Anda di halaman 1dari 10

2.

5 Diagnosis Non-alcoholic fatty liver disease(NAFLD)


2.5.1 Anamnesis
Pada umumnya pasien dengan NAFLD tidak menunjukkan gejala. Gejala yang muncul
biasanya tidak spesifik. Beberapa pasien mengalami kelelahan, malaise, atau nyeri di kuadran
kanan atas. Pasien terkadang melaporkan gejala seperti asthenia, adynamia, atau nyeri pada
hipokondrium kanan. Perlu diketahui apakah pasien pernah memiliki riwayat penyakit hati
sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat diabetes dan hipertensi. Ketika penyakit ini
berkembang ke stadium lanjut, tanda dan gejala hipertensi portal atau sirosis dapat muncul.
NAFLD umumnya terlihat pada individu yang kelebihan berat badan atau obesitas, meskipun
hal ini juga dapat mempengaruhi mereka yang memiliki indeks massa tubuh lebih.2
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan hepatomegali dan tanda-tanda penyakit hati stadium
lanjut seperti spider nevi, palmar erythema, penyakit kuning, ginekomastia, asterixis, dan
pengecilan otot biasanya tidak terlihat sampai stadium lanjut penyakit. 2
2.5.3 Pemeriksaan penunjang
1) Parameter Laboratorium Klinis
Secara historis, kejadian NAFLD dicurigai pada individu yang menunjukkan abnormalitas
pada tes darah atau ditemukannya perubahan lemak pada ultrasound. Namun, spektrum
penuh NAFLD (dari steatosis sederhana hingga steatohepatitis, sirosis, dan morbiditas terkait
hati) juga dapat menunjukkan hasil tes hati normal. Kadar transaminase serum dan feritin
sering kali abnormal pada NAFLD, tes darah tidak cukup untuk diagnosis NAFLD. Pengujian
laboratorium paling penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari steatosis hati. Pada
tahap awal penyakit, asparta taminotransferase dan ALT adalah yang paling umum
mengalami abnormalitas, di mana keduanya mengalami peningkatan. Alkalinephosphatase,
gamma-glutamyltransferase, dan trigliserida juga dapat meningkat. Tes fungsi hati(bilirubin
serum, albumin, waktu tromboplastinparsial) biasanya dalam batas normal jika penyakit
belum berkembang ke tahap fibrosis atau sirosis.11
2) Modalitas Radiologi
Pencitraan harus diperoleh ketika penanda biokimia meningkat dan dapat menentukan
adanya steatosis hati, serta menyingkirkan penyakit empedu atau penyakit hati lainnya yang
dapat menyebabkan peningkatan kadar transaminase hati. Pemeriksaan yang dapat dilakukan,
meliputi ultrasonografi, Computed Tomography (CT) Scan, dan MRI. Pemeriksaan
ultrasonografi dianggap sebagai pencitraan lini pertama, karena sensitivitas yang cukup tinggi
dan efisiensi biaya.11
Gambar 2. 1
Pencitraan ultrasonografi, perubahan steatotik hati dapat divisualisasikan sebagai
hiperekogenisitas hati karena kantong lipid, kaburnya batas vaskular, dan hetero genitas
parenkim. Pencitraan USG tidak akurat dalam menghitung perubahan lemak, dan hanya
terbukti konsisten dalam mengelompokkan penyakit sebagai ringan atau berat. Pemeriksaan
ultrasonografi parenkim hati isoechoic terhadap parenkim ginjal dalam kondisi normal (A1),
menjadi hyperechoic dengan adanya steatosis hati (A2).11
FibroScan, yang didasarkan pada elastografi transien yang dikontrol getaran (VCTE).
38 Teknik baru, seperti elastografi gelombang geser bidimensi atau elastografi gelombang
geser titik, juga dapat digunakan untuk menilai LSM, dengan kinerja diagnostik sebesar
setidaknya sama baiknya dengan VCTE (dengan FibroScan). Skor FibroScan (elastografi
sementara), diukur dalam kilopascal (kPa), mencerminkan risiko fibrosis yang signifikan
secara klinis. Dalam sebuah penelitian terhadap 450 orang dewasa berturut-turut yang
menjalani biopsi hati dan FibroScan untuk dugaan NAFLD di 7 pusat kesehatan, nilai batas
Youden untuk F>F2 adalah 8,2 kPa. Batasan ini dikaitkan dengan nilai prediksi negatif yang
tinggi untuk fibrosis stadium 2 pada pasien terlihat di klinik diabetes atau populasi umum
(masing-masing 78% dan 97%), meskipun nilai prediksi negatifnya kecil pada populasi klinik
hepatologi khusus (61%).2
CAP, indeks non-invasif yang berasal dari sinyal ultrasound, dirancang khusus untuk
mendeteksi steatosis hati pada individu dengan sekitar 10% lemak hati tanpa fibrosis atau sirosis.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa CAP dapat secara akurat mendeteksi dan menilai
steatosis 11%, 33% dan 66% dengan AUROC masing-masing 0,91, 0,95 dan 0,89 [90]. Namun
demikian, perlu dicatat bahwa sebagian besar laporan yang mendukung CAP menggunakan M-probe
untuk analisis, yang memiliki tingkat kegagalan skrining yang tinggi pada individu yang mengalami
obesitas. Dalam meta-analisis data pasien menggunakan XL-probe, akurasi CAP untuk membedakan
steatosis memiliki kinerja suboptimal [91]. Tingkat CAP dapat meningkat setelah makan dan kinerja
diagnostiknya sangat terkait dengan keterampilan operator. Selain itu, masih belum ada konsensus
mengenai pemotongan tersebut [92]. Meskipun terdapat keterbatasan, pedoman Asia-Pasifik masih
merekomendasikan CAP sebagai indeks pengujian konvensional untuk diagnosis dan skrining
NAFLD karena biayanya yang rendah dan kemudahannya.2
Computed Tomography (CT) Scan meningkatkan spesifisitas untuk mengidentifikasi
penyebab lain dari penyakit hati, tetapi bukan lini pertama untuk menentukan perubahan
perlemakan hati, karena biayanya terbilang mahal dibandingkan dengan pencitraan
ultrasonografi. Steatosis hati yang teridentifikasi pada CT scan biasanya merupakan hasil
dari deteksi insidental pada CT scan yang dilakukan untuk alasan lain.11

