Anda di halaman 1dari 98

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR

WILAYAH KECAMATAN PADA DAERAH OTONOMI BARU


(STUDI KASUS : KOTA GUNUNGSITOLI
PROVINSI SUMATERA UTARA)

T ESIS

Oleh

FELIX KURNIAWAN HAREFA


137003058/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR
WILAYAH KECAMATAN PADA DAERAH OTONOMI BARU
(STUDI KASUS : KOTA GUNUNGSITOLI
PROVINSI SUMATERA UTARA)

T ESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister


Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

FELIX KURNIAWAN HAREFA


137003058/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Tesis : Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar
Wilayah Kecamatan Pada Daerah Otonomi Baru
(Studi Kasus : Kota Gunungsitoli Provinsi
Sumatera Utara)
Nama Mahasiswa : Felix Kurniawan Harefa
No Pokok : 137003058
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
(PWD)

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.H.B.Tarmizi,SE,SU) (Ir.Supriadi,MS)
Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof,Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE) (Prof.Dr.Erman Munir,MSc)

Tanggal Lulus : 02 Februari 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Telah diuji pada
Tanggal : 02 Februari 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE

Anggota : 1. Prof.Erlina,SE,M.Si.Ph.D.Ak.CA

2. Prof.Dr.H.B.Tarmizi,SE,SU

3. Dr.Rudjiman,MA

4. Ir.Supriadi, MS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
ANTAR WILAYAH KECAMATAN PADA DAERAH OTONOMI BARU
(STUDI KASUS KOTA GUNUNGSITOLI PROVINSI SUMATERA UTARA)

FELIX KURNIAWAN HAREFA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat ketimpangan


pembangunan antar wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli kurun waktu 2010-
2014. Metode analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson, Analisis
Tipologi Klassen dan Analisis Faktor. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder dan data primer, data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik yang terdiri dari laju pertumbuhan ekonomi, PDRB dan jumlah
penduduk, data primer di peroleh dari observasi langsung kelapangan dengan
menyebarkan angket/kuisioner kepada responden. Wilayah kecamatan di Kota
Gunungsitoli yaitu Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Utara,
Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kecamatan
Gunungsitoli Alo’oa dan Kecamatan Gunungsitoli Idanoi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2010 sampai
dengan 2014 ketimpangan antar tiap-tiap kecamatan jika dilihat berdasarkan hasil
perhitungan Indeks Williamson terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat
dari nilai Indeks Williamson Kota Gunungsitoli dimana pada tahun 2010 sebesar
0,9071, dan pada tahun 2014 sebesar 1,3514. Dari hasil analisis Tipologi Klassen
kecamatan cepat maju dan cepat tumbuh yaitu Kecamatan Gunungsitoli,
Kecamatan Gunungsitoli Selatan dan Gunungsitoli Idanoi, kecamatan maju tapi
tertekan yaitu Kecamatan Gunungsitoli Utara, kecamatan berkembang yaitu
Kecamatan Gunungsitoli Barat dan kecamatan relatif tertinggal yaitu Kecamatan
Gunungsitoli Alo’oa. Selanjutnya berdasarkan Analisis Faktor Berdasarkan nilai
tingkat keberartian (eigenvalue) terhadap ketimpangan antar sub wilayah faktor
pertama yaitu kebijakan pemerintah adalah faktor yang paling mempengaruhi
terjadinya ketimpangan antar sub wilayah, kemudian diikuti oleh faktor kondisi
perekonomian, faktor kondisi internal, dan terakhir faktor kebijakan
pembangunan.

Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan, Wilayah Kecamatan, Indeks


Williamson, Tipologi Klassen, Analisis Faktor.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ANALYSIS OF THE DEVELOPMENT DISPARITY
AMONG AREA DISTRICT OF NEW AUTONOMY REGIONAL (CASE STUDY
GUNUNGSITOLI CITY - NORTH SUMATERA)

FELIX KURNIAWAN HAREFA

ABSTRACT

This study aims to analyze the degree of inequality of development


among regions districts in the city of Gunungsitoli period of 2010-2014. The
analytical method used are the Williamson Index, Klassen Typology analysis, and
factor analysis. The data used in this research aresecondary data and primary
data; secondary data obtained from the Central Bureau of Statistics which
consists of economic growth, the GDP and population, and primary data obtained
from direct observation spaciousness by distributing questionnaires to the
respondents. The districts in the Gunungsitoli town are District of Gunungsitoli,
District of North Gunungsitoli, District of SouthernGunungsitoli, District of West
Gunungsitoli, District of Gunungsitoli Alo'oa, and District of Gunungsitoli Idanoi.
The results showed that during the period 2010 to 2014 the imbalance
between each district when viewed based on the calculation using Williamson
index continued to increase, it can be seen from the Williamson Index of
Gunungsitoli which in 2010 amounted to 0.9071, and the year 2014 at 1.3514.
From the analysis of the District Klassen Typology, fast forward and fast-growing
Districts were Districtof Gunungsitoli, District of South Gunungsitoli and District
of Gunungsitoli Idanoi;developed but suppressed districs are District of North
Gunungsitoli; growing district was District of West Gunungsitoli; relatively
underdeveloped district was Districtof GunungsitoliAlo'oa. Furthermore, based
on Factor Analysis on the value of the significance level (eigenvalue) of the sub-
region disparities amongst the first factor is the government's policy which were
the most influenced factorof inequality between sub region, followed by economic
conditions factor, internal conditions factor, and last the development policy
factor.

Keywords: Inequality Development District Area, Williamson Index, Klassen


Typology, Factor Analysis.

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

dan Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Analisis Ketimpangan

Pembangunan Antar Wilayah Kecamatan Pada Daerah Otonomi Baru Studi Kasus

Kota Gunungsitoli.”

Selama proses penyelesaian tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan

bantuan, arahan dan bimbingan dari segenap pihak baik langsung maupun tidak

langsung, berkenaan hal tersebut perkenankanlah penulis mengucapkan

terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,M.Hum, sebagai Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Erman Munir,MSc, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE, sebagai Ketua Program Studi

Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti perkuliahan.

4. Bapak Drs.Martinus Lase, MSP, sebagai Walikota Gunungsitoli atas

bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan

studi pada program pascasarjana.

5. Bapak Prof.Dr.H.B.Tarmizi,SE,SU, sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak Ir.Supriadi,MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta masukan dan arahan

selama proses bimbingan dan penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE, Ibu Prof.Erlina,SE,M.Si,Ph.D,Ak,

Bapak Dr.Rudjiman,MA, sebagai Komisi Penguji yang telah memberikan

masukan dan saran-saran konstruktif untuk kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh Dosen yang mengajar mata kuliah pada Program Studi Magister

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

8. Orang tua yang saya muliakan, Bapak saya T.Harefa dan Ibu saya Y.Zebua

dan juga isteriku tercinta dr.Beatrice Angela B, dan anak-anakku tersayang

Filbert T.Z.Harefa dan Florensia E.Harefa atas do’a, perhatian dan dorongan

yang tetap diberikan selama proses penyelesaian studi.

9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan angkatan 2014,.dan juga kepada rekan-rekan kerja

di Inspektorat Kota Gunungsitoli, serta segenap keluarga dan handai tolan

lainnya atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik

dari aspek pemadatan materi maupun teknik penyajiannya, oleh karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran konstruktif untuk penyempurnaan dimasa

mendatang dan kiranya tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya.

Medan, Februari 2016


Penulis

Felix Kurniawan Harefa

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


RIWAYAT HIDUP

Felix Kurniawan Harefa lahir di Gunungsitoli, 29 April 1984, merupakan

anak kedua dari lima bersaudara, putra dari Bapak T.Harefa dan Ibu Y.Zebua.

Penulis memiliki seorang isteri bernama dr. Beatrice Angela Bu’ulolo dan dua

orang anak bernama Filbert Timothy Zaro Harefa dan Florensia Evelyn Harefa.

Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis adalah pada tahun

1996 lulus Sekolah Dasar dari SD Negeri 070974 Gunungsitoli, tahun 1999 lulus

dari SLTPN 1 Gunungsitoli, dan tahun 2002 lulus dari SMU Swasta Kristen

Immanuel Medan. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sarjana di

Universitas HKBP Nommensen jurusan Ekonomi dan lulus tanggal 14 April 2007

dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi (SE).

Pada 03 Maret 2011 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di

lingkungan Pemerintah Kota Gunungsitoli dan ditempatkan di Inspektorat Kota

Gunungsitoli sampai dengan sekarang.

Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada program studi

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Universitas Sumatera

Utara (USU) Medan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK…………………………………………………………………............ . I
ABSTRACT………………………………………………………………............... II
KATA PENGANTAR……………………………………………………............... III
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………….. ............. V
DAFTAR ISI……………………………………………………………….............. VI
DAFTAR TABEL………………………………………………………… ............. VIII
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………................. IX
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… ............. X

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………... .............. 1


1.1.Latar Belakang………………………………………………………............. 1
1.2.Perumusan Masalah………………………………………………… ............. 6
1.3.Tujuan Penelitian…………………………………………………… ............. 7
1.4.Manfaat Penelitian…………………………………………………. .............. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………… .............. 8


2.1. Penelitian Terdahulu……………………………………………….............. 8
2.2. Perencanaan Wilayah…………………………………………….. .............. 10
2.2.1. Pengertian Perencanaan Wilayah…………………………… ............. 11
2.2.2. Konsep Perwilayahan………………………………………. .............. 13
2.3. Pengembangan Wilayah…………………………………………. .............. 17
2.3.1. Teori kutub Pertumbuhan………………………………….. ............... 19
2.3.2. Teori tempat Pusat………………………………………….. .............. 21
2.3.3. Interaksi Desa Kota………………………………………… .............. 27
2.4. Pembangunan Ekonomi Wilayah…………………………………. .............. 29
2.5. Disparitas Antar Daerah…………………………………………… ............. 31
2.6. Sintesa Kajian Teori……………………………………………….. ............. 39
2.7. Kerangka Berpikir…………………………………………………. ............. 42

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………….............. 43


3.1.Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………….............. 43
3.2. Jenis Penelitian…………………………………………………….. ............. 44
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian…………………………………….............. 44
3.4. Teknik Pengumpulan Data………………………………………….............. 47
3.5. Jenis dan Sumber Data……………………………………………................ 47
3.6. Identifikasi dan Defenisi Operasional Variabel Penelitian………................. 48
3.7. Model Analisis Data………………………………………………… ........... 49
3.7.1. Indeks Williamson…………………………………………… ............ 49
3.7.2. Analisis Tipologi Klassen……………………………………............. 50
3.7.3. Analisis Faktor...................................................................................... 51

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………. ........... 53
4.1. Hasil Penelitian……………………………………………………… ........... 53
4.1.1. Gambaran Umum Kota Gunungsitoli………………………. ............. 53
4.1.2. Visi dan Misi Kota Gunungsitoli 2011-2016……………….. ............. 54
4.1.3. Administrasi………………………………………………….............. 55
4.1.4. Demografi…………………………………………………….. ........... 55
4.1.5. Karakteristik Responden……………………………………. ............. 57
4.1.6. Penjelasan Responden Atas Variabel Penelitian…………... ............... 59
4.2. Pembahasan…………………………………………………………. ........... 61
4.2.1. Analisis Indeks Williamson………………………………..... ............ 61
4.2.2. Struktur Perekonomian………………………………............ ............. 63
4.2.3. Analisis Tipologi Klassen…………………………………………....... 64
4.2.4. Gabungan Analisis Indeks Williamson dan Tipologi Klassen. ............ 66
4.2.5. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan……………............. 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… ........... 72


5.1. Kesimpulan………………………………………………………… ............. 72
5.2. Saran………………………………………………………………… ........... 73

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………............ 74 ............

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1.1. Pertumbuhan Ekonomi, PDRB, dan PDRB Perkapita…………........ 3


1.2. Pendapatan Perkecamatan………………………............................... 4
1.3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2014…............................... 6
2.1. Keterkaitan Fungsi Desa dan Kota………………………….............. 28
2.2. Variabel Terpilih dari Kajian Teori………………………................ 41
3.1. Populasi dan Sampel Perkecamatan………………………................ 46
3.2. Matriks Operasional Variabel Penelitian……………….................... 48
3.3. Klasifikasi Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen............................. 50
4.1. Wilayah Administrasi Kota Gunungsitoli.......................................... 55
4.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2014................................... 56
4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Usia............................... 57
4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan………………............ 57
4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan.................................. 58
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kecamatan.................................. 58
4.7. Tanggapan RespondenTerhadap Sub Variabel Penelitian.................. 59
4.8. Hasil Perhitungan Indeks Williamson................................................. 61
4.9. Perkembangan PDRB Kota Gunungsitoli Berdasarkan Harga
Konstan 2010 Tahun 2010-2014......................................................... 63
4.10. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Gunungsitoli Berdasarkan Harga
Konstan 2010 Tahun 2010-2014......................................................... 64
4.11. Pendapatan dan Pertumbuhan Rata-rata Kecamatan........................... 65
4.12. Pengelompokan Kecamatan Berdasarkan Tipologi Klassen…........... 65
4.13. Gabungan Hasil Analisis Indeks Williamson dan Hasil Analisis
Tipologi Klassen................................................................................. 66
4.14. Penamaan Faktor Baru........................................................................ 70

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Diagram Model Pusat Pertumbuhan……………………………...... 20


2.2. Hipotesis Christaller……………………………………………. ..... 22
2.3. Kerangka Pemikiran……………………………………………. ..... 42
4.1. Peta Tipologi Klassen Wilayah Kecamatan di Kota
Gunungsitoli....................................................................................... 66

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

Lampiran I Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota


Gunungsitoli Tahun 2010
Lampiran II Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota
Gunungsitoli Tahun 2011
Lampiran III Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota
Gunungsitoli Tahun 2012
Lampiran IV Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota
Gunungsitoli Tahun 2013
Lampiran V Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota
Gunungsitoli Tahun 2014
Lampiran VI Daftar Kuisioner
Lampiran VII Laporan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kota Gunungsitoli Tahun 2010-2014
Lampiran VIII Perhitungan Analisis Faktor Dengan Menggunakan SPSS
2.0.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pembangunan ekonomi

yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan struktur ekonomi yang ditandai

dengan adanya sektor industri yang maju dan didukung oleh sektor pertanian yang

kuat. Pembangunan ekonomi sendiri merupakan usaha-usaha yang dilakukan

untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang biasanya diukur dengan

peningkatan pendapatan perkapita, selain untuk meningkatkan pendapatan

perkapita pembangunan ekonomi juga ditujukan untuk peningkatan produktivitas.

Dalam jangka panjang suatu pembangunan ekonomi akan menghasilkan

perubahan struktur ekonomi dari tradisional menuju modern, dimana sektor

primer yang merupakan sektor yang sangat tergantung pada alam akan tergeser

oleh sektor-sektor non primer seperti industri dan jasa yang menjadi sektor

unggulan.

Keberhasilan pembangunan ekonomi sendiri menurut Todaro (Arsyad,

1999:11) terdapat 3 nilai pokok yaitu berkembangnya kemampuan masyarakat

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (basic needs), meningkatkan harga diri

(self-esteem) sebagai manusia dan meningkatnya kemampuan masyarakat untuk

memilih (freedom for survitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi

manusia. Namun dalam pembangunan tidak selalu bisa mencapai pemerataan,

beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang cepat, sementara beberapa daerah

yang lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak

mengalami pertumbuhan yang sama disebabkan oleh kurangnya sumber-sumber

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Adanya kecenderungan peranan

modal memilih daerah perkotaan atau daerah yang telah memiliki fasilitas seperti

prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan,

asuransi, juga tenaga kerja yang terampil.

Pada era Orde Baru pembangunan yang dilakukan oleh negara kita

berorientasi pada pendekatan top down atau sentralistik, sehingga daerah-daerah

di Indonesia tidak bisa berkembang secara merata. Hasil potensi daerah yang ada

selalu lari menuju pusat sehingga di daerah tidak bisa menikmati pencapaian

pembangunan dengan semestinya. Oleh sebab itu pada akhir tahun 1990an terjadi

pergantian pemerintahan di Indonesia dari Orde Baru berganti dengan Reformasi.

Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tersebut

menuntut adanya pelaksanaan otonomi daerah dimana daerah diberikan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional. Dengan

adanya otonomi daerah ini diharapkan ketimpangan antara daerah pusat dengan

daerah lain tidak terlalu jauh. Setiap daerah dapat mengembangkan potensi

daerahnya sesuai dengan rencana pembangunan daerah namun juga harus

disesuaikan dengan rencana pembangunan nasional sehingga akan tercipta

pembangunan daerah yang bisa mendorong pembangunan nasional. Untuk

melancarkan program pembangunan ekonomi daerah diperlukan suatu strategi

pembangunan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Kota Gunungsitoli yang terletak di Provinsi Sumatera Utara merupakan

kota tertua dan terbesar yang ada di Kepulauan Nias. Setelah ditingkatkan

statusnya dari kecamatan menjadi kota otonom yang dibentuk berdasarkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2008. Menjadi salah satu daerah yang

berkembang cukup baik ketika terjadi pergantian sistem dari sentralisasi ke

desentralisasi atau seperti pada pembahasan sebelumnya yang disebut dengan

daerah otonomi baru. Berbagai pencapaian telah dicapai oleh Kota Gunungsitoli

dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama di bidang ekonomi.

Pembangunan ekonomi Kota Gunungsitoli mulai terlihat dengan adanya

beberapa pengembangan potensi daerah. Hal itu terlihat dari mulai meningkatnya

pengembangan sektor ekonomi seperti pengembangan sektor pariwisata sampai

pengembangan sektor perdagangan. Pemberdayaan sektor usaha kecil dan

menengah (UKM) juga terus diupayakan oleh pemerintah Kota Gunungsitoli.

Pembangunan ini tentunya dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah.

Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi, PDRB, dan PDRB Perkapita Kota


Gunungsitoli 2010-2014

Tahun
No Keterangan 2010 2011 2012 2013 2014
1 Growth (%) 6,21 6,29 6,18 6,22 6,11

2 PDRB (juta) 2016,68 2143,60 2276,15 2417,75 2565,47

3 PDRB/kapita(juta) 15,93 16,66 17,44 18,26 19,11


Sumber : BPS, Gunungsitoli Dalam Angka 2015

Dengan adanya pembangunan ekonomi yang cukup baik tersebut membuat

Produk Domestik Regional Bruto Kota Gunungsitoli cenderung mengalami

peningkatan selama kurun waktu 2010 – 2014. Namun pertumbuhan ekonomi

terus mengalami penurunan selama kurun waktu 2010 – 2014, walaupun kisaran

pertumbuhan ekonomi Kota Gunungsitoli rata-rata di kisaran 6 % (persen) tiap

tahunnya. Namun biasanya dengan kondisi perekonomian yang cukup baik

tersebut tidak membuat pembangunan ekonomi tiap kecamatan lebih merata. Hal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tersebut sesuai dengan hipotesis Kuznets bahwa pertumbuhan ekonomi yang

tinggi akan dibarengi dengan ketimpangan wilayah didalamnya.

Demikian pula dengan ketimpangan antar kecamatan, dilihat dari

perkembangan kecamatan, Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli

Idanoi, Kecamatan Gunungsitoli Utara dan Kecamatan Gunungsitoli Selatan

digolongkan kedalam kecamatan yang pertumbuhannya cepat, sedangkan

Kecamatan Gunungsitoli Barat dan Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa digolongkan

kedalam kecamatan yang pertumbuhannya lambat. Indikasi adanya potensi

ketimpangan wilayah antar kecamatan di Kota Gunungsitoli dapat dilihat pada

tingkat pendapatan perkecamatan. Pendapatan perkecamatan ini dapat dilihat pada

data laporan realisasi pendapatan asli daerah (PAD) Kota Gunungsitoli dari kurun

waktu 2010 – 2014, berdasarkan data tersebut tingkat pendapatan tiap-tiap

kecamatan secara fluktuatif dari tahun ke tahun mengalami peningkatan namun

ada terdapat juga kecamatan yang tingkat pendapatannya tinggi dan kecamatan

yang tingkat pendapatannya rendah seperti seperti dapat dilihat pada tabel 1.2.

berikut.

Tabel 1.2. Pendapatan Wilayah Perkecamatan Berdasarkan Pajak Retribusi


Hotel, Restoran, Hiburan, Reklame dan Biaya Cetak Formulir

No Kecamatan Pendapatan
2010 2011 2012 2013 2014
1 Gunungsitoli 50.945.435 86.896.934 54.687.946 172.823.649 118.699.088
2 Gunungsitoli Utara 8.729.444 18.137.444 28.306.674 28.127.500 32.628.750
3 Gunungsitoli Selatan 3.429.577 23.603.629 11.383.687 29.021.500 103.707.156
4 Gunungsitoli Barat 450.000 8.712.339 14.906.651 18.132.775 20.447.380
5 Gunungsitoli Alo’oa 2.135.980 7.400.819 4.485.650 11.173.920 13.886.184
6 Gunungsitoli Idanoi 18.037.653 34.894.026 14.175.679 53.928.380 52.247.172
Total 83.728.089 179.645.191 127.946.287 313.207.724 341.615.730
Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Gunungsitoli

Dari tabel diatas dapat diketahui laju pendapatan perkecamatan

cenderung meningkat dari tahun 2010-2014, walaupun pendapatan beberapa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kecamatan pada tahun 2012 mengalami penurunan dimana hal ini disebabkan

pada tahun 2012 regulasi/perda tentang pajak retribusi belum disahkan oleh

DPRD Kota Gunungsitoli. Seperti kita lihat pada tabel 1.2. diatas, Kecamatan

Gunungsitoli pada tahun 2010 pendapatannya sebesar Rp. 50.945.435 naik

menjadi Rp. 118.699.088 pada tahun 2014, Kecamatan Gunungsitoli Utara pada

tahun 2010 pendapatannya sebesar Rp. 8.729.444 naik menjadi Rp. 32.628.750

pada tahun 2013, Kecamatan Gunungsitoli Selatan pada tahun 2010

pendapatannya sebesar Rp. 3.429.577 naik menjadi Rp.103.707.156 pada tahun

2014, Kecamatan Gunungsitoli Barat pada tahun 2010 pendapatannya sebesar

Rp. 450.000 naik menjadi Rp. 20.447.380 pada tahun 2014, Kecamatan

Gunungsitoli Alo’oa pada tahun 2010 pendapatannya sebesar Rp. 2.135.980 naik

menjadi Rp. 13.886.184 pada tahun 2014, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi pada

tahun 2010 pendapatannya sebesar Rp. 18.037.653 naik menjadi Rp. 52.247.172

pada tahun 2014. Walaupun pendapatan kecamatan mengalami peningkatan tiap

tahunnya namun masih terdapat beberapa kecamatan yang tingkat pendapatannya

sangat rendah dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya yaitu

Kecamatan Gunungsitoli Barat dan Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa.

Selain dilihat dari pendapatan per kecamatan, indikasi lain dari adanya

ketimpangan pembangunan antar wilayah di kota Gunungsitoli adalah persebaran

jumlah penduduk. Seperti terlihat dari tabel 1.3. Jumlah penduduk Kota

Gunungsitoli Tahun 2014 menurut angka proyeksi BPS Kota Gunungsitoli

sebanyak 134.196 jiwa, terdiri dari penduduk perempuan sebanyak 68.545 jiwa

dan penduduk laki-laki sebanyak 65.657 jiwa. Dari total penduduk Kota

Gunungsitoli sebanyak 48,04 persen berdomisili di Kecamatan Gunungsitoli,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sementara wilayah yang paling sedikit didiami yakni Kecamatan Gunungsitoli

Alo’oa sebanyak 5,31 persen.

Tabel 1.3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2014

No Kecamatan Luas Penduduk Kepadatan Penyebaran


(Km2) (Orang) Penduduk (%)
(Orang/Km2)
1 Gunungsitoli Idanoi 134,78 22.843 169 17,02
2 Gunungsitoli 56,85 14.611 257 10,89
Selatan
3 Gunungsitoli Barat 28,70 7.906 275 5,89
4 Gunungsitoli 109,09 64.467 591 48,04
5 Gunungsitoli 60,21 7.131 118 5,31
Alo’oa
6 Gunungsitoli Utara 79,73 17.238 216 12,85
Total 469,36 134.196 286 100
Sumber : BPS, Gunungsitoli Dalam Angka 2015

Dengan adanya perbedaan kondisi daerah atau adanya indikasi terjadinya

ketimpangan tersebut dapat menghambat proses pembangunan ekonomi Kota

Gunungsitoli secara umum, untuk itu penelitian tentang Ketimpangan

Pembangunan Antar Wilayah Kecamatan di Kota Gunungsitoli sangat perlu

dilakukan. Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan pemerintah mampu

membuat kebijakan yang tepat bagi Kota Gunungsitoli sehingga perbedaan

kondisi daerah atau ketimpangan antar kecamatan di Kota Gunungsitoli dapat

berkurang.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas bisa diketahui bahwa ada indikasi adanya

ketimpangan daerah atau kecamatan sehingga perlu dikembangkan penelitian

mengenai ketimpangan wilayah di Kota Gunungsitoli, untuk itu rumusan masalah

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Berapa besar tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah kecamatan di

Kota Gunungsitoli.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Bagaimana pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi antar wilayah kecamatan

di Kota Gunungsitoli.

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah

kecamatan di Kota Gunungsitoli.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Menganalisis tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah kecamatan di

Kota Gunungsitoli.

2. Menganalisis pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi antar wilayah

kecamatan di Kota Gunungsitoli.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan

pembangunan antar wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

berbagai pihak, diantaranya :

1. Bagi peneliti, sebagai bahan acuan dalam mempelajari perencanaan

pembangunan regional sehingga bisa menjadi bahan pendukung dalam

penelitian lebih lanjut tentang ketimpangan pembangunan daerah.

2. Bagi pembaca, untuk menambah wawasan tentang ketimpangan wilayah dan

faktor penyebabnya.

3. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam perencanaan pembangunan wilayah kedepan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait pertumbuhan ekonomi maupun ketimpangan

pembangunan antar wilayah telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti antara

lain;

Penelitian oleh Kuncoro (2004) tentang “Pertumbuhan Ekonomi dan

Disparitas (ketimpangan) antar kecamatan di Kabupaten Banyumas”, mengatakan

bahwa pada periode pengamatan 1993-2000, (1) Terjadi kecenderungan

peningkatan disparitas baik dianalisis dengan Indeks Williamson maupun dengan

Indeks Entropi Theil. Ketimpangan salah satunya disebabkan oleh konsentrasi

aktivitas ekonomi secara parsial, (2) Hipotesis Kuznets mengenai ketimpangan

yang berbentuk U terbalik berlaku di Kabupaten Banyumas. Hal ini terbukti dari

hasil analisis Korelasi Pearson. Hubungan antara pertumbuhan dengan indeks

ketimpangan Williamson dan Entropi Theil.

Penelitian oleh Sirojuzilam (2007) menunjukkan hasil bahwa

pertumbuhan ekonomi wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain

investasi, pengeluaran pemerintah, pendidikan, transportasi, aglomerasi industri

dan budaya (heterogenitas etnik). Perbedaan dari pertumbuhan ekonomi inilah

yang kemudian menciptakan ketimpangan antar daerah atau wilayah. Bahwa

adanya perbedaan dan ketimpangan diantara wilayah barat dan wilayah timur

Provinsi Sumatera Utara akibat adanya perbedaan potensi sumber daya wilayah,

infrastruktur transportasi, pengeluaran pemerintah, pendidikan, sumber daya

manusia, kepadatan penduduk, investasi, heterogenitas etnik (keberagaman suku),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan sumber daya alam, maka tipe perencanaan dan kebijakan regional tidaklah

harus sama diantara berbagai wilayah.

Penelitian oleh Yakin (2009) tentang “Analisis Ketimpangan

Pembangunan Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan”, bahwa

ketimpangan pembangunan yang terjadi di Kabupaten Nias lebih tinggi dari

Kabupaten Nias Selatan, tetapi ketimpangan pembangunan di kedua kabupaten ini

tergolong rendah (IW < 0,3). Berdasarkan analisis tipologi klassen, kedua

kabupaten ini termasuk daerah relatif tertinggal (kuadran IV). Hipotesis Kuznets

juga berlaku untuk kedua kabupaten ini.

Penelitian oleh Herwin (2010) tentang “Analisis Ketimpangan

Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo”, mengatakan

secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif dengan

ketimpangan pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pola pergerakan laju

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dibarengi dengan peningkatan nilai indeks

Gini.

Penelitian oleh Baransano (2011) tentang “Analisis Disparitas

Pembangunan Wilayah di Papua Barat”, mengatakan bahwa, (1) hasil analisis

dengan indeks Williamson dan indeks Theil menunjukkan disparitas

pembangunan di Provinsi Papua Barat berangsur menurun. Setelah didekomposisi

dengan indeks Theil diketahui bahwa sumber disparitas pembangunan wilayah di

Provinsi Papua Barat selama 2005-2008 lebih banyak dipengaruhi oleh disparitas

dalam wilayah pengembangan II yaitu kabupaten Sorong, Kota Sorong,

Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat. (2) secara simultan,

ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, jumlah penduduk, alokasi dana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perimbangan dan indeks pembangunan manusia signifikan mempengaruhi

disparitas pembangunan wilayah sedangkan secara parsial variabel alokasi dana

perimbangan tidak signifikan sebagai sumber disparitas pembangunan.

Penelitian oleh Yasokhi (2012) tentang “Desentralisasi Fiskal Kaitannya

Dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Wilayah Kota Gunungsitoli”.

Mengatakan bahwa indeks disparitas wilayah (Indeks Williamson) tahun 2010

(0,14) mengalami penurunan atau semakin mendekati angka 0 (nol) dibandingkan

dengan tahun 2009 (0,19). Hal ini menggambarkan bahwa berdasarkan hasil

penelitian deskriptif, pada tahun 2010 terjadi kecenderungan menurunnya

disparitas wilayah/distribusi pendapatan antar sub-wilayah/kecamatan.

Penelitian oleh Sukmana (2012) tentang “Analisis Disparitas

Pembangunan Ekonomi antar Kecamatan di Kabupaten Langkat” menggunakan

data time series dari tahun 1996-2010 dan menggunakan alat analisis Indeks

Williamson, Indeks Entropi Theil, Tipologi Klassen dan Korelasi Pearson. Hasil

penelitiannya mengungkapkan bahwa dari hasil analisis kesenjangan regional,

diketahui kesenjangan antar kecamatan dikabupaten langkat mengalami

peningkatan pada tiap tahun. Berdasarkan alat analisis Tipologi Klassen

kecamatan yang mengalami ketertinggalan adalah Kecamatan Kuala dan

Kecamatan Sei Lapan.

2.2. Perencanaan Wilayah

Perencanaan dapat berarti hal yang berbeda menurut pandangan orang

yang berbeda. Terdapat banyak defenisi perencanaan, yang terlihat berbeda antara

buku teks yang satu dengan buku teks lainnya. Perbedaan defenisi terutama

terdapat antara buku teks pada satu cabang ilmu dengan buku teks cabang ilmu

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


lainnya. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan sudut pandang, perbedaan fokus

perhatian, dan perbedaan luasnya bidang yang tercakup dalam perencanaan itu

sendiri.

2.2.1. Pengertian Perencanaan Wilayah

Salah satu yang menjadi persoalan dalam regional planning begitu

banyaknya pendekatan yang berbeda, diantaranya begitu banyak pengertian

pengertian dalam ilmu-ilmu sosial, ”regional planning” berarti hal yang berbeda

bagi orang yang berbeda dan dalam tempat yang berbeda (Conyers, 1984:340).

Menurut Friedmann dalam Glasson (1974:5) perencanaan adalah cara

berpikir mengenai persoalan-persoalan sosial dan ekonomi, perencanaan adalah

terutama berorientasi kepada masa datang, sangat berkenaan dengan hubungan

antara tujuan dan keputusan-keputusan kolektif dan mengusahakan kebijaksanaan

dan program yang menyeluruh. Bilamana cara berpikir ini diterapkan, maka dapat

dikatakan bahwa perencanaan sedan dilaksanakan.

Menurut Conyers & Hills (dalam Arsyad (1999:19) perencanaan adalah

suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau

pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.

Lewis dalam Faridad (1981:93) mendefenisikan perencanaan sebagai

suatu hal yang mengandung elemen-elemen berikut :

a. Suatu survei dari kondisi-kondisi ekonomi saat ini.

b. Membuat daftar usulan belanja publik.

c. Melakukan diskusi mengenai kemungkinan pembangunan oleh sektor swasta.

d. Proyeksi ekonomi makro.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


e. Kilas balik dari kebijakan-kebijakan pemerintah.

Menurut Friedmann & Weaver (1979:129) perencanaan wilayah adalah

hampir merupakan suatu upaya dalam membuat suatu formula bagi pusat-pusat

pertumbuhan dengan mengabaikan dimensi-dimensi lain dari kebijakan wilayah.

Wilayah atau teritorial kebijakan-kebijakan khusus menjadi latar belakang diskusi

akademik. Sebagai kesimpulan dalam perencanaan wilayah perhatian tidak hanya

diberikan sebatas pada sumberdaya alam, impelementasi politik dan organisasi

administrasi bagi pembangunan perdesaan.

Kritikan penting diberikan oleh Gore (1984:165) terhadap teritorial

perencanaan wilayah, dia mengklaim bahwa Friedmann dan Weaver kelewat

idealis dalam pembelaan mereka terhadap perbaikan kehidupan teritorial. Hal

yang paling mendasar, gambaran mereka tentang unit-unit teritorial adalah

problematik karena dugaan digunakannya ruang berasal dari ketidakmampuan

memahami dan perencanaan dunia sosial. Padahal menurut Gore yang menjadi

persoalan mengenai teritorial perencaan wilayah meliputi tiga aspek yaitu :

1. Unit-unit teritorial (nasional, regional, distrik) merupakan suatu organisme.

2. Region bukan merupakan organisme objektif dengan kehidupan mereka

sendiri, tapi diartikan sebagai subjektif dengan hubungan manusia dan

kehidupan sosial didalamnya.

3. Keyakinan bahwa perbaikan integritas wilayah akan tercapai dengan tindakan

yang disengaja` dimana populasi lokal akan membangun diri mereka sendiri.

Defenisi perencanaan wilayah yang lebih komprehensif dan mungkin

dengan orientasi yang berbeda diberikan oleh Profesor Kosta Mihailovic dalam

Faridad (1981:87), yang menyebutkan “pembangunan wilayah diartikan sebagai

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perubahan sosial ekonomi dalam berbagai tipe wilayah, hubungan interregional

yang dinamis dan faktor-faktor relevan yang memiliki keterkaitan dengan tujuan

dan hasil dari pembangunan.” Defenisi ini menurut Faridad memiliki kelemahan

kurang detail penjelasan secara ilmiah dan terlalu luas serta tidak menyentuh

faktor-faktor yang relevan dalam pembangunan.

Faridad (1981:94) sendiri mendefenisikan perencanaan wilayah sebagai

suatu aplikasi dari model pertumbuhan bagi perencanaan pembangunan dengan

rujukan yang sangat jelas dalam dimensi ruang bagi proses pembangunan. Sebagai

alternatif, hal ini dapat ditunjukkan sebagai persiapan action plan pemerintah

dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi dan pembangunan wilayah.

2.2.2. Konsep Perwilayahan

John Glasson dalam Sitohang ed. (1990:19) mengemukakan konsep

tentang wilayah melalui 2 fase metode pengklasifikasian yang berbeda dan

mencerminkan kemajuan ekonomi dari perekonomian sederhana ke sistem

industri yang kompleks. Pada fase pertama memperlihatkan wilayah formal, yaitu

berkenaan dengan keseragaman dan didefinisikan menurut homogenitas. Fase

kedua memperlihatkan perkembangan wilayah fungsional yaitu berkenaan dengan

interdependensi, saling hubungan antara bagian-bagian dan didefinisikan menurut

koherensi fungsional.

Wilayah formal adalah wilayah geografik yang seragam atau homogen

menurut kriteria tertentu. Pada mulanya, kriteria yang dipergunakan untuk

mendefenisikan wilayah formal adalah terutama bersifat fisik seperti topografi,

iklim atau vegetasi, dikaitkan dengan konsep determinisme geografik. Tapi

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


belakangan terjadi peralihan kepada penggunaan kiteria ekonomi seperti tipe

industri atau tipe pertanian dan malahan juga kriteria sosial dan politik.

Wilayah fungsional adalah wilayah geografik yang memperlihatkan suatu

koherensi fungsional tertentu, suatu interdepensi dari bagian-bagian, apabila

didefenisikan berdasarkan kriteria tertentu. Wilayah ini kadang-kadang

dinamakan daerah nodal atau “polarised region” dan terdiri dari satuan-satuan

yang heterogen, seperti kota dan desa, yang secara fungsional saling berkaitan.

Hubungan-hubungan fungsional biasanya terlihat dalam bentuk arus, dengan

menggunakan kriteria sosio ekonomi seperti perjalanan ketempat kerja atau

ketempat berbelanja yang menghubungkan pusat-pusat lapangan kerja dan

pembelanjaan dengan pusat-pusat subsider.

Tarigan (2004:102) mendefenisikan wilayah sebagai satu kesatuan ruang

secara geografi yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal

batas dan kondisinya.

Keragaman dalam mendefenisikan konsep wilayah terjadi karena

perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang

dihadapi. Kenyataannya tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima

secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah

terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah.

Blair (1991) memandang konsep wilayah nodal terlalu sempit untuk

menjelaskan fenomena yang ada dan cenderung menggunakan konsep wilayah

fungsional (functional region) yaitu suatu konsep wilayah yang lebih luas, dimana

konsep wilayah nodal adalah salah satu bagian dari konsep wilayah fungsional.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lebih lanjut Blair cenderung mengistilahkan wilayah perencanaan sebagai

wilayah administratif (administrative region).

Sementara itu Hoover dan Garantani (dalam Dawkins, 2003:133)

memandang konsep wilayah sebagai ruang yang saling berkaitan atau “nodal”.

Dan menurut mereka wilayah nodal memiliki dua karakteristik yaitu (1) secara

fungsional terintegrasi secara internal pada tingkat tenaga kerja, modal, atau aliran

komoditas yang lebih umum terjadi di dalam wilayah daripada daerah lain, dan (2)

dalam suatu wilayah, aktivitas terkonsentrasi pada satu titik, atau inti, yang

dianggap dominan dan melingkupi daerah belakangnya (periphery).

Richardson dalam Sitohang ed. (2001:59) membagi wilayah dalam tiga

tipe yaitu :

• Wilayah Homogen.

Wilayah dilihat dari segi kesamaan karakteristik serta dimana perbedaan internal

dan interaksi regional dianggap bukan suatu yang penting. Wilayah homogen

menunjukkan bahwa beberapa daerah berkumpul membentuk sebuah wilayah

berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya kesamaan secara ekonomi, keadaan

geografi, atau sosial politik. Dalam konsep wilayah homogen, hubungan

regional yang didasari oleh ekonomi lebih penting dari pada perbedaan

intraregional.

• Wilayah Nodal (Polarized)

Pada wilayah ini keseragaman hanya sedikit diperhatikan. Keterpaduan

merupakan hasil dari aliran-aliran internal, hubungan dan saling ketergantungan

biasanya terpolarisasi menuju kesebuah pusat (node) yang dominan. Dalam

konsep ini dipahami bahwa ruang ekonomi sangatlah heterogen. Penduduk dan

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


industri tidak tersebar di seluruh lokasi tetapi berkumpul pada lokasi-lokasi yang

spesifik. Pada tingkat regional, wilayah disusun oleh titik-titik yang heterogen

dengan ukuran berbeda-beda (kota besar, kota kecil, desa) yang berkaitan secara

fungsional.

• Wilayah Perencanaan.

Dalam konsep ini kesatuan diperoleh dari kontrol politik atau administratif

Wilayah perencanaan lebih mudah dipahami sebagai sebuah daerah dimana

kebijaksanaan ekonomi diterapkan, dan hal ini merupakan satu-satunya kekuatan

yang menyatukan. Ukuran wilayah perencanaan yang optimal dibedakan dengan

panjang waktu perencanaan. Daerah yang lebih besar dibutuhan untuk

perencanaan jangka panjang, sebaliknya wilayah perencanaan yang lebih kecil

menawarkan berbagai keuntungan sistem desentralisasi, antara lain : kesempatan

partisipasi masyarakat, biaya informasi rendah, penghematan waktu manajerial,

dan kualitas keputusan yang lebih tinggi. Selain itu keuntungan utama dari

pendekatan wilayah perencanaan adalah bahwa data dikumpulkan pada unit

administrasi yang menjadikan dampak kebijakan lebih mudah untuk dievaluasi,

dan struktur administrasi wilayah memudahkan implementasi kebijakan.

Kerugiannya adalah kemungkinan tidak konsistennya antara batas administrasi

wilayah dengan batas wilayah ekonomi.

Menurut Friedman (dalam United Nations, 1979:37) dalam perencanaan,

wilayah homogen dan wilayah fungsional memiliki keterkaitan yang kuat,

meskipun kedua wilayah tersebut tidak serupa dengan wilayah perencanaan.

Friedman membagi wilayah perencanaan (yang disebutnya sebagai wilayah

pengembangan) dalam lima tipe yang berbeda yaitu :

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


• Core regions, yang dicirikan dengan wilayah yang memiliki potensi

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dan terdiri atas satu atau lebih kota-kota

yang mengelompok beserta daerah belakangnya.

• Upward transitional areas, merupakan kawasan-kawasan yang terhubung

dengan daerah inti (core regions) dan mempunyai kapasitas sumber daya.

Suatu karakteristik menyolok ditandai sebagai tujuan imigrasi. Pembangunan

ekonomi akan meningkat karena adanya permintaan dari daerah inti.

• Resource frontier regions, merupakan kawasan-kawasan yang terdiri atas

permukiman baru dan didominasi pertanian.

• Downward transitional areas, merupakan kawasan lama dan stagnan dengan

kegiatan ekonomi perdesaan.

• Special problems region, merupakan kawasan-kawasan yang perlu perhatian

dengan pengembangan khusus karena kekayaan sumber daya atau lokasi yang

strategis, seperti lembah sungai, dapat dikembangkan sebagai tempat

pariwisata dan zona perbatasan.

2.3. Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk

memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.

Menurut MT Zen dalam buku Tiga Pilar Pengembangan Wilayah (1999)

pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah

kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan

juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan

kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses tersebut, yaitu

kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrumen yang digunakan

(Alkadri et.al, 1999:4).

Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah

merupakan upaya memberdayakan stake holders (masyarakat, pemerintah,

pengusaha) di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam

dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau

dikuasai, yaitu teknologi. Dengan lebih tegas MT Zen menyebutkan bahwa

pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis

sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya

tampung lingkungan itu sendiri (Alkadri et.al, 1999:4).

Tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai

kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan

sumber daya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan

masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang

diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan

selaras dengan aspek sosial budaya dan dalam alam lingkungan yang

berkelanjutan (Ambardi dan Prihawantoro, 2002:49).

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil

kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk

itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut PP

Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis

beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Susilo, 2002:2).

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3.1. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori kutub pertumbuhan yang terkenal dikembangkan oleh Francois

Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis yang berpendapat bahwa fakta dasar dari

perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri,

adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak

terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub

perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu

menyebar sepanjang saluran saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang

beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Adisasmita, 2005:59).

Lebih spesifik lagi Boudeville mendefenisikan kutub pertumbuhan

regional sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di

suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih

lanjut keseluruh daerah pengaruhnya (Dawkins, 2003:140).

Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam teori pusat pertumbuhan

antara lain (Glasson dalam Sitohang ed., 1990:155) :

1. Konsep leading industries dan perusahaan propulsif, menyatakan bahwa di

pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan besar yang bersifat

propulsif yaitu perusahaan yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan

pertumbuhan nyata terhadap lingkungannya, mempunyai kemampuan inovasi

tinggi, dan termasuk ke dalam industri-industri yang cepat berkembang. Dalam

konsep ini leading industries adalah :

a. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang

mendorong iklim pertumbuhan kondusif ke dalam suatu daerah permintaan

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan

biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.

b. Mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor – sektor

lainnya sehingga terbentuk forward linkages dan backward linkages.

2. Konsep polarisasi. Konsep ini mengemukakan bahwa pertumbuhan leading

industries yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi

dari unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan.

3. Konsep spread effect. Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu

kualitas propulsif dinamis dari kutub pertumbuhan akan memencar dan

memasuki ruang-ruang di sekitarnya. Menurut Myrdal dan Hirschman, spread

effect atau trickling down effect merupakan lawan dari back wash effect atau

polarization effect. Secara diagram model pusat pertumbuhan seperti pada

gambar 2.1.

Sumber : Mike Douglas, 1998, A Regional Network Strategy For


Reciprocal Rural – Urban Lingkages

Gambar 2.1. Growth Pole Industrial Diffusion Model

Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat

kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah

menerima konsep kutub pertumbuhan sebagai alat tranformasi ekonomi dan sosial

pada skala regional. Namun demikian konsep ini banyak mendapat kritik para

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ahli, yang pada umumnya berpendapat bahwa penerapan konsep ini cenderung

semakin meningkatkan disparitas wilayah negara sedang berkembang, terutama

antara daerah pusat atau kutub dengan daerah pengaruhnya. Gejala ini disebabkan

karena pusat pertumbuhan yang umumnya adalah kota-kota besar ternyata

sebagai pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial

adalah cukup kuat, sehingga terjadi tarikan urbanisasi dari desa-desa wilayah

pengaruh ke pusat pertumbuhan (kota besar), atau terjadi dampak polarisasi yaitu

daerah pusat atau kutub cenderung lebih banyak menarik sumber daya dari daerah

belakang daripada spread effect yang ditimbulkannya, akibatnya daerah pusat

yang lebih maju akan bertambah maju, sedangkan daerah belakang akan semakin

tertinggal.

2.3.2. Teori Tempat Pusat

Teori tempat pusat (Central Place Theory) pertama kali diperkenalkan

oleh Walter Christaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman. Teori ini

timbul dari perhatian Christaller terhadap penyebaran permukiman, desa, dan

kota-kota yang berbeda-beda ukuran luasnya di Jerman Selatan. Penyebaran

tersebut kadang bergerombol atau berkelompok, kadang juga terpisah jauh antara

satu dengan yang lainnya. Menurut Christaller dalam Jayadinata (1999:180),

pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola

berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terjadi secara jelas di

wilayah yang mempunyai syarat : (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada

bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain

dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan

padi-padian, kayu atau batubara.

Menurut proses yang sama, jika perkembangan wilayah meningkat akan

berkembang hierarki jenjang ketiga, yaitu salah satu kampung akan tumbuh

menjadi kota yang dikelilingi oleh enam kampung yang dilayaninya. Pada hierarki

jenjang keempat terdapat kota besar yang dikelilingi oleh enam kota yang

dilayaninya. Karena perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kota-kota

umumnya timbul sebagai akibat perkembangan potensi wilayah (alam dan

manusia), dan kemudian kota sebagai pusat pelayanan berperan dalam

mengembangkan wilayah. Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

Sumber : Jayadinata, 1999:181

Gambar 2.2. Hipotesis Christaller

Sedangkan ide dasar yang dikemukakan oleh Losch dalam Dawkins

(2003:137) adalah bahwa ukuran relatif wilayah pemasaran suatu perusahaan,

digambarkan sebagai tempat penjualan produk perusahaan dipengaruhi oleh

biaya-biaya transportasi dan skala ekonomi. Jika pengaruh skala ekonomi relatif

lebih besar dari biaya transportasi maka seluruh produksi akan terkumpul pada

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


satu tempat. Sedangkan jika pengaruh biaya transportasi relatif lebih besar dari

skala ekonomi maka perusahaan akan menyebar keseluruh wilayah.

Christaller mengembangkan model suatu wilayah abstrak dengan ciri-ciri

berikut :

• Wilayahnya adalah dataran tanpa roman, semua adalah datar dan sama.

• Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isoptropic surface).

• Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh

wilayah.

• Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip jarak dan biaya.

Christaller mencoba mengekspresikan hukum tentang persebaran dan

besarnya permukiman (tempat pusat) yang bersifat keruangan di bidang ekonomi,

sehingga muncul lima asumsi dari Christaller (F.M. Dieleman dikutip dari

Daldjoeni, 1992 : 108) yaitu :

a) Karena para konsumen yang menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke

tempat pusat yang dinyatakan dalam biaya dan waktu sangatlah penting.

b) Karena konsumen yang memikul ongkos angkutan, maka jangkauan (range)

suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.

c) Semua konsumen dalam usaha mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan,

menuju ketempat pusat yang paling dekat letaknya.

d) Kota-kota berfungsi sebagai tempat pusat bagi wilayah disekitarnya. Artinya

ada hubungan antara besarnya tempat pusat dan besarnya (luasnya) wilayah

pasaran, banyaknya penduduk dan tingginya pendapatan di wilayah yang

bersangkutan.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


e) Wilayah tersebut digagaskan sebagai dataran dimana penduduknya tersebar

merata dan ciri-ciri ekonomisnya sama (besar penghasilan sama).

Dari kelima asumsi tersebut, Christaller mendapatkan teorinya tentang

tahapan pembentukan wilayah pasaran yang berpola heksagonal sebagai berikut :

a) Suatu barang yang ditawarkan dari suatu tempat pusat berdasarkan kelima

asumsi diatas, suatu tempat akan membentuk suatu wilayah lingkaran di sekitar

tempat pusat.

b) Adanya tawaran berupa barang yang berasal dari banyak tempat pusat akan

membentuk suatu pola yang terdiri atas wilayah-wilayah yang berbentuk

lingkaran.

c) Pola tersebut akan membuat orang keluar wilayah pelayanan. Jika terdapat

pemenuhan terhadap barang dan jasa, lingkaran-lingkaran tersebut akan saling

mendahului, sehingga tidak ada ruang yang terbuka.

d) Pada kenyataannya pola berbentuk lingkaran tersebut disebabkan karena akibat

dari asumsi, sehingga terbentuklah heksagon.

e) Dari berbagai macam tempat yang ditawarkan banyak barang dengan

jangkauan (range) yang beraneka ragam. Dari asumsi-asumsi sebelumnya

dikembangkan suatu pola persebaran heksagonal dari tingkat yang tinggi

hingga tingkat yang rendah.

Pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah sering tidak

merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam pelayanan kepada

masyarakat. Selain itu kadang akses untuk mencapai pusat pelayanan sulit,

sehingga mengakibatkan wilayah belakang (Hinterland) menjadi terbelakang

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


karena tidak ditunjang dengan jumlah fasilitas yang memadai untuk dapat

meningkatkan produktivitasnya maupun pelayanannya kepada masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu usaha untuk

meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan, termasuk dengan meningkatkan akses

kemudahan pencapaian dari wilayah belakang (hinterland) menuju pusat

pelayanan yang terdekat. Di dalam sistem pelayanan yang baik harus memiliki

keseimbangan antara pola kebutuhan dan jasa pelayanan sehingga dalam

peningkatan kebutuhan akan diikuti dengan jasa pelayanan yang semakin besar.

Apabila jumlah penduduk di suatu wilayah dengan satu pusat telah

melebihi ambang batas dan terus meningkat hingga mencapai jumlah tertentu,

kemungkinan penduduk yang berada jauh dari pusat telah melebihi jarak ekonomi,

sehingga mereka akan mencari pelayanan di pusat-pusat lainnya yang terdekat.

Dalam melakukan strategi pengembangan wilayah di pusat-pusat pelayanan

memiliki beberapa keuntungan :

a) Adanya penghematan terhadap investasi yang dikeluarkan, karena strategi yang

bersifat desentralisasi konsentrasi sehingga tidak semua wilayah mendapatkan

investasi tetapi hanya wilayah yang berpotensi saja.

b) Adanya perkembangan pusat-pusat pelayanan hingga ke wilayah belakang

(hinterland) melalui akses pencapaian yang memadai untuk mengatasi

kesenjangan wilayah.

c) Terselenggaranya pengembangan antara kota dan desa dengan baik karena

saling menguntungkan.

Selain itu Fisher dan Rushton menyatakan bahwa jaringan pusat-pusat

pelayanan yang memiliki hierarki akan menguntungkan penduduk di sekitar pusat

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tersebut (Fisher dan Rushton dalam Rondinelli, 1985:5-6). Keuntungan tersebut

adalah :

a) Membuat efisiensi bagi konsumen karena pemenuhan terhadap kebutuhan yang

berbeda-beda akan didapatkan dengan sekali bepergian keluar dari desa.

b) Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan

antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai cara alternative

terhadap jalur hubungan sehingga jalur yang paling penting dan kemampuan

pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan

secara optimal.

c) Mengurangi panjang jalan yang harus ditingkatkan karena sudah diketahui jalur

yang paling penting bagi setiap desa sehingga dapat ditentukan prioritas dalam

pengembangan jalan.

d) Mengurangi biaya untuk penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan bagi

fasilitas-fasilitas yang ada, karena biaya tersebut ditanggung secara

bersamasama.

e) Pengawasan lebih efektif dan ekonomis karena berbagai aktivitas bergabung

menjadi satu di pusat pelayanan.

f) Memudahkan adanya pertukaran informasi antar berbagai aktivitas yang saling

berhubungan.

g) Lokasi-lokasi dengan keunggulan lokasi sumberdaya akan berkembang secara

spontan sebagai respon terhadap kebutuhan di wilayah belakangnya

(hinterland).

Dari pembahasan di atas jelas bahwa wilayah dalam perkembanganya

memiliki pusat dan sub pusat sebagai wilayah pengaruhnya. Pusat dapat diartikan

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai kota yang menjadi pusat pelayanan dan terkonsentrasinya kegiatan.

Besarnya wilayah kota dipengaruhi oleh jarak pelayanan bagi penduduknya,

sehingga dalam satu pusat dapat memberikan pelayanan maksimalnya. Penduduk

yang belum menerima pelayanan, akan dilayani oleh pusat lainnya sehingga

hubungan antar pusat tersebut akan membentuk pola heksagonal dimana masing

masing wilayah pengaruh memiliki pusat sendiri.

2.3.3. Interaksi Desa Kota

Menurut Singer (dalam Douglass, 1998:1) peran kota-kota terhadap

perdesaan masih dipertanyakan apakah masih bersifat parasit atau sebagai

pendorong. Menurut pandangan filosofis pembangunan sangat mewarnai

perkembangan terhadap pandangan suatu model ekonomi. Teori Lewis

menjelaskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan modernisasi

pembangunan dibutuhkan adanya ’transfer surplus” dari sektor atau kawasan

pertanian ke industri-industri perkotaan. Transfer surplus dapat terjadi melalui

pengambilan dan penarikan sumberdaya-sumberdaya manusia (tenaga kerja),

modal dan sumber daya lainnya oleh perkotaan atas nama kepentingan

pembangunan (Fei dan Ranis dalam Douglass, 1998:1).

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Menurut Gibb dan Samluckrat (dalam Douglass, 1998:9) bentuk

keterkaitan desa kota dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1. Keterkaitan Fungsi Desa-Kota dan Kondisi Saling


Ketergantungan

Fungsi Sistem Saling Fungsi Sistem


Perkotaan Ketergantungan Perdesaan
o Pusat perdagangan hasil o Perubahan volume produksi dan
pertanian dan produk peningkatan produktivitas
perdesaan lainnya dengan produk pertanian dan produk
keterkaitannya dengan daerah perdesaan lainnya
lain
o Layanan pendukung o Intensifikasi pertanian yang
pertanian: sarana dipengaruhi oleh :
produksi,jasa perbaikan alat - Infrastruktur perdesaan
pertanian, kredit, informasi - Insentif produksi
metode berproduksi (inovasi) - Pendidikan dan peningkatan
kapasitas untuk mengadopsi dan
mengadaptasi inovasi
o Pasar produk non pertanian : o Peningkatan pendapatan
- Produk pertanian olahan masyarakat perdesaan sehingga
- Pelayanan publik (kesehatan, meningkatkan permintaan
pendidikan, administrasi) terhadap barang dan jasa non
pertanian
o Industri berbasis pertanian o Produksi komoditas yang
(untuk menciptakan sebanyak potensial untuk dilakukan
mungkin nilai tambah bagi pengolahan dan diversifikasi
daerah) pertanian
o Lapangan kerja diluar o Semua fungi diatas
pertanian
Sumber : Douglass, 1998:9

Berbagai konsep dan strategi pembangunan telah ditawarkan untuk

memperbaiki keterkaitan desa kota yaitu dalam bentuk intervensi pembangunan

oleh pemerintah. Upaya seperti ini akan berhadapan dengan kecendrungan

mekanisme pasar ”status quo” dan mainstream praktis pembangunan yang

cenderung ”urban bias” dan mengedepankan pembangunan aglomerasi

pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan utama. Friedman (1968:115)

berpendapat bahwa pertumbuhan kota-kota kecil di kawasan periphery

(hinterland) atau di kawasan perdesaanlah yang dapat menandingi kecenderungan

aglomerasi yang berlebihan ke kota-kota besar utama. Ketiadaan atau tidak

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berkembangnya (stagnasi) kota-kota skala kecil dan sedang serta tidak

berkembangnya unsur-unsur urbanism positif di perdesaan pada akhirnya

menyebabkan penyebaran pertumbuhan (spread effect) dari kota-kota utama

hanya terperangkap secara lokal (local capture).

Pertumbuhan dan pengembangan ekonomi wilayah salah satunya dapat

dicapai dengan adanya interaksi fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta

teknologi desa-kota melalui ’transfer surplus” dari sektor atau kawasan pertanian

ke industri-industri perkotaan selain itu diperlukan intervensi pemerintah dalam

bentuk kebijakan pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur dasar

perdesaan seperti irigasi, pembangunan jalan/sistem transportasi, listrik,

komunikasi, pelabuhan, pembangunan pasar, outlet-outlet produk, urban service,

perbankan/permodalan dan lain-lain.

2.4. Pembangunan Ekonomi Wilayah

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses di mana pemerintah daerah

dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk

suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2005:108).

Todaro (1994:15) mendefenisikan pembangunan ekonomi sebagai upaya

untuk mengurangi kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran dalam

kerangka pembangunan ekonomi. Dalam kerangka tersebut, Todaro melihat

bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan

perubahan mendasar dalam struktur sosial dan institusi nasional, disamping

akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pemberantasan kemiskinan.

Sementara itu dalam kerangka yang lebih empiris, dua teori besar yang

mewarnai pelaksanaan pembangunan di banyak negara berkembang pasca perang

dunia II adalah teori Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan (stages of

growth) dan teori Harrod-Domar tentang pertumbuhan ekonomi (Todaro,

1994:69). Rostow yang mengajukan lima tahap petumbuhan dalam pembangunan

ekonominya, memandang bahwa tingkatan kritis bagi negara berkembang adalah

tahap tinggal landas, dimana masyarakat suatu negara berkembang akan

mengalami transformasi menuju masyarakat yang maju. Selanjutnya Rostow

berpendapat bahwa salah satu prinsip yang perlu dilaksanakan dalam tahapan ini

adalah mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri agar dapat menghasilkan

investasi yang cukup bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1994:70).

Uraian Rostow mengenai investasi, kemudian dijelaskan lebih dalam oleh

teori Harrod-Domar mengenai pertumbuhan ekonomi. Harrod-Domar menyatakan

bahwa agar tumbuh suatu perekonomian harus memiliki tabungan dan investasi

dalam proporsi tertentu terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Semakin banyak

tabungan dan investasinya, semakin cepat perekonomian tersebut tumbuh. Lebih

jauh Harrod-Domar juga menekankan pentingnya proses transformasi struktural

yang alami dalam suatu pembangunan ekonomi. Dalam ekonomi, proses tersebut

harus dimulai dengan menciptakan lapangan pekerjaan (employment). Penciptaan

lapangan pekerjan harus berdampak positif pada peningkatan pendapatan (income

generation), yang pada gilirannya selain untuk dikonsumsi juga dialokasikan

untuk tabungan (saving mobilization). Tabungan tersebut pada saatnya dapat

bermanfaat bagi usaha untuk peningkatan modal (capital accumulation), yang

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


akan berguna bagi proses produksi yang dilakukan. Langkah terakhir inilah yang

pada akhirnya dipandang akan menciptakan perubahan pada pola produksi

(technical change), yang pada gilirannya akan meningkatkan taraf hidup pelaku

ekonomi yang bersangkutan (Sumodiningrat, 2001:17).

Peningkatan tabungan dan investasi tentunya memiliki kaitan yang sangat

erat dengan peran serta masyarakat. Secara historis, pendekatan people oriented,

partisipatif dan pemberdayaan masyarakat bukan merupakan hal baru. Semakin

besar masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan maka diharapkan

semakin tinggi pula tabungan dan investai, sehingga pertumbuhan ekonomi

menigkat.

2.5. Disparitas Antar Daerah

Disparitas pembangunan regional merupakan fenomena universal. Di

semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas

pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Disparitas ini pada

akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat

merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai setiap bangsa.

Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah

yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah/kawasan

hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan

(backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di

pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan.

Profesor Gunnar Myrdal dalam Jhingan (1996:268) berpendapat bahwa

pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses sebab menyebab sirkuler yang

membuat si kaya mendapat keuntungan semakin banyak dan mereka yang

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tertinggal di belakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash

effect) cenderung membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung

mengecil. Secara kumulatif kecenderungan ini semakin memperburuk

ketimpangan internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di antara

negara-negara terbelakang.

Myrdal juga menjelaskan bahwa asal ketidakmerataan regional dalam

suatu negara berakar pada dasar nonekonomi. Ketimpangan regional berkaitan

erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba. Penyebab gejala

ini menurut Myrdal ialah peranan bebas kekuatan pasar, yang cenderung

memperlebar ketimbang mempersempit ketimpangan regional. Dia berkata ”Jika

segala sesuatu diserahkan pada kekuatan pasar tanpa dirintangi oleh intervensi

kebijaksanaan apa pun maka produksi, industri, perdagangan, perbankan, asuransi,

perkapalan dan hampir semua kegiatan ekonomi yang cenderung mendatangkan

keuntungan pada umumnya akan mengelompok di daerah atau di wilayah tertentu

saja dan meninggalkan daerah-daerah lain di negara tersebut tetap terbelakang

(Myrdal dalam Jhingan, 1996:270).

Menurut Lay (1993:53) indikator ekonomi ketidakmerataan wilayah

adalah tingkat kesejahteraan penduduk, kualitas pendidikan, pola penyebaran dan

konsentrasi investasi dan ketersediaan sarana prasarana. Jadi berdasarkan

pernyataan Lay diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa indikator ketidakmerataan

itu terbagi atas :

Fisik : Ketersediaan sarana sosial ekonomi seperti sarana kesehatan,

pendidikan dan sarana perekonomian.

Ekonomi : Kemampuan ekonomi penduduk yang terlihat dari tingkat

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kesejahteraan keluarga pada masing-masing kecamatan.

Sosial : Jumlah penduduk dan kualitas penduduk berdasarkan pendidikan.

Menurut Myrdal dalam Jhingan (1996:272), faktor lain yang menjadi

penyebab ketimpangan regional di negara miskin adalah kebijaksanaan nasional

”lembaga feodal yang kokoh dan lembaga lainnya yang tidak egaliter dan struktur

kekuasaan yang membantu si kaya menghisap si miskin”. Pemerintah negara

terbelakang harus menerapkan kebijaksanaan yang bersifat adil (egaliter) guna

memperlemah dampak balik dan memperkuat dampak sebar.

Dalam konteks pemikiran yang lebih universal, proses pertumbuhan dan

perkembangan wilayah merupakan sesuatu yang dinamis. Suatu wilayah dapat

tumbuh dan berkembang akan tetapi dapat juga mengalami kemunduran dalam

perkembangannya, setidak-tidaknya apabila dibandingkan dengan wilayah

lainnya. Kemajuan atau kemunduran perkembangan di satu atau beberapa wilayah

dapat mempengaruhi keadaan sistem yang terbentuk diwilayah tersebut.

Seandainya suatu proses kemajuan terjadi pada wilayah yang tingkat

perkembangannya sudah tinggi sedangkan perkembangan wilayah lainnya relatif

masih kurang, maka dalam sistem wilayah tersebut akan terjadi disparitas

perkembangan yang semakin besar. Sebaliknya, jika perkembangan yang tinggi

terjadi di wilayah-wilayah yang tingkat perkembangannya masih rendah, maka

disparitas perkembangan antarwilayah akan semakin kecil (Nurzaman, 1996:16).

Sehubungan dengan hal tersebut, Williamson menyatakan bahwa

disparitas antarwilayah akan cenderung semakin membesar khususnya pada

tahapan awal terjadinya suatu proses pembangunan. Lebih jauh dikatakannya

bahwa secara umum beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


peningkatan disparitas antarwilayah tersebut yaitu (Williamson dalam Friedman

dan Alonso (ed), 1975:166) :

1. Migrasi penduduk yang produktif (usia kerja) dan memiliki keahlian (terdidik)

dari daerah-daerah kurang berkembang ke daerah-daerah yang telah

berkembang, karena disana mereka dapat memproleh upah/gaji yang lebih

besar.

2. Investasi cenderung dilakukan di daerah yang telah berkembang karena faktor

pasar (skala ekonomi, ekonomi eksternal, dan lain sebagainya), dimana

keuntungannya relatif besar, demikian pula resiko kerugian relatif kecil pada

umumnya. Disamping itu, terjadi pula pengaliran modal dari daerah miskin

menuju daerah yang telah berkembang.

3. Kebijakan pemerintah, disadari atau tidak cenderung mengakibatkan

terkonsentrasinya sarana dan prasarana kegiatan sosial ekonomi didaerah yang

telah berkembang – karena adanya kebutuhan yang lebih besar. Hal ini justru

telah mendorong perkembangan industri yang lebih pesat didaerah yang lebih

maju.

4. Pola perdagangan dan kegiatan perdagangan didominasi oleh industri-industri

di daerah yang telah berkembang. Industri di daerah yang kaya telah menjadi

sumber dari barang-barang yang diperdagangkan, dan demikian industri yang

dikembangkan di daerah miskin akan mengalami banyak kesulitan dalam

memperoleh pasarnya. Ketidaksanggupan untuk bersaing dengan industri di

daerah yang lebih maju menjadi lebih serius lagi keadaannya sebagai akibat

dari buruknya jaringan perangkutan dan prasarana ekonomi lainnya di daerah

yang lebih miskin (Sukirno, 1976:14).

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Tidak adanya kaitan antara pasar daerah (regional market) telah menyebabkan

terjadinya rintangan untuk pemencaran dan pelipatgandaan pendapatan.

Menurut Tambunan (2001:176-181) beberapa faktor utama penyebab terjadinya

disparitas antar wilayah sebagai berikut:

a. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah.

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah

satu faktor yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Ekonomi dari wilayah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung

tumbuh pesat. Sedangkan wilayah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah

akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi

yang lebih rendah.

b. Alokasi investasi.

Indikator lain yang juga menunjukan pola serupa adalah distribusi investasi

langsung, baik yang bersumber dari luar negeri maupun dari dalam negeri.

Berdasarkan teori pertumbuhan Harrod-Domar yang menerangkan adanya

korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat

dikatakan bahwa kurangnya investasi disuatu wilayah membuat pertumbuhan

ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita diwilayah tersebut

rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti

industri manufaktur.

c. Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antarwilayah.

Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi, juga merupakan faktor penyebab

terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antar mobilitas faktor

produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dapat lebih jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output

dan pasar input. Dasar teorinya adalah sebagai berikut. Perbedaa laju

pertumbuhan ekonomi antarwilayah membuat terjadinya perbedaan tingkat

pendapatan per kapita antarwilayah, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar

output dan input bebas (tanpa distorsi yang direkayasa, misalnya sebagai akibat

dari suatu kebijakan pemerintah), mempengaruhi mobilitas atau alokasi faktor

produksi antarwilayah. Sesuai teori penawaran yang tak terbatas dari A. Lewis,

jika perpindahan faktor produksi antarwilayah tidak ada hambatan, maka pada

akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antarwilayah akan tercapai dan

semua wilayah akan lebih baik (dalam pengertian optimal Pareto:semua daerah

menjadi lebih baik daripada sebelum terjadi perpindahan tersebut).

d. Perbedaan SDA antarwilayah.

Dasar pemikiran klasik sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di

daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur

dibandingkan daerah yang miskin SDA, sehingga sumberdaya alam merupakan

modal utama. Dan untuk maksud ini diperlukan faktor-faktor lain diantaranya

sangat penting SDM dan teknologi.

e. Perbedaan demografis antar wilayah.

Ketimpangan ekonomi regional disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis

antarwilayah. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat

kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos

kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi lewat sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi permintaan jumlah

penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari

sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan

yang baik, disiplin yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

f. Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah.

Kurang lancarnya perdagangan antardaerah juga merupakan unsur yang turut

menciptakan ketimpangan ekonomi wilayah. Ketidaklancaran tersebut

disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka fenomena disparitas antardaerah

perlu menjadi perhatian penting dalam upaya pengembangan wilayah secara

spasial. Dalam konteks ini, suatu pengembangan wilayah selain ditujukan pada

pendayagunaan potensi serta manajemen berbagai sumberdaya melalui

pembangunan perkotaan, perdesaan, dan prasarana untuk peningkatan kondisi

sosial ekonomi wilayah tersebut, maka dalam lingkup yang lebih luas

pengembangan wilayah perlu ditujukan bagi upaya untuk memperkuat integrasi

ekonomi melalui keterkaitan serta mengurangi kesenjangan antarwilayah (Firman,

1995:4).

Memandang fenomena disparitas antar daerah diatas, tidak semua ahli

sependapat bahwa pembangunan harus terjadi secara serentak di segala sektor dan

seluruh wilayah harus tumbuh dan berkembang secara serentak. Hirschman

berpendapat bahwa perkembangan seharusnya tidaklah seimbang. Perkembangan

terjadi karena ada sektor yang berkembang lebih pesat dari sektor lainnya. Sektor

ini berkembang dengan ekonomis sehingga dapat menyerap perkembangan sektor

lainnya. Sektor yang baru ini, dengan harapan dapat memenuhi permintaan sektor

sebelumnya, berkembang lebih pesat lagi melebihi sektor semula. Demikian

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


seterusnya. Jadi perkembangan adalah suatu keadaan ketidakseimbangan yang

berantai. Dalam perkembangan selalu ada sektor yang memimpin (leading), yang

menjalarkan perkembangan ke sektor lainnya (Hirschman, 1968:62-63).

Menurut Hirschman perkembangan adalah perubahan dari satu tipe

ekonomi ke tipe ekonomi lainnya. Negara berkembang adalah negara dengan ciri

ekonomi yang stagnant dan selfcontained. Apabila pada tipe ekonomi seperti ini

dibangun industri/sektor maju yang merupakan ciri tipe ekonomi maju secara

serentak, maka sukar sekali terjadi kaitan antara kedua tipe ekonomi dengan ciri

yang berbeda tersebut. Dan yang terjadi bukanlah perubahan, akan tetapi dualisme

ekonomi. Lebih lanjut Hirschman menerangkan bahwa negara berkembang terlalu

banyak memiliki kekurangan sumberdaya sehingga tidak mungkin membangun

begitu banyak sektor sekaligus. Andai negara berkembang mampu melakukan hal

tersebut, maka sudah tentu negara tersebut tidak tergolong kedalam negara

berkembang (Hirschman, 1968:51-52).

Hampir bersamaan dengan pendapat Hirschman pada tahun 1958,

Perroux mengemukakan konsep growth pole (kutub pertumbuhan). Dasar dari

konsep ini juga ketidakseimbangan (unbalanced development). Menurut Perroux

perkembangan tidak terjadi secara serentak dimana-mana (Nurzaman, 2002:2).

Menurut Glasson salah satu alasannya adalah dari segi anggaran belanja negara,

pemusatan investasi pada titik-titik pertumbuhan tertentu adalah lebih murah

daripada pemberian bantuan besar-besaran kepada daerah-daerah yang besar

(Sihotang ed, 1990:164).

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.6. Sintesa Kajian Teori

Dari uraian teori-teori dan konsep tentang pengembangan wilayah dan

fenomena terjadinya disparitas antar wilayah akibat ketidakseimbangan

pembangunan, sehingga untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam

bagian awal studi ini digunakan teori-teori dan konsep pengembangan wilayah

serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah yang

digunakan dalam merumuskan variabel-variabel penelitian (lihat Tabel 2.2).

Teori-teori dan konsep tersebut diantaranya adalah :

• Faridad (1981:94) mendefenisikan perencanaan wilayah sebagai suatu aplikasi

dari model pertumbuhan bagi perencanaan pembangunan dengan rujukan yang

sangat jelas dalam dimensi ruang bagi proses pembangunan.

• Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan

pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah (Susilo, 2002:2).

• Francois Perraoux berpendapat bahwa bahwa pertumbuhan tidak terjadi di

sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu

terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang

berubah-ubah (Adisasmita, 2005:59).

• Menurut Christaller pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah

sering tidak merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam

pelayanan kepada masyarakat (Daldjoeni, 1992 : 108).

• Friedman (1968) berpendapat bahwa pertumbuhan kota-kota kecil di kawasan

periphery (hinterland) atau di kawasan perdesaanlah yang dapat menandingi

kecendrungan aglomerasi yang berlebihan ke kota-kota besar utama.

• Todaro (1994:15) mendefenisikan pembangunan ekonomi sebagai upaya untuk

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengurangi kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran dalam kerangka

pembangunan ekonomi.

• Harrod-Domar menyatakan bahwa agar tumbuh suatu perekonomian harus

memiliki tabungan dan investasi dalam proporsi tertentu terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB) (Sumodiningrat, 2001:17).

• Menurut Lay (1993:53) indikator ekonomi ketidakmerataan wilayah adalah

tingkat kesejahteraan penduduk, kualitas pendidikan, pola penyebaran dan

konsentrasi investasi dan ketersediaan sarana prasarana.

• Menurut Myrdal dalam Jhingan (1996:272), faktor lain yang menjadi penyebab

ketimpangan regional di negara miskin adalah kebijaksanaan nasional

”lembaga feodal yang kokoh dan lembaga lainnya yang tidak egaliter dan

struktur kekuasaan yang membantu si kaya menghisap si miskin”.

• Williamson menyatakan bahwa disparitas antarwilayah akan cenderung

semakin membesar khususnya pada tahapan awal terjadinya suatu proses

pembangunan (Williamson dalam Friedman dan Alonso (ed), 1975:166).

• Menurut Tambunan (2001:176-181) beberapa faktor utama penyebab

terjadinya disparitas antar wilayah yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah,

alokasi investasi, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antarwilayah,

perbedaan SDA antarwilayah, perbedaan demografis antar wilayah, dan kurang

lancarnya perdagangan antarwilayah.

• Namun tidak semua ahli sependapat bahwa pembangunan harus terjadi secara

serentak di segala sektor dan seluruh wilayah harus tumbuh dan berkembang

secara serentak. Hirschman berpendapat bahwa perkembangan seharusnya

tidaklah seimbang (Hirschman, 1968:62-63).

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pro dan kontra dari para ahli tentang apakah pembangunan itu harus

serentak atau tidak menjadi suatu telaah yang menarik untuk dikaji lebih dalam.

Teori perkembangan yang seimbang menganut paham bahwa perekonomian dapat

berkembang apabila semua sektor berkembang secara serempak dan selaras.

Namun tentu saja hal ini tidak dapat diterapkan di Indonesia, karena

pembangunan yang serempak membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit

terutama sumberdaya finansial. Ahli lain yang menganut paham pembangunan

tidak seimbang menyatakan bahwa kesenjangan adalah bagian dari perkembangan

wilayah. Kesenjangan wilayah tidak selalu berkonotasi negatif, karena minimnya

sumberdaya finansial menyebabkan pembangunan harus dilakukan secara

bertahap, dan bertahap bukan berarti kesenjangan.

Tabel 2.2. Variabel Terpilih dari Kajian Teori

Variabel Sumber Topik Bahasan

Kebijakan Pemerintah Myrdal dalam Pemerintah negara terbelakang harus


Jhingan (1996:272) menerapkan kebijaksanaan yang bersifat
adil (egaliter) guna memperlemah dampak
balik dan memperkuat dampak sebar.
Williamson dalam Cenderung mengakibatkan
Friedman dan terkonsentrasinya sarana dan prasarana
Alonso (ed), kegiatan sosial ekonomi didaerah yang
1975:166) telah berkembang.
Ketersediaan Sarana dan Lay, 1993 Indikator ekonomi ketidakmerataan
Prasarana wilayah adalah tingkat kesejahteraan
penduduk, kualitas pendidikan, pola
penyebaran dan konsentrasi investasi dan
ketersediaan sarana prasarana.
Christaller dalam Akses untuk mencapai pusat pelayanan
Daldjoeni, 1992 : sulit, mengakibatkan wilayah belakang
108 (Hinterland) menjadi terbelakang karena
tidakditunjang dengan jumlah fasilitas
yang memadai
Sukirno, 1976:14 Ketidaksanggupan untuk bersaing dengan
daerah yang lebih maju sebagai akibat
dari buruknya jaringan pengangkutan dan
prasarana ekonomi lainnya di daerah yang
lebih miskin.

Kondisi Perekonomian Williamson dalam Investasi cenderung dilakukan di daerah


Friedman dan Alonso yang telah berkembang karena faktor
ed.(1975:166) pasar (skala ekonomi, ekonomi eksternal,
dan lain sebagainya).
Kondisi geografis, kondisi SDA, Tambunan, Faktor-faktor utama penyebab terjadinya

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lanjutan..
kondisi sosial kependudukan 2001:176-181 disparitas yaitu konsentrasi kegiatan
ekonomi, alokasi investasi, tingkat
mobilitas faktor produksi yang rendah,
perbedaan SDA, perbedaan demografis,
dan kurang lancarnya perdagangan
antarwilayah.
Kebijakan Hirschman Perkembangan seharusnya tidaklah
pembangunan (1968:62-63) seimbang.
Sumber : Hasil Sintesa dari Kajian Teori

2.7. Kerangka Pemikiran

Untuk mempermudah pemahaman kita tentang konsep penelitian ini,

maka dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Otonomi Daerah

Pemekaran
Kota Gunungsitoli

Kecamatan

Ketimpangan
Pembangunan

Faktor Yang Mempengaruhi


Ketimpangan.
• Indeks Williamson
• Kebijakan Pemerintah • Tipologi Klassen
• Ketersediaan Sarana dan • Analisis Faktor
Prasarana
• Kondisi Perekonomian
• Potensi Sumber Daya Alam
dan Sosial Kependudukan
• Kebijakan Pembangunan

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di wilayah

Kota Gunungsitoli Provinsi Sumatera Utara

yang meliputi 6 (enam) Kecamatan yaitu

Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan

Gunungsitoli Utara, Kecamatan

Gunungsitoli Selatan, Kecamatan

Gunungsitoli Barat, Kecamatan

Gunungsitoli Idanoi dan Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa. Pelaksanaan penelitian

dimulai bulan Agustus 2015 hingga November 2015.

3.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yaitu

meliputi semua informasi dan data-data yang berkaitan dengan tujuan dan sasaran

penelitian. Selanjutnya dari kompilasi data yang dihasilkan akan dianalisis untuk

dapat memperoleh gambaran tentang perkembangan dan fakta tertentu dengan

kondisi empiris atau variabel yang diselidiki secara komprehensif. Pendekatan

kualitatif digunakan analisis deskriptif, sedangkan pendekatan kuantitatif

digunakan analisis Indeks Williamson, Tipologi Klassen dan Analisis Faktor .

Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekolompok

manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu

kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki

(Somodiningrat, 2001;52).

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Metode pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive

sampling, yaitu pemilihan sampel bertujuan atau target tertentu dalam memilih

sampel secara tidak acak. Jadi elemen-elemen populasi tidak mempunyai

kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Metode ini merupakan

salah satu pemilihan sampel non-probabilitas (Indriantoro dan Supomo, 1999:

131). Metode pemilihan sampel dengan metode purposive sampling ini didasarkan

pada pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara

maksimal (Indriantoro dan Supomo, 1999: 131 ; Arikunto 2002: 117).

Pertimbangan pemilihan sampel dengan purposive sampling harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut (Arikunto, 2002: 117) :

a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-siri, sifat-sifat atau karakteristik

tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.

b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang

paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subjects).

c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi

pendahuluan.

Oleh karena survei data primer yang akan dilakukan bertujuan untuk

mengetahui kebijakan pemerintah daerah Kota Gunungsitoli dalam menetapkan

sebaran program pembangunan, maka populasi yang menjadi obyek dalam

penelitian ini adalah dibatasi hanya pada tokoh-tokoh kunci pengambil kebijakan.

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dengan demikian teknik pengambilan sampel dengan menggunakan judgment

sampling dirasa tepat karena telah mencerminkan karakteristik tertentu yang

merupakan ciri-ciri pokok populasi dan sesuai dengan butir (a) sampai (c) diatas.

Dengan pertimbangan ini diharapkan sampel yang terpilih dapat mewakili

populasi. Kelemahannya adalah bahwa peneliti tidak dapat menggunakan statistik

parametrik sebagai teknik analisis data, karena tidak memenuhi persyaratan

random (Arikunto, 2002: 117). Oleh sebab itulah teknik analisis dalam penelitian

ini menggunakan statistik deskriptif yang tidak memerlukan persyaratan random.

Sedangkan jumlah sampel dalam pengumpulan data primer dengan

menggunakan kuisioner ditentukan berdasarkan proportional random sampling

yang dilakukan untuk penyempurnaan penggunaan sampel wilayah, sebab

banyaknya subyek yang terdapat pada setiap strata tidak sama. Untuk memperoleh

sampel yang representatif, ditentukan dengan seimbang dan sebanding dengan

banyaknya subyek dalam masing-masing strata. (Arikunto, 2002:117).

Jumlah populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa, yang ciri-

cirinya akan diduga. Populasi penelitian ini meliputi jumlah penduduk di Kota

Gunungsitoli tahun 2014 sebanyak 134.196 penduduk.

Jumlah ukuran sampel menggunakan rumus Slovin, yaitu :

N
n=
1 + Ne2

dimana :
n : Jumlah Sampel

N : Jumlah Populasi

e : Tingkat Kesalahan

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dengan tingkat kesalahan diasumsikan 10%, maka besarnya sampel

adalah :

134.196
n=
1+134.196 (0,1)2

= 99.9 (dibulatkan menjadi 100 sampel)

Distribusi sampel berdasarkan kecamatan adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1. Populasi dan Sampel per Kecamatan

No Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah Sampel


1 Gunungsitoli Idanoi 22.029 22.843x 100 = 17
134.196
2 Gunungsitoli Selatan 14.088 14.611x 100 = 11
134.196
3 Gunungsitoli Barat 7.623 7.906 x 100 = 6
134.196
4 Gunungsitoli 62.162 64.467x 100 = 48
134.196
5 Gunungsitoli Alo’oa 6.878 7.131 x 100 = 5
134.196
6 Gunungsitoli Utara 16.623 17.238 x 100 = 13
134.196
Jumlah 134.196 100
Sumber : Hasil Analisis

Berdasarkan tabel populasi dan sampel perkecamatan didapat jumlah

sampel perkecamatan yaitu Kecamatan Gunungsitoli Idanoi sebanyak tujuh belas

(17) sampel, Kecamatan Gunungsitoli Selatan sebanyak sebelas (11) sampel,

Kecamatan Gunungsitoli Barat sebanyak enam (6) sampel, Kecamatan

Gunungsitoli sebanyak empat puluh delapan (48) sampel, Kecamatan

Gunungsitoli Alo’oa sebanyak lima (5) sampel dan Kecamatan Gunungsitoli

Utara sebanyak tiga belas (13) sampel.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur serta

sumber – sumber lain dari instansi/lembaga yang berkompeten antara lain : Badan

Pusat Statistik (BPS) Kota Gunungsitoli, Badan Perencanaan dan Pembangunan

Daerah Kota Gunungsitoli, Dinas Pendidikan Kota Gunungsitoli, Dinas Pertanian

Kelauatan dan Perikanan Kota Gunungsitoli, Dinas Kesehatan Kota Gunungsitoli,

dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Gunungsitoli dan dinas/instansi lainnya.

Data yang diperoleh berdasarkan survei primer dilakukan melalui

wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan instrumen berupa

kuesioner dan melalui interview guide dan schedule. Data hasil kuesioner diolah

dengan menggunakan teknik analisis faktor.

3.5. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang

berhubungan dengan karakteristik yang berwujud pernyataan dan kuantitatif yang

berwujud angka-angka dan sumber data terdiri dari data sekunder dan primer.

Data sekunder digunakan sebagai alat/bahan analisis untuk menggambarkan

ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kota Gunungsitoli, sedangkan

data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kota Gunungsitoli.

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.6. Identifikasi dan Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Matriks operasionalisasi dan pengukuran keseluruhan variabel penelitian

disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 3.2. Matriks Operasional Variabel Penelitian

No Variabel Defenisi Variabel Indikator Skala Ukur

1 Kebijakan Suatu keputusan yang dibuat • Bantuan pemerintah • Skala


Pemerintah secara sistematik oleh terhadap masyarakat Likert 1-5
pemerintah dengan maksud dan • Dukungan pemda terhadap
tujuan tertentu yang kegiatan masyarakat
menyangkut kepentingan
umum. Myrdal dalam
Jhingan (1996:272).
2 Ketersediaan Sarana adalah segala sesuatu • Ketersediaan sarana • Skala
Sarana yang dapat dipakai sebagai alat transportasi Likert 1-5
Prasarana dalam mencapai maksud dan • Kondisi jaringan jalan dan
tujuan, prasarana adalah segala alat angkut
sesuatu yang merupakan • Ketersediaan dan kondisi
penunjang utama sarana pelayanan umum
terselenggaranya suatu proses ( (sekolah, rumah sakit, dll)
usaha, pembangunan, proyek) • Kondisi utilitas (air bersih,
Christaller dalam listrik, telepon, drainase)
Daldjoeni, 1992 : • Kelengkapan dan kondisi
108. fasilitas ekonomi

3 Kondisi Kondisi aktivitas masyarakat • Ketersediaan lapangan kerja • Skala


Perekonomian dalam berupaya untuk • Kegiatan perekonomian Likert 1-5
mencapai segala kemakmuran • Kegiatan/Pekerjaan
dimana kemakmuran itu suatu masyarakat
kondisi dimana manusia bisa
memenuhi kebutuhannya baik
yang berupa jasa maupun
barang. Williamson dalam
Friedman dan Alonso
ed.(1975:166).
4 Kondisi SDA, Faktor-faktor utama penyebab • Investasi masyarakat • Skala
Sosial terjadinya disparitas yaitu • Keamanan lingkungan Likert 1-5
Kependudukan konsentrasi kegiatan ekonomi, • Tingkat pendidikan
alokasi investasi, tingkat
mobilitas faktor produksi yang
rendah, perbedaan SDA,
perbedaan demografis, dan
kurang lancarnya perdagangan
antar wilayah. Tambunan,
2001:176-181
5 Kebijakan Kebijakan sebagai pilihan • Kegiatan pembangunan dan • Skala
Pembangunan pemerintah untuk melakukan kaitannya dengan kemajuan Likert 1-5
atau tidak melakukan sesuatu daerah
yang berhubungan dengan
pembangunan dan kemajuan
suatu daerah.
Sumber : Hasil Analisis

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.7. Metode Analisis Data

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini secara garis

besar terbagi dalam dua kelompok analisis, yaitu analisis kuantitatif dan analisis

kualitatif. Peneltian ini diukur dengan alat analisis Indeks Williamson, Analisis

Tipologi Klassen dan Analisis Faktor.

3.7.1. Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur

tingkat ketimpangan daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey

G.Williamson. Perhitungan Indeks Williamson didasarkan pada data PDRB

masing-masing daerah digunakan rumus. Hasil pengukuran dari nilai Indeks

Williamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan

pembangunan dan jika Indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka

semakin kecil ketimpangan pembangunan. (Sjafrizal,1997).

Untuk melihat ketimpangan antar kecamatan di wilayah Kota

Gunungsitoli digunakan alat analisis yaitu Analisis Indeks Williamson. Indeks

Williamson memberikan gambaran secara agregat kesenjangan pendapatan tanpa

memandang kesenjangan tersebut berdasarkan lapisan masyarakat tertentu

(Kuncoro, 2004). Rumusan Indeks Williamson tersebut adalah :

√∑(𝑌𝑖 − 𝑌)2 𝑓𝑖
𝑛
𝐼𝑊 =
𝑌

Dimana :
Yi = Pendapatan Perkapita di kecamatan i
Y = Pendapatan Perkapita rata-rata kabupaten/kota
fi = Jumlah penduduk di kecamatan i
n = Jumlah penduduk kabupaten/kota

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam penelitian ini, untuk menghitung nilai Indeks Williamson

digunakan data pendapatan asli daerah (PAD) perkecamatan Kota Gunungsitoli,

hal ini disebabkan karena tidak adanya data PDRB perkecamatan Kota

Gunungsitoli.

3.7.2. Analisis Tipologi Klassen

Analisis ini digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan

struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi klassen pada

dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan

ekonomi daerah dan pendapatan daerah. Tipologi Klassen membagi daerah

menjadi empat (4) klasifikasi yaitu (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh yaitu

daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang tinggi dari

rata-rata kabupaten/kota yang diamati; (2) daerah maju tapi tertekan, daerah yang

memiliki pendapatan lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih

rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota yang diamati; (3) daerah berkembang

cepat, adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi tetapi tingkat

pendapatan lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota yang diamati; (4)

daerah relatif tertinggal yaitu daerah yang memiliki tingkat pendapatan dan

pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota yang

diamati (Sjafrizal, 2014)

Tabel 3.3. Klasifikasi Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen

Laju Pertumbuhan Laju Pertumbuhan diatas Laju Pertumbuhan


Rata-rata Dibawah Rata-rata
Pendapatan
Rata-rata
Pendapatan diatas Rata-rata Daerah Maju Daerah Maju Tapi
Tertekan
Pendapatan dibawah Rata-rata Daerah Berkembang Daerah Tertinggal

Sumber : Sjafrizal, 2014

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.7.3. Analisis Faktor

Alat analisis ini digunakan untuk mereduksi satu set data dalam jumlah

besar kepada dimensi dasar namun dengan relevansi statistik yang tetap terjaga.

Pengidentifikasian faktor yang mempengaruhi disparitas diperlukan. Untuk

keperluan ini digunakan analisis faktor yang bertujuan untuk mengekstraksi

sejumlah besar variabel menjadi kelompok-kelompok faktor. Melalui analisis

faktor ini dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya

disparitas antar wilayah. Keunggulan metoda ini adalah faktor yang diolah

merupakan faktor yang independen yang tidak memiliki keterkaitan satu dengan

yang lain. Analisis faktor juga bermanfaat untuk mencari faktor tersamar yang

sebetulnya mendasari variabel-variabel dari suatu observasi.

Prinsip kerja analisis faktor adalah dari n variabel yang diamati, dimana

beberapa variabel mempunyai korelasi maka dapat dikatakan variabel tersebut

memiliki p faktor umum (common faktor) yang mendasari korelasi antar variabel

faktor unik (unique faktor) yang membedakan tiap variabel. Model matematis

dasar analisis faktor yang digunakan seperti yang dikutip dari Maholtra (1993)

yaitu sebagai berikut :

Fif = bf1Xi1 + bf2Xi2 + ....+ bfvXiv

Dimana :

Fif = faktor scores individu i dalam faktor f


Bfv = koefisien faktor dalam variabel v
Xiv = nilai individu i dalam variabel v

Faktor-faktor khusus tersebut tidak saling berhubungan satu sama lain,

juga tidak ada korelasinya dengan faktor-faktor umum itu sendiri dapat

dinyatakan sebagai kombinasi linear dari variabel yang dapat diamati dengan

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


rumus :

Xiv = av1Fi1 + av2Fi2 + av3Fi3 + ... + eiv

Dimana :

I = indeks untuk individu i


V = indeks untuk variabel v
Xiv = nilai individu i dalam variabel v
Fif = faktor scores individu i dalam faktor f
avf = faktor loading variabel v dalam faktor f
eiv = sebuah variabel pengganggu yang memasukkan seluruh variabel
di Xiv yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor-faktor.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Kota Gunungsitoli

Kota Gunungsitoli adalah kota yang terletak di sebuah gugusan pulau

yang dikenal dengan nama Kepulauan Nias terletak disebelah barat Pulau

Sumatera, yang secara geografis terletak antara 00012’-1032’ Lintang Utara (LU)

dan 970000'-9800’0' Bujur Timur (BT). Dengan ketinggian rata-rata 0 – 600 meter

diatas permukaan laut. Kota Gunungsitoli merupakan salah satu daerah kota di

Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai jarak ± 85 mil laut dari Sibolga.

Kota Gunungsitoli merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 terdiri

atas 6 (enam) kecamatan yaitu Kecamatan Gunungsitoli Utara, Kecamatan

Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Selatan,

Kecamatan Gunungsitoli Barat, dan Kecamatan Gunungsitoli Idanoi.

Kota Gunungsitoli memiliki luas wilayah 469,36 km2 atau 0,38 persen

dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara, terdiri dari 6 (enam) kecamatan, 98

(sembilan puluh delapan) desa dan 3 (tiga) kelurahan. Dari 101 ( seratus satu)

desa/kelurahan tersebut sebanyak 27 (dua puluh tujuh) desa/kelurahan atau 27

persen terletak di daerah pesisir pantai, dan 74 (tujuh puluh empat) desa atau 73

persen berada di daerah dataran tinggi atau pegunungan.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Secara administratif Kota Gunungsitoli berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kecamatan Sitolu Ori (Kabupaten Nias Utara).

Sebelah Timur : Samudera Indonesia .

Sebelah Selatan : Kecamatan Gido dan Kecamatan Hiliserangkai

(Kabupaten Nias).

Sebelah Barat : Kecamatan Hiliduho (Kabupaten Nias) serta

Kecamatan Alasa Talumuzoi Esiwa (Kabupaten Nias

Utara).

Kota Gunungsitoli dalam perkembangannya sebagai sebuah daerah

otonom baru, memiliki ragam potensi sumber daya ekonomi lokal yan belum

dikelola secara optimal. Posisi strategis Kota Gunungsitoli sebagai pintu gerbang

Kepulauan Nias, serta ketersediaan infrastruktur strategis yang relatif memadai

dibandingkan dengan daerah otonom lainnya di wilayah Kepulauan Nias, pada

hakekatnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam struktur

perekonomian daerah terutama pertumbuhan sektor jasa, perdagangan, dan

industri sebagaimana ciri kota pada umumnya.

Beranjak dari kondisi tersebut, Pemerintah Kota Gunungsitoli secara

bertahap melakukan upaya-upaya perubahan melalui sejumlah kebijakan

pembangunan yang mendorong percepatan peningkatan daya saing daerah.

4.1.2. Visi dan Misi Kota Gunungsitoli 2011-2016

1. Visi

“Terwujudnya Kota Gunungsitoli Kota Samaeri”

2. Misi

a. Menyatukan langkah dan tekad segenap rakyat Kota Gunungsitoli

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menuju kota mandiri dan masyarakat madani.

b. Memperjuangkan kesejahteraan umum masyarakat Kota

Gunungsitoli.

c. Mencerdaskan kehidupan rakyat Kota Gunungsitoli.

d. Memberdayakan semua sumber daya alam dan sumber daya

manusia untuk mempercepat pembangunan Kota Gunungsitoli.

4.1.3. Administrasi

Kota Gunungsitoli secara administratif berdasarkan Undang-Undang

Nomor 47 tahun 2008 terdiri atas enam wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan

Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi, Kecamatan Gunungsitoli Selatan,

Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kecamatan Gunungsitoli Barat, Kecamatan

Gunungsitoli Utara, dan Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, dengan jumlah

desa/kelurahan sebanyak 101 desa/kelurahan, dimana 98 desa berada di daerah

pedesaan (rural) dan 3 kelurahan berada di daerah perkotaan (urban).

Tabel 4.1. Wilayah Administrasi Kota Gunungsitoli

No Kecamatan Luas (Km2) Persentase Luas


(%)
1 Gunungsitoli Idanoi 134,78 28,72
2 Gunungsitoli Selatan 56,85 12,11
3 Gunungsitoli Barat 28,70 6,11
4 Gunungsitoli 109,09 23,24
5 Gunungsitoli Alo’oa 60,21 12,83
6 Gunungsitoli Utara 79,73 16,99

Total 469,36 100,00


Sumber : BPS, Gunungsitoli Dalam Angka 2015

4.1.4. Kota Gunungsitoli Secara Demografis

Jumlah penduduk Kota Gunungsitoli Tahun 2014 menurut angka

proyeksi BPS Kota Gunungsitoli sebanyak 134.196 jiwa, terdiri dari penduduk

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


perempuan sebanyak 68.545 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 65.657 jiwa.

Dari total penduduk Kota Gunungsitoli sebanyak 48,04 persen berdomisili di

Kecamatan Gunungsitoli, sementara wilayah yang paling sedikit didiami yakni

Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa sebanyak 5,31 persen. Berdasarkan jumlah

penduduk menurut kelompok umur, penduduk yang paling banyak berada pada

kelompok umur 0-4 tahun sebanyak 16.332 jiwa, sementara yang paling sedikit

berada pada kelompok umur 60-64 sebanyak 3.400 jiwa.

Jumlah penduduk Kota Gunungsitoli dan penyebarannya selama tahun

2014 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2014

No Kecamatan Luas Penduduk Kepadatan Penyebar


(Km2) (Orang) Penduduk an (%)
(Orang/Km2)
1 Gunungsitoli 134,78 22.843 169 17,02
Idanoi
2 Gunungsitoli 56,85 14.611 257 10,89
Selatan
3 Gunungsitoli 28,70 7.906 275 5,89
Barat
4 Gunungsitoli 109,09 64.467 591 48,04
Gunungsitoli
5 Alo’oa 60,21 7.131 118 5,31
Gunungsitoli 79,73 17.238 216 12,85
6 Utara

Total 469,36 134.196 286 100


Sumber : BPS, Gunungsitoli Dalam Angka 2015

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.1.5. Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dilihat karakteristik responden

di Kota Gunungsitoli pada tabel berikut :

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Usia (Tahun) di


Kota Gunungsitoli

Usia (Tahun) Jumlah Responden %


(orang)
21-30 20 20
31-40 28 28
41-50 33 33
51 Keatas 19 19
Total 100 100
Sumber : Hasil Penelitian

Dari data diatas menunjukkan bahwa usia responden 21-30 tahun sebanyak

20 responden atau 20 %, usia 31-40 tahun sebanyak 28 responden atau 28 %, usia

41-50 tahun sebanyak 33 responden atau 33 % sedangkan yang usia 51 keatas

sebanyak 19 responden atau 19 %.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Kota


Gunungsitoli

Pekerjaan Jumlah Responden %


(orang)
Guru 18 18
Karyawan 11 11
Petani 21 21
Wiraswasta 22 22
PNS 11 11
Ibu Rumah Tangga 1 1
Peternak 3 3
Pengrajin 3 3
Nelayan 9 9
Tukang Bangunan 1 1
Total 100 100
Sumber : Hasil Penelitian

Dari tabel diatas menunjukkan guru sebanyak 18 responden (18%) dan

Karyawan sebanyak 11 responden (11%). Selanjutnya, petani sebanyak 21

responden (21%), wiraswasta sebanyak 22 responden (22%) dan PNS sebanyak

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11 responden (11%). Setelah itu, ibu rumah tangga sebanyak 1 responden (1%),

peternak sebanyak 3 responden (3%), pengrajin sebanyak 3 responden (3%),

nelayan sebanyak 9 responden (9%), serta tukang banguanan sebanyak 1

responden (1%).

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Formal di Kota


Gunungsitoli

Pendidikan Formal Jumlah Responden %


(orang)
SD 18 18
SLTP 21 21
SLTA 35 35
D-3 3 3
S1 23 23
Total 100 100
Sumber : Hasil Penelitian

Responden dalam penelitian ini, hanya memiliki pendidikan formal saja

sedangkan pendidikan non formal keseluruhannya tidak. Pada pendidikan formal

terlihat bahwa sebanyak 18 responden atau 18% dinyatakan lulus/tidak lulus SD,

tamat SLTP sebanyak 21 responden atau 21%, tamat SLTA sebanyak 35

responden atau 35%, tamat Diploma (D3) sebanyak 3 responden atau 3% dan

tamat S1 sebanyak 23 responden atau 23%.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kecamatan di Kota


Gunungsitoli

Kecamatan Jumlah Responden %


(orang)
Gunungsitoli Idanoi 17 17
Gunungsitoli Selatan 11 11
Gunungsitoli Barat 6 6
Gunungsitoli 48 48
Gunungsitoli Alo’oa 5 5
Gunungsitoli Utara 13 13
Total 100 100
Sumber : Hasil Penelitian

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ada enam kecamatan yang menjadi sampel terdiri dari Kecamatan

Gunungsitoli Idanoi jumlah responden sebanyak 17 responden atau 17%,

Gunungsitoli selatan sebanyak 11 responden atau 11%, Gunungsitoli Barat

sebanyak 6 responden atau 6%, Gunungsitoli sebanyak 48 responden atau 48%,

Gunungsitoli Alo’oa sebanyak 5 responden atau 5%, Gunungsitoli Utara sebanyak

13 responden atau 13%.

4.1.6. Penjelasan Responden atas Variabel Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dilihat tanggapan responden

terhadap sub variabel penelitian pada tabel berikut :

Tabel 4.7. Tanggapan Responden Terhadap Sub Variabel Penelitian

Sub Variabel Kategori Tanggapan %


Responden
(orang)
• Bantuan pemerintah terhadap • Sangat Kurang - -
masyarakat • Kurang 44 44
• Cukup 50 50
• Baik 6 6
- -
• Sangat Baik
Total 100 100
• Dukungan pemda terhadap • Sangat Kurang - -
kegiatan masyarakat • Kurang 35 35
• Cukup 31 31
• Baik 34 34
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Pelaksanaan pembangunan • Sangat Kurang - -
terhadap kemajuan daerah • Kurang 32 32
• Cukup 42 42
• Baik 26 26
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Ketersediaan sarana transportasi • Sangat Kurang - -
• Kurang 42 42
• Cukup 49 49
• Baik 9 9
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Kondisi jaringan jalan • Sangat Kurang - -
• Kurang 36 36
• Cukup 31 31
• Baik 33 33
• Sangat Baik - -
Total 100 100

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lanjutan..
• Ketersediaan dan kondisi sarana • Sangat Kurang - -
pelayanan umum • Kurang 24 24
• Cukup 46 46
• Baik 30 30
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Kondisi fasilitas (air bersih, • Sangat Kurang - -
listrik, telekomunikasi dll) • Kurang 53 53
• Cukup 47 47
• Baik - -
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Kelengkapan dan kondisi fasilitas • Sangat Kurang - -
ekonomi • Kurang 39 39
• Cukup 39 39
• Baik 22 22
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Ketersediaan lapangan pekerjaan • Sangat Kurang 23 23
• Kurang 50 50
• Cukup 27 27
• Baik - -
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Investasi masyarakat/swasta • Sangat Kurang 27 27
• Kurang 42 42
• Cukup 31 31
• Baik - -
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Kegiatan perekonomian • Sangat Kurang - -
• Kurang 30 30
• Cukup 34 34
• Baik 36 36
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Kegiatan/pekerjaan masyarakat • Sangat Kurang - -
• Kurang 29 29
• Cukup 23 23
• Baik 48 48
• Sangat Baik - -
Total 100 100
• Keamanan lingkungan • Sangat Kurang - -
• Kurang - -
• Cukup 35 35
• Baik 32 32
• Sangat Baik 33 33
Total 100 100
• Tingkat pendidikan • Sangat Kurang 18 18
• Kurang 21 21
• Cukup 35 35
• Baik 3 3
• Sangat Baik 23 23
Total 100 100
Sumber : Hasil Penelitian

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Data diatas menunjukkan hasil tanggapan responden terhadap empat belas

(14) sub variabel penelitian yaitu, bantuan pemerintah terhadap masyarakat,

dukungan pemda terhadap masyarakat, pelaksanaan pembangunan terhadap

kemajuan daerah, ketersediaan sarana transportasi, kondisi jaringan jalan,

ketersediaan dan kondisi pelayanan umum, kondisi fasilitas (air, listrik,

telekomunikasi dll), kelengkapan dan kondisi ekonomi, ketersediaan lapangan

pekerjaan, investasi masyarakat/swasta, kegiatan perekonomian,

kegiatan/pekerjaan masyarakat, keamanan lingkungan dan tingkat pendidikan

dimana hasil dari nilai tanggapan responden untuk tiap-tiap variabel dapat dilihat

pada tabel tersebut diatas.

4.2. Analisis dan Pembahasan

4.2.1. Analisis Ketimpangan dengan Metode Indeks Williamson

Untuk mengukur ketimpangan antar wilayah digunakan ukuran Indeks

Williamson. Pengukuran didasarkan pada laju pendapatan asli daerah (PAD)

perkecamatan dan pendapatan perkapita wilayah kabupaten/kota dari sektor yang

sama. Hasil perhitungan Indeks Williamson antar kecamatan tahun 2010-2014

sebagai berikut :

Tabel 4.8. Hasil Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di


Wilayah Kota Gunungsitoli Tahun 2010-2014

No Kecamatan Indeks Williamson (IW)


2010 2011 2012 2013 2014
1 Gunungsitoli 0,1847 0,4821 0,0763 0,1029 0,1917
2 Gunungsitoli Utara 0,0673 0,0766 0,2583 0,1076 0,0917
3 Gunungsitoli Selatan 0,2071 0,0678 0,0600 0,7614 0,5876
4 Gunungsitoli Barat 0,2188 0,0427 0,2352 0,4255 0,3845
5 Gunungsitoli Alo’oa 0,1197 0,0516 0,0784 0,0756 0,0541
6 Gunungsitoli Idanoi 0,1095 0,0583 0,1439 0,4709 0,0418
Jumlah 0,9071 0,7791 0,8521 1,9439 1,3514
Sumber : Hasil Analisis

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari hasil perhitungan Indeks Williamson di wilayah Kota Gunungsitoli

dengan didasari dari data pendapatan asli daerah (PAD) perkecamatan, terlihat

bahwa kesenjangan antar tiap-tiap kecamatan mengalami perubahan nilai Indeks

Williamson yang fluktuatif, hal ini dapat dilihat dari nilai Indeks Williamson

perkecamatan seperti Kecamatan Gunungsitoli pada tahun 2010 sebesar 0,1847,

pada tahun 2014 naik menjadi 0,1917. Kecamatan Gunungsitoli Utara pada tahun

2010 sebesar 0,0673 mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 0,0917.

Kecamatan Gunungsitoli Selatan pada tahun 2010 sebesar 0,2071 mengalami

kenaikan pada tahun 2014 sebesar 0,5876, Kecamatan Gunungsitoli Barat pada

tahun 2010 sebesar 0,2188 naik menjadi 0,3845 pada tahun 2014. Kecamatan

Gunungsitoli Alo’oa pada tahun 2010 sebesar 0,1197 menurun menjadi 0,0541

pada tahun 2014. Kecamatan Gunungsitoli Idanoi pada tahun 2010 sebesar 0,1095

pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 0,0418.

Tingkat kesenjangan antar wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli secara

menyeluruh berdasarkan hasil perhitungan Indeks Williamson dari tahun 2010

sampai dengan tahun 2014 terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari

nilai Indeks Williamson Kota Gunungsitoli dimana pada tahun 2010 sebesar

0,9071, pada tahun 2011 menurun menjadi 0,7791, kemudian meningkat lagi pada

tahun 2012 sebesar 0,8521, pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup

tinggi sebesar 1,9439, dan pada tahun 2014 sebesar 1,3514. hal ini disebabkan

oleh Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, alokasi investasi yang tidak

seimbang, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar wilayah, perbedaan

sumber daya alam antar wilayah, perbedaan demografi antar wilayah, kurang

lancarnya perdagangan antar wilayah (Tambunan, 2001:176).

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2.2. Struktur Perekonomian

Sebagai Kota pusat perdagangan di wilayah Kepulauan Nias, secara umum

struktur perekonomian pada tiap kecamatan di Kota Gunungsitoli didominasi oleh

sektor perdagangan, konstruksi dan pertanian. Sektor ini memberikan kontribusi

terbesar atau memegang peranan penting dalam pembentukan PDRB Kota

Gunungsitoli periode 2010 – 2014.

Tabel 4.9. Perkembangan PDRB Kota Gunungsitoli Berdasarkan Harga


Konstan 2010 (Miliar Rupiah) Tahun 2010 – 2014

No Sektor PDRB ( Miliar Rupiah)


2010 2011 2012 2013 2014
1 Pertanian, Kehutanan, perikanan 317,38 331,35 348,14 368,12 386,71
2 Pertambangan dan Penggalian 60,49 63,07 65,64 69,11 72,33
3 Industri Pengolahan 4,16 4,33 4,58 4,77 4,99
4 Pengadaan Listrik dan Gas 2,16 2,28 2,50 2,64 2,85
5 Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah 2,40 2,52 2,66 2,82 2,98
6 Konstruksi 395,78 433,24 456,92 488,98 522,75
7 Perdagangan Besar dan Eceran 548,52 573,91 620,50 654,84 695,01
8 Transportasi dan Pergudangan 164,53 174,55 183,73 194,60 205,60
9 Penyediaan Akomodasi dan Makan 69,84 75,29 79,92 85,88 90,79
Minum
10 Informasi dan Komunikasi 43,65 47,43 50,80 54,35 57,98
11 Jasa Keuangan dan Asuransi 63,90 68,41 73,86 79,41 83,70
12 Real Estate 96,19 104,48 112,82 119,65 127,60
13 Jasa Perusahaan 6,10 6,19 6,56 7,04 7,56
14 Adminstrasi Pemerintahan, Pertahanan 103,32 111,60 114,57 119,69 126,84
dan Jaminan Sosial Wajib
15 Jasa Pendidikan 115,34 121,10 128,17 140,16 150,58
16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 15,54 16,09 16,68 17,23 18,42
17 Jasa Lainnya 7,39 7,75 8,08 8,46 8,79
Total 2016,68 2143,60 2276,15 2417,75 2565,47
Sumber : BPS, Gunungsitoli Dalam Angka 2015

Untuk PDRB Gunungsitoli atas dasar harga konstan 2010 tahun 2014

adalah sebesar Rp. 2565,47 (miliar), meningkat bila dibandingkan dengan tiga

tahun sebelumnya dimana pada tahun 2010 berjumlah Rp. 2016,68 (miliar), tahun

2011 sebesar Rp. 2143,60 (miliar), tahun 2012 sebesar Rp. 2276,15 (miliar) dan

tahun 2013 sebesar Rp. 2417,75 (miliar). Pendapatan riil per kapita atas dasar

harga konstan 2010 pada tahun 2010 sebesar Rp. 15.931,55. Tahun 2011 sebesar

Rp. 16.669,67. Tahun 2012 sebesar Rp. 17.445,89. Tahun 2013 sebesar Rp.

18.262,05. Dan pada tahun 2014 sebesar Rp. 19.117,33. PDRB atas harga konstan
63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke

tahun.

Tabel 4.10. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Gunungsitoli Berdasarkan


Harga Konstan 2010 (Persen) Tahun 2010 – 2014

No Sektor Persen (%)


2010 2011 2012 2013 2014
1 Pertanian, Kehutanan, perikanan 4,64 4,40 5,07 5,74 5,05
2 Pertambangan dan Penggalian 3,67 4,26 4,08 5,28 4,67
3 Industri Pengolahan 4,16 4,21 5,69 4,29 4,45
4 Pengadaan Listrik dan Gas 2,78 5,82 9,69 5,27 8,19
5 Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah 5,42 4,96 5,61 5,71 5,96
6 Konstruksi 8,94 9,47 5,47 7,02 6,91
7 Perdagangan Besar dan Eceran 4,86 4,63 8,12 5,53 6,13
8 Transportasi dan Pergudangan 5,34 6,09 5,26 5,92 5,65
9 Penyediaan Akomodasi dan Makan 6,07 7,80 6,15 7,46 5,71
Minum
10 Informasi dan Komunikasi 6,00 6,67 7,10 6,98 6,69
11 Jasa Keuangan dan Asuransi 6,81 7,06 7,97 7,51 5,40
12 Real Estate 6,78 8,62 7,98 6,05 6,65
13 Jasa Perusahaan 4,37 1,50 5,94 7,29 7,34
14 Adminstrasi Pemerintahan, Pertahanan 6,79 8,02 2,66 4,47 5,97
dan Jaminan Sosial Wajib
15 Jasa Pendidikan 9,57 4,99 5,84 9,35 7,43
16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8,72 3,53 3,69 3,29 6,88
17 Jasa Lainnya 4,27 4,94 4,26 4,67 3,87
Total 6,21 6,29 6,18 6,22 6,11
Sumber : BPS, Gunungsitoli Dalam Angka 2015

Berdasarkan harga konstan 2010, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2014

adalah sebesar 6,11 persen, mengalami penurunan sebesar 0,11 persen bila

dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2013 yang sebesar 6,22

persen.

4.2.3. Analisis Tipologi Klassen

Alat analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran

tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi

daerah pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu

pertumbuhan daerah dan pendapatan daerah. Dengan menentukan rata-rata

pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan sebagai

sumbu horizontal, daerah yang diamati dalam penelitian ini adalah kecamatan

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu daerah cepat maju dan cepat tumbuh

(high income and high growth), daerah maju tapi tertekan (high income and low

growth) daerah berkembang cepat (hihg growth but low income) dan daerah

relatif tertinggal (low growth and low income) (Kuncoro, 2004:118).

Tabel 4.11. Pendapatan dan Pertumbuhan Rata-rata Kecamatan Tahun


2010-2014

No Kecamatan Pendapatan Rata- Pertumbuhan Rata-


rata (juta) rata (%)
1 Gunungsitoli 96.810.610 2,2
2 Gunungsitoli Utara 23.185.962 0,55
3 Gunungsitoli Selatan 34.229.109 2,55
4 Gunungsitoli Barat 12.529.829 0,7
5 Gunungsitoli Alo’oa 7.816.510 1,0
6 Gunungsitoli Idanoi 34.656.582 1,8
Total Rata-rata 34.871.433 1,4
Sumber : Hasil Analisis

Tabel 4.12. Pengelompokan Kecamatan Berdasarkan Tipologi Klassen

Laju Pertumbuhan Laju Pertumbuhan diatas Laju Pertumbuhan


Rata-rata Dibawah Rata-rata
Pendapatan
Rata-rata
Pendapatan diatas Rata-rata Daerah Maju Daerah Maju Tapi
1. Gunungsitoli Tertekan
2. Gunungsitoli Selatan 1. Gunungsitoli Utara
3. Gunungsitoli Idanoi
Pendapatan dibawah Rata-rata Daerah Berkembang Daerah Tertinggal
1. Gunungsitoli Barat 1. Gunungsitoli Alo’oa

Sumber : Hasil Analisis

Dari tipologi kecamatan dapat dilihat bahwa :

• Daerah cepat maju dan cepat tumbuh yaitu Kecamatan Gunungsitoli,

Kecamatan Gunungsitoli Selatan dan Gunungsitoli Idanoi.

• Daerah maju tapi tertekan yaitu Kecamatan Gunungsitoli Utara.

• Daerah berkembang yaitu Kecamatan Gunungsitoli Barat.

• Daerah relatif tertinggal yaitu Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa.

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar`4.1. Peta Tipologi Klassen wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli

4.2.4. Gabungan Analisis Indeks Williamson dan Analisis Tipologi Klassen

Hasil gabungan analisis Indeks Williamson dan Analisis Tipologi Klassen

pendekatan regional beberapa kecamatan di wilayah Kota Gunungsitoli dari tahun

2010-2014 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.13. Gabungan Hasil Analisis Indeks Williamson dan Hasil Analisis
Tipologi Klassen

Hasil Analisis
No Kecamatan Indeks Williamson Tipologi Klassen
1 Gunungsitoli Meningkat I
2 Gunungsitoli Utara Meningkat II
3 Gunungsitoli Selatan Meningkat I
4 Gunungsitoli Barat Meningkat III
5 Gunungsitoli Alo’oa Menurun IV
6 Gunungsitoli Idanoi Menurun I
Sumber : Hasil Analisis

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa Kecamatan

Gunungsitoli Idanoi adalah satu-satunya kecamatan yang memiliki kategori

daerah paling baik diantara keenam wilayah kecamatan yang berada di Kota

Gunungsitoli dimana kecamatan ini masuk dalam kategori daerah cepat maju dan

cepat tumbuh dan tingkat ketidakmerataannya semakin menurun, sementara

Kecamatan Gunungsitoli dan Kecamatan Gunungsitoli Selatan yang termasuk

dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh tingkat ketidakmerataannya

semakin meningkat, kemudian Kecamatan Gunungsitoli Utara yang termasuk

dalam kategori daerah maju tapi tertekan tingkat ketidakmerataannya semakin

meningkat, dan Kecamatan Gunungsitoli Barat yang termasuk dalam kategori

daerah sedang tumbuh dan berkembang tingkat ketidakmerataannya semakin

meningkat, dan terakhir Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa yang termasuk dalam

kategori daerah tertinggal namun tingkat ketidakmerataannya semakin menurun.

4.2.5. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan

Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan banyak faktor yang

mempengaruhi terjadinya ketimpangan antar daerah diantaranya yaitu perbedaan

sumberdaya alam yang dimiliki antar daerah yang didasari pemikiran klasik yang

menyatakan bahwa pembangunan didaerah yang kaya sumberdaya alam akan

cenderung lebih maju dan masyarakatnyapun lebih makmur dibanding daerah

yang miskin sumberdaya alam (Tambunan, 2001:176-181). Dan hal-hal tersebut

telah dianalisis pada sub bab sebelumnya. Tetapi untuk mengetahui dan mengkaji

lebih dalam faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan bagaimana terjadinya

disparitas antar sub wilayah tidak cukup hanya melalui data sekunder.

Berdasarkan pemikiran diatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

melalui data primer yaitu dengan observasi langsung ke lapangan dan


67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menyebarkan kuesioner kepada responden yang dijadikan sampel dalam

penelitian ini dan kemudian diolah dengan analisis faktor.

Dalam analisis faktor variabel-variabel yang di teliti sebanyak empat belas

(14) variabel (lihat lampiran). Pada tahap awal akan dihitung koefesien korelasi

antar variabel yang selanjutnya disusun dalam matrik korelasi. Matrik ini

mencerminkan kedekatan hubungan antar variabel. Variabel-variabel yang

berkorelasi secara substansial berarti variabel-variabel tersebut memiliki faktor

variansi yang sama (mengukur sesuatu hal yang sama). Nilai elemen matriks

korelasi dihitung dengan menggunakan program SPSS 2.0 for Windows, dan harus

memenuhi besaran nilai KMO and Bartlett’s Test. Berdasarkan angka K-M O

Measure of Sampling Adequacy (MSA) menunjukkan 0,571 (57,1%) artinya

bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam analisis faktor ini dapat diproses

lebih lanjut. Dan ini juga ditunjukkan dengan signifikansi angka Barlett’s Test

(0,060) yang menunjukkan bahwa kumpulan variabel memang signifikan untuk

diproses.

Selanjutnya tiap variabel dianalisis untuk mengetahui mana variabel yang

dapat diproses lebih lanjut dan mana yang tidak dapat dproses (harus dikeluarkan)

dengan didasarkan pada besaran MSA yang membentuk diagonal yang bertanda

’a’. Variabel yang dapat diproses adalah yang memiliki besaran MSA>0,5. Dari

tabel anti image matrices khususnya pada bagian bawah (anti image correlation)

terlihat bahwa tidak ada variabel yang MSAnya <0,5, ini berarti seluruh variabel

dapat diproses lebih lanjut.

Tahap selanjutnya yaitu proses ekstraksi. Pada tahap ini akan dilakukan

reduksi terhadap data, sehingga diperoleh faktor-faktor yang independen atau

tidak berkorelasi satu sama lain. Secara umum hasil pengoperasian akan

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menghasilkan faktor-faktor yang akan tersusun menurut kepentingan masing

masing, sehingga faktor pertama akan menjadi faktor terpenting pertama, faktor

kedua akan menjadi faktor terpenting kedua dan demikian seterusnya. Pada tabel

communalities (lampiran) angka-angka yang terbentuk memiliki arti bahwa

varians dari variabel yang ada dapat dijelaskan oleh faktor yang nanti terbentuk,

dengan ketentuan semakin kecil besaran komunalita suatu variabel berarti

semakin lemah hubungannya dengan faktor yang terbentuk.

Hasil variance explained menunjukan bahwa dari total empat belas (14)

komponen variabel diekstrak menjadi empat (4) faktor, dengan nilai tingkat

keberartian (eigenvalue) terhadap disparitas antar sub wilayah sebagai berikut :

• Faktor pertama adalah 16,6 %

• Faktor kedua adalah 14,1 %

• Faktor ketiga adalah 11,2 %

• Faktor keempat adalah 10,1 %

Total keempat faktor akan dapat menjelaskan 52 % dari variabilitas ke 14 variabel

asli tersebut. Susunan eigenvalue/tingkat keberartian selalu diurutkan dari yang

terbesar sampai yang terkecil dengan ketentuan bahwa angka eigenvalue dibawah

satu tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk. Pada tabel

komponen matrik dapat dilihat faktor loading (bobot faktor) yaitu besar korelasi

antara suatu variabel dengan faktor yang terbentuk. Namun hasil yang diperoleh

pada tahap ekstraksi masih memberikan hasil yang agak sulit diinterpretasikan

sehingga belum optimum, untuk itu perlu dilakukan proses rotasi faktor dengan

tujuan untuk mendapatkan solusi faktor yang lebih sederhana.

Komponen matrik hasil dari proses rotasi memperlihatkan distribusi

variabel kedalam faktor-faktor yang terbentuk menjadi lebih jelas dan nyata. Dari

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ke 14 variabel hanya 11 variabel yang dapat didistribusikan kedalam faktor-faktor

yang terbentuk, sedangkan tiga variabel lainnya yaitu Pelaksanaan Pembangunan

Terhadap Kemajuan Daerah, Kegiatan Perekonomian dan Investasi

Masyarakat/Swasta tidak dapat dimasukkan atau dengan kata lain terpaksa

dikeluarkan karena tidak ada satupun korelasi yang melewati ”cut off point”

sebesar 0,50.

Dari hasil perhitungan rotasi, faktor pertama terbentuk oleh 4 variabel,

faktor kedua oleh 3 variabel, faktor ketiga dengan 2 variabel, faktor keempat oleh

2 variabel. Selengkapnya hasil reduksi ke 14 variabel menjadi 4 faktor dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.13. Penamaan Faktor Baru

Faktor Variabel Pemberian Identitas Faktor Baru


1 Bantuan Pemerintah Terhadap Kebijakan Pemerintah
Masyarakat
Dukungan Pemda Terhadap Kegiatan
Masyarakat
Ketersediaan Lapangan Pekerjaan
Tingkat Pendidikan
2 Kelengkapan dan Kondisi Fasilitas Kondisi Perekonomian
Ekonomi
Kegiatan Masyarakat
Kondisi Fasilitas ( Air Bersih, Listrik,
Telekomunikasi, Drainase Dll)
3 Kondisi Jaringan Jalan Kondisi internal
Keamanan Lingkungan
4 Ketersediaan Sarana Transportasi Kebijakan Pembangunan
Ketersediaan dan Kondisi Sarana
Pelayanan Umum
Sumber : Hasil Analisis

Dari ke 4 (empat) faktor yang terbentuk berdasarkan variabel-variabel

yang mengelompok dalam faktor-faktor tersebut selanjutnya diberi nama,

sehingga diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas antar

sub wilayah adalah faktor kebijakan pemerintah, kondisi perekonomian, kondisi

internal dan kebijakan pembangunan. Berdasarkan nilai tingkat keberartian

(eigenvalue) terhadap disparitas antar sub wilayah faktor pertama yaitu kebijakan

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pemerintah adalah faktor yang paling mempengaruhi terjadinya disparitas antar

sub wilayah, kemudian diikuti oleh faktor kondisi perekonomian, faktor kondisi

internal, dan terakhir faktor kebijakan pembangunan.

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis ketimpangan pembangunan

antar wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli dapat ditarik beberapa kesimpulan

antara lain sebagai berikut :

1. Pembangunan antar wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli periode

2010-2014, menunjukkan terjadinya kesenjangan/ketimpangan. Hal ini

dapat dilihat dari nilai Indeks Williamson tiap-tiap kecamatan yang dari

tahun 2010 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2014.

2. Klasifikasi wilayah antar kecamatan di Kota Gunungsitoli berdasarkan

Analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) wilayah

yang termasuk wilayah cepat maju dan cepat tumbuh yaitu Kecamatan

Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Selatan dan Kecamatan

Gunungsitoli Idanoi. Ada 1 (satu) wilayah yang termasuk kategori

wilayah maju tapi tertekan yaitu Kecamatan Gunungsitoli Utara.

Selanjutnya ada 1 (satu) wilayah yang sedang berkembang yaitu

Kecamatan Gunungsitoli Barat. Dan kemudian ada 1 (satu) wilayah yang

termasuk kategori wilayah tertinggal yaitu Kecamatan Gunungsitoli

Alo’oa.

3. Berdasarkan hasil analisis faktor yang memetakan variabel-variabel yang

mempengaruhi terhadap terjadinya disparitas antar wilayah kecamatan di

Kota Gunungsitoli diperoleh temuan studi yaitu dari hasil ekstraksi faktor

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang telah dirotasi menunjukkan dari 14 variabel yang diamati dapat

diekstraksi menjadi empat faktor yang mempengaruhi terhadap terjadinya

disparitas antar wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli, yaitu:

a. Faktor pertama : kebijakan pemerintah

b. Faktor kedua : kondisi perekonomian

c. Faktor ketiga : kondisi internal

d. Faktor keempat : kebijakan pembangunan

5.2. Saran

Dalam upaya mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar

wilayah kecamatan di Kota Gunungsitoli, disarankan beberapa hal sebagai berikut

1. Untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah kecamatan di

Kota Gunungsitoli yang diukur berdasarkan pendapatan perkapita dan laju

pertumbuhan ekonomi maka Pemerinta Kota Gunungsitoli diharapkan untuk

mendukung wilayah yang maju untuk dapat memberikan kontribusi terhadap

wilayah yang tertinggal.

2. Pemerintah Kota Gunungsitoli diharapkan dapat memberikan perhatian yang

bersifat kontribusi seperti pembangunan daerah yang diiringi dengan

peningkatan sarana dan prasarana di daerah-daerah yang dianggap tertinggal.

3. Masing-masing wilayah kecamatan yang ada di Kota Gunungsitoli hendaknya

dapat memaksimalkan sumber daya yang terdapat di wilayahnya dengan cara

memanfaatkan potensi-potensi daerah yang ada untuk menjadi sarana dalam

peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah dan pendapatan perkapita

masyarakat dalam rangka meningkatkan pembangunan di Kota Gunungsitoli

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Jakarta: Penerbit Graha


Ilmu.

Alkadri, et al (penyunting). 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah – Sumberdaya


Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Jakarta: BPPT Press.

Ambardi, Urbanus M dan Prihawantoro, Socia (penyunting). 2002. Pengembangan


Wilayah dan Otonomi Daerah – Kajian Konsep dan Pengembangan.
Jakarta: BPPT Press.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Penerbit: PT. Rineka Cipta

Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi


Daerah. (1st ed.). Yogyakarta: BPFE-UGM.
..
Daldjoeni, Nathaniel. 1992. Geografi Baru – Organisasi Keruangan dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Alumni.

Dawkins, CJ. 2003. Regional Development Theory – Conceptual Foundations Classis


Works, and Recent Developments. Journal of Planning Literature.

Douglass, Mike. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban


Lingkages – an Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia.
Third World Planning Review, pp 1-25.

Esmara, Hendra. 1986. Politik Perencanaan Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan


dan Prospek. Jakarta: PT. Gramedia.

Faridad, A. 1981. The Nature & Scope of Regional Planning & Development.
Prantilla (ed) National Development & Regional Policy, Nagoya: Maruzen
Asia, pp. 85-99.

Firman, Tommy. 1995. Pengembangan Wilayah Untuk Jangka Panjang. Jakarta:


Artikel dalam Harian Kompas Edisi 5 September 1995.

Friedman, John & Weaver, Clyde. 1979. Territory & Function - The Evolution of
Regional Planning. London: Edward Arnold.

Glasson, John. 1974. An Introduction to Regional Planning: Concept, Theory and


Practice. London: Hutchinson & Co. (Publishers) Ltd

Hill, Hal. 1998. The Chalenge of Regional Development in Indonesia. Australian


Journal of International Affairs. Vol. 52 no.1.

Hirschman, Albert O. 1968. The Strategy of Economic Development. New Haven and
London: Yale University Press.

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis.
Yogyakarta: Penerbit: BPFE-Yogyakarta

Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan,


Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.

Jhingan, M.L. 1996. Ekonomi Pembangunan & Perencanaan. Edisi 16. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan – Teori, Masalah, dan Kebijakan.


Yogyakarta: UPP AMP YKPN. , 2004. Otonomi Dan Pembangunan
Daerah - Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta:
Erlangga.

Kota Gunungsitoli Dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Kota
Gunungsitoli, 2014.

Lay, Cornelis. 1993. Ketimpangan dan Keterbelakangan di Indonesia. Yogyakarta:


Fakultas Ilmu Politik dan Sosial UGM.

Meier, Gerald M. 1989. Leading Issues Economic Development. 5th. Edition. New
York.: Oxford University Press.

Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurzaman, Siti Sutriah. 2002. Perencanaan Wilayah di Indonesia – Pada Masa


Sekitar Krisis. Bandung: ITB.

Ridwan. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Jakarta: Alfa Beta.

Singgih, Santoso & Tjiptono, Fandy. 2001. Riset Pemasaran – Konsep dan Aplikasi
dengan SPSS. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sitohang, Paul. (trans) Glasson, John. 1990. Pengantar Perencanaan Regional.


Jakarta: LPFE-UI.

Sukirno, Sadono. 1976. Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah.


Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sumodiningrat, Gunawan. 2001. Responsi Pemerintah Terhadap Kesenjangan


Ekonomi – Studi Empiris Pada Kebijaksanaan dan Program
Pembangunan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Indonesia.
Jakarta : PerPod.

Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Tambunan, Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting.


Jakarta: Ghalia Indonesia.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran I. Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota Gunungsitoli Tahun 2010

No Kecamatan Pendapatan Yi - Y (Yi – Y)2 Jlh Pi (fi/n) (Yi – Y)2 x Pi √(Yi – Y)2 x IW
Perkapita Penduduk Pi
1 Gunungsitoli 840,33 176,89 31290,07 60.625 0,480 15019,23 122,55 0,1847
2 Gunungsitoli Utara 538,45 -124,99 15622,50 16.212 0,128 1999,68 44,71 0,0673
3 Gunungsitoli Selatan 247,19 -416,25 173264,06 13.874 0,109 18885,78 137,42 0,2071
4 Gunungsitoli Barat 60,51 -602,93 363524,58 7.436 0,058 21084,42 145,20 0,2188
5 Gunungsitoli Alo’oa 318,42 -345,02 119038,80 6.708 0,053 6309,05 79,42 0,1197
6 Gunungsitoli Idanoi 839,66 176,22 31053,48 21.482 0,170 5279,09 72,65 0,1095
Jumlah 2844,56 126.202 68577,25 601,95 0,9071
Kota Gunungsitoli 663,44 126.202

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran II. Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota Gunungsitoli Tahun 2011

No Kecamatan Pendapatan Yi - Y (Yi – Y)2 Jlh Pi (fi/n) (Yi – Y)2 x Pi √(Yi – Y)2 x IW
Perkapita Penduduk Pi
1 Gunungsitoli 1420,11 9,83 96,62 61.190 0,480 46,37 6,80 0,4821
2 Gunungsitoli Utara 1108,23 -302,05 91234,20 16.366 0,128 11677,97 108,06 0,0766
3 Gunungsitoli Selatan 1701,28 291 84681 13.874 0,108 9145,54 95,63 0,0678
4 Gunungsitoli Barat 1159,94 -250,34 62670,11 7.511 0,058 3634,86 60,28 0,0427
5 Gunungsitoli Alo’oa 1093,82 -316,46 100146,93 6.766 0,053 5307,78 72.85 0,0516
6 Gunungsitoli Idanoi 1609,87 199,59 39836,16 21.675 0,170 6772,14 82,29 0,0583
Jumlah 8093,25 127.382 36584,66 353,06 0,7791
Kota Gunungsitoli 1410,28 127.382

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran III. Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota Gunungsitoli Tahun 2012

No Kecamatan Pendapatan Yi - Y (Yi – Y)2 Jlh Pi (fi/n) (Yi – Y)2 x Pi √(Yi – Y)2 x IW
Perkapita Penduduk Pi
1 Gunungsitoli 887,07 -109,88 12073,61 61.650 0,480 5795,33 76,12 0,0763
2 Gunungsitoli Utara 1717,01 720,06 518486,40 16.486 0,128 66366,25 257,61 0,2583
3 Gunungsitoli Selatan 814,86 -182,09 33156,76 13.970 0,108 3580,93 59,84 0,0600
4 Gunungsitoli Barat 1970,99 974,04 948753,92 7.563 0,058 55027,72 234,57 0,2352
5 Gunungsitoli Alo’oa 657,23 -339,72 115409,67 6.825 0,053 6116,71 78,20 0,0784
6 Gunungsitoli Idanoi 648,98 -347,97 121083,12 21.843 0,170 20584,13 143,47 0,1439
Jumlah 6696,14 128.337 157471,07 849,81 0,8521
Kota Gunungsitoli 996,95 128.337

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran IV. Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota Gunungsitoli Tahun 2013

No Kecamatan Pendapatan Yi - Y (Yi – Y)2 Jlh Pi (fi/n) (Yi – Y)2 x Pi √(Yi – Y)2 x IW
Perkapita Penduduk Pi
1 Gunungsitoli 2780,21 359,81 129463,23 62.162 0,480 62142,35 249,28 0,1029
2 Gunungsitoli Utara 1692,08 -728,32 530450,02 16.623 0,128 67897,60 260,57 0,1076
3 Gunungsitoli Selatan 2060,01 -360,39 129880,95 14.088 0,108 14027,14 118,43 0,7614
4 Gunungsitoli Barat 2378,69 -41,71 1739,72 7.623 0,061 106,12 10,30 0,4255
5 Gunungsitoli Alo’oa 1624,58 -795,82 633329.47 6.878 0,053 33566,46 183,21 0,0756
6 Gunungsitoli Idanoi 2448,06 27,66 765,07 22.029 0,170 130,06 11,40 0,4709
Jumlah 12983,63 129.403 177869,73 833,19 1,9439
Kota Gunungsitoli 2420,40 129.403

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran V. Perhitungan Indeks Williamson antar Kecamatan di Kota Gunungsitoli Tahun 2014

No Kecamatan Pendapatan Yi - Y (Yi – Y)2 Jlh Pi (fi/n) (Yi – Y)2 x Pi √(Yi – Y)2 x IW
Perkapita Penduduk Pi
1 Gunungsitoli 1841,23 -704,41 496193,44 64.467 0,480 238172,85 488,02 0,1917
2 Gunungsitoli Utara 1892,83 -652,81 426160,89 17.238 0,128 54548,59 233,55 0,0917
3 Gunungsitoli Selatan 7097,88 4552,24 20722889,02 14.611 0,108 2238072,01 1496,01 0,5876
4 Gunungsitoli Barat 2586,31 40,67 1654,04 7.906 0,058 95,93 9,79 0,3845
5 Gunungsitoli Alo’oa 1947,29 -598,35 358022,72 7.131 0,053 18975,20 137,75 0,0541
6 Gunungsitoli Idanoi 2287,22 -258,42 66780,89 22.843 0,170 11352,75 106,54 0,0418
Jumlah 17652,76 134.196 2561217,33 2471,66 1,3514
Kota Gunungsitoli 2545,64 134.196

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran . Kuisioner Penelitian

Dalam rangka menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister


dalam bidang Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, saya memohon kepada
Bapak/Ibu agar berkenan meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner yang
berjudul “ Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Kecamatan Pada
Daerah Otonomi Baru (Kota Gunungsitoli)”.
Kuisioner ini sebagai bahan penelitian saya dalam mengembangkan
wawasan mengenai Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Kecamatan di Kota
Gunungsitoli dan dilaksanakan hanya untuk tujuan ilmiah, oleh karena itu saya
mengharapkan Bapak/Ibu dapat memberikan jawaban yang sejujurnya dan data
yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya.
Akhir kata saya ucapkan terimakasih atas perhatian dan peran serta
Bapak/ibu dalam menjawab semua pertanyaan dalam kuisioner ini.

Hormat Saya,

Felix Kurniawan Harefa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


No. Resp :

A. Identitas Responden
1. Nama : ........................................
2. Umur : ........................................
3. Jenis Kelamin : ........................................
4. Pendidikan : ........................................
5. Pekerjaan : ........................................
6. Kelurahan/Desa : ........................................
7. Kecamatan : ........................................

Petunjuk pengisian

Berilah tanda cek ( √ ) pada salah satu pilihan jawaban yang paling sesuai
menurut anda dengan keterangan :

SK = Sangat Kurang K = Kurang C = Cukup

B = Baik SB = Sangat Baik

B. Daftar Pernyataan

No Pernyataan Pilihan Jawaban


SK K C B SB
1 Bantuan Pemerintah Terhadap Masyarakat

2 Dukungan Pemda Terhadap Kegiatan

Masyarakat

3 Ketersediaan Lapangan Pekerjaan

4 Tingkat Pendidikan

5 Kelengkapan dan Kondisi Fasilitas Ekonomi

6 Investasi Masyarakat/Swasta

7 Kondisi Fasilitas ( Air Bersih, Listrik,

Telekomunikasi, Drainase Dll)

8 Kondisi Jaringan Jalan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9 Keamanan Lingkungan

10 Ketersediaan Sarana Transportasi

11 Ketersediaan dan Kondisi Sarana Pelayanan

Umum

12 Kegiatan /Pekerjaan Masyarakat

13 Pelaksanaan Pembangunan Terhadap Kemajuan

Daerah

14 Kegiatan Perekonomian

Gunungsitoli, 2015

Yang memberi pernyataan,

(..........................................................)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai