta


Tata letak peta atau format peta adalah pengaturan data keruangan (spasial) dari berbagai
macam elemen peta dalam suatu lembar peta. Adapun ilustrasi mengenai tata letak peta dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.

Keterangan Gambar:

1. Judul Peta RBI, skala peta, nomor lembar peta, dan edisi.
2. Petunjuk letak peta
3. Diagram lokasi
4. Keterangan proyeksi, system grid, datum horizotal, datum vertikal, satuan tinggi, selang
kontur, dan perimeter translasi.
5. Simbol
6. Keterangan isi legenda.
7. Keterangan wilayah, baik ibukota negara, ibukota provinsi, ibukota Kabupaten/ kota, dll
8. Keterangan Riwayat.
9. Petunjuk pembacaan koordinat geografi
10. Petunjuk pembacaan koordinat UTM.
11. Gambar pembagian daerah administrasi
12. Keterangan pembagian daerah administrasi.
13. Skala peta.
14. Keterangan singkatan dan kesamaan arti.
15. Keterangan arah, seperti Utara Sebenarnya (US), Utara Grid (UG), Utara Magnetik
(UM).

Format peta yang baik merupakan hasil dari keputusan atas berbagai faktor yang dipandang baik
dari sudut si pembuat peta maupun si pengguna peta. Faktor yang dapat mempengaruhi tata letak
peta, yaitu (Utami & Riyadi, 2019):

1. Elemen peta, meliputi:

- Bentuk dan ukuran dari area yang dipetakan.

-Penggunaan kerangka/ garis tepi atau tidak.


- Keterangan tepi.
- Simbol.

2. Kegunaan peta, meliputi:

- Tujuan/ isi peta.


- Skala peta.
- Sistem referensi yang digunakan

3. Kendala-kendala yang dihadapi oleh:

- Pembuat peta.
- Pengguna peta
- Distribusi/pemasaran.

4. Estetika, meliputi:

- Seni dalam penyajian peta mencakup keseimbangan, keserasian dan kerapian


- Tampilan peta.
Selain itu, tata letak peta juga dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu (Utami & Riyadi, 2019):

1. Peta yang menggunakan garis batas tepi peta atau frame map. Fungsi garis batas tepi
yang mengelilingi muka peta adalah untuk memisahkan antara muka peta dengan
informasi tepi secara jelas. Tampilan peta dengan tipe ini akan terlihat lebih rapi sehingga
memudahkan pengguna untuk mencari informasi atau keterangan yang dibutuhkan.
2. Peta wilayah atau island map, garis batas dari area yang dipetakan pada tipe ini berfungsi
sebagai kerangka yang membuat peta mempunyai bentuk yang tidak beraturan. Tipe ini
lebih memberikan kebebasan kepada pembuat peta dalam penyusunan tata letak peta
yang sesuai
3. Bleeding map, tipe ini tidak memiliki kerangka, sehingga letak informasi tepi sampai
pada batas potongan dari area peta.

II.10.5 Perencanaan Peta

Peta memiliki peran yang signifikan dalam perencanaan, dan sering menjadi instrumen kunci
dalam pembuatan kebijakan pembangunan (Suprajaka, 2017). Peta perencanaan mencakup
berbagai jenis peta seperti peta pola ruang, peta rencana kawasan strategis, peta rencana jalan,
dan lain sebagainya. Penggunaan peta sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dapat
mencegah kerugian yang dapat terjadi. Kerugian ini dapat diminimalkan melalui perencanaan
yang lebih baik, yang pada gilirannya memerlukan basis data spasial yang kuat. Penggunaan peta
dan penelitian berbasis spatial yang solid menjadi langkah awal dalam meningkatkan kualitas
perencanaan.
II.10.6 Toponimi
Toponimi adalah studi yang membahas tentang nama tempat, arti, asal-usul, dan topologinya.
Pada bidang ilmu geografi, toponimi berkaitan dengan bahasan ilmiah tentang nama, asal-usul,
arti dari suatu tempat atau wilayah, serta bagian lain dari permukaan bumi, baik yang bersifat
alami maupun bersifat buatan. Toponimi sangat diperlukan dalam kegiatan pemetaan suatu
wilayah sehingga hal tersebut terus mengalami perkembangans seiring dengan perkembangan
peta (Sudaryat, Gunardi, & Hadiansyah, 2009).