Gambar 2. 2
CT dapat mendeteksi adanya perlemakan hati karena lemak memiliki atenuasi yang
lebih rendah dari pada air dengan menggunakan teknik berbasis sinar-X, Hal ini membuat
hati tampak lebih gelap pada gambar dan dengan mengukur radio densitas, lemak dapat
dihitung (dalam satuan Hounsfield). Dibandingkan dengan hati normal (B1), hati berlemak
tampak hipodens dibandingkan dengan limpa dan vena hepatik (B2) dalam pemindaian
tomografi terkomputasi.11

Gambar 2. 3
MRI adalah yang paling akurat dalam mendeteksi dan menghitung perubahan
perlemakan hati. T etapi, seperti modalitas pencitraan lainnya, hal ini dibatasi oleh
ketidakmampuan untuk membedakan antara perlemakan hati, steatohepatitis, dan
steatohepatitis dengan fibrosis sampai stadium akhir dari kerusakan fibrotik atau bahkan
sirosis. Pengaturan steatosis yang parah, sinyal resonansi magnetik memiliki penurunan
yang jelas dari urutan fase (C1) ke fase keluar (C2).11

3) Biopsi
Saat ini, biopsi hati tetap menjadi baku emas untuk diagnosis NAFLD, hanya biopsi
hati yang memiliki kepekaan untuk membedakan secara akurat NAFLD, NASH, dan fibrosis
pada tahap awal. Peran biopsi terutama untuk menentukan derajat penyakit, yaitu tingkat
fibrosis dan progresi menjadi sirosis. Biopsi juga dapat berguna ketika diagnosis masih
diragukan, karena dapat memberikan lebih banyak informasi tentang derajat hepatitis, pola
peradangan, dan fibrosis. Pemeriksaan biopsi berguna untuk identifikasi fibrosis sebelum
fibrosis berkembang menjadi derajat keparahan yang lebih tinggi dan menimbulkan
konsekuensi klinis, seperti hipertensi portal. Biopsi harus dipertimbangkan pada pasien yang
cenderung memiliki penyakit hati tahap lanjut, diindikasikan pada individu dengan
komorbiditas seperti diabetes, obesitas morbid, usia lanjut, peningkatan serum ferritin, atau
mereka dengan peningkatan transaminase yang persisten meskipun telah menjalani
modifikasi gaya hidup. Namun, prosedur biopsi tidak praktis sebagai tes diagnostik karena
bersifat invasif dan mahal.11
Diagnosis banding adalah Wilson disease, sirosis hepatis, hepatoma
2.6 Tatalaksana Non-alcoholic fatty liver disease(NAFLD)
2.6.1 Terapi non Farmakologis
Modifikasi gaya hidup
Strategi tatalaksana NAFLD dimulai dari modifikasi gaya hidup, yang dapat
dilanjutkan dengan terapi menarget komponen sindrom metabolik, farmakoterapi, hingga
tatalaksana sirosis. Secara umum, tujuan tatalaksana NAFLD/NASH berupa peningkatan
kelangsungan hidup pasien (survival) dan menurunkan angka komplikasi. Selain itu, tujuan
jangka pendek untuk resolusi kondisi NASH, memperbaiki atau mencegah perburukan
fibrosis, dan memperbaiki kondisi sindrom metabolik atau risiko lain. Modifikasi gaya hidup
merupakan landasan tatalaksana NAFLD/NASH. Perubahangaya hidup termasuk penurunan
berat badan, perubahan diet, dan latihan fisik menghasilkan perbaikan pada pasien NAFLD.
Penurunan berat badan sebesar ≥7% total berat badan awal menurunkan steatosis,
inflamasi,ballooning, serta skor aktivitas NAFLD (NAS). Perubahan diet berupa diet
Mediterranean, pembatasan konsumsi karbohidrat, dan pembatasan konsumsi fruktosa
memperbaiki steatosis secara radiologis serta berasosiasi dengan penurunan progresivitas
NAFLD. Latihan fisik berupa latihan aerobik selama 90-120 menit per minggu menurunkan
steatosis secara radiologis.11,12
2.6.2 Terapi Farmakologis
1. Farmakoterapi
Farmakoterapi pada kasus NAFLD/NASH ditargetkan untuk perbaikan kondisi
NASH (reversal) ataupun perbaikan fibrosis. Pada kondisi ringan, normalisasi enzim hati,
lipid serum, ataupun glukosa darah dapat digunakan sebagai target akhir penatalaksanaan.
Penelitian klinisfase III farmakoterapi pada NAFLD/NASH menunjukkan perbedaan
karakteristik tiap agen farmakologis dan efek pada NASH yang terangkum pada table.
Vitamin E sebagai agen antioksidan dapat diberikan dengan dosis α-tocophero l800 IU untuk
pasien NASH tanpa sirosis ataupun diabetes. Penelitian Sumida Y, etal, (2013) menunjukkan
perbaikan fibrosis pada NASH dengan pemberian vitamin E jangka panjang dengan dosis 300
mg/hari. Asia-Pacific Working Party tahun 2018 juga merekomendasikan vitamin E yang
dapat memperbaiki gambaran histologis dan kadar serum aminotransferase pasien NASH
non-sirotik dan non-diabetik. Selain itu, pemberian asam ursodeoksikolat (UDCA) baik
dikombinasi dengan vitamin E maupun sebagai monoterapi menghasilkan perbaikan fungsi
hati dan kondisi fibrosis penderita NASH.1,3
Metformin
Menurut rekomendasi tahun 2012 metformin tidak direkomendasikan untuk
diberikan sebagai terapi pada pasien dengan NASH, oleh karena tidak memberikan
perbaikan histologi hati yang bermakna. Hasil dari berbagai penelitian mengenai metformin
sendiri memberikan hasil yang beragam, beberapa penelitian menunjukkan pemberian
metformin.Shields pada tahun 2009 melakukan suatu percobaan dengan membandingkan
efektifitas metformin (pemberian awal 500 mg per hari kemudian dinaikkan menjadi 1000
mg per hari) disertai olahraga, dan diet. Penelitian ini dilakukan selama 12 bulan, dan
didapatkan hasil bahwa metformin hanya memberikan sedikit perbaikan pada fungsi hati
dan gambaran histologi hati. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Shyangdan et al,
menunjukkan bahwa pemberian metformin tidak memberikan perbaikan yang bermakna
pada NAFLD dan tidak menunjukan perbaikan pada pasien dengan NASH.1,3
Thiazolidinedion
Pemberian thiazolidinedion menunjukan penurunan inflamasi pada hati, akan tetapi
efek ini hanya terjadi selama pemberian obat, sehingga diperlukan pengobatan jangka
panjang. Dalam sebuah studi pada tahun 2010 yang mencakup 250 pasien dengan NASH,
pemberian pioglitazone 30 mg/hari memberikan perbaikan pada hasil laboratorium fungsi
hati dan penurunan inflamasi. Meskipun perbaikan ini masih dibawah kelompok yang
mendapat vitamin E 800 IU/hari. Pemberian rosiglitazone selama 48 minggu pada penderita
NASH, didapatkan perbaikan gambaran histologis hati. Dalam suatu meta analisis tahun
2012, pioglitazone terbukti memberikan manfaat dalam perbaikan degenerasi balon,
inflamasi lobular, steatosis, dan nekroinflamasi dari pasien NASH. Akan tetapi, pemberian
rosiglitazone dikaitkan dengan peningkatan resiko resiko infark jantung dan kelainan jantung
lainnya.1
Penghambat dipeptil peptidase−IV (DPP−IV)
Penggunaan penghambat DPP-IV sekarang ini sedang diteliti untuk mengatasi
diabetes pada NAFLD, hal ini dengan harapan dapat meningkatkan uptake glukosa di
perifer. Penggunaan linagliptin selama 4 minggu pada tikus obesitas dengan steatosis hati,
didapatkan perbaikan gambaran histologis hati, mengurangi infiltrasi makrofag lemak pada
hati, dan terjadi perbaikan sensitivitas insulin.35 Pemberian sitagliptin sebesar 100 mg per
hari selama setahun pada 15 pasien NASH dengan diabetes, menunjukan perbaikan skor
NASH, penurunan steatosis, dan degenerasi balon.36 Penelitian lain juga menunjukan
pemberian sitagliptin selama 4 bulan, dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan nilai
HbA1c, SGPT, dan SGOT.1,3
Glukagon like peptide-1 (GLP−1)
Ding et al melaporkan penggunaan exendin-4, sebuah GLP−1 reseptor agonis, dapat
mengakibatkan regresi dari steatosis hati pada tikus obesitas. Glp−1 memberikan proteksi
pada sel hepatosit dari kematian dengan mensupresi respon stres. Secara in vitro, GLP−1
juga mensupresi lipogenesis hati dengan mengaktivasi jalur AMP kinase dan menurunkan
akumulasi lemak pada hati. Pada penelitian yang membandingkan efektifitas exenatide
(n=49) dan metformin (n=68) pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan NAFLD,
ditemukan bahwa exenatide lebih baik dalam mengontrol glukosa darah, menurunkan berat
badan, dan perbaikan enzim hati.1,3
Statin
Penggunaan statin sangat bermanfaat dalam menurunkan angka kejadian
kardiovaskular pada kelompok beresiko, akan tetapi penggunaan statin pada pasien dengan
kondisi penyakit hati mendasar atau pasien dengan peningkatan kadar enzim menjadi isu
tersendiri. Pada studi GREACE tahun 2010, yang melibatkan 437 pasien dengan
peningkatan kadar enzim hati sedang (kurang dari 3 kali lipat batas atas), pada 227 pasien
yang mendapatkan atorvastatin 24 mg per hari, ditemukan terjadi penurunan angka kejadian
kardiovaskular serta penurunan kadar enzim hati setelah pemberian selama 3 tahun.41 Pada
tahun 2014 National Lipid Association Safety Task Force, menyatakan aman untuk
memberikan statin pada pasien dengan NAFLD Penggunaan atorvastatin bersamaan dengan
vitamin C 1 gram dan vitamin E 100 IU selama 1 tahun memperlihatkan perbaikan
gambaran histologis hati seperti pengurangan degenerasi balon dan inflamasi.1,3
Ezetimibe
Ezetimibe merupakan Niemann−Pick C1−Like 1 (NPC1L1) inhibitor, yang dapat
menyebabkan hambatan pada absorpsi lemak di usus. Suatu penelitian tahun 2009,
menunjukan pemberian simvastatin dengan ezetimibe (10mg/10mg) selama 4 tahun, dapat
menurunkan SGPT, SGOT, kadar LDL, pada penderita NAFLD. Selama 4 tahun tersebut
tidak didapatkan efek samping, sehingga disimpulkan pemberian ezetimibe aman.45 Pada
penelitian lain, pemberian ezetimibe 10 mg/hari selama 2 tahun, memberikan perbaikan
nilai SGPT dan CRP, serta didapatkan perbaikan signifikan pada steatosis, inflamasi, dan
degradasi balon. Dalam suatu konsensus tahun 2014 dituliskan bahwa ezetimibe merupakan
suatu obat dengan tingkat keamanan yang baik, meskipun data yang ada sedikit tetapi
sebagian besar memberikan efek positif terhadap pasien NAFLD. Akan tetapi sebelum
dapat direkomendasikan untuk digunakan secara luas, masih diperlukan uji klinis lebih
lanjut.1
Fibrat
Fibrat merupakan agonis peroxisome proliferator activated receptors (PPAR)a, dan
digunakan untuk mengatasi dislipidemia khususnya hipertrigliseridemia. Pada suatu
penelitian yang dilakukan pada 27 pasien yang diberikan fenofibrat 200 mg per hari selama
8 minggu dibandingkan dengan placebo, tanpa memberikan perubahan pada kandungan
trigliserida hati. Dalam studi lain yang melibatkan 16 pasien dengna NAFLD, diberikan
fenofibrat sebesar 200 mg/hari diberikan selama 48 minggu. Pada akhir studi, pasien tersebut
kemudian dilakukan biopsi hati ulang, dan didapatkan perubahan histologis hati minimal
yaitu terjadi pengurangan dari degenerasi balon, tetapi tidak ada perubahan signifikan pada
derajat steatosis, inflamasi lobular dan fibrosis. Hasil dari studi−studi tersebut memberikan
hasil yang berbeda, oleh karena itu untuk penggunaan fibrat sebagai terapi NAFLD, masih
memerlukan studi lebih lanjut.1,3
Ursodeoxycholic acid (UDCA)
Asam Ursodeoxycholic (UDCA) dilaporkan memiliki efek yang baik pada percobaan
terapi NASH karena adanya efek anti inflamasi, anti oksidan, dan hepato protektif yang
dimilkinya. Adanya penurunan dari hepatocellular phosphatidylcholine (PC) terkait erat
dengan terjadinya kerusakan hati pada NASH. Chamulitrat et al, pada tahun 2009 melakukan
percobaan dengan mengkonjugasikan UDCA dengan lysophosphatidylethanolamide (UDCA-
LPE) yang dirancang untuk meningkatkan PC. Dari hasil studi ini UDCA−LPE terbukti
secara in vitro dapat menghambat TNF alfa yang memicu apoptosis dan memicu
pertumbuhan hepatosit, sehingga disimpulkan bahwa UDCA –LPE mungkin memiliki efek
yang baik dalam terapi NASHS. Pemberian UDCA yaitu dengan memberikan dosis tinggi
28-35mg/kgBB/hari.1
Omega-3
Penggunaan asam lemak Omega-3 diduga dapat memberikan perbaikan profil lipid
seperti menurunkan trigliserid, menurunkan resistensi insulin dan sintesis sitokin; hal ini
berkaitan dengan patogenesis dari NAFLD.19 Dalam meta analisis oleh Parker et al.
didapatkan hasil yang beragam dari hasil penggunaan asam lemak tidak jenuh omega-3, akan
tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian suplemen omega-3 dapat menurunkan
perlemakan pada hati akan tetapi dosis optimal untuk efek tersebut belum diketahui secara
pasti. Secara umum, efek akan dicapai dengan penggunaan omega-3 lebih dari 0,83
gram/hari.1,3
Vitamin E
Vitamin E dikenal sebagai suatu antioksidan lipofilik, dan memberikan efek dengan
mereduksi peroksidase lemak, menangkal radikal bebas, dan menstabilisasi membran
fosfolipid sel. Vitamin E juga dapat menghambat ekspresi hepatic transforming growth
factor-β1 dan melindungi dari fibrosis hati. Menurut rekomendasi tahun 2012, vitamin E
sebesar 800 IU/hari direkomendasikan untuk pasien dewasa non diabetes dengan NASH.
Akan tetapi tidak direkomendasikan pada pasien NASH dengan diabetes, NAFLD tanpa
biopsi hati, sirosis NASH, atau sirosis kriptogenik. Efek positif dari pemberian vitamin E
diduga akan menghilang saat penghentian terapi, oleh karena itu mungkin diperlukan terapi
jangka panjang. Akan tetapi, penggunaan jangka panjang diasosiasikan dengan peningkatan
mortalitas oleh berbagai sebab.1,3

Tabel 2. 1
2. Bedah Bariatrik Hingga Prosedur Endoskopi
Salah satu strategi tatalaksana NAFLD/NASH berfokus mengatasi masalah sindrom
metabolik dan risiko terkait. Bentuk penatalaksanaan antara lain bedah bariatrik, prosedur
lain yang memanfaatkan endoskopi seperti balon intragastrik dan gastrektomi(endoscopic
sleeve gastrectomy). Bedah bariatrik saat ini direkomendasikanpada pasien diabetes melitus
tipe II yang mengalami obesitas derajat II (indeks massa tubuh/IMT 35,0-39,9 kg/m2) dan
III(IMT ≥40 kg/m2). Selain itu, bedah bariatric memperbaiki kondisi NASH pada 85% pasien
dan perbaikan fibrosis pada 34% pasien selama satu tahun pasca-bedah bariatrik.3
Meta-analisis atas 21 penelitian observasional menunjukkan bahwa perbaikan
steatosis dilaporkan oleh 18 penelitian dengan penurunan inflamasi dan perbaikan
skorfibrosis pada pasien yang menjalani bedah bariatrik. European Association for the Study
ofthe Liver (EASL) bersama European Associationfor the Study of Diabetes (EASD) dan
EuropeanAssociation for the Study of Obesity (EASO) juga merekomendasikan bahwa bedah
bariatrik(metabolik) dengan memperbaiki kondisi obesitas dan diabetes mampu mereduksi
progresi NASH serta perbaikan lesi histologis NASH. Pemanfaatan prosedur endoskopi
dalam bentuk pemasangan balon intragastrik juga digunakan dalam penanganan obesitas.
Selain itu, prosedur endoskopi bermanfaat dalam penanganan NAFLD/NASH. PenelitianLee
YM, et al, (2012) pada 8 pasien yang diintervensi dengan balon intragastrik dan 10 pasien
kontrol (hanya terapi perubahan gaya hidup) mendapatkan penurunan NASH yang signifikan
beserta penurunan berat badan pada bulan ke-6 meskipun tidak ditemukan perbedaan
bermakna kadar ASL dan ALT pada kedua kelompok. 12
3. Mikrobiota Saluran Cerna dan NAFLD
Terdapat berbagai mikroba dalam saluran cerna manusia yang membentuk kompleks
homeostasis dan keseimbangan fisiologis. Kondisi disbiosis atau ketidak seimbangan
komposisi mikrobiota saluran cerna memiliki peranan dalam pathogenesis NAFLD dan
sindrom metabolik. Kondisi ketidakseimbangan ini mampu memengaruhi ekspresi protein
dan pertahanan saluran cerna serta meningkatkan ekspresi pathogen-associated molecular
patterns (PAMPs) dan damage-associated molecular pattern(DAMPs) yang dapat
menyebabkan kondisi endotoksemia yang mengaktivasi TLR dan sistem imun yang
menginduksi inflamasi kronik dan metabolisme lipid serta glukos atubuh.
Mengingat pentingnya peranan mikrobiotadalam patogenesis NAFLD, modulasi
komposisi mikrobiota saluran cerna dapat menjadi salah satu strategi penatalaksanaan
NAFLD/NASH. Modulasi mikrobiota saluran cerna dapat dengan pemberian
probiotik(bakteri dan ragi hidup yang memiliki efekpositif pada tubuh setelah dikonsumsi
dengan jumlah adekuat) dan prebiotik (oligosakarida yang mempromosikan pertumbuhan
bakteri probiotik dalam saluran cerna). Meta-analisis Loman BR, et al, (2018) menunjukkan
bahwa baik prebiotik, probiotik, dan simbiotik mampu memperbaiki fungsi hepar dan
menurunkan kadar mediator inflamasi pada NASH. Efek penggunaan sinbiotik (kombinasi
probiotik dan prebiotik) pada manusia terangkum pada tabel. 12

Tabel 2. 2

1. Adiwinata R, Kristano A, Christiany F, Richard T, Daniel E. Tatalaksana Terkini


Perlemakan Hati Non Alkoholik. FK UKI Atma Jaya. Jurnal Penyakit Dalam.Vol 2,
No.1.2015
2. Yin X, Guo X, Liu Z, Wang J. Advance in the Diagnosis and Treatment of Non
Alcoholic Fatty Liver Dissease. International Jurnal of Molecular Sciences. 2023.
3. Aditya P, Rinaldy C, Lesmana A. Pharmacological and Non Pharmacological
Treatment in Alcoholic Fatty Liver Disease. Departemenet of Internal medicine
University of Indonesia. 2013.
4.

Anda mungkin juga menyukai