Hujan Akhir Tahun
Hujan Akhir Tahun
langit Januari.
2015
Kidung Sebelum Tidur
: what do you feel when you see all the homeless on the street?
Kita tidak ingin menuntut apa pun selain janji-janji yang menolak menepati diri,
dekat dari semua luka, kita hanya diam seperti Le Penseur jatuh ke dalam
Namun doa-doa, tidak berhenti terlepas dari tingkap atap rumah ibadah
–menuju ke jauh-entah.
Tidak ada yang menjawab sebab mata kita masing-masing masih juga belantara
pada keadilan yang tak pernah subur dan daun gugur sehijau mungkin setelah kalah oleh badai dari
diri sendiri.
air mata yang tanggal–tinggal kita kemasi kusut sapu tangan putih kita
ke dalam saku, tanpa harus mengibaskannya ke arah masa lalu dan juga
kekar dan mekar mirip kelakar nasib yang telah sukar mengajari cara tertawa.
Makassar, 2015
Kepadamu yang telah kucukupkan doa-doa, jauh sebelum sauh kulabuh, tidurlah sebab aku juru
dongeng, terjagalah bila aku denting lonceng gereja, atau riuh azan pagi di tingkap atapmu. Akulah
biduk itu, Sayang, dengan pongah kuredah laut, kutegah segala nujum musim—selamat aku ke
dermaga kau juga. Sedang angin ribut sibuk melukai tubuhnya sendiri.
Surat yang baik hati ini (sebab tak ia lukai kata-kata di dalamnya), telah kukirimkan di musim bulan
penuh, di tubuh laut, maut serupa anak kecil di gendongan ibumu; betapa ia dekat dengan tangisannya
sendiri. Kutulis suratku sambil mengingat ciuman yang kau janjikan itu; berlayarlah cintaku, dermaga
yang beraroma garam ini adalah sepasang bibirku, kait talimu adalah pagutan kita.
Bacalah suratku dengan sedikit hati-hati—dengan sepenuh hati; apa yang tidak dapat diterjemahkan
kata, adalah yang mudah diterima makna. Aku ingin kehilangan kau sekali lagi, seperti perpisahan
yang membuatku menulis surat ini.
Makassar, 2014