DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Fotogrametri adalah gabungan seni, ilmu, dan teknologi untuk menghasilkan informasi
yang dapat diukur mengenai objek fisik dan lingkungan. Metodenya melibatkan penggunaan
catatan gambar, khususnya foto udara atau citra satelit. Fotogrametri tidak hanya merekam visual
suatu wilayah, melainkan juga memungkinkan ekstraksi data terukur yang mendalam mengenai
objek dan kondisi lingkungan. Dengan memanfaatkan foto udara atau citra satelit, fotogrametri
mengintegrasikan unsur seni visual dengan metode ilmiah dan teknologi mutakhir untuk
memberikan pemahaman yang mendalam serta pemodelan objek-objek dalam dunia nyata.
(Wolf, 2000)
Kemajuan teknologi dalam pengolahan data fotogrametri terus berlangsung dengan pesat.
Hal ini dapat dilihat dalam pengolahan data fotogrametri, khususnya dalam konteks data foto
udara, yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Salah satu tahapan dalam fotogrametri
digital adalah proses orthorektifikasi dan pembuatan mozaik foto. Proses ini dapat dilaksanakan
dengan menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica (Santoso, 2016)
Pada kegiatan praktikum Fotogamteri II yang kami lakukan, software PCI Geomatica
digunakan untuk menghasilkan proses ortho dan pembuatan DEM (Digital Elevation Model)
dari hasil foto udara yang dibentuk. Tahapan yang dilakukan dalam praktikum kali ini,
diantaranya yaitu proses orthorektifikasi yang merupakan suatu proses dalam menghasilkan foto
udara yang tegak. Foto yang telah diortorektifikasi dapat memberikan representasi ketinggian
daerah yang dihasilkan dalam bentuk DEM. Selain itu, proses ini juga mampu menghasilkan
mozaik, yaitu gabungan dari seluruh foto yang saling tumpang tindih.
1. Bagaimana menganalisis hasil orthophoto yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan
menggunakan Digital Elevation Model (DEM)?
2. Bagaimana melakukan analisis terhadap hasil proses ekstraksi DEM menggunakan
perangkat lunak PCI Geomatica dan Summit Evolution?
3. Bagaimana menganalisis hasil Root Mean Square (RMS) dan mozaik yang diperoleh?
4. Bagaimana melakukan analisis perbandingan antara hasil pengolahan orthophoto dengan
Digital Base Map (DBM)?
I.3.1 Maksud
Maksud praktikum ini adalah untuk memperkenalkan dan melatih mahasiswa dalam
menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica. Harapannya adalah bahwa melalui penggunaan
perangkat lunak tersebut, mahasiswa dapat menghasilkan data seperti RMS, orthophoto, dan
Digital Elevation Model (DEM).
I.3.2 Tujuan
Tujuan dalam praktikum ini meliputi:
1. Mengetahui hasil analisis orthophoto yang dihasilkan dari proses pengolahan dengan
menggunakan Digital Elevation Model (DEM)
2. Mengetahui hasil proses ekstraksi DEM menggunakan perangkat lunak PCI Geomatica
dan Summit Evolution
3. Mengetahui hasil analisi Root Mean Square (RMS) dan mozaik yang diperoleh selama
praktikum
4. Mengetahui analisis perbandingan antara hasil pengolahan orthophoto dengan Digital
Base Map (DBM)
I.4 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan untuk memastikan bahwa laporan hasil praktikum tetap
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, sehingga memudahkan pengumpulan data dan
informasi yang dibutuhkan. Pembatasan masalah yang telah ditetapkan melibatkan:
1. Penggunaan perangkat lunak PCI Geomatica dan Summit Evolution dalam proses ortho
dan ekstraksi DEM. Selama pelaksanaannya, daerah yang dijadikan batasan adalah
wilayah Belitung.
2. Pelaksanaan praktikum ini memfokuskan pada wilayah Belitung dalam konteks
triangulasi udara untuk memperoleh nilai RMS, hasil mozaik, dan DEM.
BAB I: PENDAHULUAN
Menyajikan subbab-subbab yang berisi tinjauan pustaka mengenai Fotogrametri II yang terkait
dengan praktikum yang dilakukan.
Berisi hasil praktikum dan analisis mendalam terhadap data yang diperoleh.
BAB V: PENUTUP
Merangkum kesimpulan dari hasil praktikum dan memberikan saran yang diperlukan untuk
pihak terkait, baik dalam pelaksanaan praktikum berikutnya maupun bagi mereka yang akan
melaksanakannya, dengan tujuan agar proses selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Foto Udara
Foto udara merupakan representasi gambar yang tercetak pada medium kertas, dihasilkan
melalui proses pemotretan dengan menggunakan teknik fotografi. Produk ini menjadi salah satu
kontribusi dalam bidang ilmu geografi untuk mengambil gambar objek, daerah, atau fenomena
yang ada di permukaan bumi, menggunakan kamera dengan perekaman fotografi yang
melibatkan detector atau alat pendeteksi seperti film. Film yang merekam hasil pemotretan
kemudian dicetak secara kimiawi di dalam ruang gelap guna mendapatkan gambar yang optimal
(Wicaksono, 2009). (Noor, 2012) menambahkan bahwa foto udara adalah rekaman detail
permukaan bumi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk panjang fokus lensa kamera,
ketinggian terbang pesawat, waktu pemotretan, serta jenis film dan filter yang digunakan saat
pemotretan. Secara umum, foto udara dapat diartikan sebagai gabungan dari citra atau gambar
yang dibuat untuk memahami unsur-unsur dalam proses interpretasi. Secara geometri, foto udara
pada dasarnya merupakan foto perspektif yang terkait dengan jenis kamera yang digunakan
selama proses pemotretan.
