Anda di halaman 1dari 3

Hujan Akhir Tahun

Semestinya telah selesai semua yang kita mulai,

sebelum kembang api mengakhirinya seperti

tahun-tahun yang lalu, seperti yang lelah kita lalui

: kita hanya bisa merelakan langit berubah warna

tanpa sanggup mengembalikannya menjadi biru.

Hujan yang mencintai payungmu dan

membenci mantel lusuh pada tubuhku

tidak sekalipun berhenti memberi isyarat

bahwa Desember sebasah sepasang pipimu

waktu itu, aku mengingatnya lebih sering

dari melupakan segala sebab kenapa itu terjadi.

Kau butuh payung? tanyamu, membuatku

menjadi pecundang, dan memilih untuk

pura-pura tidak mendengarmu.

Aku butuh kau dan hanya itu, untuk semua

keadaan, namun kau tidak mendengarnya

sebab aku sekali lagi hanya pecundang yang

mencintaimu seperti kembang api yang tidak

pernah berani mengatakan segalanya kepada

langit Januari.

2015
Kidung Sebelum Tidur

Jalan menuju rumah berubah menjadi peta yang melupakan arah

: what do you feel when you see all the homeless on the street?

Kita tidak ingin menuntut apa pun selain janji-janji yang menolak menepati diri,

dekat dari semua luka, kita hanya diam seperti Le Penseur jatuh ke dalam

lamunan yang tidak pernah tuntas.

Namun doa-doa, tidak berhenti terlepas dari tingkap atap rumah ibadah

–menuju ke jauh-entah.

Menuju gedung-gedung pemerintah.

Can you even look me in the eye?

Tidak ada yang menjawab sebab mata kita masing-masing masih juga belantara

–sementara pohon ditebang dan tumbang di mana-mana yang mengingatkanku

pada keadilan yang tak pernah subur dan daun gugur sehijau mungkin setelah kalah oleh badai dari
diri sendiri.

Kelak, kita bisa berhenti menghitung kesedihan dari jumlah

air mata yang tanggal–tinggal kita kemasi kusut sapu tangan putih kita

ke dalam saku, tanpa harus mengibaskannya ke arah masa lalu dan juga

ke langit, tempat doa tiba tanpa pernah tergesa-gesa.

Jalan raya dirubuti lagu-lagu perjuangan, dan rumah sakit jiwa

menyediakan lebih banyak ruangan,

tapi harapan masih terus

memupuk diri dari hari ke hari–tumbuh di dada kita,

kekar dan mekar mirip kelakar nasib yang telah sukar mengajari cara tertawa.

Namun, we’re not dumb and we’re not blind


; kita tidak akan bungkam soal kepedihan dan terus melihat

kebahagiaan tumbuh di tubuh kita, sebelum lelap lesap ke dalam tidur.

Di dalam tidur, mimpi telah terjaga dan bersiap membangunkan

sebuah pertanyaan di dalam kepala kita–yang lama bermukim

meski musim pemilu berganti dan berganti;

Dear Mr. President

how do you sleep while the rest of us cry?

Makassar, 2015

Surat dari Sauh Jatuh

Kepadamu yang telah kucukupkan doa-doa, jauh sebelum sauh kulabuh, tidurlah sebab aku juru
dongeng, terjagalah bila aku denting lonceng gereja, atau riuh azan pagi di tingkap atapmu. Akulah
biduk itu, Sayang, dengan pongah kuredah laut, kutegah segala nujum musim—selamat aku ke
dermaga kau juga. Sedang angin ribut sibuk melukai tubuhnya sendiri.

Surat yang baik hati ini (sebab tak ia lukai kata-kata di dalamnya), telah kukirimkan di musim bulan
penuh, di tubuh laut, maut serupa anak kecil di gendongan ibumu; betapa ia dekat dengan tangisannya
sendiri. Kutulis suratku sambil mengingat ciuman yang kau janjikan itu; berlayarlah cintaku, dermaga
yang beraroma garam ini adalah sepasang bibirku, kait talimu adalah pagutan kita.

Bacalah suratku dengan sedikit hati-hati—dengan sepenuh hati; apa yang tidak dapat diterjemahkan
kata, adalah yang mudah diterima makna. Aku ingin kehilangan kau sekali lagi, seperti perpisahan
yang membuatku menulis surat ini.

Dan selamanya, lukaku adalah upaya menyembuhkan kesedihanmu.

Makassar, 2014

Anda mungkin juga menyukai