Anda di halaman 1dari 33

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular”


Kelas: A
Senin, 20 Maret 2017

Disusun oleh:
Kelompok 4

Lendi Etikawati 152110101126


Duan Nautika 152110101133
Disny Prajnawita 152110101132
Adhon Jabbar S. 152110101150
Abdul Basith Q.A 152110101154
Fahmi Mumtaz 152110101157
Alif Resti Billah 152110101160
Eva Nikmatul Laily 152110101162
Irnanda Pratama H. 152110101171
Adhyatma 152110101190

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................i

PRAKATA...................................................................................................................iii

BAB 1. PENDAHULUAN...........................................................................................1

1.1 Latar Belakang....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................2

BAB 2. PEMBAHASAN.............................................................................................3

2.1 Pencegahan Penyakit Menular.............................................................................3

2.2 Penanggulangan Penyakit Menular....................................................................5

2.2.1 Sasaran Langsung pada Sumber Penularan Pejamu.....................................5

2.2.2 Sasaran Ditujukan pada Cara Penularan.......................................................6

2.2.3 Sasaran Ditujukan pada Pejamu Potensial....................................................7

2.3 Surveillans Epidemiologi....................................................................................8

2.4 Pemberantasan Penyakit Menular....................................................................10

2.5 Metode dan Prinsip Control...............................................................................12

BAB 3. PENUTUP.....................................................................................................29

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................29

3.2 Saran..................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................30

ii
PRAKATA

Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas paper inidengan judul “Pencegahandan
Pengendalian Penyakit Menular”. Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Kelas A dalam menempuh pendidikan di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yaitu :
1. Ibu Irma Prasetyowati., S.KM., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis sehingga tersusunlah
paper ini.
2. Rekan-rekan Epidemiologi Penyakit Menular Kelas A Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember yang telah memberikan saran dan kritik dan
masukan yang konstruktif, serta semua pihak yang terlibat dalam proses
pengerjaan paper ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa paper ini belum sempurna, baik dari segi materi
maupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
dalam penyempurnaannya dan semoga paper ini dapat memberikan tambahan
wawasan bagi pembaca.

Jember, 13 Maret 2017

Penulis

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit menular atau penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh sebuah agen biologi seperti virus, bakteri, maupun parasit, bukan disebbakan
karena faktor fisik, seperti luka bakar atau kimia seperti keracunan. Oleh sebab itu,
mengapa penyakit ini disebut penyakit infeksi karena penyakit ini ditularkan
penderita melalui infeksi virus, bakteri maupun parasit yang ditularkan oleh
penderita, penularan penyakit ini dapat ditularkan melalui udara, jarum suntik,
transfusi darah, serta tempat makan atau minum bekas penderita yang masih kurang
bersih saat dicuci, hubungan seksual, dll. Namun bukan berarti penyakit ini tidak bisa
dihindari, pola hidup sehat dan lingkungan dapat mennghindari dari penyakit ini.
Perhatian terhadap penyakit menular dan tidak menular makin hari semakin
meningkat, karena semakin meningkat nya frekuensi kejadiannya pada masyarakat.
Dari tiga penyebab utama kematian (WHO, 1990). Penyakit jantung, diare, dan
stroke, dua di antaranya adalah penyakit menular dan tidak menular. Selama
epidemiologi kebanyakan berkecimpung dalam menangani masalah penyakit
menular, bahkan kebanyakan terasa bahwa epidemiologi hanya menangani masalah
penyakit menular. Karena itu, epidemiologi hampir selalu dikaitkan dan dianggap
epidemiologi penyakit menular dan tidak menular.hal ini tidak dapat disangkal dari
sejarah perkembangan nya epidemiologi berlatar belakang penyakit menular. Sejarah
epidemiologi memang bermula dengan penanganan masalah penyakit menular dan
tidak menular yang merajalela dan banyak menelan korban pada waktu itu.
Perkembangan sosio-ekonomi dan kultural bangsa dan dunia kemudian menurut
epidemiologi untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak menular karena
sudah mulai meningkatkan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

1
1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana tingkatan pencegahan penyakit menular ?


2) Bagaimana penaggulangan penyakit menular ?
3) Apa definisi dan macam surveillans epidemiologi ?
4) Bagaimana mekanisme pemberantasan penyakit menular ?
5) Bagaimana prinsip control dan metode pencegahan penyakit menular ?

1.3 Tujuan Penelitian

1) Untuk Mengetahui tingkatan pencegahan penyakit menular.


2) Untuk Mengetahui penaggulangan penyakit menular.
3) Untuk Mengetahui definisi dan macam surveillans epidemiologi.
4) Untuk Mengetahui mekanisme pemberantasan penyakit menular
5) Untuk Mengetahui prinsip control dan metode pencegahan penyakit menular.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pencegahan Penyakit Menular


Pengertian pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih
dahulu sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah-langkah untuk pencegahan,
haruslah didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis
epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologis.
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat,dan pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi. Ketiga
tingkat pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam pelaksanaanya
sering dijumpai keadaan yang tumpang tindih.

2.1.1 Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)


Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab ,
lingkungan serta pejamu.
a) Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin
dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan
untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit,
penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan
sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan, di samping karantina
dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu
usaha untuk mengurangi/menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan
melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada (biasanya

3
pada binatang yang menderita), serta mengurangi/menghindari perilaku yang
dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
b) Mengatasi/memodifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik
seperti peningkatan air bersih,sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk
pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti
pemberantasan serangga dan binatang pengerat,serta peningkatan lingkungan
sosial seperti kepadatan rumah tangga,hubungan antarindividu dan kehidupan
sosial masyarakat.
c) Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi,status
kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta
berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya,peningkatan status
psikologis,persiapan perkawinan serta usaha mrnghindari pengaruh faktor
keturunan,dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi,
serta olahraga kesehatan.

2.1.2 Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)


Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita
atau dianggap mendderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tuntas).
Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat ke dua ini yang meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah
timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih lanjut serta
mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi.
a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha survaillans
penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu
(calon pegawai, ABRI, mahasiswa dan lain sebagianya), penyaringan
(screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta
pengobatan dan perawatan yang efektif.
b) Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai
berada pada proses prepatogenesis dan patogenesis penyakit tertentu.

4
2.1.3 Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ke tiga adalah penderita penyakit tertentu dengan
tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanen, mencegah
bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitas untuk mencegah terjadinya akibat
samping dari penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha
pengembalian fungsi fisik, psikologi dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi
rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologi serta rehabilitasi sosial.

2.2 Penanggulangan Penyakit Menular


Yang dimaksud dengan penanggulangan penyakit menular (kontrol) adalah
upaya untuk menekan peristiwa penyakit menular dalam masyarakat serendah
mungkin sehingga tidak menjadi gangguan kesehatan bagi masyarakat tersebut.
Upaya penanggulangan penyakit menular dapat dikelompokkan menjadi tiga, sesuai
dengan sasaran utamanya yaitu :

2.2.1 Sasaran Langsung pada Sumber Penularan Pejamu


Keberadaan sumber penularan (reservoir) dalam masyarakat merupakan faktor
yang sangat penting dalam rantai penularan, sehingga memegang peranan yang cukup
penting serta menentukan cara penanggulangan yang paling tepat dan tingkat
keberhasilannya cukup tinggi.

a) Sumber penularan adalah binatang


Bila sumber penularan terdapat pada binatang peliharaan (domestik) maka
upaya mengatasi penularan lebih mudah dengan memusnahkan binatang yang
terinfeksi dan melindungi binatang yang lainnya dari penyakit tersebut
(imunisasi dan pemeriksaan berkala). Tetapi bila sumber penyakit dijumpai
pada binatang liar, maka keadaannya akan lebih sukir. Misalnya penanganan
pada rabies (anjing gila), akan lebih mudah penanggulangannya apabila di

5
perkotaan yang mana merupakan anjing peliharaan dibanding dengan di
pedesaan yaitu anjing liar. Dalam keadaan demikian maka dilakukan usaha
penanggulangan kombinasi cara lain, dengan kerja sama instansi lain yang
terkait.
b) Sumber penularan adalah manusia
Sasaran penanggulangan penyakit pada sumber penularan dapat dilakukan
dengan isolasi dan karantina, pengobatan dalam berbagai bentuk untuk
menghilangkan usnur penyebab (mikro-organisme) atau menghilangkan fokus
infeksi yang ada pada sumber (bedah saluran empedu atau cholecystectomy)
pada carrrier typoid menahun.Isolasi penderita (penanggulangan yang
sasarannya terpusat pada sumber penularan) yakni suatu cara yang bermanfaat
pada situasi penyakit yang baru muncul dan punya potensi mewabah. Kedua
yakni karantina, adalah pembatasan gerak seseorang atau sekelompok orang
sehat atau binatang yang dicurigai menderita atau akan menderita penyakit
menular tertentu. Mengingat sulitya dan mahalnya biaya karantina maka
bentuk karantina telah dimodifikasi dalam bentuk surveillans individu
sedangkan untuk binatang masih tetap. Terakhir yaitu surveillans
individu,suatu bentuk penanggulangan dengan cara mengawasi dan
mengamati terus menerus secara ketat terhadap mereka yang kontak untuk
menderita penyakit yang dapat menjadi sumber penularan, tanpa membatasi
kebebasan bergeraknya.

2.2.2 Sasaran Ditujukan pada Cara Penularan


Sudah kita ketahui bahwa cara penularan penyakit meliputi kontak langsung,
melalui udara, melalui makanan serta melalui vektor perantara.
a) Melalui kontak langsung biasanya dititikberatkan pada penyuluhan kesehatan
yang dilaksanakna dengan usaha menghilangkan sumber penularan, yang
mana upaya pencegahan ini sangat erat hubunganna denganpola dan

6
kebiasaan hidup sehari-hari, sistem sosial dan perilaku sehat anggota
masyarakat.
b) Melalui kontak udara, merupakan penularan tidak langsung yang mana
membutuhkan media sebagai cara penularannya sehingga dapat dicegah
melalui imunitas.
c) Melalui makanan dan minuman, dengan memberantas bahan-bahan yang telah
terkontaminasi seperti penyehatan air minum, pasteurisasi susu, serta
pengawasan terhadap sumua pengobatan bahan makanan dan minuman.
d) Melalui vektor perantara, dengan memberantas serangga serta binatang
perantara lainnya

2.2.3 Sasaran Ditujukan pada Pejamu Potensial


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya bahwa faktor yang berpengaruh pada
pejamu adalah tingkat kekebalan (imunitas, tingkat kerentangan/kepekaan yang
dipengaruhi oleh status gizi, keadaan umum serta faktor genetic.
a) Peningkatan kekebalan khusus (imunitas)
Berbagai penyakit dewasa ini dapat dicegah melalui usaha imunitas yakni
kekebalan aktif pada pejamu dengan pemberian vaksinasi. Seperti
perlindungan terhadap penyakit dipteria, pertusis dan tetanus (DDT)
merupakan pemberian imunisasi dasar kepada anak anak sebagai bagain
terpenting dalam program kesehatan masyarakat. Selain itu ada juga
pemberian imunisasi pasif yang mana perlindungan terhadap beberapa
penyakit tertentudengan pemberian antibodi pelindung yang berasal dari
pejamu lain dalam bentuk serum antibodi yang memberikan perlindungan
sementara. Imunisasi pasif ini cukup berperan seperti pada pemberian tetanus
toksoid pada ibu hamiluntuk kemudian dapat memindahakn antibodi ibu
kepada bayi melalui placenta. Pemberian imunisasi dasar sebagai bagian dari
program pembangunan kesehatan ternyata cukup berhasil dalam usaha

7
meningkatkan derajat kesehatan serta menurunkan angka kematian bayi dan
balita
b) Peningkatan kekebalan umum (resistensi)
Usaha dalam meningkatkan daya tahan pejamu terhadap penyakit infeksi
secara luas seperti perbaikan gizi keluarga, peningkatan gizi balita melalui
program Kartu Menuju Sehat (KMS), peningkatan derajat kesehatan
masyarakat seta pelayanan kesehatan terpadu melalui Posyandu.