Prinsip penamaan toponimi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) meliputi (Geospasial,
2017):

1. Menggunakan Bahasa lndonesia yang baik dan benar atau bahasa daerah.
2. Menggunakan abjad romawi.
3. Menggunakan satu nama resmi untuk satu unsur rupabumi.
4. Menggunakan nama lokal
5. Menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan.
6. Menghindari penggunaan nama diri atau nama orang yang masih hidup
7. Menghindari penggunaan simbol matematika.

Toponimi nama tempat dikelompokkan menjadi empat yaitu (Robiansyah, 2017):

1. Toponimi Vegetasi, penamaan suatu tempat berdasarkan deskripsi tumbuhan atau


tanaman yang berada di sekitar tempat tersebut.
2. Toponimi Bersejarah, penamaan suatu tempat berdasarkan peristiwa atau kejadian
bersejarah yang berkaitan dengan terbentuknya tempat tersebut
3. Toponimi Pemberian, penamaan suatu tempat berdasarkan pemberian oleh seseorang
yang berkuasa atas tempat tersebut.
4. Toponimi Wilayah, penamaan suatu tempat berdasarkan nama suatu wilayah yang
berkaitan dengan keberadaan tempat tersebut.
II.10.7 Skala Peta

Skala peta merupakan perbandingan antara jarak pada peta dengan jarak sebenarnya pada
permukaan bumi. Peta menurut skalanya dapat digolongkan menjadi lima jenis yaitu (Site
Default, 2015):

1. Peta kadaster atau peta teknik yakni peta dengan skala antara 1:100 sampai 1:5.000.
Kegunaan dari peta ini adalah untuk menggambarkan peta tanah atau peta dalam
sertifikat tanah
2. Peta skala besar yakni peta dengan dengan skala 1:5.000 sampai 1:250.000. Kegunaan
dari peta ini adalah untuk menggambarkan wilayah yang relatif sempit seperti peta
provinsi kelurahan dan kecamatan.
3. Peta skala sedang yakni peta dengan skala 1:250.000 sampai 1:500.000. Kegunaan peta
ini adalah untuk menggambarkan daerah yang agak luas seperti peta regional.
4. Peta skala kecil yakni peta dengan skala 1:500.000 sampai 1:1.000.000 atau lebih.
Kegunaan peta ini adalah untuk menggambarkan daerah yang relatif luas seperti negara
5. Peta skala geografis yakni peta dengan skala lebih kecil dari 1:1.000.000 yang biasanya
digunakan untuk menggambarkan kelompok negara, benua, atau dunia.

II.10.8 Pembuatan Peta Dasar untuk Peta Tematik

Peta dasar adalah peta yang menyediakan informasi umum yang digunakan sebagai
referensi untuk pembuatan peta tematik dan pengembangan lainnya. Peta dasar diterbitkan oleh
lembaga pemerintah dan harus mematuhi standar yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal) (Geosriwijaya, 2017).

Peta tematik memiliki fungsi khusus yang dapat disusun oleh individu atau kelompok
berdasarkan pengembangan informasi dari peta dasar. Tujuan pengembangan peta tematik adalah
untuk menyampaikan informasi spesifik tentang suatu wilayah, seperti perubahan wilayah,
persebaran flora dan fauna, serta sumber daya alam dan cadangannya. Penempatan simbol dan
deskripsi dalam kartografi pada peta tematik tidak memiliki ketentuan baku, sehingga biasanya
ditentukan oleh estetika dan kesesuaian informasi. Namun, dalam beberapa kasus, pembuatan
peta tematik dapat mengikuti standar atau simbol yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi
spesifik dari peta yang dibuat.

II.11 PCI Geomatica

PCI Geomatics adalah perangkat lunak terpadu yang menyediakan alat-alat untuk penginderaan
jauh, pemrosesan citra, fotogrametri digital, analisis gambar, produksi citra, dan lainnya
(Catalyst.Earth, 2022). Perangkat lunak ini umumnya digunakan untuk memproses citra dengan
resolusi spasial tinggi dan/atau ukuran bit besar untuk mencegah kemungkinan terjadinya
kegagalan perintah (not responding) selama proses pengolahan citra.
Geomatica memungkinkan pengguna untuk memvisualisasikan, menganalisis, dan
memodelkan informasi geografis dari berbagai sumber, serta mengidentifikasi hubungan spasial,
tren, dan pola penting dengan penekanan pada otomatisasi dan integrasi penuh antara data raster
dan vektor. Dengan menyediakan solusi komprehensif untuk semua kebutuhan pemrosesan
geospasial, Geomatika memastikan bahwa pengguna dapat mempertahankan interoperabilitas
yang lengkap dengan perangkat lunak geospasial lainnya.
II.12 Global Mapper
Global Mapper merupakan salah satu perangkat lunak yang populer dan banyak
digunakan oleh praktisi GIS (Geographic Information System) dan mereka yang berkecimpung
dalam pemetaan (Guntara, 2014). Keunggulan utama program ini adalah kemampuannya untuk
kompatibel dengan berbagai format file, sehingga dapat digunakan oleh beragam individu
dengan latar belakang pengetahuan perangkat lunak yang berbeda-beda.

Global Mapper tidak hanya mampu menampilkan data raster yang umum, elevasi, dan
dataset vektor, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengonversi, mengedit, mencetak,
melacak GPS, dan memanfaatkan fungsi GIS pada dataset. Selain sebagai alat serbaguna, Global
Mapper dilengkapi dengan fungsi bawaan untuk melakukan perhitungan jarak dan luas,
pembauran arsiran, penyesuaian kontras, visualisasi elevasi, perhitungan garis pandang, serta
kemampuan lanjutan seperti rektifikasi citra, pembuatan kontur dari data permukaan, analisis
arah aliran dari data permukaan, triangulasi, dan pembuatan grid data titik 3D.

II.13 ArcGIS

ArcGIS adalah perangkat lunak yang dikeluarkan oleh Environmental Systems Research
Institute (ESRI), sebuah perusahaan yang telah lama berkecimpung di dalam bidang geospasial.
ArcGIS adalah sebuah platform yang terdiri dari beberapa software yaitu Desktop GIS, Server
GIS, Online GIS, ESRI Data, dan Mobile GIS.

ArcGIS desktop memiliki lima progam dasar yaitu:


1. ArcMap
ArcMap adalah software paling utama di dalam ArcGIS desktop karena hamper semua
tahapan GIS seperti input, analisis dan output data spasial dapat dilakukan pada ArcMap,
sama halnya dengan menggunakan software pemetaan lain seperti ArcView 3.x, QGIS,
AutoCAD Land Desktop, dan sebagainya. Terdapat Meskipun demikian, banyak tugas-
tugas GIS yang tidak dapat dilakukan menggunakan ArcMap sehingga pengguna masih
perlu untuk mempelajari dan menggunakan software ArcGIS desktop lain selain ArcMap.

2. ArcCatalog
ArcCatalog memiliki fungsi untuk pengelolaan data spasial meliputi input, konversi, dan
analisis data. ArcCatalog dapat dianalogikan sebagai File Explorer (atau windows
explorer) pada OS Windows. Namun karena tugasnya spesifik untuk menangani data
spasial, maka fungsi pengelolaan file yang dimiliki oleh ArcCatalog lebih khusus dan
spesifik. ArcCatalog tidak saja digunakan untuk mengelola data spasial, tetapi juga untuk
melakukan analisis data. ArcCatalog biasa disandingkan dengan ArcMap. Biasanya
ArcCatalog digunakan untuk menambahkan data ke dalam ArcMap dengan cara drag and
drop dari ArcCatalog.
3. ArcScene
ArcScene berfungsi untuk visualisasi 3D, yaitu menyajikan tampilan yang perspektif,
bernavigasi dan berinteraksi dengan data fitur 3D dan raster. Software ini biasa
digunakan untuk cakupan lokal atau tidak terlalu luas, misalnya untuk visualisasi sebuah
kota kecil, kawasan hutan, bendungan, dan sebagainya.
4. ArcGlobe
ArcGlobe adalah bagian dari ArcGIS desktop yang ditujukan untuk eksplorasi data
spasial secara virtual dengan ukuran dan cakupan data yang besar. Jika ArcScene
menampilkan data spasial secara lokal, maka ArcGlobe menampilkan data spasial dalam
perspektif global. ArcGlobe serupa dengan software Google Earth dari Google atau
World Wind dari NASA.
5. ArcReader
ArcReader biasa digunakan jika pengguna ingin membagi project ArcMap dengan pihak
lain. Pihak penerima project tidak perlu install ArcMap untuk dapat membuka dan
melakukan eksplorasi project tersebut. Cukup dengan menggunakan ArcReader yang
gratis, pengguna dapat melihat project ArcMap yang telah dibuat. ArcReader (dan
ekstensi publisher untuk ArcMap) memiliki beberapa fungsi untuk mengatur bagaimana
data yang dibagikan dalam project dapat diakses. Data spasial yang turut dipaketkan dan
disalin dapat dikunci sehingga pengguna tidak memiliki akses penuh terhadap data
spasial
BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM
III.1 Alat dan Data

III.1.1 Alat

III.1.2 Data

III.2 Lingkup Praktikum

III.3 Diagram Alir Praktikum PCI Geomatic

III.4 Pelaksanaan Praktikum

III.4.1 Pembentukan Orthomozaic PCI Geomatica

III.4.2 Pembentukan DEM menggunakan PCI Geomatica

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil dan Pembahasan RMS

IV.2 Hasil dan Pembahasan DEM

IV.3 Hasil dan Pembahasan Orthophoto

BAB V PENUTUP

V.1 Simpulan
V.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Lembar Asistensi

2. Layout Peta

3. Tabel Perhitungan RMS

4. Dokumentasi Praktikum PCI

LAPORAN PRAKTIKUM UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

I.2 Rumusan Masalah

I.3 Maksud dan Tujuan

I.3.1 Maksud

I.3.2 Tujuan

I.4 Pembatasan Masalah

I.5 Sistematika Penulisan Laporan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 UAV

II.2 Sistem Kerja UAV

II.3 Orthorektifikasi Foto Udara

II.4 Kalibrasi UAV


II.4.1 Kalibrasi Kompas

II.4.2 Kalibrasi Gimbal

II.4.3 Kalibrasi Remote Control

II.5 Dji Phantom 4

II.6 Agisoft Metashape

II.7 DroneDeploy

II.8 Ketelitian Foto Udara

II.8.1 Ketelitian Horizontal

II.8.2 Ketelitian Vertikal

BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM

III.1 Alat dan Data

III.1.1 Alat

III.1.2 Data

III.2 Lingkup Praktikum


III.3 Diagram Alir Praktikum

III.4 Pelaksanaan Praktikum

III.4.1 Sketsa Pengukuran

III.4.2 Kalibrasi

III.4.3 Pembuatan Jalur Terbang

III.4.4 Akuisisi Data

III.4.5 Proses Rektifikasi Foto Udara

III.4.6 Pengolahan Hasil Foto

III.4.7 Perhitungan Uji Ketelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Akuisisi Data

IV.2 Peta Foto dan Model 3D

IV.3 Analisis Uji Ketelitian

BAB V PENUTUP
V.1 Simpulan

V.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Lembar Asistensi

2. Layout Peta

3. Tabel Perhitungan Ketelitian

4. Dokumentasi Praktikum UAV


LAPORAN PRAKTIKUM CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

I.3 Rumusan Masalah

I.3 Maksud dan Tujuan

I.3.1 Maksud

I.3.2 Tujuan

I.4 Pembatasan Masalah


I.5 Sistematika Penulisan Laporan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Fotogrametri Jarak Dekat

II.2 Kalibrasi Kamera

II.3 Pembentukan Model 3D CRP

II.4 Structure From Motion

II.5 Agisoft Metashape

BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM

III.1 Alat dan Data

III.1.1 Alat

III.1.2 Data

III.2 Lingkup Praktikum

III.3 Diagram Alir Praktikum

III.4 Pelaksanaan Praktikum


III.4.1 Pengambilan Foto Objek

III.4.2 Pengolahan Model 3D Objek

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Pemodelan 3D

IV.2 Analisis Pemodelan 3D

BAB V PENUTUP

V.1 Simpulan

V.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

1. Lembar Asistensi

2. Layout Peta

3. Dokumentasi Praktikum CRP

Anda mungkin juga menyukai