Anda di halaman 1dari 312

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

ENIRAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Mei 2007

Enirawan NIM : A155040091

ABSTRAK ENIRAWAN, Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan SETIA HADI. Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima adalah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk itu dilakukan penelitian dengan tujuan : (1) mengidentifikasi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah, (2) mengkaji keterkaitan antar sektor dan mengetahui sektor unggulan wilayah, (3) mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional, dan (4) menyusun strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Penelitian ini menggunakan Analisis Deskriptif, Analisis IO, Analisis LQ, Model Grafitasi, AHP dan SWOT. Kapet Bima memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, yang dapat menjadikan Kapet Bima sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya. Hal ini didukung dengan pengembangan sektor tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas sebagai sektor unggulan yang memiliki keterkaitan dan dampak yang tinggi terhadap pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Kapet Bima berinteraksi khususnya dengan kawasan pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut, menunjukkan bahwa dinamika sosial lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi wilayah di Kapet Bima. Strategi umum yang digunakan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima adalah pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, pengembangan sosial ekonomi perdesaan, pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan, serta pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional. . Kata Kunci : Kapet Bima, prime mover, keterkaitan, sektor unggulan, interaksi dan pengembangan wilayah

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, foto copi, mikrofilm, dan sebagainya

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

ENIRAWAN

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Judul Tesis

: Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat : Enirawan : A155040091 : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

Nama NIM Program Studi

dan Perdesaan (PWD)

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Anggota

Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 11 April 2007

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala karunia, kemudahan dan petunjukNya sehingga tesis yang berjudul : Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima di Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Juanda, MS dan

Bapak Dr. Ir. H. Setia Hadi, MS selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Penguji Luar Komisi atas segala bimbingan, arahan dan motivasinya. Demikian juga kepada Ketua Program Studi PWD Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D beserta staf pengajar yang telah memberikan pendidikan baik ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai kehidupan. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini, serta semua pihak atas berbagai perannya dalam studi penulis. Penulis dengan sepenuh cinta menyampaikan terima kasih kepada istriku Ratna, S.Sos. dan anakda Aiyun Safira Alwana atas segala pengorbanan dan kesabarannya dalam mendampingi penulis menjalani studi. Kepada Bapak Israil Hasan dan Ibunda Ipa Mustari, Ayahanda Syanif Hemon dan Ibunda Mujnah, atas doa dan perjuangannya membesarkan penulis, serta saudara-saudaraku dan keluargaku, yang telah memberikan dukungan material maupun spiritual. Tidak lupa pula ucapan terima kasih dan doa penulis sampaikan untuk almarhumah Ibunda Kartini yang telah melahirkan dan memberikan kasih sayangnya, semoga Ibunda tercinta mendapatkan tempat yang layak di sisi Yang maha Kuasa. Akhirnya, Penulis dengan rendah hati mohon saran dan kritik dari berbagai pihak untuk perbaikan tesis ini dan semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007 Enirawan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Piong Sanggar Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 2 Agustus 1977 dari Ayahanda Syanif Hemon, A.Ma dan Ibunda Kartini (Almarhumah), yang selanjutnya diasuh oleh Ibunda Mujnah. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Menikah dengan Ratna, S.Sos. pada tanggal 27 Juni 2004 dan diberi amanah seorang putri pada tanggal 18 Agustus 2005 yang diberi nama Aiyun Safira Alwana. Pendidikan sekolah dasar ditempuh Penulis pada SDN I Piong dan tamat tahun 1988. Menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama pada SMPN Sanggar pada tahun 1991. Pendidikan sekolah menengah atas pada SMAN I Bima dan tamat tahun 1994. selanjutnya Penulis menempuh pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Penyuluhan Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan tamat Maret 1999. Sejak kuliah, Penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Pada tahun 1997 sebagai Sekretaris Umum Korps Sukarela (KSR-Unram), membentuk Lembaga Pemantau dan Penanganan Krisis Ekonomi dan Kelaparan (LPPKEK) sekaligus sebagai koordinator pada tahun 1997-1999. Aktif melakukan kajian dan pendampingan perencanaan dan pembangunan desa bersama Lesa Demarkasi, Solidaritas Untuk Demokrasi (SOLUD) serta pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Potensi Daerah (LP3D) sejak tahun 1999. Sebagai Petugas

Konsultan Lapangan (PKL) Departemen Koperasi tahun 1999-2001. Sebagai Tenaga Profesional-Pegawai Otonomi Daerah Kabupaten Bima tahun 2001-2002. Diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai Oktober 2002 dan ditempatkan pada Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Bima. Pada Tahun 2004, Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana (Magister Sains) Institut Pertanian Bogor, atas bantuan dan beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ........ 1 1.2. Rumusan Masalah ....... 5 1.3. Tujuan Penelitian ..... 8 1.4. Kegunaan Penelitian ........ 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .. 2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan .... 2.2. Disparitas Regional ..... 2.3. Pengembangan Wilayah ...... 2.4. Titik Pertumbuhan (Growth Point) dan Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) .......................... 2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah .. 2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu ... 2.7. Penelitian Terdahulu ... 2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian ...... METODE PENELITIAN . 3.1. Kerangka Pendekatan Studi .... 3.2. Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian ......... 3.3. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data .. 3.3.1. Studi Literatur dan Data Sekunder ........ 3.3.2. Wawancara .... 3.4. Metode Analisis .. 3.4.1. Analisis Deskriptif Potensi Pengembangan Wilayah . 3.4.2. Penyusunan dan Analisis Input-Output (IO) ... 3.4.3. Indeks Output Sektor (IOS) ... 3.4.4. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD) ................................................... 3.4.5. Analisis Location Quotien (LQ) .. 3.4.6. Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) .... 3.4.7. Model Grafitasi ..... 3.4.8. Analisis Deskriptif Interaksi Spasial ... 3.4.9. Analisis Deskriptif Kelembagaan .. 3.4.10. Analisis Hirarki Proses (AHP) .... 3.4.11. Analisis SWOT .. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .... 4.1. Gambaran Umum Wilayah Administrasi dan Kependudukan . 9 9 11 13 14 17 19 22 26 31 31 31 32 32 32 32 33 34 38 39 40 41 42 44 44 44 48 51 51

III.

IV.

4.2.

4.3.

4.4. 4.5.

4.6. V.

4.1.1. Batas Administrasi Wilayah Penelitian ..... 4.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ..... Gambaran Umum Perekonomian Wilayah .... 4.2.1. Struktur Perekonomian Wilayah ............... 4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ............... Kondisi Fisik Wilayah ..... 4.3.1. Topografi ............................................... 4.3.2. Iklim .............. 4.3.3. Hidrologi ....... 4.3.4. Geologi .......... 4.3.5. Tanah ............. Pola Penggunaan Lahan . Potensi Pengembangan Wilayah . 4.5.1. Komoditi Pertanian ... 4.5.2. Pertambangan dan Galian . 4.5.3. Panorama Alam dan Potensi Pariwisata 4.5.4. Sumber Daya Hayati ..... 4.5.5. Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya .. 4.5.6. Ketersediaan Infrastruktur dan Kelembagaan Usaha Permasalahan Pengembangan Wilayah ..

51 52 55 55 58 61 61 62 62 63 63 63 64 65 69 70 72 73 81 95 98 98 98 103 106 107 113 113 131 133 136 142 149 149 160 166 168 183 183 186 191 195

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................... 5.1. Keterkaitan Antar Sektor . 5.1.1. Struktur Input-Output (IO) ....... 5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor ...... 5.2. Sektor Basis ..................................................... 5.3. Sektor Unggulan Potensial .............................. 5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional ..... 5.4.1. Pola Hubungan Wilayah Intra-Inter Regional .. 5.4.2. Posisi Kapet Bima Dalam Hubungan Wilayah ............. 5.4.3. Model Interaksi Spasial ..... 5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah ........... 5.5. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan wilayah ... 5.6. Strategi Pengembangan Wilayah .... 5.6.1. Persepsi Stakekolders Dalam Pengembangan Wilayah ..... 5.6.2. Lingkungan Strategis Dalam Pengembangan Wilayah.. 5.6.3. Analisis Strategi Pengembangan Wilayah .................... 5.6.4. Rumusan Strategi Pengembangan Wilayah .. PENUTUP ...................................................................... 6.1. Kesimpulan ..................... 6.2. Saran ................................................................

VI.

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................

DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1 Matriks Pendekatan Studi .... 2 Kerangka Model Input-Output (IO) Kapet Bima ..... 3 Matriks Nilai Perbandingan .... 4 Matriks Perbandingan Berpasangan ........ 5 Matriks SWOT ........ 6 Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet Bima ...... 7 Luas Wilayah Kapet Bima ...... 8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Dompu ...... 9 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Bima ...... 10 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kota Bima . 11 Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB KAPET Bima Atas Harga Dasar Harga Konstan93 Tahun 1996-2000 12 PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 Di Kapet Bima . 13 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 .. 14 Laju Pertumbuhan PDRB KAPET Bima Atas Dasar Harga Konstan93 menurut Lapangan Usaha tahun 1996-2000 (persen) . 15 Laju Pertumbuhan Rata-Rata PDRB Kapet Bima Pertahun Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003 (Persen) ..... 16 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan di Wilayah KAPET Bima ...... 17 Luas Kapet Bima Berdasarkan Ketinggian Tempat Tiap Kabupaten (Satuan Ha) ...... 18 Keadaan Iklim Di Wilayah Kapet Bima ..... 19 Jenis Penggunaan Lahan Di Wilayah Kapet Bima . 20 Komoditas Pertanian Dominan di Kapet Bima . 21 Komoditas Peternakan Dominan Di Kapet Bima .. 22 Usaha Perikanan Dominan Di Kapet Bima 23 Komoditi Perikanan Laut Dominan Di Kapet Bima ....... 24 Potensi Bahan Galian Golongan B di Kapet Bima (Ton) ... 25 Potensi Bahan Galian Golongan C (m3) .. 26 Sebaran Objek Wisata dan Panorama Alam di Kapet Bima ... 27 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kapet Bima 28 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun Menurut Partisipasi Sekolah Di Kapet Bima ............................................... 29 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Di Tamatkan Di Kapet Bima .. 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kapet Bima ...

31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59

Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima (Unit) ...... Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Sekolah di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) . Jumlah Tempat Peribadatan Di Kapet Bima (Unit) ... Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Tempat Peribadatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) . Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kapet Bima Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) .. Jumlah Sarana Perdagangan Di Kapet Bima .. Perbandingan Jumlah Penduduk Terhadap Ketersediaan Sarana Perdagangan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Dirinci Menurut Kelompok Industri Di Kapet Bima .. Beberapa Jenis Industri Dominan dan Nilai Produksi Di Kapet Bima ..... Keragaan Koperasi di Kapet Bima ...... Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik Di Kapet Bima ............. Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan di Kapet Bima .............. Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima ..... Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Di Kapet Bima ... Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan Di Kapet Bima Sebaran Pelabuhan di Kapet Bima .. Komponen Penyusun Tabel Input Output Kapet Bima Tahun 2004 .. Nilai Output dan IOS Masing-Masing Sektor di Kapet Bima Tahun 2004 .......................................................................................... Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima Tahun 2004 .................. Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001 .. Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima .... Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Location Quotient (LQ) di Kapet Bima ...... Tingkat Keunggulan Masing-Masing Sektor di Kapet Bima ..... Persepsi Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Di Kapet Bima (%) ..... Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Desa/Kelurahan Dalam 1 (Satu) Kecamatan Di Kapet Bima Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Kecamatan Dalam 1 (Satu) Kabupaten Di Kapet Bima ..... Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) Intra Regional Kapet Bima ...... Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima

60 61 62 63 64 65 66 67

68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78

Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima . Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Propinsi Lain Di Kapet Bima ............. Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Propinsi Lain Di Kapet Bima ................. Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Negara Lain Di Kapet Bima ............. Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKDP Di Kapet Bima ..... Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKAP Di Kapet Bima ..... Lalu Lintas Pesawat dan Penumpang Di Bandara Udara Sultan Salahudin Kabupaten Bima .... Rata-Rata Jumlah Kapal Yang Berkunjung, Jumlah Penumpang dan Bongkar Muat Barang Tiap Tahun Di Berbagai Pelabuhan Laut Di Kapet Bima ..... Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima ... Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima Rata-Rata Jumlah Realisasi Komoditi yang Diantarpulaukan Tiap Tahun di Kapet Bima ..... Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima .. Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima ........... Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima .. Persepsi Stakeholders tentang Pendekatan Strategi Pengembangan Wilayah di Kapet Bima .. Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Di Kapet Bima Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Analisis SWOT di Kapet Bima ..... Rumusan Strategi Umum Pengembangan Wilayah di Kapet Bima

DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1 Diagram alir Kerangka Pemikiran Penelitian .. 2 Struktur AHP Strategi Pengembangan Wilayah Kapet Bima ............. 3 Salah Satu Bentuk Pakaian Tradisional di Kapet Bima .. 4 Pelabuhan Laut Bima .. 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima .. 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima 7 Tingkat Keunggulan Sektor Berdasarkan Indeks Keunggulan Setiap Indikator di Kapet Bima ......... 8 Rerata Persentase Penduduk Pendatang Tiap Desa/Kelurahan Berdasarkan Daerah Asal di Kapet Bima 9 Rerata Persentase Penduduk Tiap Desa/Kelurahan Yang Pindah Ke Daerah Lain Berdasarkan Daerah Tujuan Di Kapet Bima 10 Arus Penumpang dan Barang Dominan Intra Regional di Kapet Bima . 11 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Darat Inter Regional Kapet Bima ...... 12 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Udara Inter Regional Kapet Bima .. 13 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Laut Inter Regional Kapet Bima ...... 14 Total Arus Penumpang dan Barang Inter Regional Kapet . 15 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima .. 16 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima 17 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima 18 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima . 19 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Alam Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima 20 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima .. 21 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Infrastruktur Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima .

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1 Peta Wilayah Kapet Bima ... 2 Daftar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Indonesia ..... 3 Daftar Desa Sampel dan Responden Penelitian di Kapet Bima ......... 4 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) .. 5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) .. 6 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) . 7 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) .. 8 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) 9 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) .. 10 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) 11 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) .. 12 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) 13 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) .. 14 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. 15 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . 16 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. 17 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . 18 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .......

19 20 21 22 23

24 25

26 27

28 29 30 31 32 33 34

35

36

37

38

Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ... Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ... Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ... Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .. Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ................. Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) ................. Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) .

39

40

41

42 43 44 45 46

Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) . Daftar Sektor Ekonomi/Komponen Tabel Input-Output di Kapet Bima .......................... Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (Rp.000) . Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Koefisien Input Domestik Atas Dasar Harga Produsen .... Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Matriks Pengganda Domestik Atas Dasar Harga Produsen Interaksi Inter Regional dan Model Grafitasi di Kapet Bima Melalui Pelabuhan Laut Bima

I.
1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN

Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat antara Kawasan Indonesia Barat yang lebih maju bila dibandingkan dengan Kawasan Indonesia Timur yang masih jauh terbelakang. Data Badan Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa PDB Indonesia sebagian besar (59.28 %) disumbangkan oleh 6 (enam) propinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi paling besar adalah DKI Jakarta (16.46 %), Jawa Timur (15.22 %), Jawa Barat (14.61 %) dan Jawa Tengah (8.84 %). Daerah di luar Jawa yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap PDB Nasional adalah Kalimantan Timur (6.60 %), Riau (5.24 %) Sumatera Utara (5.16 %), dan Sumatera Selatan (3.08 %). Pada tahun 1996, Nusa Tenggara Barat menyumbang hanya 0.78 % dari total PDRB seluruh propinsi. Angka tersebut terus meningkat dan mencapai 1.20 % pada tahun 2000, namun kontribusinya mengalami penurunan yakni 0.97 % pada tahun 2005. Peningkatan PDRB Nusa Tenggara Barat pada tahun 2000 sebagian besar berasal dari sektor pertambangan, yaitu setelah beroperasinya PT. Newmont Nusa Tenggara. Perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar wilayah pada suatu negara menciptakan disparitas dan ketidakseimbangan antar wilayah. Terdapat wilayah yang berkembang lebih cepat dibandingkan wilayah lain maupun wilayah sekitarnya. Ketidakseimbangan antar wilayah yang terjadi dapat menimbulkan persoalan yang berujung pada penurunan kualitas kehidupan masyarakatnya. Dalam suatu masyarakat, usaha mengurangi disparitas internal yang merupakan pengejewantahan pembangunan wilayah merupakan issue yang lebih besar dan penting dari pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara agregat. Disparitas internal mempunyai struktur yang multidimensi. Disparitas

dapat terjadi antar negara, antar wilayah dalam negara dan antar berbagai kelas sosial (Haruo 2000). Dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia sebagai negara yang luas dan kaya akan sumber daya alam maupun sumber daya manusia, menghadapi disparitas wilayah dalam berbagai segi. Selain karena faktor endowment dari masing-masing wilayah, disparitas juga terjadi sebagai akibat kebijakan dan konsep wilayah yang dianut Pemerintah, yang merupakan cerminan dari paradigma lama pembangunan di Indonesia (Kasikoen 2005). Dari segi ekonomi, pembangunan wilayah dalam jangka panjang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Tambunan 2001).

Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di perdesaan dapat dimasukkan ke dalam beberapa permasalahan utama sebagai berikut : (1) masih kurang berkembangnya kehidupan masyarakat perdesaan karena terbatasnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya produktif, seperti lahan, permodalan, infrastruktur, dan teknologi serta akses terhadap pelayanan publik dan pasar; (2) masih terbatasnya pelayanan prasarana dan sarana permukiman perdesaan, seperti air minum, sanitasi, persampahan, dan prasarana lingkungan lain; (3) masih terbatasnya kapasitas kelembagaan pemerintahan di tingkat lokal dan kelembagaan sosial ekonomi untuk mendukung peningkatan sumber daya pembangunan perdesaan; dan (4) masih kurangnya keterkaitan antara kegiatan ekonomi perkotaan dan perdesaan yang

mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan ekonomi dan pelayanan infrastruktur antar wilayah. Pembangunan ekonomi daerah di era otonomi menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti masalah kesenjangan dan iklim globalisasi. Yang disebut belakangan ini menuntut tiap daerah untuk mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi kepada propinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan

pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk unggulannya. Percepatan pembangunan ini bertujuan agar daerah tidak tertinggal dalam persaingan pasar bebas, seraya tetap memperhatikan masalah pengurangan

kesenjangan. Karena itu seluruh pelaku memiliki peran mengisi pembangunan ekonomi daerah dan harus mampu bekerjasama melalui bentuk pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah (Tim P4W-IPB 2002). Kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah suatu kawasan yang dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah melalui pengembangan kegiatan ekonomi yang diandalkan sebagai motor penggerak pengembangan wilayah. Kawasan andalan diharapkan mampu menjadi pusat dan pendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan di sekitarnya. Kawasan andalan juga diharap mampu bersaing di dalam dan luar negeri (Tim P4W-IPB 2002). Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat berbagai strategi dan program telah dilakukan. Perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur secara formal-politis dimulai saat frase Pembangunan Kawasan Timur Indonesia dicantumkan pada GBHN tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan pembentukan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1996, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia memperkenalkan Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) sebagai model perencanaan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur. Model ini mengadopsi konsep growth centers, yaitu menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan andalan prioritas mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh kegiatan sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan (Prasetya dan Hadi 2000). Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers (growth pole) dibanyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun jauh sebelumnya, baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi). Dengan dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan

harapan saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis (Kasikoen, 2005). Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150

Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. b. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima. Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik secara nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet Bima yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat dilalui transportasi darat dari dan keseluruh Kawasan Indonesia Barat, sehingga Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik. Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan internasional yang terdekat adalah Bandara Udara Ngurah Rai Bali yang dapat ditempuh dalam 1 jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima, sedang lewat darat ditempuh dalam waktu 24 jam. Di sisi lain, Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya sebagai jalan masuk wisatawan mancanegera ke Pulau Komodo, sehingga

memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi. Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diperoleh setiap tahun. Pada tahun 2000, PDRB Kabupaten Dompu adalah sebesar Rp.607,014.51 juta, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah Rp.1,245,933.76 juta, sedangkan pada Tahun 2003 PDRB Kabupaten Dompu sebesar Rp.869,791.79 juta, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah Rp.1,742,626.69 juta, sehingga rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima Tahun 2000-2003 adalah 4.45 % pertahun Statistik Nusa Tenggara Barat 2004). Posisi perekonomian Kapet Bima yang ditunjukkan nilai PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonominya berada di atas Propinsi Nusa Tenggara Barat (3.64 %), namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima yakni sebesar 46.31 % (Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat 2004). Pertumbuhan ekonomi wilayah jika mengarah pada kecenderungan konsentrasi pembangunan yang berpusat pada satu atau beberapa daerah utama saja maka akan melahirkan disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, serta dapat menciptakan keterbelakangan dan untuk Kapet Bima (Badan Pusat

kemiskinan di perdesaan yang secara jangka panjang akan menyebabkan terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi wilayah.

1.2.

Rumusan Masalah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) merupakan kawasan

andalan pusat pertumbuhan ekonomi di Wilayah Indonesia Timur khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam upaya pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitarnya.

Dalam era Otonomi Daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pengendalian dan pelaporan kegiatan yang operasionalnya disesuaikan dengan fungsi dan batas kewenangan masing-masing pihak. Perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2003 telah mempengaruhi dinamika demokrasi, sosial politik dan ekonomi daerah termasuk didalamnya perubahan struktur kelembagaan pengelola Kapet Bima (yang meliputi Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Dompu, Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima serta Badan Pengelola Kapet Bima), hal ini membawa implikasi pada interaksi institusi dan kebijakan pembangunan kawasan. Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima tahun 20002003 adalah 4.45 % pertahun, namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima sedangkan di sisi lain perkembangan investasi semakin menurun. Pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan secara lokal, tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti berkurangnya berbagai kesenjangan wilayah. sehingga disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, pertumbuhan penduduk, perkembangan/pertumbuhan ekonomi, dan lainnya akan melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan di perdesaan serta secara jangka panjang akan terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi. Hasil studi Tim P4W-IPB (2002) menyatakan bahwa kesenjangan antarwilayah tersebut umumnya disebabkan kurang adanya kesesuaian antara program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan oleh sektor-sektor

dengan karakteristik wilayah. Selain itu, program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan dalam suatu wilayah kurang berorientasi pada sisi permintaan atau pasar dan kurang memperhatikan keterkaitan antara

pengembangan wilayah dengan aspek institusi, dalam mendorong peningkatan pembangunan ekonomi daerah. Untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah diperlukan peningkatan efektivitas program-program pengembangan kawasan yang didasarkan atas kesesuaian tipologi atau karakteristik wilayah. Selain itu, program-program pengembangan kawasan dalam mengantisipasi tantangan ke depan, diharapkan untuk memperhatikan keterkaitan antar daerah, keterkaitan antar institusi, sinergisme antar program dan kerjasama, ditunjang dengan kelengkapan sistem informasi dan instrumen program yang tepat. Muara dari berbagai hal di atas, terletak pada pilihan strategi kebijakan di dalam melakukan intervensi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga pertanyaan kunci dari hal ini adalah bentuk-bentuk kebijakan seperti apa yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan dan perbaikan keterkaitan antar wilayah serta dalam upaya pencapaian pertumbuhan yang berimbang. Kebijakan yang tepat hanya dapat dirumuskan secara efektif jika dilandasi dengan pemahaman struktur hubungan (keterkaitan dan sistim aliran sumberdaya dan komoditi) melalui penentuan pola hubungan antar wilayah dan sebaran sektor unggulan sebagai prime mover yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta kelembagaan yang efektif. Untuk itu perlu diketahui dan dianalisis : 1. Apakah yang menjadi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima? 2. Bagaimana keterkaitan antar sektor dan apakah yang menjadi sektor unggulan wilayah Kapet Bima? 3. 4. Bagaimana pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima? Bagaimana strategi pengembangan wilayah Kapet Bima?

1.3. Tujuan Penelitian Adapun berikut : 1. Mengidentifikasi potensi dan permasalahan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima. 2. Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor unggulan wilayah Kapet Bima. 3. 4. Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima. Menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima. yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai

1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang pengembangan kawasan dalam berbagai dimensi kajian spasial. Selain itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pembuat kebijakan di pusat dan daerah dalam menentukan strategi pengembangan wilayah dan pola hubungan kerjasama daerah di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Bima) Propinsi Nusa Tenggara Barat.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN


2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992). Sedangkan menurut Glasson (diacu dalam Kasikoen 2005) wilayah merupakan area kontinue yang terletak antara tingkat lokal dan tingkat nasional. Dinyatakan pula, pendefinisian wilayah itu sendiri bergantung pada tujuan

analisis atau tujuan perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang akan disusun. Rustiadi et al. (2005) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (subwilayah) satu sama lain berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat meaningful untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubahubah). Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey 1977 dalam Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu : (1) wilayah homogen (uniform/ homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Konsep homogenitas, menetapkan wilayah berdasarkan beberapa

persamaan unsur, baik aspek fisik, sosial maupun ekonomi (Anwar 2005). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu

10

yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan yang antara lain dalam bentuk peta kemiskinan (Rustiadi et al. 2005). Konsep nodal menetapkan wilayah berdasarkan perbedaan struktur tata ruang, dimana terdapat sifat ketergantungan secara fungsional, misal antara wilayah pusat (inti) yang biasanya kawasan perkotaan dengan wilayah belakang yang biasanya kawasan perdesaan. Hubungan secara fungsional ini bisa berupa : arus mobilitas penduduk, barang dan jasa, maupun komunikasi dan transportasi. Dalam satu unit wilayah bisa terdapat struktur tata ruang yang bertingkat (hirarki), hirarki tertinggi (orde satu) berupa kota metropolitan, kemudian kota besar, kota kecil sampai perdesaan dengan tingkat orde yang lebih rendah (Anwar 2005). Konsep ketiga adalah batas wilayah administrasi seperti propinsi, kabupaten atau kecamatan. Perencanaan pembangunan wilayah yang banyak dilakukan adalah berdasar batas wilayah administratif, walaupun berdasar batas fungsional seperti konsep nodal, sering kali menemui hambatan karena pertimbangan-pertimbangan politis. Untuk itu bentuk perencanaan pembangunan wilayah yang seimbang baik antar maupun intra wilayah, sangat mendukung keberhasilan pembangunan wilayah yang berdimensi ruang (Anwar 2005). Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti wilayah, kawasan, daerah, regional, area, ruang dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbedabeda. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, pengertian kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Karena itu definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponenkomponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.

11

2.2. Disparitas Regional Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusatpusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive backwash effect) (Anwar 2001). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya. Menurut Murty (2000), secara terperinci terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah baik yang bersifat alamiah atau fisik maupun struktural akibat dari faktor-faktor utama ini antara lain mencakup : (1) geografis; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial; dan (7) ekonomi. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat dilihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhirnya sarat dengan permasalahan-permasalah sosial, lingkungan dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi (Rustiadi 2001).

12

Di Indonesia, wujud disparitas juga dalam bentuk urban bias dan pro Jawa. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), kebijakan yang urban bias dimaksudkan sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan kawasan perkotaan dan memperlemah posisi bargaining wilayah perdesaan. Di dalam alokasi sumber daya, bias ini tercermin dalam kepincangan pembangunan antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan, yang mana secara ekonomi keseluruhan menjadi tidak efisien. Pembuktian adanya pro urban dan pro Java di Indonesia di antaranya dilakukan oleh Garcia (2000) dengan menggambarkan kebijakan pemerintah pada masa orde baru berdasarkan data tahun 1993 dan 1995. Dinyatakan bahwa pada masa orde baru, intervensi pemerintah ditunjukkan dengan memproteksi industri 10 (sepuluh) kali lebih banyak dibanding proteksi pertanian dan kehutanan, dan telah menetapkan pajak terhadap minyak, gas dan sektor pertambangan. Pulau Jawa mempunyai ratio tenaga kerja terhadap luas lahan yang besar dan memproduksi sebagian besar output dari sektor industri di Indonesia, sedang pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, rasio tenaga kerja terhadap luas lahan relatif kecil, tetapi mempunyai sumber daya alam besar dan memproduksi output terbesar dari sektor sumber daya alam. la menyimpulkan bahwa pemerintah orde baru lebih berpihak pada penduduk perkotaan daripada penduduk perdesaan, dan pada kegiatan industri daripada sektor-sektor primer, dan pada Pulau Jawa daripada Bali, Sumatera dan Indonesia Timur Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), masalah kemiskinan adalah ciri dan pemandangan yang umum sebagian besar penduduk perdesaan. Sedang menurut Lipton (1977) secara umum terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan perdesaan (urban bias). Lipton bahkan menggambarkan adanya kesepakatan umum di antara para pengambil kebijakan bahwa pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, investasi dipusatkan untuk industri yang dianggap lebih menguntungkan dan mengabaikan fakta bahwa mayoritas penduduk berada di perdesaan.

13

Terdapat

tiga

karakteristik

penting

dari

kebijakan

yang

bias

perkotaan/urban bias, yaitu : menitikberatkan pada pasar dan pertumbuhan ekonomi memprioritaskan industri lebih besar daripada pertanian alokasi sumberdaya lebih besar ke masyarakat kota daripada ke desa Dari hasil penelitian dan pernyataan di atas, terlihat bahwa kebijakan yang bias perkotaan tersebut lebih menekankan pada kegiatan perekonomian di wilayah perkotaan. Kurangnya kegiatan perekonomian di wilayah perdesaan mengurangi sumber pendapatan penduduk perdesaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya penduduk desa akan menuju wilayah perkotaan, terjadi keterkaitan perkotaan - perdesaan. Melihat kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap perkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta pertumbuhan perekonomian nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pembangunan wilayah perdesaan agar tercapai pembangunan wilayah yang berimbang. Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari berbagai wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

2.3.

Pengembangan Wilayah Dalam banyak hal, istilah pembangunan dan pengembangan banyak

digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan

14

pengembangan wilayah dapat saling dipertukarkan, namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung untuk menggunakan secara khusus istilah pengembangan wilayah/kawasan dibandingkan pembangunan wilayah/kawasan untuk istilah regional development. Secara umum istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas (Rustiadi et al. 2005). Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (Rustiadi et al. 2005). Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pengembangan merupakan proses memanusiakan manusia. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (effeciency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberi panduan kepada alokasi sumber daya (semua kapital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun social) baik pada tingkatan nasional, regional maupun lokal, yang sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi, sosial dan lingkungan (Anwar 2005).

2.4.

Titik

Pertumbuhan

(Growth

Point)

dan

Kutub

Pertumbuhan

(Growth Pole) Konsep titik pertumbuhan (growth point concept) berawal dari adanya pemikiran keuntungan-keuntungan aglomerasi, yaitu konsentrasi produksi yang lebih efisien daripada terpencar-pencar.

15

Pemikiran terjadinya titik pertumbuhan adalah karena kegiatan ekonomi cenderung beraglomerasi di sekitar sejumlah titik fokus. Dalam suatu wilayah, arus polarisasi akan bergravitasi ke arah titik-titik fokus tersebut, yang dapat merupakan pusat kontrol atau pusat dominan dalam wilayah tersebut. Dari arus pergerakan akan dapat ditentukan garis perbatasan penurunan arus sampai pada titik minimum. Pusat tersebut dinamakan titik pertumbuhan, sedangkan di dalam garis perbatasan adalah wilayah pengaruhnya atau wilayah pertumbuhan. (Adisasmita 2005) Berdasarkan penjelasan di atas, titik pertumbuhan tersebut dapat merupakan suatu kota (kota kecil atau menengah), sedang wilayah pengaruhnya adalah perdesaan di sekitarnya. Kepadatan arus menunjukkan adanya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan di sekitarnya. Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi wilayah, dan yang paling menonjol adalah Francois Perroux. la telah mengembangkan konsep kutub pertumbuhan (growth pole) pada tahun 1955 (dikenal sebagai pole de croissance) dan menunjukkan bahwa pembangunan ditimbulkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak (Miyoshi 1997). Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub

perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah, perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka-ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Glasson 1976, diacu dalam Kasikoen, 2005). Sementara berbagai perhatian diberikan oleh akademisi terhadap konsep growth pole tersebut, praktisi menerapkan konsep ini menjadi suatu strategi growth pole dan secara bersemangat dipertimbangkan dan diterapkan pada negara-negara maju dan negara sedang berkembang di tahun 1960an (Miyoshi, 1997), seperti dinyatakan oleh Friedmann (1966) : pola pembangunan wilayah di USA seyogyanya diterapkan di semua negara sedang

16

berkembang". Kesimpulan ini diperoleh dari suatu sintesa beberapa studi empiris mengenai pembangunan wilayah di USA, seperti juga dikatakan oleh Schultz (1951), North (1955) dan Perloff (1960) dan Miyoshi (1997). Schultz (1951) menetapkan "hipotesa tentang kelambatan" dimana pembangunan ekonomi akan terjadi pada pusat pertumbuhan industri-kota (industrial-urban growth centers) dengan kegiatan manufacturing dan ini membutuhkan penyerapan kegiatan pertanian di periphery-nya. Dari pernyataan tersebut jelaslah konsep growth pole telah diikuti oleh berbagai negara, utamanya negara sedang berkembang sebagai strategi pembangunannya. Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, dan perencanaan pembangunan negaranya berkiblat pada Negara Amerika Serikat, maka Indonesia juga menganut strategi growth pole dalam melaksanakan kebijakan tata ruangnya. Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi bukti yang menunjukkan Indonesia menganut konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dapat dilihat dari banyaknya kota-kota primat di Indonesia yang mendasari terwujudnya konsep kutub pertumbuhan dalam ruang. Kota-kota primat tersebut antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain lain. (Desmond 1971, Yeung & Lo 1976, Mills 1994, Gilbert & Gugler 1996, Henderson dan Kuncoro 1996, diacu dalam Kasikoen 2005). Strategi growth pole pada akhirnya membawa dampak terjadinya disparitas wilayah dan kemiskinan di perdesaan. Hal ini sejalan pernyataan Anwar (2001) bahwa pembangunan ekonomi dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang, telah mendahulukan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan spatial (keruangan) yang dilakukan dalam konsep kutub pertumbuhan (growth pole). Konsep ini semula diramalkan akan terjadi penetesan (trickle down effect) dari kutub-kutub pertumbuhan tersebut ke daerah belakangnya (hinterland), tetapi kerangka berfikir tersebut ternyata menimbulkan net-effect yang mengarah kepada pengurasan besar-besaran (massive backwash effect) dari wilayah belakang perdesaan ke pusat pertumbuhan di kota-kota besar.

17

2.5. Interaksi dan Keterkaitan Wilayah Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam bentuk sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan penawaran (supply). Hubungan antar wilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages) antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling mempengaruhi. Proses-proses interaksi dibentuk oleh keterkaitanketerkaitan (linkages) di antara permukiman. Itu berarti penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan dan kampung-kampung kecil memperoleh akses ke pelayanan, fasilitas, infrastruktur dan kegiatan ekonomi yang berlokasi di kota-kota kecil dan kota-kota besar. Melalui keterkaitan-keterkaitan ini penduduk desa menerima banyak input yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan pasar barang yang mereka produksi (Rondinelli 1985). Berpijak adanya pemenuhan kebutuhan hidup dan disparitas wilayah seperti yang tergambar di atas, maka akan terjadi hubungan timbal balik antar wilayah yang dapat disebut keterkaitan antar wilayah. Wilayah itu sendiri dapat merupakan wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan. Keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan dan

kemiskinan. la juga menjelaskan terdapat tiga hubungan dualistik dalam keterkaitan antar wilayah, yaitu (Fu 1981, diacu dalam Kasikoen 2005): (1) Utara-selatan, menggambarkan keterkaitan antar wilayah dalam suatu negara yang menggambarkan dua kutub (2) Perkotaan-perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah

(3) Formal-informal, menggambarkan keterkaitan antar wilayah yang menekankan pada kegiatannya

18

Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan dalam suatu tingkah laku yang kompleks, yang berbeda antara satu negara dengan negara lain yang bergantung pada empat faktor dominan dan sejarah masing-masing negara. Keempat faktor dominan tersebut adalah : (1) resource endowment : pertanian, mineral dan sumber daya alam lainnya; (2) karakteristik demografi : kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan dan tingkat urbanisasi (3) teknologi : tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan pembangunan modal sumberdaya manusia; dan (4) development ideology: ideologi dalam pembangunan negaranya. Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah yang saling berinteraksi. Dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana transportasi, dapat pula dalam bentuk lain. Oleh karena itu keterkaitan (linkages) antar wilayah adalah bentukan dari proses interaksi antar wilayah yang diakibatkan adanya hubungan supply-demand, yang didukung oleh kemudahan perhubungan antara keduanya, serta dapat menguntungkan, merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut. Menurut Pradhan (2003) keterkaitan perkotaan-perdesaan meliputi tiga elemen penting, yaitu wilayah perkotaan, wilayah perdesaan dan hubungan keterkaitan tersebut. Wilayah perdesaan merupakan tempat dihasilkannya bahan mentah, produksi pertanian, kerajinan tangan, tenaga kerja dan modal, sedang wilayah perkotaan merupakan tempat produksi barang, pelayanan, teknologi, ide-ide dan tersedianya pekerjaan. Untuk menghubungkan wilayah perkotaan dan perdesaan tersedia jaringan jalan dan transportasi serta sistem kelembagaan. Dari gambaran keterkaitan antar wilayah dalam pembangunan spasial yang diberikan oleh Rondinelli maupun Pradhan yang terdiri atas berbagai jenis, pada dasarnya keterkaitan antar wilayah dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) jenis keterkaitan, yaitu keterkaitan fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta

19

teknologi. Keterkaitan fisik, merupakan gambaran hubungan fisik antar wilayah perkotaan-perdesaan. Keterkaitan ekonomi memberi gambaran hubungan ekonomi, sedang keterkaitan sosial dan kelembagaan memberikan gambaran hubungan sosial dan kelembagan antar wilayah perkotaan-perdesaan.

Keterkaitan teknologi memberi gambaran hubungan teknologi antar wilayah perkotaan-perdesaan.

2.6. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, pemerintah telah memberikan perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur yang secara formalpolitis dimulai saat frase pembangunan Kawasan Indonesia Timur dicantumkan pada GBHN Tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan pembentukan Dewan Pengembangan KTI. Pada Tahun 1996, Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu) diperkenalkan menjadi model perencanaan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur oleh dewan tersebut . Model ini mengadopsi konsep growth centers (growth pole), yaitu menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan andalan prioritas mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh kegiatan sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan (Prasetya dan Hadi 2000). Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers dibanyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun jauh-jauh hari, baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi). Termasuk dalam kelemahan linkages ini adalah ketiadaan konsep operasional yang kongkrit bagaimana

masyarakat bawah dilibatkan dan diangkat kehidupannya dalam pengembangan Kapet yang sebagian besar berbasis agroindustri dan agribisnis tersebut. Dengan dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan harapan

20

saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis (Kasikoen 2005). Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150

Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. b. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima. Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet Bima yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat dilalui transportasi darat dari dan keseluruhan Kawasan Indonesia Barat, sehingga Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik. Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan Internasional yang terdekat adalah Bandar Udara Ngurah Rai Bali yang dapat ditempuh dalam satu jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima, sedangkan lewat darat ditempuh dalam 24 jam (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Di sisi lain Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya sebagai jalan masuk wisatawan mancanagera ke Pulau Komodo, sehingga

21

memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Potensi sumber daya alam pada ketiga Kabupaten tersebut dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan belum Kawasan

Pengembangan dengan menciptakan

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang

mengacu pada pemberdayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan, sehingga tercipta pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dan bermuara pada kesejahteraan dan kenyamanan hidup rakyat yang berada di kawasan tersebut (BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Atas dasar pertimbangan tersebut di atas agar operasional

pengembangannya tepat arah dan tindakan maka telah disusun Rencana Induk Pengembangan KAPET Bima yang intinya memuat struktur dan arahan pola pengembangan kawasan, sehingga tercipta kondisi-kondisi sebagai berikut (BP Kapet dan BPPT 2000) : a. Meningkatnya pertumbuhan dan memperluas pengembangan sektor-sektor unggulan sebagai motor penggerak ekonomi (prime mover) kawasan. b. Meningkatnya keterpaduan operasional pembangunan oleh instansi, sektor dan daerah serta dunia usaha (swasta) dalam rangka mencapai laju perkembangan ekonomi setinggi-tingginya yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya setempat. c. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan sosial ekonomi antar kawasan dan antar masyarakat yang ada dalam kawasan. d. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas investasi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan kawasan. e. Terumuskannya keterpaduan program investasi antar Public Services dan Private Investment sekaligus merumuskan kemungkinan terlaksananya program kegiatan tersebut. f. Terumuskannya pola-pola insentif di kawasan dengan memperhatikan berbagai kebijaksanaan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan regulasi

22

dibidang pertanian, industri, pertambangan, perikanan dan kelembagaan sehingga dapat menunjang dan mendukung efektifitas dan efisiensi investasi g. Terumuskannya pola promosi untuk berbagai peluang investasi yang akan dikembangkan. Berbagai sektor ekonomi yang ada di Kapet Bima merupakan potensi untuk dikembangkan, seperti pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, kehutanan, pertambangan dan sektor pariwisata. Sementara pada sektor industri, yakni kegiatan industri rumah tangga, tambak garam dan bahan makanan sebagai sumber mata pencaharian penduduk lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan berbagai sektor ekonomi di atas masih diusahakan secara lokal, tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku).serta tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata (BP Kapet Bima 2004).

2.7. Penelitian Terdahulu Kawasan Indonesia Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar seperti sumber daya hutan, sumber daya perikanan laut dan sumber daya mineral. Dengan kebijaksanaan yang sentralistik, Kawasan Indonesia Timur telah mengalami banyak kebocoran regional dari pemanfaatan sumber daya alamnya. Investasi di Indonesia dalam bentuk eksploitasi SDA tersebut banyak bersifat rural enclave yang sebagian besar manfaat (nilai tambah) dibawa keluar wilayah Indonesia Timur (Hadi 2001). Dalam perjalanan waktu, titik berat pembangunan Indonesia diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi kepada pertumbuhan, ternyata memberikan penekanan pada pembangunan sektoral yang relatif parsial dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, sehingga berimplikasi pada pembangunan yang relatif tidak terpadu dan komprehensip serta menimbulkan disparitas dan keterbelakangan di Kawasan Indonesia Timur. Untuk memudahkan dalam memacu pengembangan kawasan-kawasan di Indonesia Timur ini diperlukan sektor-sektor unggulan yang dimiliki kawasan tersebut. Untuk itu berbagai komoditas unggulan yang dimaksud

23

adalah komoditas yang mampu mendorong kegiatan ekonomi, baik di kawasan andalan itu sendiri (Kapet) berupa diversifikasi kegiatan ekonomi maupun kegiatan-kegiatan di daerah belakangnya (Bakry 1999). Pemerintah Daerah Propinsi Maluku menetapkan Pulau Seram sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang

dikembangkan secara nasional. Hal ini terutama disebabkan oleh kawasan tersebut mengandung potensi perikanan, perkebunan, pariwisata, pertambangan dan energi yang berpeluang untuk menarik investor (Bakry 1999). Bakry (1999) menyatakan bahwa karakteristik usaha perikanan rakyat di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram masih didominasi oleh usaha nelayan yang berskala kecil dengan sarana penangkapan berupa perahu tanpa motor yakni sebanyak 14.593 unit atau 94,27 % dari seluruh armada perikanan. Sedangkan Perahu Motor Tempel sebanyak 729 unit atau 4,75 % dan Kapal Motor hanya 124 unit atau 0,8 %. Dari sisi permodalan umumnya nelayan enggan berhubungan dengan lembaga keuangan perbankan karena prinsip kehati-hatian bank dimana dipersyaratkan adanya agunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan, sementara nelayan/petani kecil tidak memiliki aset yang dapat diagunkan. Terbatasnya modal kerja bagi nelayan kecil dimana jumlahnya mencapai 94,86 % dari total nelayan Maluku Tengah berdampak pada tingkat kemampuan nelayan untuk meningkatkan hasil produksi, karena terbatasnya wilayah tangkapan (fishing ground). Dari sisi kelembagaan khusunya kelembagaan tradisional (hukum adat sasi) yang merupakan salah satu nilai-nilai yang mengandung keraifan-kearifan tertentu terhadap lingkungan dan sumberdaya alam ternyata semakin menurun nilainya. Lembaga ini mulai berkurang peranannya dalam upaya distribusi yang adil terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh pemerintahan desa (sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979) bila dibandingkan dengan hukum adat (Bakry 1999). Selanjutnya secara makro-regional, yang dianalisis melalui kontribusi relatif sektor perikanan terhadap perekonomian wilayah dari sisi pendapatan (PDRB) dan serapan tenaga kerja, sektor perikanan menunjukan nilai yang positif,

24

artinya sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap perubahan struktur perekonomian wilayah, walaupun kontribusinya relatif kecil. Analisis dampak pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian kawasan dari sisi output wilayah menunjukan bahwa sektor perikanan memberi kontribusi kepada output wilayah pada urutan ke 3 dari 5 sektor penyumbang terbesar kepada output wilayah. Di bidang ekspor dan impor wilayah, sektor perikanan menduduki peringkat ke 3 yakni menyumbang sebesar 14,40 %, sedangkan dari sisi impor sektor perikanan menduduki peringkat ke 12. Ini menunjukan bahwa sektor perikanan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya (Bakry 1999). Bakry (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Pulau Seram maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) pembangunan sektor perikanan tidak hanya difokuskan pada upaya-upaya penigkatan produksi melalui modernisasi alat tangkap akan tetapi lebih diarahkan kepada sistem budidaya, sehingga ketergantungan petani/nelayan terhadap sumberdaya yang sifatnya open access lambat laun akan berkurang; (2) lembaga keuangan formal (perbankan) perlu menyederhanakan prosedur pengajuan kredit agar tidak berbelit-berbelit sehingga mengurangi biaya-biaya transaksi yang sangat merugikan masyarakat; (3) kebijakan pengembangan sektor perikanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram harus tetap menghargai hak-hak komunal terhadap sumberdaya perikanan sehingga masyarakat komunal dapat ikut memelihara kelestarian sumberdaya alat; (4) perlu dikembangkan sistem pengolahan dengan teknologi tepat guna yang mudah dijangkau oleh masyarakat yang dapat membuka peluang bagi berkembangnya kewirausahaan bagi masyarakat. Dewi (2003) dalam melakukan penelitian tentang pengembangan perekonomian daerah melalui kerjasama perbankan nasional dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi Selatan) menemukan bahwa kredit perbankan yang disalurkan di wilayah Kapet Pare-Pare belum optimal dalam mendukung kegiatan usaha yang berpotensi. Kredit yang disalurkan umumnya pada sektor tersier, sedangkan untuk sektor primer dan sekunder, kredit yang disalurkan relatif sedikit, walaupun sektor

25

unggulan pada wilayah Kapet Pare-Pare ini adalah udang, padi, kopi, kakao dan jambu mete. Kerja sama antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan di wilayah Kapet Pare-Pare masih kurang, belum terlihat sikap saling mempercayai yang menghasilkan sinergi yang kuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, padahal kerja sama yang baik diantara ketiga pihak tersebut di atas akan bermanfaat bagi daerah-daerah di wilayah Kapet Pare-Pare dan Sulawesi Selatan serta untuk memacu perekonomian Kawasan Indonesia Timur pada umumnya (Dewi 2003). Dewi (2003) menyarankan agar Kota Pare-Pare dijadikan pusat pertumbuhan yang mempunyai keterkaitan dengan hinterland untuk wilayah Kapet Pare-Pare lainnya. Sehingga perlu peranan perbankan dalam

membiayai/kredit investasi untuk mendirikan gudang-gudang penampungan dan cold storage hasil pertanian dan udang sebelum dieksport. Pelabuhan di sini juga dapat dikembangkan menjadi pelabuhan eksport dengan bantuan berupa kredit investasi untuk menyempurnakan infrastruktur pelabuhan. Hadi (2001) telah menyusun beberapa skenario kebijaksanaan

pembangunan berimbang antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur antara lain sebagai berikut : Jika investasi infrastruktur yang disertai dengan adanya alokasi dana dan pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah/regional Kawasan Indonesia Timur dalam pengelolaan dana pembangunan, maka dapat meningkatkan pendapatan dan produksi yang lebih cepat untuk Kawasan Indonesia Timur. Apabila pengalokasian dana tersebut didasarkan atas kebutuhan, dengan kata lain terdapat pengalokasian dana pembangunan yang lebih besar ke Kawasan Indonesia Timur dalam arti investasi infrastruktur di Indonesia Barat secara bertahap diserahkan kepada swasta, maka dampak percepatannya menjadi lebih tinggi. Adanya investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul dengan investasi usaha oleh pihak swasta, serta kesempatan ekspor yang meningkat dapat meningkatkan pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur rata-rata 31.92 % dan peningkatan produksi sebesar rata-rata 45.4 %. Di sisi lain dengan skenario ini,

26

pendapatan golongan masyarakat di Kawasan Indonesia Barat juga meningkat sebesar rata-rata 6.37 % dan produksi meningkat rata-rata 3.69 % (Hadi 2001). Pencapaian perimbangan pembangunan antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur diperlukan perubahan mendasar dari pembangunan sentralistik ke arah pembagian kewenangan (power sharing) dan pembagian kesejahteraan (wealth sharing) antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pembagian kewenangan tersebut adalah dengan program otonomi daerah yang tetap memperhatikan keragaman potensi dan permasalahan antar daerah (Hadi 2001).

2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di setiap propinsi di Kawasan Indonesia Timur merupakan salah satu strategi yang diambil oleh DP KTI dalam rangka percepatan pembangunan Kawasan Indonesia Timur. Berdasarkan Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), kemudian disempurnakan oleh Keppres Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet, salah satunya adalah Kapet Bima yang ditetapkan dengan Keppres Nomor 166 Tahun 1998. Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dengan memprioritaskan upaya pembangunan pada Kapet-Kapet adalah merupakan pendekatan pembangunan yang didasarkan pada teori pembangunan growth center. Berdasarkan teori ini maka pembangunan dipusatkan pada penciptaan dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan. Pendekatan pembangunan ini diterapkan karena beberapa alasan, antara lain sebagai berikut (Prasetya 2000) : 1). Tidak mungkin dilaksanakan upaya-upaya pembangunan dengan intensitas yang sama pada waktu yang sama dan pada semua daerah. Hal ini karena keterbatasan pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan prioritas pembangunan, baik dari segi daerah maupun sektor. 2). Tidak semua daerah mempunyai kemampuan yang sama dalam menyerap investasi. Dengan keterbatasan dana pembangunan yang ada maka harus

27

diprioritaskan daerah-daerah dengan kemampuan menyerap investasi yang besar. Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center dikhawatirkan akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk mengantisipasi hal itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat pertumbuhan antara pusat

dengan daerah belakangnya di Kawasan Indonesia Timur, dan

mengembangkan keterkaitan secara regional dan nasional (Prasetya 2000). Salah satu kritik dari teori growth center ini, adalah penerapan strategi pembangunan dengan menggunakan asumsi bahwa pembangunan pusat-pusat pertumbuhan akan mampu merangsang pertumbuhan daerah belakang dengan harapan adanya efek menetes ke bawah (trickle down effect), namun pada kenyataannya efek tersebut sulit terjadi malah memungkinkan terjadinya ketimpangan antara pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah belakangnya (hinterland area). Salah satu penyebab hal tersebut adalah lemahnya keterkaitan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakang. Oleh karena itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketimpangan antara pusat

pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Keterkaitan tersebut meliputi keterkaitan produksi, keterkaitan pemasaran dan keterkaitan transportasi. Keterkaitan produksi terjadi karena setiap proses produksi membutuhkan bahan masukan (input). Idealnya, daerah hinterland akan mampu memasok bahan-bahan masukan untuk proses produksi di Kapet. Keterkaitan pemasaran merupakan konsekuensi dari adanya proses produksi di Kapet. Hasil-hasil produksi dari Kapet perlu dipasarkan baik ke daerah hinterland maupun ke daerah lainnya. Kedua keterkaitan tersebut memerlukan dukungan keterkaitan transportasi. Keterkaitan transportasi berarti bahwa antar Kapet dengan daerah hinterland dan antar Kapet dengan Kapet lainnya terdapat prasarana transportasi, sarana transportasi dan jalur transportasi yang cukup memadai untuk mendukung hubungan antar daerah. Salah satu perwujudan hubungan antar daerah ialah dengan adanya pertukaran antar daerah baik yang berwujud barang, uang maupun jasa. Analisis

28

aliran barang, orang dan kendaraan dapat digunakan untuk mengetahui intensitas hubungan antar daerah dan tingkat ketergantungan atau peranan suatu daerah dengan daerah yang lain. Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi regional terjadi melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan antar sektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages), ialah hubungan dengan penjualan barang hasil produksi yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaaan atau daya dorong, dan hubungan kebelakang (backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan mentah/bahan baku atau disebut juga daya penyebaran atau daya tarik. Pengembangan ekonomi kawasan secara berkesinambungan tidak terlepas dari adanya ketersediaan dan dukungan sumber daya baik secara kualitas maupun secara kuantitas, terutama sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya sosial (SDS) serta sumber daya buatan (SDB), namun di sisi lain pengembangan berbagai sektor ekonomi di Kapet Bima masih diusahakan secara lokal dan tradisional, sementara industri pengolahan belum berkembang sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta belum didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata

(BP Kapet Bima dan BPPT 2000). Untuk itu, perlu dilakukan analisis tentang identifikasi potensi dan permasalah pengembangan Kapet Bima, yang meliputi ketersediaan fasilitas, sebaran penduduk, sebaran komoditas dan pertumbuhan ekonomi serta berbagai dukungan dan hambatan lainnya. Otonomi daerah merupakan tantangan sekaligus peluang dalam

menggerakkan berbagai sumber daya wilayah secara optimal. Dalam era otonomi daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari proses perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pengendalian. Dengan demikian, perencanaan pembangunan di Kapet Bima akan bersifat bottom up atau partisipatif serta selaras dengan perencanaan pemerintah daerah. Sinergi peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat serta stakeholders lainnya sangat dibutuhkan melalui strategi dan pendekatan yang holistik dalam pembangunan wilayah Kapet Bima secara berimbang dan berkelanjutan.

29

Dari uraian di atas maka dapat dibuat alur kerangka pemikiran penelitian yang dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.