2.3 Surveillans Epidemiologi


Surveillans Epidemiologi adalah pengamatan secara teratur dan terus-menerus
terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam
satu kelompok penduduk tertentu untuk kepentingan pencegahan dan
penanggulangan untuk setiap penyakit baru yang mungkin muncul (Weber, 2005:66).
Surveillans penyakit menular adalah suatu kegiatan pengumpulan data teratur,
peringkasan dan analisis data kasus baru dari semua jenis penyakit infeksi dengan
tujuan untuk identifikasi kelompok risiko tinggi dalam masyarakat, memahami cara
penularan penyakit serta berusaha memutuskan rantai penularan. Dalam hal ini setiap
kasus harus dilaporkan secara lengkap dan tepat. Keterangan mengenai tiap kasus
meliputi diagnosa penyakit, tanggal mulainya timbul gejala, keterangan tentang orang
yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan nomor telepon (bila ada), serta
sumber rujukan bila penderita hasil rujukan (dokter, klinik, Puskesmas, dll) (Prof. Dr.
Nur Nasry Noor, 2013).
Tujuan Surveilans menurut Depkes RI 2004 dalam Kesmas 2015 adalah untuk
pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini
terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi
yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun
pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi.

8
Menurut Weber (2005:66) surveilans epidemiologi dibagi menjadi 5 yaitu
surveillans pasif, surveillans aktif, surveillans kesehatan masyarakat, surveillans
darurat, surveillans serologis dan virologis.

a) Surveillans Pasif
Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah
untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan
sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans
pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi
kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported,
karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal.
Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena
waktupetugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem
tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas
b) Surveillans Aktif
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan
berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga
medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans
aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas
yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans
aktif, lebih mahal dan lebih sulituntuk dilakukan daripada surveilans pasif

9
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community
surveilance. Contohnya adalah surveillans di rumah sakit.
c) Surveillans Sentinel
Surveillans sentinel adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah
kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.
d) Surveillans Darurat
Surveillans darurat adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana.
e) Surveillans Serologis dan Virologis
Dengan fasilitas uji laboratorium, penyakit tertentu dapat diperoleh dari
serologis atau studi virologi. Sebuah Contohnya adalah penggunaan pengujian
anonim sampel darah yang dikumpulkan di klinik antenatal untuk infeksi HIV
dan hepatitis B. Perawatan harus diambil untuk memastikan bahwa data yang
representative dan diukur secara terus menerus. angka kejadian penyakit yang
disebabkan parasite/infeksi menurun,hal tersebut menjadi semakin sulit untuk
dideteksi dan pengawasan serologi dapat dinilai tepat untuk dilakukan.

2.4 Pemberantasan Penyakit Menular


2.4.1 Kebijakan Pemberantasan Penyakit Menular
Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025
disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya
manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin
sejahtera (Bappenas 2005). Melalui Program Indonesia Sehat 2010, gambaran
masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang
antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku hidup
bersih dan sehat (Depkes 2003). Lingkungan yang sehat termasuk di dalamnya bebas

10
dari wabah penyakit menular. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Menengah (RPJM) 2004-2009, salah satu program di bidang kesehatan adalah
pencegahan dan pemberantasan penyakit, termasuk wabah penyakit menular
(Bappenas 2004).
Penyakit menular yang menjadi prioritas pembangunan nasional jangka
panjang 2005-2025 adalah malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria,
kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, penumonia, dan penyakit lain yang dapat
dicegah dengan imunisasi (Bappenas 2005). Walaupun penyakit menular yang
menjadi prioritas target pencegahan dan pemberantasan dalam Tujuan Pembangunan
Millenium (Millenium Development Goals) adalah HIV/AIDS, malaria dan
tuberkulosis (Bappenas 2004b), namun di Indonesia penyakit demam berdarah
dengue (DBD) saat ini juga mendesak untuk diberantas, karena telah menjadi wabah
tahunan yang memakan korban jiwa ratusan orang setiap tahunnya (Bappenas 2005b),
(Ditjen PPM&PL 2004), (WHO 2004). Menurut Nadesul (2004), akibat dari penyakit
demam berdarah dengue juga bisa lebih dahsyat dari kasus AIDS karena dapat
langsung menghilangkan nyawa manusia, juga karena gejala dan tandanya tidak
selalu tampil nyata sehingga sulit dikenali sehingga seringkali terlambat diobati dan
akibatnya fatal.

2.4.2 Pola umum pemberantasan penyakit menular


Secara umum, pemberantasan penyakit menular di Indonesia dilakukan
melalui upaya-upaya: kewaspadaan dini, penemuan penderita, penanganan penderita,
pemberantasan sumber penyakit, upaya kekebalan (imunisasi), dan penyuluhan
masyarakat. Upaya-upaya secara sistematis yang dilakukan antara lain dengan
pencanangan gerakan nasional pemberantasan penyakit dan kesepakatan- kesepakatan
regional maupun internasional. Gerakan nasional pemberantasan penyakit menular di
Indonesia antara lain: Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria), Gerakan
Nasional Terpadu Pemberantasan Tuberkulosis (Gerdunas), Pekan Imunisasi

11
Nasional (PIN) yang salah satunya untuk imunisasio polio, dan Gerakan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk demam berdarah dengue.