II.1.1 Jenis Foto Udara
Pengelompokan atau klasifikasi jenis foto udara dapat dilakukan berdasarkan beberapa
sudut pandang yang berbeda. Berikut adalah pembagian jenis foto udara berdasarkan berbagai
sudut pandang (Wahyono, 2017):
Secara geometris, sebuah bayangan positif terletak pada jarak fokus di depan titik nodal
depan sebuah kamera. Foto udara sering diklasifikasikan berdasarkan orientasi sumbu optik
kamera, yang dapat ditentukan dari garis sepanjang titik kamera. Sumbu optik menghubungkan
titik pusat film dengan pusat lensa, dan kemudian melalui depan kamera ke arah luar. Foto udara
tegak (vertikal) diambil dari satu kamera di mana sumbu optik ke arah bawah membentuk sudut
90° atau tegak lurus terhadap permukaan tanah. Meskipun ada beberapa batasan, foto udara
vertikal masih diklasifikasikan sebagai jenis foto vertikal (Noor, 2012).
II.1.3 Perencanaan Pemotretan Foto Udara
Tujuan dari pemotretan foto udara adalah untuk mendapatkan gambar udara yang nantinya akan
digunakan untuk proses pemetaan menggunakan metode fotogrametri, atau untuk keperluan
interpretasi foto udara (Sudarsono, 2008). Proses perekaman foto udara melalui beberapa
tahapan kerja, yakni:
1. Tahapan Perencanaan: Tahapan awal adalah perencanaan yang mencakup skala foto, rute
penerbangan, arah penerbangan, tumpang tindih (overlap), batas dan luas area yang akan
difoto, pemilihan kamera, peta rencana rute penerbangan, ketinggian penerbangan,
kecepatan penerbangan, dan hal-hal lain yang perlu direncanakan sebelum pengambilan
data.
2. Tahapan Persiapan: Persiapan melibatkan persiapan sistem kamera, perencanaan rute
penerbangan, dan pemasangan kamera pada wahana udara. Persiapan kamera udara
mencakup langkah-langkah seperti pemasangan program pada sistem kamera, integrasi
sistem IMU (Inertial Measurement Unit) dan GPS, pembuatan dudukan kamera,
penentuan panjang fokus kamera, perhitungan GSW (Ground Swath Width), GSD
(Ground Sample Distance), dan dwell time kamera, serta kalibrasi kamera udara.
Selanjutnya, persiapan rute penerbangan melibatkan observasi dan penentuan lokasi
pengambilan gambar.
3. Tahapan Pelaksanaan: Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama pemotretan udara di
lapangan meliputi penyelesaian premark di lapangan agar tampak jelas pada hasil foto,
waktu yang tepat untuk pemotretan agar mendapatkan pencahayaan yang optimal, batas
jumlah awan dalam hasil foto agar tidak ada bayangan, variasi tinggi penerbangan yang
sesuai, proses fotografi seperti pencucian dan pencetakan foto udara hasil perekaman di
lapangan, dan memastikan kamera berfungsi dengan baik. Cuaca yang baik juga menjadi
faktor penting dalam pengambilan foto.
Menurut (Noor, 2012) skala foto pada dasarnya mirip dengan skala peta. Skala foto
merupakan perbandingan jarak dua objek dalam foto dengan jarak sebenarnya di atas tanah.
Perbedaan utama antara keduanya terletak pada fakta bahwa pada peta, skala akan tetap sama di
setiap titik karena peta merupakan proyeksi orthogonal dari suatu area di permukaan tanah.
Sebaliknya, foto udara merupakan hasil proyeksi sentral yang mengakibatkan variasi skala sesuai
dengan ketinggian setiap titik terhadap suatu bidang referensi tertentu. Hanya jika daerah yang
difoto benar-benar datar (suatu situasi yang jarang terjadi), aturan untuk menghitung skala peta
dapat diterapkan untuk menghitung skala foto.
Skala adalah fungsi dari Panjang focus kamera (f) yang digunakan untuk mendapatkan
foto dan tinggi terbang di atas objek (H). Skala citra udara dapat dihitung melalui rumus sebagai
berikut :
f
S=
H
Dimana :
f = focus lensa
Untuk daerah-daerah yang tidak datar, maka dapat menghitung skala dengan rumus :
f
S=
H −hA
Dimana :
f = focus lensa
S=f /(H−h)
Dimana :
f = focus lensa
3. Tilt, yaitu kesalahan akibat pengaruh angin dari samping sehingga menyebabkan
pesawat mengalami kemiringan.
