Anda di halaman 1dari 78

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN APENDISITIS DAN KOLELITIASIS


KEPERAWATAN KLIEN DEWASA SISTEM
ENDOKRIN, PENCERNAAN, PERKEMIHAN
DAN IMUNOLOGI

Dosen Fasilitator:
Laily Hidayati, S. Kep., Ns., M. Kep.

Disususn Oleh:
Kelompok 5 (A2)

1. Endah Nabila Sutrisno Putri (132221034)


2. Nadia Ashifatun Nafi’ah (132221078)
3. Dhea Triananda (132221082)
4. Aliyyah Fauziah Rahmah (132221155)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan apendisitis dan kolelitiasis tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Keperawatan Klien Dewasa Sistem Endokrin, Pencernaan,
Perkemihan, dan Imunologi. Makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
bagi para pembaca.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Ibu Arina Qona’ah, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku penanggung jawab mata ajar
pada mata kuliah Keperawatan Klien Dewasa Sistem Endokrin, Pencernaan,
Perkemihan, dan Imunologi atas waktu, perhatian, dan kesabaran dalam
membimbing kami untuk penyusunan makalah ini.
2. Ibu Laily Hidayati, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen fasilitator mata kuliah
Keperawatan Klien Dewasa Sistem Endokrin, Pencernaan, Perkemihan, dan
Imunologi atas waktu, perhatian, dan kesabaran dalam membimbing kami untuk
penyusunan makalah ini.
3. Kepada seluruh anggota kelompok kami yang telah berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini.
4. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan
demi perbaikan makalah kami agar dimasa yang akan datang kami bisa membuat
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya. Kami juga berharap bahwa
dengan adanya makalah ini, dapat memberikan pengetahuan terkait judul yang kami
angkat.
Surabaya, 01 Maret 2024

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 4
2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernan.................................................................... 4
2.2 Apendisitis........................................................................................................... 20
2.2.1 Pengertian................................................................................................... 20
2.2.2 Etiologi....................................................................................................... 21
2.2.3 Patofisiologi................................................................................................21
2.2.4 Manifestasi Klinis.......................................................................................22
2.2.5 Komplikasi..................................................................................................23
2.2.6 Penatalaksanaan..........................................................................................24
2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik............................................................................. 25
2.2.8 WOC Apendisitis........................................................................................26
2.3 Kolelitiasis........................................................................................................... 27
2.3.1 Pengertian................................................................................................... 27
2.3.2 Etiologi....................................................................................................... 28
2.3.3 Patofisiologi................................................................................................28
2.3.4 Manifestasi Klinis.......................................................................................29
2.3.5 Komplikasi..................................................................................................30
2.3.6 Penatalaksanaan..........................................................................................31
2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik............................................................................. 32
2.3.8 WOC Kolelitiasis........................................................................................35
BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................36
3.1 Apendisitis........................................................................................................... 36
3.1.1 Laporan Kasus.................................................................................................. 36
3.2.1 Laporan Kasus.................................................................................................. 54
3.2.2 Asuhan Keperawatan........................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... v

ii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman


2.1 Cavitas oris 4
2.2 Pharink 5
2.3 Esofagus 6
2.4 Gaster 7
2.5 Intestinum Tenue 8
2.6 Intestinum Crassum 10
2.7 Anus 12
2.8 Hepar 13
2.9 Vesica Fellea 14
2.10 Pancreas 14
2.11 WOC Apendisitis 26
2.12 WOC Apendisitis 27
2.13 WOC Kolelitiasis 35
2.14 USG Abdomen 61

iii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman


3.1 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis 39, 44-45
3.2 Terapi Kasus Apendisitis 45
3.3 Analisis Data Apendisitis 45
3.4 Intervensi Kasus Apendisitis 47-53
3.5 Pemeriksaan Penunjang Kolelitiasis 60-61
3.6 Analisis Data Kolelitiasis 62-64
3.7 Intervensi Kasus Kolelitiasis 65-70

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Apendisitis
Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang
terjadi pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi
pada lumen apendiks (Fransiska, dkk., 2019). Apendisitis merupakan penyakit
yang perlu dikhawatirkan karena frekuensi kejadian di semua negara tergolong
tinggi. Risiko perkembangan apendisitis bisa seumur hidup sehingga
memerlukan tindakan pembedahan (Fransiska, dkk., 2019). Fransisca, C.,
Gotra, I. M., & Mahastuti, N. M. (2019). Karakteristik pasien dengan
gambaran histopatologi apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar tahun
2015-2017. Jurnal Medika Udayana, 8(7), 2.
Prevalensi Apendisitis Akut di Indonesia berkisar 24,9 kasus per
10.000 populasi. Apendisitis ini bisa menimpa pada laki-laki maupun
perempuan dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai
7-8%. Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun. Apendisitis perforasi
memiliki prevalensi antara 20-30% dan meningkat 32-72% pada usia >60
tahun dari semua kasus Apendisitis (Wijaya, et al, 2020). Kejadian
Apendisitis Perforasi bervariasi dari 16-40%, dengan frekuensi lebih tinggi
terjadi pada kelompok usia yang lebih muda (40-57%) dan pada pasien usia
>50 tahun (55-70%). Apendisitis Perforasi dapat menyebabkan berbagai
komplikasi. Sepertiga dari kasus apendisitis yang dirujuk ke Rumah Sakit
adalah Apendisitis Perforasi. Tingkat kematian pada anak-anak berkisar
antara 0,1% hingga 1% (Sophia, et al, 2020).
Apendisitis merupakan salah satu masalah umum yang sering terjadi
dalam bidang bedah abdomen yang menimbulkan nyeri akut dan diperlukan
tindakan bedah sesegera mungkin untuk mencegah komplikasi berbahaya
seperti Gangrenosa, Perforasi bahkan dapat terjadi Peritonitis Generalisata.
Penyumbatan mengakibatkan lumen usus buntu terhambat, akibatnya adalah
terjadi penumpukan bakteri di usus halus dan menyebabkan peradangan akut
dengan perforasi dan pembentukan abses (Amalina, et al, 2018). Keluhan
apendisitis umumnya dimulai dengan rasa tidak nyaman pada umbilikus atau

1
periumbilikus disertai dengan muntah. Dalam waktu 2-12 jam, rasa sakit akan
menyebar ke kuadran kanan bawah, dimana rasa sakit akan tetap dan
memberat apabila berjalan. Selain itu, keluhan lain yang dirasakan adalah
anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah.
Pada awal timbulnya penyakit, belum terdapat masalah abdomen yang serius.
Namun, dalam beberapa jam, nyeri abdomen bagian bawah semakin terasa dan
dapat diidentifikasi satu titik nyeri maksimal dengan pemeriksaan menyeluruh
(Mansjoer, 2000).

1.1.2 Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah komponen empedu yang terakumulasi, mengeras dan
membentuk batu empedu (Jamini & Trihandini., 2023). Kolelitiasis adalah
penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya (Nender, dkk., 2019).
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, atau biliary calculus.
Kolelitiasis memiliki tiga jenis yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, dan batu campuran. Kantung empedu terletak di bawah hati, di sisi
kanan atas perut, tepat di bawah lobus kanan hati. Kantung empedu memiliki
fungsi untuk menyimpan dan memekatkan empedu.
Angka kejadian kolelitiasis dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Prevalensi penyakit kolelitiasis sangat bervariasi di antara populasi yang
berbeda. Prevalensi kolelitiasis antara orang dewasa adalah sekitar 10%
sementara di Eropa Barat prevalensinya berkisar dari 5,9% hingga 21,9%.
Tingkat prevalensi 3,2% hingga 15,6% telah dilaporkan dari Asia. Kolelitiasis
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Menurut Third National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III), prevalensi
kolelitiasis di Amerika Serikat yaitu 7,9% pada laki-laki dan 16,6% pada
perempuan (Aji, dkk., 2021).
Kolelitiasis umumnya terjadi pada orang berusia 50-70 tahun dan jarang
terjadi pada remaja. Risiko kolelitiasis mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya usia, hal ini disebabkan oleh peningkatan saturasi empedu
akibat penurunan aktivitas enzim 7α hidroksilase yang merupakan enzim
limiting rate untuk biosintesis kolesterol.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pencernaan?
2. Bagaimana konsep teori apendisitis dan kolelitiasis?
3. Bagaimana Web of Caution apendisitis dan kolelitiasis?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan apendisitis dan
kolelitiasis?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Menambah wawasan dan meningkatkan pemahaman mengenai konsep
teori umum apendisitis dan kolelitiasis pada sistem pencernaan serta
mengetahui asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien dengan apendisitis
dan kolelitiasis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pencernaan
2. Mengetahui konsep teori umum apendisitis dan kolelitiasis
3. Mengetahui Web of Caution apendisitis dan kolelitiasis
4. Mengetahui asuhan keperawatan untuk pasien apendisitis dan
kolelitiasis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernan
2.1.1 Anatomi Sistem Pencernaan
Anatomi merupakan ilmu yang mempelajari tentang struktur tubuh manusia
yang berasal dari bahasa Yunani “Ana” yang berarti habis atau ke atas dan
“tomos” yang berarti memotong atau mengiris. Dapat diartikan bahwa, anatomi
merupakan ilmu yang mempelajari struktur tubuh (manusia) dengan cara
menguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai
kebagian yang paling kecil. Sedangkan sistem pencernaan merupakan sistem
organ dalam tubuh yang berfungsi menerima makanan, mencerna makanan,
mengubah menjadi energi, dan mengeluarkan zat sisa dari proses tersebut dari
mulut hingga anus. Sistem pencernaan ini terdiri dari beberapa organ, diantaranya
mulut, faring, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan,
seperti pankreas, hati dan kantung empedu.

Berikut merupakan penjelasan dari anatomi saluran pencernaan:


1. Cavitas oris (rongga mulut)

Gambar 2.1 Anatomi cavitas oris


Sumber : quizlet.com

4
Cavitas oris terletak di inferior cavitas nasi. Cavitas oris terbagi menjadi
dua regiones oleh arcus dentalis superior dan arcus dentalis inferior. Arcus
dentalis dibentuk oleh gigi (dentes) dan tulang-tulang alveolar (ossa
alveolares). Dua regiones tersebut adalah:
a. Vestibulum oris di bagian luar, terletak di antara arcus dentales dan facies
profundi bucca dan labium oris
b. Cavitas oris propria di bagian dalam, terletak di sebelah internal arcus
dentales
Cavitas oris dibentuk oleh beberapa kerangka tulang. Tulang ini adalah
maxilla, os palatinum, os sphenoidale, os temporale, pars cartilaginea tuba
pharyngotympanica, mandibula, dan os hyoideum. Cavitas oris memiliki atap,
dasar, dinding anterior, dan dinding lateral. Cavitas oris terbuka di wajah
melalui fissura oris dan berhubungan dengan oropharynx pada isthmus
oropharyngealis. Atap cavitas oris dibentuk oleh palatum durum dan palatum
molle. Dasarnya dibentuk oleh diaphragma oris dan lingua. Dinding anterior
dibentuk oleh labium oris. Dinding lateralnya dibentuk oleh bucca (pipi) yang
berotot dan menyatu di anterior dengan labium oris. Labium oris mengelilingi
fissura oris. Dasar cavitas oris propria terutama dibentuk oleh 3 struktur:
a. Diaphragma oris yang dibentuk oleh m. mylohyoideus
b. M. geniohyoideus yang terletak superior dari diaphragma oris
c. Lingua (lidah) yang terletak superior dari m. genioglossus

2. Pharynx

Gambar 2.2 Anatomi pharinx


Sumber: viva.co.id

5
Pharynx merupakan saluran yang menghubungkan cavitas nasi dan
cavitas oris di kepala dengan larynx dan oesophagus di leher. Pharynx terbagi
menjadi 3 regiones, yaitu nasopharynx, oropharynx, dan laryngopharynx.
Struktur rinci dari 3 regiones ini dapat dilihat di topik anatomi systema
respiratoria. Terkait dengan proses penelanan, fossa (recessus) piriformis
yang terletak di laryngopharynx membentuk saluran yang mengarahkan
makanan dan minuman dari cavitas oris menuju oesophagus. Otot-otot
pharynx terorganisir menjadi 2 kelompok berdasarkan arah serabut otot.
Otot-otot constrictor memiliki serabut yang berjalan sirkuler, sementara
otot-otot longitudinal berjalan vertikal. Otot constrictor terdiri atas m.
constrictor pharyngis superior, m. constrictor pharyngis media, dan m.
constrictor pharyngis inferior.. Otot longitudinal terdiri atas m.
stylopharyngeus, m. salpingopharyngeus, dan m. palatopharyngeus.

3. Esophagus

Gambar 2.3 Anatomi Esophagus


Sumber: lmsspada.kemdikbud.go.id

Esophagus merupakan saluran berotot dengan panjang 25 cm,


menghubungkan pharynx dan ventriculus. Oesophagus ini terdiri atas
oesophagus cervicalis di region colli, oesophagus thoracica di cavitas
thoracis, dan oesophagus abdominalis di cavitas abdominis. Organ ini dimulai

6
pada ujung inferior laryngopharynx, berjalan melalui aspek inferior leher,
memasuki mediastinum dan turun di anterior columna vertebralis, menembus
diaphragma melalui hiatus oesophagii, dan berakhir di bagian superior
ventriculus.