2.5 Metode dan Prinsip control

2.5.1 Metode Pengendalian Lingkungan (Environmental Control Methods)


Banyak penyakit yang disebabkan oleh kontaminasi lingkungan melalui
materi fekal secara transmisi langsung (misal dengan jari) atau melalui makanan dan
air (weber, 2005:40). Terdapat beberapa metode control diantaranya:
- kebersihan pribadi dan rumah tangga
- pemilihan/penyediaan, memasak dan penyimpanan makanan yang benar
- penggunaan persediaan air
- pembuangan tinja dan limbah di tempat yang tepat
- dan metode lain, seperti inspeksi daging

12
a) Personal hygiene
Hygiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan
melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih
dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk
kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi
keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004).
Kebersihan pribadi berkaitan erat dengan ketersediaan air dalam
jumlah yang cukup (Weber, 2005:41). Personal hygiene adalah cara
perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan
perorangan sangat penting untuk diperhatikan.

b) Protection of foods (perlindungan makanan)


Infeksi dari makanan dapat disebarkan melalui kontaminasi pada
makanan tersebut ataupun melalui hospes perantara (Weber, 2005;41).

13
14
Menurur Weber (2005:42) Perlindungan makanan dapat dilakukan dengan
upaya:
- Pemeriksan produk mentah
- Menghindari kontaminasi dari kemasan
- Memperhatikan kondisi dan masa berakhir makanan
- Melakukan pencucian dan penyimpanan yang benar
- Memperhatikan cara memasak yang benar dan menghindari kontaminasi pada
makanan yang dimasak.

15
- Makan makanan yang sudah dimasak dengan bak.

c) Water Supplies (cadangan air)


Air yang terkontaminasi dapat menularkan sejumlah penyakit pada organisme
atau makhluk hidup yang mengkonsumsinya (Weber, 2005:44).
- Penyediaan air/ The provision of water
Ada empat aspek dalam penyediaan air yang dapat mengontrol penularan
penyakit (Weber, 2005:44):
 Menjaga kuantitas air
 Menjaga kualitas air
 Mengurangi kontak dengan air pada saat dibawa ke tempat untuk
digunakan
 Mencegah tumpahan dengan penjagaan yang tepat
- Keadaan ekonomi / Economic and planning criteria
Semua orang menginginkan pasokan air yang baik sesuai dengan apa yang
bisa mereka dapat dikarenakan sumber daya yang terbatas sehingga tidak
semua orang bisa mendapatkan pasokan air sesuai dengan apa yang mereka
harapkan (Weber, 2005:45).
Alternative lain dapat dipertimbangkan dalam penyedian pasokan air :
 Memasok sejumlah populasi dengan pasokan air yang mudah.
 Membatasi pasokan air untuk tiap daerah tertentu
 Menggunakan air alami dari sumber air yang tersedia
 Merencakan proyek seperti membuat bendungan
- Kapasitas air dan penggunaan / Water capacity and use
Dalam memilih sumber air yang tepat adalah dengan melihat jumlah air yang
dihasilkan. Jika diketahui tidak ada aliran air maka bendungan sangat tepat
dibangun, dan pengukuran aliran air dapat dilaukan pada musim kemarau
(Weber, 2005;46).

16
- Memilih pasokan air / choice of water supply
Memilih sumber air dapat dilakukan dengan memperhatikan hal berikut
(Weber, 2005:46):
 kedekatan dengan pengguna
 keandalan
 kuantitas air
 kualitas air
 kelayakan teknis
 sumber daya yang tersedia
 keadaan sosial
 pemeliharaan
d) Sanitasi
Dengan makanan dan cadangan air yang ada, dapat menjadi sebuah
penekanan pada pencegahan kontaminasi, salah satunya yaitu dengan sanitasi
yang dapat mengurangi sumber kontaminasi. Kebiasaan sosial yang berkaitan
dengan pembuangan tinja yang dipegang teguh (terus dilakukan) tanpa adanya
tindakan kecuali hal ini didekati dengan cara yang masuk akal, jika tidak
maka sistem baru (program perubahan menuju yang lebih baik) akan gagal.
Sanitasi tidak hanya dengan penyediaan jamban, tetapi dengan kompleks dan
akan melibatkan orang yang mana menjadi subyek yang terkait, cadangan air
dan aspek lainnya dari kesehatan lingkungan.
1. Faktor kesehatan
Seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.1, dampak utama dari sanitasi
adalah pada kategori no 2, 3a, 4c dan 5c. Instalasi sanitasi dapat
membantu mengurangi dampak infeksi yang ditunjukkan pada tabel 3
2. Penyediaan sanitasi
Ketika penyediaan sanitasi, ada hubungan yang erat dengan penyediaan
air (cadangan air). Setiap orang membutuhkan pasokan air yang cukup,