Selain kesalahan-kesalahan tersebut, ada beberapa kesalahan lainnya dalam foto udara
yaitu:
1. Kesalahan yang terjadi di titik awal
2. Kesalahan akibat penyusutan atau pengembangan bahan fotografi (film dan/atau
kertas foto)
3. Distorsi lensa kamera
4. Pengaruh refraksi atmosfer
5. Pengaruh kelengkungan bumi
Orthomozaic adalah gambar satelit atau foto udara yang telah disesuaikan secara
geometrik sehingga memiliki akurasi spasial yang tinggi dan dapat digunakan untuk pengukuran
dan analisis. Proses ini melibatkan transformasi gambar, yang sering melibatkan koreksi distorsi
geometrik dan radiometrik, sehingga setiap piksel pada gambar mewakili suatu area pada
permukaan bumi dengan akurasi yang diperluka
Dalam konsep orthomozaic ini ada beberapa langkah langkah yang diterapkan yaitu :
1. Pengumpulan Data: Data dapat diperoleh dari satelit, pesawat terbang, atau drone. Foto
udara atau citra satelit direkam selama misi pengumpulan data.
2. Praproses Data: Langkah ini melibatkan koreksi distorsi geometrik dan radiometrik pada
setiap citra agar sesuai dengan model bumi yang benar dan memiliki intensitas
radiometrik yang konsisten.
3. Pemadanan Citra (Image Matching): Proses ini mencocokkan titik-titik pengamatan yang
sama pada beberapa citra untuk membangun model tiga dimensi dari area yang
diabadikan
4. Generasi Model 3D: Dengan menggunakan titik-titik kontrol dan data elevasi, model tiga
dimensi dari permukaan bumi dibangun.
5. Proyeksi Orthografis: Citra disesuaikan dengan model 3D sehingga setiap piksel pada
citra mewakili titik yang tepat pada permukaan bumi. Ini melibatkan proyeksi ortografis
yang mempertahankan proporsi dan sudut yang benar.
Proses pengolahan yang pertama dilakukan adalah proses pengumpulan dan pengecekan data.
Pada tahapan ini semua data dikumpulkan lalu dilakukan pengecekan. Selanjutnya dilakukan
proses penamaan semua data foto yang akan digunakan untuk menghindari adanya duplikasi
nama file foto. Pada penelitian ini data foto dibagi menjadi tiga area dikarenakan kurangnya
spesifikasi hardware yang dimiliki. Pada tahap ini juga dilakukan resize foto untuk mengurangi
ukuran file tanpa menurunkan kualitas foto. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan data
menggunakan WebODM. Pada tahapan ini dilakukan proses yang dimulai dari identifikasi GCP,
processing image and GCP, download data, hingga mosaic data. Setelah hasil output didapatkan,
dilakukan proses analisa data. Pada tahap analisa data, data hasil pengolahan foto udara kedua
software dilakukan uji akurasi horisontal dan vertikal dengan menggunakan data
ICP(Independent Control Point). Data koordinat horisontal didapatkan dari hasil mosaic
orthofoto sedangkan data koordinat vertikal didapatkan dari data DSM hasil pengolahan masing-
masing software. (Sukililo, 2022)
Kalibrasi kamera adalah proses menentukan parameter internal dari sebuah kamera.
Parameter internal dibutuhkan untuk dapat merekonstruksi ulang berkasberkas sinar pada saat
pemotretan dan untuk mengetahui besarnya kesalahan sistematik dari sebuah kamera. Proses
kalibrasi ini dilakukan untuk mencari parameter intrinsik dan parameter ekstrinsik
menggunakan gambar 2D suatu objek, yang dikorespondensikan dengan koordinat 3D objek
tersebut, dengan kata lain korespondensi ini merupakan transformasi antar sistem koordinat.
Beberapa parameter tersebut antara lain, focal lenght, titik pusat koordinat, resolusi, rotasi
kamera, distorsi lensa. Untuk keperluan fotogrametri teliti posisi tanda tepi, bersama-sama
dengan titik tengah foto, panjang fokus dan distorsi lensa harus ditentukan dengan cara
kalibrasi kamera (Wicaksono, 2009).
Dalam kalibrasi kamera, kita akan memperoleh unsur unsur dalam orientasi dalam yang
terdiri dari :
1. Jarak utama/principal point
Jarak utama adalah jarak tegak lurus antara titik pusat lensa (titik fokus)
dengan bidang proyeksi kamera CCD (Charge-Coupled Device) atau CMOS
(Complimentary Metal-oxide Semiconductor) dalam kamera digital, atau film dalam
kamera analog). Umumnya dari metadata sebuah foto digital dapat diketahui panjang
fokusnya, namun nilainya belum tentu sama dengan jarak utama yang diperlukan dan
merupakan nilai pendekatan dari pabrik pembuat kamera tersebut. Pekerjaan
fotogrametri dibutuhkan nilai yang pasti dari jarak utama, karena sangat berhubungan
dengan hasil pengukuran obyek.
Titik utama adalah titik hasil proyeksi tegak lurus titik pusat perspektif (titik
pusat proyeksi) pada bidang foto. Posisi ini dinyatakan dengan Xp dan Yp yang
merupakan koordinat titik utama dalam sistem koordinat foto. Sistem koordinat foto
adalah sistem kordinat yang berpangkal pada titik pusat foto, dimana sumbu X positif
adalah garis lurus yang menghubungkan dua titik yang berhadapan pada sebuah foto
(sejajar arah jalur pemotretan). Sedangkan sumbu Y positif adalah tegak lurus
berlawanan arah jarum jam dari sumbu X positif.
3. Distorsi lensa
Distorsi lensa dapat menyebabkan bergesernya titik citra pada foto dari posisi
yang sebenarnya, sehingga akan memberikan ketelitian pengukuran yang kurang baik.
Distorsi lensa tidak akan mempengaruhi kualitas ketajaman foto yang dihasilkan.
Namun untuk pekerjaan fotogrametri, besarnya distorsi tak dapat diabaikan. Distorsi
lensa diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu distorsi radial dan distorsi tangensial
(decentering).
a. Distorsi radial
Semua elemen dalam sistem lensa, idealnya harus diatur sejajar dengan
sumbu optis dari seluruh sistem lensa. Pergeseran vertikal ataupun rotasi pada
elemen lensa dari susunan yang sempurna akan mengakibatkan pergeseran
geometrik dari foto, yang dikenal sebagai distorsi tangensial. Distorsi
tangensial mempunyai komponen radial dan tangensial.
II.4 Titik Kontrol
Titik kontrol pada fotogrametri atau disebut dengan kontrol medan terdiri dari
sembarang titik-titik yang posisinya diketahui pada suatu sistem koordinat rujukan tempat
objek dan juga dapat teridentifikasi di foto udara. Didalam fotogrametri, tempat suatu objek
adalah di permukaan tanah dan berbagai macam sistem koordinat medan dapat digunakan
untuk untuk menentukan letak suatu titik. Titik kontrol dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu titik kontrol mendatar (horizontal) dan titik kontrol tegak (vertikal). Titik kontrol
mendatar adalah titik di ruang yang diketahui dalam hubungannya dengan rujukan mendatar /
horizontal sedangkan titik kontrol vertikal merupak titik kontrol yang memiliki nilai
ketinggian dan berhubungan dengan rujukan tegak (Putu Harianja, 2020)
Titik kontrol tanah juga dikenal dengan istilah GCP (Ground Control Point). GCP
merupakan suatu titik berupa benchmark yang ada dibumi yang bergeoreferensi sehingga
diketahui informasi mengenai koordinat dan tinggi titik tersebut. Disamping titik GCP,
adapula titik-titik yang disebut dengan ICP (Independent Check Point) yakni titik yang
digunakan untuk menguji kualitas hasil dan tidak diikutkan pada proses pengolahan foto
udara. pengukuran titik-titik GCP dan ICP dapat dilaksanakan dengan metode pengukuran
satelit GPS (Global Positioning System).
Selain fungsi utama tersebut, GCP secara khusus juga memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Faktor penentu ketelitian geometris hasil olah foto (ortofoto, DSM, DTM), semakin
teliti GCP maka semakin baik pula ketelitian geometris output (dengan kaidah-kaidah
peletakan GCP yang dipenuhi).
2. Faktor yang mempermudah proses orientasi relatif antar foto sehingga keberadaan
GCP bisa meningkatkan akurasi geometrik dari peta foto.
3. Mengkoreksi hasil olah foto udara yang berupa ball effect (kesalahan yang
mengakibatkan model 3D akan berbentuk cembung di tengah area yang di ukur).
4. Menyatukan hasil olah data yang terpisah dengan lebih cepat dan lebih efektif.
1. Focal Length (Panjang Fokus): Merupakan jarak antara titik fokus kamera dan sensor
citra. Dinyatakan dalam satuan panjang, seperti milimeter.
2. Principal Point (Titik Utama): Merupakan titik di mana sumbu optik kamera memotong
sensor citra. Dalam koordinat piksel, ini dinyatakan sebagai koordinat (u₀, v₀).
3. Distortion Parameters (Parameter Distorsi): Distorsi lensa dapat menyebabkan
perubahan pada bentuk objek dalam citra. Distorsi lensa dapat diukur dengan parameter
distorsi radial dan tangensial.
4. Radial Distortion: Terkait dengan perubahan jarak radial antara titik-titik di sekitar titik
utama.
Titik ikat merupakan titik penerus yang mengikat jalur-jalur foto. Dalam fotogrametri
ada tahapan pekerjaan yang sangat penting yaitu triangulasi udara (aerial triangulation).
Sistem penomoran merupakan proses pemindahan titik tahapan pertama yang tidak dapat
diabaikan. Penomoran titik sangat berkaitan dengan ketelitian dan kualitas hubungan
antarfoto. Terdapat
kaidah-kaidah baku dalam penomoran ini yang bertujuan untuk mempermudah
pengontrolan atau melacak titik itu ada pada foto yang mana dengan mudah. Berhati-hatilah
dalam pemilihan, penomoran dan pengamatannya karena sekali salah, pada program ini akan
sulit untuk memperbaikinya. Harus penuh konsentrasi, sebelum titik kontrol tanah diberikan
pada blok ini.(Petrus, 2019)
Mozaik foto udara adalah hasil gabungan dari beberapa citra udara yang tumpang tindih
secara signifikan untuk membentuk satu citra yang lebih besar dan lengkap. Proses pembuatan
mozaik foto udara melibatkan sejumlah langkah fotogrametri dan pemrosesan citra untuk
menyatukan dan menyusun citra-citra tersebut. Berikut adalah konsep-konsep utama dalam
pembuatan mozaik foto udara:
1. Pengumpulan Data:
Pengumpulan citra dilakukan dengan tumpang tindih yang signifikan untuk memastikan
kesinambungan data.