4. Ventriculus (Gaster/Stomach/Lambung)

Gambar 2.4 Anatomi Gaster


Sumber: biology911.wordpress.com

Ventriculus merupakan organ tractus gastrointestinalis yang paling


berdilatasi dan berbentuk seperti huruf J. ventriculus terletak di regio
epigastrica, regio umbilicalis, dan regio hypochondriaca sinistra. Ventriculus
memiliki 2 permukaan, yaitu facies anterior (facies superior) dan facies
posterior (facies inferior). Ventriculus memiliki 4 regio utama, yaitu cardia,
fundus, corpus, dan pars pylorica. Cardia mengelilingi muara oesophagus ke
ventriculus. Sudut superior yang terbentuk ketika oesophagus masuk ke
lambung disebut incisura cardiaca. Bagian yang membulat di atas dan kiri
cardia disebut fundus. Inferior dari fundus terdapat bagian sentral ventriculus
yang besar yang disebut corpus.
Pars pylorica terbagi menjadi 3 regio, yaitu antrum pyloricum, canalis
pylorica, dan pylorus. Antrum pyloricum berhubungan dengan corpus
ventriculi. Canalis pylorica merupakan saluran bagian tengah. Bagian paling
distal dari pars pylorica adalah pylorus. Pylorus ditandai di permukaan organ
oleh pyloric constriction dan mengandung cincin otot sirkuler lambung yang

7
menebal yaitu m. sphinter pylorica. M. sphincter pylorica mengelilingi ujung
distal lambung yaitu orificium pylorica. Pylorus berhubungan dengan
duodenum. Ketika lambung kosong, mucosanya membentuk lipatan besar
yang disebut rugae (plica) ventriculi. Pylorus berhubungan dengan duodenum
melalui sfingter otot polos yang disebut m. sphincte pylorica. Tepi medial
lambung yang cekung disebut curvatura minor, sedangkan tepi lateral yang
cembung disebut curvatura major. Tikungan di curvatura minor disebut
incisura angularis

5. Intestinum tenue (small intestine)

Gambar 2.5 Anatomi Intestinum tenue


Sumber: Medicina Islamica

Intestinum tenue merupakan bagian terpanjang tractus gastrointestinalis (6-7


m) dan terbentang dari orificium pyloricum sampai ileocecal junction.
Saluran ini terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum
a. Duodenum
Duodenum berbentuk huruf C dengan panjang 20-25 cm. Lumen
duodenum terluas dibandingkan organ intestinum tenue yang lain.
Duodenum terletak retroperitoneal, kecuali pada bagian permulaannya
yang dihubungkan ke hepar oleh ligamentum hepatoduodenale.
Duodenum terbagi menjadi 4 bagian:
1) Pars superior (bagian pertama) terbentang dari orificium pyloricum
sampai sebatas collum vesicae felleae. Secara klinis, pars superior

8
duodeni dirujuk sebagai ampulla (duodenal cap). Ulcus duodeni
paling banyak terjadi di bagian ini
2) Pars descendens (bagian kedua) terbentang dari collum vesica fellea
sampai tepi bawah vertebra LIII. Bagian ini mengandung papilla
duodeni major (pintu masuk ductus choledochus dan ductus
pancreaticus major) dan papilla duodeni minor (pintu masuk ductus
pancreaticus minor/ductus pancreaticus accessorius). Junction dari
foregut dan midgut terletak tepat di bawah papilla duodeni major
3) Pars inferior (bagian ketiga) bagian terpanjang
4) Pars ascendens (bagian keempat) berjalan ke atas atau ke kiri dan
berakhir sebagai flexura duodenojejunalis. Flexura duodenujejunalis
dikelilingi oleh lipatan peritoneum yang mengandung otot polos
yang disebut musculus (ligamentum) suspensorium duodeni
b. Jejunum
Jejunum dimulai dari duodenojejunal junction. Jejunum mewakili 2/5
proximal intestinum tenue, terletak sebagian besar di kuadran kiri atas.
Dibandingkan ileum, jejunum memiliki diameter yang lebih besar,
dinding lebih tebal, lemak mesenterica lebih sedikit, plica circularis lebih
tinggi dan lebih banyak, arcade arterialis yang kurang menonjol, dan
vasa recta lebih panjang
c. Ileum
Ileum membentuk 3/5 distal intestinum tenue, terletak sebagian besar di
kuadran kanan bawah. Dibandingkan jejunum, ileum memiliki dinding
lebih tipis, plica circularis lebih sedikit dan kurang menonjol, vasa recta
lebih pendek, lemak mesenterica lebih banyak, dan arcade arterial lebih
banyak
6. Intestinum Crassum (Large Intestine/Usus Besar)
Intestinum crassum terbentang dari ujung distal ileum ke anus dengan
panjang sekitar 1,5 meter pada orang dewasa. Intestinum crassum
melengkung di sekitar dan menutupi gulungan intestinum tenue dan
cenderung lebih terfiksir dibandingkan intestinum tenue. Ia terdiri atas cecum,
appendix vermiformis, colon, rectum, dan canalis analis

9
Gambar 2.5 Anatomi Intestinum Crassum
Sumber: medcom.id

a. Cecum
Cecum adalah bagian pertama intestinum crassum, berupa
kantung berujung buntu. Ia terletak inferior dari ileocecal junction di
fossa iliaca dextra. Cecum merupakan struktur intraperitoneal karena
mobilitasnya, bukan karena alat penggantung peritoneumnya. Cecum
berlanjut menjadi colon ascendens setinggi pintu masuk ileum ke cecum
b. Appendix vermiformis
Appendix vermiformis adalah saluran berbentuk cacing dan
berujung buntu, berlubang, dan sempit yang muncul dari dinding
posteromedial cecum. Ia memiliki aggregasi jaringan limfoid yang besar
di dindingnya. Ia tergantung ke ileum terminalis oleh mesoappendix
(mesenteriolum). Titik perlekatan appendix vermiformis ke cecum
konsisten dengan taenia libera cecum yang mengarah langsung ke basis
appendix, tetapi lokasi bagian appendix lain sangat bervariasi. Proyeksi
permukaan basis appendix adalah di junction antara 1/3 lateral dan 1/3
intermedia dari garis antara SIAS (spina iliaca anterior superior) dexter
ke umbilicus.
c. Colon
Colon berjalan ke superior dari cecum dan terdiri atas colon
ascendens, colon transversum, colon descendens, dan colon sigmoideum.
Colon ascendens dan colon descendens tergolong retroperitonel,

10
sedangkan colon transversum dan colon sigmoideum tergolong
intraperitoneal. Flexura coli dextra (flexura hepatica) terjadi di junction
colon ascendens dan colon transversum. Belokan usus ini terletak tepat
inferior lobus dexter hepatis. Flexura coli sinistra (flexura lienalis/flexura
splenica) terjadi di junction colon transversum dan colon descendens.
Belokan usus ini terletak tepat inferior dari lien (spleen), lebih tinggi dan
lebih posterior dari flexura coli dextra, dan dilekatkan ke diaphragma
oleh ligamentum phrenicocolica. Tepat di lateral colon ascendens dan
colon descendens terdapat berturut-turut right paracolic gutter dan left
paracolic gutter. Selokan ini terbentuk di antara tepi lateral colon
ascendens dan colon descendens dan dinding posterolateral abdomen.
Selokan ini menjadi saluran yang dapat dilalui oleh material dari satu
regio ke regio lain dari cavitas peritonii.
Berhubung pembuluh darah dan pembuluh limfe yang besar
terletak di medial atau posteromedial colon ascendens dan colon
descendens, mobilisasi colon ascendens dan colon descendens yang
relatif bebas darah dimungkinkan dengan memotong peritoneum di
sepanjang lateral paracolic gutter. Paracolic gutters dan spatium
subphrenica penting secara klinis karena keduanya dapat menjadi tempat
pengumpulan dan gerakan cairan peritoneum yang terinfeksi. Colon
sigmoideum merupakan kelanjutan colon descendens, dimulai setinggi
aditus pelvis (pelvic inlet) dan terbentang sampai setinggi vertebra SIII,
tempat ia berlanjut menjadi rectum. Struktur berbentuk huruf S ini sangat
mobil, kecuali di permulaan dan ujungnya.
d. Rectum dan Canalis Analis
Rectum merupakan kelanjutan dari colon sigmoideum, dimulai dari
rectosigmoid junction setinggi vertebra SIII, dan terletak di konkavitas
os sacrum dan os coccygeus. Rectum merupakan struktur retroperitoneal
dengan panjang sekitar 12 cm. Rectum dapat dibedakan dengan colon
yang lain karena tidak memiliki taenia coli. Rectum di bagian 1/3 atas
dilapisi peritoneum pada bagian anterior dan lateral, 1/3 media hanya
pada bagian anterior, dan 1/3 inferior tidak dilapisi peritoneum. Rectum
memiliki 3 curvatura lateralis: curvatura superior et inferior melengkung
ke kanan, curvatura media melengkung ke kiri.

11
Bagian bawah rectum meluas membentuk ampulla recti. Ketika
berjalan melalui diaphragma pelvis, rectum membelok ke posterior pada
flexura anorectalis (anorectal junction/flexura perinealis) dan berlanjut
menjadi canalis analis. Flexura anorectalis tertarik ke depan oleh aksi
dari m. puborectalis. Canalis analis berjalan ke posterior inferior
sepanjang 4 cm dan berakhir di anus. Junction antara rectum dan canalis
analis ditandai oleh cincin anorectal (anorectal ring) yang dapat dipalpasi
pada pemeriksaan rectal toucher. Cincin ini terbentuk akibat tonus
lengkung m. puborectalis di dinding posterior junction yang
mempertahankan sudut 120 derajat pada waktu kontinensi feses. Pada
waktu defecatio, otot ini berelaksasi sehingga sudutnya menjadi kurang
tajam.

7. Anus

Gambar 2.7 Anatomi Anus


Sumber: istockphoto.com
Canalis analis berakhir di anus yang membuka ke luar. Ada 2 otot sfingter,
yaitu m. sphincter ani internus yang dibentuk oleh otot polos dan bersifat
involunter dan m. sphincter ani externus yang dibentuk oleh otot skelet dan
bersifat volunter. M. sphincter ani externus tersusun atas pars profundi, pars
superficialis, dan pars subcutanea.

12
8. Sistem pencernaan juga memiliki beberapa organ yang terletak diluar saluran
pencernaan yang terdiri dari:
a. Hepar (Liver)

Gambar 2.8 Hepar


Sumber: Encyclopedia Britannica

Hepar merupakan organ viscera terbesar di dalam tubuh dan terletak


terutama di regio hypochondriaca dexter dan region epigastrica, terbentang
ke regio hypochondriaca sinistra (pada kuadran atas kanan terbentang ke
kuadran atas kiri). Hepar merupakan organ yang sangat vaskuler. Hepar
hampir seluruhnya tertutup oleh costae dan cartilago costales. Hepar
memiliki dua permukaan, yaitu facies diaphragmatica (mengarah ke
anterior, superior, dan posterior) dan facies visceralis (mengarah ke
inferior). Facies diaphragmatica menempel di facies inferior diaphragma.
Recessus subphrenica memisahkan facies diaphragmatis hepatis dengan
diaphragma dan terbagi menjadi area kanan dan kiri oleh ligamentum
falciforme hepatis. Recessus hepatorenalis adalah bagian cavitas peritonii
di sisi kanan antara hepar dengan ren dexter dan glandula suprarenalis
dexter. Recessus subphrenica dan recessus hepatorenalis berhubungan di
sebelah anterior

b. Vesica Fellea (Gallbladder/Kantung Empedu)

13
Gambar 2.9 Vesica Fellea
Sumber: Wikipedia

Vesica fellea adalah kantung berbentuk buah per yang menempel di facies
visceralis lobus dexter hepatis, pada cekung antara lobus dexter dan lobus
quadratus hepatis. Vesica fellea memiliki fundus, corpus, dan collum.
Fundus merupakan ujung yang membulat yang menonjol dari margo
inferior hepar. Corpus merupakan bagian utama yang terletak di dalam
fossa. Collum merupakan bagian yang menyempit. Vesica fellea berfungsi
menerima, mengonsentrasikan, dan menyimpan bilus dari hepar

c. Pancreas

Gambar 2.10 Pancreas


Sumber: pinterest.com

14
Pancreas merupakan organ lunak berlobus yang membentang secara
miring melintasi dinding posterior abdomen, dari duodenum ke spleen.
Pancreas terletak sebagian besar di posterior ventriculus. Pancreas adalah
struktur retroperitoneal, kecuali sebagian kecil caudanya. Pancreas terdiri
atas caput, processus uncinatus, collum, corpus, dan cauda. Caput
pancreatis terletak di dalam lengkung duodenum yang berbentuk huruf C.
Processus uncinatus menonjol dari bagian bawah caput, berjalan posterior
dari vasa mesenterica superior. Collum pancreatis terletak anterior dari
vasa mesenterica superior. Corpus pancreatis memanjang dan terbentang
dari collum ke cauda pancreatis. Cauda pancreatis berjalan di antara
lapisan ligamentum splenorenalis. Ductus pancreticus major dimulai pada
cauda pancreatis, berjalan ke kanan melewati corpus pancreatis, setelah
melewati caput pancreatis, membelok ke inferior.
Ductus pancreaticus major bergabung dengan ductus choledochus
(bile duct) di bagian bawah caput pancreatis. Gabungan kedua struktur ini
membentuk ampulla hepatopancreatica (ampulla Vateri) yang memasuki
pars descendens duodeni di papilla duodeni major. Ampulla
hepatopancreatica dikelilingi oleh kumpulan sel otot polos yang disebut
sphincter of ampulla (m. sphincter Oddi). Ductus pancreaticus minor
(ductus pancreaticus accessorius) bermuara ke duodenum tepat di atas
papilla duodeni major pada papilla duodeni minor.

2.1.2 Fisiologi Sistem Pencernaan


1. Cavitas oris berfungsi sebagai pintu masuk systema digestoria yang terlibat
dalam pemprosesan awal makanan. Selain itu, cavitas oris juga berfungsi ntuk
emanipulasi suara yang dihasilkan oleh larynx sehingga dapat berbicara.
2. Lidah. Otot-otot ekstrinsik lidah menggerakkan lidah ke kanan-kiri dan ke
depan-belakang. Gerakan lidah membantu membentuk makanan terkunyah
menjadi bulatan yang disebut bolus. Lidah juga mendorong makanan ke
belakang agar tertelan. Organ lidah memiliki fungsi spesifik yaitu untuk
merasakan rasa asin, manit, asem/kecut dan pahit.
3. Kelenjar saliva
Saliva adalah cairan yang terus disekresikan oleh kelenjar saliva. Saliva
memelihara mulut tetap lembab, namun ketika makanan masuk, sekresi

15
bertambah sehingga dapat melumasi, melarutkan dan mencerna secara kimiawi.
Ada beberapa kelenjar saliva, yaitu: glandula parotis, glandula submandibularis,
glandula sublingualis. Dari kelenjar-kelenjar ini, saliva disalurkan melalui
duktus ke rongga mulut. Kandungan dari saliva adalah: air (99,5%), zat-zat
terlarut (5%) terdiri atas garam-garam, gas-gas terlarut dan bahan-bahan
organik, juga enzim penting yaitu amilase saliva yang memecah amilum (pati)
menjadi maltosa.
4. Gigi
Gigi terletak di dalam mulut yang menancap pada maksila (rahang atas) dan
mandibula (rahang bawah). Gigi membantu pencernaan secara mekanik, dengan
cara mengunyah.
5. Faring
Menelan adalah mekanisme gerakan makanan dari mulut menuju lambung.
Proses ini difalitasi oleh saliva dan mukus (lendir) yang terdapat pada mulut,
faring dan esophagus. Ada 3 tahap menelan yaitu:
a. Tahap volunter (disadari), yaitu bolus bergerak ke faring
b. Tahap faringeal, yaitu secara tak sadar bolus bergerak dari faring ke
esophagus
c. Tahap esophageal, yaitu secara tak sadar bolus bergerak dari esophagus
ke lambung.
6. Esophagus
Esophagus terletak di belakang trachea, sepanjang 23-25 cm dimulai dari faring
dan berakhir di lambung. Esophagus tak memproduksi enzim, namun hanya
menghasilkan mukus yang memperlancar jalannya bolus dari faring ke lambung.
Gerakan bolus dari faring ke esophagus diatur oleh sfingter esophageal atas
(Catatan: sfingter adalah cincin tebal pada otot). Pada tahap faringeal, laring
terangkat sehingga sfingter relaks dan bolus masuk ke esophagus. Pada fase
esophageal, makanan didorong ke esophagus dengan gerakan involunter yang
disebut peristalsis. Dalam peristalsis ini, otot berkontraksi di atas bolus dan
bergerak turun. Pada ujung bawah esophagus terdapat sfingter esophageal
bawah. Selama menelan, sfingter ini relaks sehingga memudahkan masuknya
bolus ke lambung.
7. Lambung/Gaster

16
Beberapa menit setelah makanan masuk ke dalam lambung, terjadilah
gelombang peristalsis lambung yang mengaduk makanan dan mencampurnya
dengan sekret yang dikeluarkan oleh kelenjar lambung. Akhirnya bolus menjadi
cair dan disebut kimus. Lambung akan kosong kembali 2-6 jam pasca ingesti.
Di dalam lambung terjadi pencernaan kimiawi dengan bantuan enzim yaitu:
a. Amylase saliva melanjutkan pencernaan amilum di bagian fundus
b. Pepsin membantu pemecahan protein
c. Lipase membantu pemecahan lipid susu (terutama pada bayi dan anak
d. Rennin membantu pencernaan susu pada bayi. Rennin dan kalsium
menyebabkan koagulasi susu, sehingga lebih lama berada di lambung
untuk dicerna.
8. Pankreas
Sekret yang membantu pencernaan tidak hanya berasal dari usus halus sendiri,
tetapi juga dari pancreas, hati, dan kandung empedu. Pankreas berukuran
panjang: 12,5 cm dan tebal: 2,5cm, terletak di belakang lambung. Pankreas
dihubungkan oleh duktus pankreatikus menuju duodenum, yang bermuara pada
ampula hepatopankreatikus. Pancreas menghasilkan getah pancreas yang
mengandung air, garam, natrium bikarbonat, dan enzim-enzim yaitu:
a. Amylase pancreas yang membantu pencernaan karbohidrat
b. Tripsin yang membantu pemecahan protein
c. Kimotripsin yang membantu pemecahan protein
d. Karboksipolipeptidase yang membantu pemecahan protein
e. Lipase pancreas yang membantu pemecahan lipid
f. Ribonuklease yang membantu pemecahan asam nukleat: RNA
g. Deoksiribonuklease yang membantu pemecahan asam nukleat: DNA
9. Hati/Hepar
Hati menampilkan 7 fungsi pokok yaitu:
a. Menghasilkan garam empedu, yang digunakan oleh usus halus untuk
mengemulsikan dan menyerap lipid
b. Menghasilkan antikoagulan heparin dan protein plasma seperti
protrombin, fibrinogen, dan albumin
c. Sel-sel retikuloendotelial hati, memfagosit (memangsa) sel-sel darah
yang telah rusak, juga bakteri

17
d. Menghasilkan enzim yang memecah racun atau mengubahnya menjadi
struktur yang tak berbahaya. Sebagai contoh, ketika asam amino hasil
pemecahan protein dipecah lagi menjadi energy, dihasilkan
sampah-sampah nitrogen beracun (misalnya ammonia) yang akan diubah
menjadi urea. Selanjutnya urea dibuang melalui ginjal dan kelenjar
keringat.
e. Nutrient yang baru diserap akan dikumpulkan di hati. Tergantung
kebutuhan tubuh, kelebihan glukosa akan diubah menjadi glikogen atau
lipid untuk disimpan. Sebaliknya hati juga dapat mengubah glikogen dan
lipid menjadi glukosa kembali jika dibutuhkan.
f. Hati menyimpan glikogen, tembaga, besi, vitamin A, B12, D, E, dan K.
Juga menyimpan racun yang tak dapat dipecah dan dibuang (misalnya
DDT)
g. Hati dan ginjal berperan dalam aktivasi vitamin D.
10. Kantung empedu
Kantung empedu memekatkan empedu hingga 10 kali lipat. Empedu dari hati
masuk ke usus halus melalui duktus empedu utama. Ketika usus halus kosong,
katup di ampula hepatopankreatikus tertutup, sehingga empedu kembali ke
duktus kistikus menuju kandung empedu untuk disimpan.
11. Usus Halus/Intestinum Tenue
Usus halus bagian utama dari proses digesti dan absorpsi. Panjang usus halus
kira-kira 6,35 m. Usus halus dibagi menjadi 3 bagian yaitu: duodenum (0,25 m),
jejunum(2,5 m), dan ileum (3,6 m). Ada 2 macam gerakan usus halus yang
memerankan pencernaan secara mekanik, yaitu:
a. Segmentasi
Segmentasi adalah gerakan utama dari usus halus, yaitu kontraksi lokal
pada area yang berisi makanan. Gerakan ini mencampur kimus dengan
getah pencernaan dan membawa partikel-partikel hasil pencernaan ke
mukosa (selaput lender) usus untuk diabsorpsi.
b. Peristalsis
Peristalsis mendorong kimus di sepanjang saluran pencernaan. Kontraksi
peristalsis pada usus halus secara normal jauh lebih lemah daripada
peristalsis lambung dan esophagus. Kimus bergerak melalui usus halus

18
dengan kecepatan 1 cm/menit. Maka, kimus berada di dalam usus halus
selama 3-5 jam.
Di dalam usus halus terjadi pencernaan karbohidrat, protein, dan lipid.
Kerjasama antara getah pankreas, empedu, dan getah usus halus akan
memerankan proses pencernaan sebagai berikut: 1) Karbohidrat dipecah menjadi
monosakarida 2) Protein menjadi asam amino 3) Lipid dipecah menjadi asam
lemak, gliserol, dan gliserida Selanjutnya hasil-hasil pencernaan tersebut diserap
melalui dinding usus halus, dan masuk ke dalam pembluh darah dan pembuluh
limfe. Proses ini disebut absorpsi. Kira-kira 90% absorpsi makanan terjadi di
sepanjang usus halus. Sisanya (10%) terjadi di lambung dan usus besar.
Makanan-makanan yang tidak tercerna dan tidak terserap akan masuk ke usus
besar.
12. Usus Besar/Intestinum Crassum
Usus besar membentang dari ileum usus halus hingga anus, dengan panjang
kira-kira 1,5 m, dengan diameter 6,5 cm. usus besar dibagi menjadi 4 bagian
pokok yaitu sekum, kolon, rektum, dan kanal anal.
a. Sekum
Panjang sekum kira-kira 6 cm. Pada sekum terdapat tonjolan sepanjang 8
cm yang disebut appendiks vermivormis atau usus buntu.
b. Kolon
Kolon dibagi menjadi 4 bagian yaitu: kolon asenden (di kanan), kolon
transversum (di atas), kolon desenden (di kiri), dan kolon sigmoid (di
bawah).
c. Rektum Panjang rektum kira-kira 20 cm setelah kolon sigmoid
d. Kanal anal
Kanal anal merupakan terminal dari rectum sepanjang 2-3 cm. Pintu
keluar dari kanal anal dinamakan anus. Pada anus terdapat sfingter
internal yang dikendalikan oleh otot polos dan sfingter eksternal yang
dikendalikan oleh otot lurik.
Kimus dari ileum masuk ke sekum diatur oleh sfingter ileosekal yang
berkontraksi ringan sehingga proses masuknya lambat. Pada usus besar juga ada
gerakan peristalsis namun lebih lemah. Gerakan lain pada usus besar adalah
peristalsis massa, yaitu gelombang peristalsis yang kuat mulai dari pertengahan
kolon transversum yang mendorong isi usus menuju rectum. Makanan di dalam

19
lambung mengawali aksi reflex ini di dalam kolon. Maka, peristalsis massa
biasanya terjadi 3-4 kali selama makan atau segera setelah makan.
Fase akhir pencernaan dibantu oleh aksi bakteri, bukan enzim. Mukus non
enzimatik disekresikan oleh usus besar. Kimus dipersiapkan untuk eliminasi oleh
aksi bakteri. Bakteri memfermentasikan sisa karbohidrat menjadi hydrogen,
karbondioksida, dan gas metana. Gas-gas ini membentuk gas flatus (kentut) di
dalam kolon. Bakteri juga mengubah asam amino menjadi indol, skatol,
hydrogen sulfide, dan asam lemak. Beberapa indol dan skatol membuat feses
menjadi berbau. Bakteri juga mendekomposisi bilirubin yang akhirnya membuat
feses menjadi berwarna kuning kecoklatan.
Beberapa vitamin yang dibutuhkan untuk metabolism (vitamin B dan K)
disintesis oleh bakteri. Kimus tinggal di usus besar kira-kira 3-10 jam, sehingga
memadat sebagai dampak dari proses penyerapan air. Struktur solid atau
semisolid ini disebut feses. Selain air, komponen lain yang diserap di usus besar
adalah elektrolit, termasuk natrium dan klorida. Peristalsis massa mendorong
feses ke rectum. Selanjutnya terjadilah distensi dinding rectum yang merangsang
refleks defekasi (proses mengosongkan rectum).

2.2 Apendisitis
2.2.1 Pengertian
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vemiformis secara baik secara akut maupun kronis, Apendisitis terjadi
karena adanya obstruksi atau sumbatan pada lumen apendiks (Patmasari et
al. 2022). Apendisitis merupakan peradangan pada umbai cacing (apediks)
yang dapat menyerang siapa saja sehingga menyebabkan nyeri abdomen
dan dapat menimbulkan komplikasi berupa peritonitas, tromboflebitis
supuratif dari sistem portal, abses subfrenikus dan fokal
sepsintraabdominal, obstruksi Intestinal (Awaluddin, 2020). Apendisitis
tanpa komplikasi didefinisikan sebagai apendisitis akut tanpa tanda-tanda
klinis atau radiografi perforasi (massa inflamasi, phlegmon, atau abses).
Apendisitis yang dengan komplikasi didefinisikan oleh pecahnya
apendisitis.

20
2.2.2 Etiologi
Etiologi apendisitis akut yang utama adalah obstruksi lumen
appendiks karena hyperplasia limfatik yang mengakibatkan peningkatan
tekanan intraluminal sehingga terjadi edema, ulcerasi, peradangan dan
infeksi bakteri (Henfa et al, 2023; Widiyanto, 2021). Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa, peran kebiasaan makan-makanan
rendah serat akan berpengaruh pada konstipasi terhadap timbulnya
appendisitis. Konstipasi akan terjadi kenaikan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendik dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora dikolon, yang akan mempengaruhi
perkembangan appendisitis akut (Malhotra dan Bawa, 2020).

2.2.3 Patofisiologi
Apendisitis umumnya disebabkan oleh sumbatan yang kemudian
diikuti oleh infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu
hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking,
perlengketan. Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi
mukus yang tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra
luminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi
edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut appendisitis
akut ringan.
Obstruksi aliran vena akibat peningkatan tekanan, edema dan
inflamasi menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema.
Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri. Suasana lumen appendiks
tersebut cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan
membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus.
Stadium ini disebut dengan “appendisitis akut purulenta”. Proses inflamasi
dan infeksi yang terus berlangsung menyebabkan aliran darah arteri juga
terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai
vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren. Stadium ini
disebut “Appendisitis Gangrenosa”. Pada stadium ini, mikroperforasi
sudah terjadi karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya
bakteri. Selanjutnya, pus serta produk infeksi terdorong mengalir ke
rongga abdomen. Stadium ini disebut “Appendisitis Akut Perforasi”. Pada

21
stadium ini terjadi peritonitis umum dan abses sekunder. Terkadang, proses
perjalanan appendisitis tidak mulus karena ada usaha tubuh untuk
melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling Off” oleh omentum,
lengkung usus halus, cecum, colon, dan peritoneum. Akibatnya, terjadilah
gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut
“Appendisitis Infiltrate”.
Appendisitis infiltrate merupakan suatu plekmon yang berbentuk
massa yang membengkak yang terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan
peritoneum dengan sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh
untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna, baik karena
infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik,
sehingga appendikular infiltrate dibagi menjadi dua, antara lain:
appendikuler infiltrate mobile dan fixed. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat organ ini
dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi
akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi,
khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukan abses setelah 2-3 hari.
2.2.4 Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis yang sering muncul pada appendicitis antara
lain sebagai berikut (Cristie et al., 2021):
a. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus
atau periumbilikus. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri beralih ke
kuadran kanan bawah ke titik Mc Burney (terletak diantara
pertengahan umbilikus dan spina anterior ileum) nyeri terasa lebih
tajam.
b. Bisa disertai nyeri seluruh perut apabila sudah terjadi perionitis karena
kebocoran apendiks dan meluasnya pernanahan dalam rongga
abdomen.
c. Mual
d. Muntah
e. Nafsu makan menurun
f. Konstipasi
g. Demam

22
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Adapun
jenis komplikasi menurut (Silaban et al., 2020) adalah :
a. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini
mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendicitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi appendectomy untuk
kondisi abses apendiks dapat dilakukan secara dini (appendectomy
dini) maupun tertunda (appendectomy interval). Appendectomy dini
merupakan appendectomy yang dilakukan segera atau beberapa hari
setelah kedatangan pasien di rumah sakit. Sedangkan appendectomy
interval merupakan appendectomy yang dilakukan setelah terapi
konservatif awal, berupa pemberian antibiotika intravena selama
beberapa minggu.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24
jam.Perforasi dapat diketahui pra operatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya
peritonitis. Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk
membatasi pergerakan lebih lanjut atau kebocoran dari isi lambung ke
rongga perut.
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya
peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit

23
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis. Penderita peritonitis akan
disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit.

2.2.6 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga
(Brunner & Suddarth, 2010), yaitu:
a. Sebelum Operasi
i. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu
diobservasi ketat karena tanda dan gejala apendisitis
belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan dipuasakan.
Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya
apendisitis.
ii. Antibiotik
Apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi
memerlukan antibiotik, kecuali apendisitis tanpa
komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan
tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi.
b. Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu
apendiktomi. Apendiktomi harus segera dilakukan untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan
dibawah anestesi umum dengan pembedahan abdomen bawah
atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru
yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010)
c. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui
terjadinya perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan
pernafasan. Baringkan klien dalam posisi semi fowler. Klien
dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.

24
Satu hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak
di tempat tidur selama 2 x 30 menit.

2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik


a. Laboratorium
Ini termasuk hitung kelengkapan darah dan protein penghasil (CRP). Tes
darah menunjukkan jumlah sel darah putih 10.000-18.000/mm3
leukositosis dan lebih dari 75% neutrofil, tetapi CRP menunjukkan
peningkatan jumlah serum..
b. Radiologi
Termasuk ultrasound (USG) dan komputer tomography scanning (CT
scan). Ultrasound menemukan bagian longitudinal dari apendiks yang
meradang, tetapi CT menunjukkan apendiks yang meradang dan bagian
apendiks yang melebar.
c. Pemeriksaan Abdomen Singkat
Pemeriksaan ini tidak menunjukkan tanda-tanda apendisitis yang jelas.
Namun, penting untuk membedakan penyakit apendisitis dari batu ureter
kanan atau obstruksi usus halus (Sulekale, 2016).

25
2.2.8 WOC Apendisitis

Gambar 2.11 WOC Apendisitis

26
Gambar 2.12 WOC Apendisitis
2.3 Kolelitiasis
2.3.1 Pengertian
Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan
penyakit yang ditandai dengan adanya batu empedu di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya (Muttaqin & Sari, 2013
dalam Alessandra, 2022). Kolelitiasis ini berupa endapan satu atau lebih
komponen diantaranya empedu kolesterol, bilirubin, garam, empedu, kalsium,
protein, asam lemak, dan fosfolipid. Kandung empedu adalah sebuah kantung
terletak di bawah hati yang mengkonsentrasikan dan menyimpan empedu
sampai dapat dilepaskan ke dalam usus.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu. Batu empedu
bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik

27
karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi
di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan
infeksi di bagian tubuh lainnya. Batu empedu yang tidak lazim dijumpai pada
anak-anak dan dewasa muda tetapi insiden semakin sering pada individu yang
memiliki usia lebih diatas 40 tahun.
2.3.2 Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui. Satu teori menyatakan
bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung empedu.
Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan mulai membentuk batu. Faktor predisposisi terjadinya
kolelitiasis (batu empedu) adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung
empedu. Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu adalah
sebagai berikut (Meylinda, 2020).
a. Ekskresi garam empedu: Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi
berbagai garam empedu atau fosfolipid dalam empedu.
b. Kolesterol empedu: Kandungan kolesterol yang tinggi dalam cairan
empedu memungkinkan terbentuknya batu.
c. Substansia mukus: Perubahan komposisi substansia mukus dalam empedu
juga dapat memicu pembentukan batu empedu.
d. Pigmen empedu: Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi karena hemolisis
yang kronis.
e. Infeksi: Adanya infeksi menyebabkan kerusakan dinding kandung
empedu, sehingga memicu terjadinya stasis. Dengan demikian, kejadian
ini dapat menaikkan pembentukan batu.
2.3.3 Patofisiologi
Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam
pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama
lesitin) dengan kolesterol turun di bawah batas tertentu. Secara normal kolesterol
tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam
bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol,

28
dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi,
sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi
sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Nabu, 2019). Pembentukan
batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol.
Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pembentukan
batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
1) pembentukan empedu yang supersaturasi,
2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan
3) berkembang karena bertambahnya pengendapan.
Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen
parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk
dipakai sebagai benih pengkristalan. Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan
salah satu dari keempat anion, seperti bilirubinate, karbonat, fosfat, dan asam
lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam
empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glukosiltransferase, bila
bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim
glukosiltransferase tersebut maka akan mengakibatkan presipitasi atau
pengendapan. Selain itu, hal ini disebabkan oleh bilirubin tak terkonjugasi tidak
larut dalam air tetapi larut dalam lemak, sehingga lama kelamaan terjadi
pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu
akan tetapi ini jarang terjadi (Nabu, 2019).

2.3.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinik kolelitiasis diklasifikasikan menjadi dua yaitu kolelitiasis
asimtomatik (pasien tidak disertai dengan gejala) dan simptomatik (pasien
disertai dengan gejala). Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan
gejala asimptomatik (pasien tidak menyadari gejala apapun). Menurut Nurarif &
Kusuma (2015) tanda dan gejala kolelitiasis diantaranya sebagai berikut.
1) Nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
2) Rasa nyeri yang dialami sebagian penderita bukan bersifat kolik
melainkan persisten.
3) Mual dan muntah, serta demam.

29
4) Ikterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum
akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang
tidak lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah
dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Selain itu, keadaan ini juga sering disertai
dengan gejala gatal-gatal pada kulit.
5) Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh
ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang
tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut “clay colored”.
6) Terjadi regurgitasi gas (sering flatus dan sendawa).
7) Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan membantu
absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu pasien
dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika
obstruksi atau sumbatan bilier berlangsumg lama. Penurunan
jumlah vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.

2.3.5 Komplikasi
Menurut Tanto,et. all (2014), komplikasi penyakit kolelitiasis yang dapat
terjadi adalah:
1) Kolelitiasis Akut
Kolelitiasis akut pada batu empedu terjadi pada 90-95%kasus
yang dimana ditandai dengan kolik bilier akibat obstruksi duktus
sistikus, apabila obstruksi berlanjut, kandung empedu mengalami
distensi, inflamasi dan edema. Gejala yang dirasakan yaitu nyeri
kuadran kanan atas yang lebih lama dari pada yang sebelumnya,
seperti demam, mual dan muntah.
2) Kolesistitis Kronik
Inflamasi dengan kolik bilier atau nyeri dari obstruksi duktus
sistikus berulang mengacu pada kolesistitis kronis. Gejala utama
berupa nyeri ( kolik bilier) yang konstan dan berlangsung sekitar
1-5 jam dengan mual muntah dan kembung.
3) Koledokolitiasis

30
Batu pada saluran empedu atau common bile ductus (CBD), dapat
24 asimtomatis dengan obstruksi transien dan pemeriksaan
laboratorium yang normal. Gejala yang dapat muncul adalah
kolik bilier, ikterus, tinja dempul dan urin berwarna gelap seperti
teh.
4) Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi pada lapisan perut sebelah dalam
dikenal sebagai peritoneum komplikasi ini terjadi akibat
pecahnya kantung empedu yang mengalami peradangan parah.
Komplikasi ini umumnya dapat ditangani dengan antibiotik dan
prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography
(ERCP). Gejala pada infeksi adalah sakit di perut bagian atas
yang menjalar ke tulang belikat, sakit kuning, demam tinggi dan
linglung.
5) Kolangitis
Kolangitis merupakan komplikasi dari batu saluran empedu
kolangitis akut adalah infeksi bakteri asenden disertai dengan
obstruksi duktus bilier. Gejala yang ditemukan adalah demam,
nyeri, epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas dan ikterik yang
disebut trias charcot
2.3.6 Penatalaksanaan
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2013) penatalaksanaan pada kolelitiasis
meliputi:
a. Penanganan Non bedah
1) Disolusi Medis
Oral dissolution therapy adalah cara
penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral.
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria
terapi non operatif diantaranya batu kolesterol
diameternya <20 mm dan batu <4 batu, fungsi kandung
empedu baik, dan duktus sistik paten.
2) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography)

31
Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan
basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang
sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat
keluar bersama tinja. Untuk batu besar, batu yang terjepit
di saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran
empedu yang sempit diperlukan prosedur endoskopik
tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu
dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
3) ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah
pemecahan batu dengan gelombang suara.
b. Penanganan bedah
1) Kolesistektomi laparoskopik
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut,
atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter
lebih dari 2 cm. kelebihan yang diperoleh klien luka
operasi kecil (2- 10mm) sehingga nyeri pasca bedah
minimal.
2) Kolesistektomi laparatomi/terbuka
Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan
cara mengangkat kandung empedu dan salurannya dengan
cara membuka dinding perut (Sahputra, 2016). Operasi ini
merupakan standar terbaik untuk penanganan klien
dengan kolelitiasis simtomatik.