17
tetapi tidak seorangpun yang ingin mengubah kebiasaan buang air besar
nya. Ini cukup sederhana untuk menjelaskan bahwa zat (substansi) yang
masuk ke dalam tubuh dapat dipahami sebagai penyebab langsung dari
penyakit. Buang air besar (BAB) adalah sebuah keperluan, tapi tindakan
yang pribadi dan bukan masalah untuk didiskusikan. Disamping itu ada
juga alasan sosial yang mana kebiasaan itu telah ditetapkan oleh agama,
ras atau budaya. Mungkin bisa menyuruh tempat dimana dan tempat yang
tidak diperbolehkan untuk BAB, memisahkan tempat berdasarkan jenis
kelamin dan menentukan tempat cebok tertentu. Dengan pola-pola ini dan
kebiasaan yang telah dilakukan sejak kecil, maka untuk merubahnya akan
sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Jika sebuah keluarga dapat
melihat keuntungan dari jamban, maka mereka akan menggunakan dan
merawatnya. Kebijakan kesehatan dapat membantu dalam pembuatan
jamban (spesifikasi teknis) dan subsidi pembiayaan. Segala upaya yang
dilakukan dengan cara memaksakan atau melakukan pembangunan
dengan bebas maka akan menyebabkan kebencian atau tidak akan
digunakan oleh mereka.
Seperti air, sanitasi disini harus dibayar, tapi biaya disini kurang diterima
oleh penduduk. Orang hanya bersedia membayar dengan nominal yang
rendah mungkin hanya untuk menyingkirkan kotoran mereka sendiri.
Hanya di daerah perkotaan saja yang mengganggap hal itu perlu
membayar untuk menghilangkan kotorannya, karena pada daerah
pedesaan ada tempat (ruang) yang cukup (luas) untuk menyingkirkan
kotoran. Sebuah skema subsidi dapat menjadi cara utama untuk
meningkatkan sanitasi. Misalnya, dalam kontruksi jambat pit, penduduk
desa perlu menggali untuk membuat lubang mereka sendiri, tapi mungkin
bisa dengan menjual kantong semen dengan harga yang lebih murah atau
dengan diberikannya lempengan jongkok gratis.

18
Biaya yang berkaitan dengan kenyamanan, yang mana orang bersedia
membayar untuk sistem perbaikan, kesediaan mereka untuk membayar
biasanya tidak ada hubungannya dengan kesehatan. Lubang jamban yang
baik dapat secara efektif dalam pengendalian penyakit sebagai sistem
pembuangan kotoran secara konvensional, yang menjadi pembeda adalah
yang dulu jamban berada diluar rumah sekarang berada di dalam rumah
dan membawa kotoran ke dalam septic tank. Biaya kenyamanan ini
biasanya sepuluh kali dari jamban lubang.
Dalam pemilihan sistem pembuangan tinja yang paling tepat adalah
berada pada kesederhanaannya. Hanya ketika metode sederhana menjadi
ketinggalan zaman karena meningkatnya standar dan harapan maka sistem
yang lebih canggih akan menjadi tepat. Pada proses inkremental yang
sederhana seperti yang diilustrasikan pada gambar 3.8 dapat direncanakan.
Pada tahap pertama adalah dengan mengubur kotoran yang mengarah pada
penggunaan jamban lubang. Jika jamban sudah diterima oleh masyarakat
maka akan menunjukkan keberhasilan (keuntungan) dari peningkatan
jamban yang kemudian akan melakukan langkah berikutnya. Jenis fasilitas
yang ada juga akan ditentukan oleh ketersediaan dari air. Seperti yang
disebutkan pada bagian cadangan air (penyediaan air), penyediaan air
harus mendahului program sanitasi seperti kebersihan pribadi yang dapat
diajarkan jika ada air di tangan untuk cuci tangan dengan benar. Kuantitas
dan kedekatan air ini kemudian akan menentukan jenis dari sistem sanitasi
yang dapat digunakan. Pada bagian kedua pada gambar 3.8,
perkembangan inkremental dari air menggunakan sistem sanitary yang
ditampilkan. Sebuah jamban siram dapat digunakan di mana air diperoleh
dari keran desa dan dikeluarkan ke septic tank melalui saluran air limbah
kotoran (ekstreta), sistem pembilasan air membutuhkan sambungan air
dari rumah.

19
3. Tempat dan kontaminasi
Jamban harus diletakkan dengan benar sehingga tidak menecemari lingkungan
dengan cara seperti mengancam keseharatan orang lain. Dengan jamban
lubang, maka polusi bakteri dari kotoran manusia akan turun ke bawah
melalui jarak 2 m menuju septic tank. Jika kontaminasi mencapai permukaan
air, maka kotoran itu mengalir secara horizontal hingga jarak 10 m. Ini berarti
bahwa setiap jamban harus diletakkan setidaknya memiliki jarak yang jauh
dari pasokan air (cadangan air) seperti sumur. Jamban juga harus ditempatkan
menurun seperti sumur, meskipun memompa berlebihan akan menarik air ke
dalamsumur dari segala arah, termasuk dari bagian kakus. Jika jamban
dibangun dengan jarak kurang dari 10 m dari sungai atau aliran air, maka
jamban tersebut dapat mencemari sungai atau aliran tersebut. Jamban dalam
situasi seperti ini dapat menjadi sumber potensial pencemaran jika sungai
tersebut digunakan untuk air minum. Pencemaran tanah adalah subyek yang
kompleks dan aturan kasar 10 m jarak antara jamban dan sumber air minum
yang telah dijadikan sebagai panduan. Kontaminasi bergantung pada:
a. Kecepatan aliran air tanah (harus kurang dari 10 m dalam 10 hari).
b. Komposisi tanah (tidak pecah-pecah, misalnya seperti di batu kapus).

Dalam sistem tertutup seperti septic tank, pencemaran tanah tidak akan
berlangsung kecuali ada celah dalam struktur tanah tersebut. Bagaimanapun,
limbah mengandung banyak bakteri patogen sehingga harus dibuang dengan
benar. Apabila dengan pembuangan yang tidak benar dan kemudian ikut
dalam aliran banjir, maka akan berdampak buruk karena dapat menimbulkan
ancaman besar seperti infeksi. Solusi termudah adalah mengalirkan atau
mengarahkan kotoran ke soakaway (jenis sistem septic tank), tapi tindakan
pencegahan ini mirip dengan jamban yang mana perlu diterapkan.

20
2.5.2 Pengendalian vektor
Parasit ditularkan dari host satu ke host lainnya dengan perantara vektor, yang
mana sering memanfaatkan bagian tubuh dalam vektor untuk mengalami
replikasi atau perkembangan. Dalam beberapa parasit (misalnya malaria)
vektor adalah tuan rumah definitif, sedangkan pada parasit lainnya seperti
Wuchereria bancrofti, merupakan hospes perantara. Yang mana menggunakan
tubuh vektor tersebut, itu adalah salah satu hal penting untuk parasit dan tidak
dapat dilanjutkan jika vektor ini hancur atau jumlahnya dikurangi sehingga
memiliki jumlah yang cukup rendah. Perkembangan gemetosit pada malaria
harus bertepatan saat nyamuk mengambil (makan) darah yang mana
diperlukan dalam pembuahan dan pematangan gametosit yang berlangsung di
perut serangga (nyamuk) betina. Sehingga vektor harus benar-benar hancur,
tetapi harus juga disimpan pada tingkat terlalu rendah (segi jumlah) untuk
mencegah transmisi berlangsung. Jadi pengendalian vektor berarti mengurangi
jumlah vektor dan tidak memerlukan pemberantasan vektor.

a) Mosquito control/Pemberantasan nyamuk


Menurut (Mukti, 2016) jenis-jenis pemberantasan nyamuk yaitu:
1. Pengendalian fisik
Metode pengendalian vektor secara fisik adalah upaya untuk
mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembang biakan
dan populasi vektor secara fisik yang dapat dilakukan diantaranya
dengan memodifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan
seperti 3M, pembersihan lumut, penanaman bakau, pengeringan,
pengaliran/drainase, pemasangan kelambu, memakai baju lengan
panjang dan penggunaan hewan sebagai umpan nyamuk.
2. Pengendalian biologi

21
Pengendalian secara biologi merupakan pengendalian vector dengan
menggunakan agen biotik, diantaranya dengan menggunakan predator
pemangsa jentik seperti ikan dan mina padi, bakteri, virus, fungi,
maupun manipulasi gen yaitu dengan penggunaan teknik serangga
mandul.
3. Pengendalian kimia
Metode pengendalian vektor secara kimia dapat dilakukan dengan
Sueface spay (IRS), kelambu berinsektisida, larvasida, foggging, ULV,
maupun dengan penggunaan insektisida rumah tangga seperti
penggunaan racun nyamuk Formulasi bakar, repelen, Liquid vaporizer,
Papaer vaporizer, mat, vaporizer maupun insektisida rumah tangga
lainnya.
Sedangkan menurut (Weber, 2005:52) pengendalian nyamuk ada 6
yaitu:
1. Adulticides. Adulticides (imagosida) yaitu pemberantasan ini untuk
menurunkan kepadatan nyamuk, memperpendek umur nyamuk dan
menurunkan parameter penularan lainnya. Pemberantasan tersebut
dapat menggunakan knock-down insecticides dan residual insecticides.

Knock-Dwon Insektisida digunakan untuk mengendalikan penyakit


epidemi yang ditularkan melalui vektor yang mengalami peningkatan
jumlah kejadian dimana penyebab utamanya adalah nyamuk dewasa.
Knock-Down Insektisida digunakan untuk mengatasi vektor penyebab
penyakit epidemi malaria dan juga sangat ampuh untuk mengatasi
vektor penyebab penyakit demam berdarah dan infeksi arbovirus.
Knock-Down Insektisida digunakan sebagai semprotan aerosol pada
rumah, untuk membasmi nyamuk dan desinfektan udara sekitar.
Knock-Down mengandung pyrethrum yang berasal dari spesies krisan
yang ditaman di dataran tinggi Afrika Timur. Knock-Down Insektisida

22
bisa digunakan sebagai aerosol, fogging atau semprotan udara volume
rendah.
Insektisida residual adalah cara yang utama untuk mengendalikan
vektor yaitu nyamuk karena residu tersebut akan tetap aktif selama 6
bulan atau lebih. Penggunaan insektisida harus dilakukan secara
berkala untuk mempertahankan kemampuan mengendalikan vektor
nyamuk. Idealnya insektisida disemprotkan sebelum awal musim
vektor bertaransmisi, terutama didaerah endemi malaria. Insektisida
bekerja pada nyamuk yang sedang beristirahat. Nyamuk perlu
beristirahat setelah menghisap darah dan akan mencari tempat terdekat
seperti dinding rumah. Jika dinding sudah disemprot dengan
insektisida maka nyamuk akan menyerap insektisida melalui kakinya
ketika sedang beristirahat. Insektisida dapat disemprotkan sebagai
cairan emulsi dan dapat berupa bubuk yang dibasahi, seperti beberapa
insektisida yang umum digunakan. Insektisida emulsi cocok untuk
permukaan yang nonabsorbent, sedangkan bubuk basah cocok untuk
dinding. Setelah insektisida residual disemprotkan pada dinding maka
tidak boleh dicuci atau dicat. Insektisida residual disemprotkan pada
dinding dengan beberapa pertimbangan antara lain, proporsi
insektisida aktif, jumlah insektisida dicampur dengan medium fluida,
pencampuran sebelum dan selama aplikasi, jarak dari permukaan yang
disemprot, dan kecepatan aplikasi.
Ini semua ditentukan untuk insektisida tertentu dan penyemprot harus
dilatih untuk memastikan bahwa tata cara penggunaan telah dilakukan
dengan tepat. Penyemprotan insektisida residual dilakukan oleh tim
khusus secara manual di daerah tertentu. Rumah dikosongkan dan
hewan peliharaan dijauhkan karena hewan sensitif dengan insektisida
tersebut. Serangga dan hewan lainnya yang mati karena insektisida

23
harus dibuang atau dibersihkan terlebih dahulu sebelum hewan
peliharaan dimasukkan kembali dalam rumah.
2. Deterrents and repellents. Pencegah dan penolak dapat berupa
pengasapan atau aplikasi untuk tubuh dalam bentuk krim. Mereka
tidak membunuh serangga, tetapi mencegah dari gigitan.

Penolak yang paling umum digunakan adalah Diethyltoluamide


(DEET), yang dapat diterapkan pada orang, pakaian, tenda dan
kelambu.
DEET (Diethyltoluamide ) merupakan bahan aktif yang paling banyak
dan sering digunakan untuk repellent di Indonesia. Selain DEET,
umumnya repellent mengandung bahan kimia sintetis yang dapat
menolak nyamuk untuk mendekati kulit. Bahan kimia lain yang juga
digunakan diantaranya adalah permetrin, picaridin. Selain itu ada juga
bahan yang berasal dari tumbuhan seperti citronella, cedar, verbena,
pennyroyal, geranium, lavender, bawang putih, pine (cemara) dll.
Repellent dikenal sebagai salah satu jenis pestisida rumah tangga yang
digunakan untuk melindungi tubuh (kulit) dari gigitan nyamuk.
Sekarang ini, orang lebih mengenalnya sebagai lotion anti nyamuk.
Sebenarnya produk repellent tidak hanya berbentuk lotion, ada juga
yang berbentuk spray (semprot). Sehingga cara penggunaannya adalah
dengan mengoleskan atau menyemprotkan bahan tersebut ke kulit.
3. Mosquito nets and personal protection. Personal protection adalah
tindakan pencegahan yang penting untuk mengurangi jumlah gigitan
nyamuk. Pakaian yang terutama menutupi lengan dan kaki jika
dikombinasikan dengan repellant dapat melindungi individu yang
paling efektif. Begitu juga dengan penggunaan kelambu, salah satu
metode yang baik untuk perlindungan pribadi. Jaring dipasang ke
tempat tidur dan diselipkan di tepi bawah kasur. Sebuah knock-down

24
semprot dilakukan sebelum setiap nyamuk memasuki jaring/kelambu
ketika penghuni pergi ke tempat tidur. Jika kebiasaan tidur
diatastikar,di lantai bukan tempat tidur, kemudian kelambu masih bisa
digunakan. Penjualan bersubsidi kelambu dapat menjadi metode yang
efektif pengendalian malaria, jika kemudian diperlakukan dengan
insektisida.
4. Larvicides. Zat (substansi) yang menghalangi alat pernafasan larva
nyamuk dan merusak tekanan permukaan (sehingga mereka
tenggelam) atau zat yang meracuni mereka disebut larvasida. Minyak
tanah yang tersebar di air menutupi siphon larva, sehingga mereka
mati karena sesak nafas.
5. Biological control. Tujuan Pengendalian biologi adalah digunakan
untuk menggambarkan metode alami untuk mengurangi jumlah vektor.
Beberapa agen alami yang telah dicoba termasuk predator seperti ikan
yang memakan larva nyamuk, organisme mikroba (misalnya Bacillus
thuringiensis dan B. sphaericus) atau modifikasi dari nyamuk itu
sendiri. Nyamuk jantan dapat disterilkan dengan radiasi atau dengan
chemosterilants dan kemudian dilepaskan ke lingkungan, sehingga
nyamuk jantan tidak dapat membuahi nyamuk betina.
6. Environmental modification. Salah satu metode yang paling sukses
untuk mengurangi air permukaan sebagai tempat perkembangan
nyamuk adalah pembangunan drainase bawah tanah. Drainase adalah
lengkungan atau saluran air di permukaan atau di bawah tanah, baik
yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia. Metode ini
membutuhkan kerjasama tenaga kesehatan.
b) Insecticides
Insektisida untuk pengendalian vektor meliputi:

25
1. Racun (misalnya parisgreen, yang digunakan secara luas sebagai
larvasida). Nyamuk anopheles gembiae diberantas dari hulu Mesir
menggunakan metode ini.
2. Fumigants (misalnya hidrogen sianida, metil bromida dan etilformate)
dapat digunakan pada biji-bijian atau pakaian untuk menghancurkan
perkembangan nyamuk.
3. Knock-down (misalnya pyrethrum, bioresmethrin dan bioallethrin).
4. Residual, yang dibagi menjadi organofosfat, kerbamat dan piretroid.
Organoklorin 4,4-dichlorodiphenyl-1,1,1-trikloroetan (DDT), benzena
heksakhlorida (BHC) dan dieldrin, yang awalnya telah digunakan
secara luas namun saat ini telah tidak tersedia lagi karena efek toksis
yang tahan lama terhadap lingkungan.

Organofosfat. Organofosfat, misalnya malathion dan fenthion adalah zat


volatil yang mudah menguap yang memerlukan aplikasi (penggunaan) yang
sering. Mereka bertindak dalam menghambat cholinesterase di persimpangan
saraf dan karena itu dapat mengakibatkan kelumpuhan sementara pada
manusia seperti hal nya pada serangga. Mereka tidak memiliki residual
panjang atau bertahan dalam lingkungan. Klorpirifos (Dursban) dan temephos
(Abate) adalah senyawa rendah beracun yang secara luas telah digunakan
sebagai larvasida.
Karbamat. Karbamat bekerja (bertindak) dengan cara yang mirip dengan
organofosfat kecuali kalau karbamat bersaing dengan acetylcholinesterase
akan menghasilkan keuntungan bagi keuntungan daripada menggabungkan
karbamat dengan acetylcholinesterase. Contohnya propoxur dan carbaryl.
Piretroid. Pyrethrum adalah insektisida alami yang diperoleh dari spesies
krisan yang telah disintesis untuk menghasilkan berbagai bentuk yang lebih
aktif dengan residual yang baik. Pyrethrum adalah zat yang stabil dengan
toksisitas terhadap mamalia rendah dan secara luas dapat digunakan dengan

26
baik dalam mengontrol pertanian dan kesehatan. Contohnya adalah
permethrin, deltametrin dan lambda-sihalotrin yang sangat bermanfaat jika
ditaruh pada kelambu.
c) Resistance (kekebalan)
Ketika insektisida dipilih untuk mengendalikan program,vektor harus
diuji untuk melawan berbagai kekuatan insektisida untuk menentukan dosis
diskriminatif (saat ini sekitar 99,9% angka kematian yang terjadi). Tes ini
perlu diulang dari waktu ke waktu selama rangkaian program dapat ditentukan
apakah vektor tetap sensitif/peka. Jika ada alasan teknologi mengapa ini tidak
bisa dilakukan,kemudian kekebalan akan mungkin diketahui dari kenaikan
sejumlah serangga ataupun kasus penyakit. Kemungkinan menunjukkan
defisiensi program penyemprotan dan penyemprotan ini sebaiknya yang
pertama dilakukan. Penggunaan insektisida yang benar diatas dapat
diperhitungkan,sementara uji lapangan sederhana untuk dugaan kekebalan
bisa dilakukan dengan menempatkan beberapa serangga ke dalam botol kaca
dan permukaan disemprot selama satu menit. Jika serangga tersebut tidak
terbunuh, maka kekebalan terhadap serangga tersebut dapat diperoleh dari
bantuan antomological.
Kekebalan bisa sebagian atau lengkap. Jika sebagian maka
peningkatan konsentrasi di insektisida cukup untuk mengendalikan vektor.
Sayangnya kekebalan yang lengkap pada vektor kemungkinan akan segera
berkembang. Kekebalan adalah karakteristik genetik dan kekuatan kekebalan
yang dipilih di bawah tekanan insektisida. Awalnya kekebalan insektisida
dapat terjadi,tetapi kemudian kekebalan ini dapat dikembangkan menjadi
beberapa insektisida tidak efektif. Beberapa spesies sekarang memiliki
beberapa kekebalan. Pengendalian biologis atau mencoba strategi yang
berbeda mungkin dapat lebih efektif.

27
d) Ectoparasite control
Ektoparasit hidup di luar tubuh manusia, seperti kutu manusia, kutu busuk
(tinggi) dan tungau. Mereka (ektoparasit) memegang peran dalam transmisi
beberapa penyakit yang. Ada beberapa metode pengendalian diantara yaitu:
1. Kebersihan pribadi.
2. Mengurangi kontak interpersonal dari kepadatan penduduk dan
berbagai pakaian.
3. Cuci pakaian dan cuci tangan secara benar dan tepat.
4. Penolakan.
5. Insektisida.
Ektoparasit berada di tempat yang kotor dan gelap. Kutu tidak bisa hilang
begitu saja tapi kutu dapat dihilangkan menggunakan air hangat dan sabun
serta menjauhi kutu. Jika mencuci pakaian menggunakan dengan cara tersebut
mka kutu dapat dikendalikan. Beberapa komunitas berlatih untuk merias
kepala untuk mengendalikan kutu, sementara rambut pendek akan lebih
mudah untuk mengontrolnya.

28
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit menular atau penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh sebuah agen biologi seperti virus, bakteri, maupun parasit, bukan disebbakan
karena faktor fisik, seperti luka bakar atau kimia seperti keracunan. Oleh sebab itu,
mengapa penyakit ini disebut penyakit infeksi karena penyakit ini ditularkan
penderita melalui infeksi virus, bakteri maupun parasit yang ditularkan oleh
penderita, penularan penyakit ini dapat ditularkan melalui udara, jarum suntik,
transfusi darah, serta tempat makan atau minum bekas penderita yang masih kurang
bersih saat dicuci, hubungan seksual, dll.
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat,dan pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.
Pencegahan dan Penanggulangan penyakit menular diantaranya adalah surveillans
epidemiologi dan kegiatan mengawas atau mengontrol agent, lingkungan, transmisi
dan ketahanan host dengan metode pengawasan lingkungan.

3.2 Saran
Pencegahan penyakit menular dapat dilakukan melalui hal sederhana
diantaranya menjaga higyene perorangan dengan memperbaiki pola hidup sehat dan
menjaga kualitas lingkungan agar tetap bersih dan terindar dari zat kontaminan (agen
infeksi).

29
DAFTAR PUSTAKA

Noor, N. R. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta.


Noor, N. R. 2008. Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nugraheni, R dkk. 2012. Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro Kabupaten
Wonosobo.Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol 11 (1) : 94-100.
Diakses pada 5 maret 2017.
Kesmas. 2015. Pengertian Surveilans.
http://www.indonesian-publichealth.com/pengertian-surveilans/ [Diakses pada
8 Maret 2017]
Ramadhani, Dyan Wulan. (2016). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak
Menular. [Online]. Tersedia: http://documentslide.com/documents/makalah-
epidemiologi-penyakit-menular-dan-tidak-menular.html [07 Maret 2017]
Weber, Roger. 2005. Communicable Disease Epidemiology and Control. London:
CABI Publishing.
Mukti, D. A. (2016). Retrieved Mare 19, 2017, from
http://lib.unimus.ac.id/28/1/FULL%20TEXT%20fix.pdf
s

30

Anda mungkin juga menyukai