2. Praproses Citra:
3.
II.8 DEM
Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan
bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik yang mewakili bentuk permukaan bumi dapat
dibedakan dalam bentuk teratur, semi teratur, dan acak. Sedangkan dilihat dari teknik
pengumpulan datanya dapat dibedakan dalam pengukuran secara langsung pada objek
(terestris), pengukuran pada model objek (fotogrametris), dan dari sumber data peta analog
(digitasi). (Hery Purwanto, 2017)
Teknik pembentukan DEM selain dari terestris, fotogrametris, dan digitasi ada juga
dengan pengukuran pada model objek, dapat dilakukan seandainya dari citra yang dimiliki
bisa direkonstruksikan dalam bentuk model stereo. Produk primer dari fotogrametri digital
adalah model elevasi digital (DEM), citra terektifikasi-orto atau citra orto (orthoimages) dan
fitur-fitur terekstaksi (vektor). Produk yang paling popular adalah DEM. DEM adalah file
digital yang berisi elevasi medan yang sesuai dengan posisinya di lapangan secara tetap
menempati interval horisontal (Hery Purwanto, 2017).
DEM merupakan suatu sistem, model, metode dan alat dalam pengumpulan,
pengolahan dan penyajian informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili
distribusi spasial dari karakteristik medan, distribusi spasial diwakili oleh nilai-nilai pada
sistem koordinat X, Y dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem
koordinat Z.
II.8.1 DTM
Digital Terrain Model (DTM) merupakan bentuk digital dari terrain (permukaan tanah,
tidak termasuk objek di atasnya) yang digambarkan sebagai tiga dimensi permukaan medan
yang terdiri dari X, Y, Z koordinat disimpan dalam bentuk digital yang juga mencakup
ketinggian dan elevasi unsur-unsur geografis.
DTM secara singkat merupakan DEM yang telah ditambah dengan unsur-unsur seperti
breaklines dan pengamatan selain data asli. DTM merupakan salah satu output dalam pemetaan
RBI yang dibentuk dari unsur-unsur hipsografi seperti masspoint, garis punggung bukit dan
perairan. Unsur-unsur tersebut dibentuk menggunakan teknik fotogrametri menggunakan stereo
image, dimana pada skala besar umumnya menggunakan foto udara, sedangkan pada skala
menengah digunakan data citra (Setiyoko & Kumar, 2015).
II.8.2 DSM
Digital Surface Model (DSM) adalah model ketinggian yang menampilkan elevasi
pada permukaan pertama di tanah. DSM digunakan untuk membentuk Digital Terrain Model
(DTM) dengan membuang semua fitur dan area pohon secara digital. Digital Surface Model
(DSM) merupakan representasi suatu permukaan fisik dari sekumpulan titik-titik koordinat
tiga dimensi. Data hasil DSM mencakup vegetasi, jalan, bangunan, dan fitur terrain alami.
Sehingga dapat dibuat model tiga dimensi dari berbagai sudut pandang dengan menambahkan
land covernya. DSM mendeskripsikan ketinggian dari vegetasi misalnya pohon dan fitur-fitur
lainnya misalnya bangunan (Hirt, 2015).
Gambar II.7 Digital Surface Model
Proses pembuatan sebaran titik hasil ekstraksi dari foto udara, yang dikenal sebagai
stereoplotting, dilakukan melalui ekstraksi data secara stereoskopis. Titik-titik ini, yang disebut
sebagai mass point, kemudian mengalami interpolasi menggunakan metode TIN, IDW, dan
Kriging untuk menghasilkan model DEM. Interpolasi dilakukan untuk menentukan perbedaan
dalam model DEM antara metode yang menggunakan sumber data yang sama. Analisis
dilakukan terhadap hasil interpolasi elevasi untuk menentukan presentasenya. Metode TIN dan
IDW menunjukkan kemiripan dalam presentasi pada setiap kelas ketinggian, sementara metode
Kriging menyoroti korelasi antara titik-titik dengan radius tertentu, menghasilkan permukaan
yang tidak ekstrem dalam tinggi rendahnya. (Arfaini & Handayani, 2016)
Digital Elevation Model (DEM) merupakan data penting yang mendukung berbagai
kegiatan, seperti pembuatan peta topografi, koreksi geometrik citra, pemetaan daerah rawan
bencana (seperti banjir, tsunami, longsor, dan gunung api), serta perencanaan tata ruang wilayah.
DEM memberikan informasi tentang ketinggian dan koordinat posisi pada permukaan bumi, atau
dengan kata lain, DEM mengandung informasi X, Y, dan Z dari setiap titik. (Arfaini &
Handayani, 2016).
Proses digitasi unsur alam dan unsur buatan yang dilakukan pada model stereo memiliki urutan
pengejaan sebagai berikut:
1. Perairan
2. Breaklines
3. Mass point dan spotheight
4. Jaringan transportasi
5. Bangunan dan permukiman
6. Tutupan lahan
Biasanya, stereoplotting diperbarui menggunakan citra satelit apabila usia data foto udara (data
RADAR) yang digunakan terlalu jauh dari tahun pelaksanaan.
1. Stereoplotting
Stereoplotting merupakan proses ekstraksi data dari data radar menjadi data vektor
melalui digitasi tiga dimensi secara stereoskopis. Tahapan ini memberikan informasi
mengenai posisi planimetris dan ketinggian yang sesuai dengan kondisi lapangan.
Pemetaan pada foto udara skala besar juga memberikan detail lebih lanjut tentang data
lapangan yang tersedia. (Arfaini & Handayani, 2016).
2. Kesalahan dalam Stereoplotting
Berikut adalah kesalahan dalam proses stereoplotting:
a. Kesalahan saat pemasangan GCP, GCP yang dipasang tidak nampak saat pemotretan.
b. Kesalahan saat kalibrasi kamera
c. Kesalahan saat digitasi, kenampakan objek belum benar-benar 3D
d. Kesalahan dalam memasukkan layer digitasi
e. Kesalahan saat menginterpretasi objek.
Simbol dalam peta memegang peran yang sangat penting karena merupakan media komunikasi
gratis antara pembuat peta (map made) dengan pengguna peta (map users). Simbol adalah alat
yang digunakan untuk menggambarkan keadaan medan dan posisinya di dalam peta (Miswar,
2013). Simbol yang efektif adalah yang mudah dikenali dan digambar. Secara umum, syarat-
syarat simbol yang baik meliputi:
1. Sederhana
2. Mudah digambarkan
3. Mudah untuk dimengerti dan dibaca
4. Dapat mencerminkan data dengan teliti
5. Bentuknya seragam dalam satu peta maupun dalam peta seni
6. Bersifat umum.
Merancang tata letak pada peta tematik merupakan tahapan kerja yang perlu diperhatikan bagi
setiap orang yang akan menggambar peta. Hal itu dimaksudkan agar peta benar-benar
komunikatif serta mudah dibaca dan ditafsirkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna
peta. Adapun unsur-unsur peta yang perlu diatur posisinya adalah:
1. Judul peta
2. Skala peta
3. Keterangan/legenda
4. Koordinat lintan dan bujur
5. Inset peta
6. Sumber data serta infromasi-informasi lainnya.
Bahkan dalam peta-peta tematik simbol merupakan informasi utama untuk menunjukkan tema
suatu peta. Perancangan gambar suatu simbol di dalam peta sangat tergantung dan data yang ada
dan informasi yang ingin diperoleh. Desain simbol secara tepat bagi penyajian suatu informasi
sangat diperlukan. Tahapan yang perlu dilakukan dalam mendesain simbol antara lain:
1. Perhatikan jenis data yang akan dipresentasikan untuk menentukan apakah itu bersifat
kualitatif atau kuantitatif. Secara umum, karakteristik simbol dapat diklasifikasikan
menjadi kualitatif atau kuantitatif.
2. Berdasarkan karakteristik simbol tersebut, pilihlah bentuk simbol yang akan digunakan,
apakah itu simbol titik, garis, atau luas.
3. Desainlah bentuk simbol dengan tepat dan sesuaikan dengan audiens pengguna peta,
termasuk masyarakat umum, perencana, atau bahkan siswa sekolah. Hal ini berkaitan
dengan keselamatan dan kejelasan simbol yang digunakan.
4. Perancangan simbol harus disesuaikan dengan teknis dan pembiayaan. Bentuk simbol
yang rumit akan mengalami kesulitan
5. Kesulitan dalam teknis pembuatan dan pencetakan. Simbol dengan banyak warna
memerLukan biaya pencetakan yang lebih mahal
Keterangan Gambar:
1. Judul Peta RBI, skala peta, nomor lembar peta, dan edisi.
2. Petunjuk letak peta
3. Diagram lokasi
4. Keterangan proyeksi, system grid, datum horizotal, datum vertikal, satuan tinggi, selang
kontur, dan perimeter translasi.
5. Simbol
6. Keterangan isi legenda.
7. Keterangan wilayah, baik ibukota negara, ibukota provinsi, ibukota Kabupaten/ kota, dll
8. Keterangan Riwayat.
9. Petunjuk pembacaan koordinat geografi
10. Petunjuk pembacaan koordinat UTM.
11. Gambar pembagian daerah administrasi
12. Keterangan pembagian daerah administrasi.
13. Skala peta.
14. Keterangan singkatan dan kesamaan arti.
15. Keterangan arah, seperti Utara Sebenarnya (US), Utara Grid (UG), Utara Magnetik
(UM).
Format peta yang baik merupakan hasil dari keputusan atas berbagai faktor yang dipandang baik
dari sudut si pembuat peta maupun si pengguna peta. Faktor yang dapat mempengaruhi tata letak
peta, yaitu (Utami & Riyadi, 2019):
- Pembuat peta.
- Pengguna peta
- Distribusi/pemasaran.
4. Estetika, meliputi:
1. Peta yang menggunakan garis batas tepi peta atau frame map. Fungsi garis batas tepi
yang mengelilingi muka peta adalah untuk memisahkan antara muka peta dengan
informasi tepi secara jelas. Tampilan peta dengan tipe ini akan terlihat lebih rapi sehingga
memudahkan pengguna untuk mencari informasi atau keterangan yang dibutuhkan.
2. Peta wilayah atau island map, garis batas dari area yang dipetakan pada tipe ini berfungsi
sebagai kerangka yang membuat peta mempunyai bentuk yang tidak beraturan. Tipe ini
lebih memberikan kebebasan kepada pembuat peta dalam penyusunan tata letak peta
yang sesuai
3. Bleeding map, tipe ini tidak memiliki kerangka, sehingga letak informasi tepi sampai
pada batas potongan dari area peta.
Peta memiliki peran yang signifikan dalam perencanaan, dan sering menjadi instrumen kunci
dalam pembuatan kebijakan pembangunan (Suprajaka, 2017). Peta perencanaan mencakup
berbagai jenis peta seperti peta pola ruang, peta rencana kawasan strategis, peta rencana jalan,
dan lain sebagainya. Penggunaan peta sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dapat
mencegah kerugian yang dapat terjadi. Kerugian ini dapat diminimalkan melalui perencanaan
yang lebih baik, yang pada gilirannya memerlukan basis data spasial yang kuat. Penggunaan peta
dan penelitian berbasis spatial yang solid menjadi langkah awal dalam meningkatkan kualitas
perencanaan.
II.10.6 Toponimi
Toponimi adalah studi yang membahas tentang nama tempat, arti, asal-usul, dan topologinya.
Pada bidang ilmu geografi, toponimi berkaitan dengan bahasan ilmiah tentang nama, asal-usul,
arti dari suatu tempat atau wilayah, serta bagian lain dari permukaan bumi, baik yang bersifat
alami maupun bersifat buatan. Toponimi sangat diperlukan dalam kegiatan pemetaan suatu
wilayah sehingga hal tersebut terus mengalami perkembangans seiring dengan perkembangan
peta (Sudaryat, Gunardi, & Hadiansyah, 2009).
Prinsip penamaan toponimi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) meliputi (Geospasial,
2017):
1. Menggunakan Bahasa lndonesia yang baik dan benar atau bahasa daerah.
2. Menggunakan abjad romawi.
3. Menggunakan satu nama resmi untuk satu unsur rupabumi.
4. Menggunakan nama lokal
5. Menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan.
6. Menghindari penggunaan nama diri atau nama orang yang masih hidup
7. Menghindari penggunaan simbol matematika.
Skala peta merupakan perbandingan antara jarak pada peta dengan jarak sebenarnya pada
permukaan bumi. Peta menurut skalanya dapat digolongkan menjadi lima jenis yaitu (Site
Default, 2015):
1. Peta kadaster atau peta teknik yakni peta dengan skala antara 1:100 sampai 1:5.000.
Kegunaan dari peta ini adalah untuk menggambarkan peta tanah atau peta dalam
sertifikat tanah
2. Peta skala besar yakni peta dengan dengan skala 1:5.000 sampai 1:250.000. Kegunaan
dari peta ini adalah untuk menggambarkan wilayah yang relatif sempit seperti peta
provinsi kelurahan dan kecamatan.
3. Peta skala sedang yakni peta dengan skala 1:250.000 sampai 1:500.000. Kegunaan peta
ini adalah untuk menggambarkan daerah yang agak luas seperti peta regional.
4. Peta skala kecil yakni peta dengan skala 1:500.000 sampai 1:1.000.000 atau lebih.
Kegunaan peta ini adalah untuk menggambarkan daerah yang relatif luas seperti negara
5. Peta skala geografis yakni peta dengan skala lebih kecil dari 1:1.000.000 yang biasanya
digunakan untuk menggambarkan kelompok negara, benua, atau dunia.
Peta dasar adalah peta yang menyediakan informasi umum yang digunakan sebagai
referensi untuk pembuatan peta tematik dan pengembangan lainnya. Peta dasar diterbitkan oleh
lembaga pemerintah dan harus mematuhi standar yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal) (Geosriwijaya, 2017).
Peta tematik memiliki fungsi khusus yang dapat disusun oleh individu atau kelompok
berdasarkan pengembangan informasi dari peta dasar. Tujuan pengembangan peta tematik adalah
untuk menyampaikan informasi spesifik tentang suatu wilayah, seperti perubahan wilayah,
persebaran flora dan fauna, serta sumber daya alam dan cadangannya. Penempatan simbol dan
deskripsi dalam kartografi pada peta tematik tidak memiliki ketentuan baku, sehingga biasanya
ditentukan oleh estetika dan kesesuaian informasi. Namun, dalam beberapa kasus, pembuatan
peta tematik dapat mengikuti standar atau simbol yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi
spesifik dari peta yang dibuat.
PCI Geomatics adalah perangkat lunak terpadu yang menyediakan alat-alat untuk penginderaan
jauh, pemrosesan citra, fotogrametri digital, analisis gambar, produksi citra, dan lainnya
(Catalyst.Earth, 2022). Perangkat lunak ini umumnya digunakan untuk memproses citra dengan
resolusi spasial tinggi dan/atau ukuran bit besar untuk mencegah kemungkinan terjadinya
kegagalan perintah (not responding) selama proses pengolahan citra.
Geomatica memungkinkan pengguna untuk memvisualisasikan, menganalisis, dan
memodelkan informasi geografis dari berbagai sumber, serta mengidentifikasi hubungan spasial,
tren, dan pola penting dengan penekanan pada otomatisasi dan integrasi penuh antara data raster
dan vektor. Dengan menyediakan solusi komprehensif untuk semua kebutuhan pemrosesan
geospasial, Geomatika memastikan bahwa pengguna dapat mempertahankan interoperabilitas
yang lengkap dengan perangkat lunak geospasial lainnya.
II.12 Global Mapper
Global Mapper merupakan salah satu perangkat lunak yang populer dan banyak
digunakan oleh praktisi GIS (Geographic Information System) dan mereka yang berkecimpung
dalam pemetaan (Guntara, 2014). Keunggulan utama program ini adalah kemampuannya untuk
kompatibel dengan berbagai format file, sehingga dapat digunakan oleh beragam individu
dengan latar belakang pengetahuan perangkat lunak yang berbeda-beda.
Global Mapper tidak hanya mampu menampilkan data raster yang umum, elevasi, dan
dataset vektor, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengonversi, mengedit, mencetak,
melacak GPS, dan memanfaatkan fungsi GIS pada dataset. Selain sebagai alat serbaguna, Global
Mapper dilengkapi dengan fungsi bawaan untuk melakukan perhitungan jarak dan luas,
pembauran arsiran, penyesuaian kontras, visualisasi elevasi, perhitungan garis pandang, serta
kemampuan lanjutan seperti rektifikasi citra, pembuatan kontur dari data permukaan, analisis
arah aliran dari data permukaan, triangulasi, dan pembuatan grid data titik 3D.
II.13 ArcGIS
ArcGIS adalah perangkat lunak yang dikeluarkan oleh Environmental Systems Research
Institute (ESRI), sebuah perusahaan yang telah lama berkecimpung di dalam bidang geospasial.
ArcGIS adalah sebuah platform yang terdiri dari beberapa software yaitu Desktop GIS, Server
GIS, Online GIS, ESRI Data, dan Mobile GIS.
2. ArcCatalog
ArcCatalog memiliki fungsi untuk pengelolaan data spasial meliputi input, konversi, dan
analisis data. ArcCatalog dapat dianalogikan sebagai File Explorer (atau windows
explorer) pada OS Windows. Namun karena tugasnya spesifik untuk menangani data
spasial, maka fungsi pengelolaan file yang dimiliki oleh ArcCatalog lebih khusus dan
spesifik. ArcCatalog tidak saja digunakan untuk mengelola data spasial, tetapi juga untuk
melakukan analisis data. ArcCatalog biasa disandingkan dengan ArcMap. Biasanya
ArcCatalog digunakan untuk menambahkan data ke dalam ArcMap dengan cara drag and
drop dari ArcCatalog.
3. ArcScene
ArcScene berfungsi untuk visualisasi 3D, yaitu menyajikan tampilan yang perspektif,
bernavigasi dan berinteraksi dengan data fitur 3D dan raster. Software ini biasa
digunakan untuk cakupan lokal atau tidak terlalu luas, misalnya untuk visualisasi sebuah
kota kecil, kawasan hutan, bendungan, dan sebagainya.
4. ArcGlobe
ArcGlobe adalah bagian dari ArcGIS desktop yang ditujukan untuk eksplorasi data
spasial secara virtual dengan ukuran dan cakupan data yang besar. Jika ArcScene
menampilkan data spasial secara lokal, maka ArcGlobe menampilkan data spasial dalam
perspektif global. ArcGlobe serupa dengan software Google Earth dari Google atau
World Wind dari NASA.
5. ArcReader
ArcReader biasa digunakan jika pengguna ingin membagi project ArcMap dengan pihak
lain. Pihak penerima project tidak perlu install ArcMap untuk dapat membuka dan
melakukan eksplorasi project tersebut. Cukup dengan menggunakan ArcReader yang
gratis, pengguna dapat melihat project ArcMap yang telah dibuat. ArcReader (dan
ekstensi publisher untuk ArcMap) memiliki beberapa fungsi untuk mengatur bagaimana
data yang dibagikan dalam project dapat diakses. Data spasial yang turut dipaketkan dan
disalin dapat dikunci sehingga pengguna tidak memiliki akses penuh terhadap data
spasial
BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM
III.1 Alat dan Data
III.1.1 Alat
III.1.2 Data
BAB V PENUTUP
V.1 Simpulan
V.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Lembar Asistensi
2. Layout Peta
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
I.3.1 Maksud
I.3.2 Tujuan
II.1 UAV
II.7 DroneDeploy
III.1.1 Alat
III.1.2 Data
III.4.2 Kalibrasi
BAB V PENUTUP
V.1 Simpulan
V.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Lembar Asistensi
2. Layout Peta
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
I.3.1 Maksud
I.3.2 Tujuan
III.1.1 Alat
III.1.2 Data
BAB V PENUTUP
V.1 Simpulan
V.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Lembar Asistensi
2. Layout Peta