2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien penyakit batu
empedu antara lain:
1) Radiologi

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral


sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada

32
penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadan distensi. Penggunaan ultrasound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.

2) Kolesistografi

Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila


hasil USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk
mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung
empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak
digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat
menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang
mengalami obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).

3) Sonogram

Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah


dinding kandung empedu telah menebal. (Williams 2003)

4) ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara


langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi.
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang
fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan
keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).

33
5) Pemeriksaan Laboratorium
a. Kenaikan serum kolesterol
b. Kenaikan fosfolipid
c. Penurunan ester kolesterol
d. Kenaikan protrombin serum time
e. Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4
mg/dl)
f. Penurunan urobilirubin
g. Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal :
5000 - 10.000/iu)
h. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau
bila ada batu di duktus utama (Normal: 17 - 115
unit/100ml)

34
2.3.8 WOC Kolelitiasis

Gambar 2.13 WOC Kolelitiasis

35
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Apendisitis
3.1.1 Laporan Kasus
Seorang pasien dengan inisial Ny. N berusia 39 tahun dirawat di rumah sakit
pada tanggal 26 Mei 2021 dan dilakukan pengkajian pada tanggal 27 Mei
2021 dengan diagnosa medis Post-op Appendictomi (Appendicitis). Status
perkawinan Ny. S menikah, agama islam, pendidikan terakhir SMP, alamat
rumah Kariangau, perum griya kariangau baru RT 12, nomor registrasi 00 XX
XX. Ny. N mengeluh nyeri perut kanan bawah dan mual muntah. Klien
mengatakan nyeri sudah dirasakan kurang lebih 4 bulan namun dibiarkan
karena disangka hanya sakit perut maag, namun 2 hari yang lalu dirasakan
nyeri yang lebih hebat dari biasanya di bagian perut kanan bawah demam dan
disertai mual dan muntah yang lumayan banyak, sebelumnya pada pagi hari
sudah dibawa ke IGD disini namun pulang lagi saat siang karena sudah dirasa
membaik, namun sehabis maghrib dirasakan nyeri memberat dan dibawa lagi
ke IGD RS kanudjoso dan dirawat untuk direncanakan operasi oleh dokter.
Pasien mengatakan tidak ada penyakit sebelumnya. Klien mengatakan
keluarga tidak ada yang memiliki penyakit bawaan atau kelainan. Klien dapat
berkomunikasi dengan perawat maupun orang lain sangat baik dan lancar
serta menjawab pertanyaan yang diajukan oleh perawat. Orang yang paling
dekat dengan klien adalah suaminya. Ekspresi klien terhadap penyakitnya
yaitu tidak ada masalah. Klien mengatakan interaksi dengan orang lain baik
dan tidak ada masalah. Reaksi saat interaksi dengan klien kooperatif dan tidak
ada gangguan konsep diri. Saat di rumah klien memiliki kebiasaan mandi
sebanyak 2 kali sehari, sikat gigi sebanyak 2 kali sehari dan keramas 3 kali
seminggu, memotong kuku seminggu sekali. Klien mengatakan dirumah
hanya melakukan kegiatan mengurus rumah dan tidak ada bekerja berat,
namun semasa masih sekolah dulu sering mengkonsumsi mie instan. Selama
di rumah sakit saat pengkajian klien mengatakan belum ada membersihkan
diri namun sudah mengganti baju dikarenakan baru saja selesai operasi.
Sebelum sakit, klien sering untuk beribadah selama sakit klien tidak
beribadah.

36
Hasil pemeriksaan didapatkan keadaan umum sedang, tampak terpasang
infus RL di tangan sebelah kiri, Compos Mentis, GCS : E4 M6 V5, TD :
120/78 mmHg Nadi : 78x/menit Suhu : 37oC RR : 20x/menit. Klien
mengatakan nyeri di bagian bekas luka operasi di perut kanan bawah dengan
skala 7, seperti ditusuk, hilang timbul, memberat saat dibawa banyak
bergerak. Klien tampak meringis. Serta mual muntah yang sangat sering
(terhitung saat pengkajian saja muntah sebanyak 7x).
Status Fungsional/ Aktivitas dan Mobilisasi Barthel Indeks Nilai skor :
10 Kategori ketergantungan : sedang. Bentuk kepala klien oval, tidak
ditemukan adanya penonjolan pada tulang kepala Klien, fingerprint di tengah
frontal terhidrasi, kulit kepala bersih, tidak mempunyai rambut. Mata lengkap
dan simetris kanan dan kiri, tidak ada pembengkakan pada kelopak mata,
sclera putih, konjungtiva anemia, palpebra tidak ada edema, kornea jernih,
reflek +, pupil isokor. Tidak ada pernafasan cuping hidung, posisi septum nasi
di tengah, tidak ada secret atau sumbatan pada lubang hidung, ketajaman
penciuman normal, dan tidak ada kelainan. Bibir berwarna merah muda, lidah
berwarna merah muda, mukosa lembab, tonsil tidak membesar. Telinga
simetris kanan dan kiri, ukuran sedang, kanalis telinga bersih kanan dan kiri,
tidak ada benda asing dan bersih pada lubang telinga, Tidak ada lesi jaringan
parut, tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, Tidak teraba adanya massa di
area leher, tidak ada teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada teraba
pembesaran kelenjar limfe. Tidak ada sesak, tidak ada batuk. Bentuk dada
simetris, frekuensi 20x/menit, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada
otot bantu nafas. Vocal fremitus teraba sama kanan dan kiri saat Klien
mengucap tujuh tujuh. Tidak ada alat bantu nafas. Tidak terdapat krepitasi.
Batas paru hepar normal ICS ke 4 suara perkusi sonor Suara nafas vesikuler,
suara ucapan jelas, tidak ada suara nafas tambahan. Tidak ada nyeri dada,
CRT kurang lebih 2 detik, ujung jari tidak tabuh. Ictus cordis tidak tampak,
ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicular kiri. Bunyi jantung I
terdengar lup dan bunyi jantung II terdengar dup. Tidak ada bunyi jantung
tambahan BB : 65 kg TB : 158 cm IMT : 21 (kategori : normal), saat di
rumah, pasien BAB 1x sehari, nafsu makan baik dengan frekuensi 3x sehari,
porsi makan habis. Saat dilakukan pengkajian di rumah sakit pasien belum
ada BAB dan belum diizinkan untuk makan. Bentuk abdomen datar, tidak ada

37
benjolan/masa, tidak ada bayangan vena, peristaltic usus 14x /menit palpasi
abdomen teraba lunak, tidak ada pembesaran hepar, tidak terdapat nyeri lepas
pada Mc.Berney, suara abdomen tympani, tidak ada asites, terdapat luka
operasi post appendiktomi di perut kanan bawah dengan panjang kurang lebih
6 cm tertutup kasa dan hypafix. Status memori panjang, perhatian dapat
mengulang, bahasa baik, dapat berorientasi pada orang, tempat dan waktu,
tidak ada keluhan pusing, istirahat tidur 6- 7jam/hari. Pada pemeriksaan saraf
kranial, nervus I Klien dapat membedakan bau, nervus II Klien dapat melihat
dan membaca tanpa memakai kacamata, nervus III Klien dapat
menggerakkan bola mata kebawah dan kesamping, nervus IV pupil mengecil
saat dirangsang cahaya, nervus V Klien dapat merasakan sensasi halus dan
tajam, nervus VI Klien mampu melihat benda tanpa menoleh, nervus VII
Klien bisa senyum dan menutup kelopak mata dengan tahanan, nervus VIII
Klien dapat mendengar gesekan jari, nervus IX uvula berada ditengah dan
simetris, nervus X Klien dapat menelan, nervus XI Klien bisa melawan
tahanan pada pipi dan bahu, dan nervus XII Klien dapat menggerakkan lidah.
Pada pemeriksaan refleks fisiologis ditemukan adanya gerakan fleksi pada
tangan kanan dan tangan kiri saat dilakukan pemeriksaan refleks bisep dan
ditemukan adanya gerakan ekstensi saat dilakukan pemeriksaan refleks trisep.
Pada pemeriksaan refleks patella ditemukan adanya gerakan tungkai ke depan
pada kaki kanan dan kaki kiri. Pada pemeriksaan refleks patologis berupa
refleks babinski ditemukan adanya gerakan fleksi pada jari – jari. Bersih,
oliguria berkemih. Produksi urine ± 1 liter/hari, warna kuning jernih dan bau
khas. Pergerakan sendi bebas, otot simetris kanan dan kiri. Pada pemeriksaan
tangan kanan, tangan kiri dan kaki kanan, kaki kiri didapatkan kekuatan otot
5 Penilaian edema tidak ada edema ekstremitas dan tidak ada pitting edema.
Tidak terdapat peradangan dan ruam pada kulit. Total nilai pada penilaian
risiko decubitus adalah 21 (kategori : low risk) Tidak ada pembesaran pada
kelenjar tiroid, tidak terdapat pembesaran pada kelenjar getah bening bagian
leher. Tidak terdapat hipoglikemia dan hiperglikemia. Tidak terdapat riwayat
luka sebelumnya dan tidak terdapat riwayat amputasi sebelumnya tidak ada
benjolan pada payudara, tidak ada kelainan pada genetalia.

38
Pemeriksaan Penunjang
Tabel 3.1 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis

Jenis Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Pemeriksaan

Laboratorium Antigen (Negatif) Hematologi 13.1 g/dL (13.0 – 18.0)


Lengkap Hemoglobin
Leukosit 13.25 10^3/uL (4.00 - 10.00)
Eritrosit 4.72 10^6/uL (4.50 – 6.20)
Hematokrit 39 % (40.0 – 54.0)
Trombosit 369 10^3/uL (150 - 450)

USG Kesan : Appendisitis Akut.

Terapi
1. Pada tanggal 27 Juni 2021
- Metronidazole 2x1 100 ml 16 Tpm (IV line/infus)
- Ketorolac 3x30 mg (IV)
- Metoklopramid 2x1ml (IV)
2. Pada tanggal 28 Juni 2021
- Sulcrafat syr 3x5 ml (oral)

3.1.2 Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas pasien
Nama : Ny N
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan :-
Suku/Bangsa :-
Alamat : Kariangau, perum griya kariangau baru RT 12
Tanggal MRS : 26 Mei 2021
Tanggal pengkajian : 27 Mei 2021

39
2. Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah dan mual muntah.
3. Riwayat Penyakit :
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri sudah dirasakan kurang lebih 4 bulan namun dibiarkan
karena disangka hanya sakit perut maag, namun 2 hari yang lalu
dirasakan nyeri yang lebih hebat dari biasanya di bagian perut
kanan bawah demam dan disertai mual dan muntah yang lumayan
banyak.
b. Riwayat Penyakit Dulu
Pasien mengatakan tidak ada penyakit sebelumnya.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan keluarga tidak ada yang memiliki penyakit
bawaan atau kelainan.
4. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Semasa masih sekolah dulu sering mengkonsumsi mie instan.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-Tanda Vital
S: 37 C N: 78 x/menit TD: 120/78 mmHg RR: 20 x/menit
Kesadaran: Compos mentis GCS: E4 M6 V5
b. Sistem Pernapasan
1. RR: 20 x/menit
2. Keluhan:
a. Batuk : Tidak ada
b. Sekret : Tidak ditemukan sekret atau sumbatan pada
lubang hidung
c. Penggunaan otot bantu napas : Tidak ditemukan
penggunaan otot bantu napas
d. PCH: ( ) Ya (✔)Tidak
e. Irama napas: Teratur (✔ ) Tidak Teratur ( )
f. Pola napas: Teratur
g. Suara napas: Vesikuler
h. Alat bantu napas: ( ) Ya (✔ ) Tidak
c. Sistem Kardiovaskuler

40
1. TD : 120/78 mmHg
2. N : 78 x/menit
3. HR : 78 x/menit
4. Keluhan nyeri dada : ( ) Ya (✔ ) Tidak
5. Suara jantung : normal
6. Ictus Cordis: teraba pada ICS V linea midclavicular kiri
7. CRT: <2 detik
d. Sistem Persyarafan
1. S: 37 C
2. GCS: E4 M6 V5
3. Reflek fisiologis: ( ✔) patella ( ✔) triceps ( ✔) biceps
4. Reflek patologis: (✔ ) babinsky ( ) brudzinsky ( ) kernig
5. Keluhan pusing: ( ) Ya ( ✔) Tidak
6. Pemeriksaan saraf kranial
a. N1 : Klien dapat membedakan bau
b. N2 : Klien dapat melihat dan membaca tanpa
memakai
kacamata
c. N3 : Klien dapat menggerakkan bola mata
kebawah dan
kesamping
d. N4 : Pupil mengecil saat dirangsang cahaya
e. N5 : Klien dapat merasakan sensasi halus dan
tajam
f. N6 : Klien mampu melihat benda tanpa menoleh
g. N7 : Klien bisa senyum dan menutup kelopak
mata
dengan tahanan
h. N8 : Klien dapat mendengar gesekan jari
i. N9 : uvula berada ditengah dan simetris
j. N10 : Klien dapat menelan
k. N11 : Klien bisa melawan tahanan pada pipi dan
bahu
l. N12 : Klien dapat menggerakkan lidah

41
7. Pupil : ( ) anisokor ( √ ) isokor
8. Sclera : (√ ) anikterus ( ) ikterus
9. Conjunctiva : ( ) ananemis ( √ ) anemis
10. Istirahat/Tidur : 6-7 jam/hari
11. Lain-lain : Status memori panjang, perhatian dapat
mengulang, bahasa baik, dapat
berorientasi pada orang, tempat dan
waktu.
e. Sistem Perkemihan
1. Kebersihan genetalia ( √ ) bersih ( ) kotor
2. Produksi urine: 1 liter/hari
Warna: kuning jernih
Bau: khas
f. Sistem Pencernaan
1. TB: 158 cm BB : 65 Kg
2. IMT: 21 kg/m2
3. Mulut: (√) bersih ( ) kotor ( ) berbau
4. Membran mukosa: (√) lembab ( ) kering ( ) stomatitis
5. Tenggorokan: Tidak ada keluhan
( ) Sakit menelan ( ) Kesulitan menelan
( ) Pembesaran tonsil ( ) Nyeri tekan
6. Abdomen : ( ) Tegang ( ) Kembung (
)Ascites
7. Nyeri tekan : ( √ ) ya ( ) tidak
8. BAB : 1x sehari saat di rumah, belum BAB saat
dilakukan pengkajian
9. Konsistensi : ( ) keras ( ) lunak ( ) cair ( ) lendir/darah
10. Nafsu makan : (√) baik ( ) menurun Frekuensi : 3x sehari
11. Porsi makan : (√) habis () tidak
12. Lain-lain:
a. P : Saat banyak bergerak
Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk
R : Terpusat pada bekas luka operasi
S:7

42
T : Hilang timbul Serta mual muntah yang sangat
sering (terhitung saat pengkajian saja muntah
sebanyak 7x)
b. Terdapat luka operasi post apendiktomi di perut
kaanan bawah dengan panjang 6cm tertutup kasa
dan hypafix
g. Sistem Pengelihatan
Mata lengkap dan simetris kanan dan kiri, tidak ada
pembengkakan pada kelopak mata, sclera putih, konjungtiva
anemia, palpebra tidak ada edema, kornea jernih, reflek +, pupil
isokor.
h. Sistem Pendengaran
Telinga simetris kanan dan kiri, ukuran sedang, kanalis telinga
bersih kanan dan kiri, tidak ada benda asing dan bersih pada
lubang telinga
i. Sistem Musculoskeletal
1. Pergerakan sendi: (√) Bebas ( ) Terbatas
2. Kekuatan otot:

3. Kelainan ekstremitas: ( ) ya (√) tidak


4. Kelainan tulang belakang: ( ) ya (√) tidak
5. Frankel: tidak ada
6. Fraktur: ( ) ya (√) tidak
Jenis: Tidak ada
7. Traksi: Tidak ada
Jenis: -
Beban: -
Lama: -
j. Sistem Integumen
1. Pitting edema: tidak ditemukan pitting edema
2. Ruam pada kulit: tidak terdapat ruam pada kulit.
3. Jaringan parut: tidak ada lesi jaringan parut

43
4. Peradangan kulit : tidak terdapat peradangan
5. Total nilai pada penilaian risiko decubitus adalah 21
(kategori : low risk)
k. Sistem Endokrin
1. Pembesaran tiroid : ( ) Ya ( √ ) Tidak
2. Pembesaran kelenjar getah bening : ( ) Ya ( √ ) Tidak
3. Hipoglikemia : ( ) Ya ( √ ) Tidak
4. Riwayat DM : tidak ada riwayat luka
5. Riwayat amputasi sebelumnya ( ) Ya ( √ ) Tidak
6. Pengkajian Psikososial
Klien dapat berkomunikasi dengan perawat maupun orang lain sangat
baik dan lancar serta menjawab pertanyaan yang diajukan oleh perawat.
Orang yang paling dekat dengan klien adalah suaminya. Ekspresi klien
terhadap penyakitnya yaitu tidak ada masalah. Klien mengatakan
interaksi dengan orang lain baik dan tidak ada masalah. Reaksi saat
interaksi dengan klien kooperatif dan tidak ada gangguan konsep diri.
7. Personal Hygiene & Kebiasaan
Saat di rumah klien memiliki kebiasaan mandi sebanyak 2 kali sehari,
sikat gigi sebanyak 2 kali sehari dan keramas 3 kali seminggu,
memotong kuku seminggu sekali. Selama di rumah sakit saat pengkajian
klien mengatakan belum ada membersihkan diri namun sudah mengganti
baju dikarenakan baru saja selesai operasi.
8. Pengkajian Spiritual
Sebelum sakit, klien sering untuk beribadah selama sakit klien tidak
beribadah.
9. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 3.1 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis

Jenis Hasil Pemeriksaan Nilai Normal


Pemeriksaan

Laboratorium Antigen (Negatif) Hematologi 13.1 g/dL (13.0 – 18.0)


Lengkap Hemoglobin

44
Leukosit 13.25 10^3/uL (4.00 - 10.00)
Eritrosit 4.72 10^6/uL (4.50 – 6.20)
Hematokrit 39 % (40.0 – 54.0)
Trombosit 369 10^3/uL (150 - 450)

USG Kesan : Appendisitis Akut.

10. Terapi

Tabel 3.2 Terapi

Tanggal Terapi

27 Juni 2021 1. Metronidazole 2x1 100 ml 16 Tpm (IV line/infus)


2. Ketorolac 3x30 mg (IV)
3. Metoklopramid 2x1ml (IV)

28 Juni 2021 Sulcrafat syr 3x5 ml (oral)

B. Analisis Data

Tabel 3.3 Analisis Data Apendisitis

Tanggal Data Etiologi Masalah


Keperawatan

27 Mei 2021 DS: Appendisitis Nyeri Akut


1. Klien mengatakan nyeri ↓ D.0077
di bagian bekas luka Pembedahan
operasi di perut kanan ↓
bawah. Terjadi luka insisi
2. Klien mengatakan nyeri abdomen
seperti ditusuk-tusuk ↓
3. Klien mengatakan nyeri Klien mengeluh

45
hilang timbul nyeri pada luka
4. Klien mengatakan nyeri bekas operasi
semakin memberat jika dengan skala 7
dibawa banyak bergerak ↓
Nyeri akut
DO: (D.0077)
1. Klien tampak meringis

27 Mei 2021 DS: Appendisitis Risiko Defisit


1. Klien mengatakan mual ↓ Nutrisi
2. Klien mengatakan Pembedahan (D.0032)
belum diizinkan untuk ↓
makan Membatasi makan

DO: Klien belum
1. Klien muntah sebanyak diizinkan makan
7x selama pengkajian ↓
Mual dan muntah

Risiko Defisit
Nutrisi
(D.0032)

C. Diagnosa Keperawatan
TANGGAL: 27 Mei 2021
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d klien mengatakan nyeri di
bagian bekas luka operasi di perut kanan bawah dengan skala 7 seperti
ditusuk-tusuk, hilang timbul, dan semakin memberat jika dibawa banyak
bergerak, dan klien tampak meringis
2. Risiko defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan (mual dan
muntah

46
D. Intervensi Keperawatan
Tabel 3.4 Intervensi Kasus Apendisitis

HARI/ DIAGNOSA KEPERAWATAN


WAKTU INTERVENSI RASIONAL
TANGGAL & TTD (Tujuan, Kriteria Hasil)

27 Mei 2021 Nyeri Akut (D.0077) b.d agen Manajemen Nyeri (I.08238) Observasi
08.00 WIB pencedera fisik d.d klien mengatakan Observasi 1. Untuk memahami
nyeri di bagian bekas luka operasi di 1. Identifikasi skala nyeri tingkat keparahan
perut kanan bawah dengan skala 7 a. skala nyeri 7, dan pasien nyeri pasien dan
seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul, dan tampak meringis saat memberikan
semakin memberat jika dibawa banyak disentuh. pengobatan yang
08.15 WIB bergerak, dan klien tampak meringis. 2. Identifikasi faktor yang sesuai.
memperberat dan memperingan 2. membantu mengelola
Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri nyeri pasien dengan
selama 3x24. Jam, maka diharapkan a. Faktor memperberat nyeri: lebih efektif dengan
Tingkat Nyeri (L.08066) Menurun gerakan yang berlebihan menghindari atau
dengan kriteria hasil: setelah operasi mengurangi
1. Keluhan nyeri menurun b. faktor memperingan nyeri: faktor-faktor pemicu
2. Meringis menurun istirahat yang cukup 3. meningkatkan
08.17 WIB 3. Sikap protektif menurun 3. Identifikasi pengetahuan dan pemahaman klien

47
4. Gelisah menurun keyakinan tentang nyeri tentang kondisi dan
a. Pengetahuan tentang mengurangi
prosedur operasi dan kecemasan serta
perawatan pasca operasi ketidakpastian.
08.20 WIB 4. Identifikasi pengaruh nyeri pada 4. membantu dalam
kualitas hidup menyusun rencana
a. mengganggu aktivitas perawatan yang
sehari-hari, tidur, dan holistik
kenyamanan umum.

Terapeutik Terapeutik
08.30 WIB 1. Berikan Teknik non 1. Guna memberikan
farmakologis untuk mengurangi persepsi dan rasa
nyeri (mis: TENS, hypnosis, nyaman dalam
akupresur, terapi music, meminimalisir rasa
biofeedback, terapi pijat, nyeri
aromaterapi, Teknik imajinasi 2. Lingkungan yang
terbimbing, kompres tenang juga dapat
hangat/dingin, terapi bermain) membantu
a. Teknik Imajinasi menurunkan tingkat
Terbimbing: Membimbing stres dan kecemasan,

48
pasien untuk membayangkan yang dapat
dirinya berada di tempat mempengaruhi
favoritnya yang membuatnya kualitas tidur dan
merasa tenang dan nyaman. istirahat pasien secara
13.00 WIB 2. Fasilitasi istirahat dan tidur keseluruhan.
a. Pembatasan gangguan
lingkungan

Edukasi Edukasi
09.05 WIB 1. Jelaskan penyebab, periode, dan 1. Menghindari faktor
pemicu nyeri yang memperburuk
a. Penyebab nyeri: proses nyeri, serta
penyembuhan pasca operasi mempersiapkan
b. Nyeri pasca operasi dapat mereka untuk
terjadi segera setelah mengatasi nyeri
operasi dan berlanjut dengan lebih baik.
selama beberapa hari atau 2. Membantu
minggu setelahnya. meningkatkan kontrol
c. Pemicu nyeri: aktivitas fisik diri dan perasaan
berlebihan, stres, kemandirian
kecemasan, atau 3. Mengurangi

49
ketegangan emosional juga kemungkinan
dapat mempengaruhi penyalahgunaan
persepsi nyeri analgesik atau
09.15 WIB 2. Jelaskan strategi meredakan penggunaan yang
nyeri tidak tepat.
a. Edukasi Pasien:
Memberikan edukasi
kepada pasien tentang
pengelolaan nyeri
09.18 WIB 3. Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
a. membantu pasien
memahami manfaat, risiko,
dan efek samping obat yang
mereka konsumsi

09.30 WIB Kolaborasi Kolaborasi


1. Kolaborasi pemberian 1. Untuk meminimalkan
analgetik, jika perlu risiko efek samping
a. opioid seperti morfin atau dan komplikasi, dan
oksikodon mungkin perlu meningkatkan

50
dipertimbangkan untuk efektivitas
mengendalikan nyeri yang pengelolaan nyeri
parah. secara keseluruhan.

27 Mei 2021 Risiko Defisit Nutrisi (D.0032) b.d Manajemen Nutrisi (I.03119)
ketidakmampuan menelan makanan Observasi Observasi
08.15 WIB (mual dan muntah 1. Identifikasi status nutrisi 1. Untuk mengevaluasi
a. merencanakan intervensi apakah pasien
Setelah dilakukan tindakan keperawatan nutrisi yang sesuai memperoleh nutrisi
08.30 WIB selama 3x24. Jam, maka diharapkan 2. Identifikasi makanan yang yang cukup untuk
Keseimbangan Elektrolit (L.03021) disukai mendukung proses
Meningkat dengan kriteria hasil: a. memastikan pasien penyembuhan pasca
1. Porsi makanan yang dihabiskan mengonsumsi asupan operasi.
membaik makanan mendukung 2. Membantu
08,45 WIB 2. Nafsu makan membaik proses penyembuhan memastikan bahwa
3. Serum albumin membaik 3. Monitor asupan makanan makanan yang
4. Nyeri abdomen membaik a. mengevaluasi kecukupan disajikan sesuai
asupan kalori, protein, dengan preferensi

51
vitamin, dan mineral pasien. Makanan
yang disukai
cenderung lebih
diminati dan dapat
meningkatkan nafsu
makan pasien.
3. Membantu menilai
seberapa baik pasien
menerima nutrisi
yang diperlukan
untuk pemulihan.

Terapeutik Terapeutik
15.00 WIB 1. Lakukan oral hygiene sebelum 1. Pasien dapat merasa
makan, jika perlu lebih nyaman dan
a. Klien mau untuk menjaga lebih mungkin untuk
kebersihan mulut dan gigi mengonsumsi
pasien makanan dengan
baik,
15.55 WIB 2. Berikan makanan tinggi serat 2. Untuk memastikan
untuk mencegah konstipasi kenyamanan pasien

52
a. Klien mau makan dan mencegah
makanan tinggi serat, komplikasi seperti
seperti buah-buahan, obstruksi usus pasca
sayuran, dan biji-bijian, operasi.

Edukasi Edukasi
14.55 WIB 1. Kolaborasi pemberian 1. Membantu
medikasi sebelum makan meningkatkan
(mis: Pereda nyeri, kenyamanan pasien
antiemetik), jika perlu saat makan dan
a. analgesik untuk meningkatkan asupan
meredakan nyeri atau makanan.
antiemetik untuk
mencegah mual

53
3.2 Kolelitiasis
3.2.1 Laporan Kasus
Pasien dengan inisial Ny. S berusia 43 tahun datang ke Instalasi Gawat
darurat (IGD) RSUD Kabupaten Karanganyar pada tanggal 8 November 2021
pukul 17.00 dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan atas sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut dirasakan mendadak dan hilang
timbul. Akibat dari nyeri tersebut, pasien mengaku gelisah dan sulit tidur.
Pasien juga mengeluhkan badan yang terlihat kuning dan pusing. Keluhan
tidak disertai dengan adanya demam dan keringat dingin. Pasien mengatakan
BAK dan BAB dalam batas normal. Tidak ada penurunan nafsu makan.
Keluhan serupa diakui pasien kurang lebih 10 tahun yang lalu, pasien dirawat
di RS PKU Karanganyar dan didiagnosis terdapat batu pada kantung
empedunya. Pasien juga mondok di RS Karima Utama 3 bulan sebelumnya
untuk operasi kaki kanan post kecelakaan. Pasien mengatakan bahwa
pendidikan terakhirnya ialah SMA dan beragama Islam. Riwayat penyakit
dahulu seperti hipertensi disangkal, diabetes mellitus disangkal, penyakit
jantung disangkal, penyakit ginjal disangkal, asma disangkal dan alergi obat
disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal, hipertensi
diakui (ibu pasien), diabetes mellitus disangkal, penyakit jantung disangkal,
penyakit ginjal disangkal, asma disangkal dan alergi obat disangkal. Riwayat
kebiasaan dan pola hidup pasien mengatakan makan dan minum tidak
pilih-pilih, sering mengonsumsi sayur dan buah. Pasien sehari-hari sebagai
ibu rumah tangga dan jarang untuk berolahraga. Kebiasaan seperti merokok
disangkal, minum alkohol disangkal, makan junk food disangkal dan
konsumsi jamu disangkal. Dari tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum

pasien dalam keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis GCS
E4V5M6, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x per menit, laju pernafasan
20x per menit, suhu 36,0°C, dan SpO2 98% tanpa O2 nasal kanul. Berat
badan 53 kg, tinggi badan 155 cm, BMI 22,06 kg/m2 . Pada pemeriksaan fisik
head to toe, didapatkan hasil yaitu: pada pemeriksaan kepala normocephal,
simetris, tidak ada deformitas, mata konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik
kanan kiri dan pupil bulat isokor, telinga tidak didapatkan deformitas, hidung
tidak didapatkan nafas cuping, mulut tidak didapatkan bibir sianosis, leher

54
didapatkan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada peningkatan JVP. Kulit turgor dalam
batas normal dan terdapat ikterik. Pemeriksaan thoraks dari inspeksi bentuk
dada normal, gerak dan pengembangan dada kanan sama dengan kiri simetris,
retraksi (-/-), iktus cordis tidak tampak, palpasi fremitus dada kanan sama
dengan kiri, iktus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra, perkusi
sonor pada lapang paru dan redup pada jantung, tidak ada pelebaran batas
jantung, auskultasi pada paru suara dasar vesikuler (+/+), tidak didapatkan
adanya bunyi napas ronkhi maupun wheezing. Bunyi jantung III reguler, dan
tidak didapatkan suara tambahan. Dari pemeriksaan abdomen, pada inspeksi
tampak perut datar, tidak ada luka dan sikatrik, auskultasi bising usus normal,
palpasi didapatkan tidak ada pembesaran organ dan terdapat nyeri tekan regio
hipokondriac dextra dan klien tampak meringis, turgor kembali cepat, perkusi
abdomen didapatkan timpani (+). Dari pemeriksaan ekstremitas didapatkan
akral hangat, tidak didapatkan edema pada ekstremitas, dan CRT <2 detik.
Pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin dan kimia darah yang
dilakukan pada tanggal 8 November 2021.
3.2.2 Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas pasien
Nama : Ny S
Usia : 43 tahun
Agama : Islam 43
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku/Bangsa : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Tanggal MRS : 8 November 2021
Tanggal pengkajian : 8 November 2021
Diagnosa masuk : Cholelithiasis disertai cholesystitis akut
2. Keluhan Utama
Keluhan nyeri perut sebelah kanan atas sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri perut dirasakan mendadak dan hilang timbul
3. Riwayat Penyakit

55
a. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan nyeri perut sebelah kanan atas sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri perut dirasakan mendadak dan hilang timbul.
Pasien juga mengeluhkan badan yang terlihat kuning dan pusing.
Keluhan tidak disertai dengan adanya demam dan keringat dingin.
Keluhan serupa diakui pasien kurang lebih 10 tahun yang lalu.
b. Riwayat penyakit terdahulu
Pasien pernah mondok di RS Karima Utama 3 bulan sebelumnya
untuk operasi kaki kanan post kecelakaan. Pasien juga pernah
dirawat kurang lebih 10 tahun yang lalu di RS PKU Karanganyar
dan didiagnosis terdapat batu pada kantung empedunya.
c. Riwayat alergi
Tidak ada
d. Riwayat kesehatan keluarga
Ibu pasien menderita penyakit hipertensi
4. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Riwayat kebiasaan dan pola hidup pasien mengatakan makan dan minum
tidak pilih-pilih, sering mengonsumsi sayur dan buah.
5. Riwayat psikososial
Pasien tampak gelisah dan sulit tidur. Pasien juga mengeluhkan badan
yang terlihat kuning dan pusing
6. Riwayat spiritual
Pasien mengatakan bahwa pasien beragama Islam
7. Aktivitas sehari-hari
Pasien sehari-hari sebagai ibu rumah tangga dan jarang untuk
berolahraga.
8. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital
S : 36,0°C N : 80x per menit TD : 110/70 mmHg

RR : 20 x/menit Kesadaran : compos mentis GCS 4-5-6


CRT : <2 detik SpO2: 98% BB : 53 kg
TB : 155 cm BMI : 22,06 kg/m2
b. Sistem Pernapasan

56
a) RR : 20x/menit
b) Keluhan : Tidak ada
c) Batuk: Tidak ada
Sekret: - Konsistensi: -
Warna: - Bau: -
d) Penggunaan otot bantu napas : Tidak ada
e) PCH : ( ) Ya (√) Tidak
f) Irama napas : (√) teratur ( ) tidak teratur
g) Friction rub : ( ) Ya (√) Tidak
h) Pola napas : ( ) dispnea ( ) kusmaul
( ) cheyne stokes ( ) biot
i) Suara napas: Vesikuler
j) Alat bantu napas: ( ) Ya (√) Tidak
k) Tracheostomy: ( ) Ya (√) Tidak
l) Lain-lain:
c. Sistem Kardiovaskuler
a) TD: 110/70 mmHg
b) N: 80x/menit
c) Keluhan nyeri dada : ( ) Ya (√) Tidak
d) Irama jantung: (√) Reguler ( ) Ireguler
e) Suara jantung: (√) Normal (S1/S2 tunggal) ( )
Murmur
( ) Gallop ( ) lain-lain
f) Akral : Hangat
g) Lain-lain:
d. Sistem Persyarafan
a) S: 36,0°C
b) GCS : 15 (E: 4, V: 5, M: 6)
c) Keluhan pusing: (√) Ya ( ) Tidak
P : Adanya multiple cholelithiasis disertai cholesystitis
Q : Nyeri hilang timbul dan terasa lebih nyeri saat ditekan
R : Hipocondriac dextra
S : 8 (nyeri menyebabkan pasien meringis, gelisah, dan
sulit tidur)

57
T : Nyeri terjadi secara mendadak dan hilang timbul
d) Pupil: ( ) anisokor (√) isokor
e) Sclera: ( ) anikterus (√) ikterus
f) Konjunctiva: (√) ananemis ( ) anemis
g) Lain-lain:
e. Sistem Perkemihan
a) Kebersihan genetalia: (√) Bersih ( ) Kotor
b) Sekret: ( ) Ada (√) Tidak
c) Ulkus: ( ) Ada (√ ) Tidak
d) Kebersihan meatus uretra: (√) Bersih ( ) Kotor
e) Keluhan kencing: (√) Ada ( ) Tidak
f) Kemampuan berkemih:
(√) spontan ( ) alat bantu, sebutkan
g) Produksi urine: normal
Warna : tidak terkaji
Bau : tidak terkaji
h) Kandung kemih:
Tidak terkaji
i) Intake cairan :
oral: Urdafalk 3x1, Proliver 3x, Sucralfat sirup 3xC1
parenteral: Infus futrolit drip biocombine/24 jam, Infus
NaCl/24 jam
j) Lain-lain :
f. Sistem Pencernaan
a) TB: 155 cm BB : 55 Kg
b) IMT: 22,06 kg/m2
c) Mulut: (√) bersih ( ) kotor ( ) berbau
d) Membran mukosa: (√) lembab ( ) kering ( ) stomatitis
e) Tenggorokan: Tidak ada keluhan
( ) Sakit menelan ( ) Kesulitan menelan
( ) Pembesaran tonsil ( ) Nyeri tekan
f) Abdomen : ( ) Tegang ( ) Kembung ( ) Ascites
g) Nyeri tekan: (√) ya ( ) tidak
h) BAB: normal

58
i) Konsistensi: ( ) keras (√) lunak ( ) cair
( ) lendir/darah
j) Nafsu makan: (√) baik () menurun Frekuensi :
3xsehari
k) Porsi makan: (√) habis () tidak
l) Lain-lain:
g. Sistem Penglihatan
Sistem Penglihatan normal
h. Sistem Pendengaran
Sistem Pendengaran normal
i. Sistem Muskuloskeletal
a) Pergerakan sendi: (√) Bebas ( ) Terbatas
b) Kekuatan otot:

c) Kelainan ekstremitas: ( ) ya (√) tidak


d) Kelainan tulang belakang: ( ) ya (√) tidak
Frankel: tidak ada
e) Fraktur: ( ) ya (√) tidak
Jenis: Tidak ada
f) Traksi: Tidak ada
g) Penggunaan spalk/gips: ( ) ya (√) tidak
h) Kulit:
(√) Ikterik ( ) Sianosis ( ) Kemerahan( ) Hiperpigmentasi
i) Turgor (√) Baik ( ) Kurang ( ) Jelek
j. Sistem Integumen
Tidak terkaji
k. Sistem Endokrin
a) Pembesaran tiroid: ( ) ya (√) tidak
b) Pembesaran kelenjar getah bening: ( ) ya (√) tidak
c) Hipoglikemia: ( ) ya (√) tidak
d) Hiperglikemia: ( ) ya (√) tidak

59
9. Pemeriksaan penunjang
Tabel 3.5 Pemeriksaan Penunjang Kolelitiasis

Pemeriksaan Hasil Rujukan

HEMATOLOGI

Hb 15.9 12.3- 15.3

HCT 47.9 35-47

Leukosit 7.16 4.4-11.3

Eritrosit 5.65 4.1-5.1

Trombosit 314 177-393

HITUNG JENIS

Neutrofil 77.5 50.0- 70.0

Limfosit 26.2 25.0- 40.0

Monosit 8.8 3.0-9.0

Eosinofil 3.2 0.5-5.0

Basofil 0.3 0.0-1.0

GDS 120 70-150

Bilirubin Total 8.36 0.20- 1.00

Bilirubin Direk 7.48 0.05-0.3

Bilirubin Indirek 0.88 0.15-0.7

SGOT 93 0-46

SGPT 155 0-42

60
Albumin 3.8 3.5-5.5

Creatinin 0.15 <1.0

Asam Urat 5.3 2.4-5.7

Natrium 130.6 134-151

Kalium 3.9 4.02- 4.82

Clorida 104.1 105-110

HBsAg(Rapid) Non Reaktif Non Reaktif

Rapid antigen COV-2 Negative Negative

Hasil pemeriksaan USG Abdomen menunjukkan adanya multiple


cholelithiasis (ukuran 1,74 cm dan 1,35 cm) disertai cholesystitis akut
yang dilakukan pada tanggal 8 November 2021.

Gambar 2.14 Pemeriksaan USG abdomen

61
10. Terapi
a. Infus futrolit drip biocombine/24 jam
b. Infus NaCl/24 jam
c. Injeksi Aminofusin hepar/24 jam
d. Injeksi Ceftriaxone 2gr/24jam
e. Injeksi Ketorolac/8 jam, injeksi Esomeprazole/12 jam
f. Injeksi Granicetron/8 jam
g. Urdafalk 3x1 (Per oral)
h. Proliver 3x1 (Per oral)
i. Sucralfat sirup 3xC1 (Per oral)

B. Analisis Data
Tabel 3.6 Analisis Data Kolelitiasis

Tanggal Data Etiologi Masalah Keperawatan

8 DS: Kolelitiasis Nyeri Akut (D.0077)


Novembe - Pasien mengeluh nyeri ↓
r 2021 mendadak dan hilang timbul Obstruksi duktus
pada perut sebelah kanan sistikus
atas ↓
Distensi kandung
DO: empedu
- Pasien tampak meringis ↓
- Pasien tampak gelisah Merangsang ujung
- Sulit tidur syaraf

Nelepaskan
mediator
kimia(bradikinin dan
sitokinin)

Saraf aferen

62
Menghasilkan
substansi P di
hipotalamus

Saraf eferen

Nyeri akut
(D.0077)

8 DS: Kolelitiasis Risiko


Novembe - Pasien mengeluhkan ↓ Ketidakseimbangan
r 2021 badan yang terlihat Batu terdorong Elektrolit (D.0037)
kuning dan pusing menuju duktus
DO: sistikus
- Natrium: 130.6 ↓
(Normal: 134-151) Obstruksi duktus
- Kalium: 3.9 (Normal: sistikus
4.02- 4.82) ↓
- Clorida: 104.1 (Normal: Peradangan di
105-110) sekitar hepatobilier

Penyumbatan aliran
empedu dari hati ke
usus

Penumpukan
bilirubin

Badan terlihat
kuning, pusing,
serum elektrolit
menurun

63
Risiko
Ketidakseimbanga
n Elektrolit
(D.0037)

C. DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


TANGGAL: 08 November 2021
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d pasien mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, sulit tidur.
2. Risiko ketidakseimbangan elektrolit d.d disfungsi regulasi endokrin

64
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tabel 3.7 Intervensi Kasus Kolelitiasis

HARI/ DIAGNOSA KEPERAWATAN


WAKTU INTERVENSI RASIONAL
TANGGAL (Tujuan, Kriteria Hasil)

8 November Nyeri Akut (D.0077) b.d agen Manajemen Nyeri (I.08238) Observasi
2021 10.00 WIB pencedera fisiologis d.d pasien Observasi 1. Mengetahui lokasi,
mengeluh nyeri, tampak meringis, 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
bersikap protektif, gelisah, sulit tidur. karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
frekuensi, kualitas, intensitas intensitas nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri 2. Mengetahui skala
selama 3x24. Jam, maka diharapkan 2. Identifikasi skala nyeri nyeri
Tingkat Nyeri (L.08066) Menurun 3. Identifikasi respon nyeri non 3. Mengetahui respon
dengan kriteria hasil: verbal nyeri non verbal
1. Keluhan nyeri menurun 4. Identifikasi faktor yang 4. Memahami faktor
2. Meringis menurun memperberat dan yang memperberat
3. Sikap protektif menurun memperingan nyeri dan memperingan
4. Gelisah menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan nyeri
5. Kesulitan tidur menurun keyakinan tentang nyeri 5. Memahami
6. Identifikasi pengaruh budaya pengetahuan dan

65
terhadap respon nyeri keyakinan tentang
7. Identifikasi pengaruh nyeri nyeri
pada kualitas hidup 6. Mengetahui pengaruh
8. Monitor keberhasilan terapi budaya terhadap
komplementer yang sudah respon nyeri
diberikan 7. Mengetahui pengaruh
9. Monitor efek samping nyeri pada kualitas
penggunaan analgetik hidup
8. Mengetahui
Terapeutik keberhasilan terapi
10.10 WIB 1. Berikan teknik non komplementer yang
farmakologis untuk sudah diberikan
mengurangi rasa nyeri (mis. 9. Mengetahui efek
TENS, hipnosis, akupresure, samping penggunaan
terapi musik, biofeedback, analgetik
terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, Terapeutik
kompres hangat atau dingin, 1. Mengurangi nyeri
terapi bermain) 2. Agar pasien merasa
2. Kontrol lingkungan yang nyaman dan tidak
memperberat rasa nyeri (mis. memperberat nyeri

66
suhu ruangan, pencahayaan, 3. Agar pasien lebih
kebisingan) relax
3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Agar strategi
4. Pertimbangkan jenis dan meredakan nyeri
sumber nyeri dalam pemilihan lebih efektif dan dapt
strategi meredakan nyeri mengurangi nyeri

Edukasi Edukasi
10. 20 1. Jelaskan penyebab periode 1. Agar pasien
WIB dan pemicu nyeri mengetahui penyebab
2. Jelaskan strategi meredakan periode dan pemicu
nyeri nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri 2. Agar pasien mampu
secara mandiri melakukan strategim
4. Anjurkan menggunakan eredakan nyeri
analgetik secara tepat 3. Agar pasien mampu
5. Ajarkan teknik non memonitor nyeri
farmakologis untuk secara mandiri
mengurangi rasa nyeri 4. Agar pasien
memahami
Kolaborasi penggunaan analgesik

67
10.25 WIB 1. Kolaborasi pemberian secara tepat
analgetik, jika perlu 5. Agar pasien mampu
mengurangi rasa
nyeri dengan
manajemen nyeri
nonfarmakologis

Kolaborasi
1. Meredakan nyeri

8 November 10.30 WIB Risiko ketidakseimbangan elektrolit d.d Pemantauan Elektrolit (I.03122) Observasi
2021 disfungsi regulasi endokrin Observasi 1. Mengetahui
1. Identifikasi kemungkinan kemungkinan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan penyebab ketidakseimbangan penyebab
selama 3x24. Jam, maka diharapkan elektrolit ketidakseimbangan
Keseimbangan Elektrolit (L.03021) 2. Monitor kadar elektrolit serum elektrolit
Meningkat dengan kriteria hasil: 3. Monitor kehilangan cairan, 2. Mengetahui kadar
1. Serum natrium meningkat jika perlu elektrolit serum
2. Serum kalium meningkat 4. Monitor tanda dan gejala 3. Mengetahui
3. Serum klo rida meningkat hiponatremia (sakit kepala) kehilangan cairan

68
10.35 WIB Terapeutik 4. Mengetahui tanda dan
1. Atur interval pemantauan gejala hiponatremia
sesuai dengan kondisi pasien (sakit kepala)
2. Dokumentasikan hasil Terapeutik
pemantauan 1. Mempermudah
Edukasi pemantauan dan tidak
10.40 WIB 1. Jelaskan tujuan dan prosedur mengganggu istirahat
pemantauan pasien
2. Informasikan hasil 2. Mengetahui
pemantauan, jika perlu perkembangan pasien
Edukasi
1. Mengurangi
kecemasan pasien dan
keluarga serta
menambah
pengetahuan
2. Agar pasien dan
keluarga mengetahui
hasil pemeriksaan,
memutuskan langkah
pengobatan

69
selanjutnya

70
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem pencernaan merupakan serangkaian organ dalam tubuh yang
berperan penting dalam menerima, mencerna, dan mengubah makanan menjadi zat
sisa melalui saluran pencernaan. Apendisitis dan kolelitiasis merupakan dua kondisi
medis terkait sistem pencernaan yang dapat mempengaruhi fungsi sistem
pencernaan. Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis secara baik secara akut maupun kronis, Apendisitis terjadi karena
adanya obstruksi atau sumbatan pada lumen apendiks. Sedangkan kolelitiasis
merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya batu empedu di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Kolelitiasis
disebabkan oleh supersaturasi empedu di kandung empedu yang mengkristal dan
membentuk batu. Keduanya merupakan masalah kesehatan pada sistem pencernaan
yang membutuhkan perhatian khusus. Dalam hal ini, perawat memegang peranan
penting sebagai pemberi asuhan keperawatan secara komprehensif yang melibatkan
pemantauan gejala, pelaksanaan tindakan medis, dan memberikan informasi terkait
gejala dan komplikasi yang mungkin terjadi pada kedua kondisi tersebut. Melalui
peran ini, perawat dapat berkontribusi secara signifikan dalam mendukung
kesembuhan pasien dan meningkatkan pemahaman terhadap pengelolaan kesehatan
terkait apendisitis dan kolelitiasis.
4.2 Saran
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, diharapkan pembaca dapat
mengetahui konsep anatomi dan fisiologi sistem pencernaan dan konsep apendisitis
dan kolelitiasis serta menjadikan konsep tersebut sebagai dasar untuk menentukan
asuhan keperawatan yang tepat dalam penanganan kedua kondisi medis tersebut.

71
DAFTAR PUSTAKA

Aji, S. P., Arania, R., & Maharyunu, E. (2021). Hubungan usia, jenis kelamin, dan kadar
bilirubin dengan kolelitiasis. Jurnal Wacana Kesehatan, 5(2), 583-587.
Awaluddin. (2020). Faktor Risiko Terjadinya Apendisitis Pada Penderita Apendisitis Di
Rsud Batara Guru Belopa Kabupaten Luwu Tahun 2020 Awaluddin. Jurnal
Kesehatan Luwu Raya, 7(1), 67–72.
Cristie, J. et al (2021). Literature Review : Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Apendisitis Akut. Homeostasis, 4(.), 59–68.
Erianto, M., Fitriyani, N., Siswandi, A., & Sukulima, A. (2020). Perforasi pada
Penderita Apendisitis Di RSUD DR.H.Abdul Moeloek Lampung. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 9(1), 490-496. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.335
Fransisca, C., Gotra, I. M., & Mahastuti, N. M. (2019). Karakteristik pasien dengan
gambaran histopatologi apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015-2017.
Jurnal Medika Udayana, 8(7), 2.
Jamini, T., & Trihandini, B. (2023). Gambaran Karakteristik Penderita Kolelitiasis di
Rumah Sakit Umum Daerah Moh. Ansari Saleh Kalimantan Selatan: Description of
Characteristics of Cholelitiasis Patient in Regional General Hospital Moh. Ansari
Saleh South Kalimantan. Jurnal Surya Medika (JSM), 9(2), 291–295.
https://doi.org/10.33084/jsm.v9i2.5326
Malhotra, K., & Bawa, A. (2020). Routine Histopathological Evaluation After
Appendectomy: Is It Necessary? A Systematic Review. Cureus.
https://doi.org/10.7759/cureus.9830
Nender, I. I., Ali, R. H., & Paat, B. (2019). PROFIL CT-SCAN PASIEN DENGAN
KOLELITIASIS DI BAGIAN RADIOLOGI RSUP PROF. DR. RD KANDOU
MANADO PERIODE AGUSTUS 2015 –AGUSTUS 2016. JKK (Jurnal
Kedokteran Klinik), 3(1), 7-13.
Nurarif, A., & Kusuma, A. (2015). Tanda dan gejala kolelitiasis. Jurnal Kesehatan,
10(2), 75-82.
Patmasari, L., Herizal, H., & Muhammad, S. (2022). Karakteristik Penderita Apendisitis
yang Dioperasi di Divisi Bedah Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode
2019-2020. Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia, 2(4), 286–293.

v
Pratama, Yudi. (2022). Aspek Klinis dan Tatalaksana Apendisitis Akut pada Anak.
Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 2615-3874.
Sahputra. (2016). Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Salemba Medika.
Silaban, I., Butar-butar, H., & Silitonga, H. A. (2020). Literature Review Apendiks Pada
Apendisitis Akut. 13(1).
Simamora, F. A., Siregar, H. R., & Jufri, S. (2021). Gambaran Nyeri Pada Pasien Post
Operasi Apendisitis. Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia (Indonesian Health
Scientific Journal), 6(1), 27-34.
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
Sudibjo, Prijo. (2011). Anatomi Manusia. Yogyakarta: Laboratorium Anatomi FIK
Universitas Yogyakarta. Volume 14, No 1.
Sunarto, et al, (2019). Modul Ajar Anatomi Fisiologi. Surabaya: Prodi Kebidanan
Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Tanto, dkk. (2014). "Komplikasi kolelitiasis: Studi Kasus pada Pasien X." Jurnal
Kedokteran Gastroenterologi, Volume 8(2), Halaman 45-52.
Widiyanto, A., Putri, S. I., Fajriah, A. S., Rejo, R., Nurhayati, I., Yuniarti, T., & Atmojo,
J. T. (2021). The Implementation of Family Nursing Care to Patients with Chronic
Diseases: A Systematic Review. STRADA Jurnal Ilmiah Kesehatan, 10(1),
1225-1233.
Williams. (2003). Sonography in determining gallbladder wall thickening and detecting
stones. Medical Ultrasound Journal, 21(3), 45-56.

vi

Anda mungkin juga menyukai