Otonomi Daerah

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima

Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah

Keterkaitan Antar sektor

Interaksi Spasial

- Sebaran faslitas & penduduk - Sebaran komoditas - Pertumb ekon. - Sospolbud - Potensi dan permsl lainnya

Keterkaitan kedepan dan kebelakang

Inter Regional

Sektor Unggulan Intra Regional

Peran dan Interaksi Institusi

Strategi Pengembangan Wilayah

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

Menurut Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama atau mempunyai tingkat industri yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang

30

lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

III. METODE PENELITIAN


Penelitian merupakan suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut (Hillway 1956, diacu dalam Nazir 2003), Penelitian juga bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima ataupun mengubah dalil-dalil dengan adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut. Dari itu, penelitian dapat diartikan sebagai pencarian pengetahuan dan pemberi artian yang terus-menerus terhadap sesuatu. Penelitian juga merupakan percobaan yang hati-hati dan kritis untuk menemukan sesuatu yang baru (Nazir 2003). Dalam melakukan penelitian, maka untuk mencapai tujuan penelitian akan mengikuti langkah-langkah yang disusun sebelum penelitian yang dilakukan lebih jelas dan terarah. Bab ini akan menjelaskan proses penelitian yang merupakan penjabaran alur kerangka pemikiran penelitian yang digambarkan pada bab sebelumnya. 3.1. Kerangka Pendekatan Studi Adapun uraian pendekatan studi yang meliputi tujuan, alat analisa, variabel, jenis dan sumber data dapat dilihat pada tabel 1. 3.2. Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu yang merupakan daerah administratif kabupaten di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2006. Lokasi sampel sebanyak 19 desa/kelurahan yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan letak geografis yang dipilih dari kawasan bagian pusat (daerah administrasi Kota Bima), kawasan bagian timur (daerah administrasi Kabupaten Bima) dan kawasan bagian barat (daerah administrasi Kabupaten Bima dan Dompu). Selanjutnya setiap desa ditetapkan 2 (dua) orang responden yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan tingkat pengetahuan tentang desanya masing-masing, sehingga jumlah responden adalah sebanyak 38 orang.

32

Sedangkan

khusus

untuk

analisis

hirarki

proses

(AHP)

dan

analisis

stakeholders/kelembagaan adalah dengan menggunakan expert/key informan masing-masing 1 (satu) orang sebagai responden dari tiap lembaga/stakeholders, yakni dari : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP KTI) mewakili Pemerintah Pusat, Bappeda Propinsi NTB mewakili Pemda Propinsi, Bappeda Kabupaten Bima mewakili Pemda Kabupaten/Kota, Kadin Bima mewakili Swasta dan LSM Dompu mewakili elemen masyarakat, sehingga jumlah responden 6 (enam) orang. 3.3. Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci dilapangan. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur. Sedangkan pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : studi literatur/data sekunder dan survey/wawancara. 3.3.1. Studi Literatur/Data Sekunder Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang ada. Data ini diperoleh dari berbagai lembaga atau departemen seperti Badan Pusat Statistik, Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda

Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu, BP Kapet Bima, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan Instansi terkait. 3.3.2. Wawancara Wawancara dilakukan dengan responden dan informan-informan kunci seperti dari Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten/Kota,

BP Kapet Bima, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Kadin, Tokoh Masyarakat dan Instansi terkait lain. 3.4. Metode Analisis Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diangkat

33

Tabel 1 Matriks Pendekatan Studi


No. 1. Tujuan Identifikasi potensi pengembangan serta berbagai peluang dan kendalanya. Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor/komoditi unggulan wilayah Teknik Analisa - Analisis Deskriptif Potensi Pengemb. Wilayah Variabel -SDA -SDB/infrastruktur -SDSosbud -SDM - Kegiatan ekonomi - Nilai transaksi barang dan jasa Sumber data - Badan Pusat Statistik - Pemda Kabupaten - BP Kapet - Studi Literatur

2.

- Analisis Deskriptif Input-Output - Indeks Output Sektor (IOS) - Indeks Daya Dorong (IDD) - Indeks Daya Tarik (IDT) - Analisis LQ - Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) - Model Grafitasi

- Badan Pusat Statistik - Pemda - Instansi terkait - Data Survey

3.

Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional

- Analisis Deskriptif Interaksi spasial

- PDRB - Output ekonomi - Nilai pengganda sektor - Sektor basis - Interaksi antar wilayah - Massa wilayah - Jarak antar wilayah - Interaksi antar wilayah - Karakteristik wilayah

- Badan Pusat Statistik - Badan Pusat Statistik - Pemda - Instansi terkait - Data Survey - Badan Pusat Statistik - Dishub - Dispenda

4.

Menyusun Strategi Pengembangan Wilayah

- Analisis Deskriptif Kelembagaan

- Fungsi peran lembaga - Interaksi lembaga

- Analisis Hirarki Proses (AHP) - Analisis SWOT

- Persepsi stakeholders - Sintesa analisis - Faktor eksternal - Faktor internal

- Badan Pusat Statistik - Dishub - Dispenda - Pemda - Studi Literatur - Key Informan - BP-Kapet - Pemda Propinsi - Pemda Kab/kota - Instansi terkait - Key Informan - Key Informan - Instansi terkait - Studi Literatur - Key Informan

3.4.1. Analisis Deskriptif Potensi Pengembangan Wilayah Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai potensi pengembangan wilayah. Data dari berbagai variabel di atas selanjutnya diolah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kemudian data dikelompokkan atau diklasifikasikan, lalu diidentifikasi berbagai komoditi, sektor dan wilayah yang memiliki potensi pengembangan dengan memperhatikan karakteristik wilayah serta berbagai faktor peluang dan hambatan, seperti sebaran penduduk, komoditas

34

potensial dan pola pertumbuhan ekonomi, selain itu digambarkan ketersediaan fasilitas dan kelembagaan serta berbagai berbagai permasalahan dalam

pengembangan wilayah di Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu dalam Kawasan Ekonomi Terpadu Bima. Selanjutnya data tersebut juga diplotkan dalam bentuk grafik dan tabel, dari berbagai informasi tersebut akan diketahui tingkat pertumbuhan dan pola spasial dari masing-masing variabel. 3.4.2. Penyusunan dan Analisis Input-Output (IO) Kerangka Dasar Secara sederhana Model IO wilayah menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar satuan kegiatan ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan dalam bentuk tabel. Isian sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut kolom menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi (Badan Pusat Statistik 2000b). Sebagai model kuantitatif, model IO mampu memberi gambaran menyeluruh tentang : 1. Struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing kegiatan ekonomi di suatu daerah. 2. Struktur input antara (intermediate input), yaitu penggunaan barang dan jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah. 3. Struktur penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor. 4. Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh kegiatan produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Tabel IO Kapet Bima tahun 2004 terdiri dari 18 sektor, disusun dengan menggunakan metode RAS yang diturunkan dari Tabel IO Propinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Sesuai dengan namanya, model IO pada dasarnya berisikan gambaran mengenai saling keterkaitan suatu sektor yang digunakan sebagai input, baik untuk menghasilkan output sektor itu sendiri maupun sektor lain. Untuk

menghasilkan output, suatu sektor memerlukan input baik berupa barang, jasa dan faktor produksi lainnya. Keterkaitan antara input dan output tersebut digambarkan dalam kerangka Model IO seperti tertera pada tabel 2.

35

Tabel 2 Kerangka Model Input-Output (IO) Kapet Bima Permintaan antara 1 2 1 x11 x12 Input 2 x21 x22 Antara xn1 n xn1 V2 Input Primer/NTB V1 Total Input X1 X2 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000. Input Sektor Permintaan akhir F1 F2 Fn Total Output X1 X2 Xn

N X1n X2n xnn Vn Xn

Output yang diproduksi oleh sektor 1 (x1) didistribusikan kepada kedua macam pemakai. Pemakai pertama adalah sektor produksi yang terdiri dari sektor 1 sampai dengan sektor n. Sektor 1 sendiri menggunakan sebesar x11, sektor 2 menggunakan sebesar x12, sektor 3 menggunakan sebanyak x13 dan seterusnya hingga sektor n menggunakan sebesar x1n. Bagi sektor produksi, output yang diproduksi oleh sektor 1 tersebut merupakan bahan baku atau Input Antara (intermediate input) yang digunakan dalam proses produksi lebih lanjut. Pemakai kedua adalah para pemakai akhir dan bagi mereka output sektor 1 digunakan sebagai Permintaan Akhir (final demand). Permintaan Akhir terdiri dari empat komponen yaitu: (1) konsumsi rumah tangga (C), (2) pembentukan modal tetap bruto atau investasi (I), (3) pengeluaran konsumsi pemerintah (G), dan (4) ekspor (X). Komponen F1 menunjukkan nilai Permintaan Akhir atas output sektor 1 dan Fn menunjukkan nilai Permintaan Akhir atas output sektor n. Output suatu sektor seluruhnya habis digunakan untuk Input Antara dan Permintaan Akhir. Dengan demikian, total output sektor 1 (X1) adalah sejumlah output sektor 1 yang digunakan sebagai Input Antara oleh sektor 1 sampai dengan n ditambah dengan Permintaan Akhir. Persamaan permintaan dan penyediaan sektor i dapat ditulis dalam bentuk notasi:

xij + Fi = Xi + Mi .......................................................................... (1)


j =1

36

dimana : xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Fi = Permintaan Akhir terhadap output sektor i Xi = Total output sektor i Mi = Total ouput sektor i yang diimpor Bertolak dari konsep keseimbangan umum di dalam Model IO, Total Output suatu sektor harus sama dengan Total Input sektor tersebut. Itulah sebabnya Total Output sektor 1 bernilai sama dengan Total Input sektor 1 yaitu X1. Namun input yang diperlukan dalam proses produksi sektor 1 bukan hanya Input Antara, tetapi diperlukan juga input lain yang disebut Input Primer. Input Primer disebut juga sebagai Nilai Tambah Bruto (NTB) atau gross value added yaitu balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi. Jika dirinci, NTB terdiri lima komponen yaitu: (1) upah dan gaji, (2) surplus usaha (keuntungan), (3) depresiasi barang modal, (4) pajak tak langsung, dan (5) subsidi. Komponen V1 diartikan sebagai nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor 1, kemudian nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor n adalah Vn. Dengan demikian maka total input suatu sektor adalah jumlah seluruh Input Antara dan Input Primer, yang dirumuskan dalam bentuk:

xij + Vi = Xi + Mi .......................................................................... (2)


j =1

yang mana : xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j Koefisien Input dan Pengganda Output Koefisien input sangat penting dalam analisis IO antara lain untuk melihat komponen input (Input Antara dan Input Primer) yang paling dominan, peranan penggunaan bahan baku dan energi, tingkat pemakaian jasa bank, komunikasi, transportasi dan sebagainya. Proporsi Input Antara yang berasal dari sektor i terhadap total input sektor j disebut sebagai koefisien input antara yang diperoleh dengan rumus :

37

aij =

x ij Xj

... (3)

xij = aij Xj ...... (4) dimana : aij = Koefisien input antara (koefisien teknis) sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j xij = Nilai output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j Secara lengkap koefisien input antara atau koefisien teknis dapat ditata kedalam suatu matriks A dengan struktur :
a11 a 21 An x n = ... a n1 a1n a 2n ..... (5) ... a nn

a12 a 22 ... a n2

... ... ... ...

Koefisien Input Primer menunjukkan peranan dan komposisi dari upah dan gaji, surplus usaha (keuntungan), penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Koefisien Input Primer dirumuskan sebagai : vj= dimana : Vj = Input primer (nilai tambah) sektor j Xj = Total input sektor yang digunakan oleh sektor j vj = koefisien input primer Berdasarkan persamaan di atas, jumlah koefisien Input Antara dan koefisien Input Primer sektor j adalah satu, yaitu Vj Xj
...

(6)

aij + v j = 1 . Bila
i =1

a
i =1

ij

makin besar maka vj menjadi kecil, demikian pula sebaliknya. Koefisien Input Antara menggambarkan tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksi sehingga koefisien ini disebut juga sebagai koefisien teknis (technical coefficient). Koefisien teknis ini disebut juga sebagai kebutuhan

38

langsung (direct requirement), karena menunjukkan kebutuhan langsung suatu sektor akan output sektor lainnya. Matriks koefisien teknis merupakan dasar untuk perhitungan dampak pengganda (multiplier effect) yang menjadi salah satu inti dari analisis Model IO. sedangkan besarnya output dapat dihitung sebagai pengaruh induksi permintaan akhir adalah: X = (I - A)-1 F ...................................................................................... (7) Dimana : X = vektor total output berukuran n x 1 I = matriks identitas berukuran n x n F = vektor permintaan akhir berukuran n x 1 A = matriks koefisien input berukuran n x n Matriks identitas berguna untuk memudahkan manipulasi matematis. Suatu matriks jika dikalikan dengan matriks identitas akan menghasilkan matriks itu sendiri. Persamaan (7) inilah yang menjadi inti dari Model IO, sedangkan (I - A)-1 disebut matriks Kebalikan Leontief yang berfungsi sebagai pengganda output (output multiplier). Kenaikan permintaan akhir suatu sektor tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kenaikan total output sektor itu sendiri tetapi juga sektor lainnya. Besar kecilnya dampak kenaikan total output akibat kenaikan permintaan akhir tergantung dari elemen-elemen matriks (I-A)-1.

3.4.3. Indeks Output Sektor (IOS)


Nilai output suatu sektor menggambarkan nilai akhir produksi yang dihasilkan suatu sektor baik untuk digunakan kembali pada kegiatan produksi domestik (permintaan antara) maupun digunakan untuk permintaan akhir (konsumsi rumah tangga, pemerintah, investasi, dan eksport). Untuk melihat perbandingan nilai output suatu sektor terhadap sektor lainnya, maka dapat digunakan indeks output sektor (IOS) yang dapat diformulakan sebagai berikut : IOSi =
Xi (1 / n) i X

39

Dimana : IOSi = Indeks Output Sektor i Xi n = Nilai Output Sektor i (Juta Rupiah) = Jumlah Sektor Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks output sektor >1, berarti nilai output sektor tersebut di atas rata-rata nilai output sektor lainnya, dengan kata lain bahwa sektor tersebut memiliki skala aktivitas (kapasitas ekonomi) yang tinggi. namun jika nilai indeks output sektor <1, berarti nilai output sektor tersebut di bawah rata-rata nilai output sektor lainnya, yang bermakna bahwa sektor tersebut memiliki skala aktivitas (kapasitas ekonomi) yang relatif rendah.

3.4.4. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD)
Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model I-O adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar unsur aktif (unsur yang menunjang kegiatan

industri/ekonomi, seperti perusahaan industri, prasarana dan pemusatan industri) yang merupakan generator untuk memulai sesuatu proses polarisasi teknis. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages), ialah hubungan dengan penjualan hasil produk yaitu tingkat keterkaitan ke depan atau disebut juga derajat kepekaaan (daya dorong), dan hubungan kebelakang (backward linkages), merupakan hubungan dengan bahan mentah/bahan baku atau disebut juga daya penyebaran (daya tarik). Kedua indeks tersebut dapat digunakan untuk menganalisa dan menentukan sektor-sektor kunci (key sektors) yang akan dikembangkan dalam pembangunan ekonomi di suatu wilayah (Badan Pusat Statistik 2000a). Sektor yang mempunyai indeks daya tarik (IDT) yang tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan ekonomi domestik sektor yang lain. Sebaliknya sektor yang mempunyai indeks daya dorong (IDD) yang tinggi berarti sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi dibandingkan sektor yang lain. Indeks Daya Tarik (IDT) dan Indeks Daya Dorong (IDD) suatu sektor dapat diformulakan sebagai berikut (Badan Pusat Statistik 2000a) :

40

IDTj =

i bij (1 / n) i j b ij j bij (1 / n) i j b ij

IDDi = Dimana :

IDTj = Indeks Daya Tarik sektor j (tingkat dampak keterkaitan ke belakang) IDDi = Indeks Daya Dorong sektor i (tingkat dampak keterkaitan ke depan) bij = Sel matriks kebalikan (I-Ad)-1 pada baris i dan kolom j (dampak yang terjadi terhadap output sektor i akibat perubahan permintaan akhir sektor j n = Jumlah sektor (ukuran matriks) Suatu sektor yang mempunyai nilai Indeks Daya Tarik (IDT) >1, berarti daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata daya tarik sektor lainnya. Demikian juga jika nilai Indeks Daya Dorong (IDD) >1, berarti daya dorongnya di atas rata-rata daya dorong sektor lainnya.

3.4.5. Analisis Location Quotien (LQ)

Metode

analisis

LQ

di

gunakan

untuk

menunjukkan

lokasi

pemusatan/basis (aktivitas). Disamping itu LQ digunakan untuk mengetahui kapasitas eksport perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Adapun persamaan LQ adalah sebagai berikut (Saefulhakim. 2003) : LQsk = Xsk / Xtk Xsp/Xtp Dimana : LQsk = Location Quotien suatu sektor di Kapet Bima Xsk = Pendapatan suatu sektor pada tingkat wilayah Kapet Bima Xtk = Pendapatan total wilayah Kapet Bima Xsp = Pendapatan suatu sektor pada tingkat wilayah Propinsi NTB Xtp = Pendapatan total wilayah Propinsi NTB Apabila LQ suatu sektor > 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis, sedangkan bila LQ < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non basis.

41

Asumsi metode LQ ini adalah penduduk di Kapet Bima

mempunyai pola

permintaan wilayah sama dengan pola permintaan Propinsi NTB. Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan sesuatu barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah, sedangkan kekurangannya diimpor dari wilayah lain.

3.4.6. Analisis Tingkat Keunggulan Sektor (TKS)

Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) digunakan untuk membandingan tingkat keunggulan relatif suatu sektor terhadap sektor lainnya berdasarkan indikator indeks output sektor, indeks daya tarik dan daya dorong terhadap sektor lainnya dan nilai basis suatu sektor. Untuk mendapatkan nilai tingkat keunggulan sektor maka nilai indeks setiap indikator (IOS, IDT, IDD, LQ) dibuatkan skor keunggulan sektor. - Jika nilai IOS > 1 (output tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai IOS < 1 (output rendah), maka skor keunggulan = 0 - Jika nilai IDT > 1 (keterkaitan tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai IDT < 1 (keterkaitan rendah), maka skor keunggulan = 0 - Jika nilai IDD > 1 (keterkaitan tinggi), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai IDD < 1 (keterkaitan rendah), maka skor keunggulan = 0 - Jika nilai LQ > 1 (sektor basis), maka skor keunggulan = 1, dan jika nilai LQ < 1 (sektor non basis), maka skor keunggulan = 0 Adapun formulasi Tingkat Keunggulan Sektor (TKS) adalah sebagai berikut : SKSi = SK_IOSi + SK_IDTi + SK_IDDi + SK_LQi Dimana : SKSi = Skor keunggulan sektor i

SK_IOSi = Skor keunggulan dari nilai indeks output sektor i SK_ITKi = Skor keunggulan dari nilai indeks total keterkaitan sektor i SK_LQi = Skor keunggulan dari nilai location quotion sektor i Sektor unggulan pertama (TKS paling tinggi) adalah yang memiliki nilai skor keunggulan sektor paling tinggi (SKS) max = 4, artinya sektor tersebut lebih unggul dibandingkan sektor lain pada empat indikator keunggulan (IOS, IDD,

42

IDT dan LQ). Jika nilai SKS = 3, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada tiga dari empat indikator keunggulan sektor. Jika nilai SKS = 2, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada dua dari empat indikator keunggulan sektor. Jika nilai SKS = 1, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada satu dari empat indikator keunggulan sektor, sedangkan nilai SKS = 0, artinya sektor tersebut sama sekali tidak memiliki keunggulan dari keempat indikator keunggulan sektor.
3.4.7. Model Grafitasi

Interaksi

antar

wilayah

merupakan

suatu

mekanisme

yang

menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang dimaksud mencakup diantaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum, bahkan tukar menukar

pengetahuan. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menduga besarnya interaksi antar wilayah adalah model grafitasi. Persamaan dalam model grafitasi ini bisa digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Model grafitasi ini mempermudah kegiatan pengukuran secara eksplisit posisi relatif dengan mengintegrasikan pengukuran jarak relatif dan skala/ukuran relatifnya. Konsep Model Grafitasi Newton berkaitan dengan dua hal pokok (Saefulhakim 2003): (1) Dampak skala, yaitu sejauh mana dampak yang telah ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu disuatu lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya. Suatu lokasi dengan jumlah populasi lebih besar cenderung akan membangkitkan dan menarik aktivitas lebih banyak dibandingkan kota lain yang mempunyai populasi lebih sedikit, sehingga dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas berkaitan dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut. (2) Dampak jarak, yaitu

seberapa jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas disuatu lokasi terhadap lokasi di sekitarnya. Ada kecendrungan, makin jauh jarak antara dua lokasi, maka makin kecil interaksi yang terjadi antara dua lokasi tersebut.

43

Model Grafitasi pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Grafitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu sosial. Dalam model grafitasi, interaksi antar dua wilayah i (asal) dan j (tujuan) dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah mi dan mj, serta jarak antar kedua wilayah dij (Saefulhakim 2003) : T ij = k m i a m jb . dij c dimana : T ij = interaksi antara wilayah asal dan tujuan berupa arus barang/penumpang (ton/orang) m i = massa wilayah asal berupa populasi/PDRB (jiwa/Rp.Juta) m j = massa wilayah tujuan berupa populasi/PDRB (jiwa/Rp.Juta) d ij = jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) i = wilayah asal j = wilayah tujuan a, b dan c = koefisien peubah massa wilayah asal, massa wilayah tujuan, dan jarak antara kedua wilayah k = konstanta Penyelesaian dari persamaan di atas dapat dipecahkan dengan pendekatan fungsi regresi linear dengan terlebih dahulu mentrasformasikan persamaan di atas ke dalam bentuk logarithma natural (ln), sehingga menjadi : ln T ij = ln k + a ln m i + b ln m j - c ln d ij Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis diatas (a, b dan c ) dapat menggambarkan nilai elastisitas interaksi wilayah (Tij) terhadap perubahan nilai variabel peubah ( m i, m 2, dan d ij). Jika nilai koefisien a, b dan c > 0, menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai variabel peubah maka akan dapat meningkatkan nilai interaksi wilayah dengan persentase perubahannya sebesar nilai koefisien masing-masing variabel, namun jika nilai koefisien a, b dan c < 0, menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % nilai variabel peubah maka akan dapat menurunkan nilai interaksi wilayah dengan persentase perubahannya sebesar nilai koefisien masing-masing variabel.

44

3.4.8. Analisis Deskriptif Pola Interaksi Wilayah

Analisis ini pada dasarnya untuk melengkapi analisis grafitasi dalam mengkaji interaksi spasial. Hal ini penting untuk melakukan cross check dan sekaligus untuk menggali lebih dalam bagaimana bentuk keterkaitan antar wilayah tersebut bisa terjadi. Terjadinya interaksi wilayah, selain disebabkan oleh adanya massa tiap wilayah tersebut seperti populasi, tingkat pendapatan wilayah, serta fasilitas yang terdapat disuatu wilayah, juga dapat dipengaruhi oleh daya tarik atau daya dorong suatu wilayah seperti berkaitan dengan keadaan sosial-budaya atau karena adanya keterkaitan sejarah antar wilayah. Analisis deskriptif ini akan mengkaji dan memberikan gambaran dari aspek kuantitatif dan kualitatif terhadap aktivitas interaksi spasial.

3.4.9. Analisis Deskriptif Stakeholders/Kelembagaan

Dalam analisis ini akan diidentifikasi bentuk-bentuk institusi yang terlibat dan terkait dengan pembangunan wilayah di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima. Institusi ini bisa berbentuk institusi formal maupun non formal, antara lain seperti BP Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima, Pemda Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten Bima, Pemda Kota Bima, Pemda Kabupaten Dompu, Swasta, Pemerintah Pusat, serta institusi masyarakat lokal. Model institusi seperti ini tentunya akan dapat memberikan informasi yang memadai terhadap keberadaan berbagai lembaga/stakeholders, baik terkait fungsi-peran maupun tingkat keterlibatan suatu lembaga/stakeholders dalam pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima.

3.4.10. Analisis Hirarki Proses (AHP)

Pemilihan Pendekatan strategi pengembangan Kapet Bima adalah dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP). Analisis Hirarki Proses (AHP) adalah metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah yang disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut (Marimin 2004).

45

Alasan digunakannya metode AHP adalah untuk menangkap secara rasional persepsi berbagai stakeholders yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan pengembangan wilayah melalui prosedur yang didesain sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Dengan metode ini diharapkan dapat ditarik kesimpulan tentang pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Analisis AHP dilakukan dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk mendapatkan tingkat kepentingan suatu kriteria relatif terhadap kriteria lain dan dapat dinyatakan dengan jelas proses perbandingan berpasangan ini yang dilakukan untuk setiap level atau tingkat, yakni meliputi : tingkat 1 (sasaran), tingkat 2 (Pendekatan Strategi), tingkat 3 (Dukungan Sumber Daya) dan tingkat 4 (Komponen Sumber Daya).
STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA YANG BERIMBANG

SASARAN :

PENDEKATAN STRATEGI : KETERPADUAN ANTAR SEKTOR (A) KETERPADUAN ANTAR WILAYAH (B) KETERPADUAN ANTAR INSTITUSI (C)

KOMPONEN : SUMBER DAYA SUB KOMPONEN :

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(a) (b) (c) (d)

(a) (b) (c) (d) (e)

(a) (b) (c) (d) (e)

(a) (b) (c) (d)

(a) (b) (c)

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

Gambar 2 Struktur AHP Strategi Pengembangan Wilayah Kapet Bima

46

Keterangan : Komponen sumber daya dalam pengembangan wilayah : 1. Sumber daya manusia, meliputi : a. Jumlah penduduk b. Tingkat pendidikan c. Lapangan pekerjaan d. Tingkat kesehatan 2. Sumber daya alam, meliputi : a. Sumber daya lahan dan air b. Perikanan dan kelautan c. Industri dan pertambangan d. Keanekaragaman sumber daya hayati e. Panorama alam wisata 3. Sumber Daya Buatan/Infrastruktur, meliputi : a. Sosial dan budaya b. Ekonomi dan perdagangan c. Transportasi d. Informasi dan komunikasi e. Ilmu pengetahuan dan teknologi 4. Sumber daya sosial, meliputi : a. Adat istiadat b. Hubungan masyarakat c. Keamanan d. Tingkat mobilitas 5. Sumber daya finansial, meliputi : a. Modal asing b. Modal domestik dalam negeri c. Modal domestik dalam kapet Menurut Saaty (1993) tahapan analisis data sebagai berikut : 1). Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Pendekatan AHP dalam rangka penentuan prioritas strategi pengembangan wilayah, untuk menyusun analisis perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah di Kapet Bima. 2). Membuat struktur hirarki. Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan penentuan berbagai pendekatan strategi, serta dukungan sumber daya dan berbagai komponennya. Adapun struktur hirarki strategi pengembangan wilayah dalam penelitian ini adalah seperti pada gambar 2.

47

3). Membuat matriks dan nilai perbandingan berpasangan. Matriks perbandingan berpasangan ini menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan didasarkan kepada Judgement (pendapat) dari para

pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Membuat matriks komparasi berpasangan dimaksudkan untuk

menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masingmasing tujuan atau kriteria/kepentingan yang setingkat diatasnya. Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hirarki (pendapat) dilakukan dengan teknik komparasi berpasangan. Teknik komparasi berpasangan yang dipakai dalam AHP adalah Judgement dari narasumber yang memahami permasalahan (dipilih sebagai expert/key informan) dengan cara melakukan wawancara langsung dan menilai tingkat kepentingan satu elemen dan dibandingkan dengan elemen lainnya. Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen dengan komparasi berpasangan yang dimulai dari tingkat yang paling tinggi sampai dengan yang terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan Judgment para narasumber berdasarkan skala komparasi 1-9. Nilai skala komparasi digunakan untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif. Skala banding secara berpasangan tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Matriks Nilai Perbandingan Tingkat kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 Definisi Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya Satu elemen sangat jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai yang diberikan apabila ragu-ragu antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Jika vektor pembobotan elemen-elemen kegiatan A1,A2, An dinyatakan sebagai vektor W, dengan W = (W1,W2, Wn), maka intensitas kepentingan

48

elemen kegiatan A1 dibandingan dengan A2 dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen kegiatan A1 terhadap A2, dimana nilai perbandingan elemen kegiatan A1 terhadap A2 adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan elemen kegiatan A2 terhadap A1. sehingga matriks perbandingannya sebagai mana yang tertuang pada tabel 4. Tabel 4 Matriks Perbandingan Berpasangan
A1 A2 A3 . An A1 W1/W1 W2/W1 W3/W1 Wn/W1 A2 W1/W2 W2/W2 W3/W2 Wn/W2 A3 W1/W3 W2/W3 W3/W3 Wn/W3 .. An W1/Wn W2/Wn W3/Wn Wn/Wn

4). Penentuan Prioritas Setelah setiap kriteria dan alternative dilakukan perbandingan

berpasangan (pair wise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternative. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan Judgment yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. 5). Konsistensi Logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Untuk membantu dalam analisis hirarki proses sampai pada penentuan konsistensi pendapat (consistency ratio) maka digunakan software : Expert Choice 2000.

3.4.9. Analisis SWOT

Atas dasar hasil analisis sebelumnya serta dengan memperhatikan keadaan lingkungan baik internal maupun eksternal, maka selanjutnya dilakukan analisis strategi pengembangan wilayah Kapet Bima. Analisis strategi pengembangan wilayah Kapet Bima dilakukan dengan metode analisis SWOT (Strengths Opportunities Weaknesses dan Threats).

49

Analisis SWOT digunakan untuk menelaah strategi pengembangan wilayah Kapet Bima ke depan, yakni dengan menggunakan analisis kualitatif untuk menganalisis berbagai faktor secara sistematis dan memformulasikan strategi pengembangan wilayah. Dengan mengunakan matriks SWOT akan dapat memberikan kesimpulan tentang strategi pengembangan wilayah Kapet Bima. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities) suatu program pengelolaan dan secara bersamaan dapat pula meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui minimal 3 (tiga) tahapan berikut (Marimin 2004) : 1. Tahap 1, pengumpulan data, identifikasi dan evaluasi faktor internal dan eksternal. 2. 3. Tahap 2, Analisis dan pembuatan matriks SWOT. Tahap 3, pengambilan keputusan dari berbagai alternatif Kebijakan Tahapan pengumpulan data , identifikasi dan evaluasi, digunakan untuk mengetahui keadaan lingkungan internal dan eksternal dalam pengembangan wilayah yang didapat baik dari data primer maupun dari data sekunder. Data-data tersebut dievaluasi dan dikelompokkan dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Tahapan selanjutnya adalah tahapan menganalisis dalam suatu Matrik SWOT, yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dalam pengembangan wilayah dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dari matriks ini akan terbentuk empat kemungkinan alternatif strategi. Adapun Matrik SWOT serta alternatif strategi dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Matriks SWOT
Faktor intern Faktor ekstern OPPORTUNITIES-O : Daftar faktor-faktor peluang THREATS-T : Daftar faktor-faktor ancaman STRENGTH-S : Daftar faktor-faktor kekuatan STRATEGI S-O : Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang STRATEGI S-T : Gunakan kekuatan untuk menghindari ancaman WEANESS-W : Daftar faktor-faktor kelemahan STRATEGI W-O : Atasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang STRATEGI W-T : Meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

50

Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima. Matriks ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi dalam pelaksanaan dari program. Matriks ini menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi SO

(Strengths-Opportunities), strategi WO (Weaknesses-Opportunities), strategi ST (Strengths-Threats)dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Pemilihan strategi dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi kegiatan dalam mencapai tujuan pengembangan wilayah yang ditetapkan.

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN


4.1. Gambaran Umum Wilayah Administrasi dan Kependudukan 4.1.1. Batas Administrasi Wilayah Penelitian Secara Administrasi, Kapet Bima terdiri dari 2 (dua) kabupaten dan 1 (satu) kota, yakni Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima. Kabupaten Bima terdiri dari 14 kecamatan dan 150 desa. Kota Bima terdiri dari 3 (tiga) kecamatan dan 25 kelurahan. Sedangkan Kabupaten Dompu terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, 9 (sembilan) kelurahan dan 57 desa. Adapun gambaran tentang Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Sebaran Kecamatan, Kelurahan dan Desa Per Kabupaten/Kota di Kapet Bima. Kabupaten/Kota Kabupaten Bima Kota Bima Kabupaten Dompu Kecamatan 14 3 8 Kelurahan 25 9 Desa 150 57 207

Kapet Bima 25 36 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Adapun batas-batas wilayah Kapet Bima adalah sebagai berikut : Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat : : : : Laut Flores Samudra Hindia Selat Sape Kabupaten Sumbawa

Wilayah Kapet Bima berupa daratan dan perairan/lautan. Luas wilayah daratan Kapet Bima 6.921,45 Km2 terdiri dari Kabupaten Bima 4.374,65 Km2, Kabupaten Dompu 2.324,55 Km2 dan Kota Bima 222,25 Km2, sedangkan luas lautnya adalah 12,180.96 Km2 yang terdiri dari Kabupaten Bima 9,785.00 Km2, Kota Bima 142.96 Km2 dan Kabupaten Dompu 2,253.00 Km2. Adapun gambaran luas wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 7.

52

Tabel 7 Luas Wilayah Kapet Bima


Luas Wilayah Kabupaten/Kota Kab. Bima Kota Bima Darat (Km ) (%) 4,374.65 63.20
2

Laut (Km ) (%) 9,785.00 80.33


2

Jumlah (Km2) 14,159.65 365.21 4,577.55 19,102.41

(%) 74.12 1.91 23.96 100.00

222.25

3.21

142.96

1.17

Kab. Dompu 2,324.55 33.58 2,253.00 18.50 Kapet Bima 6,921.45 100.00 12,180.96 100.00 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 7 di atas menjelaskan bahwa Kabupaten Bima memiliki luas wilayah yang paling besar yaitu 74.12 %, kemudian Kabupaten Dompu 23.96 % dan yang paling kecil luas wilayah adalah Kota Bima 1.91 %. Selain berupa daratan yakni dengan luas 36.23 % juga yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan perairan dan lautan yang mencapai 63.77 % dari total luas wilayah, sehingga keberadaan laut dan sumber daya yang terkandung didalamnya memiliki potensi yang besar dan pengaruh yang strategis dan signifikan dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima.

4.1.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk Kapet Bima Tahun 2004 adalah sebanyak 735,084 jiwa, yang terdiri dari 419,302 jiwa penduduk Kabupaten Bima, 116,425 jiwa penduduk Kota Bima dan 199,357 jiwa penduduk Kabupaten Dompu. Dengan Luas 6,922.45 Km2, Kapet Bima memiliki kepadatan penduduk rata-rata 106 jiwa/Km2. Tingkat kepadatan penduduk antar wilayah di Kapet Bima sangat beragam, baik antar kabupaten maupun antar kecamatan. Jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Dompu juga sangat bervariasi, Kecamatan Dompu dan Woja memiliki jumlah penduduk paling banyak yakni masing-masing 22.57 % dan 23.67 % dari total penduduk Kabupaten Dompu sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah kecamatan Kilo (5.42 %) dan Pajo (5.97 %). Tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi adalah Kecamatan Dompu (201 jiwa) dan Woja (157 jiwa) sedangkan kepadatan yang paling rendah adalah Pekat (30 jiwa) dan Kilo (46 jiwa). Adapun gambaran

53

tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Dompu dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Dompu Luas (Km2) 1 Huu 186.50 2 Pajo 135.32 3 Dompu 223.37 4 Woja 301.16 5 Kilo 235.00 6 Kempo 191.67 7 Manggelewa 176.46 8 Pekat 875.17 Jumlah 2,324.65 Sumber : BPS Kabupaten Dompu, 2004 No. Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) (%) 15,011 7.53 11,892 5.97 44,988 22.57 47,197 23.67 10,811 5.42 17,612 8.83 25,480 12.78 26,366 13.23 199,357 100.00 Kepadatan (Jiwa/ Km2) 80 88 201 157 46 92 144 30 86

Tabel 9 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kabupaten Bima No. 1 2 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kecamatan Luas (Km2) 451.00 101.41 189.09 75.25 153.30 283.18 225.27 244.53 374.12 392.00 255.50 406.00 720.00 505.00 4,375.65 Jumlah Penduduk (Jiwa) (%) 43,773 10.44 40,563 9.67 27,074 6.46 39,217 9.35 49,589 11.83 20,282 4.84 27,980 6.67 48,957 11.68 30,846 7.36 27,084 6.46 17,475 4.17 28,999 6.92 11,296 2.69 6,167 1.47 419,302 100.00 Kepadatan (Jiwa/ Km2) 97 400 143 521 323 72 124 200 82 69 68 71 16 12 96

Monta Bolo Mada Pangga Woha Belo Langgudu Wawo Sape Lambu Wera Ambalawi Donggo Sanggar Tambora Jumlah Sumber : BPS Bima, 2004

Pada Tabel 9 tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Bima terlihat bahwa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Belo (11.83 %), Sape (11.68 %), Monta (10.44 %), Bolo (9.67 %) dan

54

Woha (9.35 %), sedangkan jumlah penduduk yang relatif sedikit adalah Kecamatan Tambora (1.47 %), Sanggar (2.69 %), Ambalawi (4.17 %) dan Langgudu (4.84 %). Berdasarkan Kepadatan Penduduk, Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan paling tinggi adalah Woha (521 jiwa), Bolo (400 jiwa), Belo (323 jiwa) dan Sape (200 jiwa), sedangkan tingkat kepadatan paling rendah adalah Kecamatan Tambora (12 jiwa), Sanggar (16 jiwa), Ambalawi (68 jiwa) dan Wera (69 jiwa). Secara umum seluruh kecamatan di Kota Bima memiliki tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan di Kabupaten Bima atau Kabupaten Dompu yakni dengan rata-rata 524 jiwa, namun yang paling menyolok adalah tingkat kepadatan di Kecamatan Rasanae Barat yakni 1,050 jiwa sedangkan Rasanae Timur dan Asakota masing-masing memiliki tingkat kepadatan penduduk 433 jiwa dan 361 jiwa. Hal ini dapat dimengerti mengingat Kecamatan Rasanae Barat merupakan daerah pusat perdagangan sekaligus sebagai pusat wilayah di Kapet Bima. Adapun gambaran tentang jumlah dan kepadatan penduduk perkecamatan di Kota Bima dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Perkecamatan di Kota Bima No. Kecamatan Luas (Km2) 40.10 118.87 63.28 222.25 Jumlah Penduduk (Jiwa) (%) 42,088 36.15 51,491 44.23 22,846 19.62 116,425 100.00 Kepadatan (Jiwa/ Km2) 1,050 433 361 524

1 Rasanae Barat 2 Rasanae Timur 3 Asakota Jumlah Sumber : BPS Bima, 2004

Berdasarkan uraian di atas, terdapat fenomena bahwa daerah-daerah yang secara relatif berada disekitar titik tengah wilayah atau yang dilewati jalur jalan negara terdapat adanya kecenderungan pemusatan pemukiman penduduk sedangkan daerah-daerah pinggir (hinterland) memiliki jumlah dan tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah. Tingkat pertumbuhan penduduk akan sangat menentukan perkembangan wilayah. Penduduk akan cenderung bergerak menuju kepada wilayah yang memiliki tingkat fasilitas hidup dan usaha yang relatif lengkap serta relatif

55

menyediakan lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang lebih besar, namun disisi lain tingkat kepadatan penduduk akan mempengaruhi tingkat kemampuan pelayanan suatu fasilitas/infrastruktur wilayah. Jika tingkat kepadatan penduduk makin meningkat, sementara kapasitas suatu fasilitas/infrastruktur tetap atau tidak berubah, maka ketika melewati titik optimalnya, kualitas atau kemampuan pelayanan fasilitas/infrastruktur wilayah tersebut cenderung akan semakin menurun.

4.2. Gambaran Umum Perekonomian Wilayah 4.2.1. Struktur Perekonomian Wilayah Struktur ekonomi yang terbentuk disuatu daerah ditentukan oleh peranan masing-masing sektor dalam menciptakan nilai tambah. Struktur ekonomi tersebut menggambarkan potensi dan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam dan faktor-faktor produksi lainnya dalam menciptakan nilai tambah. PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah yang diciptakan dari seluruh aktivitas perekonomian di suatu wilayah. Tabel 11 menggambarkan kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB Kapet Bima atas dasar harga konstan93 tahun 1996-2000. dari tabel tersebut menjelaskan bahwa dari tahun 1996 sampai tahun 2000, perolehan PDRB di Kapet Bima ternyata masih didominasi oleh sektor pertanian, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan hotel restoran dan sektor jasa-jasa, namun kontribusi sektor pertanian di Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami penurunan (45.87 % pada tahun 1996 dan 41.97 % tahun 2000) sedangkan sektor lain seperti perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami peningkatan, hal ini disebabkan oleh terus berkembangnya Kota Bima sebagai daerah perdagangan dan jasa serta sebagai pusat pelayan bagi daerahdaerah sekitarnya. Di Kabupaten Dompu, kontribusi sektor pertanian sangat dominan terhadap total PDRB dan mengalami peningkatan dari 43.43 % pada tahun 1996 meningkat menjadi 46.55 % pada tahun 2000, sedangkan sektor-sektor lain

56

cenderung mengalami penurunan seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Keadaan ini menjelaskan adanya pertumbuhan daerahdaerah hinterland di Kabupaten Dompu, dimana struktur perekonomian daerahdaerah tersebut didominasi oleh sektor pertanian. Tabel 11 Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB Kapet Bima Atas Harga Dasar Harga Konstan93 Tahun 1996-2000
No Sektor 1996 1997 1998 1999 2000

Kabupaten Bima dan Kota Bima Pertanian Pertambangan dan Energi Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa Kabupaten Dompu 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 45.87 2.28 3.91 0.31 6.71 15.74 7.35 2.00 15.78 44.50 2.45 3.94 0.34 7.17 16.11 8.01 2.21 15.28 43.53 2.69 3.67 0.28 8.00 16.98 6.01 3.21 16.63 42,26 2,39 4,30 0,42 6,52 16,60 9,75 1,32 16,45 43.15 2.46 4.04 0.33 7.55 15.98 6.93 2.78 16.77 42,07 2,40 4,34 0,43 6,46 16,43 10,34 1,34 16,18 45,61 2,40 3,92 0,34 7,17 15,29 7,05 2,48 15,75 41,97 2,50 4,37 0,46 6,64 16,42 10,65 1,35 15,64 46,55 2,32 3,83 0,36 6,95 15,56 6,94 2,42 15,06

Pertanian 43.43 Pertambangan dan Energi 2.71 Industri Pengolahan 3.73 Listrik, Gas, Air Bersih 0.29 Bangunan 8.11 Perdagangan,Hotel,Restoran 16.23 Pengangkutan dan Komunikasi 4.24 Keuangan, Persewaan dan Jasa 3.16 Perusahaan 9 Jasa-Jasa 16.09 Sumber : Bima dan Dompu Dalam Angka tahun 2001.

Tabel 12 menjelaskan nilai PDRB Kapet Bima Tahun 2003 sedangkan tabel 13 menjelaskan pembentukan struktur ekonomi di Kapet Bima yang masih didominasi oleh sektor pertanian yakni 46.31 % terhadap nilai total PDRB sebesar Rp.1.21 trilyun. Diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 16.03 % dan sektor jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 14.82 %. Sedangkan total nilai PDRB Kapet Bima adalah Rp.2.61 trilyun. Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan peranan masing-masing sektor ekonomi sebelum dibentuknya Kapet Bima (sebelum tahun 1999), artinya belum ada perubahan struktur (transformasi) ekonomi daerah yang siginifikan sejak dibentuknya Kapet Bima.

57

Tabel 12 PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 Di Kapet Bima No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total PDRB (Rp.000) 1,209,849,960 59,235,026 79,691,000 9,076,542 182,882,966 418,847,269 226,700,057 38,853,721 387,281,925 2,612,418,466

Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a

Tabel 13 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003
No. 1 Lapangan Usaha Kab. Dompu 47.06 2.04 3.31 0.27 7.80 17.96 6.91 2.15 12.50 100.00 Kab. Bima 52.00 3.05 2.78 0.22 6.58 14.57 8.09 1.02 11.69 100.00 Kota Bima 25.39 0.12 3.38 0.94 6.67 16.78 14.57 1.61 30.53 100.00 Kapet Bima 46.31 2.27 3.05 0.35 7.00 16.03 8.68 1.49 14.82 100.00

Pertanian Pertambangan dan 2 Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan Perdagangan, Hotel dan 6 Restoran Pengangkutan dan 7 Komunikasi Keu, Persewaan dan Jasa 8 Perushn 9 Jasa-Jasa Total PDRB Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a

Peranan tiga sektor yakni pertanian, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa cukup tinggi terhadap struktur ekonomi di tiga kabupaten/kota di Kapet Bima. Meskipun demikian masing-masing daerah ini memiliki karakteristik masing-masing. Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur

ekonomi yang hampir sama yakni sektor pertanian (primer) memberikan kontribusi paling tinggi (masing-masing sebesar 47.06 % dan 52.00 %), disusul perdagangan, hotel dan restoran (tersier) kemudian yang ketiga adalah jasa-jasa

58

(tersier). Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa, kontribusi sektor tersier ini sebesar 30.53 %, kemudian sektor pertanian (primer) dan perdagangan, hotel dan restoran (tersier), namun untuk kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan, aktivitas dan nilai tambah di semua daerah di Kapet Bima cukup rendah yakni hanya sekitar tiga persen dari total kegiatan ekonomi.

4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator keberhasilan

pembangunan suatu daerah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 14 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah sebesar 7.52 %. Pertumbuhan paling tinggi adalah pada sektor-sektor tersier, seperti sektor listrik gas dan air bersih, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, namun pada tahun 1997 sampai tahun 1998, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami kemerosotan, yakni minus 2.44 %. Demikian juga halnya dengan keadaan ekonomi Kabupaten Dompu. Pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi mencapai 7.83 % dan pada tahun 1998 penurunan mencapai 1.08 %. Kemerosotan ekonomi bukan hanya dialami oleh Kapet Bima. PDRB Propinsi Nusa Tenggara Barat terus tumbuh dan berkembang dengan rata-rata laju pertumbuhan 7.17 %, namun mengalami penurunan sebesar 5.26 % pada tahun 1997 sedangkan pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 3.07 %. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, karena Indonesia dilanda krisis moneter yang berlanjut kepada krisis ekonomi. Terjadinya krisis ekonomi juga berdampak pada aktivitas sektor-sektor produksi. Pada tahun 1999, yakni setelah Kapet Bima terbentuk. Pertumbuhan ekonomi di daerah ini mulai membaik kembali. Ekonomi Kabupaten Bima dan Kota Bima mengalami pertumbuhan sebesar 3.01 % dan pertumbuhan paling tinggi dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yakni sebesar 9.28 %. Sedangkan di Kabupaten Dompu, secara umum pertumbuhannya mencapai

59

7.34 %, keadaan ini karena didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebagai sektor dominan di daerah itu yakni mencapai 13.47 %. Sedangkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di Kapet Bima tahun 2000-2003 adalah sebesar 4.45 % pertahun di atas pertumbuhan ekonomi propinsi NTB yakni 3.64 % pertahun. Hal ini ditunjukkan pada tabel 15. Tabel 14 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan93 menurut Lapangan Usaha tahun 1996-1999 (persen)
No Sektor 1996 1997 Kabupaten Bima 7,52 4,56 1 Pertanian 5,75 5,42 2 Pertambangan dan Energi 8,90 10,57 3 Industri Pengolahan 9,37 8,28 4 Listrik, Gas, Air Bersih 14,61 14,51 5 Bangunan 11,00 9,76 6 Perdagangan, Hotel,Restoran 10,51 9,45 7 Pengangkutan dan Komunikasi 12.10 11,73 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 13,55 13,18 Perusahaan 9 Jasa-Jasa 4,13 3,33 Kabupaten Dompu 7,83 5,34 1 Pertanian 6,45 4,41 2 Pertambangan dan Energi 6,34 7,03 3 Industri Pengolahan 10,45 5,85 4 Listrik, Gas, Air Bersih 10,90 8,85 5 Bangunan 9,02 4,30 6 Perdagangan,Hotel,Restoran 11,59 7,83 7 Pengangkutan dan Komunikasi 11,54 4,96 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 13,84 6,85 Perusahaan 9 Jasa-Jasa 4,50 5,32 Sumber : Bima dan Dompu Dalam Angka Tahun 2001 1998 -2,44 -3,17 -6,96 1,55 3,46 -12,11 -1,55 9,30 -42,26 1,74 1,08 3,71 -12,91 0,95 -1,02 -7,89 2,35 3,82 15,92 2,48 1999 3,01 2,54 3,57 3,95 6,00 2,01 2,01 9,28 4,76 1,36 7,34 13,47 4,60 4,13 9,06 1,94 2,67 9,13 -4,34 0,80

Tabel 15 menggambarkan bahwa sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling tinggi di Kabupaten Dompu adalah pengangkutan dan komunikasi yakni sebesar 8.65 %, Kabupaten Bima dan Kota Bima adalah keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan masing-masing sebesar 7.52 % dan 7.80 %. Sedangkan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling rendah di Kabupaten Dompu, Bima, dan Kota Bima adalah sektor jasa-jasa dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 2.43 %, 2.16 %, dan 1.76 %.

60

Tabel 15 Laju Pertumbuhan Rata-Rata PDRB Kapet Bima Pertahun Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003 (Persen)
Kab. Dompu 3.86 5.52 4.62 5.29 5.59 7.53 8.65 6.62 2.43 4.82 Kab. Bima 4.34 5.51 4.34 6.52 5.02 4.54 4.91 7.52 2.16 4.29 Kota Bima 3.87 6.21 5.54 5.11 5.20 5.90 6.32 7.80 1.76 4.34 Kapet Bima 4.15 5.52 4.65 5.66 5.22 5.63 6.09 7.16 2.12 4.45

No. 1

Lapangan Usaha

Pert, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan Perdagangan, Hotel dan 6 Restoran Pengangkutan dan 7 Komunikasi Keuangan, Persewaan dan 8 Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa Total PDRB Sumber : BPS Propinsi NTB, 2004a

Laju pertumbuhan perekonomian Kapet Bima ikut memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima pada tahun 2001 adalah 4.51 % sedangkan Propinsi NTB adalah sebesar 3.07 %, dan pada tahun 2003 laju pertumbuhan PDRB Kapet naik menjadi 5.34 % sehingga dapat mendorong laju pertumbuhan PDRB Propinsi NTB mencapai 4.33 % pada tahun 2003. Kapet Bima memiliki posisi penting dalam mendorong pertumbuhan wilayah di Propinsi NTB yakni sebagai pusat pertumbuhan dan prime mover bagi wilayah lainnya khususnya bagian timur Propinsi NTB (Pulau Sumbawa). Aktivitas perdagangan sangat tinggi, yang didukung oleh kegiatan pengangkutan yang cukup memadai, dinamika dan interaksi Kapet Bima dengan daerah lain di Indonesia baik kawasan timur maupun Kawasan Indonesia Barat berlangsung cukup baik. Kapet Bima memberikan kontribusi PDRB sebesar 22 % pada tahun 2000, dan pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar 25 % dari total PDRB NTB.

61

4.3. Kondisi Fisik Wilayah 4.3.1. Topografi Kemiringan lahan di Wilayah Kapet Bima terbagi dalam 3 kategori yaitu : < 15 % sebesar 32.20 %, kemiringan 15 40 % sebesar 35.56 % dan di atas 40 % adalah 32.24 %. Secara rinci Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan untuk masing-masing wilayah disajikan pada tabel 16. Tabel 16 Persentase Luas Lahan Berdasarkan Kemiringan di Wilayah Kapet Bima Tingkat Kemiringan Kabupaten/Kota Kab. Bima Kota Bima Kab. Dompu < 15
o

15-40 o 32.52 37.82 41.06

> 40 o 35.57 12.15 27.90 32.24

31.91 50.03 31.03

Kapet Bima 32.20 35.56 Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa dengan nilai kemiringan yang beragam tersebut mengindikasikan bahwa Kapet Bima memiliki karakteristik sebagai wilayah yang berbukit, sehingga menjadi suatu tantangan dalam

mobilitas sumber daya dan pengembangan wilayah. Sedangkan luas Kapet Bima berdasarkan ketinggian tempat secara rinci disajikan pada tabel 17 berikut.

Tabel 17 Luas Kapet Bima Berdasarkan Ketinggian Tempat Tiap Kabupaten (Satuan Ha) No. Kabupaten / Kota Ketinggian Tempat (mdpl) 0 100 100 500 500 1000 117.41 56.78 174.19 205.75 123.02 328.77 89.35 38.56 127.90 Jumlah 459.69 232.46 692.15

>1000 47.19 14.10 61.28

1 Bima & Kota 2 Dompu Total

Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

62

Daerah-daerah dengan ketinggian 10-1000 mdpl memiliki potensi sebagai Kawasan Budidaya, sedangkan daerah dengan ketinggian di atas 1000 mdpl dapat dipertahankan sebagai Kawasan lindung yakni 61.28 Ha. 4.3.2. Iklim Menurut Schmith dan Ferguson, Iklim di wilayah Kapet Bima termasuk iklim tipe D, E dan F, dengan suhu udara di wilayah relatif tinggi yaitu 30-32 0C pada siang hari. Tabel 18 Keadaan Iklim Di Wilayah Kapet Bima No. 1 Uraian Satuan Nilai 25.10 31.90 26.80 27.20 20.10 36.20 83.90 75.20 86.00 57.00 79.00 77.00

Suhu Udara o 07.00 C o 13.00 C o 18.00 C o Rata-Rata C o Min C o Max C 2 Curah Hujan mm 3 Radiasi Matahari % 4 Keadaan Lembab Nisbi 07.00 (RH %) 13.00 (RH %) 18.00 (RH %) Rata-Rata (RH %) Sumber : BPS Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, 2004

Tabel 18 memberikan gambaran bahwa rata-rata suhu udara adalah 27.20 C, dengan kisaran 20.10 0C sampai dengan 36.20 0C sedangkan rata-rata curah hujan di Kapet Bima adalah rata-rata 83.9 mm/bulan dengan 13 hari hujan perbulan. 4.3.3. Hidrologi Kabupaten Bima dan Kota Bima dialiri sungai besar dan kecil sebanyak 26 buah dengan panjang 5-95 Km dan sudah dimanfaatkan untuk irigasi pertanian. Di Kabupaten Dompu terdapat 18 buah sungai dengan sungai Baka dan sungai Laju merupakan sungai besar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian (BP Kapet Bima 2004).
0

63

Daerah Kabupaten Bima dan Kota Bima memiliki drainase cukup baik, yakni dengan luas lahan yang tidak tergenang 1.085 ha atau

(91,7 %) sedangkan areal tergenang terus menerus seluas 98 ha (8,3 %) dan lokasinya tersebar. Sedangkan daerah Kabupaten Dompu seluas 98,65% (229.312 ha) tidak tergenang air dan yang tergenang secara periodik hanya seluas 1.35 % atau 3.019 ha (BP Kapet Bima 2004).

4.3.4. Geologi Berdasarkan Peta Geologi Pulau Sumbawa skala 1 : 250.000, Kabupaten Bima dan Kota Bima tersusun atas kelompok batuan endapan permukaan (seperti krikil, pasir, lempung dan andesit, batuan gunung api muda dan tua, batuan endapan dan batuan terobosan). Tingkat erosi tanah di Kabupaten Bima dan Kota Bima relatif tinggi yaitu sebesar 91,34% (418.89 ha). Kabupaten Dompu tersusun dari batuan hasil gunung api lebih tua, tua, muda, batuan endapan permukaan, lempeng tufan dan terumbu karang. Sedangkan tanah yang peka erosi di Kabupaten Dompu sebesar 62,10% (114.34 Ha).

4.3.5. Tanah Jenis tanah di wilayah Kapet Bima pada umumnya terdiri dari jenis aluvial, Komplek Regusol, Litosol dan Komplek Mediteran. Sedangkan tekstur tanah dikelompokkan atas tekstur kasar (pasir lempung berdebu, dan pasir berdebu), tekstur sedang (lempung berdebu dan lempung liat berpasir) dan tekstur halus (liat, liat berlempung, liat berpasir dan lempung liat berpasir). Tekstur sedang memiliki daerah penyebaran yang paling luas yaitu mencapai 77,81 %, tekstur halus hanya 0,93 % dan sisanya tekstur kasar seluas 21,26% (BP Kapet Bima 2004).

4.4. Pola Penggunaan Lahan Pola penggunaan lahan di wilayah Kapet Bima cukup beragam, namun penggunaan untuk hutan adalah yang paling dominan, yakni meliputi Hutan Rakyat 54.39 Ha (7.86 %) dan Hutan Negara 386,25 Ha (55.80 %). Pada tabel 19 dijelaskan bahwa sawah beririgasi hanya 36,823 Ha (5.32 %) sedangkan sisanya

64

berupa lahan kering, baik untuk jenis penggunaan padang rumput (3.59 %), perkebunan (1.93 %), tegalan (7.08 %), ladang (1.34 %) maupun yang belum diusahakan (3.63 %). Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa ketersediaan lahan kering yang cukup besar di Kapet Bima (38.40 % atau seluas 94.68 % jika termasuk hutan negara) menjadi permasalahan dalam pengembangan usaha tani lahan basah, namun menjadi keunggulan komparatif tersendiri untuk

pengembangan agrobisnis dan agroindustri yang berbasis komoditi lahan kering (palawija, peternakan, perkebunan dan kehutanan serta kegiatan industri). Tabel 19 Jenis Penggunaan Lahan Di Wilayah Kapet Bima Jenis Penggunaan Lahan Tanah Sementara Tidak Diusahakan Kolam/empang/rawa Hutan Rakyat Hutan Negara Padang Rumput Perkebunan Perumahan Sawah irigasi 1 x panen Sawah irigasi 2 x panen Sawah tadah hujan Tambak Tegalan Ladang/huma Lainnya Total Sumber : BP Kapet Bima, 2004 Luas (Ha) 25,083 68 54,389 386,242 24,902 13,331 6,377 16,297 20,526 6,601 3,054 48,984 9,238 77,053 692,145 (%) 3.62 0.01 7.85 55.80 3.60 1.92 0.92 2.35 2.96 0.95 0.44 7.07 1.33 11.13 100,00

4.5. Potensi Pengembangan Wilayah Kapet Bima memiliki ragam sumber daya, baik ketersediaan sumber daya alamnya seperti potensi pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan kehutanan, perikanan dan peternakan, serta potensi tambang dan galian. Selain itu juga didukung potensi sumber daya manusia, sosial dan budaya, serta

65

infrastruktur yang meliputi infrastruktur industri perdagangan, utilitas wilayah, serta perhubungan.

4.5.1. Komoditi Pertanian Sebagai daerah yang memiliki karakteristik agraris, maka aktivitas pertanian dalam arti umum masih memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Kapet Bima. Usaha tani tersebut meliputi subsektor padi dan

palawija (7 komoditas), sayuran (15 komoditas), buah-buahan (16 komoditas), perkebunan (15 komoditas), peternakan (13 komoditas) dan perikanan (56 komoditas). Tabel 20 Komoditas Pertanian Dominan di Kapet Bima
No. A. 1. 2. 3. B. 1. C. 1. 2. 3. D. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komoditi Padi & Palawija Padi Kacang Tanah Kacang Kedelai Sayur-Sayuran Bawang Merah Buah-buahan Sirsak/srikaya Pepaya Nangka Perkebunan Kopi Jambu Mete Asam Kemiri Wijen Jarak Kapet Bima Ha 88,872.00 14,945.00 36,952.00 Ha 6,859.00 Pohon 290,715.00 120,599.00 93,122.00 Ha 2,897.40 17,427.50 1,467.90 2,178.50 1,056.10 1,821.81 Ton 369,538.00 18,198.00 44,172.00 Ton 62,441.00 Ton 30,593.00 4,343.00 40,366.00 Ton 1,464.13 4,827.41 2,001.53 1,258.07 381.03 669.89 % Kapet Thdp NTB Ha 27.26 36.43 48.84 Ha 71.73 Pohon 71.13 54.28 19.36 Ha 23.24 31.88 49.64 68.13 86.77 85.32 Ton 25.19 36.97 48.28 Ton 80.84 Ton 88.00 45.49 35.19 Ton 32.50 38.77 56.84 79.00 50.24 88.40

Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

Dari

Data

BPS

Kabupaten

Bima,

Dompu

66

Dari tabel 20 diketahui bahwa terdapat beberapa komoditi dominan yang diusahakan di Kapet Bima dengan nilai produksi > 300 ton atau pengusahaan > 1,000 Ha serta memberikan kontribusi yang tinggi terhadap nilai produksi pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Barat (>25 %) . Adapun komoditi dominan yang dimaksud adalah : Padi dan palawija : padi, kacang tanah dan kacang kedelai Sayur-sayuran : Bawang Merah Buah-buahan : Sirsak/srikaya, papaya dan nangka Perkebunan : Kopi, jambu mete, asam, kemiri, wijen dan jarak

Diantara komoditas dominan tersebut, yang memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap produksi pertanian di Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah: Padi dan palawija : Kacang Kedelai (48,28 %) Sayur-Sayuran : Bawang Merah (80.84 %) Buah-buahan : Sirsak/srikaya (88.00 %) Perkebunan : Jarak (88.40 %)

Pada Subsektor peternakan, komoditas dominan yang diusahakan di Kapet Bima dengan nilai pengusahaan > 10,000 ekor dan tingkat kontribusi > 20 % terhadap produksi atau nilai populasi ternak di Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 21 Komoditas Peternakan Dominan Di Kapet Bima No. 1 2 3 Jenis Ternak Kuda Sapi Kerbau Dari Data Kapet Bima (Ekor) 16,777 105,442 44,443 69,242 BPS Kabupaten % Kapet Thdp NTB 22.07 24.75 28.35 23.06 Bima, Dompu

4 Kambing Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

Dari tabel 20 di atas terlihat bahwa terdapat 4 jenis ternak yang merupakan komoditas dominan yakni : kuda, sapi, kerbau dan kambing. Komoditi dominan yang memiliki jumlah populasi paling banyak adalah jenis ternak sapi (105,442 ekor) sedangkan yang memberikan kontribusi yang paling besar

67

terhadap nilai produksi atau populasi ternak di Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah kerbau (28.35 %). Salah satu aktivitas usaha yang paling dominan di Kapet Bima adalah di subsektor perikanan. Kegiatan itu meliputi perikanan laut yakni berupa usaha penangkapan, budidaya mutiara dan kerapu, sedangkan pada usaha perikanan darat adalah kegiatan budidaya air payau. Tabel 22 Usaha Perikanan Dominan Di Kapet Bima No. 1. 2. 3. Komoditi Ikan Laut Tangkapan Biji Mutiara Kerapu Data Produksi (Ton) 29,453.00 0.50 62.20 5,359.30 BPS Kabupaten % Kapet Thdp NTB 35.00 42.00 32.00 53.00 Bima, Dompu

4. Budidaya Air Payau Sumber : Hasil Analisis Dari dan Kota Bima, 2004

Dari tabel 22 menjelaskan bahwa beberapa kegiatan yang memberikan kontribusi paling besar terhadap nilai produksi usaha perikanan di Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah budidaya mutiara (42 %) untuk usaha perikanan laut, dan budidaya air payau (53 %) untuk usaha perikanan darat. Sumber daya perikanan laut di Kapet Bima terdiri dari 56 jenis komoditi, namun yang memiliki produksi > 50 ton dan memberikan kontribusi > 30 % terhadap produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah 26 komoditas. Adapun komoditi perikanan laut dominan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 23. Dari 26 komoditas perikanan laut dominan di atas, maka yang memiliki produksi tertinggi adalah peperek (2,246.20 ton), kembung (2,418.40 ton), Sunglir (2,932.20 ton), teri (2,963.40), Lemuru (3,978.10 ton) dan Layang (4,270.30). Sedangkan yang memberikan kontribusi terhadap produksi perikanan laut Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah komoditi Beloso (89.31 %), udang dogol (89.54 %), rajungan kepiting (85.45 %), rumput laut (89.47 %), dan ikan sunglir (89.98 %). Potensi berbagai komoditas pertanian di atas cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih

68

sederhana dan bersifat tradisional padahal di sisi lain kegiatan perikanan ini dapat mendorong perkembangan hotel dan restoran, kepariwisataan, serta industri pengolahan ikan. Disamping itu komoditi udang, kepiting dan rumput laut adalah komoditi yang memiliki keunggulan komparatif serta bernilai jual tinggi untuk kegiatan eksport.

Tabel 23 Komoditi Perikanan Laut Dominan Di Kapet Bima No. Jenis Komoditi Kapet Bima (Ton) 52.70 63.20 90.10 105.30 117.00 117.30 143.30 146.30 171.20 175.90 179.30 193.70 219.20 264.40 343.50 365.70 712.40 808.20 1,099.50 1,851.20 2,246.20 2,418.40 2,932.20 2,963.40 3,978.10 4,270.30 Data BPS % Kapet Thdp NTB 32.55 52.89 56.95 64.88 89.31 89.54 85.45 50.92 34.59 50.00 32.75 35.36 89.47 53.79 34.45 39.92 28.01 63.73 45.54 40.46 42.50 50.24 83.98 51.66 59.47 72.91 Bima, Dompu

1. Udang Lainnya 2. Udang Putih 3. Kepiting 4. Udang Windu 5. Beloso 6. Udang Dogol 7. Rajungan Kepiting 8. Sotong 9. Belanak 10. Gulamah 11. Cumi-Cumi 12. Tuna 13. Rumput Laut 14. Ikan Terbang 15. Kurisi 16. Merah Bambangan 17. Cakalang 18. Layur 19. Selar 20. Tembang 21. Peperek 22. Kembung 23. Sunglir 24. Teri 25. Lemuru 26. Layang Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

Dari

Kabupaten

69

4.5.2. Pertambangan dan Galian Potensi bahan galian di Kapet Bima cukup beragam, yang terdiri dari empat komoditi bahan galian B yakni belerang, emas, pasir besi dan perak, serta enam komoditi bahan galian golongan C. Adapun sebaran potensi bahan galian golongan B dan C dapat dilihat pada tabel 24 dan tabel 25. Tabel 24 Potensi Bahan Galian Golongan B di Kapet Bima (Ton)
No. 1 2 3 Jenis Galian Belerang Emas Pasir Besi Dompu 183.90 2,745,400.00 Analisis Dari Data Bima 0.39 17,218.83 3.90 BPS Kota Bima Kabupaten Kapet Bima 183.90 0.39 2,762,618.83 Bima, 3.90 Dompu

4 Perak Sumber : Hasil dan Kota Bima, 2004

Dari tabel 24 terlihat bahwa pasir besi memiliki nilai ketersediaan yang sangat besar yakni 2,76 juta ton yang tersebar di dua kabupaten, yakni Kabupaten Bima sebanyak 17,21 ribu ton dan yang terbanyak di Kabupaten Dompu sebanyak 2.75 juta ton. Tabel 25 Potensi Bahan Galian Golongan C (m3)
No. 1 2 3 4 5 Jenis Galian Batu Bangunan Pasir Sirtu Pasir & Kerikil Batu Kapur Tanah Liat Dompu 9,605,177.71 1,065,953.00 2,074.00 858,782.33 Analisis Dari Bima 49,555,888.03 1,000.00 132,198.00 3,671,511.98 3,977,364.50 Kota Bima 2,148,094.00 68,000.00 4,645,000.00 Kapet Bima 61,309,159.74 1,000.00 1,266,151.00 3,673,585.98 9,481,146.83

6 Marmer Sumber : Hasil dan Kota Bima, 2004

62,270,163.00 95,999,500.00 158,269,663.00 Data BPS Kabupaten Bima, Dompu

Potensi bahan galian golongan C tersebar hampir merata di tiga Kabupaten/Kota yang ada di Kapet Bima, dan yang paling besar ketersediaannya adalah marmer sebanyak 156.27 juta m3, dengan rincian 62.27 juta m3 di

70

Kabupaten Bima dan 96 juta m3 di Kota Bima. Potensi bahan galian golongan B di Kapet Bima pada umumnya pengelolaannya masih berstatus eksploratif. Sedangkan bahan galian golongan C pada umumnya sudah diusahakan dan dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat dan pemerintah, baik untuk berbagai macam penggunaan terutama untuk perumahan dan bangunan lainnya. 4.5.3. Panorama Alam dan Potensi Pariwisata Kapet Bima merupakan salah satu daerah transit wisata yang belum dioptimalkan potensinya. Terdapat banyak panorama alam dan objek wisata yang tersebar diseluruh wilayah yang meliputi wisata alam, wisata budaya, wisata pantai, dan laut. Tabel 26 Sebaran Objek Wisata dan Panorama Alam di Kapet Bima
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Nama
Pulau Nisa sura Pantai Wane Pantai Lere Pantai Mrada Pantai Papa Pantai Lambu Pantai Nisa Nae Pantai Lamere Pantai Kelapa Pantai So See Pantai Matamboko Taman Laut Bajo Pulo Taman Laut Torowamba Gua Anak Fari Pesanggrahan Sape Dam Sumi (Dimu Woro) Taman Rekreasi (Oi Wobo) Lengge Maria Rumah Adat Sambori

Jenis Obyek Wisata


Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam/laut Wisata budaya Wisata alam Wisata alam Wisata budaya Wisata budaya

Lokasi
Langgudu Monta Monta Monta Lambu Lambu Sape Sape Sape Sape Sape Sape Sape Sape Sape Lambu Wawo Wawo Wawo

71

No.
20 21 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53

Nama
Pesanggrahan Wawo Rumah Adat Mbawa Wadu Paa Pesanggrahan Donggo Karombo Wera Pulau Sangiang Pantai Oi Fanda Pantai Nangaraba Pulau Ular Mada Oi Pangga Air terjun Sori Panihi Mata air Tampuro Mata air Tampuro Puncak gunung Tambora Kebun kopi Pantai Lawata Pantai Ule Pantai Kolo Pulau Kambing Benteng Asakota. Istana Kesultanan Bima Bukit dantraha (komplek makam kesultanan Bima) Pantai Labuhan Kananga Pantai Hu'u Pantai Lakey di Teluk Cempi Pantai Riwo Pantai Hodo Pantai Ria Pulau Satonda dan Sekitarnya Gili Nae (Nisa Panihi) Gili Bajo Gili Macangkir Gili Torobero Gili Sapeno

Jenis Obyek Wisata


Wisata budaya Wisata budaya Situs budaya Situs Budaya Wisata budaya Situs budaya Wisata Alam/laut Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Budaya Wisata Budaya Wisata Budaya Wisata Alam / Bahari Wisata Alam / Bahari Wisata Bahari/Surfing Wisata Alam / Bahari Wisata Tirta/Bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari Wisata alam/bahari

Lokasi
Wawo Donggo Donggo Donggo Wera Wera Wera Wera Wera Madapangga Tambora Sanggar Sanggar Tambora Tambora Teluk Bima Asakota Asakota Teluk Bima Asakota Rasanae Barat Rasanae Barat Tambora Huu Huu Woja Kempo Woja Pekat/Tambora Kempo Kempo Kempo Kempo Kempo Kempo

54 Gili Saroko Sumber : Dari Berbagai Data Sekunder.

72

Dari tabel 26 diketahui bahwa di Kapet Bima teridentifikasi sedikitnya 54 obyek wisata dan panorama alam yang memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing dan tersebar hampir merata diseluruh wilayah Kapet Bima, mulai dari ujung timur Kecamatan Sape dan Lambu sampai ujung barat wilayah Kapet Bima yakni Kecamatan Tambora dan Pekat, namun obyek wisata dan panorama alam tersebut umumnya belum dikelola dengan baik dan professional sebagai suatu potensi ekologi, ekonomi dan sosial wilayah yang bernilai tinggi.

4.5.4. Sumber Daya Hayati Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah yang relatif beragam. Wilayahnya berbukit-bukit namun juga merupakan daerah pesisir yang dikelilingi lautan, sedangkan dibeberapa tempat terdapat hutan belukar serta hamparan rumput dan ilalang. Di dalam wilayah tersebut terdapat kekayaan sumber daya hayati. Sumber daya hayati yang cukup terkenal dari Kapet Bima adalah madu merah dan madu kristal. Madu memiliki kalori tinggi dan kaya khasiatnya sebagai suplemen energi dan obat berbagai penyakit. Sumber penghasil madu di wilayah Kapet Bima ada di beberapa tempat, namun yang terkenal adalah di Kawasan Gunung Tambora (2.851 mdpl), tepatnya di Desa Piong Kecamatan Sanggar. Di sekitar gunung yang pernah meletus Tahun 1815 itu terdapat kawasan hutan seluas 122,600 Ha, tumbuh pepohonan sebagai sumber nektar madu dan koloni lebah madu berkembang biak. Madu kristal (madu putih) yang juga merupakan madu hutan liar (tidak dibudidayakan) mengandung 100 kali serbuk sari dibandingkan madu merah, terdapat di lereng Gunung Tambora pada ketinggian 900-2000 mdpl, terkonsentrasi di areal seluas 15,000 Ha. Di lokasi tersebut tumbuh taride bura (tumbuhan liar berbunga putih) atau Moschosma Polystachlyum yang diduga sebagai nektar sehingga menjadi sebab mengkristalnya madu tersebut, namun anggapan tersebut diragukan oleh para peneliti LIPI. Menurut Soenarto Adisoemarto dan Anita Hanna Atmowidjojo (Peneliti LIPI yang menjelajah kawasan Tambora 16 September-1 Oktober 1986) bahwa kristalisasi madu tersebut masih dianggap misteri dan langka karena jenis

73

tumbuhan yang termasuk suku labitae tersebut ada juga di daerah lain, seperti di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB, NTT dan daerah lainnya, namun madu kristal itu tidak ada di daerah-daerah lain selain di Lereng Gunung Tambora (Hamzah, 2004). Selain madu, masih banyak sumber daya hayati yang terdapat di Kapet Bima diantaranya adalah sebagai berikut (Hamzah, 2004) : - Susu kuda liar, dapat menyembuhkan kanker, tumor dan liver. - Jamblang (duwe), dapat membantu memperbaiki gangguan pencernaan dan menurunlan kadar glukosa darah - Delima (talima), dapat membantu menghentikan pendarahan dan anti virus. - Mahkota dewa, dapat membantu menghilangkan gatal dan anti kanker. - Patah Tulang (bake tula), dapat membantu menyembuhkan rematik dan nyeri saraf. - Sesuru, dapat berfungsi sebagai anti radang dan sesak napas. - Tapak liman, dapat berfungsi sebagai antibiotik dan penawar racun - Tasbeh, dapat membantu menyembuhkan demam dan hipertensi.

4.5.5. Sumber Daya Manusia, Sosial dan Budaya a. Komposisi Penduduk, Pendidikan dan Lapangan Usaha Pesatnya pertumbuhan dan kepadatan penduduk jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta lapangan pekerjaan yang cukup, malah menjadi suatu permasalahan besar dalam pengembangan suatu wilayah, baik aspek sosial ekonomi dan politik. Berbagai permasalahan yang dapat ditimbulkannya antara lain rendahnya tingkat produktifitas dan pendapatan baik secara total maupun perkapita, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, kriminalitas dan beban sosial lainnya dapat menjadi semakin besar. Jumlah penduduk di wilayah Kapet Bima pada tahun 2001 adalah 694.362 jiwa dengan rincian di Kabupaten Bima 396.626 jiwa, di Kabupaten Dompu 184.846 jiwa dan Kota Bima 112.890 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk tahun 1990-2000 rata-rata 1,78 % pertahun dimana Kabupaten/Kota Bima tumbuh 1,24 % per tahun, Kabupaten Dompu banyak menerima transmigran tumbuhnya 2,31 % pertahun.

74

Penyebaran penduduk tidak merata dan konsentrasinya relatif tinggi pada kecamatan-kecamatan yang berada dilintasan jalan negara yaitu Kecamatan Woja, Dompu, Bolo, Woha, Belo, RasanaE Barat, RasanaE Timur, Wawo Utara dan Sape. Kepadatan penduduk Kapet Bima rata-rata 100,32 jiwa/Km2 dengan kepadatan di
2

Kabupaten

Bima

90,66

jiwa/Km2,
2

Kabupaten

Dompu

79,51 jiwa/ Km dan Kota Bima 507,94 jiwa/ Km . Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Bima yaitu 7 jiwa/Km2 berada di Kecamatan Tambora yang merupakan Kecamatan terluas kedua setelah Kecamatan Sanggar yaitu 505,00 Km2. Kondisi yang relatif sama di Kabupaten Dompu terdapat di Kecamatan Pekat yaitu kepadatan 27 jiwa/Km2 dengan luas 875,17 Km2 (kecamatan terluas). Penduduk terpadat di Kabupaten Bima yaitu sebesar 510 jiwa/Km2 terdapat di Kecamatan Woha dengan luas 75,25 Km2 dan untuk Kabupaten Dompu terdapat di Kecamatan Dompu dengan kepadatan 166 jiwa/Km2 dengan luas wilayahnya 223,27 Km2
.

Sementara itu kepadatan

penduduk di Kota Bima, memiliki kepadatan penduduk diatas rata-rata kepadatan penduduk Kapet Bima yakni terbanyak di Kecamatan Rasanae Barat sebesar 603 jiwa/Km2 (luas 103,38 Km2) dan terjarang 425 jiwa/Km2 (luas 118,87 Km2) di Kecamatan Rasanae Timur . Struktur umur penduduk Kapet Bima di Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima relatif sama. Diawal pembentukan Kapet Bima, penduduk usia 0 14 Tahun rata-rata terbanyak 54,70 %, usia produktif 15 64 Tahun sebesar 41,55% dan usia di atas 65 Tahun sebesar 3,75%, namun berdasarkan Data Susenas NTB, struktur umur penduduk Kapet Bima mengalami perubahan. Pada tahun 2004 diketahui bahwa persentase penduduk menurut kelompok umur didominasi oleh kelompok usia produktif (penduduk berumur 15-64 tahun) yakni 59.21 %, namun angka ini berada dibawah rata-rata NTB yakni 62.58 %. Keadaan ini menggambarkan keberhasilan program kependudukan (keluarga berencana) yang didukung oleh tingkat kesadaran dan pendidikan serta kesejahteraan

masyarakatnya yang semakin baik.

75

Tabel 27 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kapet Bima Kelompok Umur 0-14 15-64 65+ Jumlah Dompu 37.56 58.98 3.46 100.00 Bima 37.06 57.89 5.05 100.00 Kota Bima 30.97 64.13 4.89 100.00 Kapet Bima 36.20 59.21 4.59 100.00 NTB 33.20 62.58 4.22 100.00

Sumber : Susenas NTB, 2004 Tabel 27 menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur. Kelompok umur 0-14 tahun di Kapet Bima yakni sebesar 36.20 %. Pada kelompok umur ini Kota Bima memiliki persentase paling rendah yakni 30.97 % dan memiliki persentase paling tinggi pada kelompok umur 15-64 tahun yakni 54.13 %. Untuk kelompok umur 65+ tahun, Kabupaten Dompu memiliki persentase paling rendah, yakni 3.46 % dan angka ini berada dibawah rata-rata Kapet Bima sebesar 4.59 %. Tabel 28 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun Menurut Partisipasi Sekolah Di Kapet Bima Partisipasi Sekolah
Tdk/Belum Pernah Sekolah Masih Sekolah Tidak Sekolah Lagi Total

Kabupate n Dompu
8.38 65.15 26.47 100.00

Kabupate n Bima
10.42 62.05 27.54 100.00

Kota Bima
5.65 67.03 27.42 100.00

Kapet Bima
9.11 63.68 27.23 100.00

NTB

10.57 57.41 32.02 100.00

Sumber : Susenas NTB, 2004 Tabel 28 menggambarkan tingkat partisipasi sekolah di Kapet Bima. Penduduk berumur 5-24 tahun yang tidak/belum pernah sekolah adalah sebanyak 9.11 %, sementara di Kota Bima jauh lebih rendah lagi yakni 5.65 %. Yang masih sekolah 63.68 %, sementara di Kota Bima lebih tinggi lagi yakni 67.03 %

demikian juga Kabupaten Dompu yakni 65.15 %. Sedangkan penduduk yang tidak sekolah lagi adalah sebanyak 27.23 %. Tingkat partisipasi sekolah di Kapet Bima lebih baik jika dibandingkan angka partisipasi sekolah Propinsi NTB.

76

Penduduk Propinsi NTB berumur 5-24 tahun, yang tidak/belum pernah sekolah adalah sebanyak 10.57 %, yang masih sekolah 57.41 %, Sedangkan penduduk yang tidak sekolah lagi adalah sebanyak 32.02 %. Tabel 29 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Di Tamatkan Di Kapet Bima Tk. Pendidikan
Tdk/Blm Pernah Sklh Tdk/Blm Tamat SD SD SMP SMU Diploma PT Jumlah

Dompu
12.68 27.82 22.43 16.35 16.74 1.69 2.29 100.00

Bima
13.98 29.71 26.29 13.06 15.07 0.98 0.91 100.00

Kota Bima
11.55 17.79 20.69 18.27 26.03 2.65 3.02 100.00

Kapet Bima
12.74 25.11 23.14 15.89 19.28 1.77 2.07 100.00

NTB
19.82 25.36 26.36 13.55 12.23 1.11 1.57 100.00

Sumber : Susenas NTB, 2004 Tabel 29 menggambar struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan penduduk berumur 10 tahun ke atas. Tingkat pendidikan adalah salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas manusia di suatu wilayah. Secara umum penduduk yang mencapai tingkat pendidikan SMP keatas baru mencapai 39.02 %. Angka ini di atas rata-rata NTB yang baru mencapai 28.46 %. Angka ini juga berkorelasi dengan terus tumbuhnya sekolah dan perguruan tinggi di Kapet Bima khususnya di Kota Bima. Output dari sekolah dan perguruan tinggi ini akan menghasilkan penduduk yang memiliki tingkat intelektual dan skill yang relatif lebih tinggi pula, jika didukung oleh fasilitas, kurikulum dan kultur akademik yang baik. Karakteristik Kapet Bima sebagai daerah agraris sangat mempengaruhi aktivitas usaha kehidupan masyarakatnya, hal ini diketahui dari tabel 30 yang menginformasikan bahwa sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat di Kapet Bima yakni sebanyak 53.51 %. Sedangkan aktivitas masyarakat di sektor industri masih sangat minim yakni baru 4.95 %, keadaan ini masih lebih rendah jika dibandingkan daerah lain di NTB yakni dengan rata-rata 10.40 %, namun jika dibandingkan dengan data di awal

pembentukan Kapet Bima, pada tahun 1998 jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 71.47 %, sedangkan sektor industri sebanyak 5.22 %

77

dan perdagangan adalah sebanyak 10.23 %. Sedangkan jasa adalah sebesar 7.31 %. Fenomena ini menjelaskan adanya transformasi ekonomi di Kapet Bima yang ditunjukkan dengan perubahan struktur tenaga kerja dari sektor pertanian (primer) ke sektor sekunder dan tersier.

Tabel 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Kapet Bima Lapangan Usaha Pertanian Industri Perdagangan Jasa Lainnya Dompu 63.83 2.21 12.84 11.66 9.46 Bima 71.83 3.03 1.14 6.06 7.94 100.00 Kota Bima 24.86 9.60 23.91 26.61 15.02 100.00 Kapet Bima 53.51 4.95 15.96 14.78 10.81 100.00 NTB 50.92 10.40 15.62 10.87 12.19 100.00

Jumlah 100.00 Sumber : Susenas NTB, 2004

Di sektor perdagangan dan jasa, persentase penduduk Kapet Bima yang bekerja adalah 30.74 %, dan khusus Kota Bima malah mencapai 50.52 %, jauh lebih tinggi dari wilayah lain di NTB yakni dengan rata-rata 26.49 %. Dari struktur penduduk di atas diketahui bahwa Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki kecenderung penduduknya bekerja di sektor pertanian yang didukung oleh aktivitas penduduk di Kota Bima dominan industri, perdagangan dan jasa. Kegiatan industri, perdagangan dan jasa jika memiliki keterkaitan sektoral dengan aktivitas pertanian maka akan dapat memberikan nilai tambah (value added) terhadap produk-produk pertanian, sehingga pada akhirnya nilai tambah tersebut secara signifikan akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dalam Kapet Bima. bekerja di sektor

b. Kearifan Nilai Budaya Dalam Pembangunan Wilayah Koentjaraningrat (1992) mengemukakan bahwa konsep budaya dan kebudayaan itu sangat luas, meliputi seluruh pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak bersifat naluri, tetapi yang dicetuskan oleh manusia setelah

78

melalui proses belajar yang melahirkan unsur-unsur universal sebagai isi dari semua kebudayaan di dunia. Secara garis besarnya dapat dibagi dalam tujuh unsur, yaitu : (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian dan kebutuhan hidup; (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya ketujuh unsur universal ini dapat di rangkum ke dalam tiga wujud, yakni : (1) (2) keseluruhan keseluruhan ide, aktivitas gagasan, tingkah nilai, laku norma sosial dan yang peraturan; berpola;

manusia

(3) keseluruhan hasil karya manusia. Gambar 3 merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat Kapet Bima berupa pakaian tradisional yang bahannya memanfaatkan sumber daya lokal dan selaras dengan nilai religi Islam yang dianut masyarakat setempat. Nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat diaktualisasikan sebagai spirit dan bagian dari suatu komponen sumber daya dalam pembangunan daerah dan wilayah. Menurut Syamsudin (1999), Manusia menciptakan dan membutuhkan budaya bagi kesejahteraan hidupnya dan mereka memiliki potensi untuk dapat melaksanakannya, karena hanya masyarakat manusia sajalah yang mampu meracang dan memiliki pranata (institusi) budaya dan merealisasikannya dengan memperhatikan banyak hal termasuk situasi dan kondisi yang dihadapi.

Gambar 3 Salah Satu Bentuk Pakaian Tradisional di Kapet Bima

79

Berikut ini beberapa potensi nilai budaya masyarakat yang dapat menjadi determinan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, berikut : 1). Kriteria Pemimpin : Nggusu Waru (Oktagonal/Delapan Sisi) Terdapat delapan kriteria kepemimpinan yang hendaknya ada dalam diri setiap masyarakat Bima. Menurut Mochtar (1999) delapan kriteria kepemimpinan ini telah disampaikan dalam bentuk suatu nasehat luhur baik untuk kalangan atas (bangsawan) maupun kepada masyarakat awam yang disampaikan oleh para ulama, inang pengasuh, dan orang-orang tua, tersirat dalam pelaksanaan adat dan peringatan hari besar islam maupun pada saat upacara perkawinan dan khitanan. Adapun kriteria kepemimpinan nggusu waru tersebut adalah sebagai berikut : - Ma toa di ruma labo rasul (yang taat kepada Allah dan Rasul) - Ma loa ra bade (yang cerdas dan berpengetahuan luas) - Ma ntiri nggahi ra kalampa (yang jujur dalam berbicara dan berbuat) - Ma poda nggahi ra paresa (yang menegakkan kebenaran) - Ma mbani ra disa (yang gagah berani) - Ma tenggo ra wale (yang kuat dan gigih berjuang) - Ma bisa ra guna (yang sakti/berwibawa/berkharismatik dan berdaya guna untuk negerinya) - Londo dou taho (dari keturunan/lingkungan baik) 2). Jiwa Kepemimpinan : Katohompara Wekiku Sura Dou Mori Na Labo dana (Tidak Peduli Untuk Diriku, Asalkan Untuk Rakyat dan Negara) Menurut Tajib (1999) kalimat itu disebut epilogi yang diucapkan sejak Bima mengenal sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. Calon raja atau setiap pemimpin sebelum dilantik mengucapkan kalimat epilogi itu sebagai tanggapan atas usulan, peringatan dan bahkan ancaman yang disampaikan pejabat atau komponen kerajaan dan disaksikan oleh rakyat umum, dengan naskah lengkapnya sebagai berikut : Karentaku ba reraku di dou ma labo dana, Indokapo raa saciri ma kamorina weki, Saraka nuu mancuri kantuwu. antara lain sebagai

80

Na suu sawaleku ra kalampa sara, Ba dei ruu taho ra ncihi kai dana ro rasa, Katohompara wekiku sura dou mori na labo dana Aku ikrarkan dengan lidahku kepadamu rakyat dan negeri, Adapun darah setetes menghidupkan diriku, Sampai kepada anak cucu. Mereka akan mematuhi dan menjunjung tinggi ketentuan pemerintah, Demi kebaikan dan kemaslahatan negeri, Tidak peduli untukku asalkan untuk orang banyak.

3).

Prinsip

Pengambilan

Keputusan

Nggahi

Ra

Sama

Kai

(Kata/Keputusan Yang Disepakati Bersama) Sumber dari prinsip musyawarah adalah adat lama sejak zaman ncuhi (sebelum zaman kerajaan) yang dikenal sebagai ungkapan tua nggahi ra sama kai atau kata/keputusan yang telah disepakati bersama. Untuk mencapai kesepakatan bersama ini ada suatu pedoman falsafah kepemimpinan, yang umpamanya seorang pemimpin itu laksana duduk di atas sehelai tikar selembar lampit, merentang tali sipat yang tegak lurus, menaruh jangkar yang tepat bundar dan dacin yang tepat berimbang, untuk menuju kesamaan pemikiran dan satunya kehendak demi kebaikan bersama (Maryam 1999).

4). Prinsip Kerja : Nggahi Rawi Pahu (Satunya Kata dan Perbuatan Untuk Mewujudkan Kenyataan) Menurut Tajib (1999) kalimat itu adalah petunjuk awal pelaksanaan epilogi, untuk konsekuen terhadap apa yang diniat dan direncanakan sehingga harus diimplementasikan dalam suatu aksi sampai berwujud suatu hasil. Sedangkan Maryam (1999) menyatakan rumusan nggahi rawi pahu merupakan kebenaran ucapan yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku sebagaimana peribahasa Bima Ka Sabuaku Nggahi Ma Labo Rawi (satukan kata dan perbuatan) adalah prinsip yang sampai sekarang dianggap oleh orang

81

Bima/Dompu sebagai pertanda sifat orang yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya.

5). Nilai Pengendalian : Maja Labo Dahu (Malu dan Takut) Maja labo dahu ialah budaya malu dan takut kepada Tuhan dan kepada orang banyak bila melakukan suatu perbuatan yang menyimpang dari nilai-nilai luhur dan peraturan yang berlaku. Maryam (1999) menyatakan Maja labo dahu berfungsi pula sebagai alat kontrol baik vertikal maupun horizontal terhadap pelaksanaan epilogi, serta mengandung pula makna : Malu dan takut (taqwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmatNya. Patuh kepada semua ketentuan yang berlaku dan norma yang ada dalam masyarakat Mengerjakan yang baik, meninggalkan yang batil Rendah hati, tidak sombong dan takabur Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah Sabar dan pantang mundur

4.5.6. Ketersediaan Infrastruktur dan Kelembagaan Usaha a. Infrastruktur Pendidikan, Kesehatan dan Keagamaan Untuk mendukung kualitas kehidupan masyarakat maka dibutuhkan ketersediaan infrastruktur sosial. Infrastruktur penting dibidang sosial adalah pendidikan, kesehatan dan kegiatan keagamaan. Di Kapet Bima Keberadaan Sekolah tersedia mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkat perguruan tinggi, selain sekolah umum juga tersedia sekolah menengah kejuaraan yakni sejumlah 13 unit sedangkan Madrasah Aliyah sejumlah 27 unit dan pondok pesantrennya sejumlah 33 unit yang tersebar di tiga daerah administratif Kapet Bima. Adapun gambaran Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 31

82

Tabel 31 Jumlah Sekolah Pada Berbagai Tingkat Pendidikan di Kapet Bima (Unit) No. Tingkat Sekolah Dompu Bima 141 388 45 44 24 27 12 5 23 1 Data BPS Kota Bima 46 79 7 13 6 17 5 5 7 7 Kabupaten Kapet Bima 245 670 80 83 52 60 27 13 33 9 Bima, Dompu

1 TK 58 2 SD 203 3 M.Ibtidaiyah 28 4 SLTP 26 5 M. Tsanawiyah 22 6 SMU 16 7 M. Aliyah 10 8 SMK 3 9 Pondok Pesantren 3 10 PT 1 Sumber : Hasil Analisis Dari dan Kota Bima, 2004

Tabel 32 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Sekolah di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) No. Tingkat Sekolah Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

1 TK 3,437 2,974 2 SD 982 1,081 3 M.Ibtidaiyah 7,120 9,318 4 SLTP 7,668 9,530 5 M. Tsanawiyah 9,062 17,471 6 SMU 12,460 15,530 7 M. Aliyah 19,936 34,942 8 SMK 66,452 83,860 9 Pondok Pesantren 66,452 18,231 10 PT 199,357 419,302 Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS dan Kota Bima, 2004

2,531 3,000 1,474 1,097 16,632 9,189 8,956 8,856 19,404 14,136 6,849 12,251 23,285 27,225 23,285 56,545 16,632 22,275 16,632 81,676 Kabupaten Bima, Dompu

Tabel 32 menggambarkan perbandingan ketersediaan sekolah dengan jumlah penduduk. Jumlah SD di Kapet Bima adalah sebanyak 670 unit atau dengan ratio 1,097 jiwa penduduk per unit. Jumlah SLTP adalah sebanyak 83 unit atau dengan ratio 8,856 jiwa penduduk per unit. Jumlah SMU adalah sebanyak 60 unit atau dengan ratio 12,251 jiwa penduduk per unit. Sedangkan Jumlah Perguruan Tinggi adalah sebanyak 9 unit atau dengan ratio 81,675 jiwa penduduk per unit.

83

Keberadaan Sekolah Dasar di Kapet Bima tersedia di seluruh desa/kelurahan, sekolah setingkat SLTP dan SMU pada umumnya tersedia di tingkat kecamatan, namun masih terdapat kesenjangan ratio antara Kota Bima dengan Kabupaten Bima dan Dompu, sehingga di Kabupaten Dompu dan khususnya di Kabupaten Bima perlu dibangun lagi sekolah setingkat SLTP dan SMU agar peluang masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih besar. sedangkan sekolah kejuruan dan perguruan tinggi hanya ada di tingkat kabupaten atau pada beberapa kecamatan saja. Berbagai perguruan tinggi tersebut memberikan pilihan program studi yang dibutuhkan masyarakat masih terbatas. Fasilitas peribadatan di Kapet Bima meliputi 693 unit masjid, 382 unit langgar dan 235 unit mushalla yang tersebar di tiga kabupaten/kota. gereja terdapat 10 unit yang juga tersebar di tiga kabupaten/kota, sedangkan pura berjumlah 9 unit yang hanya tersedia di Kabupaten Dompu dan Kota Bima. gambaran tentang jumlah tempat peribadatan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 33.

Tabel 33 Jumlah Tempat Peribadatan Di Kapet Bima (Unit) No. 1 2 3 4 5 Uraian Masjid Langgar Mushalla Pura Gereja Kab Dompu 228 55 54 7 5 Data Kab Bima 349 261 106 2 Kota Bima 116 66 75 2 3 Bima, Kapet Bima 693 382 235 9 10 1329 Dompu

Jumlah 349 Sumber : Hasil Analisis Dari dan Kota Bima, 2004

718 262 BPS Kabupaten

Kegiatan peribadatan merupakan kegiatan rutin dan dilakukan setiap saat oleh pemeluknya, sehingga fasilitas peribadatan harus cukup tersedia khususnya bagi umat muslim sebagai masyarakat mayoritas di Kapet Bima, karena tempat peribadatan merupakan ruang yang digunakan untuk melaksanakan ritual hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai salah satu sentral dalam berinteraksi dengan sesama. Pada tabel 34 terlihat bahwa bahwa setiap unit masjid

84

digunakan oleh paling tidak 1,061 jiwa penduduk sedangkan langgar dan mushalla adalah masing-masing sebanyak 1,924 dan 3,128 jiwa penduduk.

Tabel 34 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Tempat Peribadatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) No. 1 2 3 4 Uraian Masjid Langgar Mushalla Pura Kab Dompu 874 3,625 3,692 28,480 Kab Bima 1,201 1,607 3,956 209,651 Data BPS Kota Bima 1,004 1,764 1,552 58,213 38,808 Kabupaten Kapet Bima 1,061 1,924 3,128 81,676 73,508 Bima, Dompu

5 Gereja 39,871 Sumber : Hasil Analisis Dari dan Kota Bima, 2004

Keberadaan berbagai jenis fasilitas kesehatan di Kapet Bima relatif tersedia namun masih terbatas, tercatat baru 2 (dua) rumah sakit umum yang ada di 3 (tiga) Kabupaten/Kota di Kapet Bima, artinya setiap rumah sakit melayani 367,542 jiwa penduduk. Ketersediaan apotik baru 11 buah sedangkan Kapet Bima terdiri dari 25 kecamatan dengan jarak di antaranya cukup berjauhan, sedangkan Puskesmas hanya tersedia 32 unit dengan ratio pelayanan setiap unit 22,971 jiwa penduduk yang dibantu oleh Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak 127 unit atau dengan ratio pelayanan terhadap 5,788 jiwa penduduk. Pada umumnya Puskesmas Pembantu tersedia di tiap desa/kelurahan. Adapun gambaran tentang jumlah fasilitas kesehatan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 35 sedangkan ratio pelayanan setiap unit fasilitas kesehatan terhadap jumlah penduduk pada tabel 36. Ketersediaan fasilitas kesehatan sangat dibutuhkan untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Sebagai ilustrasi, dengan keberadaan fasilitas kesehatan di Kabupaten Dompu selama 5 (lima) tahun terakhir (2000-2004), angka harapan hidup terus meningkat. Pada tahun 1999 angka harapan hidup penduduk adalah 57.9 tahun meningkat menjadi 59.5 tahun pada tahun 2004,

85

sedangkan Infant Mortality Rate (IMR) atau angka kematian bayi (AKB) pada Tahun 1999 sebanyak 80 kasus per 1000 kelahiran hidup kemudian menurun menjadi 71 kasus per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2004 (Bappeda Dompu, 2006). Tabel 35 Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kapet Bima No. 1 2 3 4 Unit Kesehatan Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Lainnya Puskesmas Pustu Dari Dompu 1 9 44 1 Data Bima 1 18 70 1 BPS Kota Bima 1 1 5 13 9 Kabupaten Kapet Bima 2 2 32 127 11 Bima, Dompu

5 Apotik Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

Tabel 36 Perbandingan Jumlah Penduduk terhadap Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) No. Unit Kesehatan 1 Rumah Sakit Umum 2 Rumah Sakit Lainnya 3 Puskesmas 4 Puskesmas Pembantu 5 Apotik Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004 Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima 199,357 116,425 367,542 - 419,302 116,425 367,542 22,151 23,295 23,285 22,971 4,531 5,990 8,956 5,788 199,357 419,302 12,936 66,826 Dari Data BPS Kabupaten Bima, Dompu

b. Infrastruktur dan Aktivitas Industri, Perdagangan dan Koperasi Lebih dari 26 % penduduk di Kapet Bima bekerja di Sektor industri dan perdagangan serta lebih dari 10 % sudah mulai bekerja di sektor jasa. sektor ini sangat strategis dalam menggerakkan ekonomi riil wilayah baik untuk menarik sisi produksinya (supply) maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyakat lainnya (demand). Tabel 37 Jumlah Sarana Perdagangan Di Kapet Bima
No. 1 2 3 4 Jenis Sarana Pasar Umum Pasar Desa Toko Kios/Warung 2003 28 2 1,174 1,248 2004 28 5 1,419 1,383 Perub. (%) 0.00 150.00 21.00 11.00

86

Sumber : Hasil dan Kota Bima, 2004

Analisis

Dari

Data

BPS

Kabupaten

Bima,

Dompu

Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka akan semakin meningkat pula kebutuhan hidup dan usaha masyarakat sehingga sangat dibutuhkan ketersediaan sarana perdagangan yang memadai. Dari tabel 37 di atas terlihat bahwa pada tahun 2004 sarana perdagangan di Kapet Bima mengalami peningkatan kecuali pasar umum.

Tabel 38 Perbandingan Jumlah Penduduk Terhadap Ketersediaan Sarana Perdagangan di Kapet Bima (Jumlah Jiwa/Unit) Jumlah Sarana (Unit)
28 5 1,419 1,383

No.
1 2 3

Jenis Sarana Pasar Umum Pasar Desa Toko Dari

Jiwa/Unit
24,503 147,017 518 532

Kios/Warung 4 Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

Data

BPS

Kabupaten

Bima,

Dompu

Pada tabel 38 terlihat bahwa rasio pelayanan setiap pasar umum yakni 24,503 jiwa penduduk, sedangkan Jumlah pasar desa meningkat 150 % yakni dari 2 unit menjadi 5 unit namun beban pelayanan setiap unit masih tinggi yakni sebanyak 147,017 jiwa penduduk, sehingga ketersediaan pasar desa perlu ditingkatkan, karena seharusnya merupakan fasilitas perdagangan terdekat dengan masyarakat desa, sehingga segala kebutuhan hidup dan usaha masyarakat tersedia dan dengan mudah untuk mendapatkannya. Kios/ warung mengalami peningkatan sebesar 11 %, sedangkan toko jumlahnya meningkat 21 % dari sebelum 1,174 unit pada tahun 2003 menjadi 1,419 unit pada tahun 2004. fenomena ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan aktivitas perdagangan, khususnya pada ekonomi skala kecil atau menengah. Jumlah perusahaan industri di Kapet Bima sebanyak 5,874 buah yang terdiri dari 4,549 buah perusahaan industri non formal dan 1,325 buah perusahaan formal. sedangkan dari total serapan tenaga kerja sebanyak 16,383 orang, pada

87

industri formal adalah 7,660 orang sedangkan industri non formal adalah 8,723 orang. Nilai investasi yang diserap industri formal adalah 21.6 milyar rupiah, jauh lebih besar dari pada industri non formal yakni hanya 3.9 milyar rupiah, namun rasio nilai produksi terhadap investasi masih lebih unggul industri non formal yakni 2.83 dibandingkan industri formal adalah sebesar 1.46. Adapun gambaran tentang jumlah perusahaan, tenaga kerja dan nilai investasi dirinci menurut kelompok industri di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 39. Tabel 39 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Dirinci Menurut Kelompok Industri Di Kapet Bima
No Uraian Industri Formal 1 2 3 4 Perusahaan Tenaga Kerja Investasi Produksi Buah Orang (Rp.Juta) (Rp.Juta) 296 1,880 4,423 9,924 755 4,455 12,849 15,484 274 1,325 4,385 6,250 1,325 7,660 21,657 31,658 Satuan Dompu Bima Kota Bima Kapet Bima

Industri Non Formal 1 2 3 4 Perusahaan Tenaga Kerja Investasi Produksi Jumlah 1 2 3 Perusahaan Tenaga Kerja Investasi Buah Orang (Rp.Juta) 1,583 4,727 5,200 13,287 Dari Data 3,897 10,081 14,968 394 1,575 5,375 5,874 16,383 25,543 42,651 Dompu Buah Orang (Rp.Juta) (Rp.Juta) 1,287 2,847 777 3,363 3,142 5,626 2,119 4,815 120 250 990 2,815 4,549 8,723 3,886 10,993

4 Produksi (Rp.Juta) Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

20,299 9,065 BPS Kabupaten Bima,

Terdapat 21 jenis kegiatan industri dominan yang nilai produksinya > Rp.300 juta, yang terdiri 13 jenis usaha dari industri hasil pertanian dan kehutanan (IKAHH) dan 8 jenis usaha dari industri logam, mesin dan Kimia (ILMEA). Jenis usaha yang memiliki nilai produksi paling tinggi adalah industri genteng (Rp.5.32 milyar), penjahitan/konveksi (Rp.4.19 milyar) dan furniture

88

dan kayu (Rp.3.32 milyar) sedangkan nilai produksi industri kacang mete (Rp.0.35 milyar), vulkasnisir (Rp.0.40 milyar) dan Industri tahu (Rp.0.41 milyar). Kegiatan industri di Kapet Bima di dominasi oleh industri berbasis pertanian, namun limpahan sumber daya pertanian belum diolah secara optimal, hasil pertanian selain untuk konsumsi rumah tangga dan masyarakat sekitar juga dijual keluar daerah, namun komoditi pertanian yang diperdagangkan masih dalam bentuk produk mentah dan sedikit yang dalam bentuk produk olahan setengah jadi. Adapun gambaran tentang jenis industri dominan dan nilai produksi di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 40. Tabel 40 Beberapa Jenis Industri Dominan dan Nilai Produksi Di Kapet Bima
No. Uraian Kapet Bima (Rp.000,-) Formal Non Formal 1,001,724 1,600,000 409,625 2,910,945 265,000 1,163,356 556,648 4,915,810 514,642 190,800 252,879 1,285,635 1,477,060 1,328,303 1,557,200 402,900 1,840,000 401,455 1,061,605 Data BPS 776,454 48,540 406,286 817,000 525,275 409,090 30,545 153,296 1,131,250 1,125 872,540 964,628 Kabupaten

Jumlah 1,001,724 1,600,000 776,454 458,165 3,317,231 1,082,000 1,163,356 1,081,923 5,324,900 673,315 355,225 406,530 1,316,180

I. Bidang IKAHH 1 Es Batu 2 Pengeringan Cumi 3 Pengasinan Ikan 4 Foto Copy 5 Furniture dan Kayu 6 Garam Rakyat 7 Barang Dari Semen 8 Batu Bata 9 Genteng 10 Penggilingan Daging 11 Kacang Mete 12 Tahu 13 Pengolahan Susu Kuda II. Bidang ILMEA 1 Penjahitan/Konveksi 2 Pertenunan 3 Reparasi Kendr. Roda 2&4 4 Pengelasan 5 Air Isi Ulang 6 Vulkanisir 7 Tukang Kaleng 8 Tukang Emas dan Perak Sumber : Hasil Analisis Dari dan Kota Bima, 2004

4,190,356 2,884,553 2,669,200 616,025 2,712,540 401,455 964,628 1,616,705 Bima, Dompu

Produk-produk perikanan/kelautan seperti rumput laut oleh masyarakat setempat sudah mulai diolah dalam bentuk dodol, namun dengan volume usaha yang masih sangat kecil. Kemudian jenis usaha perikanan bandeng (perikanan air

89

payau) sudah mulai diproduksi dalam bentuk presto. pengolahan ikan laut baru dilakukan pengasinan dan pengeringan. sedangkan komoditi ternak dijual keluar daerah masih dalam keadaan hidup demikian juga komoditi kedelai atau bawang pada umumnya dijual dalam bentuk glondongan sementara industri pengolahan tahu atau tempe sangat terbatas. Kegiatan pengolahan pascapanen atau kegiatan agroindustri di Kapet Bima relatif masih kurang sementara potensi sumber daya cukup besar, sehingga peluang pengembangan agroindustri masih sangat besar dan dibutuhkan suatu strategi kebijakan yang dapat menggarap sumber daya wilayah secara optimal khususnya pada berbagai aktivitas ekonomi masyarakat sehingga tercipta multiplier effect pembangunan yang lebih luas. Sebagai lembaga usaha ekonomi kerakyatan, secara umum kinerja koperasi semakin membaik. Jika pada tahun 2002 jumlah koperasi 409 unit maka pada tahun 2004 terdapat 441 unit. Di sisi lain terdapat juga koperasi yang tidak aktif yang sampai 2004 sebanyak 117 unit. Adapun gambaran tentang keragaan koperasi di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 41. Tabel 41 Keragaan Koperasi di Kapet Bima
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Uraian Jumlah Koperasi Jumlah Anggota Pelaksanaan Rat Koperasi Aktif Koperasi Tdk Aktif Pengurus Pengawas Manajer Karyawan Modal Sendiri Modal Luar Volume Usaha SHU Satuan Unit Orang Unit Unit Unit Orang Orang Orang Orang Rp.000 Rp.000 Rp.000 Rp.000 Rp.000 Analisis Dari 2002 409 57,009 215 299 110 1,404 1,145 76 736 31,505,736 26,299,184 97,973,963 4,326,764 57,804,920 Data BPS 2004 441 94,038 240 324 117 1,482 1,142 77 791 48,180,888 30,007,558 116,085,180 5,507,781 78,188,446 Kabupaten Bima, Perub. (%) 3.85 32.22 5.68 4.10 3.18 2.77 0.01 0.66 3.67 23.92 6.83 9.60 20.90 16.40 Dompu

14 Asset Sumber : Hasil dan Kota Bima, 2004

90

Peran koperasi dalam perekonomian wilayah semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah anggota koperasi sebesar 32.22 % yakni 57,009 orang pada tahun 2002 menjadi 94,038 orang pada Tahun 2004. selain itu kinerja dari sisi produktivitas dan keuangan koperasi di Kapet Bima juga mengalami perkembangan yang baik. Tercatat rata-rata peningkatan modal sendiri setiap tahun adalah 23.92 %, SHU sampai mencapai 20.90 % sedangkan peningkatan rata-rata asset sebesar 16.40 % per tahun. c. Ketersediaan Utilitas Wilayah Listrik merupakan sumber energi dalam berbagai aktivitas kehidupan dan pembangunan pada umumnya yang berfungsi sebagai prasarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan dalam kegiatan produksi hampir seluruh sektor kegiatan usaha penduduk. Adapun gambaran tentang Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik dapat dilihat pada tabel 42.

Tabel 42 Kapasitas Terpasang dan Jumlah Pelanggan Listrik Di Kapet Bima No. 1 2 3 Kabupaten/Kota Kab Dompu Kab Bima Kota Bima Dari Kapasitas (Kwh) 7,907,000 4,209,279 31,343,549 43,459,828 Data BPS Kabupaten Pelanggan (KK) 17,549 36,451 17,294 71,294 Bima, Dompu

Kapet Bima Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

Jangkauan pelayanan listrik di Kapet Bima baru 40.96 % dari jumlah 174,059 KK. Tingkat pelayanan yang paling tinggi adalah di Kota Bima yakni sebanyak 63.54 % dari total KK, selanjutnya Kabupaten Dompu 38.22 % dari total KK dan yang paling rendah Kabupaten Bima sebanyak 36.12 % dari total KK. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk pada Tahun 2010 sebanyak 1.053.568 jiwa dan standar rata-rata kebutuhan listrik 0,2 KW / orang / hari, maka

91

perkiraan kebutuhan listrik Kapet Bima adalah 188.011 KW.sehingga perlu peningkatan kapasitas listrik, jangkauan pelayanan listrik juga perlu diperluas hingga ke pedesaan. Khususnya pada wilayah Kecamatan Pekat, Tambora dan Kecamatan Lambu (RTRW Kapet Bima, 2004). Pelayanan air bersih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer

penduduk dan aktivitas usahanya seperti Industri pengolahan hasil pertanian dan indutri lainnya, pasar, perkantoran, perdagangan, dan lainnya sampai saat ini masih dilayani oleh PDAM. Dari jumlah 174,059 KK (kepala keluarga) di Kapet Bima yang terlayani baru 9.28 % atau 16,147 KK, yang terdiri dari 45,920 KK di Kabupaten Dompu dan 128,139 KK di Kabupaten Bima dan Kota Bima. Adapun gambaran tentang Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 43. Tabel 43 Kapasitas Air Bersih PDAM dan Jumlah Pelanggan di Kapet Bima Kabupaten/Kota Kab Dompu Kab Bima dan Kota Bima Kapet Bima Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004 Dari Kapasitas (m3) 2,544,803 1,892,938 4,437,741 Data BPS Kabupaten Pelanggan (KK) 5,776 10,371 16,147 Bima, Dompu

Untuk mendukung pengembangan wilayah di Kapet Bima, maka interaksi pelaku/stakeholders mutlak membutuhkan informasi dan komunikasi. Pelayanan telekomunikasi di Kapet Bima dikelola oleh Kantor Pelayanan PT. Telkom Tbk. Cabang Bima dan Dompu serta didukung oleh sistem komunikasi telepon seluler yang sekarang menjangkau hampir diseluruh wilayah Kapet Bima. Adapun gambaran tentang Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 44. Perkiraan kebutuhan telepon Kapet Bima pada tahun 2010 berdasarkan proyeksi jumlah penduduk dan standar rata-rata kebutuhan satuan sambungan telepon 0,02 SST per orang, adalah 20.890 SST. Selain kapasitas sambungan telepon, jangkauan pelayanan telepon juga perlu diperluas termasuk pada ibukota

92

Kecamata seperti Pekat, Tambora serta kawasan-kawasan yang cepat berkembang seperti Labuhan Kananga, So See dan Wane (BP Kapet Bima 2004). Tabel 44 Kapasitas Pelayanan Telekomunikasi di Kapet Bima
Kabupaten/Kota Dompu Kab Bima Kota Bima Kapet Bima Kapasitas (SST) 2,606 1,700 4,482 8,788 Sudah Terisi (SST) 2,512 1,433 4,348 8,293

Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004 d. Infrastruktur Transportasi

Dari

Data

BPS

Kabupaten

Bima,

Dompu

Di dalam sistem jaringan transportasi nasional, Kapet Bima memegang peranan cukup penting. Untuk sistem transportasi darat, kota-kota dalam Kapet Bima dihubungkan melalui jalur kolektor primer. Selain itu, Bima juga merupakan salah satu simpul jaringan penyeberangan lintas selatan (Jakarta-BaliBima-Kupang-Dili-Tual). Jalur Mataram-Sorong yang berfungsi menghubungkan kawasan andalan Komodo dan kawasan andalan Lombok juga akan sangat bermanfaat bagi pengembangan Kapet Bima. Untuk mendukung sistem transportasi di Kapet Bima maka perlu didukung infrastruktur yang memadai. Tabel 45 Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan Di Kapet Bima
No. Uraian 2002 % 39.07 25.41 35.52 100.00 Data BPS Km 980.35 488.53 465.77 25.23 1,959.88 Kabupaten 2004 % 50.02 24.93 23.77 1.29 100.00 Bima, Dompu

Km 1 Aspal 706.71 2 Kerikil 459.70 3 Tanah 642.59 4 Tidak Terinci Jumlah 1,809.00 Sumber : Hasil Analisis Dari dan Kota Bima, 2004

Tabel 45 menjelaskan bahwa panjang jalan di Kapet Bima pada Tahun 2002 adalah 1.809 Km, dengan jenis permukaan yang sudah diaspal baru 39.07 % atau 706.71 Km, sedangkan sisanya berupa permukaan kerikil 25.41 % dan jalan tanah 35.52 %. Kemudian pada tahun 2004 panjang jalan meningkat menjadi 1,959.88 Km, dan jalan dengan jenis pemukaan yang berasal sepanjang 980.35 %

93

atau 50.02 % dari total panjang jalan. Jenis permukaan kerikil 24.93 % dan permukaan tanah > 23 %. Upaya meningkat panjang jalan dan perbaikan jalan terus dilakukan di Kapet Bima. Hal ditunjukkan dalam tabel 46, bahwa pada tahun 2002 panjang jalan yang kondisinya berstatus baik adalah sepanjang 419.64 Km dan meningkat menjadi 638.31 Km. meskipun demikian secara umum kondisi jalan di Kapet Bima perlu upaya perbaikan yang cukup besar yakni > 60 % untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan interaksi spasial.

Tabel 46 Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan Di Kapet Bima No. 1 2 3 4 5 Uraian 2002 2004 Km % Km 419.64 23.17 638.31 290.14 16.02 422.91 487.40 26.91 329.25 614.32 33.91 569.41 1,811.50 100.00 1,959.88 Dari Data BPS Kabupaten Bima,

Baik Sedang Rusak Rusak Berat Tidak Terinci Jumlah Sumber : Hasil Analisis dan Kota Bima, 2004

% 32.57 21.58 16.80 29.05 100.00 Dompu

Untuk jaringan transportasi laut, ditetapkan hirarki pelabuhan laut dan hirarki jaringan transportasi laut nasional. Sistem pelabuhan nasional terdiri dari dua hirarki pelayanan, yaitu : 1. Pelabuhan utama (truk port) yang terdiri dari pelabuhan utama primer, sekunder dan terseier 2. Pelabuhan pengumpan (feeder port) yang terdiri dari pelabuhan pengumpan regional dan lokal. Berdasarkan RTRWN, pelabuhan Bima di Kabupaten Bima berfungsi sebagai salah satu pelabuhan pengumpan regional yang melayani kegiatan bongkar muat angkutan laut dalam jumlah kecil dan jangkauan pelayanan relatif dekat. Secara hirarkis, pelabuhan Bima berfungsi sebagai pengumpan kepada pelabuhan pelabuhan utama, terutama yang terdekat adalah pelabuhan Ujung Pandang. Sedangkan pelabuhan Kempo dan Calabai di Kabupaten Dompu dan Pelabuhan Sape, Waworada di Kabupaten Bima ditetapkan sebagai pelabuhan

94

pengumpan lokal, yang berfungsi sebagai pengumpan kepada pelabuhan utama dan pengumpan regional. Tabel 47 menjelaskan bahwa di Kapet Bima terdapat 5 (lima) buah pelabuhan yaitu pelabuhan laut di Teluk Bima, pelabuhan penyeberangan di Kecamatan Sape, pelabuhan Waworada di Langgudu, ketiganya di Kabupaten Bima, dan pelabuhan laut di Calabai dan Kempo (Kabupaten Dompu). Untuk mewujudkan Kapet Bima sebagai pusat perdagangan yang maju, maka pelabuhan laut Bima yang merupakan pintu gerbang ke Kapet Bima perlu dikembangkan sehingga memenuhi syarat untuk disinggahi kapal-kapal nusantara maupun mancanegara. dikembangkan. Tabel 47 Sebaran Pelabuhan di Kapet Bima
Nama Pelabuhan Bima/Kota Bima: - Pelabuhan Bima - Pelabuhan Sape - Pelab. Waworada Kabupaten Dompu: - Pelabuhan Kempo - Pelabuhan Calabai Kec Kempo Kecamatan Pekat Khusus Nasional Khusus Nasional Pemkab. Dompu Pemkab. Dompu Kota Bima Kecamatan Sape Kec Langgudu Umum Nasional Angk. Penyeberangan Umum Lokal PT.Pelindo PT. ASDP Pemkab.Bima Lokasi (Kecamatan) Jenis Pelabuhan Keterangan (Pengelola)

Demikian

pula

pelabuhan

penyeberangan

Sape

perlu

Sumber : Data Dari Berbagai Sumber Dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata yang memanfaatkan jalur wisata dari Bima ke Pulau Komodo PP dibangun pelabuhan penyeberangan dari Pantai Mbotu/Lambu Sape ke Pulau Komodo (lama pelayaran 2-2,5 jam) dari pada pelabuhan penyeberangan Sape lama penyeberangannya 6-7 jam. Disamping itu dibangun pelabuhan penyeberangan Labuhan Kananga ke Pulau Satonda (BP Kapet Bima 2004). Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M.Salahuddin di kota Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara nasional, yang pelayanannya meliputi beberapa kabupaten yang menghubungkan antara bandar

95

udara utama

dan kedua, yaitu Bajawa, Denpasar, Ende, Kupang, Mataram,

Labuan Bajo, Ruteng, Surabaya, Tambulaka dan Waingapu. Adapun keadaan umum dari Bandara tersebut adalah sebagai berikut : Runway Apron Taxiway Shoulder Over Run Kekuatan Landasan Terminal Lapangan Parkir Pergerakan : 1.800 x 30 m : 172 x 70 m : 100 x 10 m : 2 x 16.000 x 60 m : 150 x 30 m : 46.000 LBS : 294 m2. : 3.218 m2 : 12 pergerakan/hari

Bandara Muhammad Salahudin, terletak 15 Km dari kota Bima. Bandara M. Salahuddin dapat didarati secara bebas oleh pesawat jenis Foker 27, Foker 28 dan malah sudah dapat didarati pesawat merpati F 100 dengan rute BimaDenpasar (pulang pergi) dan jalur Bima-Denpasar-Jakarta (pulang pergi) setiap hari. Gambar 4 memberikan gambaran tentang kondisi beberapa infrastruktur transpotasi di Kapet Bima.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Pelabuhan Laut-Bima (a), Bandara Salahudin-Bima (b), dan Pelabuhan Calabai-Dompu (c). 4.6. Permasalahan Pengembangan Wilayah Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah di Kapet Bima antara lain sebagai berikut : 1. Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang agak curam dan curam, sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan pertanian.

96

Adapun keadaan topografi wilayah di Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 5. 2. Makin banyaknya lahan kritis yang berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi maupun ekologi. 3. Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian secara umum khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultural) sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat produksi dengan laju yang stagnan.

Gambar 5 Keadaan Topografi Wilayah di Kapet Bima

4. Kualitas SDM relatif masih rendah. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat masih rendah (yang tidak sekolah atau belum tamat SD mencapai 37.8 %) walaupun masih di atas tingkat pendidikan rata-rata Propinsi NTB. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat ini adalah prasarana pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan. Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim

97

sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 5. Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik belum terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha masyarakat. Demikian juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi wilayah Kapet Bima. 6. Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan utama, namun perannya masih belum optimal khususnya dalam pengembangan

perekonomian di perdesaan. 7. Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas, sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan. 8. Sebagian besar kegiatan belum mampu menerapkan manajemen modern, masih ada kecenderungan menerapkan manajemen keluarga sedangkan Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih relatif terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai tambah sulit tercapai 9. Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota 10. Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima mengakibatkan kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima. 11. Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun telah diantisipasi dengan Musbang Desa dan Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas. Kecamatan, Rakorbang Tingkat

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari berbagai data dan informasi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan berbagai teknik analisis untuk bisa menjawab rumusan masalah penelitian. Berikut ini adalah uraian pembahasan hasil analisis dari berbagai fenomena empiris yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

5.1. Keterkaitan Antar Sektor 5.1.1. Struktur Input-Output (IO) Tabel Input-Output menggambarkan transaksi barang dan jasa dari berbagai sektor ekonomi yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan saling ketergantungan. Penyusunan Tabel Input-output Kapet Bima terdiri dari 18 sektor yang disederhanakan dan diturunkan dari Tabel Input-Output Propinsi NTB Tahun 2004 yang terdiri dari 60 sektor. Adapun gambaran umum perekonomian Kapet Bima berdasarkan Tabel Input-Output Kapet Bima dijelaskan pada tabel 48.

Tabel 48 Komponen Penyusun Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 No. 1. Komponen Jumlah (Rp.000) 876,764,822 2,905,956,433 3,782,721,256 Distribusi (%) 23.18 76.82 100.00

Sisi Permintaan (Output) a. Permintaan Antara b. Permintaan Akhir c. Total Permintaan

2.

Sisi Penawaran (Input) a. Input Antara b. Import c. Jumlah Nilai Tambah Bruto d. Jumlah Input Sumber : Data Hasil Analisa

876,764,822 293,537,967 2,612,418,466 3,782,721,256

23.18 7.76 69.06 100.00

Dari Tabel 48 dijelaskan bahwa total nilai output ekonomi wilayah di Kapet Bima adalah sebesar Rp.3.78 trilyun yang terdiri dari permintaan antara sebesar Rp.0.88 trilyun (23.18 %) dan permintaan akhir sebesar Rp.2.90 trilyun

99

(76.82 %) yang meliputi konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan eksport. Besarnya nilai permintaan akhir menggambarkan tingginya permintaan (demand side). Konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan pembentukan modal tetap serta perubahan stok menggambarkan kegiatan transaksi intra regional (domestik) sedangkan nilai eksport menggambarkan kegiatan transaksi inter regional. Makin tinggi tingkat permintaan maka makin besar pula nilai transaksi barang/jasa hal ini mendorong peningkatan nilai output total suatu sektor, namun nilai permintaan akhir belum menggambarkan sepenuhnya nilai permintaan total suatu sektor serta dampak totalnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Permintaan akhir yang terlalu tertinggi mengakibatkan permintaan antara yang rendah. Permintaan antara di Kapet Bima hanya sebesar Rp.876.76 juta atau sebesar 23.18 %. Artinya dari total output wilayah yang dihasilkan hanya 23.18 % yang dikembalikan dalam kegiatan produksi domestik. Sedangkan di sisi lain kegiatan eksport lebih banyak barang mentah atau setengah jadi karena rendahnya kegiatan industri pengolahan domestik. Hal ini menggambarkan rendahnya keterkaitan (linkages) kegiatan ekonomi domestik dan nilai tambah (margin value) suatu sektor/komoditi, yang pada akhirnya berbagai daerah di Kapet Bima adalah sebagai daerah tertinggal karena rendahnya daya kompetitif. Disamping itu karena nilai tambah lebih besar di dapat oleh pengguna manfaat luar kawasan maka pada akhirnya juga terjadi kebocoran wilayah. Tabel 49 memberikan gambaran tentang nilai output masing-masing sektor ekonomi. Berdasarkan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat bahwa 6 (enam) sektor yang memiliki nilai output paling tinggi di atas rata-rata output sektor lain, tercermin dari nilai output sektor (IOS) > 1 adalah Tanaman bahan makanan (26.93 %) , selanjutnya adalah Jasa pemerintahan umum (14.62 %), Perdagangan Besar dan Eceran (11.65 %), Industri Pengolahan Non Migas (10.94 %), dan Bangunan (8.36 %) serta angkutan (7.28 %). sektor-sektor ini pun memiliki nilai tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya.

100

Tabel 49 Nilai Output Masing-Masing Sektor di Kapet Bima Tahun 2004 Kode 1 2 Nama Sektor Output (Rp.000) 1,018,624,436 69,002,172 173,502,877 98,207,516 161,325,827 69,485,970 413,699,519 26,358,675 2,391,808 316,102,626 440,672,839 56,578,194 275,254,192 27,299,484 30,598,277 17,236,467 553,212,140 33,168,238 3,782,721,256 Distribusi (%) 26.93 1.82 4.59 2.60 4.26 1.84 10.94 0.70 0.06 8.36 11.65 1.50 7.28 0.72 0.81 0.46 14.62 0.88 100.00 IOS 4.85 0.33 0.83 0.47 0.77 0.33 1.97 0.13 0.01 1.50 2.10 0.27 1.31 0.13 0.15 0.08 2.63 0.16 1.00

Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil3 Hasilnya 4 Kehutanan 5 Perikanan 6 Penggalian Industri Pengolahan Non 7 Migas 8 Listrik 9 Air bersih 10 Bangunan Perdagangan Besar dan 11 Eceran 12 Hotel dan Restoran 13 Angkutan 14 Pos dan Telekomunikasi Bank dan Lembaga Keu. 15 Bukan Bank Sewa Bangunan dan Jasa 16 Preusan 17 Jasa Pemerintahan Umum 18 Jasa Swasta Jumlah Sumber : Data Hasil Analisa

Nilai output tanaman bahan makanan paling tinggi dibandingkan dengan sektor/komoditi lainnya. Sedangkan tanaman perkebunan, peternakan dan kehutanan nilai outputnya masih sangat rendah (masing-masing sebesar 1.82 %, 4.59 % dan 2.60 % dari total output). Keadaan ini bertolak belakang dengan potensi lahan di Kapet Bima, dimana areal beririgasi sebagai lahan usaha tani tanaman bahan makanan adalah 36,823 Ha atau 5.32 %. Sedangkan lahan kering sebagai tempat pengusahaan peternakan, perkebunan dan kehutanan adalah seluas 38.48 % dari total wilayah (tidak termasuk hutan Negara). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan kering sebagai salah satu potensi sumber daya wilayah yang cukup besar masih belum dimanfaatkan secara lebih optimal. Apabila diperhatikan nilai output ekonomi tersebut, maka dapat diketahui bahwa peran petani masih dominan sebagai pelaku ekonomi di Kapet Bima, hal

101

ini juga ditunjukkan pada tabel 29, bahwa jumlah petani mencapai 50.92 % penduduk Kapet Bima. Perekonomian Kapet Bima juga masih tergantung cukup besar terhadap sektor pemerintahan, sementara pada struktur APBD kabupaten/kota di Kapet Bima dana alokasi dari pusat (DAK dan DAU) masih dominan sedangkan penerimaan dari komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang juga dapat dijadikan indikator kemandirian daerah masih rendah (< 5 %). Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18 %), import (7.76 %) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06 %). Proporsi nilai tambah bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada di Propinsi NTB yakni 68.93 %. Komponen nilai tambah bruto sendiri terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Besarnya nilai masing-masing komponen terhadap nilai tambah bruto dapat dilihat pada tabel 50 berikut ini.

Tabel 50 Komponen Nilai Tambah Bruto Sektor Ekonomi di Kapet Bima Tahun 2004 No. 1. 2. 3. 4. Komponen Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Netto Jumlah (Rp.000) 1,038,418,059 1,394,832,276 147,118,344 32,049,787 2,612,418,466 Distribusi (%) 39.75 53.39 5.63 1.23 100.00

Jumlah Sumber : Data Hasil Analisa

Beberapan komponen nilai tambah bruto memiliki nilai dan besaran kontribusi yang bervariasi. Nilai tambah yang besar adalah komponen surplus usaha yang diterima oleh pengusaha yakni dengan total sebesar Rp.1.39 trilyun atau 53.39 % dari total nilai tambah bruto. selanjutnya komponen upah dan gaji yang diterima pekerja dengan total nilai Rp.1.04 trilyun diterima oleh pekerja. dan komponen yang paling kecil nilainya adalah pajak tak langsung netto yang

102

diterima pemerintah yakni sebesar Rp.32.05 milyar. Nilai ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya masih relatif rendah yakni 1.23 % apalagi jika dibandingkan dengan Propinsi NTB yang mencapai 3.56 % dari total nilai tambah bruto.

Tabel 51 Perbandingan Koefisien Teknis Komponen Input IO Kapet Bima Tahun 2004, IO Jabodetabek Tahun 2002 dan IO Riau Tahun 2001 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komponen Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Netto Total Input Antara Total Input Primer IO Kapet Bima 2004 0.2745 0.3687 0.0389 0.0085 0.2318 0.6906 IO Jabodetabek 2002 0.1488 0.2902 0.0418 0.0346 0.4109 0.5891 IO Riau 2001 0.1044 0.4383 0.0370 0.0139 0.4064 0.5936

Sumber : Data Hasil Analisa Tabel 51 memberikan gambaran perbandingan struktur penyusun Tabel IO Kapet Bima dengan dua wilayah lainnya yang memiliki karakteristik yang berbeda. Kapet Bima memiliki karakteristik wilayah dengan output ekonomi didominasi oleh aktivitas kegiatan pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan. Jabodetabek didominasi oleh kegiatan industri pengolahan non migas, perdagangan dan pertanian sedangkan Riau didominasi oleh pertambangan minyak, industri mesin dan industri perminyakan. Perbandingan struktur input antara pada wilayah Kapet Bima,

Jabodetabek, dan Riau menunjukkan perbedaan. Total input antara Kapet Bima adalah sebesar 23.18 % dari total output ekonomi, lebih rendah jika dibandingkan wilayah Jabodetabek dan Riau yakni mencapai > 40 % dari total output ekonomi wilayah. Data ini menjelaskan bahwa Kapet Bima yang didominasi oleh aktivitas pertanian, jasa pemerintahan dan perdagangan menggunakan output untuk kegiatan produksi (sebagai faktor produksi) masih sangat rendah, sehingga

keterkaitan antar sektor domestik juga rendah yang dapat berakibat terjadinya kebocoran wilayah. Kegiatan-kegiatan industri pengolahan dan pemanfaatan

103

sektor domestik dalam kegiatan ekonomi wilayah telah mendorong Jabodetabek dan Riau sebagai wilayah yang relatif lebih maju. Pada struktur input antara, koefisien teknis upah dan gaji di Kapet Bima lebih baik dari pada dua wilayah yang lainnya, namun dari sisi penerimaan pemerintah di Kapet Bima hanya menerima 0.85 % dari total output. Sedangkan Riau mencapai 1.39 % dan yang paling tinggi adalah Jabodetabek dengan karaktristik sebagai daerah industri dan perdagangan dapat memberikan penerimaan pemerintah sebesar 3.46 % dari total output ekonomi wilayah. 5.1.2. Derajat Keterkaitan Antar Sektor Salah satu keunggulan analisa dengan menggunakan Model IO adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar sektor, hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward linkages) atau daya dorong maupun hubungan kebelakang (backward linkages) atau daya tarik. Tabel 52 Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima
Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Nama Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-Hasilnya Kehutanan Perikanan Penggalian Industri Pengolahan Non Migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel dan Restoran Angkutan Pos dan Telekomunikasi Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank Sewa Bangunan dan Jasa Persh Jasa Pemerintahan Umum Jasa Swasta Indeks Daya Dorong (IDD) 1.3422 0.9945 0.9725 0.8075 1.0240 0.8846 1.2141 0.9543 0.7991 0.9560 1.3366 0.8917 1.1883 1.0171 1.0925 0.9126 0.7924 0.8201 Indeks Daya Tarik (IDT) 0.9224 0.8493 1.0316 0.8186 0.9701 0.8783 1.5195 1.0002 0.9336 1.0908 0.8823 1.3757 0.8799 0.8948 1.0321 0.8591 1.0538 1.0079

Sumber : Data Hasil Analisis Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya dorong >1, berarti daya dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai

104

indeks daya tarik >1, berarti daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Dari tabel 52 diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422 sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757. Untuk membantu menggambarkan tingkat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam diagram kartesius keterkaitan antar sektor. Diagram ini memiki dua sumbu yakni sumbu vertikal yang menunjukkan indeks daya tarik dan sumbu horizontal yang menunjukkan indeks daya dorong. selanjutnya sumbu vertikal dibagi menjadi dua wilayah yakni yang memiki nilai daya tarik di atas rata-rata (nilai indeks >1) dan yang berada dibawah rata-rata seluruh sektor. Demikian juga sumbu horizontal dibagi menjadi dua wilayah yakni yang memiliki nilai daya dorong di atas rata-rata (nilai indeks >1) dan yang berada di bawah rata-rata. Sehingga jika dua sumbu ini diletakkan dalam satu diagram maka akan menghasilkan 4 (empat) kuadran. Gambar 6 menjelaskan keberadaan masing-masing sektor dalam kuadrankuadran keterkaitan antar sektor, Diagram tersebut memiliki 4 (empat) kuadran. Kuadran I, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang tinggi namun memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang rendah. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran I ini adalah : peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), listrik (sektor 8), bangunan (sektor 10), Hotel dan restoran (sektor 12), jasa pemerintahan umum (sektor 17) dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran I ini, hendaknya dapat menggerakkan sektor-sektor hilir atau dengan kata lain, harus diciptakan kegiatan atau aktivitas yang dapat memanfaatkan secara optimal

sektor-sektor pada kuadran I baik sebagai bagian dari faktor produksi maupun sebagai sarana-prasarana atau komponen pendukung dalam kegiatan produksi sehingga dapat menggerakkan nilai total ekonomi wilayah secara signifikan.

105

KETERKAITAN ANTAR SEKTOR


I N D E K S D A Y A T A R I K 1.6000 1.4000 1.2000 1.0000 0.8000 0.6000 0.4000 0.2000 0.0000 0.0000 7 12 10 17 15 3 18 8 5 9 6 14 13 2 16 4

II

1 11

IV

III

0.5000

1.0000

1.5000

INDEKSDAYA KEPEKATAN INDEKS DORONG

Gambar 6 Diagram Kartesius Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima

Kuadran II, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang tinggi serta memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang tinggi pula. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran II ini adalah : Industri Pengolahan Non Migas (sektor 7), bank dan Lembaga Keuangan Non Bank (sektor 15), Keberadaan sektor-sektor pada kuadran II sangat penting sebagai sektor atau kegiatan antara yang menghubungan sektor-sektor di hulu dengan hilir, sehingga sektor-sektor yang berada di kuadran II ini harus ditingkatkan keberadaan baik dari jumlah aktivitas maupun dari nilai output (produksi) yang dihasilkan. Kuadran III, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran III ini adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), perikanan (5), Perdagangan besar dan eceran (sektor 11), Hotel dan restoran (sektor 13), jasa pemerintahan umum

106

(sektor 14) dan jasa swasta (sektor 18). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran III ini, hendaknya dapat memanfaatkan secara optimal sektor-sektor di hulu untuk mendukung aktivitas atau dalam kegiatan produksi sehingga dapat menggerakkan nilai total ekonomi wilayah secara signifikan. Kuadran IV, merupakan sektor-sektor yang memiliki hubungan dengan sektor kebelakang (hulu) yang rendah namun memiliki hubungan dengan sektor ke depan (hilir) yang tinggi. Adapun sektor-sektor yang masuk dalam kuadran IV ini adalah : kehutanan (sektor 4), penggalian (sektor 6), air bersih (sektor 9), sewa bangunan dan jasa perusahaan (sektor 16). Keberadaan sektor-sektor pada kuadran IV ini, cenderung sebagai sektor pendukung bagi pengembangan sektorsektor lain baik di kegiatan atau industri di hulu maupun di hilir khususnya terhadap kegiatan produksi domestik.

5.2. Sektor Basis Model ekonomi basis (economic base model) menjelaskan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh kecenderungan eksport wilayah tersebut. Eksport tersebut dapat berupa tenaga barang, jasa atau tenaga kerja serta dapat juga berupa barang-barang tidak bergerak (immobile) seperti yang berhubungan dengan aspek geografi, iklim, peninggalan sejarah dan pariwisata. sektor atau industri yang bersifat seperti seperti itu disebut sektor basis. Salah satu metode pengukuran sektor basis adalah dengan metode location quotient (LQ). Apabila suatu sektor nilai LQ > 1 maka merupakan sektor basis sedangkan bila LQ < 1 maka sektor tersebut merupakan non basis. Pada tabel 53 terlihat bahwa dari 18 sektor ekonomi, terdapat 5 (lima) sektor yang menjadi sektor basis yakni : (1) Tanaman bahan makanan, (3) peternakan dan hasilnya, (4) kehutanan, (5) perikanan dan (9) Air bersih. Sedangkan sektor yang lain merupakan sektor non basis (sektor pendukung). Lima sektor basis di Kapet Bima adalah termasuk dalam sektor-sektor primer yakni kegiatan yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam, sedangkan sektor sekunder dan tersier seperti perdagangan, jasa dan industri kapasitas usahanya belum menjadi sektor yang memiki keunggulan komparatif wilayah.

107

Tabel 53 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Location Quotient (LQ) di Kapet Bima Kode Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-Hasilnya Kehutanan Perikanan Penggalian Industri Pengolahan Non Migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Angkutan Pos dan Telekomunikasi Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank Sewa Bangunan dan Jasa Preusan Jasa Pemerintahan Umum Jasa Swasta Jumlah

PDRB (Rp.000)
799,682,448 61,151,894 130,132,782 92,079,324 126,803,512 59,235,026 79,691,000 7,339,056 1,737,486 182,882,966 394,075,257 24,772,012 202,457,556 24,242,501 23,332,098 15,521,623 364,150,028 23,131,897 2,612,418,466

LQ PDRB
1.4892 0.7558 1.0020 2.7388 1.5223 0.8069 0.5262 0.6834 1.1709 0.7386 0.9583 0.3870 0.7582 0.5310 0.6756 0.7261 0.9899 0.4508 1.0000

Sumber : Hasil Analisis Dari Data BPS Propinsi NTB, 2004

5.3. Sektor Unggulan Potensial Sektor unggulan merupakan sektor basis dan berperan sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi wilayah serta memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Sehingga kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan potensial wilayah : (1). Merupakan sektor basis, hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai LQ PDRB yang tinggi. (2). Memiliki kemampuan yang tinggi untuk menggerakkan sektor lain baik keterkaitan kedepan (dengan sektor hilir) maupun keterkaitan kebelakang

108

(dengan sektor hulu), hal ini dapat ditunjukkan dengan indeks daya tarik dan daya dorong terhadap sektor lain yang tinggi. (3). Memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks output ekonomi suatu sektor . Tabel 54 Tingkat Keunggulan Masing-Masing Sektor di Kapet Bima
Kode Nama Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-Hasilnya Kehutanan Perikanan Penggalian Industri Pengolahan Non Migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel dan Restoran Angkutan

Skor Keunggulan Sektor (SKS) IOS IDT IDD LQ Jmlh 1 0 1 1 3 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2 0 0 0 1 1 0 0 1 1 2 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 1 2 2 1 2 1 2 0 2 1

TKS I IV II III II IV I III III II II III II III II IV II III

14 Pos dan Telekomunikasi 15 Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank 16 Sewa Bangunan dan Jasa Pershn 17 Jasa Pemerintahan Umum 18 Jasa Swasta Sumber : Data Hasil Analisis

Berdasarkan peringkat keunggulan sektor seperti yang dijelaskan pada tabel 54, maka yang menjadi sektor unggulan I (total skor = 3) adalah : tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas; Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan hasilnya, Perikanan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa pemerintahan umum; Sektor unggulan III adalah (total skor = 1) : kehutanan, listrik, air bersih, hotel dan restoran, pos dan telekomunikasi, dan jasa swasta; sedangkan unggulan IV (total skor = 0) adalah : tanaman perkebunan, penggalian dan sewa bangunan dan jasa perusahaan.

109

Untuk membantu menggambarkan tingkat keunggulan suatu sektor terhadap sektor lainnya maka sektor-sektor tersebut dapat ditempatkan dalam grafik yang dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.

TINGKAT KEUNGGULAN SEKTOR


6.00

5.00

INDEKS KEUNGGULAN

4.00

IOS
3.00

IDD IDT LQ

2.00

1.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

KODE SEKTOR

Gambar 7 Tingkat Keunggulan Sektor Berdasarkan Indeks Keunggulan Setiap Indikator di Kapet Bima Sektor yang merupakan unggulan I merupakan sektor yang memenuhi indikator keunggulan paling tinggi dibandingkan sektor lainnya, namun tidak ada satupun sektor yang memenuhi seluruh indikator keunggulan sektor (empat indikator). Adapun sektor unggulan I adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1) dan industri pengolahan non migas (sektor 7). Kedua sektor ini memiliki total skor keunggulan sektor (SKS) = 3, artinya sektor tersebut memiliki keunggulan pada

110

tiga dari empat indikator keunggulan sektor. Sektor tanaman bahan makanan memiliki keunggulan pada indikator nilai output ekonomi wilayah yang tinggi, daya dorong (keterkaitan kedepan) terhadap sektor lain serta merupakan sektor basis yang merupakan sektor yang berpotensial untuk melakukan kegiatan eksport, namun rendah pada indikator daya tarik (keterkaitan kebelakang) terhadap sektor lainnya. Sedangkan sektor industri pengolahan non migas memiliki keunggulan pada indikator nilai output ekonomi wilayah yang tinggi serta keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya baik keterkaitan kebelakang (daya tarik) maupun keterkaitan kedepan (daya dorong). Seperti ditunjukkan pada gambar 7 di atas. Sektor tanaman bahan makan memiliki output yang sangat dominan terhadap total ekonomi wilayah. nilai output sektor ini adalah sebesar Rp.1.02 trilyun yakni dengan indeks output sektor (IOS) sebesar 4.85, artinya nilai outputnya hampir mencapai 5 (lima) kali besarnya output rata-rata di Kapet Bima. Jenis komoditas yang masuk dalam sektor tamanan bahan makanan antara lain padi, kacang tanah, kedelai dan bawang merah. Nilai produksi komoditi ini rata-rata > 25 % dari total produksi Propinsi NTB, bahkan bawang merah mencapai 80.84 % dari total produksi Propinsi NTB sehingga merupakan salah satu komoditi unggulan yang dieksport (diperdagangkan) antar pulau. Sektor ini memiliki keterkaitan kebelakang dengan sektor pengangkutan, perdagangan besar dan eceran. Selain itu juga memiliki keterkaitan ke depan yang kuat, yang dapat mendorong pertumbuhan industri pengolahan (makanan), hotel dan restoran, bangunan, peternakan, perikanan dan pemerintahan. Sektor industri pengolahan non migas memiliki nilai output ekonomi terbesar keempat di Kapet Bima yakni sebesar Rp.413.70 milyar yakni dengan indeks output sektor (IOS) sebesar 1.97, artinya nilai output sektor ini sebesar 1.97 kali besarnya output rata-rata di Kapet Bima. Sektor industri pengolahan non migas memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya. Dengan nilai indeks daya dorong sebesar 1.21 dan indeks daya tarik sebesar 1.52 menjadikan kegiatan industri pengolahan non migas sebagai sektor kunci yang menghubungkan kegiatan ekonomi sektor-sektor hulu dengan kegiatan ekonomi sektor hilir.

111

Di sisi lain, keberadaan sektor industri pengolahan non migas belum menjadi sebagai sektor basis. Sektor ini memiliki aktivitas dan volume usaha yang relatif masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi NTB. Produk-produk industri serta berbagai faktor produksi usaha (hulu) masih banyak yang didatangkan dari luar kawasan, seperti pakan ikan/ternak, ayam broiler, pupuk dan obat-obatan pertanian, alat dan mesin usaha perikanan/pertanian, sedangkan kegiatan industri di sektor hilir juga masih rendah. Karena komoditi yang dijual pada umumnya masih produk mentah dan setengah jadi. Oleh karena sektor ini memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor lainnya baik dengan keterkaitan kedepan dan kebelakang maka perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaannya, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal. Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan hasilnya (sektor 3), Perikanan (sektor 5), bangunan (sektor 10), perdagangan besar dan eceran (sektor 11), sektor angkutan (sektor 13), bank dan lembaga keuangan bukan bank (sektor 15) dan jasa pemerintahan umum (sektor 17). Aktivitas ekonomi sektor bangunan dan jasa pemerintahan umum memiliki output ekonomi yang tinggi serta telah menyerap faktor produksi (input) domestik dalam kegiatan ekonominya, namun keberadaan sektor ini belum menjadi sebagai sektor basis jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sektor bangunan dan jasa pemerintahan umum ini belum mampu mendorong yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi lainnya. Indeks daya dorong atau keterkaitan kedepan masih rendah. Artinya alokasi anggaran pembangunan hendaknya memperhatikan aktivitas ekonomi produktif dan dengan proporsi nilai alokasi yang lebih besar. Sektor unggulan II yang merupakan sektor basis adalah sektor peternakan dan perikanan. Komoditi peternakan dan perikanan dapat menjadi komoditi unggulan karena merupakan komoditi eksport. Dengan potensi sumber daya lahan yang luas dimana lahan kering mencapai 94.68 (termasuk didalamnya terdapat 55.80 %) yang merupakan lahan potensial untuk pengembangan peternakan dan luas kawasan pesisir dan kelautan sebesar 63.77 % dari total luas wilayah, merupakan sumber daya potensial untuk pengembangan sektor perikanan, namun

112

output sektor ini masih rendah yakni masing-masing hanya mencapai Rp.173.50 milyar dan Rp.161.33 milyar. Komoditi peternakan di Kapet Bima merupakan komoditi eksport antar pulau seperti kuda, sapi, kerbau dan kambing meliki keterkaitan kebelakang yang kuat namun memilki keterkaitan kedepan yang rendah. Sektor ini memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat terhadap sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan. Sedangkan keterkaitan ke depan yakni dengan sektor hotel dan restoran seta industri pengolahan. Begitu pula dengan komoditi perikanan/kelautan. Sektor ini memiliki keterkaitan kebelakang dengan sektor industri pengolahan, perdagangan, angkutan, serta memiliki keterkaitan kedepan dengan sektor hotel dan restoran, dan sektor industri pengolahan. Mutiara sebagai salah satu komoditi perikanan yang dibudidayakan di Kapet Bima merupakan komoditi eksport, dan nilai produksinya mencapai 42 % dari total produksi di Propinsi NTB, namun kegiatan kerajinan mutiara hampir tidak didapat Kapet Bima seperti hal di daerah Sekarbila Mataram. Begitu juga dengan kegiatan kerajinan kulit kerang mutiara, yang juga bernilai jual tinggi. Sedangkan pengolahan komoditi lainnya seperti rumput laut dan ikan juga masih terbatas. Rumput laut sudah mulai diolah dalam bentuk dodol, kemudian ikan bandeng sudah ada yang diproduksi dalam bentuk presto, sedangkan ikan laut lebih banyak yang dijual dalam keadaan segar dan pengolahannya baru diusahakan dalam bentuk pengasinan atau pengeringan. Sektor perdagangan, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank memiliki indeks daya dorong yang tinggi yakni masing-masing sebesar 1.34, 1.18 dan 1.10. Dengan output ekonomi yang tinggi, sektor perdagangan dan angkutan dapat mendorong dinamika ekonomi wilayah serta hubungan antar wilayah baik intra maupun inter regional.

113

5.4. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional 5.4.1. Pola Hubungan Wilayah Intra-Inter Regional Setiap wilayah memiliki potensi sumber daya dan karakteristik masingmasing baik sebagi faktor endowment maupun sebagai faktor buatan berupa teknologi dan hasil interaksi sosial-ekonomi wilayah lainnya. Perbedaan sumber daya (supply side) serta disisi lainnya perbedaan kebutuhan (demand side) menyebabkan terjadinya transaksi dan interaksi sosial maupun ekonomi wilayah. Mobilisasi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan masing-masing wilayah sehingga terjadinya hubungan/interksi wilayah dapat berwujud arus atau pergerakan orang, kendaraan atau barang serta komponen wilayah lainnya

(seperti teknologi, modal dan informasi) melalui jalan dan transportasi, sistem atau kelembagaan yang melaksanakannya. dan tingkat dan sifat interaksi akan menentukan perkembangan suatu wilayah.

Tabel 55 Persepsi Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Di Kapet Bima (%) Daerah Tujuan Dlm Dlm Luar Kec Kab Kab 27.03 45.45 48.15 51.61 55.17 65.00 48.00 45.45 64.29 40.00 47.06 48.84 5.41 9.09 7.41 6.45 10.34 15.00 12.00 9.09 21.43 14.29 5.88 10.58

No. Keperluan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Membeli Sembako Membeli Saprotan Membeli Pakaian Membeli Bahan Bangunan Membeli Barang Elektronik Membeli Alat dan Mesin Membeli Sepeda Membeli Sepeda Motor Membeli Mobil Rekreasi/Traveling Menjual Produk Usaha

Dlm Desa

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

29.73 37.84 15.15 30.30 7.41 37.04 6.45 35.48 6.90 27.59 5.00 15.00 8.00 32.00 9.09 36.36 - 14.29 8.57 37.14 14.71 32.35 10.09 30.49

Rerata Sumber : Hasil Analisis Data Primer

Sifat pergerakan penduduk sendiri secara garis besar terbagi dua macam. Yang pertama adalah pergerakan yang bersifat sementara, yakni perjalanan atau

114

bepergian untuk memenuhi kebutuhan hidup dan atau usahanya kemudian selanjutnya akan kembali lagi ke tempat asalnya. Sedangkan yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap, yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat ketampat lain dengan tujuan untuk menetap secara permanen. Pergerakan penduduk yang bersifat sementara, tergambar dari orientasi perjalanan/bepergian penduduk di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 55. Dari tabel 55 dapat dijelaskan bahwa untuk memenuhi berbagai keperluannya,

penduduk selain mendapatkan dari lingkungannya (desa/kelurahan sendiri) juga lebih banyak didapat dari luar desa/kelurahannya. Yang relatif mudah untuk didapat dalam desa/kelurajan adalah membeli sembako dan saprotan (sarana produksi pertanian) sedangkan 9 (sembilan) keperluan lainnya relatif sulit didapat. Secara umum keperluan yang dapat dipenuhi dalam desa/kelurahan sebanyak 10.09 %. Dalam kecamatan (biasanya di ibu kota kecamatan) adalah sebanyak 30.49 % dan yang paling banyak adalah di dalam wilayah Kabupaten (di ibu kota kabupaten atau pusat perdagangan kabupaten/kota, seperti di Kecamatan Rasanae Barat, Kecamatan Dompu, Ibu Kota Kecamatan Sape, Sila Bolo, Tente Woha, dan Manggelewa) adalah sebesar 48.84 %, diantaranya untuk membeli alat dan mesin, membeli mobil serta membeli barang elektonik. Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap keperluan penduduk (barang/jasa) memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda-beda, jika sembako (kebutuhan primer) dan saprotan tersedia hampir di seluruh tingkat desa/kelurahan, sedangkan pakaian, bahan bangunan (kebutuhan sekunder) dan sepeda, sebagian besar penduduk mendapatkan di pasar tingkat kecamatan, maka alat dan mesin, sepeda motor dan mobil (kebutuhan tersier), pada umumnya penduduk mendapatkannya di pusat perdagangan tingkat kabupaten. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa ada hubungan antara hirarki ketersediaan barang/jasa dengan hirarki tingkat perkembangan suatu wilayah di Kapet Bima, atau dengat kata lain, pengaruh ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan penduduk akan sangat menentukan tingkat perkembangan suatu wilayah. Pergerakan penduduk yang kedua adalah pergerakan yang bersifat tetap, yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan untuk menetap secara permanen. Dengan objek kajian tingkat desa/keluarahan maka

115

dapat digambarkan pola perpindahan penduduk berdasarkan daerah asal dan tujuannya.

Pola Perpindahan Penduduk Berdasarkan Daerah Asal 60.00 Penduduk Yang Pindah (%) 50.00 40.00 30.00 23.79 20.00 10.00 5.72 Dlm Kec Dlm Kab Dlm Prop Daerah Asal Dlm Negeri 0.50 Luar Negeri 17.62 52.37

Gambar 8 Rerata Persentase Penduduk Pendatang Tiap Desa/Kelurahan Berdasarkan Daerah Asal di Kapet Bima Dari gambar 8 diperoleh informasi bahwa persentase penduduk yang pindah ke suatu desa/kelurahan di Kapet Bima, sebanyak 52.37 % berasal dari desa tetangga sekitarnya dalam satu kecamatan, selanjutnya 23.79 % berasal dari kecamatan lain dalam satu kabupaten, 17.62 % dari kabupaten lain dalam satu propinsi, 5.72 dari propinsi lain dan 0.50 % berasal dari negara lain. Dari uraian di atas terdapat kecenderungan bahwa pola perpindahan penduduk ke suatu

desa/kelurahan di Kapet Bima makin tinggi searah dengan makin dekatnya jarak daerah asalnya. Dari gambar 9 diketahui bahwa dari jumlah penduduk yang pindah ke luar desa/kelurahannya, sebanyak 41.83 % ke propinsi lain, 28.76 % ke kabupaten lain dalam satu propinsi, 10.84 % ke desa lain dalam 1 kecamatan, 9.57 % ke negara lain dan 9.00 % ke kecamatan lain dalam satu kabupaten. Data ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk suatu desa/kelurahan di Kapet Bima ke daerah lain tidak dipengaruhi oleh jarak antar wilayah tapi di tentukan oleh daya tarik atau daya dorong suatu wilayah.

116

Pola Perpindahan Penduduk Berdasarkan Daerah Tujuan 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 Penduduk Yang Pindah (%) 41.83

28.76

10.84

9.00

9.57

Dlm Kec

Dlm Kab

Dlm Prop Daerah Tujuan

Dlm Negeri

Luar Negeri

Gambar 9 Rerata Persentase Penduduk Tiap Desa/Kelurahan Yang Pindah Ke Daerah Lain Berdasarkan Daerah Tujuan Di Kapet Bima a. Pola Hubungan Wilayah Intra Regional Hubungan wilayah intra regional meliputi hubungan wilayah antar desa, antar kecamatan dan atau antar kabupaten/kota di Kapet Bima. Hubungan antar wilayah khususnya sangat dipicu oleh pergerakan penduduk untuk memobilisasi sumber daya wilayahnya dan atau memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya, sehingga faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong atau daya tarik suatu wilayah. Tabel 56 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Desa/Kelurahan Dalam 1 (Satu) Kecamatan Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 18.93 26.17 8.80 6.46 39.64 100.00

117

Tabel 56 menjelaskan bahwa alasan/motivasi perpindahan penduduk antar desa/kelurahan dalam satu kecamatan di Kapet Bima masih di dominasi oleh tujuan melanjutkan pendidikan (39.64 %), hal ini disebabkan karena di tingkat desa/kelurahan lembaga pendidikan pada umumnya hanya tersedia sampai tingkat SD sementara tingkat SLTP pada umumnya hanya tersedia di ibukota kecamatan. Motivasi kedua adalah karena ikut suami/istri/keluarga, fenomena ini dapat menggambarkan masih kuatnya tingkat keeratan hubungan

sosial/kekeluargaan penduduk di Kapet Bima, yaitu adanya ikatan pernikahan yang kecenderungannya dengan famili atau dengan keluarga yang telah dikenali, serta adanya fenomena migrasi berantai karena kekerabatan dalan suatu keluarga besar, yakni perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain yang diikuti penduduk (kerabatnya). Perpindahan demikian biasanya terjadi apabila

rombongan atau orang yang pertama berhasil maka akan menarik saudara atau kerabatnya yang lain. Adapun alasan/motivasi perpindahan penduduk antar kecamatan dalam satu kabupaten di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 57 dan uraian berikut ini. Tabel 57 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Antar Kecamatan Dalam 1 (Satu) Kabupaten Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 20.12 30.34 9.22 3.13 34.91 2.29 100.00

Tabel 57 menjelaskan masih terdapatnya kesenjangan fasilitas pendidikan antar kecamatan, khususnya antara kecamatan di ibu kota kabupaten dengan luar ibu kota kabupaten yakni pada tingkat pendidikan SMU/SMK sehingga hal

tersebut masih menjadi alasan/motivasi penduduk untuk berpindah (34.91 %).

118

Fenomena perpindahan akan adanya hubungan kekerabatan juga sangat tinggi (30.34 %) sedangkan persepsi penduduk adanya peluang kerja dalam wilayah telah menjadi motivasi ekonomi penduduk untuk melakukan migrasi (20.12 %). Hubungan antar wilayah di Kapet Bima didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana transportasi baik berupa transportasi antar desa maupun antar kecamatan/daerah dalam wilayah Kapet Bima, namun terdapat beberapa daerah yang intensitasnya relatif rendah seperti di Kecamatan Donggo dan Tambora Kabupaten Bima. Tabel 58 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) Intra Regional Kapet Bima Kabupaten Perkiraan Jumlah Jmlh Pergerakan Perhari Trayek Kendaraan Jml Penumpang Jml Barang (Buah) (Org) (Kg) 67 11 401 64 9,410 1,502 88,309 14,094 102,403

Kab dan Kota Bima Dompu

Jumlah Kapet Bima 78 465 10,912 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder

Tabel 58 menjelaskan bahwa terdapat 465 jumlah kendaraan roda 4 dan 6 yang melewati sekitar 78 trayek antar kota dalam wilayah Kapet Bima sehingga diperkirakan terdapat pergerakan penumpang sebanyak lebih dari 10.912 orang dengan jumlah barang sebanyak lebih dari 102 ton perhari. jumlah ini belum termasuk mobil pribadi dan kegiatan khusus pengangkutan barang yang ada dalam wilayah Kapet Bima. Dari gambar 10 terlihat bahwa wilayah Kapet Bima yang dibatasi oleh keadaan geografis yang berbukit serta wilayah yang berbentuk poligon tidak teratur, sehingga membentuk jalur transportasi yang bersifat linear dan melingkar, tidak bersifat kompak atau menyebar, sehingga sangat sulit membentuk jaringan transportasi intra regional yang optimal (kurang efisien). namun tiap wilayah membentuk hubungan dengan wilayah lain cenderung bersifat fungsional sehingga arus-arus pergerakan membentuk simpul-simpul dominan dan

membentuk beberapa daerah inti atau yang berfungsi sebagai pusat-pusat pelayanan (node) dengan berbagai tingkatan (hirarki), yakni sebagai berikut :

119

(1)

Hiraki pertama adalah Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima, dimana semua wilayah lain dalam Kapet Bima cenderung akan bergerak Ke daerah ini, khusunya untuk mendapatkan barang/jasa/pelayanan yang berhirarki tinggi (tidak tersedia di daerah lain).

(2)

Hirarki kedua adalah Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu dan Kecamatan Sape Kabupaten Bima. Kecamatan Dompu berfungsi menyangga hampir semua daerah di Kabupate Dompu, khususnya di wilayah Dompu bagian selatan. Sedangkan Kecamatan Sape menyangga sebagian wilayah Kecamatan Wawo, Kecamatan Wera dan Langgudu serta mendukung hubungan dengan Propinsi NTT dan Kawasan Timur Indonesia lainnya.

(3)

Hirarki ketiga adalah Kecamatan Manggelewa Kabupaten Dompu, Kecamatan Bolo dan Woha Kabupaten Bima. Kecamatan Manggelewa mendukung perkembangan Kecamatan-Kecamatan di sekitar semenanjung Gunung Tambora, Kecamatan Bolo mendukung perkembangan

Kecamatan Donggo dan Madapangga, sedangkan Kecamatan Woha mendukung perkembangan wilayah selatan Kabupaten Bima.

Gambar 10 Arus Penumpang dan Barang Dominan Intra Regional di Kapet Bima

120

b. Pola Hubungan Wilayah Inter Regional Hubungan wilayah inter regional meliputi hubungan wilayah antara daerah-daerah di dalam dan diluar Kapet Bima, baik berupa hubungan antar pelabuhan, kota, kabupaten maupun dengan suatu propinsi. Hubungan antar wilayah khususnya sangat dipicu oleh pergerakan penduduk serta mobilisasi sumber daya wilayahnya dan atau memenuhi kebutuhan hidup penduduk dan usaha dalam skala yang lebih besar. sehingga faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong atau daya tarik suatu wilayah. Adapun faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dan daya dorong hubungan wilayah dapat diidentifikasi dari alasan/motivasi perpindahan penduduk serta besaran dan jenis pergerakan barang dan jasa yang dapat dijelaskan pada tabel 59 dan uraian berikut.

Tabel 59 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain JUMLAH Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 25.43 23.81 17.15 5.95 27.65 100.00

Tabel 59 mengidentifikasi tiga faktor utama yang menjadi alasan perpindahan penduduk yaitu melanjutkan pendidikan, ikut famili dan mencari nafkah/kerja. Tingginya perkembangan jumlah perguruan tinggi di Kota Bima menjadi faktor penarik bagi penduduk selain dari Kota Bima, Kabupaten Bima dan Dompu juga berasal dari Kabupaten Sumbawa Besar dan Sumbawa Barat. Sedangkan dari Kabupaten Lobar dan Loteng cenderung mencari nafkah

khususnya di sektor perdagangan dan industri pengolahan serta sebagai migrasi

121

berantai mengikuti kerabat yang sebelumnya banyak menjadi transmigran yang bergerak disektor pertanian. Tabel 60 menjelaskan bahwa faktor dominan yang menjadi alasan/motifasi penduduk untuk pindah ke kabupaten lain dalam satu propinsi adalah melanjutkan pendidikan (58.85 %). Daerah tujuan utama untuk melanjutkan pendidikan adalah Kota Mataram. Walaupun di Kota Bima, Kabupaten Bima dan Dompu terdapat perguruan tinggi, namun satu-satunya perguruan tinggi negeri di Propinsi NTB adalah di Mataram (Universitas Mataram), di Kota Mataram pun memiliki berbagai perguruan tinggi yang menawarkan jurusan/program studi yang tidak terdapat diperguruan tinggi di daerah-daerah Kapet Bima.

Tabel 60 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Kabupaten Lain Dalam 1 (Satu) Propinsi Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 18.75 12.50 8.75 1.15 58.85 100.00

Adapun Alasan/motiviasi Perpindahan Penduduk dari propinsi lain di Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 61. Tabel tersebut menjelaskan bahwa tiga faktor utama yang menjadi alasan/motifasi penduduk untuk bermigrasi ke daeradaerah di Kapet Bima adalah mencari nafkah (33.19 %), ikut kerabat (29.74 %) serta mencari kehidupan yang memadai. Penduduk dari Jatim, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat banyak yang melakukan kegiatan perdagangan. Migrasi dari Bali sebagian besar sebagai transmigrasi dan bergerak di sektor pertanian sedangkan migrasi dari NTT bergerak di sektor informal.

122

Tabel 61 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Dari Propinsi Lain Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 33.19 29.74 27.59 2.16 3.02 4.31 100.00

Tabel 62 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Propinsi Lain Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 41.52 8.17 3.06 0.82 46.43 100.00

Tabel 62 di atas menjelaskan bahwa terdapat dua faktor utama yang menjadi alasan motifasi penduduk bermigrasi ke luar daerah yakni mencari nafkah/kerja (41.52 %) dan sekolah (46.43 %). Penduduk yang mencari nafkah/kerja khususnya di sektor formal cenderung menuju daerah Jakarta, Tangerang dan Bekasi, Surabaya, Sulawesi Selatan, Banjarmasin, Balikpapan dan Samarinda. Sedangkan penduduk yang ingin melanjutkan pendidikan cenderung menuju daerah-daerah Malang, Yogyakarta, dan Ujung Pandang. Berbagai daerah

123

tujuan migrasi ini memang adalah merupakan daerah-daerah pusat pertumbuhan ekonomi dan pendidikan di Kawasan Timur dan Barat Indonesia. Tabel 63 Alasan/Motiviasi Perpindahan Penduduk Ke Negara Lain Di Kapet Bima Alasan/Motivasi Pindah a. Mencari nafkah/kerja b. Ikut suami/istri/keluarga c. Fasilitas usaha/kehidupan yang memadai d. Rasa nyaman/keamanan e. Sekolah f. Lain-Lain Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer % 92.73 2.18 3.64 1.45 100.00

Hubungan wilayah di Kapet Bima, selain bersifat intra regional, inter regional juga internasional, hal ini tergambar dari migrasi penduduk ke berbagai negara seperti terlihat pada tabel 63. Tabel tersebut menjelaskan bahwa alasan utama perpindahan penduduk ke negara lain adalah untuk mencari nafkah/kerja yakni sebagai TKI/TKW di negara-negara berikut : Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan dan Jepang, sedangkan negara tujuan melanjutkan pendidikan adalah ke Australia. 1). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transportasi Darat Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung oleh hubungan antar wilayah yang saling berinteraksi. Hubungan tersebut dapat terjadi melalui jaringan transportasi (ketersediaan prasarana dan sara transportasi). Tabel 64 menjelaskan ketersediaan angkutan umum antar kota dalam propinsi, yang melewati jalur mulai dari Bima, Dompu, Sumbawa sampai

Mataram. Jalur ini melewati semua kota/kabupaten yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga tingkat mobilitas antara Kapet Bima dan kabupaten/kota lain berjalan cukup lancar dengan jumlah pergerakan penumpang lebih dari 549 orang dan jumlah barang lebih dari 5 ton per hari. Nilai ini baru berasal dari angkutan umum, belum termasuk angkutan pribadi dan angkutan barang.

124

Tabel 64 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKDP Di Kapet Bima Trayek Jmlh Kendaraan (Buah) Perkiraan Pergerakan Perhari Jml Penumpang Jml Barang (Org) (Kg) 2,768 2,392

No. 1

Dara-Dompu-Sumbawa 19 289 Besar-Mataram Dara-Tente-Dompu2 13 250 Sumbawa Besar Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder

Tabel 65 menjelaskan ketersediaan angkutan umum antar kota antar propinsi, yang melewati jalur mulai dari Bima, Lombok, Bali, Surabaya sampai Jakarta. Jalur ini melewati Propinsi NTB, Bali dan semua propinsi di Jawa kecuali Jawa Barat. sehingga tingkat mobilitas antara Kapet Bima dan Propinsi Lain yang ada di Jawa dan Bali berjalan cukup lancar dengan jumlah pergerakan penumpang lebih dari 199 orang dan jumlah barang 1.9 ton per hari artinya terdapat pergerakan arus penumpang sebanyak lebih dari 70 ribu orang pertahun dari dan ke Kapet Bima dengan Kota Lain di Jawa dan Bali khususnya daerah Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Nilai ini baru berasal dari angkutan umum, belum termasuk angkutan pribadi dan angkutan barang. Tabel 65 Jumlah Kendaraan dan Trayek Angkutan Umum (Roda 4 dan 6) AKAP Di Kapet Bima No. Trayek Jmlh Kendaraan (Buah) 10 47 Pergerakan Perhari Jml Penumpang Jml Brg (Org) (Kg) 46 153 437 1,466 1,903

1 2

Dara-Mataram-Surabaya Dara-Mtrm-SurabayaJakarta

Jumlah 57 199 Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer dan Data Sekunder

125

Gambar 11 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Darat Inter Regional Kapet Bima Dalam sistem jaringan transportasi nasional, Kapet Bima memegang peranan cukup penting. Untuk sistem transportasi darat, kota-kota dalam Kapet Bima dihubungkan melalui jalur kolektor primer. Selain itu, Bima juga merupakan salah satu simpul jaringan penyeberangan lintas selatan (JakartaSurabaya-Bali-Lombok-Sumbawa-Bima) yang terhubungan dengan kota-kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia, (dapat dilihat pada gambar 11 di atas).

2). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transportasi Udara Hubungan wilayah Kapet Bima dengan Kota lain di Indonesia juga didukung oleh ketersediaan jaringan transportasi udara. Tabel 66 menjelaskan bahwa pada tahun 2001 jumlah kedatangan sebanyak 734 kali, kemudian turun pada tahun 2002 sebanyak 642 kali namun sejak tahun 2003 meningkat menjadi sebanyak 898 kali dan tahun 2004 sebanyak 970 kali. Sedangkan jumlah

126

keberangkatan pesawat nilai dan perkembangannya hampir tidak berbeda dengan kedatangan pesawat.

Tabel 66 Lalu Lintas Pesawat dan Penumpang Di Bandara Udara Sultan Salahudin Kabupaten Bima Tahun 2001 2002 2003 Pesawat Datang Berangkat 734 642 898 734 697 898 Penumpang Berangkat 7,555 7,411 12,068

Datang 7,771 6,834 12,307

Transit 2,482 2,847 15,370 30,720

2004 970 970 18,165 18,286 Sumber : Kantor Bandar Udara Muhammad Salahudin Bima, 2005

Gambar 12 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Udara Inter Regional Kapet Bima Frekuensi kedatangan dan keberangkatan pesawat secara signifikan berkorelasi positif terhadap pergerakan penumpang. Pada tahun 2001 jumlah kedatangan penumpang sebanyak 7,771 orang dan yang berangkat 7,555 orang,

127

kemudian turun pada tahun 2002, yakni kedatangan penumpang sebanyak 6,834 orang dan yang berangkat sebanyak 7,411 orang, namun pada tahun 2003

mengalami peningkatan kedatangan penumpang sekitar dua kali lipat yakni sebanyak 12,304 dan yang berangkat sebanyak 12,068 orang. dan pada tahun 2004 tetap mengalami peningkatan, kedatangan penumpang sebanyak 18,165 dan yang berangkat sebanyak 18,286 orang. Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M. Salahuddin di Kabupaten Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara Nasional, yang pelayanannya meliputi beberapa kabupaten yang menghubungkan antara bandar udara utama dan kedua, yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram serta dengan Ende, Kupang, Labuan Bajo, Ruteng, Tambulaka dan Waingapu (dapat dilihat pada Gambar 12). Sistem transportasi udara memiliki karakteristik dengan tingkat mobilitas yang tinggi sehingga dapat mendorong akselerasi pertumbuhan sosialekonomi wilayah.

3). Hubungan Inter Regional Melalui Jaringan Transport. Laut Hubungan wilayah Kapet Bima dengan daerah lain yang tidak tercover oleh jalur transportasi darat dan udara dilayani oleh jaringan transportasi laut. Tabel 67 menjelaskan bahwa terdapat tiga pelabuhan laut utama di Kapet Bima yaitu pelabuhan laut Dompu, Bima dan Sape, namun pelabuhan laut Dompu lebih berfungsi sebagai tempat bongkar muat kayu sedangkan pelabuhan laut Bima dan Sape melayani arus penumpang dan barang.

Tabel 67 Rata-Rata Jumlah Kapal Yang Berkunjung, Jumlah Penumpang dan Bongkar Muat Barang Tiap Tahun Di Berbagai Pelabuhan Laut Di Kapet Bima
Pelab. Dompu Bima Sape Total Kunjgn Kapal (Kali) 42 2,344 551 2,937 Penumpang (Org) Turun 21,994 1,599 23,593 Naik 24 13,513 1,460 14,997 Barang (Ton) Bgkr Muat 95,797 143 95,940 200 50,362 324 50,886 Hewan (Ekor) Bgkr Muat 17,935 564 18,499 Kayu (m3) Bgkr Muat 1,545 193 1,738 5,799 5,799

Sumber : BPS Kabupaten Bima, Kabupate Dompu dan Kota Bima, 2004

128

Total kunjungan kapal laut di Kapet Bima adalah lebih dari 2,937 kali dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut Bima yakni sebanyak 2.344 kali pertahun, sedangkan total arus penumpang yang turun sebanyak lebih dari 23.593 orang dan yang berangkat lebih dari 14.997 dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut Bima yakni penumpang yang turun sebanyak lebih dari 21,994 orang dan yang berangkat lebih dari 13,513 orang. Adapun arus barang dengan total yang dibongkar 95,940 ton dan yang dimuat 50,362 ton, dan jumlah hewan yang dimuat lebih dari 18,499 ekor dengan freuensi tertinggi di Pelabuhan laut Bima. Sedangkan total kegiatan bongkar muatan kayu sebanyak 1,738 m3 dengan frekuensi tertinggi di pelabuhan laut Bima sebanyak dan yang dimuat sebanyak 1,545 m3 dan kegiatan muat kayu hanya di Pelabuhan Laut Dompu yakni sebanyak 5,799 m3.

Gambar 13 Arus Penumpang dan Barang Transportasi Laut Inter Regional Kapet Bima

Gambar 13 memberikan gambaran tentang arus penumpang dan barang melalui transportasi laut di Kapet Bima setidaknya berhubungan dengan 29 kota/daerah di indonesia, namun interaksi yang paling tinggi adalah dengan

129

kota/daerah di delapan propinsi yakni Propinsi Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, DKI Jakarta dan Papua.

Tabel 68 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima No. 1 Daerah Asal Surabaya Tujuan Bima Bima Total Barang (Ton) 5,778.75 3,918.00

2 Makasar Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 68 menjelaskan bahwa terdapat dua daerah yang dominan menjadi pemasuk barang. Daerah tersebut adalah Surabaya dan Makasar. Surabaya memasuk beberapa komoditi (total 5,778 ton pertahun) antara lain : minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak dan kayu lapis serta semen. Sedangkan dari Makasar adalah sebagai pemasuk beberapa komoditi (total 3,918 ton pertahun) antara lain : beras, gula pasir dan tepung terigu serta semen. Tabel 69 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Asal Dominan di Kapet Bima Daerah Asal 1 Maumere 2 Surabaya 3 Waingapu 4 Lab. Bajo 5 Makasar 6 Lembar 7 P. Komodo 8 Benoa Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder No. Jumlah Penumpang (Org) 1,416 252 2,475 2,603 10,476 1,152 312 1,302

Tujuan Bima Bima Bima Bima Bima Bima Bima Bima

Tabel 69 menjelaskan terdapat delapan daerah yang menjadi daerah asal dominan penumpang yang datang ke Kapet Bima. Daerah dimaksud adalah : maumere, Surabaya, waingapu, Labuhan Bajo, Makasar, Lembar, Pulau Komodo

130

dan Benoa dan daerah asal yang paling banyak kedatangan penumpang adalah Makasar rata-rata sebanyak 10,476 orang. Tabel 70 Rata-Rata Jumlah Arus Barang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima Daerah Asal 1 Bima 2 Bima 3 Bima 4 Bima 5 Bima 6 Bima Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder No. Tujuan Maumere Surabaya Makasar Banjarmasin Kupang Balikpapan Total Barang (Ton) 985 2,692 1,762 11,737 6,124 217

Tabel 70 menjelaskan bahwa terdapat tujuh daerah tujuan dominan arus barang dari Kapet Bima yakni : Maumere, Surabaya, Labuhan Bajo, Makasar, banjarmasin, NTT (Kupang) dan Balikpapan. Daerah tujuan yang paling tinggi jumlah arus barang dari Kapet Bima adalah Banjarmasin, NTT dan Makasar. Total barang dengan tujuan Banjarmasin adalah rata-rata sebanyak 11.737 ton pertahun, yakni terdiri dari beberapa komoditi antara lain : beras, kedelai, garam, kacang dan bawang merah. Total barang tujuan NTT (Kupang) adalah rata-rata lebih dari 6,124 ton pertahun, yang terdiri dari beberapa komoditi antara lain : beras, kedelai, garam dan bawang merah sedangkan total barang tujuan Makasar adalah rata-rata lebih dari 1,762 ton pertahun, yang terdiri dari beberapa komoditi antara lain : kedelai, garam, kacang dan bawang merah. Tabel 71 Rata-Rata Jumlah Realisasi Komoditi yang Diantarpulaukan Tiap Tahun di Kapet Bima No. 1. 2. 3. Komoditi Sapi Jantan Sapi Betina Kerbau Jantan Jumlah (ekor) 4.379 613 1.738 507 Daerah Tujuan - DKI Jakarta - Lombok - Jatim - Kalimantan

4. Kerbau Betina Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

131

Data pada tabel 71 di atas menjelaskan bahwa terdapat empat daerah utama sebagai pasar bagi komoditi peternakan yakni DKI Jakarta, Lombok, Jatim dan Kalimantan. Komoditi ternak terbanyak yang di eksport adalah Sapi Jantan sebanyak 4.379 ekor selanjutnya adalah kerbau jantan sebanyak 1,738 ekor.

Tabel 72 Rata-Rata Jumlah Arus Penumpang Tiap Tahun Melalui Pelabuhan Laut Berdasarkan Daerah Tujuan Dominan di Kapet Bima Daerah No. 1 2 3 4 5 6 7 Asal Bima Bima Bima Bima Bima Bima Bima Tujuan Maumere Benoa Waingapu Surabaya Lembar Lab. Bajo Makasar P. Komodo Jumlah Penumpang (Org) 1,077 834 927 267 229 1,762 7,736 277

8 Bima Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 72 menjelaskan bahwa terdapat delapan daerah tujuan dominan arus penumpang dari Kapet Bima yakni : Maumere, Benoa, Waingapu, Surabaya, Lembar Labuhan Bajo dan Makasar, serta Pulau Komodo, dan daerah tujuan yang paling tinggi jumlah arus penumpang dari Kapet Bima adalah Labuhan Bajo (1,762 orang pertahun) dan Makasar (7,736 orang pertahun), Maumere (1,077 orang pertahun), waingapu (927 orang pertahun) dan Benoa (834 orang pertahun). 5.4.2. Posisi Kapet Bima dalam Hubungan Wilayah Nasional Secara faktual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusantara khususnya di kawasan timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan dagang. Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang strategis. Teluk Bima disamping dianggap sebagai salah satu teluk yang terindah di Indonesia, juga merupakan tempat berlabuh yang aman. Bima menjadi kota jangkar yang menghubungkan antara kawasan Indonesia bagian barat (Jawa)

132

dengan Sulawesi dan kepulauan kepulauan Indonesia timur lainnya. Setiap armada dagang yang lalu lalang di perairan selat Sunda ke Timur umumnya melakukan transit di pelabuhan Bima, baik dalam rangka mengembangkan perdagangan maupun sekedar untuk berlindung dari serangan badai angin barat.

Gambar 14 Total Arus Penumpang dan Barang Inter Regional Kapet

Seperti terlihat pada gambar 14, Kapet Bima memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap berbagai kawasan strategis lainnya. Aktifitas sosial ekonomi kota dihubungkan secara rutin dan lantar oleh sarana/prasarana transportasi darat, laut dan udara. Melalui darat, tersedia 2 terminal utama (yakni terminal Dara Kota Bima dan terminal Ginte Kabupaten Dompu) dan dua sub terminal dengan dukungan 76 armada Bus antar kota dan antar pulau (ke Lombok, Bali dan Jawa). Melalui laut, didukung oleh pelabuhan laut Kota Bima dan armada kapal ferry dan PELNI yang cukup intensif ke berbagai pelabuhan yaitu Tanjung Perak, Ujung Pandang, Labuhan Bajo, Kupang dan Maumere. Sedangkan melalui udara

133

terdapat jalur pesawat udara jenis F27, F100 dan B737 ke Mataram NTB serta ke Denpasar, Surabaya dan Jakarta setiap hari.

5.4.3. Model Interaksi Spasial Interaksi antar wilayah (spasial) menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena adanya aktivitas yang dilakukan oleh penduduknya, sehingga terjadi mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan komoditas, mobilitas pelajar serta aktivitas ekonomi lainnya, seperti yang tergambar pada pembahasanpembahasan interaksi spasial sebelumnya di atas.

Tabel 73 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima
No.
I. 1. 2. 3. 4. II. 1. 2. 3. 4.

Model Grafitasi
Wil Asal (i) : Kapet Bima T1 ij = k. m1 i a .m1 j b . d ij -c T1 ij = k. m2 i .m2 j . d ij T2 ij = k. m1 i .m1 j . d ij
a b a b -c -c

k
-32.61 -31.39 -233.1

a
2.99 2.84 18.32 5.74 0.26 0.64** -66.15** 6.58

b
0.14 0.82** -0.50* -0.31* -2.18 0.16 39.98** -6.39

c
-0.51 -2.68** -0.002 -0.23 -0.89 -2.31** 93.74** -6.97

R Sq.
0.03 0.36** 0.41* 0.39* 0.08 0.29** 0.76* 0.58

T2 ij = k. m2 i a .m2 j b . d ij -c -70.46 Wil Tujuan (j) : Kapet Bima T1 ij = k. m1 i a .m1 j b .d ij -c T1 ij = k. m2 i .m2 j .d ij T2 ij = k. m1 i .m1 j .d ij T2 ij = k. m2 i .m2 j .d ij
a b a b a b -c -c -c

38.27 8.74 -164.4* 37.54

Sumber : Hasil Analisis *) Signifikan pada taraf = 0.10 **) Signifikan pada taraf = 0.05 dimana : = Wilayah asal i = Wilayah tujuan j T1 ij = Arus penumpang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (orang) T2 ij = Arus barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (ton) m1 i = Jumlah penduduk wilayah asal (orang) m1 j = Jumlah penduduk wilayah tujuan (orang) m2 i = Total nilai PDRB wilayah asal (Juta Rupiah) m2 j = Total nilai PDRB wilayah tujuan (Juta Rupiah) d ij = Jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) a,b,c = Koefisien peubah massa (m) wilayah asal, massa wilayah tujuan dan jarak. k = konstanta

134

Untuk melakukan pendugaan nilai

interaksi spasial di Kapet Bima

digunakan model grafitasi. Dengan menggunakan data pergerakan orang dan barang melalui jalur transportasi laut antara Kapet Bima dan berbagai daerah di Indonesia maka hasil pendugaan parameter model interaksi spasialnya adalah seperti yang terlihat pada tabel 73. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82), dimana setiap kenaikan 1 % PDRB daerah tujuan akan dapat meningkatkan arus penumpang dari Kapet Bima sebesar 0.82 % dan menurun sebesar 2.68 % seiring dengan penambahan jarak antar wilayah sebesar 1 %. Hasil estimasi model (I2) menunjukkan bahwa koefisien determinasi R2 = 0.36, artinya bahwa arus penumpang melalui transportasi laut dari Kapet Bima ke berbagai daerah di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabelvariabel dalam model sebesar 36 %, sedangkan sisanya sekitar 64 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Arus penupang dari Kapet Bima yang dominan adalah menuju MakasarSulawesi Selatan yakni mencapai 8,669 orang pada tahun 2003, pada tahun 2004 sebanyak 7,918 orang, pada tahun 2005 sebesar 6,798 orang dan pada tahun 2006 mencapai 7,575 orang. Arus penumpang ini melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis/perdagangan, melanjutkan pendidikan dan karena kegiatan kunjungan keluarga/kerabat. Tingginya dinamika dunia pendidikan di Makasar dengan banyaknya alternatif bidang ilmu yang ditawarkan disamping biaya hidup yang cukup murah telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dari Kapet Bima. Begitu pula dengan perkembangan ekonomi dan infrastruktur Kota Makasar, hal tersebut menjadi tarikan besar bagi arus migrasi dari Kapet Bima untuk mencari pekerjaan dan melakukan kegitan perdagangan. Arus barang dari Kapet Bima secara signifikan ditentukan oleh jumlah penduduk (b = -0.50, dengan nilai R2 = 0.41) dan PDRB wilayah tujuan (b = -0.31, dengan nilai R2 = 0.39), artinya setiap kenaikan jumlah penduduk dan PDRB daerah tujuan sebesar 1 % akan menurunkan arus barang dari Kapet Bima masing-masing sebesar 0,50 % dan 0.31 %.

135

Arus barang yang paling besar dari Kapet Bima adalah menuju ke berbagai daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur, selain itu juga menuju Makasar, Surabaya, Banjarmasin dan Balikpapan. Pada tahun 2006 saja arus barang menuju ke berbagai Propinsi Nusa Tenggara Timur yakni lebih dari 14,500 ton. Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan jarak antar wilayah (c = -2.31 , dengan nilai R2 = 0.29, dimana setiap peningkatan nilai PDRB 1 % akan meningkatkan arus penumpang sebesar 0.64 % dan tambahan jarak antar wilayah sebesar 1 % maka arus penumpang yang menuju Kapet Bima akan turun sebesar 2.31 %. Sedangkan arus barang yang menuju Kapet Bima secara siginifikan ditentukan oleh jumlah penduduk Kapet Bima dan daerah asal serta jarak antar wilayah (R2 = 0.76), dimana setiap kenaikan 1 % jumlah penduduk Kapet Bima dan jarak wilayah, maka secara signifikan menaikkan arus barang menuju Kapet Bima masing-masing sebesar 39.98 % dan 93.74 %, namun setiap kenaikan 1 % jumlah penduduk daerah asal, arus barang menuju Kapet Bima menurun sebesar 66.15 %. Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa hasil alam (komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam) sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar. Dari model gravitasi di atas terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional di Kapet Bima adalah merupakan refleksi dari pertumbuhan penduduk dan perubahan PDRB dari tiap wilayah. Implikasinya adalah searah dengan pertumbuhan penduduk, maka perlu dibangun berbagai infrastruktur pelayanan umum serta yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di Kapet Bima sesuai dengan keunggulan wilayah. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan pembangunan infrastruktur yang memadai akan mengakibatkan rendahnya kemampuan pelayanan sosial dan serapan tenaga kerja dalam wilayah yang dapat mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke daerah lain, baik dengan tujuan melanjutkan pendidikan maupun untuk mencari pekerjaan dan kehidupan

136

yang layak, sehingga pada akhirnya sumber daya manusia khususnya yang memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang baik akan semakin berkurang. Pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan karakter sumber daya lokal akan dapat menggerakkan ekonomi sektor riil. Rendahnya produktivitas ekonomi lokal karena tidak ditunjang oleh infrastruktur usaha yang memadai khususnya bagi kegiatan industri pengolahan sektor-sektor unggulan, sementara disisi lain keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi akan meningkatkan biaya transportasi dan transaksi yang dapat menurunkan daya kompetitif suatu komoditi wilayah.

5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah Penduduk daerah-daerah di wilayah Kapet Bima (Bima dan Dompu) merupakan pembauran antara induk ras Bangsa Melayu Purba dan Melayu Baru, sehingga antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang tajam. Mereka hidup terpencar/nomad di pesisir pantai, di pegunungan dan dataran tinggi. Mata pencaharian mereka bercocok tanam dengan berhuma. Mereka sudah mengenal alat-alat yang terbuat dari logam seperti tombak, sumpit, pisau dan parang.

pakaian dengan warna dasar putih, merah, dan biru melengkapi kehidupan mereka (Tajib, 1995). Melalui proses yang lama akhirnya mereka membentuk kelompok

berdasarkan keturunan pertalian darah yang menghuni suatu daerah tertentu. Kelompok seperti itu disebut masyarakat paguyuban yang dipimpin oleh seorang Ncuhi (kepala suku). Selanjutnya melalui musyawarah mufakat mereka membentuk semacam federasi antara Kerajaan Ncuhi (5 Kerajaan Ncuhi : Ncuhi Dara, Dorowoni, Banggapupa, Padolo dan Parewa) yakni Dewan Pemerintahan Federasi dibentuk dengan nama DARI NCUHI kemudian disebut DARI MBOJO Perkawinan Sang Bima (Tokoh yang datang dari Jawa) dengan puteri setempat melambangkan persatuan antara pendatang dengan penduduk setempat dengan penuh perdamaian. Selanjutnya melalui perkawinan dan pertimbangan lain, Dari Mbojo sepakat untuk mengangkat Sang Bima sebagai raja mereka.

137

Sejak kejadian itu, Federasi Ncuhi berubah statusnya menjadi kerajaan dan Sang Bima selaku raja pertama (de jure), namun ia tidak pernah memerintah secara langsung. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari (de facto) tetap dilakukan oleh Dari Mbojo pimpinan Ncuhi Dara. Selanjutnya Sang Bima kembali ke Jawa bersama anak istrinya. Selanjutnya pada tahun 823 H = 1420 M anak keturunan Sang Bima yakni Indra Zamrut dan Indra Komala datang dari Jawa ke Bima untuk melanjutkan kepemimpinan atas Kerajaan Bima (Tajib 1995). Kehidupan masyarakat Mbojo (Bima) dengan bercocok tanam sistem berkebun dan berhuma serta beternak merupakan kebiasaan sejak periode zaman Ncuhi tetap menjadi kegiatan pokok sampai pada masa pemerintahan raja ke-12, Raja Ma Waa Paja Longge. Dimungkinkan oleh lahan pertanian luas dengan penduduk sedikit, menyebabkan penduduk tidak terdorong untuk meningkatkan ketrampilan bercocok tanam dan beternak. Keadaan yang statis berdampak pula dalam struktur dan sistem pemerintahan. Hanya sedikit sekali pengaruh luar berperan dalam tata kehidupan masyarakat atau pola pikirnya. Kesemuanya itu dapat diduga bahwa kerajaan tidak mengalami perkembangan dan kemajuan. Perdagangan sebagai salah satu pintu kemajuan belum tumbuh apalagi berkembang. Tingkat kehidupan masyarakat berada pada tingkat yang amat sederhana. Titik Balik terjadi dalam abad XIV. Diawali dengan kebijaksanaan Raja Ma Waa Paju Longge. Raja melepaskan diri dari hidup isolasi dan berorientasi ke utara yakni ke Gowa. Hubungan Bima dan Gowa bukan hal baru atau kebetulan. Raja Bima dan Raja Gowa menurut silsilah adalah berasal dari moyang yang sama yaitu Maharaja Indra Palasar. Maharaja mempunyai 2 orang putera, masingmasing Indra Ratu menjadi cikal bakal raja-raja Luwu/Sarwigading dan Maharaja Tunggak Pandita menjadi cikal bakal raja-raja Bima. Jadi orientasi Raja Ma Waa Paju Longge pada dasarnya menghubungkan kembali mata rantai keluarga yang telah putus sekian lama. Kitab BO (1119 H-1709 H) melukiskan : Ketika kakaknya Raja Ma Waa Paju Longge menjadi raja maka Ma Waa Bilama dan Manggapo Donggo disuruh berguru di Kerajaan Manurung. Oleh Raja Manurung kedua anak raja ini diantar kepada orang sakti di Gunung Lampobatang, di tempat tersebut mereka belajar

138

selama tiga tahun. Setelah itu diajarkan juga tata cara pemerintahan di Kerajaan Gowa, setelah dianggap tamat, Rumata Manggapo Donggo pulang ke tanah Bima, sedangkan Ma Waa Bilmana mengembara seorang diri sampai ke Negeri Bone dan Luwu untuk berguru. Setelah tamat maka dia pun kembali ke tanah Bima. Pengalaman baru diperoleh yakni cara bercocok tanam dengan sistem irigasi, belajar pula tentang percetakan sawah, serta cara membuat bendungan dengan salurtan pengairan. Demikian pula tentang menggunakan bajak dan menanam padi di sawah. Pengetahuan dan pengalaman baru tersebut amat bermanfaat dalam upaya pengembangan dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang pada waktu itu masih berada pada tingkat yang amat sederhana. Pada masa pemerintahan Ma Waa Bilmana sebagai Bicara atau Tureli Nggampo dan Manggapo Donggo sebagai Raja Bima perbaikan di bidang ekonomi dan peningkatan keamanan negeri memperlihatkan keberhasilan, pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna tersusun, namun ancaman laten bagi negeri masih ada. Dipulau sebelah timur yaitu Pulau Flores dan khususnya wilayah Manggarai menjadi basis perompak/bajak laut, karena itu perlu tindakan penanganan yang tegas. Bicara Bilama menugaskan anaknya La Mbila dan La Ara untuk maksud itu sekaligus untuk menguasinya. Manggarai awalnya merupakan daerah kekuasaan Karaeng-Karaeng Gowa, namun Akhirnya La Mbila dan La Ara berhasil menguasai Manggarai. Dari Manggarai La Mbila kemudian meluaskan wilayah ke sebelah timur yakni Ende, Larantuka sampai Pulau Solor. Gerakan itu dilanjutkan ke arah selatan dengan menguasai pulau Sumba. pimpinan Hadat Bima di wilayah timur ini dipegang oleh Jena Luma Mbojo. Konsolidasi kekuasaan diseberang lautan itu berlangsung sampai Tahun 1064 H = 1657 M (Tajib 1995). Pada tahap permulaan, Bima mengadakan hubungan tradisional dengan Gowa. Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang Bima memperdagangkan beras dan hasil hutan. Jalur perdagangan Bima dan Gowa mulai ramai dan sejak saat itu Bima dikenal dan membuka hubungan dengan daerah lain di Indonesia. Komoditas dagang Bima berupa beras, hasil hutan, kain tenun diperdagangkan diberbagai pelabuhan di Indonesia.

139

Setelah tahun 1400 C (Tahun Saka) = 1478 M,

Kerajaan Majapahit

mengalami disintegrasi dan melemah, peranan Bandar Ujung Galuh sebagai pintu gerbang Majapahit dalam politik dan ekonomi di Nusantara berangsur-angsur hilang. Kegaitan perdagangan pindah ke daerah-daerah yang yang telah melepaskan diri dari majapahit. Kemudian daerah-daerah tersebut berkembang sendiri-sendiri dan khususnya sektor perdagangan diperankan oleh orang Jawa yang telah memeluk agama Islam. Menurut berita dari orang Portugis dan Belanda, pusat perdagangan tersebut berada di kota-kota pelabuhan disepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa. Bandar memainkan peranan sebagai bandar dagang transit yaitu bandar dagang perantara dalam perdagangan antar pulau di Nusantara, seperti Tuban, Gresik, Jepara dan Banten. Journal orang portugis mengatakan bahwa sekitar Tahun 1400, Gresik merupakan bandar utama tempat mengumpulkan rempahrempah asal Maluku. Gresik, Jaratan dan Sedayu adalah merupakan kota yang mengumpulkan rempah-rempah dari Maluku. Berita orang Belanda mengatakan bahwa kota tersebut mempunyai armada dagang yang besar sehingga dapat mengadakan hubungan dengan daerah-daerah yang lain. Pelayaran dilakukan sesuai dengan musim. Pada musim kemarau pelayaran menuju selat Malaka, Siam dan sebagainya. Sedangkan pada musim hujan menuju Bali, Bantam, Bima, Solor, Timor, Selayar, Buton dan sebagainya. Maluku melakukan impor langsung beras dari Jawa dan tambahannya dari Bima, kain tenun dari Bali, uang kepeng dan lain sebagainya, ditukar dengan rempah-rempah yang akan dijual kepada pedagang Cina dan India. Pusat-pusat perdagangan Jawa ternyata berkedudukan sebagai bandar perantara dalam perdagangan rempah-rempah dan lada. Hal ini dimungkinkan karena Jawa mempunyai persediaan beras yang cukup guna memenuhi kebutuhan Maluku, Malaka dan Sumatera Bagian Timur. Dalam journal orang Portugis dan Belanda, disebutkan bahwa barangbarang dari Bima, pada musim barat, beras, kain tenunan, hasil hutan diangkut ke Gresik, Banten dan ke Maluku melalui pelabuhan Gowa. Karena kebutuhan akan

140

beras semakin meningkat, maka pedagang Jawa berdagang langsung dengan Bima disamping dengan Gowa. Kedatangan Agama Islam di Bima dalam keadaan kemelut politik internal kerajaan. Di sana tiba para Mubaliq Islam kiriman Raja Gowa, terdiri dari orang Tallo, Bone, Luwu dan Gowa. Tentang kedatangan mubaliq Islam tersebut dalam Kitab BO tertulis : Hijratun Nabi S.A.W. 1028 (1617 M) Hari Bulan Jumadil awal telah datang di Pelabuhan Sape saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang Luwu dan Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan Cilo kain Bugis dan keris serta membawa Agama Islam. Selanjutnya kerajaan Gowa turut membatu Sultan Abdul Kahir (saat itu masih sebagai putera mahkota Kerajaan Bima) dalam menyelesaikan kemelut politik internal kerajaan dengan mengirim ekspedisi militer sampai tiga kali. Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H (1620 M), keempat keturunan Raja Bima masuk Islam, yakni : La Kai (Sultan Abdul Kahir, Sultan pertama), La Mbila (Jalaludin), Bumi Jara Sape (Awaludin), dan Manuru Bata (Sirajudin). Sehingga di mulai era Kesultanan Bima yang dibantu oleh dua ulama besar yaitu Abdul Makmur Datu Di Bandang dan Datu Di Tiro, yang berasal dari Sumatera Barat. Dalam rangka upaya peningkatan hubungan antara Gowa dan Bima, Sultan Muhammad Said (atau Malikussaid, Bapak dari Sultan Hasanudin) mengawinkan puterinya Karaeng Bonto Jene dengan Putera Mahkota Kerajaan Bima Abdul Khair Sirajuddin (Putera Sultan Abdul Kahir). Perkawinan berlangsung dalam tahun 1646 M. Keeratan hubungan kerajaan Bima dan Gowa juga terlihat dari keterlibatan laskar Bima membantu Gowa dalam berbagai peperangan, seperti saat Perang Bone Tahun 1646 (laskar Bima dipimpin langsung Sultan Abdul Khair Sirajudin), Perang Somba Opu Tahun 1660 melawan kompeni, Perang Buton Tahun 1666, Perang Somba Opu II Tahun 1666. Pada Tahun 1676 Putera Mahkota Nuruddin (putera Sultan Abdul Khair Sirajuddin) berada di Jawa Timur bergabung dengan lasykar Karaeng Galesong,

141

kemudian menjadi salah seorang pimpinan laskar dan menggabungkan diri dalam Perang Trunojoyo melawan pasukan Mataram yang dipayungi kompeni dibawah pimpinan Poleman. Nurudin bersama anak buahnya berada di Cirebon sejak Januari 1680-Maret 1681, melakukan kunjungan ke Istana Sunan Gunung Jati untuk memperdalam pengetahuan agama Islam. Hubungan Bima dengan Jawa sudah terbina sejak lama. Hubungan tersebut selain dalam bentuk hubungan perdagangan, politik, keagamaan namun juga hubungan kekerabatan. Selain pendiri Kerajaan Bima sendiri yakni Sang Bima yang menikah dengan puteri dari Bima, beberapa kajian sejarah menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro memiliki garis keturunan dari Bima seperti yang tercantum pada catatan kaki buku berjudul Asal Usul Perang Jawa karangan DR. Peter Carey, tertulis : Moyang perempuan Dipanegara, Ratu Ageng (Tegalrejo) (C.1735-1803) adalah puteri Ki Ageng Derpayuda, Kyai termashur awal abad 18 yang berdiam di kawasan Sragen di dekat Surakarta. Melalui ibunya Ni Agung Derpayuda, Ratu Ageng (Tegal Rejo) dilahirkan dalam generasi ketiga dari Sultan Bima di Pulau Sumbawa, kesultanan di Indonesia Bagian Timur yang tersohor ketaatannya pada Agama Islam, karena itu dalam diri Dipanegara mengalir darah Madura (dari neneknya Ratu Kedhaton) dan darah Bima. Pada dokumen lain yang berasal dari Raja-Raja Mataram ada disebutkan bahwa Kyahi Suleman Bekel Jamus (Surakarta) adalah putera Raja Bima dan lahir tahun 1601. Selain menjalin hubungan dengan berbagai daerah/kerajaan di wilayah Nusantara, Kesultanan Bima juga membina hubungan baik dengan negara-negara Timur Tengah (terutama dengan Dinas Utsmany yang dimulai sejak abad ke-18) khususnya dibidang pendidikan dan keagamaan. Pada masa Kesultanan Ibrahim, disamping membina Agama Islam di dalam-daerah, sultan Ibrahim mengirim pula pelajar dan mahasiswa ke luar daerah dan keluar negeri. Putera daerah yang cakap dikirim ke Bagdad, Mesir dan terutama ke Mekkah dan Madina dengan beasiswa kerajaan. Hasil hubungan baik antar negara/kerajaan ini, dari Bima telah lahir ulama-ulama besar kelas dunia seperti Syekh Abdulghani Al-Bimawi (Abad ke19). Syekh Abdulghani Al-Bimawi selain sebagai pengajar di Madrasah Haramayn, juga sekaligus sebagai Imam Masjid Haram Mekkah (Hamzah 2004).

142

Dalam garis genealogi (hubungan kekerabatan intelektual), Syekh Abdulghani Al-Bimawi merupakan salah satu moyang ulama Nusantara. Ia termasuk yang disebut Azra (1995) sebagai penyambung mata rantai jaringan ulama Nusantara abad 19 dengan Timur Tengah. Ia termasuk guru dari Syekh Nawawi Banten yang terkenal di Indonesia dan dunia Arab (Guru dari Syekh Nawawi Banten, yakni : Syekh Abdulghani Al-Bimawi, Khatib Sambas dan A.H. Daghestani). Sedangkan Syekh Nawawi sendiri merupakan guru dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyary (Dhofier 1982. diacu dalam Hamzah, 2004). Pada tahun 1900 Kesultanan Bima membangun sebuah rumah wakaf di Mekkah. Sumber dana untuk beasiswa dan pembangunan rumah wakaf tersebut diperoleh dari uang kehormatan sultan, hasil sawah jaminan sultan yang disebut dana pajakai dan dana ngaji. Rumah wakaf yang didirikan Sultan Ibrahim tersebut berlokasi di Jalan Gaza sebelah selatan Masjidil Haram. Hubungan dan kerjasama antar wilayah di Kapet Bima telah dilakukan sejak lama. Keberadaan kerajaan/kesultanan di Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-inter regional bahkan internasional. Hubungan tersebut tidak hanya bersifat sosial, namun juga bersifat ekonomi dan politik, serta memberikan pula dampak pada dinamika sosial, ekonomi dan politik wilayah.

5.5. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah Sebagai upaya mengatasi kesenjangan sekaligus mempercepat

pertumbuhan Kawasan Indonesia Timur yaitu dengan pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet Bima). Pembentukan dan fungsi peran Kapet mengalami beberapa kali perubahan (reposisi). Awal pembentukan Kapet berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian dilakukan perubahan dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000. Selain itu masingmasing Kapet memiliki Keppres pembentukannya, dan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima.

143

Pengelolaan Kapet Bima melibatkan berbagai pihak, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah dan masyarakat. Secara garis besar setidaknya terdapat enam pelaku (stakeholders) yaitu : BP Kapet Bima, Pemda Propinsi NTB, Pemerintah Daerah kabupaten/Kota (Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima), Pemerintah Pusat, Swasta, Lembaga Masyarakat. Tiap pelaku memiliki fungsi dan peran masing-masing. Fungsi

stakeholders/lembaga menyangkut tugas dan kewajiban serta kewenangan yang dimilikinya. Fungsi suatu stakeholders atau lembaga akan menentukan tingkat pengaruhnya terhadap lingkungan atau wilayahnya. sehingga jika stakeholders yang memiliki fungsi yang besar kemudian melaksanakan (memerankan) fungsinya tersebut maka akan memberikan pengaruh yang besar pula terhadap lingkungan atau wilayahnya. Sedangkan peran atau keterlibatan

stakeholders/lembaga menyangkut aktivitas atau aktualisasi dari fungsi yang dimiliki masing-masing stakeholders yang berdampak pada pengembangan wilayah Kapet Bima. Berdasarkan persepsi stakeholders maka dapat dinilai tingkat pengaruh (fungsi) dan keterlibatan masing-masing stakeholders itu sendiri. Penilai dilakukan dengan memberikan peringkat. Nilai 1 (satu) diberikan kepada stakeholders yang memiliki tingkat pengaruh atau keterlibatan yang paling rendah, sehingga semakin tinggi nilainya yang diberikan maka semakin tinggi pula tingkat pengaruh atau keterlibatan stakeholders tersebut. Pada tabel 74 terlihat bahwa yang memiliki fungsi yang secara relatif paling besar pengaruhnya terhadap pengembangan Kapet Bima adalah Pemerintah Daerah Propinsi NTB dalam hal ini adalah gubernur dan jajarannya (Tingkat Pengaruh = 6) karena dan yang memiliki fungsi yang secara relatif paling kecil pengaruhnya terhadap pengembangan Kapet Bima. Adapun yang memiliki tingkat keterlibatan yang secara relatif paling besar melalui implementasi program kerja yang sudah dilaksanakan adalah Pemda kabupaten/Kota yang ada di Kapet Bima (Tingkat Keterlibatan = 6), Sedangkan yang paling rendah adalah BP Kapet Bima.

144

Tabel 74 Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima No. 1 2 3 4 5 Stakeholders BP Kapet Bima Pemda Propinsi NTB Pemda Kab/Kota Pemerintah Pusat Swasta Tk. Pengaruh 2 6 5 1 4 3 Tk. Keterlibatan 1 3 6 2 4 5

6 Lembaga Masyarakat Sumber : Hasil Analisis Dari Data Primer

Keberadaan stakeholders tersebut di atas tidak terlepas dari peraturan yang mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan Kapet itu sendiri. Pada tahun 1996, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi terpadu (Kapet) selanjutnya diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998. Keppres tersebut merupakan dasar hukum pertama bagi pengembangan Kapet secara operasional. Keppres tersebut menjelaskan bahwa penetapan kebijakan dan pelaksanaan koordinasi kegiatan pembangunan di Kapet dilakukan oleh tim pengarah. Tim ini terdiri dari unsurunsur Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia dan unsur-unsur Pemerintah Daerah. Pada pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Kapet di lakukan oleh Badan Pengelola Kapet yang terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ketua dan Wakil Ketua BP Kapet diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Tim Pengarah. Wakil Ketua BP Kapet sekaligus berfungsi sebagai Pelaksana Harian BP Kapet dan berkedudukan di lokasi Kapet yang bersangkutan. Sedangkan anggota BP Kapet diangkat dan diberhentikan oleh Tim Pengarah atas usul Ketua

BP Kapet. Dalam pelaksanaan tugas BP Kapet sehar-hari, Pelaksana Harian BP Kapet dibantu oleh beberapa direktur dan staff. Dalam Keppres masing-masing Kapet disebutkan bahwa BP Kapet bertugas mengendalikan dan mengawasi kegiatan pembangunan di wilayah Kapet berdasarkan rencana induk pengembangan yang ditetapkan oleh Tim Pengarah

145

sesuai dengan Rencana Tata Ruang Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah. BP Kapet menyelenggarakan fungsi : (1) melaksanakan Rencana Induk Pengembangan Kapet yang telah ditetapkan oleh Tim Pengarah. (2) Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan industri perdagangan dan jasa di wilayah Kapet. (3) Memberikan dan mengendalikan perijinan usaha berdasarkan limpahan wewenang dari instansi terkait dalam rangkan pelayanan satu atap. Pada tahun 2000 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan ekonomi Terpadu (Kapet). Menurut Keppres ini bahwa kelembagaan pengelolaan Kapet terdiri dari tiga lembaga terkait, yakni dua lembaga pengelola di tingkat pusat dan satu lembaga pengelola di daerah. Ketiga lembaga tersebut adalah : (1) Badan Pengembangan Kapet. Lembaga ini diketuai oleh Menko

Perekonomian, wakil Ketua Menkimpraswil dan Sekretaris Ketua Bappenas. Anggota Badan ini adalah sembilan menteri kabinet dan kepala BPN. (2) Tim teknis, tim ini diketuai oleh Menteri pemukiman dan prasarana wilayah dan anggota akan ditentukan kemudian oleh Badan Pengembangan Kapet. (3) Badan Pengelola Kapet, berkedudukan di lokasi Kapet, diketuai oleh gubernur. Badan ini terdiri dari wakil ketua dan anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. Adapun tugas masing-masing lembaga ini di atur dalam Keppres dengan uraian sebagai berikut : (1) Tugas Badan pengembangan Kapet memberikan usulan kepada presiden untuk kawasan yang akan ditetapkan sebagai Kapet setelah memperhatikan usulan dari gubernur yang bersangkutan. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional untuk mepercepat pembangunan Kapet. Merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk mendorong dan

mempercepat masuknya investasi dunia usaha di Kapet.

146

Mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan pembangunan Kapet.

(2) (3) -

Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan Kapet. Tugas Tim Teknis Membantu tugas Badan Pengembangan Kapet. Melakukan pembinaan teknis terhadap Badan Pengelola Kapet. Tugas Badan Pengelola membantu pemerintah daerah dengan memberikan pertimbangan teknis bagi permohonan perijinan kegiatan investasi pada Kapet. Perubahan peraturan (Keppres) tentang Kepet memberikan dampak pada

perubahan struktur kelembagaan pengelolaan Kapet serta fungsi-tugas dari kelembagaan itu sendiri. Pada Keppres Nomor 89 Tahun 1996 jo. Nomor 9 Tahun 1998 terdapat hirarki yang lebih tegas mulai kelembagaan tingkat pusat sampai tingkat daerah dengan otorita (kewenangan) yang lebih besar khususnya Kepada BP Kapet di tingkat daerah, misalnya mengembangkan dan mengendalikan serta perijinan dalam kegiatan pembangunan Kapet. Sedangkan didalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000, kelembagan pengelolaan Kapet kurang didukung oleh struktur hirarki dan kewenangan yang jelas seperti tugas Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang (hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian perijinan investasi). Padahal secara hirarki, tugas kelembagaan yang semakin rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Adapun gambaran posisi stakeholders dalam kuadran kartesius berdasarkan tingkat pengaruh dan peran di dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dijelaskan dengan gambar 15. Dari gambar 15,

stakeholders/kelembagaan dibagi dalam empat kuadran. Kuadran I, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh (kewenangan) yang relatif rendah namun memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif tinggi, yang masuk dalam kuadran ini adalah kelembagaan masyarakat. Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu dilibatkan bukan hanya dibutuhkan perannya dalam pelaksanaan pembangunan, namun juga dibutuhkan keterlibatannya dalam perencanaan dan

147

mengambil bagian dalam menyusun kebijakan serta pengawasan dan evaluasi, yakni antara lain melalui upaya pemberdayaan.

Tingkat Kepentingan dan Peran Stakeholders Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders
T k K e t e r l i b a t a n

7 6 5 4 3 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 Tingkat Kepentingan Tingkat Pengaruh Pem Pusat

I
Lbg Masy Swasta

PemKab

II
PemProv

T in g ka t P e ra n

IV

BP Kapet

III

Gambar 15 Tingkat Pengaruh dan Peran Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima Kuadran II, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh yang

relatif tinggi serta memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif tinggi, yang masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah daerah kabupaten/Kota dan swasta. Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu dikoordinir dan disinergi potensi yang dimiliki secara lebih optimal, seperti melalui kemitraan dan atau kerjasama antar daerah dan swasta. Kuadran III, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh (kewenangan) yang relatif tinggi namun memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif rendah. yang masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah daerah Propinsi. Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu di dorong agar berperan lebih besar dengan menggunakan pengaruh dan atau kewenangan yang dimilikinya

148

untuk pengembangan wilayah Kapet Bima, baik karena jabatan Gubernur (kepala daerah propinsi) secara ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom yaitu kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004), yang melaksanakan fungsinya dalam mengelola sumber daya wilayah lingkup propinsi, serta melakukan koordinasi dan fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam lingkup propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004). Kuadran IV, merupakan kuadran yang memiliki tingkat pengaruh yang

relatif rendah serta memiliki tingkat peran (keterlibatan) yang relatif rendah, yang masuk dalam kuadran ini adalah Pemerintah pusat dan BP Kapet Bima. Sehingga pelaku dalam kuadran ini perlu memiliki ketegasan fungsi tugasnya melalui peraturan yang jelas untuk hal tersebut. serta memiliki program kerja yang

efektif bagi pengembangan wilayah Kapet Bima, baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Perubahan kebijakan pemerintah pusat terkait keberadaan Kapet dan pengelolaannya seperti yang tertuang dalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000, berimbas pada kelembagaan dan pengelolaan Kapet yang tidak jelas. Karena struktur hirarki Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang dan kewenangannya hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian perijinan investasi, padahal secara hirarki, kelembagaan pada level yang semakin rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Dengan memperhatikan berbagai permasalahan dan kebutuhan pengembangan wilayah di atas, maka reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dapat didorong untuk melaksanakan fungsinya sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) di bidang pengembangan ekonomi, industri dan perdagangan. Tugas Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) diarahkan untuk melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan masukan atau saran secara lebih efektif kepada kepada masing-masing Kepala Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang kerja sama dimaksud.

149

Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut terintegrasi dengan program pembangunan wilayah masing-masing daerah sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN dan atau dari pihak ketiga. Dalam era Otonomi Daerah, implementasi Kapet harus bersinergi dengan instansi Pemerintah Daerah yang terkait, pihak swasta dan masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan kegiatan. Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 telah mempengaruhi dinamika demokrasi, sosial politik dan ekonomi daerah termasuk didalamnya perubahan struktur kelembagaan pengelola Kapet Bima (yang meliputi Pemerintah Propinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Dompu, Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima serta Badan Pengelola Kapet Bima). Berbagai hal tersebut membawa implikasi pada interaksi institusi dan kebijakan pembangunan kawasan yang memerlukan pendekatan yang bersifat holistik. 5.6. Strategi Pengembangan Wilayah 5.6.1. Persepsi Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah Paradigma pembangunan telah mengalami perubahan dari yang cenderung bersifat top-down ke arah kecenderungan yang bersifat bottom-up. Paradigma terakhir ini menekankan perlunya keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses pembangunan baik pada level perencanaaan, pelaksanaan dan pengawasan pada berbagai tingkat partisipasi. Dalam menyusun strategi pengembangan wilayah, stakeholders memiliki persepsi berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman yang dilalui dalam ruang dan waktunya masingmasing.

150

a. Pendekatan Strategi Dalam Pengembangan Wilayah Dalam pengembangan wilayah yang demikian kompleks, serta melibatkan banyak pihak, maka perlu dilakukan secara holistik dan terpadu. Sementara di sisi lain, ego sektoral, ego kewilayahan dan ego institusi yang berjalan sendiri-sendiri adalah sebagai penghambat sekaligus menciptakan inefisiensi dalam pembangunan. Sehingga solusi alternatif adalah adanya

keterpaduan antar sektor, antar wilayah dan antar institusi di dalam pengembangan wilayah. Dalam tabel 75 berikut dijelaskan persepsi stakeholders tentang pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima, yang telah diolah dengan menggunakan Analisi Hirarki Proses (Aplikasi Program Expert Choice 2000).

Tabel 75 Persepsi Stakeholders tentang Pendekatan Strategi Pengembangan Wilayah di Kapet Bima No. Komponen Priorities With Respect To: Goal: Strategi Pengembangan Wilayah 1 2 Keterpaduan Antar sector Keterpaduan Antar Wilayah 0.211 0.188 0.601 2 3 1 Bobot Prioritas

3 Keterpaduan Antar Institusi Sumber : Hasil Analisis dari Data Primer

Dari Tabel 75 tergambar persepsi stakeholders tentang prioritas pendekatan strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima. Keterpaduan antar institusi (bobot 0.601) merupakan pendekatan yang perlu menjadi prioritas utama, sedangkan keterpaduan antar sektor (bobot 0.211) merupakan prioritas ke-2 dan keterpaduan antar wilayah (bobot 0.188) adalah prioritas ke-3. Keterpaduan antar institusi merupakan suatu interaksi antar institusi dengan penekanan pada aspek koordinasi dan sinergi setiap gerak-langkah masing-masing pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dengan adanya keterpaduan antar institusi menjadi prasyarat yang sekaligus memiliki dampak

151

yang besar untuk terlaksananya keterkaitan antar sektor dan keterkaitan antar institusi. Keterpaduan antar sektor merupakan keterkaitan aktivitas dan hubungan fungsional antar sektor, sehingga setiap kegiatan secara sektoral akan dapat menggerakan secara total kegiatan sektor lainnya baik disisi hulu maupun disisi hilir. Keterpaduan antar wilayah merupakan suatu bentuk pola interaksi

wilayah yang saling menunjang dan dalam saling memenuhi kebutuhan pada setiap wilayah, dimana perkembangan suatu wilayah akan dapat mendorong perkembangan wilayah lainnya. Keterpaduan antar wilayah bersifat saling menguntungkan (spread effect) apabila keterpaduan antar institusi dan keterpaduan antar sektor dapat berjalan dengan baik.

b. Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Berbagai pendekatan strategi pengembangan wilayah membutuhkan dukungan sumber daya wilayah yang memadai. Sumber daya dibutuhkan sebagai input (baik langsung atau tidak langsung) dalam pembangunan atau yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) proses produksi atau penyediaan barang dan jasa. Menurut Rustiadi (2005) sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber daya jika : (1) manusia telah memiliki atau menguasai teknologi untuk

memanfaatkannya, dan (2) adanya permintaan untuk memanfaatkannya. Sumber daya selalu memiliki sifat langka (scarcity) dan memiliki guna (utility) melalui suatu aktivitas produksi atau melalui penyediaan berupa barang dan jasa. Prinsip-prinsip kelangkaan sumber daya membutuhkan adanya suatu strategi yang menjamin ketersediaan dan sistem alokasi yang tepat. Karena sifat dasar manusia memiliki keinginan yang tinggi, setidaknya terdapat rencana dan capaian pengembangan wilayah yang progresif dibanding periode waktu sebelumnya, sedangkan di sisi lain ketersediaan sumber daya sangat terbatas dan cenderung tidak merata. Hal ini membutuhkan pilihan prioritas dan model pengelolaan sumber daya yang tepat sehingga tercapai optimalisasi pembangunan dalam konteks spasial. manfaat

152

Secara garis besar terdapat enam komponen sumber daya wilayah yakni sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), sumber daya sosial (SDS), sumber daya finansial (SDF) dan sumber daya institusi (SDI). Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing komponen sumber daya dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada tabel 76. Berdasarkan persepsi stakeholders, dukungan sumber daya yang paling penting adalah ketersediaan institusi/kelembagaan yang dapat mendorong pengembangan wilayah secara lebih efektif (bobot sumber daya institusi yakni 0.3440), kemudiaan berturut-turut adalah sumber daya manusia (bobot 0.2192), sumber daya finansial (bobot 0.1436), sumber daya alam (bobot 0.1288), sumber daya sosial (bobot 0.0835) dan terakhir sumber daya buatan (0.0809).

Tabel 76 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Sumber Daya Dalam Pengembangan Wilayah Di Kapet Bima Sumber Daya SDM SDA SDB SDS SDF SDI Jumlah Keterpaduan Sektor 0.0450 0.0766 0.0206 0.0065 0.0291 0.0332 0.2110 Keterpaduan Keterpaduan Wilayah Institusi 0.0380 0.0307 0.0204 0.0080 0.0323 0.0586 0.1880 0.1361 0.0216 0.0399 0.0691 0.0822 0.2521 0.6011 1 Jumlah 0.2192 0.1288 0.0809 0.0835 0.1436 0.3440 1.0000 Prioritas 2 4 6 5 3 1

Prioritas 2 3 Sumber : Hasil Analisis dari Data Primer

Peran kelembagaan sangat penting dalam pengembangan wilayah, karena penguasaan dan pengelolaan sumber daya sangat ditentukan oleh jumlah dan bentuk serta sistem kelembagaan yang terlibat dalam suatu wilayah. Kelembagaan (institution) adalah sebagai kumpulan aturan main (rules of game) dan organisasi berperan penting dalam mengatur penggunaan dan alokasi sumber daya secara efisien, merata dan berkelanjutan.

153

c. Komponen Sumber Daya Kelembangaan/Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang di atur oleh sistem kelembagaan atau aturan (behavior rule), didalamnya termasuk tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari tiap organisasi. Secara garis besar terdapat 6 (enam) subkomponen kelembagaan yang terlibat dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni BP Kapet Bima, Pemda Propinsi NTB, Pemda Kabupaten, Pemerintah, Swasta dan Lembaga Masyarakat. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing subkomponen sumber daya institusi dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 16 berikut.

Bp Kapet 0.40 0.30 Lbg masy. 0.20 0.10 Pemprov

Swasta

Pemkab

Pempusat

Gambar 16 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Institusi Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima Dari gambar 16 di atas terlihat bahwa Pemerintah Daerah Propinsi NTB memiliki fungsi-peran yang yang sangat penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.308, disusul pemda kabupaten/kota (bobot 0.219), swasta (0.174), Lembaga masyarakat (bobot 0.135), BP Kapet (bobot 0.118) dan terakhir Pemerintah Pusat (bobot 0.047).

154

Era otonomi daerah telah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di bawahnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah Propinsi memiliki posisi strategis didalam

pengembangan wilayah Kapet Bima karena memiliki kewenangan Desentralisasi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, memfasilitasi dan mengkoordinir pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dalam lingkup wilayahnya, serta memiliki kewenangan Dekonsentrasi yang merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. wakil

d. Komponen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Konsep pembangunan menghendaki adanya peningkatan kualitas hidup penduduk baik secara fisik, mental maupun spiritual, dan secara eksplisit makna pembangunan adalah menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia secara fisik dan mental, dalam hal ini posisi manusia sebagai objek pembangunan, yang mengandung makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berkelanjutan, dan dalam konteks ini posisi manusia adalah sebagai subjek pembangunan. Secara garis besar terdapat empat subkomponen sumber daya manusia dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni jumlah penduduk, pendidikan, pekerjaan dan kesehatan. Dari gambar 17 terlihat bahwa lapangan pekerjaan merupakan penentu utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.467, sehingga setiap penduduk berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan penduduk untuk mencapai tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang lebih baik. Selanjutnya disusul subkomponen kesehatan yang memiliki pengaruh dengan peringkat ke-2 (bobot 0.268), disusul kesehatan (bobot 0.215) dan terakhir jumlah penduduk (bobot 0.049).

155

Jumlah Pddk 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 Kesehatan Pendidikan

Lapangan Kerja
Gambar 17 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima e. Komponen Sumber Daya Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Berbagai aktivitas penduduk dan pembangunan wilayah tidak dapat terlepas dari dukungan finansial (keuangan), baik berasal dari masyarakat, swasta (pengusaha) maupun dari pemerintah. Tersedianya finansial yang cukup akan dapat membantu pembiayaan pembangunan serta dapat menggerakkan

aktivitas/perekonomian riil di masyarakat. Secara garis besar terdapat tiga subkomponen sumber daya finansial dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni modal asing, modal dalam negeri dan modal dalam Kapet. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing subkomponen sumber daya finansial dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 18. Dari gambar 18 terlihat bahwa modal dalam negeri merupakan

subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.565, disusul modal dalam Kapet (bobot 0.347), dan terakhir modal asing (bobot 0.088).

156

Modal asing 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 -

Modal dlm Kapet

Modal dlm negeri

Gambar 18 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Finansial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima Sampai Tahun 2005 di Kapet Bima tidak terdapat kegiatan penanaman modal asing (PMA) hal ini dapat dimengerti karena secara nasionalpun pergerakan modal asing ke dalam negeri mengalami kelesuan. Sedangkan disisi lain pergerakan keuangan yang berasal dari dalam Kapet Bima sendiri masih didominasi oleh belanja atau investasi pemerintah. Sehingga harapan besar adalah pada modal dalam negeri baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun swasta untuk dapat menggerakkan pembangunan khususnya bagi perkembangan ekonomi wilayah di Kapet Bima.

f. Komponen Sumber Daya Alam Dalam Pengembangan Wilayah Sumber daya alam merupakan sumber daya yang essensial bagi kelangsungan hidup manusia dan sumber daya alam tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia namun juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraan penduduknya dan pengembangan suatu wilayah. Tiap wilayah memiliki karakteristik sumber daya alam yang berbeda-beda sebagai faktor bawaan (endowment). Pengelolaan sumber daya alam harus dapat dilakukan dengan baik dan tepat untuk dapat memberikan manfaat berupa kesejahteraan dan kemajuan suatu wilayah dengan tidak mengorbankan kelestarian sumber daya alam itu sendiri.

157

Secara garis besar terdapat lima subkomponen sumber daya alam dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni lahan dan air, perikanan dan kelautan, industri-pertambangan, sumber daya hayati dan panorama wisata. Dari gambar 19 terlihat bahwa lahan dan air merupakan subkomponen dominan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.493, disusul perikanan dan kelautan (bobot 0.258), panorama alam dan wisata (bobot 0.096), industri dan pertambangan (bobot 0.089) dan terakhir sumber daya hayati (bobot 0.064).

Lahan dan air 0.50 0.40 0.30 Panorama wisata 0.20 0.10 Perikanan&kelautan

Sd hayati

Industri&pertambangan

Gambar 19 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Alam Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima Sumber daya lahan dan air memiliki nilai strategis dalam hidup dan kehidupan manusia karena merupakan tempat hidup, beraktivitas dan melanjutkan generasi dan peradaban manusia. Di Kapet Bima, di atas lahan dan air penduduknya memanfaatkan ruang wilayah untuk pemukiman. Selain itu untuk kegiatan bercocok tanam, peternakan dan perkebunan, melakukan kegiatan industri, perdagangan dan jasa, serta yang paling penting keberadaan lahan dan air adalah sebagai komponen hulu sekaligus hilir dalam suatu ekosistem besar wilayah dan bumi dalam skala luas. g. Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Sumber daya sosial adalah segala aspek sebagai hasil interaksi sosial dalam suatu komunitas yang memberikan pengaruh atau manfaat baik secara

158

langsung atau tidak langsung dalam aktivitas pembangunan wilayah. Sedangkan Putnam (1993) mendefisikan sumber daya sosial sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak secara bersama dan secara sinergik kearah kinerja yang lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Secara garis besar terdapat empat subkomponen sumber daya sosial dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni adat istiadat, hubungan masyarakat, keamanan dan mobilitas masyarakat. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing subkomponen sumber daya sosial dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 20.

Adat istiadat 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 -

Mobilitas masy.

Hub. masy.

Keamanan

Gambar 20 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Sosial Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima Dari gambar 20 terlihat bahwa keamanan merupakan subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.409, karena keamanan menentukan tingkat stabilitas yang menjadi prakondisi bagi segala aktivitas di suatu wilayah. Kemudian sub komponen penentu lainnya adalah hubungan masyarakat (bobot 0.283), adat istiadat (bobot 0.211), dan terakhir mobilitas masyarakat (bobot 0.097).

h. Komponen Sumber Daya Buatan Dalam Pengembangan Wilayah Sumber daya buatan/infrastruktur merupakan sumber daya yang

mendorong peningkatan nilai sumber daya seperti dalam kegiatan produksi dan

159

pengolahan hasil sumber daya alam, meningkatkan produktivitas kerja sumber daya manusia yakni dengan menggunakan alat/mesin dan berwujud bangunan serta meningkatan mobilitas dan interaksi dengan adanya jalan, pasar, tempat ibadah atau perkantoran. Secara garis besar terdapat lima subkomponen sumber daya

buatan/infrastruktur dalam pengembangan wilayah di Kapet Bima yakni infrastruktur sosial dan budaya, ekonomi dan perdagangan, transportasi dan terakhir informasi dan komunikasi. Adapun gambaran bobot dan peringkat masing-masing subkomponen sumber daya buatan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dapat dilihat pada gambar 21.

Sosbud 0.50 0.40 0.30 Iptek 0.20 0.10 Ekon&perdgn

Inkom

Transportasi

Gambar 21 Persepsi Stakeholders Tentang Dukungan Komponen Sumber Daya Infrastruktur Dalam Pengembangan Wilayah Kapet Bima Dari gambar 21 terlihat bahwa infrastruktur ekonomi dan perdagangan merupakan subkomponen yang paling penting dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yakni dengan bobot 0.434, disusul infrastruktur transportasi (bobot 0.249), infrastruktur sosial dan budaya (bobot 0.140), infrastruktur informasi dan komunikasi (bobot 0.125) dan terakhir infrastruktur Iptek (bobot 0.052). Di Kapet Bima infrastruktur transportasi dan sosial budaya relatif tersedia dibandingkan infrastruktur lainnya, namun yang masih terbatas adalah

infrastruktur ekonomi dan perdagangan, seperti untuk kegiatan industri,

160

perdagangan di tingkat perdesaan (pasar desa), pasar komoditi, pusat grosir serta pusat-pusat perdagangan lainnya. Padahal infrastruktur ini memberikan dampak yang besar bagi aktivitas penduduk khususnya pada berbagai sektor ekonomi di wilayah Kapet Bima.

5.6.2. Lingkungan Strategis Dalam Pengembangan Wilayah Kajian lingkungan strategis penting untuk dilakukan, karena keberhasilan dalam pengembangan suatu wilayah terkait erat dengan kemampuan mengelola lingkungannya baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Pada analisis SWOT ini juga dimasukkan hasil analisis pada pembahasan sebelumnya sebagai bagian dari komponen analisis strategi ini sehingga diharapkan adanya sintesa analisis untuk dapat merumuskan dan menentukan strategi yang tepat.

a. Aspek Internal Lingkungan internal terdiri dari dua faktor, yaitu kekuatan dan kelemahan. Analisis lingkungan internal dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi elemen-elemen yang menjadi faktor kekuatan (strength) dan faktor kelemahan (weakness).

1). Kekuatan Kekuatan-kekuatan yang diidentifikasi mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima. (1) Tersedianya lahan yang masih luas untuk pengembangan pertanian, industri dan pengembangan kawasan terbangun lainnya (2) Luas Lautan mencapai 12,180.96 Km2 (63.77 % dari total luas wilayah Kapet Bima) (3) Memiliki berbagai potensi pengembangan wilayah, meliputi komoditi pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan dan peternakan, pariwisata dan sumber daya hayati (4) Pertumbuhan ekonomi Kapet Bima sebesar 4.45 % di atas pertumbuhan Propinsi NTB yang hanya mencapai 3.64 %, sedangkan Total PDRB Kapet Bima mencapai Rp.2.61 trilyun, dengan kontribusi 46.31 % berasal dari

161

sektor pertanian, 16.03 % dari sektor perdagangan, hotel dan restoral sedangkan 14.82 % berasal dari sektor jasa-jasa (5) Tersedianya sarana dan prasarana sosial dasar dan transportasi yang menghubungkan antar daerah dalam wilayah Kapet Bima serta ketersediaan pelabuhan laut dan bandara udara serta transportasi darat untuk berhubungan dengan luar wilayah (6) Struktur penduduk Kapet Bima dominan berusia produktif (59.21 %),

dengan tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan di Kapet Bima lebih tinggi dari pada Propinsi NTB, dimana yang tidak/belum pernah sekolah di Kapet Bima adalah sebanyak 9.11 % sedangkan Propinsi NTB sebanyak 10.57 %. Penduduk Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas adalah 39.02 %, di atas rata-rata Propinsi NTB yang baru mencapai 28.46 % (7) Memiliki nilai budaya/kearifan lokal terkait dengan kepemimpinan dan pengelolaan wilayah (8) Berdasarkan analisis IO Kapet Bima, terdapat 8 sektor yang memiliki daya tarik yang kuat terhadap sektor lainnya, yakni peternakan, industri pengolahan, listrik, bangunan, hotel dan restoran, bank dan lembaga keuangan bukan bank, jasa pemerintahan, serta jasa swasta. Terdapat 7 sektor yang memiliki daya dorong yang kuat terhadap sektor lainnya yakni tanaman bahan makanan, perikanan, industri pengolahan, perdagangan, angkutan, pos dan telekomunikasi, bank dan lembaga keuangan bukan bank. Sedangkan berdasarkan analisis LQ terdapat 5 sektor yang menjadi sektor basis, yakni tanaman bahan makanan, peternakan, kehutanan, perikanan, dan air bersih. (9) Interaksi spasial (mobilitas masyarakat dan arus barang dan kendaraaan) yang cukup tinggi baik intra maupun inter regional (10) Sekitar 89.42 % kebutuhan hidup dan usaha penduduk Kapet Bima saat ini cukup tersedia dalam kabupaten masing-masing, dimana produk-produk hasil kegiatan industri sebagian besar langsung didatangkan dari Surabaya dan Makasar (11) Berdasarkan analisis stakeholders, Pemerintah kabupaten/kota dan swasta memiliki tingkat pengaruh yang tinggi dan bersama berbagai elemen

162

masyarakat memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam mendukung pengembangan wilayah di Kapet Bima

2). Kelemahan Kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima. (1) Sebagian besar wilayah berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang agak curam dan curam (luas wilayah yang memiliki kemiringan 15-40o = 35.56 % dan > 40o = 32.24 %), sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan pertanian (2) Luas lahan kering mencapai 94.68 % (termasuk di dalamnya hutan negara dengan luas mencapai 55.80 %). Di sisi lain, luas lahan kritis semakin terus meningkat, yang berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi maupun ekologi. (3) Struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultural) sedangkan luas lahan mengalami keterbatasan dan tingkat produksi akan mengalami tingkat kejenuhan (4) Infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang masih kurang serta tidak merata, sehingga dapat menurunkan kualitas SDM. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat adalah ketersediaan prasarana pendidikan yang masih kurang terutama tingkat pendidikan lanjutan. Demikian juga di sektor kesehatan, keberadaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat termasuk tenaga medis masih minim sehingga hal ini dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (5) Prasarana dan sarana utilitas seperti distribusi air bersih, drainase dan listrik belum sepenuhnya terpenuhi bagi kebutuhan perumahan dan usaha masyarakat khususnya dipedesaan

163

(6)

Demikian juga prasarana irigasi dan transportasi yang sangat membutuhkan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan ekonomi wilayah Kapet Bima dalam skala regional

(7)

Lembaga ekonomi (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) saat ini sesungguhnya menjadi salah satu pelaku pembangunan, perannya masih belum optimal dalam pengembangan perekonomian di perdesaan

(8)

Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas, sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan

(9)

Sebagian besar kegiatan usaha di Kapet Bima belum mampu menerapkan manajemen modern, masih ada kecenderungan menerapkan manajemen keluarga/tradisonal. Penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih relatif terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai tambah produk/usaha rendah

(10) Masih rendahnya keterkaitan kegiatan ekonomi perdesaan dan perkotaan, industri pengolahan relatif terbatas termasuk pengolahan hasil produk pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan dan perkebunan. Di sisi lain, sebaran kontribusi dan pertumbuhan ekonomi tiap sektor belum merata, khsususnya sektor industri pengolahan. (11) Berdasarkan analisis IO, bahwa total permintaan antara hanya mencapai 23.18 %, rendahnya permintaan antara ini menunjukkan bahwa dari total output wilayah hanya 23.18 % yang dikembalikan untuk proses kegiatan produksi domestik sehingga tingkat keterkaitan antar sektor rendah yang pada akhirnya juga multiplier efek dari kegiatan ekonomi wilayah juga rendah. (12) Kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya masih rendah, yakni 1.23 % dari total output wilayah. Keadaan ini menggambarkan juga tingkat kemandirian daerah, karena dari struktur anggaran daerah, sumber pendapatan daerah masih sangat bergantung kepada pusat melalui alokasi perimbangan keuangan (DAU/DAK) (13) Keterkaitan kegiatan pemerintah dengan sektor lain (khususnya keterkaitan ke depan) masih rendah, padahal kegiatan sektor pemerintahan memberikan

164

kontibusi sebesar 14.62 % (peringkat ke-2) dari total output ekonomi wilayah. (14) Industri pengolahan dan perdagangan sebagai sektor yang memiliki keterkaitan yang kuat (daya tarik dan daya dorong yang tinggi) dengan sektor lain belum menjadi sebagai sektor basis (15) Hotel dan restoran, jasa swasta dan perusahaan memiliki nilain output dan LQ yang rendah, hal ini memberikan gambaran masih belum

berkembangnya pembangunan di sektor pariwisata. (16) Arah pergerakan dan sebaran penduduk tidak menyebar (kompak) dan merata tapi membentuk pola linear dan melingkar karena permasalahan topografi yang berbukit disamping mengikuti arah perkembangan wilayah yang terpusat dan mengikuti sekitar jalur jalan raya nasional (17) Masih kurang berkembangnya daerah-daerah belakang di bagian utara, selatan dan barat. Di bagian utara terdapat Kecamatan Wera, Ambalawi, Donggo Kabupaten Bima, dan Kilo Kabupaten Dompu. Di bagian selatan, Kecamatan Huu, Pajo Kabupaten Dompu dan Kecamatan Monta Kabupaten Bima. Sedangkan Bagian Barat adalah Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima, Kecamatan Kempo, dan Pekat Kabupaten Dompu. Daerah-daerah belakang ini memiliki kekayaan sumber daya alam. (18) Lemahnya komunikasi dan koordinasi internal pemerintah propinsi maupun antar pemerintah propinsi dan kabupaten/kota (19) Kurang tegasnya pembagian tugas wewenang (belum adanya prosedur operasi standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima. mengakibatkan kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima (20) Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial meskipun telah diantisipasi dengan Musbang Desa dan Tingkat Kabupaten, Tingkat Propinsi dan Rakornas Kecamatan Rakorbang

b. Aspek Eksternal Lingkungan eksternal merupakan semua kekuatan yang timbul diluar rentang kendali (span of control) daerah/wilayah, dan sulit untuk diramalkan sehingga membawa dampak yang dapat mempengaruhi keputusannya serta

165

tindakan dalam pembangunan. Oleh karenanya perlu perhatian dan pencermatan yang serius terhadap aspek yang melingkupinya. Lingkungan eksternal mengandung peluang (opportunities) dan ancaman (threats), yang akan mempengaruhi keberadaan dan gerak pembangunan daerah/wilayah.

1). Peluang Adapun peluang-peluang yang diindikasi mempengaruhi keberhasilan pengembangan wilayah adalah sebagai berikut : (1) Secara Geografis, Bima merupakan kota jangkar yang menghubungkan antara Kawasan Indonesia Barat (Jawa) dengan sulawesi dan kepulauankepulauan Indonesia Timur lainnya. Selain itu berada dalam jalur segi tiga emas pariwisata Indonesia (Bali-Pulau Komodo-Tanah Toraja) (2) Kebijakan otonomi daerah yang mendorong dan memberikan peluang kepada daerah untuk mengelola sumber daya wilayah serta bekerja sama dengan daerah lain dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah itu sendiri (3) Terus berkembangnya berbagai lembaga keuangan baik bank maupun non bank (4) (5) Keadaan perekonomian nasional cenderung semakin membaik Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin meningkat (6) Peluang kerja sama dan eksport-import antar daerah dan antar pusat-pusat pengembangan/pertumbuhan wilayah (7) (8) Peluang pasar nasional, regional dan internasional Pola kemitraan dan jaringan usaha terus berkembang seiring dengan peningkatan interaksi antar wilayah (9) Berdasarkan kajian sejarah, kerajaan di Kapet Bima telah cukup lama berinteraksi dengan daerah lain di Nusantara maupun internasional

166

2). Ancaman Adapun ancaman-ancaman yang diindikasi mempengaruhi keberhasilan pengembangan wilayah adalah sebagai berikut : (1) Kuatnya pengaruh global yang dapat berdampak pada ketidakseimbangan perdagangan internasional, nasional dan regional bahkan terhadap perekonomian perdesaan. (2) (3) (4) (5) Instabilitas politik dan keamanan Kebijakan dan penerapan aturan/hukum yang tidak jelas dan konisisten Kebijakan fiskal dan moneter yang lemah Berdasarkan analisis stakeholders, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat dinilai memiliki tingkat keterlibatan yang rendah dalam pengembangan wilayah Kapet Bima (6) Tingginya kesenjangan antar wilayah dapat mendorong perpindahan penduduk (migrasi) secara berlebihan akibat alasan ekonomi atau daya tarik lainnya (infrastruktur pendidikan, perdagangan dan industri, lapangan pekerjaan dan pendapat yang lebih tinggi), hal ini mengakibatkan makin berkurangnya ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan 5.6.3. Analisa SWOT Pengembangan Wilayah Setelah dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan wilayah Kapet Bima, maka dilakukan analisa SWOT, yakni mensinergikan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut. Secara umum analisa SWOT akan menghasilkan 4 (empat) strategi, yakni : (1) Strategi SO (strength-opportunities), (2) Strategi WO (weakness-

opportunities), (3) Strategi ST (strength-threats) dan (4) Strategi WT (weaknessthreats). Adapun uraian 4 (empat) strategi dimaksud dapat dilihat pada tabel 77.

1). Strategi SO (Strength-Opportunities) (1) Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet Bima (2) (3) (4) Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan

167

(5) (6)

Pengembangan infrastruktur perdagangan dan transportasi skala regional Promosi dan kerjasama intra-inter regional

2). Strategi WO (Weakness-Opportunities) (1) Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan (2) Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir (3) Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya

Tabel 77 Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Analisis SWOT di Kapet Bima


FAKTOR INTERNAL STRENGTH-S : WEAKNESS-W : (S1-S11) (W1-W20)
STRATEGI -SO : 1. Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Kapet Bima (S11, O3) 2. Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa (S6, O5) 3. Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri (S1, S4, S5, S8, O6-O8) 4. Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan (S2, S3, O5, O7) 5. Pengembangan infrastruktur perdagangan dan transportasi skala regional (S1, S5, S9, O1, O5-O9) 6. Promosi dan kerjasama intra-inter regional (S1-S4, S8, O1, O2, O4-O9) STRATEGI -ST : 1. Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan (S5, S7, S10, T6) 2. Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung (S3, S4, S8, S9, T1, T6) STRATEGI -WO : 1. Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan (W1-W3, O5, O7) 2. Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir (W10, W11, W14, O6-O7) 3. Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya (W7-W13, W17, O2, O3, O6-O8)

SWOT

FAKTOR EKSTERNAL

OPPORTUNITIES-O : (O1-O9)

STRATEGI -WT : 1. Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland (W1, W4-W6, W16, W17, T2, T6) 2. Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima (W18, W19, T3, T4, T6) 3. Perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan panjang (W19, W20, T4, T5)

THREATS-T : (T1-T6)

168

3). Strategi ST (Strength-Threats) (1) (2) Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung

4). Strategi WT (Weakness- Threats) (1) (2) (3) Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima Perencanaan dan penganggaran pembangunan di Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan panjang 5.6.4. Rumusan Strategi Pengembangan Wilayah Setelah dilakukan analisis identifikasi potensi dan masalah dalam pengembangan wilayah, analisis keterkaitan wilayah, analisis interaksi spasial, analisis fungsi dan keterlibahan stakeholder/lembaga, analisis persepsi

stakeholders serta analisa SWOT, maka selanjutnya dilakukan sintesa (kolaborasi) analisis untuk mengetahui dan menentukan strategi alternatif pengembangan wilayah Kapet Bima. Tabel 78 Rumusan Strategi Umum Pengembangan Wilayah di Kapet Bima
SWOT WT (WT1-WT3) STRATEGI PENGEMBANGAN SO (SO1-SO6) ST (ST1-ST2) 1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas 1. SDI institusi (SO1, SO6, WT2, WT3) 2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan (SO2, ST1, 2. SDM WO3, WT1) 3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber 3. SDF daya lahan kering dan pesisir/kelautan (SO3, SO4, ST2, WO1, WO2) 4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan 4. SDA 5. SDS 6. SDB 1. KETERPADUAN 2. KETERPD 3. KETERPD INSTITUSI SEKTORAL WILAYAH PENDEKATAN STRATEGI AHP

STRATEGI PENGEMBANGAN

DUKUNGAN SUMBER DAYA

WO (WO1-WO3)

perdagangan skala regional (SO5)

169

Berdasarkan analisis persepsi stakeholders, maka secara garis besar, strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas secara berturut-turut adalah sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/stakeholders, (2) Keterpaduan sektoral dan (3) keterpaduan wilayah. Dari hasil analisis silang pada tabel 78, maka dapat dirumuskan strategi umum pengembangan wilayah di Kapet Bima, yakni sebagai berikut : 1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi 2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan 3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan 4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional

a. Pengembangan Kerjasama dan Peningkatan Kapasitas Institusi Pengembangan Wilayah Kapet Bima melibatkan berbagai pihak dan secara administratif Kapet Bima terdiri dari tiga kabupaten/kota, yakni : Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima. Konsekuensi dari hal di atas adalah dibutuhkan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota serta dengan pelaku pembangunan lainnya. Untuk memenuhi hal tersebut maka dibutuhkan pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi yang meliputi strategi : (1) Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet Bima; (2) Penyusunan dan penganggaran pembangunan Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan panjang; (3) Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dan (4) Promosi dan kerjasama inter regional. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet Bima merupakan syarat utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima secara terpadu karena permasalahan struktural-adiministratif, kendala teknis dan keterbatasan pembangunan. infrastruktur Selain itu merupakan alternatif kendala lainnya utama dalam kegiatan melakukan

adalah

dengan

penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4 sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang dalam

pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 yang

170

sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif penggabungan daerah administrasi dapat dilakukan apabila adanya usulan dan persetujuan dari daerah yang bersangkutan dan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Berbagai pilihan alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang lebih mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara terpadu dapat diwujudkan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kerjasama antar daerah ini secara jelas ditekankan guna mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada pasal 87 ayat (1) disebutkan bahwa beberapa daerah dapat mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Untuk itu daerah dapat membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa daerah dapat juga mengadakan kerjasama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam penyempurnaannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskannya kembali tentang kerjasama tersebut. Pada Pasal 195 disebutkan bahwa dakam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerjasama ini justru diwajibkan seperti yang tersurat pada pasal 196, yakni : (1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait; (2) untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat; (3) untuk pengelolaan kerjasama itu daerah dapat membentuk badan kerjasama; (4) apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama tersebut, pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Terdapat banyak model kerjasama antar daerah yang telah dipraktekkan, mulai dari pembagian (sharing) informal sumber-sumber pendapatan sampai penciptaan daerah-daerah dengan tujuan khusus dan usaha bersama untuk pencapaian layanan-layanan khusus. Banyak pengaturan kerjasama antara

Pemerintah Daerah dimulai dengan perlunya untuk mempertimbangkan

171

kepentingan bersama seperti : (1) memastikan untuk saling melengkapi penataan lahan daerah-daerah terdekatnya; (2) pengelolaan bersama atas sumber-sumber alam; dan (3) membentuk aliansi untuk bersaing dengan daerah-daerah lain atau bernegosiasi agar lebih efektif (Sarundajang 2005). Sampai saat ini terdapat beberapa daerah yang telah menjalin kerjasama dengan bentuk-bentuk kerjasama seperti Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi) dan sekarang berkembang sesuai dengan tuntutan yang terus berkembang, sehingga kerjasama itu menjadi Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur). Kerjasama ini berkembang mulai dari kerjasama memecahkan masalah-masalah kependudukan, transportasi dan infrastruktur berkembang menjadi suatu kesatuan ekosistem. Jabodetabekpunjur yang berpenduduk lebih dari 22 juta sekarang ini sudah berkembang menjadi megapolitan dengan berbagai aktivitasnya dan merupakan pusat kegiatan nasional yang harus dapat bersaing dengan wilayah lainnya dalam menarik investasi. Daerah-daerah lain yang mengikuti Jabodetabekpunjur adalah bandung dan daerah sekitarnya membentuk Bandung Raya (Great Bandung), semarang dan daerah sekitarnya membentuk Badan Kerjasama Kedungsepur (Kendal, Ungaran, Semarang dan Purwodadi), Surabaya dan daerah sekitarnya membentuk Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa/Gowa dan Takalar). Kerjasama antar daerah meliputi berbagai skema sangat luas. Mulai dari kerjasama bersifat mikro (misalnya penempatan TPA sampah di daerah lain), transfer fiskal antar daerah (telah ada contoh, misalnya antara Denpasar dan Kabupaten Badung dengan beberapa daerah disekitarnya, hal ini disebabkan oleh kesadaran eksternalitas ekstra yurisdiksi kegiatan pariwisata), kerjasama ekonomi antar daerah (misalnya kasus kerjasama antar provinsi se-Sumatra), hingga kerjasama tata pemerintahan antar daerah (misalnya pembentukan Supra DPRD, asosiasi Kepala Daerah dengan tingkat koordinasi dan kewenangan tertentu) Kerjasama-kerjasama antar daerah seperti ini perlu terus didorong agar mempercepat pencapaian cita-cita otonomi daerah yang sekarang sedang dilaksanakan.

172

Kerjasama antar daerah dilakukan dengan prinsip efisiensi, efektifitas, sinergi dan saling menguntungkan, dimana objek kerjasama antar daerah meliputi seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom. Dengan memperhartikan karakteristik dan permasalahan daerah-daerah

kabupaten/kota di Kapet Bima, maka tiga kabupaten/kota ini dapat melakukan kerjasama dibidang : (1) Transportasi/perhubungan. Letak geografis daerah-daerah di Kapet Bima cenderung menyebar dan terpisah, seperti Kecamatan Wera, Ambalawi, Wawo, Sape dan Lambu Kabupaten Bima yang harus melewati Kota Bima sedangkan Kecamatan Sanggar dan Tambora harus melewati Kabupaten Dompu. Demikian pula keberadaan Kecamatan Kilo untuk menuju Ibu Kota Kabupaten Dompu maka harus melewati Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima. Tiga kabupaten/kota ini berada pada satu jalur transportasi jalan negara, sedangkan di sisi lain keberadaan Bandara Udara tersedia di Kabupaten Bima dan Pelabuhan Laut skala regional berlokasi di Kota Bima yang digunakan oleh berbagai daerah di Pulau Sumbawa, sehingga berbagai hal tersebut dapat menjadi pertimbangan pola kerjasama terkait perijinan dan pengelolaan serta pemanfaatan infrastruktur transportasi/perhubungan ini. (2) Pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah perbatasan. Terdapat beberapa kawasan hutan dan wilayah perbatasan antar daerah kabupaten/kota di Kapet Bima, antara lain Kawasan Hutan Gunung Tambora antara Kabupaten Bima dan Dompu. Kawasan Hutan Gunung Tambora memiliki kekayaan aneka ragam sumber daya hayati, namun kerusakan kawasan hutan Gunung Tambora ini sudah mencapai tingkat yang mengkuatirkan. Demikian juga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menuju Teluk Bima, dimana yang menjadi daerah hulu adalah Kecamatan Ambalawi dan Wawo Kabupaten Bima, sedangkan yang menjadi daerah hilir adalah Kota Bima. Pengelolaan dan pemanfaatan (DAS) yang tidak terarah, pendekatan penataan ruang yang belum dilakukan secara terpadu serta makin berkurangnya daerah resapan air telah menyebabkan banjir besar di Kota Bima pada tahun 2006 yang lalu. Berbagai hal tersebut menjadi alasan penting bagi perlunya pengelolaan

173

kawasan hutan dan wilayah perbatasan secara bersama, terpadu, dan berkelanjutan. (3) Pengelolaan pesisir dan kelautan. Antara lain Teluk Bima yang keberadaannya di Kabupaten Bima dan Kota Bima, Teluk Sanggar dan Teluk Ombo merupakan wilayah Kabupaten Bima dan Dompu. (4) Pengelolaan air bersih dan energi kelistrikan, antara Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu (5) Pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan. Dibutuhkan pengembangan industri pengolahan perikanan, pertanian dan peternakan serta sumber daya alam masing-masing kabupaten/kota untuk meningkatkan efisiensi dan skala ekonomi pada tingkat regional yang pada akhirnya dapat meningkatkan kegiatan eksport kawasan baik di Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima. (6) Pengembangan sosial budaya dan pariwisata. Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima merupakan satu kesatuan komunitas sosial budaya Suku Mbojo yang memiliki keadaan sosial dan nilai budaya yang secara generalnya relatif sama, dan di sisi lain memiliki keragaman dan kekayaan budaya dan objek pariwisata. Potensi sosial budaya dan pariwisata ini perlu dibuatkan paket promosi dan pengembangan yang dilaksanakan secara bersama dan terpadu, karena memiliki peluang pasar yang besar dan menawarkan mancanegara. Kerjasama antar daerah yang dilakukan dalam jangka panjang banyak pilihan wisata bagi turis domestik maupun

membutuhkan suatu institusi penyelenggara kerja sama yang dapat berbentuk badan kerja sama. Badan kerja sama dibentuk pada setiap bidang kerja sama, dimana pembentukan dan susunan organisasi badan kerja sama sebaiknya ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah sehingga memiliki kekuatan hukum yang tetap. Penyelenggaraan kerjasama antar daerah

kabupaten/kota dapat difasilitasi oleh Gubernur, baik karena keberadaannya sebagai Kepada Pemerintah Daerah Propinsi (kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi, pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004) maupun karena kewenangannya mengkoordinir fasilitasi lintas pemerintah daerah

174

kabupaten/kota dalam lingkup daerah propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004). Perubahan kebijakan pemerintah pusat terkait keberadaan Kapet dan pengelolaannya seperti yang tertuang dalam Keppres Nomor 150 Tahun 2000, berimbas pada kelembagaan dan pengelolaan Kapet yang tidak jelas. Karena struktur hirarki Tim Teknis dan Badan pengelola yang cenderung mengambang dan kewenangannya hanya memberikan pertimbangan teknis bagi pemberian perijinan investasi, padahal secara hirarki, kelembagaan pada level yang semakin rendah, maka fungsi-tugasnya harus lebih teknis-operasional dan jelas. Dengan memperhatikan berbagai permasalahan dan kebutuhan pengembangan wilayah di atas, maka reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dapat didorong untuk melaksanakan fungsinya sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) di bidang pengembangan ekonomi, industri dan perdagangan. Tugas Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) diarahkan untuk melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan masukan atau saran secara lebih efektif kepada kepada masing-masing Kepala Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang kerja sama dimaksud. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut terintegrasi dengan program pembangunan wilayah masing-masing daerah sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN dan atau dari pihak ketiga. Pasal 195 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ke tiga yang dapat berbentuk perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),

175

koperasi, yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya. Objek kerja sama antara lain pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) dan dukumen lainnya,

pengembangan dan pendampingan usaha tani, penyediaan kredit usaha kecil dan menengah, pengembangan klaster atau kawasan sentra produksi, serta kerja sama lainnya. Kebijakan otonomi daerah yang mendorong dan memberikan peluang kepada daerah-daerah di Kapet Bima untuk mengelola sumber daya wilayahnya adalah sabagai peluang untuk bekerja sama dengan daerah atau pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah itu sendiri. Kegiatan promosi juga perlu didorong melalui pameran/expo, kampanye, serta pemanfaatan media massa dan internet sehingga informasi tentang berbagai keunggulan dan kekayaan berbagai sumber daya wilayah dapat diketahui dan direspon oleh pihak atau daerah lain yang pada akhirnya akan melahirkan transaksi dan kerjasama/kemitraan. Untuk mendukung promosi dan kerjasama, maka yang tidak kalah pentingnya adalah penciptaan image suatu produk suatu wilayah. Dibutuhkan promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun pencitraan komoditi dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu dan ciri produk yang khas (varietas/spesifik lokal) sehingga dapat membentuk trade mark Kapet Bima.

b. Pengembangan Sosial Ekonomi Perdesaan Sebagian besar wilayah di Kapet Bima bercirikan agraris dan perdesaan, dengan topografi yang berbukit dan berupa pegunungan dengan kemiringan lahan yang agak curam dan curam (luas wilayah yang memiliki kemiringan 15-40o = 35.56 % dan > 40o = 32.24 %), sehingga memiliki faktor kesulitan yang relatif tinggi untuk menghubungkan antar wilayah melalui prasarana jalan yang di bangun serta dalam membangun jaringan irigasi untuk mendukung kegiatan pertanian. Arah pergerakan dan sebaran penduduk tidak menyebar merata tapi membentuk pola linear dan melingkar karena permasalahan topografi yang berbukit disamping mengikuti arah perkembangan wilayah yang terpusat dan mengikuti sekitar jalur jalan raya negara.

176

Daerah-daerah belakang Kapet Bima bagian utara, selatan dan barat secara relatif kurang berkembang dibandingkan daerah di pusat wilayah (Kota Bima) dan daerah disekitar jalan negara (jalan arteri). Di bagian utara terdapat Kecamatan Wera, Ambalawi, Donggo Kabupaten Bima, dan Kilo Kabupaten Dompu. Di bagian selatan, Kecamatan Huu, Pajo Kabupaten Dompu dan Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Sedangkan Bagian Barat adalah Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima, Kecamatan Kempo, dan Pekat Kabupaten Dompu. Daerah-daerah belakang ini memiliki kekayaan sumber daya alam. Untuk mengembangan kondisi sosial ekonomi perdesaan maka dibutuhkan beberapa strategi pengembangan wilayah, yakni : (1) Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan; (2) Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat desa; (3) Pemberdayaan KUKM serta lembaga lokal lainnya; dan (4) Pengembangan pusat pertumbuhan/ pelayanan di daerah hinterland. Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesejahteran masyarakat. Peningkatan tingkat pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar penduduk diperdesaan akan dapat mendorong produktivitas masyarakat yang pada akhirnya dapat menggerakkan perekonomian wilayah serta memiliki daya saing atau kemampuan berkompetisi dengan daerah lainnya. Secara relatif, Struktur penduduk Kapet Bima dominan berusia produktif (59.21 %), dengan tingkat partisipasi dan tingkat pendidikan di Kapet Bima lebih tinggi dari pada Propinsi NTB, dimana yang tidak/belum pernah sekolah di Kapet Bima adalah sebanyak 9.11 % sedangkan Propinsi NTB sebanyak 10.57 %. Penduduk Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas adalah 39.02 %, di atas rata-rata Propinsi NTB yang baru mencapai 28.46 %, namun tingkat pendidikan yang diharapkan adalah outcome-nya dapat memanfaatkan potensi sumber daya khususnya di perdesaan. Untuk itu dibutuhkan pendidikanpendidikan informal dan sekolah-sekolah kejuruan yang berbasis sumber daya lokal (sekolah kejuruan pertanian, peternakan, perikanan, industri, ekonomi, dan lainnya) yang tersedia di tingkat perdesaan sehingga akan terjadi alih pengetahuan dan teknologi yang mendorong modernisasi di tingkat perdesaan.

177

Untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi perdesaan, maka diperlukan peran lembaga koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UKMK) serta lembaga-lembaga lokal lainnya. Peningkatan kapasitas lembaga dan usaha sosial ekonomi perdesaan, dapat dilakukan melalui pendampingan manajemen usaha, kemitraan dan perkuatan permodalan. Perkuatan lembaga-lembaga perdesaan tidak berarti meninggalkan nilainilai setempat/kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi mulai dari pembentukan kelompok dan pemilihan pengurus dengan kriteria kepemimpinan nggusu waru, penanaman jiwa kepemimpinan katohompara wekiku sura dou mari na labo dana, prinsip pengambilan keputusan nggahi ra sama kai, penanaman prinsip kerja nggahi rawi pahu dan nilai-nilai pengendalian majo labo dahu serta kearifan budaya lainnya. Berkembangnya infrastruktur dan aktivitas sosial dan ekonomi dengan karakteristik spesifik masing-masing wilayah wilayah (sebagai keunggulan komparatif wilayah) akan meningkatkan interaksi dan transaksi dengan wilayah lainnya. Untuk mendorong pertumbuhan wilayah serta meningkatkan efisiensi usaha dalam skala ekonomi tingkat wilayah maka perlu dibangun pusat-pusat pertumbuhan sekaligus sebagai pusat pelayanan pedesaan di daerah hinterland. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland

memungkinkan untuk dilakukan, karena di daerah sekitarnya sudah terbentuk pula pusat pertumbuhan/pelayanan yang dapat mendukung atau mendorong daerah hinterland. Disamping itu pula sekitar 89.42 % kebutuhan hidup dan usaha

penduduk Kapet Bima saat ini cukup tersedia dalam kabupaten masing-masing, walaupun produk-produk hasil kegiatan industri sebagian besar didatangkan dari Surabaya dan Makasar, sehingga kebutuhan hidup dan usaha masyarakat perdesaan dapat dipenuhi melalui suply barang jasa tersebut ke pusat pelayanan daerah hinterland-nya. Pengembangan wilayah dan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah-daerah belakang dapat meningkatkan akselarasi pertumbuhan ekonomi secara agregat di tingkat reginal (Kapet Bima) serta dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah. Tingginya kesenjangan antar wilayah dapat mendorong perpindahan penduduk (migrasi) secara berlebihan akibat alasan

178

ekonomi atau daya tarik lainnya (infrastruktur pendidikan, perdagangan dan industri, lapangan pekerjaan dan pendapat yang lebih tinggi), hal ini mengakibatkan makin berkurangnya ketersediaan tenaga kerja di sektor

pertanian/perdesaan dan dapat mendorong kemandekan ekonomi secara jangka panjang.

c. Pengembangan Sektor Unggulan dan Optimalisasi Sumber Daya Lahan Kering dan Pesisir/Kelautan Pertumbuhan ekonomi Kapet Bima sebesar 4.45 % di atas pertumbuhan Propinsi NTB yang hanya mencapai 3.64 %, sedangkan Total PDRB Kapet Bima mencapai Rp.2.61 trilyun, dengan kontribusi 46.31 % berasal dari sektor pertanian, namun struktur perekonomian masih bertumpu pada sektor pertanian khususnya pada subsektor tanamanan bahan makanan (pangan dan hortikultura) sedangkan luas lahan basah mengalami keterbatasan dan tingkat produksi akan mengalami tingkat kejenuhan. Secara umum ketersedian lahan masih cukup luas untuk pengembangan pertanian, industri dan pengembangan kawasan terbangun lainnya. Luas lahan kering mencapai 94.68 % (termasuk di dalamnya hutan negara dengan luas mencapai 55.80 %). Di sisi lain, luas lahan kritis semakin terus meningkat, yang berkorelasi pula dengan banyaknya pengelolaan lahan dan hutan yang belum dilaksanakan secara optimal baik untuk tujuan ekonomi maupun ekologi. Sedangkan luas lautan mencapai 12,180.96 Km2 (63.77 % dari total luas wilayah Kapet Bima) juga pemanfaatannya masih dilakukan secara terbatas. Ketersediaan lahan dan perairan dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dengan

mengembangkan atau mengusahakan komoditi-komoditi unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor yang dapat berperan sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi regional terjadi melalui pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Berdasarkan peringkat keunggulan sektor, maka yang menjadi sektor unggulan I (total skor = 3) adalah : tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas; Sektor unggulan II (total skor = 2) adalah : Peternakan dan

179

hasilnya, Perikanan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa pemerintahan umum; Sektor unggulan III adalah (total skor = 1) : kehutanan, listrik, air bersih, hotel dan restoran, pos dan telekomunikasi, dan jasa swasta; sedangkan unggulan IV (total skor = 0) adalah : tanaman perkebunan, penggalian dan sewa bangunan dan jasa perusahaan. Agar sektor unggulan dan pemanfaatan sumber daya lahan kering dan perairan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah di Kapet Bima, dibutuhkan strategi pengembangan wilayah sebagai berikut : (1) Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agrobisnis dan agroindustri; (2) Optimalisasi sumber daya pesisir dan kelautan melaui kegiatan penangkapan dan budidaya; (3) Pengembangan sumber daya lahan kering melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan; (4) Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik pada sektor hulu maupun hilir;

(5) Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung. Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agroindustri dan agribisnis merupakan suatu strategi yang dapat meningkatkan keterkaitan sektor unggulan dengan sektor lainnya. Pengembangan sektor unggulan dengan memperhatikan sektor hulu, seperti pengadaan faktor produksi, sampai pada kegiatan sektor hulu, pengolahan, pengemasan dan pemasaran yang dilakukan secara terpadu, serta didukung oleh ketersediaan lembaga pendamping/ penyuluhan, lembaga keuangan serta kegiatan penelitian untuk alih teknologi berbasis sumber daya lokal akan dapat mendorong peningkatan produksi dan produktivitas, efisiensi dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga sektor unggulan di Kapet Bima dapat memiliki keunggulan komparatif (sebagai sektor basis) dan keunggulan kompetitif (berdaya saing) terhadap wilayah lainnya. Sektor-sektor unggulan seperti tanaman bahan makanan, peternakan, dan perikanan adalah sektor-sektor primer, sektor yang memiliki keterkaitan langsung dengan sumber daya lahan dan air (sumber daya alam). Sektor-sektor ini merupakan sektor basis, yang memiliki pemusatan kegiatan yang tinggi serta merupakan sektor eksport unggulan di Kapet Bima, namun kegiatan usaha sektor

180

ini, perlu didorong agar aktivitas ekonominya memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya. Industri pengolahan non migas dan perdagangan besar dan eceran adalah sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan aktivitas usaha sektor lainnya, namun sektor-sektor ini memiliki aktivitas dan volume usaha yang relatif masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinsi NTB. Berbagai faktor produksi usaha (hulu) masih banyak yang didatangkan dari luar kawasan, seperti pakan ikan/ternak, ayam broiler, pupuk dan obat-obatan pertanian, alat dan mesin usaha perikanan/pertanian, sedangkan kegiatan industri di sektor hilir juga masih rendah. Karena komoditi yang dijual pada umumnya masih produk mentah dan setengah jadi. Sektor-sektor industri pengolahan, bank dan lembaga keuangan non bank serta perdagangan memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor lainnya karena memiliki keterkaitan kedepan dan atau kebelakang yang kuat dengan sektor lainnya, namun perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaannya, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal. Sektor-sektor unggulan primer masih bisa dikembangkan lebih besar pada lahan (lahan kering) dan peraiaran yang masih sangat luas. Selain untuk pengusahaan sektor pertanian, pada lahan kering dapat pula diusahan sektor unggulan non pertanian, yakni sektor industri pengolahan dan perdagangan. Saat ini lahan kering baru sebagian kecil dimanfaatkan untuk usaha peternakan (pelepasan ternak) dan perkebunan, sedangkan sebagian besar lainnya, masih sebagai lahan tidur, belum diusahakan sama sekali. Ketersediaan air yang terbatas dan tingginya biaya usaha tani adalah menjadi alasan sulitnya berusaha tani lahan kering. Pengusahaan kegiatan usaha tani yang mencirikan usaha tani lahan kering serta kegiatan non pertanian dapat mengeliminir permasalahan dimaksud.

d. Pengembangan Infrastruktur Transportasi dan Perdagangan Skala Regional Secara faktual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusantara khususnya di kawasan timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan dagang

181

regional. Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang strategis. Bima menjadi kota jangkar yang menghubungkan antara Kawasan

Indonesia Barat (Jawa) dengan Sulawesi dan kepulauan kepulauan di Kawasan Indonesia Timur lainnya. Setiap armada dagang yang berlayar di perairan Selat Sunda ke timur umumnya melakukan transit di Pelabuhan Bima, baik dalam rangka mengembangkan perdagangan maupun sekedar untuk berlindung dari serangan badai angin barat. Selain itu Kapet Bima berada dalam jalur segi tiga emas pariwisata Indonesia (Bali-Pulau Komodo-Tanah Toraja) dan Berdasarkan kajian sejarah, kerajaan di Kapet Bima telah cukup lama berinteraksi dengan daerah lain di Nusantara maupun internasional Kapet Bima memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap berbagai kawasan strategis lainnya. Aktifitas sosial ekonomi kota dihubungkan secara rutin dan lancar oleh sarana/prasarana transportasi darat, laut dan udara. Melalui darat, tersedia 2 terminal utama (yakni terminal Dara Kota Bima dan terminal Ginte Kabupaten Dompu) dan dua sub terminal dengan dukungan 76 armada Bus antar kota dan antar pulau (ke Lombok, Bali dan Jawa). Melalui laut, didukung oleh pelabuhan laut Kota Bima dan armada kapal ferry dan PELNI yang cukup intensif ke berbagai pelabuhan yaitu Tanjung Perak, Ujung Pandang, Labuhan Bajo, Kupang dan Maumere. Di Kapet Bima terdapat 5 (lima) buah pelabuhan yaitu pelabuhan laut di Teluk Bima, pelabuhan penyeberangan di Kecamatan Sape, pelabuhan Waworada di Langgudu, ketiganya di Kabupaten Bima, dan pelabuhan laut di Calabai dan Kempo (Kabupaten Dompu). Untuk mewujudkan Kapet Bima sebagai pusat perdagangan yang maju, maka Pelabuhan Laut Bima yang merupakan pintu gerbang ke Kapet Bima perlu dikembangkan sehingga memenuhi syarat untuk disinggahi kapal-kapal nusantara maupun mancanegara. Demikian pula pelabuhan penyeberangan Sape perlu dikembangkan untuk mendukung interaksi spasial skala regional. Untuk sistem transportasi udara, Bandara Udara M. Salahuddin di kota Bima merupakan salah satu simpul transportasi udara nasional, yang pelayanannya meliputi beberapa wilayah yang menghubungkan antara bandar udara utama dan kedua, yakni dengan pesawat udara jenis F27, F100 dan B737 ke Mataram, Denpasar, Surabaya dan Jakarta setiap hari serta ke NTT.

182

Memperhatikan peran dan keberadaan Kapet yang memnghubungkan pusat-pusat pertumbuhan Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur, maka dipandang perlu untuk meningkatkan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional. Peningkatan hubungan intra dan inter regional di Kapet Bima melalui pengembangan prasarana dan sarana transportasi dan perdagangan mendorong mobilitas sumber daya dan kerja sama antar wilayah yang optimal dan berimbang. Untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan juga perlu didukung dengan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya untuk komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase komoditi dapat menciptakan pencitraan komoditi yang baik, menjaga/mengendalikan tingkat harga yang layak serta dapat meningkatkan daya saing komoditi dari Kapet Bima. Kegiatan ini dapat melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin.

VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi sumber daya dalam pengembangan wilayah. Kabupaten Bima dan Dompu memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian dan perdagangan sedangkan Kota Bima dengan karakteristik sebagai kota jasa dan perdagangan. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat (rata-rata 4.45 % pertahun atas dasar harga konstan dan 12.16 % atas dasar harga berlaku) di atas pertumbuhan ekonomi propinsi, dapat menjadikan kawasan ini sebagai prime mover bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya, namun di sisi lain, ketersedian infrastruktur sosial ekonomi relatif terbatas dan kurang merata, disamping belum optimalnya pengelolaan lahan kering, kawasan pesisir dan kelautan, serta masih lemahnya komunikasi dan koordinasi antar pelaku pembangunan kawasan sehingga orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial. 2. Sektor yang memiliki tingkat keunggulan paling tinggi di Kapet Bima (Skor keunggulan = 3) adalah sektor tanaman bahan makanan dan industri pengolahan non migas. Sektor tanaman bahan makan merupakan sektor basis (LQ-PDRB > 1) dengan output ekonomi yang paling tinggi yakni sebesar Rp.1.02 trilyun serta memiliki daya dorong yang tinggi terhadap sektor lainnya. Sedangkan kegiatan industri pengolahan non migas juga merupakan sektor yang memiliki output ekonomi yang tinggi serta memiliki tingkat keterkaitan yang tinggi baik kedepan maupun kebelakang dengan sektor lainnya, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor unggulan kedua (skor keunggulan = 2) adalah peternakan dan hasilnya, perikanan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, angkutan, bank dan lembaga keuangan bukan bank serta sektor jasa pemerintahan umum. Sektor-sektor ini memenuhi dua dari tiga indikator keunggulan sektor

184

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan gambaran sebagai berikut : a. Penduduk di Kapet Bima melakukan perjalan untuk memenuhi berbagai kebutuhan sosial maupun ekonomi. Sekitar 88.50 % kebutuhan penduduk dapat dipenuhi dalam kawasan (intra regional) sedangkan sisanya 11.50 % dipenuhi dari luar kawasan (inter regional). Hubungan Interregional Kapet Bima secara garis besar melalui tiga jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. b. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima, secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tujuan (b = 0.82) dan menurun seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan peningkatan jumlah penduduk (b = -0.50) dan PDRB wilayah tujuan (b = -0.31).Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = -66.15). Fenomena ini menunjukkan bahwa dinamika sosial (yang ditunjukkan dengan arus

185

penumpang) di Kapet Bima lebih tinggi dari pada dinamika ekonomi (yang ditunjukkan dengan arus barang). c. Dalam interaksi wilayah secara nasional, Kapet Bima memegang peranan cukup penting karena merupakan salah satu simpul jaringan transportasi penyeberangan lintas selatan dan terhubung dengan daerah-daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Kawasan Indonesia Barat dan Timur. Sedangkan dalam kajian sejarah Kapet Bima juga melakukan hubungan internasional khususnya dengan Negara-Negara Timur Tengah. Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-interregional, serta memberikan dampak pada

perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah. 4. Dalam menyusun strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka digunakan analisis stakeholders, analisis hirarki proses, analsis SWOT serta disintesakan (kolaborasi) dengan analisis sebelumnya. Adapun rumusan strategi umum pengembangan wilayah Kapet Bima sebagai berikut : a. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi, yakni meliputi : Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Kapet Bima. Peluang kerja sama yang dapat dilakukan adalah pada bidang transportasi/perhubungan, pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah perbatasan, pengelolaan pesisir dan kelautan, pengelolaan air bersih dan energi kelistrikan, pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan serta pengembangan sosial budaya dan pariwisata. Promosi dan kerjasama intra-interregional. Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima. Perencanaan dan penganggaran pembangunan wilayah Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang. b. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan, yakni meliputi : Peningkatan kualitas SDM dan ketrampilan usaha masyarakat perdesaan Pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK) serta lembaga lokal lainnya

186

Pengembangan infrastruktur sosial ekonomi perdesaan Pengembangan pusat pertumbuhan/pelayanan di daerah hinterland.

c. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan, yakni meliputi : Pengembangan daya saing produk unggulan melalui kebijakan pendukung Pengembangan sektor unggulan melalui kegiatan agribisnis dan agroindustri Pengembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal baik di sektor hulu maupun di hilir Pengembangan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan Pengembangan sumber daya lahan kering melalui melalui usaha tani lahan kering, industri dan perdagangan d. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional

6.2. Saran Sehubungan dengan kesimpulan di atas, berikut ini disampaikan beberapa saran berkenaan dengan kebijakan pemerintah dan pengembangan studi ke depan, yakni sebagai berikut : 1. Potensi berbagai sumber daya wilayah potensial di Kapet Bima, khususnya di sektor pertanian cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun pengelolaannya masih sederhana dan bersifat tradisional. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu melakukan

pembinaan/pendampingan dengan melibatkan stakeholders lainnya terutama pada kegiatan agribisnis subsistem pascapanen dan pemasaran sehingga

petani atau masyarakat mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang berkorelasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Selain itu juga perlu dioptimalkan pemanfaatan sumber daya buatan, pariwisata, sumber daya hayati, sumber daya sosial dan nilai budaya dalam pengembangan wilayah secara terpadu.

187

2. Peningkatan keterkaitan antar sektor dan pengembangan sektor unggulan dapat memberikan dampak pengganda yang besar bagi pengembangan wilayah, untuk itu perlu diperhatihan beberapa hal sebagai berikut : a. Dalam pengembangan wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu kebijakan yang strategis bagi total pertumbuhan wilayah, untuk itu perlu diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan produktivitas, melalui investasi dan pengembangan teknologi khususnya usaha tani lahan kering (pertanian lahan kering, peternakan, perkebunan dan tanaman industri/kehutanan), membangun industri baik industri hulu, pengadaan sarana produksi yang terjangkau, industri hilir/pengolahan yang dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan daya saing sektor unggulan tersebut. b. Dibutuhkan promosi dan kerjasama yang yang efektif untuk membangun pencitraan komoditi dan wilayah yang didukung oleh pengembangan mutu dan ciri produk yang khas (varietas/spesifik lokal) sehingga dapat membentuk image dan trade mark komoditi unggulan Kapet Bima. Selain itu untuk mendukung promosi dan keberlanjutan kegiatan perdagangan di butuhkan pengadaan gudang, cold storage dan etalase khususnya untuk komoditi unggulan baik dalam kawasan maupun di daerah-daerah pasar potensial luar kawasan. Pengadaan gudang, cold storage dan etalase komoditi dapat menciptakan tingkat pencitraan harga komoditi layak yang serta baik, dapat

menjaga/mengendalikan

yang

meningkatkan daya saing komoditi dari Kapet Bima. Kegiatan ini dapat melibatkan pihak perbankan dan swasta/kadin. 3. Interaksi spasial intra dan inter regional perlu ditingkatkan untuk mendukung pergerakan sumber daya yang optimal dan berimbang di Kapet Bima, untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : a. Peningkatan interaksi spasial intra dan inter regional melalui

pengembangan infrastruktur transportasi, meliputi peningkatan kapasitas jalan raya, khususnya jalan negara yang dilalui oleh kendaraan besar dan berat lintas propinsi, serta pengembangan pelabuhan laut dan udara yang dapat melayani pada skala regional (daerah-daerah di Pulau Lombok,

188

Sumbawa dan NTT) dalam interaksinya dengan wilayah lain secara nasional dan internasional sehingga memberikan dampak positif pada perkembangan sosial, ekonomi wilayah. b. Perkembangan wilayah yang cenderung mengikuti sepanjang jalan raya negara dapat menciptakan pertumbuhan yang terpusat dan linear, dampaknya mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan fisik wilayah yang lamban dan tidak merata. Untuk mengembangkan ekonomi daerah-daerah hinterland (daerah pinggir) yang memiliki sumber daya alam yang besar, maka pengelolaannya membutuhkan infrastruktur yang memadai. Untuk itu perlu dikembangkan instalasi listrik yang dapat berupa energi listrik alternatif dengan menggunakan sumber-sumber energi lokal khususnya untuk mendukung home industri/indutri mikro-kecil dan menengah diperdesaan. Selain itu juga perlu dibangun infrastruktur air bersih, transportasi dan komunikasi serta pasar-pasar tingkat desa untuk membantu kegiatan pemasaran komoditi lokal, sehingga terbentuk pusatpusat pertumbuhan baru yang berbasis sumber daya local di wilayahwilayah hinterland. c. Alasan utama perpindahan penduduk dari desa/kelurahan di Kapet Bima ke daerah lain adalah untuk melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan. Ketersediaan sekolah masih dirasakan terbatas. Perbandingan jumlah sekolah dengan jumlah penduduk masih tinggi, karena itu perlu dikembangkan lembaga pendidikan khususnya pendidikan kejuruan yang dibangun di daerah pedesaan yang dibutuhkan dalam pengembangan sumber daya setempat untuk meningkatkan SDM yang trampil di perdesaan serta diharapkan secara signifikan dapat membuka lapangan pekerjaan, hal ini dapat mengurangi migrasi keluar kawasan perdesaan di Kapet Bima. 4. Untuk mendukung strategi pengembangan wilayah Kapet Bima, maka beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : a. Tiap stakeholders memiliki fungsi peran masing-masing dalam

pengembangan wilayah Kapet Bima, namun hubungan dan kerja sama secara kelembagaan belum optimal. Sehingga berbagai stakeholders perlu

189

duduk bersama untuk menyusun kerangka kerja dan membangun kemitraan efektif dalam suatu pola yang saling menguntungkan (win-win solution) dalam berbagai kegiatan pengembangan sumber daya wilayah. Untuk itu pemerintah daerah khususnya di tingkat kabupaten/kota perlu menyiapkan perangkat kebijakan (misalnya Perda atau Peraturan Bupati/Walikota) yang memberikan kemudahan atau insentif sehingga dapat mendorong terjadinya kemitraan/keterlibatan khususnya pihak swasta/perbankan. b. Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet Bima merupakan pilihan utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima secara terpadu karena adanya permasalahan struktural, teknis dan keterbatasan infrastruktur yang merupakan kendala utama dalam kegiatan pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4 sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang

dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 yang sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif penggabungan beberapa daerah administratif dapat dilakukan apabila adanya usulan dan persetujuan dari daerah yang bersangkutan dan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Berbagai pilihan alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang lebih mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara terpadu dapat diwujudkan. c. Kerja sama antar daerah telah diamatkan dalam Undang-Undang 32 tahun 2004, khususnya pasal 195 dan 196, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta efisiensi dan efektifitas dalam mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya. Untuk pengelolaan kerja sama ini daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda). yang dibentuk sesuai dengan bidang kerja sama, sehingga badan ini berjalan lebih fokus dan terarah.

190

d. BP Kapet Bima yang diharapkan sebagai ujung tombak pengembangan wilayah Kapet Bima berjalan stagnan, karena kurang tegasnya fungsi dan kewenangan BP Kapet sebagai lembaga pengelola pembangunan wilayah di Kapet Bima, untuk itu keberadaan BP Kapet Bima perlu dilakukan reposisi dan restrukturisasi, yang kelembagaannya dapat diarahkan sebagai Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) dibidang pengembangan Ekonomi, Industri dan Perdagangan. e. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) ini bertugas untuk melakukan kajian, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama. Sehingga Badan Kerjasama Antar Daerah (Bakesda) dapat memberikan masukan atau saran secara lebih efektif kepada masingmasing Kepala Daerah mengenai kebijakan dan program pengembangan wilayah pada bidang kerja sama dimaksud. f. Badan Kerja Sama Antar Daerah (Bakesda) didalam penyelenggaraan kerja sama perlu menyusun program kerja baik untuk periode jangka pendek (satu tahun) maupun untuk jangka menengah dan panjang. Program kerja tersebut terintegrasi dengan program pembangunan wilayah daerah masing-masing sehingga segala pembiayaan dan pendapatan daerah sebagai akibat kerja sama ini dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sebelumnya telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing. Selain itu pembiayaan dapat pula diusahakan melalui pembiayaan APBD Propinsi, APBN atau dari pihak ketiga. g. Pemerintah Daerah Propinsi NTB memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, namun tingkat peran (keterlibatan)nya relatif masih rendah. Untuk itu Pemerintah Daerah Propinsi NTB perlu berperan lebih besar dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima, baik sebagai jabatan Gubernur (Kepala Daerah Propinsi) yang secara ad.interm selaku ketua BP Kapet Bima maupun selaku pimpinan kelembagaan pemerintah yang bersifat otonom, yang memiliki

kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi (pasal 1 UU

191

Nomor 32 Tahun 2004), yang melaksanakan fungsinya dalam mengelola sumber daya wilayah lingkup propinsi, serta melakukan koordinasi dan fasilitasi lintas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam lingkup propinsi (pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004). 5. Penelitian ini mengkaji pengembangan wilayah di Kapet Bima masih pada tingkat wilayah kabupaten/kota, sehingga kesimpulan dan rekomendasi masih bersifat umum, untuk itu dibutuhkan penelitian lanjutan yang mengkaji wilayah secara lebih mikro, minimal sampai pada kajian tingkat kecamatan, sehingga kajian tipologi/karakteristik wilayah dan rekomendasi hubungan fungsional dan kerja sama intra regional spesifik. dapat ditentukan secara lebih

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. 2001. Pembangunan Wilayah Perdesaan dengan Desentralisasi Spatial melalui Pembangunan Agropolitan yang Mereplikasi Kota-Kota Menengah dan Kecil. Makalah disampaikan pada Pembahasan Proyek Perintisan pengembangan Perdesaan. Bogor. Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor : P4Wpress. Anwar A, Rustiadi E. 2000. Perspektif Pembangunan Tata Ruang (Spatial) Wilayah Pedesaan Dalam Rangka Pembangunan Regional. Bogor : Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Program Pascasarjana, IPB. Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Jakarta : Penerbit Graha Ilmu . Azra A. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung : Mizan. Badan Pusat Satatistik, 2000a. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output. Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Satatistik, 2000b. Tekhnik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Statistik, 2006. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PropinsiPropinsi di-Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Satatistik. Badan Pusat Satatistik Bima, 2001. Kabupaten Bima Dalam Angka. Bima : Badan Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Bima, 2004. Kabupaten Bima Dalam Angka. Bima : Badan Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Bima, 2004. Kota Bima Dalam Angka. Bima : Badan Pusat Satatistik Bima. Badan Pusat Satatistik Dompu, 2001. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Dompu : Badan Pusat Satatistik Dompu. Badan Pusat Satatistik Dompu, 2004. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Dompu : Badan Pusat Satatistik Dompu.

193

Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kabupaten Se-Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2001. Propinsi Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004b. Propinsi Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004c. Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat, 2004c. Tabel Input-Output (IO) Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram : Badan Pusat Satatistik Nusa Tenggara Barat. Bakry, L., 1999. Kontribusi Sektor Perikanan Terhadap Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah [Tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. Mataram : BP Kapet Bima. BP Kapet Bima dan Unram, 2003. Penyusunan Businis Plan Kapet Bima. Mataram : BP Kapet Bima. BP Kapet Bima, 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kapet Bima. Mataram : BP Kapet Bima. Darwanto, H., 2004. Membangun Wilayah Yang Produktif. Jakarta : Bulletin Bappenas. Dewi, P.S., 2003. Pengembangan Perekonomian Daerah Melalui Kerjasama Perbankan Nasional Dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor. Fu, C.L. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. Diacu dalam Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

194

Garcia, J.G. 2000. Indonesias Trade and Price Interventions : Pro-Java and ProUrban. Bulletin of Indonesian Economic Studi 36 (3) : 993-112. Glasson, J. 1974. An Introduction to Regional Planing. Diacu dalam Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan Di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Miyosi, 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Strategies University of Manchester, Depatemen of Economic Studies. Hadi, S., 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi) [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Haeruman, H. et al. 2000. Kebijakan DP KTI Dalam pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Hamzah M. 2004. Ensiklopedia Bima. Bima : Pemerintah Kabupaten Bima. Hagget, P., A.D. Clift dan A. Frey. 1997. Location Analysis in Human Geography. Diacu dalam Rustiadi, E. Saefulhakim, S. Panuju, D.R. 2005. Perencanaan Pengembangan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Haruo, N. 2000. Regional Development in Third World Countries Paradigms and Operational Principles. The International Development Journal, Co. Ltd. Tokyo. Japan. Hillway, T. 1956. Introduction To Research. Diacu dalam Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Isard, W. 1975. Introduction to Regional Science. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall. Kasikoen, K.A. 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Lipton, M. 1977. Why Poor People Stay Poor. Gower Publishing Limited. London. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

195

Miyosi, 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Strategies dalam Kasikoen, K.A., 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan Di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Murty, S. 2000. Regional Disparities: Need and Measures for Balances Development (pp. 3-16). Paper in Regional Planning and Sustainable Development. Kanishka Publishers, Distributors. New Delhi. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Paauw, D. S. and Fei, J. C. H. 1973. The transition in open dualistic economies, Theory and Southeast Asian experience. New Haven: Yale University Press. Pradhan, K. Pushkar. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural Development Analysis. New Hira Books Enterprises. Kirtipur, Kathmandu. Prasetya, H. 2000. Pengembangan Keterkaitan Antar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Prasetya, H. dan Hadi, A.R. 2000. Strategi Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Pribadi, D.O., 2005. Pembangunan Kawasan Agropolitan Melalui Pengembangan Kota-Kota Kecil, Menengah, Peningkatan Efisiensi Pasar Perdesaan dan Penguatan Akses Masyarakat Terhadap Lahan [Tesis]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor. Rondinelli, A.D. 1985. Applied Methods of Regional Analysis The Spatial Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi, E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan. Bogor. Rustiadi, et. al. 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan Agropolitan. Jakarta : Departemen Kimpraswil. Rustiadi, E. Saefulhakim, S. Panuju, D.R. 2005. Perencanaan Pengembangan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

196

Tim P4W-IPB. 2002. Penyusunan Arahan Strategi Pengembangan Inter-regional Berimbang. Jakarta : P4W IPB dan Bapenas. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Pressindo. Saefulhakim RS. 2003. Permodelan Wilayah [Diktat Kuliah]. Bogor : Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Smith, A. Carol. 1976. Regional Analysis, Volume I Economic System. Department of Anthropology Duke University Durham. North Carolina. Sekretariat Negara RI. 1992. Undang-Undang Nomor 24 Tentang Penataan Ruang. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Sekretariat Negara RI. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Sekretariat Negara RI. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah, Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Tajib A. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta : PT. Harapan Masa PGRI Jakarta. Tambunan, T.TH. 2001. Perencanaan Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia. Jakarta.

LAMPIRAN Halaman?

Lampiran 1 Peta Wilayah Kapet Bima

Wilay

PROPINSI NTB

198 Lampiran 2 Daftar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Indonesia NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 NAMA KAPET SABANG NATUNA SANGGAU DASKAKAB BATULICIN SASAMBA PARE-PARE BATUI BUKARI MANADO-BITUNG BIMA MBAY SERAM BIAK PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH RIAU KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR MALUKU IRIAN JAYA

199 Lampiran 3 Daftar Desa Sampel dan Responden Penelitian di Kapet Bima

NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 JMLH

NAMA DESA SARAE PENARAGA KOLO NARU LANTA SAMBORI NUNGGI DORO O'O TANGGA SAMILI RATO CAMPA BAJO PIONG KANDAI DUA MONTA BARU HUU PEKAT MALAJU 19

KECAMATAN RASANAE BARAT RASANAE TIMUR ASA KOTA SAPE LAMBU WAWO WERA LANGGUDU MONTA WOHA BOLO MADAPANGGA DONGGO SANGGAR DOMPU WOJA HUU PEKAT KILO 19

KABUPATEN KOTA BIMA KOTA BIMA KOTA BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. BIMA KAB. DOMPU KAB. DOMPU KAB. DOMPU KAB. DOMPU KAB. DOMPU 3

RESPONDEN (ORG) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 38

Lampiran 4 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) NO. LAPANGAN USAHA 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa JUMLAH 2000 306,400.95 12,080.28 20,772.50 1,189.20 41,017.12 100,636.31 32,584.04 11,632.35 80,701.77 607,014.52 2001 360,122.62 13,619.61 22,776.92 1,496.48 46,116.75 117,331.30 38,778.05 13,530.57 89,951.54 703,723.84 2002 390,418.56 15,430.00 25,518.71 1,872.85 55,263.50 134,437.66 47,572.38 15,872.60 96,178.29 782,564.55 2003 409,287.42 17,760.13 28,816.95 2,331.71 67,874.53 156,191.31 60,071.47 18,710.95 108,747.32 869,791.79

200

Lampiran 5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 2000 99,109.21 4,950.06 8,149.91 767.34 14,803.17 33,133.24 14,786.22 5,152.64 32,063.53 212,915.32 2001 105,513.97 5,123.31 8,477.68 830.89 15,196.89 34,740.47 15,605.52 5,421.82 32,612.22 223,522.77 2002 108,339.54 5,411.79 8,869.35 863.25 16,086.15 36,837.34 16,383.11 5,793.12 33,767.91 232,351.56 2003 110,996.82 5,814.42 9,331.47 895.11 17,415.87 41,148.31 18,912.15 6,245.25 34,455.41 245,214.81

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa JUMLAH

201

Lampiran 6 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 503,854.49 29,185.78 28,521.10 1,556.96 60,540.10 144,602.78 70,365.29 9,162.39 121,380.38 969,169.27 2001 588,686.65 33,933.89 30,592.85 1,801.31 70,383.13 160,811.51 83,074.86 11,480.78 135,551.44 1,116,316.42 2002 640,599.14 37,479.37 34,433.04 2,417.90 80,711.97 181,285.88 100,538.79 12,852.28 138,405.51 1,228,723.88 2003 699,795.25 40,983.23 37,475.68 3,005.64 88,534.29 196,093.52 108,825.21 13,753.55 157,385.87 1,345,852.24

202

Lampiran 7

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) 2000 191,499.46 12,762.07 16,628.84 1,129.52 26,557.05 63,924.46 35,919.68 4,833.97 47,926.67 401,181.72 2001 199,239.51 13,752.51 17,319.95 1,231.08 27,850.65 66,607.39 37,917.02 5,522.20 49,006.42 418,446.73 2002 203,652.49 14,319.76 18,058.89 1,300.30 29,228.14 69,508.87 39,619.74 5,769.11 50,078.74 431,536.04 2003 217,428.45 14,987.07 18,885.99 1,364.78 30,759.70 73,026.74 41,476.28 5,990.68 51,093.67 455,013.36

No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah

203

Lampiran 8 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 72,323.54 331.49 9,451.32 1,928.85 18,396.09 46,993.07 36,237.56 4,169.03 86,933.55 276,764.50 2001 84,801.32 391.13 11,056.67 2,328.04 21,528.41 54,375.82 43,841.07 5,276.38 97,188.40 320,787.24 2002 94,249.45 451.45 12,314.22 3,021.00 24,180.60 60,902.37 52,189.47 5,981.03 107,975.36 361,264.95 2003 100,767.29 491.67 13,398.37 3,739.19 26,474.15 66,562.45 57,803.38 6,389.22 121,148.74 396,774.46

204

Lampiran 9 Produk Domestik Regional Bruto Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 26,543.96 204.65 6,087.10 1,248.96 7,960.77 21,366.66 19,411.78 2,181.88 33,325.15 118,330.91 2001 27,802.35 218.52 6,443.19 1,314.63 8,351.65 22,554.06 20,615.85 2,493.95 33,662.20 123,456.40 2002 28,166.94 233.86 6,833.01 1,387.03 8,773.41 23,893.06 21,936.03 2,615.02 34,614.95 128,453.31 2003 29,752.40 245.18 7,155.53 1,450.07 9,269.10 25,372.44 23,332.09 2,726.12 35,118.58 134,421.51

205

Lampiran 10 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 882,578.98 41,597.55 58,744.92 4,675.01 119,953.31 292,232.16 139,186.89 24,963.77 289,015.70 1,852,948.29 2001 1,033,610.59 47,944.63 64,426.44 5,625.83 138,028.29 332,518.63 165,693.98 30,287.73 322,691.38 2,140,827.50 2002 1,125,267.15 53,360.82 72,265.97 7,311.75 160,156.07 376,625.91 200,300.64 34,705.91 342,559.16 2,372,553.38 2003 1,209,849.96 59,235.03 79,691.00 9,076.54 182,882.97 418,847.28 226,700.06 38,853.72 387,281.93 2,612,418.49

206

Lampiran 11 Produk Domestik Regional Bruto Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 317,152.63 17,916.78 30,865.85 3,145.82 49,320.99 118,424.36 70,117.68 12,168.49 113,315.35 732,427.95 2001 332,555.83 19,094.34 32,240.82 3,376.60 51,399.19 123,901.92 74,138.39 13,437.97 115,280.84 765,425.90 2002 340,158.97 19,965.41 33,761.25 3,550.58 54,087.70 130,239.27 77,938.88 14,177.25 118,461.60 792,340.91 2003 358,177.67 21,046.67 35,372.99 3,709.96 57,444.67 139,547.49 83,720.52 14,962.05 120,667.66 834,649.68

207

Lampiran 12 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 3,296,155.79 234,689.42 500,770.75 30,411.01 779,362.78 1,550,993.55 891,684.21 165,867.73 1,410,161.75 8,860,096.99 2001 3,694,834.32 270,007.72 556,204.76 36,145.80 898,388.61 1,818,235.74 1,053,638.63 201,233.31 1,565,167.84 10,093,856.73 2002 3,977,689.70 302,599.45 624,918.69 47,829.88 1,036,593.91 2,053,474.69 1,326,944.77 229,715.50 1,652,659.84 11,252,426.43 2003 4,082,697.81 346,611.28 715,114.55 57,711.86 1,169,134.76 2,236,232.53 1,476,375.06 264,999.19 1,979,239.67 12,328,116.71

208

Lampiran 13 Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Juta Rp) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 1,211,249.71 101,298.95 173,835.15 19,338.16 271,479.30 548,873.63 423,669.30 78,308.97 565,763.41 3,393,816.58 2001 1,219,301.03 106,374.03 183,691.60 20,250.90 283,614.43 582,706.04 445,100.47 86,233.75 570,590.58 3,497,862.83 2002 1,236,510.17 110,958.75 194,498.67 21,059.05 296,632.33 615,777.25 471,090.14 91,015.67 581,762.79 3,619,304.82 2003 1,275,631.74 116,240.39 207,119.38 21,949.74 314,014.99 649,967.29 501,899.27 96,845.48 592,462.55 3,776,130.83

209

Lampiran 14 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 50.48 1.99 3.42 0.20 6.76 16.58 5.37 1.92 13.29 100.00 2001 51.17 1.94 3.24 0.21 6.55 16.67 5.51 1.92 12.78 100.00 2002 49.89 1.97 3.26 0.24 7.06 17.18 6.08 2.03 12.29 100.00 2003 47.06 2.04 3.31 0.27 7.80 17.96 6.91 2.15 12.50 100.00 Rata-Rata 49.65 1.98 3.31 0.23 7.04 17.10 5.97 2.00 12.72 100.00

210

Lampiran 15 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 46.55 2.32 3.83 0.36 6.95 15.56 6.94 2.42 15.06 100.00 2001 47.21 2.29 3.79 0.37 6.80 15.54 6.98 2.43 14.59 100.00 2002 46.63 2.33 3.82 0.37 6.92 15.85 7.05 2.49 14.53 100.00 2003 45.27 2.37 3.81 0.37 7.10 16.78 7.71 2.55 14.05 100.00 Rata-Rata 46.41 2.33 3.81 0.37 6.94 15.93 7.17 2.47 14.56 100.00

211

Lampiran 16 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 51.99 3.01 2.94 0.16 6.25 14.92 7.26 0.95 12.52 100.00 2001 52.73 3.04 2.74 0.16 6.30 14.41 7.44 1.03 12.14 100.00 2002 52.14 3.05 2.80 0.20 6.57 14.75 8.18 1.05 11.26 100.00 2003 52.00 3.05 2.78 0.22 6.58 14.57 8.09 1.02 11.69 100.00 Rata-Rata 52.21 3.04 2.82 0.19 6.42 14.66 7.74 1.01 11.91 100.00

212

Lampiran 17 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 47.73 3.18 4.14 0.28 6.62 15.93 8.95 1.20 11.95 100.00 2001 47.61 3.29 4.14 0.29 6.66 15.92 9.06 1.32 11.71 100.00 2002 47.19 3.32 4.18 0.30 6.77 16.11 9.18 1.34 11.60 100.00 2003 47.79 3.29 4.15 0.30 6.76 16.05 9.12 1.32 11.23 100.00 Rata-Rata 47.58 3.27 4.15 0.29 6.70 16.00 9.08 1.29 11.62 100.00

213

Lampiran 18 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen)

No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah

2000 26.13 0.12 3.41 0.70 6.65 16.98 13.09 1.51 31.41 100.00

2001 26.44 0.12 3.45 0.73 6.71 16.95 13.67 1.64 30.30 100.00

2002 26.09 0.12 3.41 0.84 6.69 16.86 14.45 1.66 29.89 100.00

2003 25.40 0.12 3.38 0.94 6.67 16.78 14.57 1.61 30.53 100.00

Rata-Rata 26.01 0.12 3.41 0.80 6.68 16.89 13.94 1.60 30.53 100.00

214

Lampiran 19 Distribusi Persentase PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 22.43 0.17 5.14 1.06 6.73 18.06 16.40 1.84 28.16 100.00 2001 22.52 0.18 5.22 1.06 6.76 18.27 16.70 2.02 27.27 100.00 2002 21.93 0.18 5.32 1.08 6.83 18.60 17.08 2.04 26.95 100.00 2003 22.13 0.18 5.32 1.08 6.90 18.88 17.36 2.03 26.13 100.00 Rata-Rata 22.25 0.18 5.25 1.07 6.80 18.45 16.88 1.98 27.13 100.00

215

Lampiran 20 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 47.63 2.24 3.17 0.25 6.47 15.77 7.51 1.35 15.60 100.00 2001 48.28 2.24 3.01 0.26 6.45 15.53 7.74 1.41 15.07 100.00 2002 47.43 2.25 3.05 0.31 6.75 15.87 8.44 1.46 14.44 100.00 2003 46.31 2.27 3.05 0.35 7.00 16.03 8.68 1.49 14.82 100.00 Rata-Rata 47.41 2.25 3.07 0.29 6.67 15.80 8.09 1.43 14.98 100.00

216

Lampiran 21 Distribusi Persentase PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 43.30 2.45 4.21 0.43 6.73 16.17 9.57 1.66 15.47 100.00 2001 43.45 2.49 4.21 0.44 6.72 16.19 9.69 1.76 15.06 100.00 2002 42.93 2.52 4.26 0.45 6.83 16.44 9.84 1.79 14.95 100.00 2003 42.91 2.52 4.24 0.44 6.88 16.72 10.03 1.79 14.46 100.00 Rata-Rata 43.15 2.50 4.23 0.44 6.79 16.38 9.78 1.75 14.99 100.00

217

Lampiran 22 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 37.20 2.65 5.65 0.34 8.80 17.51 10.06 1.87 15.92 100.00 2001 36.60 2.67 5.51 0.36 8.90 18.01 10.44 1.99 15.51 100.00 2002 35.35 2.69 5.55 0.43 9.21 18.25 11.79 2.04 14.69 100.00 2003 33.12 2.81 5.80 0.47 9.48 18.14 11.98 2.15 16.05 100.00 Rata-Rata 35.57 2.71 5.63 0.40 9.10 17.98 11.07 2.01 15.54 100.00

218

Lampiran 23 Distribusi Persentase PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 35.69 2.98 5.12 0.57 8.00 16.17 12.48 2.31 16.67 100.00 2001 34.86 3.04 5.25 0.58 8.11 16.66 12.72 2.47 16.31 100.00 2002 34.16 3.07 5.37 0.58 8.20 17.01 13.02 2.51 16.07 100.00 2003 33.78 3.08 5.48 0.58 8.32 17.21 13.29 2.56 15.69 100.00 Rata-Rata 34.62 3.04 5.31 0.58 8.15 16.76 12.88 2.46 16.19 100.00

219

Lampiran 24 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 17.53 12.74 9.65 25.84 12.43 16.59 19.01 16.32 11.46 15.93 2002 8.41 13.29 12.04 25.15 19.83 14.58 22.68 17.31 6.92 11.20 2003 4.83 15.10 12.92 24.50 22.82 16.18 26.27 17.88 13.07 11.15 Rata-Rata 10.26 13.71 11.54 25.16 18.36 15.78 22.65 17.17 10.48 12.76

220

Lampiran 25 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Dompu Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 6.46 3.50 4.02 8.28 2.66 4.85 5.54 5.22 1.71 4.98 2002 2.68 5.63 4.62 3.89 5.85 6.04 4.98 6.85 3.54 3.95 2003 2.45 7.44 5.21 3.69 8.27 11.70 15.44 7.80 2.04 5.54 Rata-Rata 3.86 5.52 4.62 5.29 5.59 7.53 8.65 6.63 2.43 4.82

221

Lampiran 26 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 16.84 16.27 7.26 15.69 16.26 11.21 18.06 25.30 11.67 15.18 2002 8.82 10.45 12.55 34.23 14.68 12.73 21.02 11.95 2.11 10.07 2003 9.24 9.35 8.84 24.31 9.69 8.17 8.24 7.01 13.71 9.53 Rata-Rata 11.63 12.02 9.55 24.74 13.54 10.70 15.78 14.75 9.16 11.59

222

Lampiran 27 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 4.04 7.76 4.16 8.99 4.87 4.20 5.56 14.24 2.25 4.30 2002 2.21 4.12 4.27 5.62 4.95 4.36 4.49 4.47 2.19 3.13 2003 6.76 4.66 4.58 4.96 5.24 5.06 4.69 3.84 2.03 5.44 Rata-Rata 4.34 5.52 4.33 6.52 5.02 4.54 4.91 7.52 2.16 4.29

223

Lampiran 28 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 17.25 17.99 16.99 20.70 17.03 15.71 20.98 26.56 11.80 15.91 2002 11.14 15.42 11.37 29.77 12.32 12.00 19.04 13.35 11.10 12.62 2003 6.92 8.91 8.80 23.77 9.49 9.29 10.76 6.82 12.20 9.83 Rata-Rata 11.77 14.11 12.39 24.74 12.94 12.34 16.93 15.58 11.70 12.78

224

Lampiran 29 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 4.74 6.78 5.85 5.26 4.91 5.56 6.20 14.30 1.01 4.33 2002 1.31 7.02 6.05 5.51 5.05 5.94 6.40 4.85 2.83 4.05 2003 5.63 4.84 4.72 4.54 5.65 6.19 6.36 4.25 1.45 4.65 Rata-Rata 3.89 6.21 5.54 5.10 5.20 5.90 6.32 7.80 1.77 4.34

225

Lampiran 30 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 17.11 15.26 9.67 20.34 15.07 13.79 19.04 21.33 11.65 15.54 2002 8.87 11.30 12.17 29.97 16.03 13.26 20.89 14.59 6.16 10.82 2003 7.52 11.01 10.27 24.14 14.19 11.21 13.18 11.95 13.06 10.11 Rata-Rata 11.17 12.52 10.70 24.81 15.10 12.75 17.70 15.96 10.29 12.16

226

Lampiran 31 Laju Pertumbuhan PDRB Kapet Bima Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 4.86 6.57 4.45 7.34 4.21 4.63 5.73 10.43 1.73 4.51 2002 2.29 4.56 4.72 5.15 5.23 5.11 5.13 5.50 2.76 3.52 2003 5.30 5.42 4.77 4.49 6.21 7.15 7.42 5.54 1.86 5.34 Rata-Rata 4.15 5.52 4.65 5.66 5.22 5.63 6.09 7.16 2.12 4.45

227

Lampiran 32 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 12.10 15.05 11.07 18.86 15.27 17.23 18.16 21.32 10.99 13.92 2002 7.66 12.07 12.35 32.32 15.38 12.94 25.94 14.15 5.59 11.48 2003 2.64 14.54 14.43 20.66 12.79 8.90 11.26 15.36 19.76 9.56 Rata-Rata 7.46 13.89 12.62 23.95 14.48 13.02 18.45 16.95 12.11 11.65

228

Lampiran 33 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 2001 0.66 5.01 5.67 4.72 4.47 6.16 5.06 10.12 0.85 3.07 2002 1.41 4.31 5.88 3.99 4.59 5.68 5.84 5.55 1.96 3.47 2003 3.16 4.76 6.49 4.23 5.86 5.55 6.54 6.41 1.84 4.33 Rata-Rata 1.75 4.69 6.01 4.31 4.97 5.80 5.81 7.36 1.55 3.62

229

Lampiran 34 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.09 0.05 0.04 0.04 0.05 0.06 0.04 0.07 0.06 0.07 2001 0.10 0.05 0.04 0.04 0.05 0.06 0.04 0.07 0.06 0.07 2002 0.10 0.05 0.04 0.04 0.05 0.07 0.04 0.07 0.06 0.07 2003 0.10 0.05 0.04 0.04 0.06 0.07 0.04 0.07 0.05 0.07 Rata-Rata 0.10 0.05 0.04 0.04 0.05 0.07 0.04 0.07 0.06 0.07

230

Lampiran 35 Kontribusi PDRB Kabupaten Dompu Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.08 0.05 0.05 0.04 0.05 0.06 0.03 0.07 0.06 0.06 2001 0.09 0.05 0.05 0.04 0.05 0.06 0.04 0.06 0.06 0.06 2002 0.09 0.05 0.05 0.04 0.05 0.06 0.03 0.06 0.06 0.06 2003 0.09 0.05 0.05 0.04 0.06 0.06 0.04 0.06 0.06 0.06 Rata-Rata 0.09 0.05 0.05 0.04 0.05 0.06 0.04 0.06 0.06 0.06

231

Lampiran 36 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.15 0.12 0.06 0.05 0.08 0.09 0.08 0.06 0.09 0.11 2001 0.18 0.14 0.06 0.06 0.09 0.10 0.09 0.07 0.10 0.13 2002 0.19 0.16 0.07 0.08 0.10 0.12 0.11 0.08 0.10 0.14 2003 0.21 0.17 0.07 0.10 0.11 0.13 0.12 0.08 0.11 0.15 Rata-Rata 0.18 0.15 0.07 0.07 0.10 0.11 0.10 0.07 0.10 0.13

232

Lampiran 37 Kontribusi PDRB Kabupaten Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.16 0.13 0.10 0.06 0.10 0.12 0.08 0.06 0.08 0.12 2001 0.16 0.14 0.10 0.06 0.10 0.12 0.09 0.07 0.09 0.12 2002 0.17 0.14 0.10 0.07 0.11 0.13 0.09 0.07 0.09 0.13 2003 Rata-Rata 0.18 0.15 0.11 0.07 0.11 0.13 0.10 0.08 0.09 0.13 0.17 0.14 0.10 0.06 0.11 0.12 0.09 0.07 0.09 0.13

233

Lampiran 38 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.02 0.00 0.02 0.06 0.02 0.03 0.04 0.03 0.06 0.03 2001 0.03 0.00 0.02 0.08 0.03 0.04 0.05 0.03 0.07 0.04 2002 0.03 0.00 0.02 0.10 0.03 0.04 0.06 0.04 0.08 0.04 2003 0.03 0.00 0.03 0.12 0.03 0.04 0.06 0.04 0.09 0.04 Rata-Rata 0.03 0.00 0.02 0.09 0.03 0.04 0.05 0.03 0.07 0.04

234

Lampiran 39 Kontribusi PDRB Kota Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.02 0.00 0.04 0.06 0.03 0.04 0.05 0.03 0.06 0.03 2001 0.02 0.00 0.04 0.07 0.03 0.04 0.05 0.03 0.06 0.04 2002 0.02 0.00 0.04 0.07 0.03 0.04 0.05 0.03 0.06 0.04 2003 0.02 0.00 0.04 0.07 0.03 0.05 0.06 0.03 0.06 0.04 Rata-Rata 0.02 0.00 0.04 0.07 0.03 0.04 0.05 0.03 0.06 0.04

235

Lampiran 40 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.27 0.18 0.12 0.15 0.15 0.19 0.16 0.15 0.20 0.21 2001 0.31 0.20 0.13 0.18 0.18 0.21 0.19 0.18 0.23 0.24 2002 0.34 0.23 0.14 0.24 0.21 0.24 0.22 0.21 0.24 0.27 2003 0.37 0.25 0.16 0.30 0.23 0.27 0.25 0.23 0.27 0.29 Rata-Rata 0.32 0.22 0.14 0.22 0.19 0.23 0.21 0.19 0.24 0.25

236

Lampiran 41 Kontribusi PDRB Kapet Bima Terhadap Propinsi NTB Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2004 (Persen) No. Lapangan Usaha 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan Dan Perkebunan 2 Pertambangan Dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas Dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 7 Pengangkutan Dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Prsh 9 Jasa-Jasa Jumlah 2000 0.26 0.18 0.18 0.16 0.18 0.22 0.17 0.16 0.20 0.22 2001 0.27 0.19 0.19 0.17 0.19 0.23 0.17 0.17 0.20 0.23 2002 0.28 0.20 0.19 0.18 0.20 0.24 0.18 0.18 0.21 0.23 2003 0.30 0.21 0.20 0.19 0.21 0.25 0.20 0.19 0.21 0.25 Rata-Rata 0.28 0.19 0.19 0.18 0.20 0.23 0.18 0.17 0.21 0.23

237

238 Lampiran 42 Daftar Sektor Ekonomi/Komponen Tabel Input-Output di Kapet Bima Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 180 309 310 Nama Sektor Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-Hasilnya Kehutanan Perikanan Penggalian Industri Pengolahan Non Migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel dan Restoran Angkutan Pos dan Telekomunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan Jasa Pemerintahan Umum Jasa Swasta Total Input Antara Import Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Netto Total Nilai Tambah Bruto Total Input Total Permintaan Antara Total Permintaan Akhir Total Output

Lampiran 43 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (Rp.000)
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 1 74,535,962 241,183 101 2,605,571 222,985 3,890,928 25,358,025 31,608,075 1,531,167 129,796 2,934,798 817,103 143,875,695 75,066,293 255,013,076 524,151,555 16,871,344 3,646,474 799,682,448 1,018,624,436 2 1,616,356 39 131,058 17,260 3,615 112,384 918,638 57,406 1,208,279 36,338 91,389 144,774 11,257 4,348,792 3,501,485 12,969,406 47,609,657 341,436 231,395 61,151,894 69,002,172 3 506,424 1,198,521 17,459,148 17,238 103,698 7,803,202 442,116 153,780 615,491 6,598,726 1,898 2,863,572 492,758 38,256,573 5,113,522 30,557,007 94,360,865 4,737,262 477,648 130,132,782 173,502,877 4 16,537 176,839 289,781 601,432 1,566,833 17,107 49,840 2,718,368 3,409,824 16,283,475 75,449,890 311,993 33,966 92,079,324 98,207,516 5 18,652 1,565 1,361 8,449,849 40,134 8,080,559 47,711 6,039 140,444 6,084,763 96,805 1,895,921 24,263 688,411 28,330 25,604,806 8,917,510 51,597,397 70,496,145 4,586,971 122,999 126,803,512 161,325,827 6 1,656,371 983,816 544 3,647 244,840 916,568 237,233 1,195,861 144,575 314,166 124,534 1,121 5,823,277 4,427,667 15,769,177 34,346,022 4,572,892 4,546,935 59,235,026 69,485,970 7 136,309,592 57,085,750 7,600,881 3,953,715 20,372,354 1,095,768 25,166,147 1,460,765 69,190 1,059,781 48,773,738 386,747 10,990,339 264,414 301,619 95,199 14,344 315,000,342 19,008,177 23,197,656 52,921,723 3,140,972 430,649 79,691,000 413,699,519 8 65,688 2,490,944 3,692 235,640 1,339,906 5,378 436,167 1,035,299 118,028 4,519 5,735,259 13,284,360 3,815,386 2,109,687 1,399,216 14,767 7,339,056 26,358,675

239

Lampiran 43 Lanjutan
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 9 14,632 11,025 17,950 56,717 5,829 175,863 377 83,017 736 366,145 288,177 864,603 469,310 341,500 62,074 1,737,486 2,391,808 10 1,079,842 22,158,060 22,938,633 229,389 10,783 222,726 19,160,274 19,700,924 409,358 1,306,676 3,122,033 8,950 90,347,648 42,872,012 92,769,685 68,645,755 17,880,320 3,587,206 182,882,966 316,102,626 11 657,771 3,674,041 161,573 163,034 773,242 891,864 25,504,734 9,145,691 1,231,369 736,344 175,191 43,114,854 3,482,727 97,993,969 263,236,061 18,784,924 14,060,303 394,075,257 440,672,839 12 3,009,969 265,082 3,769,220 425 7,493,067 3,544 7,285,939 561,871 55,753 321,496 4,019,947 8,320 980,748 352,460 1,122,806 1,055,062 4,022 30,309,733 1,496,448 8,198,000 13,700,456 1,657,455 1,216,101 24,772,012 56,578,194 13 5,056 1,291,352 416,056 25,961 617,622 5,813,462 4,185,535 3,391,002 1,076,402 2,397,010 855,186 2,956,342 23,030,987 49,765,649 52,289,927 101,546,338 45,923,304 2,697,986 202,457,556 275,254,192 14 28,165 251,425 10,317 243,873 39,514 9,321 252,252 1,124,137 857,631 76,264 2,892,899 164,084 8,299,961 15,448,458 389,683 104,400 24,242,501 27,299,484 15 60,937 209,996 34,378 182,595 49,898 329,568 13,758 317,413 5,638,661 207,613 8,673 7,053,490 212,689 14,283,932 7,823,620 467,962 756,584 23,332,098 30,598,277

240

Lampiran 43 Lanjutan
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 16 81,066 147,875 6,446 579,475 163,866 16,697 44,313 10,573 32,871 1,083,181 631,663 2,253,356 6,825,794 6,434,438 8,035 15,521,623 17,236,467 17 692,100 78,105 132,273 91,206 8,289,311 3,943,372 342,865 10,193,220 12,203,076 41,426,918 28,104,090 9,098,583 5,410,600 5,483,604 4,738,015 130,227,338 58,834,774 346,809,537 17,340,491 364,150,028 553,212,140 18 7,937 10,105 611,760 308,063 58,383 2,412,653 669,561 45,463 508,170 506,953 333,002 1,373,897 129,487 6,975,433 3,060,908 5,452,508 15,690,942 1,936,182 52,264 23,131,897 33,168,238 180 215,080,637 60,253,919 29,204,271 5,069,257 36,406,475 25,062,631 86,272,447 14,435,438 946,421 21,543,933 133,541,352 47,682,456 130,243,253 25,797,095 19,941,542 16,302,897 8,980,800 876,764,822 293,537,967 1,038,418,059 1,394,832,276 147,118,344 32,049,787 2,612,418,466 3,782,721,256 309 803,543,800 8,748,253 144,298,606 93,138,259 124,919,352 44,423,339 327,427,072 11,923,237 1,445,387 294,558,694 307,131,487 8,895,738 145,010,938 1,502,389 10,656,734 933,570 553,212,140 24,187,438 2,905,956,433 233,319,449 310 1,018,624,436 69,002,172 173,502,877 98,207,516 161,325,827 69,485,970 413,699,519 26,358,675 2,391,808 316,102,626 440,672,839 56,578,194 275,254,192 27,299,484 30,598,277 17,236,467 553,212,140 33,168,238 3,782,721,256 526,857,416 -

241

Lampiran 44 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Koefisien Input Domestik Atas Dasar Harga Produsen
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 1 0.0732 0.0002 0.0000 0.0026 0.0002 0.0038 0.0249 0.0310 0.0015 0.0001 0.0029 0.0008 0.1412 0.0737 0.2504 0.5146 0.0166 0.0036 0.7851 1.0000 2 0.0234 0.0000 0.0019 0.0003 0.0001 0.0016 0.0133 0.0008 0.0175 0.0005 0.0013 0.0021 0.0002 0.0630 0.0507 0.1880 0.6900 0.0049 0.0034 0.8862 1.0000 3 0.0029 0.0069 0.1006 0.0001 0.0006 0.0450 0.0025 0.0009 0.0035 0.0380 0.0000 0.0165 0.0028 0.2205 0.0295 0.1761 0.5439 0.0273 0.0028 0.7500 1.0000 4 0.0002 0.0018 0.0030 0.0061 0.0160 0.0002 0.0005 0.0277 0.0347 0.1658 0.7683 0.0032 0.0003 0.9376 1.0000 5 0.0001 0.0000 0.0000 0.0524 0.0002 0.0501 0.0003 0.0000 0.0009 0.0377 0.0006 0.0118 0.0002 0.0043 0.0002 0.1587 0.0553 0.3198 0.4370 0.0284 0.0008 0.7860 1.0000 6 0.0238 0.0142 0.0000 0.0001 0.0035 0.0132 0.0034 0.0172 0.0021 0.0045 0.0018 0.0000 0.0838 0.0637 0.2269 0.4943 0.0658 0.0654 0.8525 1.0000 7 0.3295 0.1380 0.0184 0.0096 0.0492 0.0026 0.0608 0.0035 0.0002 0.0026 0.1179 0.0009 0.0266 0.0006 0.0007 0.0002 0.0000 0.7614 0.0459 0.0561 0.1279 0.0076 0.0010 0.1926 1.0000 8 0.0025 0.0945 0.0001 0.0089 0.0508 0.0002 0.0165 0.0393 0.0045 0.0002 0.2176 0.5040 0.1447 0.0800 0.0531 0.0006 0.2784 1.0000 9 0.0061 0.0046 0.0075 0.0237 0.0024 0.0735 0.0002 0.0347 0.0003 0.1531 0.1205 0.3615 0.1962 0.1428 0.0260 0.7264 1.0000

242

Lampiran 44 Lanjutan
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 10 0.0034 0.0701 0.0726 0.0007 0.0000 0.0007 0.0606 0.0623 0.0013 0.0041 0.0099 0.0000 0.2858 0.1356 0.2935 0.2172 0.0566 0.0113 0.5786 1.0000 11 0.0015 0.0083 0.0004 0.0004 0.0018 0.0020 0.0579 0.0208 0.0028 0.0017 0.0004 0.0978 0.0079 0.2224 0.5974 0.0426 0.0319 0.8943 1.0000 12 0.0532 0.0047 0.0666 0.0000 0.1324 0.0001 0.1288 0.0099 0.0010 0.0057 0.0711 0.0001 0.0173 0.0062 0.0198 0.0186 0.0001 0.5357 0.0264 0.1449 0.2422 0.0293 0.0215 0.4378 1.0000 13 0.0000 0.0047 0.0015 0.0001 0.0022 0.0211 0.0152 0.0123 0.0039 0.0087 0.0031 0.0107 0.0837 0.1808 0.1900 0.3689 0.1668 0.0098 0.7355 1.0000 14 0.0010 0.0092 0.0004 0.0089 0.0014 0.0003 0.0092 0.0412 0.0314 0.0028 0.1060 0.0060 0.3040 0.5659 0.0143 0.0038 0.8880 1.0000 15 0.0020 0.0069 0.0011 0.0060 0.0016 0.0108 0.0004 0.0104 0.1843 0.0068 0.0003 0.2305 0.0070 0.4668 0.2557 0.0153 0.0247 0.7625 1.0000 16 0.0047 0.0086 0.0004 0.0336 0.0095 0.0010 0.0026 0.0006 0.0019 0.0628 0.0366 0.1307 0.3960 0.3733 0.0005 0.9005 1.0000 17 0.0013 0.0001 0.0002 0.0002 0.0150 0.0071 0.0006 0.0184 0.0221 0.0749 0.0508 0.0164 0.0098 0.0099 0.0086 0.2354 0.1064 0.6269 0.0313 0.6582 1.0000 18 0.0002 0.0003 0.0184 0.0093 0.0018 0.0727 0.0202 0.0014 0.0153 0.0153 0.0100 0.0414 0.0039 0.2103 0.0923 0.1644 0.4731 0.0584 0.0016 0.6974 1.0000

243

Lampiran 44 Lanjutan
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 190 200 201 202 203 204 209 210 180 0.0569 0.0159 0.0077 0.0013 0.0096 0.0066 0.0228 0.0038 0.0003 0.0057 0.0353 0.0126 0.0344 0.0068 0.0053 0.0043 0.0024 0.2318 0.0776 0.2745 0.3687 0.0389 0.0085 0.6906 1.0000 309 0.2765 0.0030 0.0497 0.0321 0.0430 0.0153 0.1127 0.0041 0.0005 0.1014 0.1057 0.0031 0.0499 0.0005 0.0037 0.0003 0.1904 0.0083 1.0000 310 0.2693 0.0182 0.0459 0.0260 0.0426 0.0184 0.1094 0.0070 0.0006 0.0836 0.1165 0.0150 0.0728 0.0072 0.0081 0.0046 0.1462 0.0088 1.0000

244

Lampiran 45 Tabel Input-Output Kapet Bima Tahun 2004 Matriks Pengganda Domestik Atas Dasar Harga Produsen
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Total Indeks 1 1.0803 0.0005 0.0004 0.0001 0.0003 0.0003 0.0037 0.0007 0.0000 0.0045 0.0286 0.0006 0.0361 0.0025 0.0008 0.0034 0.0013 1.1641 0.9224 2 0.0010 1.0244 0.0001 0.0000 0.0003 0.0001 0.0026 0.0005 0.0001 0.0019 0.0147 0.0012 0.0193 0.0010 0.0020 0.0023 0.0004 1.0719 0.8493 3 0.0228 0.0155 1.1130 0.0006 0.0029 0.0011 0.0542 0.0039 0.0010 0.0044 0.0508 0.0006 0.0245 0.0048 0.0008 0.0004 0.0003 1.3019 1.0316 4 0.0008 0.0003 0.0001 1.0002 0.0002 0.0002 0.0023 0.0001 0.0000 0.0031 0.0070 0.0003 0.0169 0.0004 0.0003 0.0001 0.0007 1.0331 0.8186 5 0.0205 0.0081 0.0013 0.0006 1.0584 0.0005 0.0570 0.0011 0.0001 0.0013 0.0480 0.0011 0.0179 0.0015 0.0061 0.0003 0.0004 1.2243 0.9701 6 0.0061 0.0024 0.0006 0.0002 0.0014 1.0247 0.0166 0.0004 0.0001 0.0039 0.0168 0.0039 0.0199 0.0028 0.0062 0.0021 0.0003 1.1084 0.8783 7 0.3811 0.1516 0.0222 0.0103 0.0560 0.0033 1.0715 0.0059 0.0003 0.0051 0.1431 0.0023 0.0537 0.0051 0.0030 0.0023 0.0010 1.9177 1.5195 8 0.0015 0.0006 0.0001 0.0001 0.0003 0.0008 0.0042 1.1055 0.0002 0.0105 0.0582 0.0008 0.0232 0.0468 0.0084 0.0005 0.0005 1.2623 1.0002 9 0.0028 0.0011 0.0002 0.0001 0.0004 0.0007 0.0077 0.0065 1.0001 0.0096 0.0263 0.0002 0.0058 0.0777 0.0034 0.0352 0.0005 1.1783 0.9336

245

Lampiran 45 Lanjutan
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Total Indeks 10 0.0284 0.0113 0.0018 0.0042 0.0044 0.0722 0.0797 0.0022 0.0001 1.0020 0.0742 0.0017 0.0724 0.0037 0.0068 0.0106 0.0009 1.3766 1.0908 11 0.0011 0.0004 0.0003 0.0000 0.0006 0.0001 0.0025 0.0097 0.0004 0.0010 1.0042 0.0030 0.0595 0.0225 0.0051 0.0021 0.0011 1.1135 0.8823 12 0.1112 0.0266 0.0773 0.0015 0.1478 0.0011 0.1505 0.0134 0.0012 0.0082 0.1030 1.0014 0.0356 0.0104 0.0266 0.0197 0.0007 1.7362 1.3757 13 0.0038 0.0012 0.0013 0.0001 0.0026 0.0003 0.0080 0.0024 0.0002 0.0035 0.0244 0.0156 1.0151 0.0052 0.0117 0.0041 0.0110 1.1105 0.8799 14 0.0009 0.0003 0.0001 0.0001 0.0003 0.0007 0.0023 0.0110 0.0004 0.0098 0.0034 0.0010 0.0109 1.0440 0.0405 0.0034 0.0001 1.1293 0.8948 15 0.0027 0.0008 0.0011 0.0001 0.0021 0.0006 0.0053 0.0098 0.0014 0.0080 0.0050 0.0133 0.0022 0.0140 1.2269 0.0088 0.0004 1.3025 1.0321 16 0.0028 0.0011 0.0002 0.0002 0.0004 0.0025 0.0079 0.0097 0.0004 0.0340 0.0133 0.0001 0.0045 0.0035 0.0005 1.0011 0.0020 1.0842 0.8591 17 0.0163 0.0048 0.0065 0.0004 0.0124 0.0016 0.0297 0.0098 0.0008 0.0207 0.0356 0.0761 0.0584 0.0196 0.0157 0.0124 1.0000 0.0093 1.3299 1.0538 18 0.0098 0.0041 0.0007 0.0005 0.0017 0.0055 0.0265 0.0115 0.0018 0.0751 0.0302 0.0020 0.0238 0.0178 0.0140 0.0428 1.0043 1.2720 1.0079

246

Lampiran 45 Lanjutan
SEKTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Total Indeks Total 1.6939 1.2550 1.2273 1.0191 1.2923 1.1164 1.5322 1.2044 1.0085 1.2066 1.6868 1.1253 1.4996 1.2837 1.3788 1.1517 1.0000 1.0350 22.7165 Indeks 1.3422 0.9945 0.9725 0.8075 1.0240 0.8846 1.2141 0.9543 0.7991 0.9560 1.3366 0.8917 1.1883 1.0171 1.0925 0.9126 0.7924 0.8201

247

248 Lampiran 46 Interaksi Inter Regional dan Model Grafitasi di Kapet Bima Melalui Pelabuhan Laut Bima Daerah Tahun
2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004

Asal
MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA LAB. LOMBOK KENDARI BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI BADAS MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

Tujuan

Pergerakan Barang Penumpang (Ton) (Orang)


3,237.00 4,434.00 3,942.00 1,506.00 1,722.00 4,350.00 4,782.00 2,514 150 1,398 2,011 582 10,133 2,688 66 78 1,698 2,286 396 126 276 1,615 150 8,669 12 2,538 396 2,814 2,531 348 36 12,181 2,418

MAUMERE BENOA+P.BAI+N.PENIDA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LAB. LOMBOK+KAYANGAN MAKASAR KENDARI+SULTRA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

249 Lampiran 46 Lanjutan Daerah Tahun


2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 KENDARI BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

Asal

Tujuan
BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR BANJARMASIN KENDARI+SULTRA NTT/ENDE BALIKPAPAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BADAS

Pergerakan Barang Penumpang (Ton) (Orang)


3,942.00 1,452.00 750.00 810.00 1,830.00 870.00 5,070.00 3,780.00 2,022.00 78 1,926 1,206 906 420 78 1,658 7,918 12 1,242 594 3,432 2,809 276 12,485 858 1,290 420 1,488 624 126 1,668 90

250 Lampiran 46 Lanjutan Daerah Tahun


2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA SELAYAR BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

Asal

Tujuan
MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE BALIKPAPAN MALUKU BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BADAS MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE MALUKU PEMENANG

Pergerakan Barang Penumpang (Ton) (Orang)


1,104.00 1,590.00 12,426.00 870.00 144.00 5,700.00 3,018.00 4,602.00 1,194.00 3,174.00 14,532.00 144.00 6,798 552 450 2,532 3,064 390 12,794 384 84 684 204 1,386 456 270 2,109 90 7,575 132

251 Lampiran 46 Lanjutan Tahun


2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004

Daerah Asal
MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA LAB. LOMBOK KENDARI BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI BADAS MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA+P.BAI+N.PENIDA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LAB. LOMBOK+KAYANGAN MAKASAR KENDARI+SULTRA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

Asal

Jmlh Penduduk (Org) Asal Tujuan


275,344 2,660,381 195,112 647,179 333,288 1,145,406 519,936 1,022,154 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 277,850 2,681,092 198,112 657,543 338,422 1,160,033 525,273 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 725,519 275,344 519,936 195,176 2,660,381 333,288 647,179 1,022,154 1,145,496 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961

252 Lampiran 46 Lanjutan Tahun


2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 KENDARI BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

Daerah Asal Asal


BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR BANJARMASIN KENDARI+SULTRA NTT/ENDE BALIKPAPAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BADAS

Jmlh Penduduk (Org) Asal Tujuan


736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 736,961 280,356 2,698,972 201,049 667,908 343,635 1,172,761 532,350 748,583 748,583 748,583 748,583 748,583 748,583 748,583 736,961 277,850 525,273 198,112 2,681,092 338,422 657,543 1,160,033 740,469 240,827 748,583 748,583 748,583 748,583 748,583 748,583 748,583 280,356 532,350 201,049 2,698,972 1,050,236 667,908 -

253 Lampiran 46 Lanjutan Tahun


2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA SELAYAR BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA

Daerah Asal Tujuan


MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE BALIKPAPAN MALUKU BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BADAS MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE MALUKU PEMENANG

Jmlh Penduduk (Org) Asal Tujuan


1,104.00 1,590.00 12,426.00 870.00 144.00 5,700.00 3,018.00 4,602.00 1,194.00 3,174.00 14,532.00 144.00 6,798 552 450 2,532 3,064 390 12,794 384 84 684 204 1,386 456 270 2,109 90 7,575 132

254 Lampiran 46 Lanjutan


Tahun 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 Wilayah Asal MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+ SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+ N.PENIDA LAB. LOMBOK KENDARI BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+ SENGGIGI BADAS MAKASAR BENOA+P.BAI+N.P ENIDA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA+P.BAI+ N.PENIDA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LAB. LBK+ KAYANGAN MAKASAR KENDARI+SULTRA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA Tujuan PDRB (Juta Rp.) Asal Tujuan 644,745.39 16,818,175.00 505,157.42 300,933.67 1,271,399.00 8,882,254.69 2,773,923.00 2,183,277.00 788,644.00 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 678,695.00 17,711,103.00 530,351.00 309,668.00 1,392,171.00 9,785,339.89 2,858,318.00 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 2,183,277.46 644,745.39 2,773,923.00 505,157.42 16,818,175.00 1,271,300.00 300,934.00 2,098,339.00 8,882,255.00 788,644.00 2,267,605.35 2,267,605.35 2,267,605.35 2,267,605.35 2,267,605.35 2,267,605.35 2,267,605.35 2,267,605.35 Jarak (Km) 383.60 682.20 216.90 128.20 296.20 377.70 388.10 229.60 649.20 383.60 388.10 216.20 682.20 296.00 128.00 229.60 377.70 649.20 383.60 682.20 216.90 128.20 296.20 377.70 388.10

255 Lampiran 46 Lanjutan


Tahun 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 Wilayah Asal KENDARI BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGI GI MAKASAR BENOA+P.BAI+ N.PENIDA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR BANJARMASIN KENDARI+SULTRA NTT/ENDE BALIKPAPAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BADAS Tujuan PDRB (Juta Rp.) Asal Tujuan 841,399.00 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 2,267,605.37 699,717.00 18,665,621.00 546,778.00 319,260.00 1,521,391.00 9,557,733.00 2,960,252.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,267,605.35 678,695.00 2,858,318.00 530,351.00 17,711,103.00 1,392,171.00 309,668.00 9,785,339.89 3,374,643.00 841,399.00 615,952.00 12,512,909.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 699,717.00 2,960,252.00 546,778.00 18,665,621.00 1,521,391.00 319,260.00 Jarak (Km) 649.20 383.60 388.10 216.20 682.20 296.00 128.00 377.70 739.10 649.20 324.20 1,098.20 383.60 682.20 216.90 128.20 296.20 377.70 388.10 383.60 388.10 216.20 682.20 296.00 128.00 -

256 Lampiran 46 Lanjutan


Tahun 2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) LEMBAR+ SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.P ENIDA SELAYAR BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA Wilayah Asal Tujuan MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE BALIKPAPAN MALUKU BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) BADAS MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE MALUKU PEMENANG PDRB (Juta Rp.) Asal Tujuan 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 2,361,109.00 727,705.00 19,677,395.00 586,649.00 332,030.00 1,662,606.00 9,950,282.00 3,097,142.00 322,589.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 9,557,733.00 3,550,522.00 635,030.00 13,102,051.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 2,458,467.00 727,705.00 3,097,142.00 568,649.00 19,677,395.00 1,662,606.00 332,030.00 9,950,282.00 3,735,567.00 660,432.00 Jarak (Km) 377.70 739.10 324.20 1,098.20 383.60 682.20 216.90 128.20 296.20 377.70 388.10 317.40 383.60 388.10 216.20 682.20 296.00 128.00 377.70 739.10 324.20 -

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 WIL ASAL BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA WIL TUJUAN MAUMERE BENOA+P.BAI+N.PENIDA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LAB. LOMBOK+KAYANGAN MAKASAR MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR LN-PENUMPANG 7.44 7.73 5.98 4.84 5.62 7.39 5.01 9.07 7.56 7.10 6.81 6.04 4.36 7.41 8.98 7.16 6.04 7.31 6.44 4.84 7.42 8.82 6.53 5.32 7.23 6.12 5.60 7.65 8.93 LN-PDDK KAPET 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.53 13.53 13.53 13.53 13.53 13.53 13.53 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 LN-PDDK TUJUAN 12.53 13.16 12.18 14.79 12.72 13.38 13.84 13.95 12.53 13.17 12.20 14.80 12.73 13.40 13.96 12.54 13.19 12.21 14.81 13.86 13.41 13.97 12.55 13.20 12.23 14.81 12.76 13.43 13.99 LN-JARAK 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.44 5.93 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.93 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.93 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.93

257

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.177555076 R Square 0.031525805 Adjusted R Square -0.084691098 Standard Error 1.353392322 Observations 29 ANOVA df Regression Residual Total LN-PENUMPANG Intercept LN-PDDK KAPET LN-PDDK TUJUAN LN-JARAK 3 25 28 Coefficients -32.61194922 2.997276391 0.142702319 -0.52570027 SS 1.490615241 45.79176945 47.28238469 Standard Error 191.8319265 14.19293578 0.349899449 0.595711016 MS 0.496871747 1.831670778 F 0.271266951 Significance F 0.845504929

t Stat -0.17000272 0.21118086 0.407838079 -0.882475321

P-value 0.866376251 0.834458157 0.686864243 0.385926729

258

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 WIL ASAL BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA WIL TUJUAN MAUMERE BENOA+P.BAI+N.PENIDA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LAB. LOMBOK+KAYANGAN MAKASAR KENDARI+SULTRA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR KENDARI+SULTRA MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR MAUMERE BENOA WAINGAPU SURABAYA LEMBAR+SENGGIGI LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) MAKASAR LN-PENUMPANG 7.44 7.73 5.98 4.84 5.62 7.39 5.01 9.07 2.48 7.56 7.10 6.81 6.04 4.36 7.41 8.98 2.48 7.16 6.04 7.31 6.44 4.84 7.42 8.82 6.53 5.32 7.23 6.12 5.60 7.65 8.93 LN-PDRB KAPET 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 LN-PDRB TUJUAN 13.38 14.84 13.13 16.64 14.06 12.61 14.56 16.00 13.58 13.43 14.87 13.18 16.69 14.15 12.64 16.10 13.64 13.46 14.90 13.21 16.74 14.24 12.67 16.07 13.50 14.95 13.25 16.79 14.32 12.71 16.11 LN-JARAK 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.44 5.93 6.48 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.93 6.48 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.93 5.95 5.96 5.38 6.53 5.69 4.85 5.93

259

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.603198901 R Square 0.363848915 Adjusted R Square 0.293165461 Standard Error 1.388825409 Observations 31 ANOVA df Regression Residual Total LN-PENUMPANG Intercept LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK 3 27 30 Coefficients -31.39170166 2.837580829 0.822461088 -2.679274094 SS 29.78652792 52.07857246 81.86510038 Standard Error 82.85370728 5.650141534 0.265479196 0.71638165 MS 9.928842639 1.928836017 F 5.147583 Significance F 0.006055212

t Stat -0.378881075 0.502214115 3.098024636 -3.740009387

P-value 0.707739 0.619588 0.004512 0.000877

260

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.603198901 R Square 0.363848915 Adjusted R Square 0.293165461 Standard Error 1.388825409 Observations 31 ANOVA df Regression Residual Total LN-PENUMPANG Intercept LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK 3 27 30 Coefficients -31.39170166 2.837580829 0.822461088 -2.679274094 SS 29.78652792 52.07857246 81.86510038 Standard Error 82.85370728 5.650141534 0.265479196 0.71638165 MS 9.928842639 1.928836017 F 5.147583 Significance F 0.006055212

t Stat -0.378881075 0.502214115 3.098024636 -3.740009387

P-value 0.707739 0.619588 0.004512 0.000877

261

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 WIL ASAL BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA WIL TUJUAN MAUMERE SURABAYA MAKASAR MAUMERE SURABAYA MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE SURABAYA MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE SURABAYA MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE LN-BARANG 8.28 7.32 7.45 8.28 7.28 6.62 6.70 7.51 7.61 7.01 7.37 9.43 8.43 7.09 8.06 9.58 LN-PDDK KAPET 13.49 13.49 13.49 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.53 13.53 13.53 13.53 13.54 13.54 13.54 13.54 LN-PDDK TUJUAN 12.53 14.79 13.95 12.53 14.80 13.96 13.52 12.39 14.81 13.97 13.55 12.40 14.81 13.99 13.57 12.41 LN-JARAK 5.95 6.53 5.93 5.95 6.53 5.93 6.61 5.78 6.53 5.93 6.61 5.78 6.53 5.93 6.61 5.78

262

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.638428698 R Square 0.407591202 Adjusted R Square 0.259489002 Standard Error 0.750211972 Observations 16 ANOVA df Regression Residual Total LN-BARANG Intercept LN-PDDK KAPET LN-PDDK TUJUAN LN-JARAK 3 12 15 Coefficients -233.1062901 18.32405684 -0.503042192 -0.002175144 SS 4.646784458 6.753816038 11.4006005 Standard Error 153.5175364 11.37226731 0.273154365 0.726730317 MS 1.548928153 0.562818003 F 2.752094183 Significance F 0.088704214

t Stat -1.518434282 1.611293188 -1.841604075 -0.002993056

P-value 0.154802404 0.133089674 0.090372944 0.997661073

263

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 WIL ASAL BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA WIL TUJUAN MAUMERE SURABAYA MAKASAR MAUMERE SURABAYA MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE BALIKPAPAN SURABAYA MAKASAR BANJARMASIN NTT/ENDE BALIKPAPAN SURABAYA MAKASAR BANJARMASIN LN-BARANG 8.28 7.32 7.45 8.28 7.28 6.62 6.70 7.51 6.77 7.61 7.01 7.37 9.43 6.77 8.43 7.09 8.06 LN-PDRB KAPET 14.60 14.60 14.60 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.72 14.72 14.72 LN-PDRB TUJUAN 13.38 16.64 16.00 13.43 16.69 16.10 15.03 13.33 16.34 16.74 16.07 15.08 13.36 16.39 16.79 16.11 15.13 LN-JARAK 5.95 6.53 5.93 5.95 6.53 5.93 6.61 5.78 7.00 6.53 5.93 6.61 5.78 7.00 6.53 5.93 6.61

264

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.629032465 R Square 0.395681841 Adjusted R Square 0.256223805 Standard Error 0.65128034 Observations 17 ANOVA df Regression Residual Total LN-BARANG Intercept LN-PDRB KAPET LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK 3 13 16 Coefficients -70.46431672 5.749639318 -0.310843753 -0.231583926 SS 3.610436952 5.514159058 9.12459601 Standard Error 60.53417317 4.162599889 0.150481032 0.46857244 MS 1.203478984 0.424166081 F 2.837282463 Significance F 0.079213059

t Stat -1.164041946 1.381261584 -2.065667335 -0.494232921

P-value 0.265326051 0.190479717 0.059393005 0.629387776

265

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 WIL ASAL MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA LAB. LOMBOK MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA SELAYAR WIL TUJUAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA LN-PENUMPANG 7.83 5.01 7.24 7.61 6.37 9.22 7.90 4.19 7.84 5.98 7.94 7.84 5.85 9.41 7.79 7.12 6.39 8.14 7.94 5.62 9.43 6.75 6.31 6.11 7.84 8.03 5.97 9.46 5.95 4.43 LN- PDDK ASAL 12.53 14.79 12.18 13.38 12.72 13.95 13.16 13.84 12.53 14.80 12.20 13.40 12.73 13.96 13.17 12.54 14.81 12.21 13.41 12.75 13.97 13.19 12.55 14.81 12.23 13.43 12.76 13.99 13.20 11.64 LN- PDDK KAPET 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.49 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.51 13.53 13.53 13.53 13.53 13.53 13.53 13.53 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 13.54 LN-JARAK 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.44 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.76

266

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.274720707 R Square 0.075471467 Adjusted R Square -0.031204903 Standard Error 1.436884334 Observations 30 ANOVA df Regression Residual Total LN-PENUMPANG Intercept LN- PDDK ASAL LN- PDDK KAPET LN-JARAK 3 26 29 Coefficients 38.26644754 0.262457254 -2.182389896 -0.890993925 SS 4.382071284 53.68055131 58.06262259 Standard Error 199.4733744 0.345988593 14.73270813 0.625034353 MS 1.460690428 2.064636589 F 0.707480646 Significance F 0.556250586

t Stat 0.19183737 0.758571987 -0.148132297 -1.425511926

P-value 0.849359983 0.454930657 0.883381227 0.165905122

267

Lampiran 46 Lanjutan
THN 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 2006 ASAL MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA LAB. LOMBOK KENDARI MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA KENDARI MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO-KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA MAUMERE (sika) SURABAYA WAINGAPU (sumba timur) LAB. BAJO+KMD (manggarai barat) LEMBAR+SENGGIGI MAKASAR BENOA+P.BAI+N.PENIDA SELAYAR TUJUAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA LN-PENUMPANG 7.83 5.01 7.24 7.61 6.37 9.22 7.90 4.19 4.36 7.84 5.98 7.94 7.84 5.85 9.41 7.79 4.36 7.12 6.39 8.14 7.94 5.62 9.43 6.75 6.31 6.11 7.84 8.03 5.97 9.46 5.95 4.43 LN-PDRB ASAL 13.38 16.64 13.13 12.61 14.06 16.00 14.84 14.60 13.58 13.43 16.69 13.18 12.64 14.15 16.10 14.87 13.64 13.46 16.74 13.21 12.67 14.24 16.07 14.90 13.50 16.79 13.28 12.71 14.32 16.11 14.95 12.68 LN-PDRB KAPET 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.60 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.63 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.67 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 14.72 LN-JARAK 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.44 6.48 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 6.48 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.95 6.53 5.38 4.85 5.69 5.93 5.96 5.76

268

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations ANOVA df Regression Residual Total Y=LN PENUMPANG Intercept LN-PDRB ASAL LN-PDRB TUJUAN LN-JARAK 3 28 31 Coefficients 8.743561994 0.640789873 0.16295712 -2.310603368 SS 21.55095734 50.79663211 72.34758944 Standard Error 77.31310358 0.243732111 5.266080566 0.676106758 MS 7.183652445 1.814165432 F 3.959755994 Significance F 0.017969676

0.545784567 0.297880793 0.222653735 1.346909586 32

t Stat 0.113092886 2.629074474 0.030944669 -3.417512606

P-value 0.910763879 0.013747588 0.975533192 0.001952258

269

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2004 2004 2005 2005 2006 2006 WIL ASAL SURABAYA MAKASAR SURABAYA MAKASAR SURABAYA MAKASAR SURABAYA MAKASAR WIL TUJUAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA LN-BARANG 8.08 8.40 8.38 8.47 8.53 8.24 8.65 8.01 LN-PDDK ASAL 14.79 13.95 14.80 13.96 14.81 13.97 14.81 13.99 LN-PDDK KAPET 13.49 13.49 13.51 13.51 13.53 13.53 13.54 13.54 LN-JARAK 6.53 5.93 6.53 5.93 6.53 5.93 6.53 5.93

270

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.871942561 R Square 0.760283829 Adjusted R Square 0.580496701 Standard Error 0.142287681 Observations 8 ANOVA df Regression Residual Total LN-BARANG Intercept LN-PDDK ASAL LN-PDDK KAPET LN-JARAK 3 4 7 Coefficients -164.4058243 -66.15332994 39.98007285 93.74905234 SS 0.256846124 0.080983137 0.337829261 Standard Error 60.37651511 20.17365914 12.08943944 28.5224928 MS 0.085615375 0.020245784 F 4.228800116 Significance F 0.098705829

t Stat -2.723009502 -3.279193402 3.307024535 3.286846385

P-value 0.052822496 0.030523889 0.029737128 0.030305118

271

Lampiran 46 Lanjutan
TAHUN 2003 2003 2004 2004 2005 2005 2006 2006 WIL ASAL SURABAYA MAKASAR SURABAYA MAKASAR SURABAYA MAKASAR SURABAYA MAKASAR WIL TUJUAN BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA BIMA LN-BARANG 8.08 8.40 8.38 8.47 8.53 8.24 8.65 8.01 LN-PDRB ASAL 16.64 16.00 16.69 16.10 16.74 16.07 16.79 16.11 LN-PDRB KAPET 14.60 14.60 14.63 14.63 14.67 14.67 14.72 14.72 LN-JARAK 6.53 5.93 6.53 5.93 6.53 5.93 6.53 5.93

272

Lampiran 46 Lanjutan
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.766836061 R Square 0.588037545 Adjusted R Square 0.279065703 Standard Error 0.186529469 Observations 8 ANOVA df Regression Residual Total LN-BARANG Intercept LN-PDRB ASAL LN-PDRB KAPET LN-JARAK 3 4 7 Coefficients 37.54442935 6.584906438 -6.394679323 -6.972032397 SS 0.198656289 0.139172972 0.337829261 Standard Error 28.3540939 3.071460441 3.56826486 3.362033077 MS 0.066219 0.034793 F 1.903207561 Significance F 0.270423253

t Stat 1.324127 2.143901 -1.792098 -2.073755

P-value 0.256056344 0.098654664 0.147589681 0.106775096

273

275

Lampiran 48. Lembaran Kuisioner Analisis Hirarki Proses

JUDUL PENELITIAN TESIS : STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

Kode Responden

:.........

Tanggal Wawancara :. Tempat Wawancara :.

Nama Responden Nama Lembaga/ Elemen Pekerjaan /Jabatan Alamat

: : : :

Kami mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini dengan objektif dan benar, karena kuisioner ini adalah untuk penelitian tesis dengan tujuan ilmiah. Identitas Bapak/Ibu akan dijamin kerahasiaannya. Terima kasih. PENELITI : ENIRAWAN A155040091

PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

276

PENILAIAN STAKEHOLDER TENTANG STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA

PETUNJUK PENGISIAN TABEL 1. Responden hanya mengisi nilai sesuai intensitas kepentingan, antara satu faktor terhadap faktor pembanding yang lain dengan memberi nilai antara 1-9. urutan intensitas dengan keterangan seperti Tabel sebagai berikut. Definisi Kedua elemen pentingnya sama Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan. Pengalaman dan penilaian mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya. Pengalaman dan penilaian dengan kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya. Satu elemen sangat kuat didukung dan dominasi terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.

2.

Tingkat kepentingan 1

Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

2,4,6,8

Contoh : Jika A sedikit lebih penting dari B, maka skor A terhadap B adalah = 3 dan B terhadap A adalah = 1/3, sehingga matriksnya sebagai berikut : A B C A 3 B 1/3 C

277

1.

Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari ketiga Strategi Pendekatan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Keterpaduan antar sektor b. Keterpaduan antar wilayah c. Keterpaduan antar pelaku/lembaga
(A) (B) (C)

STRATEGI PENDEKATAN KETERPADUAN ANTAR SEKTOR (A) KETERPADUAN ANTAR WILAYAH (B) KETERPADUAN ANTAR PELAKU/ LEMBAGA (C)

Penjelasan :..

2.

Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar sektor dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6) SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4) FINANSIAL (5) INSTITUSI (6) Penjelasan :..

278

3.

Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar wilayah dalam pengembangan wilayah Kapet Bima? a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6) SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4) FINANSIAL (5) INSTITUSI (6) Penjelasan :..

4.

Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar pelaku/lembaga dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6) SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4) FINANSIAL (5) INSTITUSI (6) Penjelasan :..

279

5.

Menurut Bapak/Ibu, manakah yang lebih penting dari keenam komponen sumber daya dibawah ini berdasarkan strategi pendekatan keterpaduan antar pelaku/lembaga dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Manusia b. Sumber Daya Alam c. Infrastruktur d. Sumber Daya Sosial e. Finansial (permodalan) f. Institusi SUMBER DAYA (1) (2) (3) (4) (5) (6) SDM (1) SDA (2) INFRASTRUKTUR (3) SUMBER DAYA SOSIAL (4) FINANSIAL (5) INSTITUSI (6) Penjelasan :..

6.

Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari keeempat subkomponen sumber daya manusia dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Jumlah Penduduk b. Tingkat Pendidikan c. Lapangan Pekerjaan d. Tingkat Kesehatan SDM (1) (a) (b) (c) (d) JUMLAH PDDK (a) PENDIDIKAN (b) PEKERJAAN (c) KESEHATAN (d) Penjelasan :..

280

7.

Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari kelima subkomponen sumber daya alam dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Sumber Daya Lahan dan Air (Pertanian, Peternakan dan Kehutanan) b. Perikanan dan Kelautan c. Industri dan Pertambangan d. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati e. Panorama Alam Wisata SDA (2) (a) (b) (c) (d) (e) LAHAN DAN AIR (a) PERIKANAN & KELAUTAN (b) INDUSTRI & PERTAMBANGAN (c) SD HAYATI (d) PANORAMA ALAM WISATA (e) Penjelasan :..

8.

Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari kelima subkomponen infrastruktur dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Social dan budaya b. Ekonomi dan Perdagangan c. Transportasi d. Informasi dan Komunikasi e. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi INFRASTRUKTUR (3) (a) (b) (c) (d) (e) SOSIAL & BUDAYA (a) EKONOMI & PERDAGANGAN (b) TRANSPORTASI (c) INFORMASI & KOMUNIKASI (d) IPTEK (e) Penjelasan :..

281

9.

Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari keempat subkomponen sumber daya social (SDS) dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Adat Istiadat b. Hubungan Masyarakat (dalam dan dengan luar komunitas) c. Keamanan d. Tingkat Mobilitas (pergerakan/perjalanan) masyarakat
SDS (4) ADAT ISTIADAT (a) HUBUNGAN MASYARAKAT (b) KEAMANAN (c) MOBILITAS MASYARAKAT (d) (a) (b) (c) (d)

Penjelasan :..

10. Menurut Bapak/Ibu manakah yang lebih penting dari ketiga subkomponen finansial (permodalan) dibawah ini dalam pengembangan wilayah Kapet Bima a. Modal Asing b. Modal Domestik Dalam Negeri c. Modal Domestik Dalam Kapet
FINANSIAL (5) MODAL ASING (a) MODAL DOMESTIK DALAM NEGERI (b) MODAL DOMESTIK DALAM KAPET (c) (a) (b) (c)

Penjelasan :..

282

STRUKTUR HIRARKI DALAM AHP STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA

GOAL :

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KAPET BIMA YANG BERIMBANG

PENDEKATAN STRATEGI : KETERPADUAN ANTAR SEKTOR (A) KETERPADUAN ANTAR WILAYAH (B) KETERPADUAN ANTAR INSTITUSI (C)

KOMPONEN : SUMBER DAYA SUB KOMPONEN :

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(a) (b) (c) (d)

(a) (b) (c) (d) (e)

(a) (b) (c) (d) (e)

(a) (b) (c) (d)

(a) (b) (c)

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT1) (Regional Development Studi of Integrated Economical Development Regional (Bima Kapet) In West Nusa Tenggara Province) 1) Enirawan2), Bambang Juanda3), Setia Hadi4) ABSTRACT The aim of Kapet development planning Model in Eastern Indonesian Regional is to obtain the same level with Western Indonesian, therefore the present of Kapet program will be a prime mover to development of other regionals mainly at surrounding regions. The study was conducted in Bima Kapet with the objectives of : (1) to identify the potential of regional development of Bima Kapet and its problems, (2) to study the linkages among sectors and to find out the primary regional sector, (3) to study the spatial relationship pattern of intra-inter regional in Bima Kapet, and (4) to make strategy for regional development in Bima Kapet. The analyses used in this study were descriptive analysis involved : IO and LQ analyses, Grafitation model, AHP and SWOT analysis. Results of this study showed that : the primary regional sectors in Bima Kapet were farm food crops, livestock and their products, fisheries, non oil and gas manufacturing, and wholesale and retail trade. Based on gravitation models, variable or factor positively affected the spatial interaction (sea transportations) was number of population of origin area. Principally, strategies of regional development involved institutions/stakeholders, sectors, and regional integrations. Key words : Bima Kapet, prime mover, linkages, primary sector, interaction, and integration. PENDAHULUAN Latar belakang Pembangunan Indonesia selama ini ternyata masih menyisakan ketimpangan (disparitas) seperti kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan rakyat antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur atau antara Pulau Jawa dan luar Jawa, hal ini didukung oleh data dari BPS (2006) yang menunjukkan bahwa 59.28 % PDB Indonesia berasal dari PDRB daerah-daerah di Pulau Jawa sedangkan Propinsi NTB hanya memberikan kontribusi sebesar 0.97 %. Disparitas terjadi selain karena faktor-faktor endowment dari masingmasing wilayah juga terjadi sebagai akibat kebijakan dan konsep wilayah yang dianut Pemerintah Indonesia. Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, maka pada Tahun 1996, diperkenalkan model perencanaan pembangunan Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Model ini mengadopsi konsep growth centers (pusat-pusat pertumbuhan) yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan wilayah sekitarnya. Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers (growth pole) di banyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages, baik dalam proses

1)

2) 3) 4)

Makalah merupakan bagian dari tesis, disampaikan pada Seminar Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Mahasiswa Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi), maka trickle down effect yang dijadikan harapan saat diberlakukannya konsep growth centers ini sulit terwujud (Haeruman, et al., 2000). Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima (BP Kapet Bima dan BPPT, 2000). Pertumbuhan perekonomian kawasan secara umum terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari rata-rata laju pertumbuhan PDRB Kapet Bima Tahun 2000-2003 adalah 4.45 % pertahun di atas pertumbuhan Propinsi NTB yakni 3.64 % (BPS NTB, 2003). namun sebaran kontribusi tiap sektor belum merata, ini ditunjukkan dengan masih dominannya sektor pertanian terhadap PDRB Kapet Bima yakni 46.31 %. Di sisi lain, sebaran fasilitas dan penduduk juga tidak merata dan cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu (sebagai contoh, pada Tahun 2003 kepadatan penduduk Kecamatan Rasanae Barat adalah 1,050 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Tambora hanya 12 jiwa/km2). Sebaran fasilitas dan penduduk akan mempengaruhi tingkat pelayanan kebutuhan penduduk dan optimasi pemanfaatan ruang. Kecenderungan konsentrasi manfaat pertumbuhan ekonomi jika hanya berpusat pada satu atau beberapa daerah utama saja akan menciptakan disparitas wilayah berupa tingkat pendapatan, standar hidup (standards of living), fasilitas pelayanan, dan aspek lainnya yang melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan di perdesaan serta secara jangka panjang dapat terjadi kemandekan pertumbuhan ekonomi wilayah. Perumusan Masalah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) adalah merupakan kawasan andalan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Indonesia Timur dalam upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak pembangunan di wilayah sekitarnya. Pertumbuhan ekonomi kawasan yang tidak diikuti dengan penurunan kesenjangan, secara jangka panjang akan menyebabkan terjadinya kemandekan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kesenjangan antar wilayah umumnya disebabkan kurang adanya koordinasi dan kesesuaian program-program pengembangan kawasan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak (stakeholders) dengan karakteristik wilayah, serta kurang memperhatikan keterkaitan sektor dan hubungan antar wilayah. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah Kapet Bima serta berbagai peluang dan kendalanya (2) Mengkaji keterkaitan antar sektor dan untuk mengetahui sektor unggulan wilayah di Kapet Bima (3) Mengkaji pola hubungan spasial intra-inter regional di Kapet Bima, dan (4) Menyusun strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima.

KERANGKA PEMIKIRAN Pengembangan Kapet yang didasarkan pada teori growth center dapat menimbulkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu diciptakan interaksi wilayah intra-inter regional dan keterkaitan antar sektor. Pengembangan sektor unggulan yang didukung ketersediaan berbagai potensi sumber daya dapat menggerakkan pertumbuhan sosial-ekonomi wilayah. Dalam era otonomi daerah, sinergi peran pemerintah daerah dan pelaku lainnya (stakeholders) sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah Kapet Bima yang optimal dan berimbang. METODE PENELITIAN Lokasi, Waktu dan Data Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu yang merupakan daerah administratif kabupaten di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2006. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara dengan responden. Data sekunder diperoleh dari publikasi resmi BP Kapet Bima, Bappeda, BPS, Dinas Perhubungan, Disperindag serta instansi terkait lainnya. Metode Analisis Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan wilayah digunakan analisis deskriptif. Penyusunan dan analisis IO digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar sektor, selanjutnya setelah menentukan sektor basis melalui analisis LQ tiap sektor maka dapat ditentukan sektor unggulan dengan memakai Indeks Keunggulan Sektor. Metode yang digunakan untuk mengkaji interaksi spasial adalah model grafitasi dan analisis deskriptif sedangkan untuk mengkaji peranan stakeholders digunakan analisis desktriptif kelembagaan. Selanjutnya dari hasil semua analisis maka dapat disusun strategi pengembangan wilayah dengan menggunakan analisis hirarki proses (AHP) dan analisis SWOT. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi dan Permasalahan dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur ekonomi yang hampir sama yakni sektor pertanian (primer) memberikan kontribusi paling tinggi (masing-masing sebesar 47.06 % dan 52.00 %), disusul perdagangan, hotel dan restoran (tersier) kemudian yang ketiga adalah jasa-jasa (tersier). Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa, kontribusi sektor tersier ini sebesar 30.53 %, kemudian sektor pertanian (primer) dan perdagangan, hotel dan restoran (tersier). namun untuk kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan, aktivitas dan nilai tambah di semua daerah di Kapet Bima cukup rendah yakni hanya sekitar tiga persen dari total kegiatan ekonomi. Sebagai daerah yang memiliki karakteristik agraris, maka aktivitas pertanian dalam arti umum masih memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Kapet Bima. Komoditas pertanian di Kapet Bima yang memberikan kontribusi paling tinggi terhadap total produksi Propinsi Nusa

Tenggara Barat yakni kacang kedelai (48,28 %), bawang merah (80.84 %), sirsak/srikaya (88.00 %), jarak (88.40 %). Pada Subsektor peternakan, komoditas dominan yang diusahakan di Kapet Bima dengan nilai pengusahaan > 10,000 ekor dengan tingkat kontribusi >20% terhadap total populasi ternak Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah kuda, sapi, kerbau dan kambing. Kegiatan usaha perikanan di Kapet Bima yang memberikan kontribusi paling besar terhadap total produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah budidaya mutiara (42 %), budidaya air payau (53 %), serta terdapat 26 komoditas perikanan laut yang masing-masing memiliki produksi >50 ton dengan kontribusi >30 % terhadap total produksi Propinsi Nusa Tenggara Barat. Potensi berbagai komoditas pertanian di atas cukup tinggi dan diusahakan oleh sebagian besar masyarakat di Kapet Bima, namun secara umum pengelolaannya masih sederhana dan bersifat tradisional. Selain itu, kegiatan pada subsistem pascapanen (pengolahan hasil) sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak mendapatkan nilai tambah (value added) produk yang tinggi. Selain potensi pertanian, di Kapet Bima juga memiliki berbagai potensi antara lain sebagai berikut : - Komposisi penduduk didominasi oleh kelompok usia produktif (penduduk berumur 15-64 tahun yakni 59.21 %) - Secara umum, penduduk di Kapet Bima yang mencapai tingkat pendidikan SMP ke atas baru mencapai 39.02 %, namun angka ini di atas rata-rata NTB yang baru mencapai 28.46 %. Angka ini juga berkorelasi dengan terus tumbuhnya sekolah dan perguruan tinggi di Kapet Bima khususnya di Kota Bima - Terdapat kearifan nilai budaya masyarakat yang dapat menjadi faktor pendorong dalam pengembangan wilayah Kapet Bima, antara lain (1) kriteria pemimpin nggusu waru (2) jiwa kepemimpinan Katohompara Wekiku Sura Dou Mori Na Labo Dana (3) Prinsip Pengambilan Keputusan Nggahi Ra Sama Kai(4) Prinsip Kerja Nggahi Rawi Pahu (5) Prinsip Pengendalian Maja Labo Dahu. - Ketersediaan infrastruktur dasar, perdagangan, komunikasi dan transportasi baik darat, laut (5 pelabuhan laut) dan udara (1 bandara udara). Beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan wilayah di Kapet Bima antara lain (1) Kualitas SDM relatif masih rendah (2) Peran lembaga ekonomi rakyat (koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya) belum optimal dalam pengembangan perekonomian di perdesaan (3) Modal yang dimiliki daerah maupun pengusaha lokal sangat terbatas, sedangkan investor luar daerah dan asing sulit didatangkan (4) Sebagian besar kegiatan usaha belum mampu menerapkan manajemen modern serta tingkat penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas sehingga belum memiliki daya saing yang tinggi, akibatnya peningkatan nilai tambah sulit tercapai (5) Lemahnya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah propinsi dan kabupaten/kota (6) Kurang tegasnya pembagian tugas-wewenang (belum adanya prosedur operasional standar) antar instansi terkait dengan Kapet Bima. mengakibatkan kurang lancarnya tugas yang diemban oleh BP Kapet Bima (7) Orientasi dan kepentingan pembangunan masih bersifat parsial.

Keterkaitan Antar Sektor Berdasarkan Tabel IO dengan klasifikasi 18 sektor ekonomi, terlihat bahwa 6 (enam) sektor yang memiliki nilai output paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (26.93%), selanjutnya adalah jasa pemerintahan umum (14.62%), perdagangan besar dan eceran (11.65%), industri pengolahan non migas (10.94%), dan bangunan (8.36%) serta angkutan (7.28%). Sektor-sektor ini pun memiliki nilai tambah bruto lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Di sisi input, komponennya terdiri dari input antara (23.18%), import (7.76%) dan yang memberikan kontribusi paling besar adalah input primer atau nilai tambah bruto yakni sebesar Rp.2.61 trilyun (69.06%). Proporsi nilai tambah bruto ini terhadap total input di Kapet Bima sedikit lebih tinggi dari pada Propinsi NTB yakni 68.93 %. Hasil analisis IO diketahui bahwa yang memiliki daya dorong paling tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1) yakni dengan nilai indeks 1.3422 sedangkan sektor yang memiliki daya tarik paling tinggi adalah industri pengolahan non migas (sektor 7) yakni dengan nilai indeks 1.3757 (Tabel 1). Sektor yang mempunyai daya tarik tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektor domestik lain. Sebaliknya sektor yang mempunyai daya dorong yang tinggi berarti sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat dibandingkan sektor yang lain. Tabel 1. Indeks Keterkaitan Antar Sektor di Kapet Bima
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Nama Sektor
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasil-Hasilnya Kehutanan Perikanan Penggalian Industri Pengolahan Non Migas Listrik Air bersih Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel dan Restoran Angkutan Pos dan Telekomunikasi Bank dan Lbg Keu. Bukan Bank Sewa Bangunan dan Jasa Persh Jasa Pemerintahan Umum Jasa Swasta

Daya Dorong
1.3422 0.9945 0.9725 0.8075 1.0240 0.8846 1.2141 0.9543 0.7991 0.9560 1.3366 0.8917 1.1883 1.0171 1.0925 0.9126 0.7924 0.8201

Daya Tarik
0.9224 0.8493 1.0316 0.8186 0.9701 0.8783 1.5195 1.0002 0.9336 1.0908 0.8823 1.3757 0.8799 0.8948 1.0321 0.8591 1.0538 1.0079

Total Keterkaitan
2.2646 1.8438 2.0040 1.6261 1.9941 1.7629 2.7336 1.9545 1.7327 2.0468 2.2188 2.2674 2.0682 1.9119 2.1246 1.7717 1.8461 1.8280

Sumber : Data Hasil Analisis Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya tarik >1, berarti daya tarik sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Demikian juga jika nilai indeks daya dorong >1, berarti daya dorong sektor tersebut di atas rata-rata sektor lainnya. Jika indeks daya tarik dan daya dorong sektor ini digabung maka akan didapat indeks keterkaitan antar sektor (total keterkaitan). Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi adalah tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya

(sektor 3), industri pengolahan non migas (sektor 7), bangunan (sektor 10), perdagangan besar dan eceran (sektor 11), hotel dan restotan (sektor 12), angkutan (sektor 13), bank dan lembaga keuangan non bank (sektor 15). Sektor-sektor ini memiliki tingkat keterkaitan lebih tinggi dari rata-rata sektor lainnya atau dengan total nilai indeks keterkaitan > 2. Sektor Unggulan Adapun yang termasuk sektor unggulan dengan kriteria memiliki nilai LQ dan indeks keterkaitan yang tinggi serta potensi pengembangan yang besar (Indeks Keunggulan Sektor > 3) adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3), kehutanan (sektor 4), perikanan (sektor 5), industri pengolahan non migas (sektor 7) serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Gambaran keberadaan masing-masing sektor dalam kuadran-kuadran sektor unggulan dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
SEKTOR UNGGULAN POTENSIAL
3.0000 2.5000 LQ-PDRB 2.0000 1.5000 1.0000 0.5000 0.0000 0.0000
IV I

II

5 3

1 11 7
III

0.5000

1.0000

1.5000

2.0000

2.5000

3.0000

INDEKS KETERKAITAN

Gambar 1. Diagram Kartesius Sektor Unggulan di Kapet Bima Kuadran I, merupakan sektor-sektor basis namun memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain masih rendah. Adapun sektor yang masuk dalam kuadran I ini adalah : Kehutanan (sektor 4) dan perikanan (sektor 5). Keberadaan sektor kuadran I ini perlu ditingkatkan aktivitas/kegiatan yang dapat menciptakan keterkaitan yang tinggi dengan sektor lain, yakni dengan menciptakan aktivitas/kegiatan antara seperti industri pengolahan hasil serta kegiatan domestik lainnya sehingga dapat menggerakkan ekonomi wilayah secara umum. Kuadran II, merupakan sektor-sektor basis dan memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain relatif tinggi. Sektor kuadran II adalah : Tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasil-hasilnya (sektor 3). Sektor kuadran II ini harus fokus digerakkan serta dengan meningkatkan keunggulan kompetitifnya, baik dengan pendekatan marketing dan teknologi maupun dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif. Kuadran III, merupakan sektor-sektor non basis namun memiliki tingkat keterkaitan dengan sektor lain relatif tinggi. Sektor kuadran III ini adalah :

Industri pengolahan non migas (sektor 7), serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Sektor kuadran III ini perlu ditingkatkan jumlah usaha dan kelembagaan, serta nilai produktivitasnya dengan berbasis (keunggulan) produk spesifik lokal. Interaksi Spasial Intra-Inter Regional Penduduk melakukan perjalanan/berpergian untuk memenuhi berbagai keperluan/kebutuhan hidup dan usahanya. Tabel 2 menjelaskan bahwa persepsi orientasi perjalanan penduduk untuk memenuhi keperluan/kebutuhan primer adalah 14.53 % dalam desa, 36.79 % dalam kecamatan dan 42.26 % dalam kabupaten. Kebutuhan sekunder dipenuhi dari dalam desa 9.81 %, dalam kecamatan 28.93 % dan dalam kabupaten 51.02 %. Kebutuhan tersier berasal dari dalam desa 4.29 %, 25.71 % dalam kecamatan, 52.14 % dalam kabupaten. Secara umum berbagai keperluan/kebutuhan penduduk di Kapet Bima dapat dipenuhi dalam kabupaten/kota masing-masing (82.50 %). Tabel 2. Persepsi Orientasi Perjalanan Penduduk di Kapet Bima (%)
No. 1. 2. 3. Kebutuhan Primer Sekunder Tersier Rata-Rata Dlm Desa 14.53 9.81 4.29 9.54 Dlm Kec. 36.79 28.93 25.71 30.48 Dlm Kab. 42.26 51.02 52.14 48.48 Luar Kab. 6.42 10.23 17.86 11.50 Jmlh 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : Hasil Analisis Data Primer Data Tabel 2 ini menunjukkan kecenderungan adanya hubungan antara hirarki ketersediaan barang/jasa dengan hirarki tingkat perkembangan suatu wilayah di Kapet Bima, atau dengan kata lain, pengaruh ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan penduduk di suatu wilayah akan menentukan tingkat perkembangan wilayah tersebut. Arus penumpang, barang dan kendaraan Inter Regional di Kapet Bima secara garis besar melalui tiga jaringan transportasi, yaitu darat, udara dan laut. Melalui jaringan transportasi darat, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Bali, Jatim, Jateng, Yogyakarta, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi udara, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, Propinsi NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jaringan transportasi laut, Kapet Bima dominan berinteraksi dengan daerah-daerah lain di Propinsi NTB, NTT, Bali, Jatim, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Papua. Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa hasil alam (komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam) sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut (Tabel 3) terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah (b = 0.82) daerah tujuan dan menurun seiring dengan makin jauh jarak antar wilayah (c = -2.68), sedangkan arus barang dari Kapet Bima secara signifikan menurun seiiring dengan peningkatan jumlah penduduk (b = -

0.50) dan PDRB wilayah tujuan (b = -0.31). Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal (b = 0.64) dan menurun seiring dengan makin jauhnya jarak wilayah tersebut dengan Kapet Bima (c = -2.31). sedangkan arus barang menuju Kapet Bima secara signifikan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Kapet Bima (b = 39.98) dan jarak antar wilayah (c = 93.74), namun menurun seiring peningkatan jumlah penduduk daerah asal (a = 66.15). Tabel 3. Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Inter Regional Jalur Transportasi Laut di Kapet Bima
No. Model Grafitasi k A b c I. Wil Asal (i) : Kapet Bima 1. T1 ij = k. m1 i a .m1 j b . d ij -c -32.61 2.99 0.14 -0.51 2. T1 ij = k. m2 i a .m2 j b . d ij -c -31.39 2.84 0.82** -2.68** 3. T2 ij = k. m1 i a .m1 j b . d ij -c -233.1 18.32 -0.50* -0.002 4. T2 ij = k. m2 i a .m2 j b . d ij -c -70.46 5.74 -0.31* -0.23 II. Wil Tujuan (j) : Kapet Bima 1. T1 ij = k. m1 i a .m1 j b .d ij -c 38.27 0.26 -2.18 -0.89 2. T1 ij = k. m2 i a .m2 j b .d ij -c 8.74 0.64 0.16 -2.31** 3. T2 ij = k. m1 i a .m1 j b .d ij -c -164.40* -66.15** 39.98** 93.74** 4. T2 ij = k. m2 i a .m2 j b .d ij -c 37.54 6.58 -6.39 -6.97 Sumber : Hasil Analisis *) Signifikan pada taraf = 0.10 **) Signifikan pada taraf = 0.05 dimana : = Wilayah asal i = Wilayah tujuan j T1 ij = Arus penumpang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (orang) T2 ij = Arus barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan (ton) m1 i = Jumlah penduduk wilayah asal (orang) m1 j = Jumlah penduduk wilayah tujuan (orang) m2 i = Total nilai PDRB wilayah asal (Juta Rupiah) m2 j = Total nilai PDRB wilayah tujuan (Juta Rupiah) d ij = Jarak antara wilayah asal dan tujuan (km) a,b,c = Koefisien peubah massa (m) wilayah asal, massa wilayah tujuan dan jarak. R Sq. 0.03 0.36** 0.41* 0.39* 0.08 0.29** 0.76* 0.58

Selain melakukan hubungan wilayah regional dan nasional, dalam kajian sejarah Kapet Bima juga melakukan hubungan internasional khususnya dengan negara-negara Timur Tengah. Keberadaan Kapet Bima tersebut memiliki posisi strategis dalam hubungan intra-inter regional, serta memberikan dampak pada perkembangan sosial, ekonomi dan politik wilayah. Peranan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah Pengelolaan Kapet Bima melibatkan berbagai pihak. Secara garis besar terdiri dari BP Kapet, Pemda Propinsi NTB, Pemda Kabupaten/Kota di Kapet Bima, Pemerintah Pusat, Swasta dan Lembaga Masyarakat. Berdasarkan tingkat pengaruh dan keterlibatan stakeholders terdapat empat kelompok stakeholders (Gambar 2) : (K1) yaitu lembaga masyarakat, pelaku dalam kuadran ini perlu dilakukan pemberdayaan dan dilibatkan dalam rangkaian proses pembangunan, (K2) yakni Pemkab dan swasta, pelaku dalam kuadran ini perlu dikoordinir dan disinergi potensi yang dimiliki secara lebih optimal, melalui kemitraan atau kerjasama antar daerah dan swasta, (K3) yakni Pemerintah Propinsi, pelaku dalam

kuadran ini perlu di dorong agar berperan lebih besar dengan menggunakan pengaruh dan atau kewenangan yang dimilikinya untuk pengembangan wilayah Kapet Bima dan (K4) yakni pemerintah pusat dan BP Kapet Bima, pelaku dalam kuadran ini perlu memiliki ketegasan fungsi tugasnya serta memiliki program kerja yang efektif bagi pengembangan wilayah Kapet Bima, baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders TingkatTingkat Kepentingan dan Peran Stakeholders

K e t e r l i b a t a n

7 6 5 4 3 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 Tingkat Kepentingan Tingkat Pengaruh Pem Pusat

I
Lbg Masy Swasta

PemKab

II

Tingkat Peran

PemProv

IV

BP Kapet

III

Gambar 2. Tingkat Pengaruh dan Keterlibatan Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah di Kapet Bima Strategi Pengembangan Wilayah Berdasarkan analisis Hirarki Proses (AHP) dan analisis SWOT, maka secara garis besar, strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/Stakeholders Dalam Pengembangan Wilayah a. Membangun komitmen dan kerjasama antar pelaku serta melakukan reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima ke arah penyelenggaran pengembangan wilayah terpadu yang selaras dengan semangat otonomi daerah. b. Peningkatan kapasitas lembaga dan usaha ekonomi kerakyatan (UKMK) serta pengembangan kualitas SDM dan penguasaan teknologi terapan. (2) Keterpaduan Sektoral Dalam Pengembangan Wilayah a. Pengembangan sumber daya wilayah khususnya pada sektor unggulan melalui peningkatan produktivitas dan daya saing serta keterkaitan antar sektor. b. Perkuatan struktur perekonomian wilayah di Kapet Bima, melalui pengembangan industri yang terkait dengan aktivitas dan pemanfaatan sumber daya lokal. (3) Keterpaduan Wilayah Dalam Pengembangan Wilayah a. Peningkatan hubungan intra dan inter regional di Kapet Bima melalui pengembangan prasarana dan sarana komunikasi-informasi dan

transportasi sehingga terwujud mobilitas sumber daya dan kerja sama antar wilayah yang optimal dan berimbang. b. Perencanaan pembangunan wilayah Kapet Bima yang akomodatifpartisipatif dan antisipatif dengan mempertimbangkan arah kebijakan nasional dan pengaruh global. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kapet Bima memiliki berbagai potensi dan permasalah dalam pengembangan wilayah. Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima memiliki struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian (primer) dan perdagangan. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi tinggi terhadap struktur ekonomi Kota Bima adalah jasa-jasa dan perdagangan. namun kegiatan sektor sekunder seperti industri pengolahan di Kapet Bima masih cukup rendah. Adapun yang termasuk sektor unggulan di Kapet Bima dengan kriteria nilai LQ dan keterkaitan antar sektor yang tinggi serta memiliki potensi pengembangan adalah : tanaman bahan makanan (sektor 1), peternakan dan hasilhasilnya (sektor 3), kehutanan (sektor 4), perikanan (sektor 5), industri pengolahan non migas (sektor 7) serta perdagangan besar dan eceran (sektor 11). Arah dan besarnya pergerakan penduduk ditentukan oleh ketersediaan kebutuhannya di suatu wilayah, dan 82.50 % kebutuhan penduduk dapat dipenuhi dalam kabupaten/kota di Kapet Bima. Berdasarkan model grafitasi inter regional (melalui transportasi laut), arus penumpang dan barang dari Kapet Bima dipengaruhi oleh massa wilayah (pertumbuhan penduduk dan ekonomi) daerah tujuan dan jarak antar wilayah, sedangkan arus penumpang dan barang menuju Kapet Bima ditentukan oleh massa wilayah daerah asal dan Kapet Bima serta jarak antar wilayah.. Secara garis besar, strategi pengembangan wilayah di Kapet Bima dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/stakeholders khususnya antar Pemkab dengan koordinasi Pemprop NTB, (2) Keterpaduan sektoral serta fokus pada mengembangkan sektor unggulan dan (3) Keterpaduan wilayah baik intra maupun inter regional. Saran Dalam pengembangan Wilayah Kapet Bima dibutuhkan suatu koordinasi dan sinergi kebijakan-program yang memberikan dampak yang besar bagi total pertumbuhan wilayah. Untuk itu perlu diprioritaskan pengembangan sektor unggulan dengan meningkatkan produktivitas, membangun industri antara yang dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor serta dengan meningkatkan daya saing sektor unggulan tersebut, yang didukung oleh pengembangan infrastruktur yang memadai. DAFTAR PUSTAKA
BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. Mataram: BP Kapet Bima. BPS Jakarta, 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi-Propinsi Di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2001-2005. Jakarta. BPS NTB, 2004. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi NTB Tahun 2003. Mataram Haeruman H., et al., 2000. Kebijakan DP KTI Dalam Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Sekretariat Dewan Pengembangan KTI.

SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Nama

: Enirawan

Nomor Pokok

: A155040091

Judul Penelitian

: Studi Pengembangan Wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Bima Di Propinsi Nusa Tenggara Barat

Komisi Pembimbing

: 1. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS (Ketua) 2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. (Anggota)

Hari/Tanggal

: Kamis, 12 Februari 2007

Waktu

: 12.00-13.00 WIB

Tempat

: Auditorium Sosek Kampus IPB Darmaga Bogor

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Affendi. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. P4Wpress. Bogor. Badan Pusat Satatistik, 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output.. BPS. Jakarta. Badan Pusat Satatistik, 2000. Tekhnik Penyusunan Tabel Input-Output.. BPS. Jakarta. BP Kapet Bima dan BPPT, 2000. Rencana Induk Kegiatan Kapet Bima. BP Kapet Bima. Mataram. BPS Nusa Tenggara Barat, 2003. Propinsi Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. BPS Nusa Tenggara Barat. Mataram. Marimin, 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Pradhan, K. Pushkar. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural Development Analysis. New Hira Books Enterprises. Kirtipur, Kathmandu. Prastya, H.. 2000. Pengembangan Keterkaitan Antar Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) di Kawasan Timur Indonesia. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta. Rondinelli, A. Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis The Spatial Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi Ernan, Saefulhakim Sunsun, Dyah R. Panuju, 2005. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Diktat Kuliah. Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai