PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN
IPA DAN TI
OLEH:
PENDIDIKAN KIMIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
ANALISIS JURNAL 1
1. Isi Jurnal
Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui indikator apa saja siswa
paling banyak mengalami miskonsepsi pada materi larutan penyangga,
berapa besar persentase miskonsepsi siswa pada materi larutan penyangga,
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi pada
materi larutan penyangga.
2. Hasil
3. Kelebihan
Kelebihan dari jurnal ini yaitu memberikan informasi yang jelas mengenai
miskonsepsi yang dialami siswa pada materi larutan penyangga dengan
persentase miskonsepsi dari sub-sub materi alrutan penyangga serta faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi siswa pada materi larutan
penyangga.
4. Kelemahan
5. Saran
1. Isi Jurnal
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga SMAN di kota Padang, terdiri dari SMAN
10, 3, dan 8 Padang. Subjek penelitian adalah siswa kelas X tahun ajaran
2007/2008 yang telah belajar pokok bahasan larutan elektrolit dan
nonelektrolit serta reaksi oksidasi dan reduksi pada semester 2. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan yaitu stratified random sampiling
dimana 3 sekolah tesebut menpunyai input yang berbeda yaitu tinggi
menegah dan rendah. Tes diagnostik terdiri dari 25 butir soal, hasil tes
diaknostik dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu siswa yang paham dengan
konsep, siswa yang mengalami miskonsepsi dan siswa yang tidak paham
konsep.
2. Hasil
3. Kelebihan
4. Kelemahan
5. Saran
1. Isi Jurnal
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa Madrasah Aliyah Negeri
kelas XI IPA di kota Banjarmasin pada tahun ajaran 2015/2016. Sampel
diambil secara cluster random sampling. Sampel pada penelitian ini adalah
kelas XI IPA 1 MAN 1 Banjaramasin, kelas XI IPA 2 MAN 2 Banjarmasin, dan
kelas XI IPA 3 MAN 3 Banjarmasin. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes Two Tier Multiple Choice
Diagnostic Instrument dan non tes Wawancara.
2. Hasil
3. Kelebihan
Memberikan informasi kepada siswa dan guru terkait penyebab miskonsepsi
yang berasal dari siswa dan guru. Sehingga siswa bisa lebih memperhatikan
bagain-bagian materi yang banyak terjadi miskonsepsi dan belajar lebih baik
lagi untuk dapat memahami konsep-konsep materi dengan lebih mendalam,
dan guru dapat mendesain ulang perencaan pembelajaran agar dapat
memberikan informasi mendalam serta penekanan pada konsep.
4. Saran
Medina, Pinta. 2015. Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas X Pada Materi Larutan
Elektrolit dan Non elektrolit Serta Reaksi Oksidasi Dan Reduksi Dalam
Pembelajaran Kimia Di SMAN Kota Padang. Jurnal Pendidikan dan
Teknologi Informasi Vol. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-
9977
Mentari, L., Suardana I. N., Subagia I. W. 2014. Analisis Miskonsepsi Siswa SMA
pada Pembelajaran Kimia untuk Materi Larutan Penyangga. Jurnal Kimia
Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014
Monita, Friesta Ade dan Suharto, Bambang. 2016. Identifikasi dan Analisis
Miskonsepsi Siswa Menggunakan Three-Tier Multiple Choice Diagnostic
Instrument pada Konsep Kesetimbangan Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan
Sains. Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan (1) mendeskripsikan dan
menjelaskan miskonsepsi yang dialami siswa, (2) mendeskripsikan distribusi
miskonsepsi siswa, dan (3) mendeskripsikan dan menjelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi pada materi larutan penyangga. Subjek
penelitian ini adalah dua orang guru kimia, 34 orang siswa dari kelas XI IA1 dan XI IA2
SMA Negeri 1 Sukasada, buku teks, dan LKS. Objek penelitian ini adalah miskonsepsi
siswa dan faktor-faktor penyebabnya. Data dikumpulkan melalui tes diagnostik,
observasi, dan wawancara mendalam. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara
deskriptif interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa miskonsepsi yang dialami
siswa terjadi pada semua konsep pada materi larutan penyangga. Miskonsepsi siswa
terjadi pada pengertian dan sifat larutan penyangga, komponen larutan penyangga,
pembentukan larutan penyangga, reaksi (cara kerja) larutan penyangga, pembuatan
larutan penyangga, dan pH larutan penyangga. Faktor-faktor penyebab miskonsepsi
pada siswa bersumber dari siswa, guru, dan sumber belajar (LKS). Berdasarkan
temuan tersebut disarankan kepada guru untuk melakukan perbaikan proses
pembelajaran yang berlangsung di SMA Negeri 1 Sukasada, memberikan penekanan
pada konsep-konsep penting pada materi yang diberikan, siswa hendaknya
meningkatkan pemahaman pada konsep-konsep materi larutan penyangga dengan
cara belajar, berdiskusi, atau bertanya kepada guru sehingga dapat meminimalisir
miskonsepsi dan melakukan pengkajian miskonsepsi terhadap buku kimia dan LKS
yang akan digunakan sebagai sumber belajar.
Abstract
This research was a descriptive study aimed (1) to describe and explain misconceptions
experienced by students, (2) to describe the distribution of students misconceptions,
and (3) to describe and explain factors that cause students have misconceptions on the
material of buffer solution. The subjects were two chemistry teachers, 34 students of
class XI IA1 and XI IA 2 SMA Negeri 1 Sukasada, textbooks, and worksheets. The
objects of research were student misconceptions and the factors that cause its
misconceptions. The data were collected through a diagnostic test, observations, and
clinical interviews. The descriptive interpretative technique way used to analyze it data.
The results showed that students experienced misconceptions in all concept material of
buffer solution. The students’s misconceptions occured the definition and the properties
of buffer solution, the components of buffer solution, the formation of a buffer solution,
the reaction of the buffer solution, the preparation of buffer solution, and pH of buffer
solution. The factors avecting student misconceptions come from students, teachers
and learning resources (worksheet). Based on these findings, suggested to the teacher
to improve his or her learning process, to emphasize the important concepts material,
to the students should improve their understanding on the concepts of buffer solution by
learning, discussing, or questioning to the teacher therefore the misconception can be
76 76
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
minimised and to evaluated the chemistry books and worksheets used as a learning
resources.
77
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
78
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
Tabel 1.1 Presentase Tingkat Pemahaman Siswa Kelas XI IA SMA Negeri 1 Sukasada
pada Materi Larutan Penyangga
79
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
ditambahkan asam atau basa dengan dengan larutan HNO3 dapat membentuk
penambahan berapa pun dapat larutan penyangga dengan cara
menyebabkan pH larutan penyangga dicampurkan saja. Hal tersebut
akan berubah drastis. Secara konsep menyebabkan miskonsepsi karena jika
yang benar, larutan penyangga jika kedua larutan tersebut hanya
ditambahkan sedikit asam atau basa, pH dicampurkan saja belum tentu akan
tidak berubah secara drastis kecuali jika membentuk larutan penyangga.
penambahan asam atau basa yang Kemungkinan yang terjadi adalah
banyak. hidrolisis atau terbentuk larutan yang
Soal nomor 2 membahas tentang bersifat asam.
pembentukan larutan penyangga yang Soal nomor 3 siswa yang
dibagi menjadi 2 bagian soal, yaitu soal miskonsepsi sebesar 38,23%. Pola
2a (menjelaskan terbentuknya larutan jawaban yang dimiliki siswa adalah
penyangga dari asam lemah HCOOH dan campuran 100 mL HCN 0,2 M dan 100 mL
basa kuat KOH) dan soal 2b NaOH 0,1 M terbentuk penyangga karena
(menjelaskan terbentuknya larutan HCN merupakan asam lemah sedangkan
penyangga dari basa lemah NH4OH dan NaOH merupakan basa kuat. Jadi jika
asam kuat HNO3). Soal nomor 2a asam lemah dan basa kuat direaksikan
presentase siswa yang miskonsepsi akan menghasilkan garam dan air seperti
sebesar 76,47%. Miskonsepsi yang berikut ini : HCN + NaOH → NaCN + H 2O
muncul pada soal ini, siswa menganggap Untuk membuktikan campuran tersebut
campuran larutan HCOOH dengan dapat membentuk larutan penyangga atau
larutan KOH dapat membentuk larutan tidak dengan cara mengetahui mmol
penyangga dengan larutan KOH harus masing-masing larutan, jika seperti reaksi
berlebih. Alasan siswa menyatakan di atas berarti mmol HCN harus berlebih,
larutan KOH harus berlebih karena maka dari itu :
larutan KOH merupakan basa kuat, jika 100 ml HCN 0,2 M = 100 x 0,2 = 20
yang kuat yang berlebih maka baru bisa mmol HCN
membentuk larutan penyangga. Pada 100 ml NaOH 0,1 M = 100 x 0,1 = 10
campuran kedua larutan tersebut jika mmol NaOH
KOH yang berlebih maka yang terbentuk Dengan demikian dapat diketahui bahwa
bukan larutan penyangga tetapi larutan NaOH sebagai larutan penyangga.
yang bersifat basa karena KOH yang Penelusuran melalui wawancara siswa
akan bersisa. Pola miskonsepsi lain pada menyatakan bahwa terbentuknya larutan
soal ini adalah campuran larutan HCOOH penyangga dari kedua larutan tersebut
dengan larutan KOH dapat membentuk karena mmol HCN berlebih. Pada
larutan penyangga dengan cara perhitungannya mmol HCN berlebih
dicampurkan. Siswa beranggapan bahwa sebanyak 10 mmol dari NaOH. Siswa
larutan penyangga dari campuran larutan menyatakan bahwa NaOH sebagai
HCOOH dan larutan KOH dibentuk larutan penyangga karena mmolnya lebih
dengan dicampurkan saja. Hal ini kecil dari HCN sehingga menjadi patokan
menyebabkan miskonsepsi pada siswa atau batasnya dalam menentukan
karena jika kedua larutan tersebut hanya penyangga. Dari jawaban tersebut
dicampurkan saja belum tentu akan menunjukkan bahwa siswa menganggap
membentuk larutan penyangga. larutan penyangga merupakan suatu
Kemungkinan yang terjadi adalah patokan atau batas. Jawaban yang
hidrolisis atau terbentuk larutan yang diberikan siswa hampir benar hanya saja
bersifat basa. kurang perinci dalam menjelaskan.
Pada soal nomor 2b siswa yang Namun, muncul miskonsepsi yang
miskonsepsi memiliki presentase paling menyatakan bahwa NaOH sebagai
tinggi dari semua soal sebesar 91,17%. larutan penyangga. Menurut pemikiran
Pola miskonsepsi yang ditemukan pada siswa karena mmol NaOH lebih kecil dari
soal ini hampir sama dengan soal nomor HCN sehingga NaOH sebagai patokan
2a, yaitu campuran larutan NH4OH dalam menentukan penyangga. Jadi,
80
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
81
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
82
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
83
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
84
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
satunya harus diubah terlebih dahulu agar konsep penting pada materi larutan
satuan yang digunakan sama. Misalnya penyangga. Guru menjelaskan materi
0,4 mol NH4OH dan 1 mmol NaOH, 0,4 secara singkat dan selanjutnya guru hanya
mol dari NH4OH diubah dulu satuannya memberikan latihan-latihan soal
menjadi mmol sehingga menjadi 400 perhitungan pH larutan penyangga kepada
mmol. Setelah satuannya sama baru bisa siswa. Penekanan pada konsep-konsep
dikurangi. penting pada materi larutan penyangga
Miskonsepsi yang terjadi pada tidak dilakukan secara mendalam hanya
siswa pada konsep-konsep materi larutan disampaikan sekilas.
penyangga disebabkan oleh beberapa Selain itu, guru hanya
faktor bersumber dari siswa, guru dan buku memfokuskan siswa pada latihan soal
teks. Adapun faktor utama siswa perhitungan pH larutan penyangga. Dari
mengalami miskonsepsi kebanyakan hasil observasi yang dilakukan, selama dua
bersumber dari diri siswa sendiri. Hal ini kali pertemuan untuk membahas materi
sesuai dengan pendapat ahli yang larutan penyangga, guru lebih banyak
menyatakan bahwa miskonsepsi paling memberikan latihan soal perhitungan. Hal
banyak berasal dari pebelajar (Suparno, inilah yang menyebabkan siswa lebih
2005). Penelitian oleh Setiawati (2011) memahami konsep pH larutan penyangga
juga mengungkapkan bahwa pebelajar dibandingkan konsep yang lainnya dan
adalah faktor terbesar yang menyebabkan dapat memunculkan miskonsepsi pada
terjadinya miskonsepsi. Beberapa faktor siswa. Jika siswa hanya menguasai
penyebab miskonsepsi yang bersumber perhitungan tanpa teori yang mendasari
dari siswa adalah cara belajar siswa lebih akan percuma. Hal ini dapat membuat
banyak menghafal bukan memahami siswa susah menerapkan konsep jika
konsep. Temuan terhadap pola jawaban menemui suatu permasalahan. Penekanan
siswa mengindikasikan bahwa siswa hanya pada perhitungan saja kemungkinan besar
menghafal materi tanpa memahaminya. akan menimbulkan anggapan siswa bahwa
Selain itu, siswa tidak mampu pelajaran kimia lebih banyak menghitung
mengaplikasikan konsep-konsep yang dan menghafal rumus. Pada LKS terdapat
dipelajarinya dalam memecahkan suatu temuan yang kemungkinan dapat
permasalahan dan mengkaitkannnya satu menyebabkan miskonsepsi pada siswa,
sama lain. Hasil pembelajaran yang seperti terdapat pernyataan sebagai
diperoleh dengan cara menghafal saja berikut. jika larutan penyangga ditambah
tanpa pemahaman bersifat sementara dan asam atau basa yang sangat besar (larutan
dapat berdampak pada penguasaan penyangga habis bereaksi) maka pH
konsep yang kurang optimal. Hal tersebut larutan penyangga berubah drastis.
dapat menyebabkan terjadinya Penjelasan tentang larutan penyangga
kesalahpahaman dalam mengembangkan habis bereaksi yang lebih rinci tidak
konsep dasar yang dikuasainya untuk disampaikan pada LKS. Hal ini
memecahkan masalah dan menyelesaikan memungkinkan dapat menyebabkan
berbagai macam pengembangan soal serta miskonsepsi pada siswa. Temuan adanya
dapat menimbulkan miskonsepsi pada indikasi miskonsepsi pada sumber belajar
siswa. (Marsita, Priatmoko, dan Kusuma yang digunakan siswa (LKS) sejalan
2010). dengan temuan Yuniasri (2013) yang
Kemampuan siswa dalam menyatakan sumber belajar (buku teks)
menganalisis dan mengaitkan beberapa sebagai penyebab miskonsepsi siswa pada
konsep yang saling berhubungan masih materi struktur atom dan ikatan kimia.
lemah. Hal ini terlihat dari pola jawaban Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
siswa pada soal-soal yang menerapkan Purwitasari (2012) juga menemukan
konsep yang saling berhubungan siswa adanya miskonsepsi pada Buku Sekolah
tidak mampu menanganalisisnya. Elektronik (BSE) pada materi hukum-
Faktor penyebab miskonsepsi yang hukum dasar kimia dan perhitungan kimia.
berasal dari guru, yaitu guru tidak
memberikan penekanan pada konsep-
85
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
86
e-Journal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan Ganesha
Jurusan Pendidikan Kimia (Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014)
87
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
Abstrak
Mata Pelajaran Kimia pada hakikatnya berhubungan erat dengan lingkungan sehari-hari. Oleh sebab itu,
siswa cenderung memiliki pemahaman tersendiri terhadap konsep-konsep Kimia. Kajian tertentu dalam Kimia yang
bersifat abstrak memungkinkan terjadinya miskonsepsi siswa, baik sebelum pembelajaran maupun setelah
pembelajaran kimia. Miskonsepsi siswa memiliki pengaruh terhadap pencapaian hasil belajar. Penelitian ini untuk
mengetahui miskonsepsi pada Konsep Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit serta Reaksi Oksidasi dan Reduksi dalam
Pembelajaran Kimia di SMAN Kota Padang. Subjek penelitian adalah siswa kelasX tahun ajaran 2007/2008 yang
telah belajar pokok bahasan larutan elektrolit dan nonelektrolit serta reaksi oksidasi dan reduksi Dengan memberikan
tes diagnostik kepada siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu stratified random sampiling.
Penelitian ini di lakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama merupakan pembuatan tes diagnostik dan telah
selesai dilaksanakan. Tahap ke dua tes diagostik di sebar ke siswa, data dianalisis dengan analisis statistik deskriptif.
Tahap ketiga data yang di analisis di sajikan dengan frekkuensi persentase. Luaran yang dihasilkan dalam hal ini
adalah: (1) siswa yang paham konsep, (2) siswa yang mengalami miskonsepsi, (3) siswa yang tidak paham konsep.
1. Pendahuluan
Dewasa ini sains mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Untuk dapat mengikuti perkembangan IPTEK sumber
daya manusia Indonesia perlu menguasai ilmu Sains yang mendasarinya. Sains harus dipahami
dari dasar untuk menunjang perkembangan IPTEK tersebut.
Kimia merupakan salah satu cabang Sains yang mendasari perkembangan teknologi maju dan
konsep hidup harmonis dengan alam. Begitu banyak produk teknologi didasarkan pada prinsip
kimia. Kimia juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu meringankan
pekerjaan manusia. Oleh karena itu kimia memegang peranan penting dan memberikan
konstribusi yang cukup besar bagi kehidupan manusia, maka mata pelajaran kimia dipelajari
pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama sampai ke perguruan tinggi.
Proses belajar di sekolah ditandai oleh terjadinya interaksi antara subjek belajar dengan objek
belajar melalui instruksional yang disusun oleh guru dalam rangka pencapaian tujuan belajar
yang telah ditetapkan dalam kurikulum sehingga pada diri siswa sebagai subjek belajar terjadi
perubahan, baik perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap kearah yang lebih baik.
Interaksi yang terjadi harus dapat membawa pesan yang disampaikan dalam bentuk materi yang
dapat dimengerti dan dapat dipahami siswa dengan baik.
Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari
seseorang kepada orang lain, akan tetapi harus dinterpretasikan sendiri oleh siswa melalui
aktivitas berinteraksi dengan objek belajarnya dan konsep-konsep yang harus dimiliki siswa
dikonstruksikan melalui pengalaman nyata dan dalam proses tersebut tidak tertutup
kemungkinan siswa mengalami salah interpretasi dan terjadi miskonsepsi. Oleh karena itu tidak
jarang bahwa hasil konstruksi itu tidak cocok dengan hasil konstruksi masyarakat ilmiah. Inilah
yang memunculkan kekeliruan dalam memahami suatu konsep (miskonsepsi). Munculnya
1
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
miskonsepsi yang paling banyak bukan selama proses belajar mengajar melainkan sebelum
proses pembelajaran dimulai, yaitu pada konsep awal yang telah dibawa siswa sebelum ia
memasuki proses tersebut atau yang disebut sebagai prakonsepsi.
Hasil belajar siswa pada mata pelajaran kimia di atas menunjukan bahwa penguasaan materi
pelajaran kimia secara umum oleh siswa tamatan SMAN di kota Padang dalam tahun-tahun
terakhir belum memuaskan. Dengan penguasaan materi yang belum memuaskan ini, peneliti
merasa perlu untuk mengindentifikasi penyebabnya, diantaranya pengetahuan awal
(prakonsepsi) siswa mengenai konsep kimia yang masih keliru. Hal ini didapat dari wawancara
dengan beberapa guru kimia di kota Padang.Pengetahuan awal siswa yang keliru dapat
membentuk skema yang salah pada pemahaman konsep lanjutan pada materi pelajaran kimia.
Siswa dapat semakin keliru dalam menafsirkan konsep (miskonsepsi) sehingga semakin
kesulitan untuk menguasai konsep selanjutnya.
Miskonsepsi pada siswa masih perlu ditinjau kembali untuk mengetahui seberapa besar
pengertian yang tidak akurat tentang konsep yang masih dialami oleh siswa setelah
pembelajaran dan untuk mengetahui efektifitas pembelajaran yang dialami siswa dalam
mengatasi miskonsepsi, hal ini kalau dibiarkanakan berdampak kepada materi lanjutan dan akan
mengalami miskonsepsi yang semakin kompleks.
Untuk melihat kembali miskonsepsi yang terjadi pada siswa setelah dilaksanakannya
pembelajaran, dapat dilakukan dengan memberikan tes diagnostik, yaitu tes yang digunakan
untuk mengetahui kelemahan-kelamahan siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat.
Dari segi siswa penyebab terjadinya kesalahan pemahaman antara lain adalah pengetahuan awal
(prakonsepsi) yang telah diperoleh siswa tersebut. Sedangkan dari segi materi antara lain karena
konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.
Dalam pendidikan terdapat teori mengenai belajar dan pembelajaran yang merupakan buah dari
penelitian panjang dan dapat diuji kembali keakuratannya. Prawiradilaga (2007: 22)
memandang bahwa, ..teori belajar mengkaji kepada kejadian belajar dalam diri seseorang
(Proses Internal). Sementara teori pembelajaran adalah faktor eksternal yang memfasilitasi
proses belajar. Esensi perbendaharan antara keduanya terletak dari sifat keilmuan. Teori
pembelajaran bersifat preskriptif menyarankan bagaimana sebaiknya proses pembelajaran
diselanggarakan. Teori belajar bersifat deskriptif atau menjelaskan bagaimana proses belajar
terjadi dalam diri seseorang.
Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar
yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses
komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh guru sebagai pendidik, sedangkan belajar
dilakukan oleh siswa. Konsep pembelajaran menurut Corey (1986 dalam Sagala, 2003: 61)
adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan
ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan
respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan.
Kegiatan pembelajaran terjadi melalui interaksi antara siswa dengan guru. Guru membelajarkan
siswa dan siswa belajar. Fungsi pembelajaran merupakan upaya mendorong, mengajak,
2
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
membimbing dan melatih, yang dilakukan oleh guru supaya siswa melakukan kegiatan belajar
untuk memenuhi kebutuhan belajar dan kebutuhan pendidikan dalam upaya memuaskan
pemenuhan kebutuhan hidupnya ( Sudjana, 2000: 97).
Konsep pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 297), adalah suatu kegiatan guru
secara terprogram dalam desain intruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang
menekankan pada penyediaan sumber belajar. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
(UU SPN) nomor 20 tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi siswa
dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses
belajar yang dibangun oleh guru untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat
meningkatkan kemampuan mengkontruksikan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan
penguasan yang baik terhadap materi pelajaran.
Lufri (2006: 17) menyatakan pembelajaran merupakan proses kegiatan membelajarkan yang
mengacu ke segala daya upaya bagaimana membuat seseorang belajar, bagaimana
menghasilkan terjadinya peristiwa belajar di dalam diri orang tersebut. Dalam proses
pembelajaran, komponen proses belajar memegang peran yang sangat penting. Proses
pembelajaran akan bermakna apabila terjadi kegiatan belajar siswa. Hal ini mengisyaratkan
bahwa siswa harus dijadikan pusat pembelajaran. Proses pembelajaran dapat berhasil bila
komponen-komponen pembelajaran saling berinteraksi dan berinterelasi satu sama lain. Sanjaya
(2006: 56), menjelaskan komponen-komponen pembelajaran terdiri atas tujuan, materi
pembelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media, dan evaluasi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, proses belajar dimulai dari
membentuk suatu makna yang diperoleh dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan yang
dialami kemudian dibangun secara terus menerus sehingga dapat merangsang pemikiran lebih
lanjut,sedangkan hasil belajar juga dipengaruhi oleh pengalaman dengan lingkungannya dan
bergantung kepada sejauh apa pengetahuannya dari yang dipelajarinya.
Kimia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sains yang memiliki karakteristik sendiri
dibanding ilmu lain. Proses pembelajaran kimia memiliki dua dimensi, yakni belajar materi
sains dan bagaimana melakukan kegiatan sains. Menurut Depdiknas (2003): Sains berkaitan
dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi
juga merupakan suatu proses penemuan.
Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-
gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan
energetika zat. Oleh sebab itu, mata pelajaran kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu
tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat
yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang
tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep,
prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah).
Konsep merupakan hal yang mendasar yang sangat berperan dalam memahami suatu pelajaran.
Secara umum konsep diartikan sebagai suatu kelas stimulus yang memiliki sifat-sifat umum,
dimana stimulus yang dimaksudkan adalah objek atau orang. Suparno(1996:31) menyatakan
bahwa: pemerolehan konsep berkaitan dengan proses pembentukan struktur kognitif. Struktur
kognitif merupakan suatu sistem yang saling bekaitan yang membentuk skema. Skema itu berisi
fakta, teori, prinsip, konsep-konsep dan hukum yang saling berhubungan satu sama lainnya.
Setiap skema berperan sebagai suatu penghubung bagi konsep-konsep yang baru.
Tafsiran konsep oleh seseorang disebut persepsi (konsepsi). Konsepsi secara umum dapat di
artikan pemahaman seseorang mengenai suatu konsep. Walaupun dalam Kimia kebanyakan
konsep mempunyai arti yang jelas, bahkan yang sudah disepakati oleh para kimiawan, tetapi
3
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
konsepsi pelajar berbeda-beda. Sebelum memasuki pembelajaran peserta didik telah memiliki
konsepsi atau persepsi sendiri-sendiri tentang sesuatu, termasuk yang berkaitan dengan materi
Kimia. Sebelum mereka mengikuti pelajaran, mereka sudah banyak memiliki pengalaman
karena pengalamannya itu mereka telah memiliki konsepsi-konsepsi (persepsi-persepsi) yang
belum tentu sama dengan konsepsi Kimiawan. Konsepsi atau persepsi yang dibawa siswa dari
pengalamannya yang diperolehnyadinamakan dengan prakonsepsi. Secara umum prakonsepsi
adalah konsepsi yang dimiliki atau dibawa seseorang sebelum mengetahui konsep
sesungguhnya.
Ada banyak pendapat mengenai definisi konsep. Secara umum konsep diartikan sebagai suatu
kelas stimulus yang memiliki sifat-sifat umum, dimana stimulus yang dimaksudkan adalah
objek atau orang. Beberapa definisi tentang konsep yang dikemukakan oleh pakar antara lain
menurut Dahar(1989: 79) konsep-konsep merupakan kategori-kategori yang diberikan pada
stimulus-stimulus yang ada di lingkungan kita. Konsep-konsep menyediakan skema-skema
terorganisasi untuk mengasimi-lasikan stimulus-stimulus baru, dan untuk menentukan hubungan
di dalam dan di antara kategori-kategori. Hamalik (2003: 162) menyatakan bahwa bahwa
konsep adalah suatu kelas atau kategori stimuli yang memiliki ciri-ciri umum. Stimuli adalah
objek-objek atau orang (person). Adapun ciri-ciri konsep tersebut menurut Hamalik (2003: 162)
adalah sebagai berikut ini
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah suatu pengertian yang
digunakan sesorang untuk mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan ciri-ciri tertentu. Setiap
orang dapat membentuk konsep sendiri. Setiap konsep memiliki elemen-elemen seperti nama,
contoh dan ciri-ciri baik yang esensial maupun yang non esensial.
Suparno (2005:4) menyatakan“miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai
dengan konsep ilmiah atau pengertian yang diterima pakar dalam bidang itu”. Brown (1992
dalam Suparno 2005:4), menyatakan kan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan
mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang
sekarang diterima.Flower (1987) dalam Suparno (2005: 5)memandangmiskonsepsi sebagai
pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-
contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsep-
konsep yang tidak benar.
Masjkur (1996: 59), berpendapat bahwa apabila konsepsi siswa kurang lebih sama dengan
“konsepsi kimiawan yang sederhana” maka konsepsi siswa tersebut tidak dapat dikatakan salah.
Tetapi apabila konsepsi siswa menyimpang atau bahkan bertentangan dengan konsepsi para
kimiawan maka dikatakan siswa telah mengalami “kesalahan konsep kimia” atau mengalami
miskonsepsi.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian miskonsepsi secara umum
adalah suatu pemahaman konsep yang keliru dan tidak sesuai dengan pengertian ilmiah.
Miskonsepsi ini dapat terjadi secara kontiniu dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat yang
lebih tinggi, jika tidak diatasi dengan menggunakan metode tertentu akan berakibat lebih parah.
Suparno (2005: 15), menyatakan bahwa salah satu contoh miskonsepsi yang dialami siswa
adalah pada konsep berat, siswa cenderung menyamakan berat dengan masa, Jadi berdasarkan
penjelasan tersebut, miskonsepsi yang dialami siswa pada konsep ensensial banyak terjadi pada
jenjang pendidikan, yang akan menyebabkan siswa merasa sulit untuk mempelajari Kimia.
Suparno (2005:80), juga menjelaskan bahwa, miskonsepsi yang berkelajutan juga disebabkan
karena jarangnya dievaluasi, dihadapi, dan dibicarakan misalnya dalam tes atau ujian sehingga
siswa tidak menaruh perhatian pada miskonsepsi tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi sangat perlu ditinjau agar tidak terjadi miskonsepsi yang berkelanjutan.
Dapat disimpulkan bahwa siswa yang tergolong tidak paham atau tidak mengerti konsep yaitu
siswa yang tidak memberikan respon sama sekali (kosong), tidak tahu sama sekali mengenai
4
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
konsep yang ditanyakan/yang diujikan, tidak mengerti, atau lebih cendrung mengulang
pertanyaan saat diminta memberikan respon atau alasan. Untuk siswa yang mengarah
miskonsepsi yaitu apabila siswa diberikan suatu pertanyan mengenai suatu konsep maka siswa
tersebut memberikan respon atau alasan yang tidak logis cenderung berbelit-belit, atau siswa
memberikan alasan yang memperlihatkan pemahamannya akan tetapi juga mengungkapkan
argumen atau pernyatan yang salah, sedangkan kriteria untuk siswa yang tergolong paham
konsep yaitu siswa yang memberikan respon yang lengkap dan sesuai dengan konsep yang
dituju atau memberikan konsep yang agak kurang lengkap tetapi siswa tersebut memperlihatkan
pemahaman konsep.
Dalam mengubah miskonsepsi siswa menjadi konsep ilmiah diperlukan strategi pengubahan
konsep (conceptual change) yang tepat dan diberikan pada saat yang tepat pula. Cara efektif
yang dapat digunakan menurut Ponster (1982 dalam Suparno 1997: 51) adalah dengan
menyajikan peristiwa anomali, yaitu supaya peristiwa yang bertentangan dengan apa yang
dipikirkan siswa dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami
fenomena yang baru. Peristiwa anomali ini akan lebih menantang siswa untuk berfikir dan
mempersoalkan mengapa pemikiran awal mereka tidak benar. Pada saat ini terjadi
kesetimbangan kognitif dan proses pengubahan miskonsepsi dapat dimulai dari sini dengan
konflik kognitif (cognitive conflict). Konflik kognitif ini harus dilakukan secara hati-hati jangan
sampai konflik kognitif justru akan memperkuat stabilitas miskonsepsi siswa. Jika siswa sudah
menjadi ragu terhadap kebenaran gagasannya, maka dapat diharapkan mereka akan
merekonstruksi gagasan atau konsepsinya, sehingga pada akhir proses pembelajaran di kepala
siswa hanya terdapat informasi yang berupa pengetahuan ilmiah (Sadia, 1996: 12).
Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa cara seseorang mengabstraksi pengelaman
lampau dan mengorganisasikan konsep untuk mengerti sesuatu mempengaruhi untuk
pembentukan pengetahuan berikutnya. Pengalaman akan membatasi pembentukan pengetahuan
karna merupakan suatu sistem yang saling berkaitan.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
kita adalah konstruksi (bentukkan) kita sendiri. Glasersfeld (1989 dalam Suparno, 1996:18)
menegaskan pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan stuktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan.
2. Landasan Teori
Setiap individu membangun pengertian pada dirinya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang
dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran
individu yang belum mempunyai pengetahuan (siswa). Bila guru bermaksud mentransfer
konsep, ide dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan
dikonstruksikan oleh siswa lewat pengalamannya hal tersebut dinyatakan oleh Glasersfeld
(1989 dalam Suparno, 1996:20).
Suparno (1996:62), juga menjelaskan kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa
membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari sendiri arti yang mereka pelajari. Hal
5
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
tersebut merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka pikir yang
telah ada dalam pikiran mereka. Siswa sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari
makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan
dalam pengalaman yang baru.
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar
merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat perubahan yang bersifat relatif tetap dan
selalu berhubungan dengan pengalaman. Aktivitas ataupun kegiatan belajar itu sendiri
mencakup adanya penambahan keterampilan dan perluasan pengetahuan. Belajar juga dapat
mengembangkan sikap, minat, nilai-nilai serta mengembangkan konsep mengenai diri sendiri.
Dengan demikian miskonsepsi biasa saja terjadi berdasarkan teori kontruktivisme karena siswa
tersebut yang mengkontruksikan apa yang dilihat didengar dan dialami dalam kehidupan sehari-
hari maupun dalam proses pembelajaran. Kerena siswa yang mengkontruksikan
pengetahuannya sendiri sehingga sering tidak sesuai dengan penegetahuan ilmiah sehingga
terjadi miskonsepsi.
3. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan data penelitian apa adanya. Menurut Ary (1995:415), bahwa “Penelitian
deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi status gejala pada saat penelitian dilakukan
tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan.”Penelitian ini dilaksanakan pada tiga
SMAN di kota Padang, terdiri dari SMAN 10, 3, dan 8 Padang. Dengan input tinggi, sedang dan
rendah. Pengkategorian ini didasarkan pada data dari Depdiknas kota Padang tahun 2008.
Subjek penelitian adalah siswa kelas X tahun ajaran 2007/2008 yang telah belajar pokok
bahasan larutan elektrolit dan nonelektrolit serta reaksi oksidasi dan reduksi pada semester 2.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu stratified random sampiling dimana 3
sekolah tesebut menpunyai input yang berbeda yaitu tinggi menegah dan rendah. Sekolah
dengan input tinggi yaitu SMAN 10 Padang yang terdiri dari 6 kelas regular dan diambil satu
kelas sampel dengan jumlah siswa 40 orang secara random. Sekolah dengan input menegah
yaitu SMAN 3 Padang yang terdiri dari 7 kelas dan diambil satu kelas sampel dengan jumlah
siswa 37 orang secara random. Sekolah dengan input rendah yaitu SMAN 8 Padang yang terdiri
dari 7 kelas dan diambil satu kelas sampel dengan jumlah siswa 35 orang secara random. Tes
diagnostik terdiri dari 25 butir soal, hasil tes diaknostik dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu
siswa yang paham dengan konsep, siswa yang mengalami miskonsepsi dan siswa yang tidak
paham konsep.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut, persentase yang paham paling tinggi adalah
SMAN 10 Padang yaitu sebesar 13,97 %. Hal ini berarti hanya 13,97% siswa yang paham
terhadap tes diagnostik dari 25 soal yang diteskan. Siswa yang mengalami miskonsepsi yang
paling tinggi adalah SMAN 10 Padang dan diikuti oleh SMAN 8 Padang dengan rata-rata
sebesar 5,68% dan 4,00%. Hal ini berarti, dari 25 solal tes diagnostik yang diberikan siswa
SMAN 10 Padang mengalami miskonsepsi terhadap soal sebesar 5,68% sedangkan siswa
SMAN 8 Padang sebesar 4,00%. Siswa yang tidak paham atas soal tes diagnostik yaitu SMAN
6
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
3 Padang sebesar 7,90%. Hal ini berarti, dari 25 soal tes diagnostik 7,90% soal yang kurang
dipahami oleh siswa
Meteri larutan elektrolit dan nonelektrolit miskonsepsi siswa terjadi pada konsep-konsep
senyawa ionik, senyawa kovalen polar dan ionisasi. Hal ini terlihat dari analisis data yang
menunjukan persentase berturut-turut sebagai berikut 35,65%, 14,77%, dan 14,57%. Konsep-
konsep tersebut di atas masih terkait dengan materi pada semester satu yaitu ikatan kimia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa belum memahami konsep-konsep yang
terdapat pada materi ikatan kimia pada semesater satu sehingga pada materi larutan elektrolit
dan nonelektrolit siswa mengalami miskonsepsi yang berlanjut.
Materi reaksi oksidasi dan reduksi miskonsepsi siswa terjadi hampir semua konsep yang
terdapat pada meteri tersebut. Persentase yang rendah yaitu pada konsep reduksi sebesar
12,17%. Hal ini menunjukkan bahwa konsep pada materi reaksi oksidasi dan reduksi ini bersifat
abstrak dan sulit untuk dipahami. Dari beberapa wawancara singkat dengan siswa, hal tersebut
disebabkan karena siswa merasa sulit untuk memehami konsep-konsep dalam materi reaksi
oksidasi dan reduksi, semantara dalam materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dalam proses
pembelajaran ada dilaksanakan pratikum. Faktor lain disebabkan siswa tidak siap untuk
melaksanakan tes diagnostik. Sebaiknya tes diagnostik diberikan setiap proses pembelarajan
selesai tiap-tiap satu materi. Selain waktu yang kurang tepat siswa juga menyatakan dalam
materi reaksi oksidasi banyak konsep-konsep yang abstrak. Seperti reaksi oksidasi dan reduksi
tidak dapat di amati dengan secara langsung.
Hal ini juga disebabkan kurangnya penekanan terhadap konsep-konsep yang dianggap penting
dalam pembelajaran kimia dan didalam pelaksanaan proses pembelajaran (PBM) siswa
cendrung dituntut untuk mengerjakan banyak latihan-latihan saja, begitu juga dalam
pelaksanaan ujian. Untuk itu perlu adanya penekanan untuk setiap konsep yang dianggap
penting agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam mempelajari kimia kedepannya. Konsep-
konsep pada materi ini juga saling terkait satu sama lainnya. Contonya jika siswa belum pahan
konsep oksidasi dan reduksi maka siswa itu akan miskonsepsi pada konsep reduktor, oksidaror,
bilangan oksidasi dan redoks. Sehingga disini diharapkan siswa benar-benat pahan dengan
konsep oksidasi dan reduksi dulu baru siswa akan paham konsep-konsep yang terdapat pada
materi reaksi oksidasi dan reduksi.
5. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini masih terdapat miskonsepsi siswa setelah dilaksanakan
pembelajaran. Dimana rata-rata persentase miskonsepsi yang dialami siswa setelah
melaksanakan pembelajaran pada konseplarutan elektrolit dan nonelektrolit untuk persentase
rata-rata miskonsepsi yang paling tinggi terdapat pada konsep senyawa ionik yaitu sebesar
35,63 % sedangkan pada konsep elektrolit dan nonelektrolit siswa umumnya sudah paham. Pada
konsep-konsep reaksi oksidasi dan reduksi untuk persentase rata-rata miskonsepsi yang paling
tinggi terdapat pada konsep redoks yaitu sebesar 23,33 % dan pada konsep reduksi terlihat siswa
pada umumnya sudah paham. Pada materi elektrolit dan nonelektrolit yang termasuk
miskonsepsi siswa terlihat dari persentasi rata-rata siswa yang miskonsepsi yaitu pada konsep
senyawa ionik. Hal ini di sebabkan karena siswa belum paham pada pelajaran di semester
sebelumnya yaitu pada materi ikatan ion, sedangkan pada materi reaksi oksidasi dan reduksi
siswa masih miskonsepsi pada konsep Redoks, bilangan oksidasi dan konsep oksidasi itu
sendiri. Hal ini di sebabkan siswa belum paham konsep oksidasi dan reduksi itu sendiri,
sedangkan pada materi ini konsep selalu saling terkait satu sama lain.
Dengan selesainya penelitian ini, dapat dikemukan saran-saran sebagai berikut ini:
1.Guru sebelum memulai pembelajaran, hendaknya meninjau terlebih dahulu konsep prasyarat
yang dibawa siswa dari lingkungan dan kehidupan sehari-hari.
2.Guru, meninjau ulang konsep dasar siswa yang berhubungan dengan konsep-konsep yang
diajarkan, sehingga dapat mencegah terjadinya miskonsepsi
7
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
Referensi
[1]Ary, Donald. 1995. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (terjemahan). Surabaya: Usaha
Nasional.
[2] Arikunto Suharsimi. 2005. Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
[3] Asma Nur. 2002. Analisis Miskonsepsi Siswa Pada Mata Pelajaran Kimia”. Tesis. Tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang.
[6] Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
[7] Ernella. 2009. Analisis Pembalejaran Kimia Kelas XI di Kota Padang”. Tesis. Tidak
diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang.
[8] Halloun, Ibrahim and Hestenes, David. 1985. “The Initial Knowledge State of College
Physics Students”. Published in American Journal of Physics 53 (11) November 1985. Jurnal
[9] Hamalik, Oemar. 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta;
Bumi Aksara.
[10] Lufri. 2005 “Kiat Memahami Metodologi dan Penelitian”. Padang: Jurusan Biologi
FMIPA UNP.
[11] Masril dan Nur Asma. 2002. “Pengungkapan Miskonsepsi Siswa Menggunakan Force
Concept Inventory and Certain Of Response Index”Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia
Volume B5.
[12] Masjkur KadimDan kawan-kawan. 1996. “Penerapan Strategi Konflik Kognitif Untuk
Menelusuri Salah Konsep Dalam Belajar Fisika”. Laporan Penelitian. Malang: FMIPA IKIP
Malang.
[14] Sadia I Wayan. 1996. “Pengaruh Prior Knowledge dan Strategi Conceptual Chang dalam
Pembelajar IPA di SMP” Laporan Penelitian PMIPA STKIP Singa Raja.
[15] Sagala Saiful, 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
[17] Sudjana Nana. 2000. Penilaian Hasil dan Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
8
Jurnal Pendidikan dan Teknologi Informasi Vo. 2, No. 1, September 2015, Hal. 1-9 ISSN : 2355-9977
Copyright©2015 by LPPM UPI YPTK Padang
[18] Suparno Paul. 1996. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.
.
[19] Suparno Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta
: Grasindo.
9
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 27
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang miskonsepsi siswa pada materi kesetimbangan kimia di MAN
Banjarmasin tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi siswa dalam
mempelajari konsep kesetimbangan kimia dan penyebabnya ditinjau dari siswa dan guru. Metode yang
digunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif dengan desain penelitian berupa studi deskriptif survei.
Subyek penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data dengan tes tertulis
menggunakan Three-Tier Multiple Choice Diagnostic Instrument dan non-tes dengan melakukan wawancara.
Teknik analisis data menggunakan statistik deskriptif dengan persentase dan mengkriteriakan
miskonsepsinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat miskonsepsi siswa konsep kesetimbangan
dinamis berkriteria rendah, konsep kesetimbangan homogen dan heterogen berkriteria sedang, konsep
tetapan kesetimbangan berkriteria sedang, konsep hubungan kuantitatif antar komponen dalam reaksi
kesetimbangan berkriteria sedang, konsep pergeseran kesetimbangan berkriteria sedang, konsep
kesetimbangan kimia dalam proses industri berkriteria sedang. Penyebab miskonsepsi siswa yang berasal
siswa itu sendiri yaitu prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemahaman konsep abstrak, kemampuan siswa dan
reasoning siswa yang salah. Penyebab miskonsepsi siswa yang berasal dari guru yang mengajar yaitu
penggunaan bahasa verbal yang terlalu tinggi dan vokal yang kecil, guru tidak memberikan penjelasan yang
mendalam dan penekanan pada konsep dan kekeliruan penjelasan guru.
Abstract. This study aims to find out the misconception of students in learning the concept of chemical
equilibrium and its causes in terms of students and teachers. The method used is quantitative and qualitative
method with research design in the form of descriptive survey study. The subject of research is determined by
purposive sampling technique. Technique of collecting data by written test using Three-Tier Multiple Choice
Diagnostic Instrument and non-test by conducting interview. Data analysis techniques use descriptive statistics
with percentage and criticize their misconceptions. The result of the research shows that there are students'
misconception of the concept of low-grade dynamic equilibrium, the concept of homogeneous equilibrium and
heterogeneous medium criterion, the concept of medium-weighted equilibrium constant, the concept of
quantitative relationships among components in medium-balance equilibrium reactions, the concept of
moderate-weighted equilibrium, the concept of chemical equilibrium in industrial processes Medium criteria.
The causes of student misconceptions originating from students themselves are preconception, associative
thinking, abstract concept comprehension, student ability and wrong student reasoning. The causes of student
misconceptions that come from the teaching teacher are the excessive use of verbal language and the small
vowel, the teacher does not provide a profound explanation and emphasis on the concept and error of the
teacher's explanation.
PENDAHULUAN
Miskonsepsi terjadi karena konsep kimia yang abstrak dan juga membutuhkan penalaran abstrak. Alasan
lainnya karena konsep kimia umumnya mengharuskan siswa harus dapat menggunakan representasi dalam tiga
tingkat yang berbeda: makroskopik, mikroskopik, dan simbolik (Johnstone, 2000).
Konsep-konsep dalam kimia juga saling berkaitan. Pemahaman salah satu konsep berpengaruh terhadap
konsep yang lain. Proses pembelajarannya menjadi rumit karena setiap konsep harus dikuasai dengan benar
sebelum mempelajari konsep lainnya. Siswa seringkali mengalami kesulitan, bahkan kegagalan untuk menyatukan
informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dibangun sebelumnya. Jika pengetahuan siswa tidak cukup
untuk memproses informasi baru, mereka akan menjadi bingung, alasan tidak akurat, dan akhirnya membentuk
miskonsepsi (Bilgin, 2003). Hal inilah yang kemudian menjadikan timbulnya berbagai pemahaman konsep yang
berbeda dari setiap siswa, dan memungkinkan terjadinya miskonsepsi (Suparno, 2013).
Konsep kimia yang sering menyebabkan terjadinya miskonsepsi adalah kesetimbangan kimia. Konsep ini
dianggap sulit untuk mengajar dan belajar. Kesulitan itu terjadi karena konsep kesetimbangan kimia berkaitan
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 28
sejumlah konsep kimia lainnya seperti pengurangan oksidasi, asam dan basa, laju reaksi dan kesetimbangan
larutan. Konsep kesetimbangan kimia membutuhkan adanya penggunaan representasi di makroskopik,
mikroskopik dan simbolik (Yildirim dkk., 2011).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penting untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa. Cara
untuk mengetahui adanya miskonsepsi yaitu mendeteksi dengan tes diagnostik. Menurut Mehrens & Lehmann
(Suwarto, 2012), tes diagnostik yang baik dapat memberikan gambaran akurat tentang miskonsepsi yang dimiliki
siswa berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya. Zeilik (1998) menyatakan bahwa tes diagnostik digunakan
untuk menilai pemahaman konsep siswa terhadap konsep-konsep kunci (key concepts) pada topik kesetimbangan
kimia, secara khusus untuk konsep-konsep yang cenderung dipahami secara salah.
Salah satu bentuk tes pendeteksi atau diagnostik miskonsepsi yang dapat digunakan yaitu three-tier multiple
choice diagnostics instrument. Instrumen ini, dalam satu soal terdiri 3 bagian,bagian pertama terdiri tes pilihan
ganda biasa, bagian kedua adalah pertanyaan tes pilihan ganda meminta penalaran atau alasan yang mengacu
pada bagian pertama, dan bagian ketiga menanyakan keyakinan siswa dalam menjawab dua bagian sebelumnya
(Gurel, 2015).
Three-tier multiple choice adalah tes yang valid yang bisa digunakan secara efisien dengan sampel siswa
dalam jumlah besar, dan membantu para peneliti untuk memahami penalaran siswa pada jawaban mereka untuk
membedakan kesalahpahaman dari kurangnya pengetahuan, dan untuk memperkirakan persentase kesalahan
positif dan negatif (Kutluay, 2005; Pesman & Eryilmaz, 2010 dalam Kirbulut, 2014).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatifkualitatif, dengan desain penelitian
berupa deskriptif studi survei (descriptive survey), yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik
spesifik suatu kelompok (Fraenkel dkk., 2012).
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa Madrasah Aliyah Negeri kelas XI IPA di kota Banjarmasin
pada tahun ajaran 2015/2016. Sampel diambil secara cluster random sampling sebanyak tiga kelas dari tiga
sekolah Madrasah Aliyah Negeri di kota Banjarmasin. Sampel pada penelitian ini adalah kelas XI IPA 1 MAN 1
Banjaramasin, kelas XI IPA 2 MAN 2 Banjarmasin, dan kelas XI IPA 3 MAN 3 Banjarmasin.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik tes dan non tes. Instrumen tes
diadaptasi dari Two Tier Multiple Choice Diagnostic Instrument yang telah digunakan Salirawati (2011) untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa di SMA Yogyakarta pada konsep kesetimbangan kimia tahun pelajaran
2010/2011 sebanyak 20 butir soal dan 4 butir soal dari buku kimia SMA Unggul Sudarmo, selanjutnya peneliti
menambahkan tingkatan pertanyaan tambahan berupa tingkat keyakinan siswa dalam menjawab pertanyaan
sebelumnya dan instrumen divalidasi ulang. Instrumen meliputi konsep kesetimbangan dinamis, kesetimbangan
homogen dan heterogen, pergeseran kesetimbangan, tetapan kesetimbangan, hubungan kuantitatif antar
komponen dalam reaksi kesetimbangan dan kesetimbangan kimia dalam proses industri.
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan uji validitas terlebih dahulu agar instrumen yang
digunakan lebih valid. Validitas tes yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Menurut Cohen (2010) isi
tes dikatakan valid jika materi yang tercakup dalam instrumen hampir mendekati proporsi materi yang dibahas.
Lawshe (Cohen, 2010) memberikan rumus untuk menentukan rasio validitas isi/Content Validity Ratio
(CVR):
Keterangan :
CVR = Rasio validitas isi
Ne = Jumlah validator yang menyatakan essential
N = Jumlah validator
Berdasarkan hasil validasi instrumen Three-Tier Multiple Choice Diagnostic Miskonsepsi dapat dikatakan
bahwa seluruh butir soal memiliki nilai CVR minimum. Maka instrumen tes tersebut valid dan layak digunakan
sebagai instrumen dalam penelitian ini.
Sebelum instrumen tes ini digunakan untuk penelitian, maka terlebih dahulu harus diuji cobakan untuk
mengetahui tingkat reliabilitas instrumen. Menurut Suwarto (2013) reliabilitas tes adalah tingkat ketepatan,
keajekan, atau kemantapan. Reliabilitas tes yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus Kuder –
Richardson 20 atau KR – 20
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 29
Instrumen Three-Tier Multiple Choice Diagnostic yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai skor
koefisien reliabilitas tes sebesar 0,68 yang artinya instrumen ini memiliki derajat reliabilitas sedang dan sudah layak
untuk digunakan.
Jika suatu soal memiliki tingkat kesukaran seimbang (proporsional) dalam hal ini tidak terlalu sukar ataupun
terlalu mudah maka dapat dikatakan soal tersebut baik (Arifin, 2009). Hasil perhitungan terhadap tingkat kesukaran
instrumen Three-Tier Multiple Choice Diagnostic dapat diketahui bahwa dari 24 soal yang diujikan terdapat 3 soal
yang mudah, 15 soal yang sedang dan 6 soal yang sukar..
Daya pembeda adalah pengukuran sejauh mana suatu butir soal mampu membedakan siswa yang
menguasai kompetensi dengan siswa yang belum/kurang menguasai kompetensi berdasarkan kriteria tertentu
(Arifin, 2009). Hasil daya beda instrumen Three-Tier Multiple Choice Diagnostic dari 24 soal, terdapat 12 soal
dengan daya pembeda baik sekali, 4 soal dengan daya pembeda baik, 3 soal dengan daya pembeda cukup dan 5
soal dengan daya pembeda buruk.
Analisis data yang dilakukan untuk menentukan siswa yang miskonsepsi. Teknik presentasenya adalah
sebagai berikut :
Keterangan:
P = persentase jumlah siswa yang miskonsepsi.
F = banyaknya siswa yang paham miskonsepsi.
N = jumlah seluruh peserta tes.
Setelah dilakukan tes dengan menggunakan instrumen Three-Tier Multiple Choice Diagnostic, kemudian
dilakukan analisis pola jawaban siswa berdasarkan Tabel 1.
70 58,61 54,26
60 45,62 48,58 46,46
50
40 27,98
30
20
10
0
kesetimbangan Kesetimbangan Tetapan Hubungan Pergeseran Kesetimbangan
Dinamis Homogen dan Kesetimbangan Kuantitatif Kesetimbangan dalam Industri
Heterogen Antar
Komponen
dalam Reaksi
Kesetimbangan
KONSEP
Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi di MAN 1 Banjarmasin disajikan pada Gambar 2.
60 54,69 52,34 51,25
48,83
50
40 31,25 33,59
30
20
10
0
kesetimbangan Kesetimbangan Tetapan Hubungan Pergeseran Kesetimbangan
Dinamis Homogen dan KesetimbanganKuantitatif AntarKesetimbangan dalam Industri
Heterogen Komponen
dalam Reaksi
Kesetimbangan
KONSEP
Gambar 2 Persentase siswa MAN 1 Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan konsep – konsep
kesetimbangan kimia
Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi di MAN 2 Banjarmasin disajikan pada Gambar 3.
60 55,00 54,17
48,33 49,33
50 41,25
40 33,33
30
20
10
0
kesetimbanganKesetimbangan Tetapan Hubungan Pergeseran Kesetimbangan
Dinamis Homogen dan Kesetimbangan Kuantitatif Kesetimbangandalam Industri
Heterogen Antar
Komponen
dalam Reaksi
Kesetimbangan
KONSEP
Gambar 3 Persentase siswa MAN 2 Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan konsep – konsep
kesetimbangan kimia
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 31
Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi di MAN 3 Banjarmasin disajikan pada Gambar 4.
70 66,13 62,10
60 51,61
50 46,77 45,16
40
30
19,35
20
10
0
kesetimbangan Kesetimbangan Tetapan Hubungan Pergeseran Kesetimbangan
Dinamis Homogen dan KesetimbanganKuantitatif AntarKesetimbangan dalam Industri
Heterogen Komponen
dalam Reaksi
Kesetimbangan
KONSEP
Gambar 4 Persentase siswa MAN 3 Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan konsep – konsep
kesetimbangan kimia
Persentase siswa MAN Banjarmasin yang mengalami miskonsepsi untuk setiap butir soal kesetimbangan
kimia disajikan pada Gambar 5.
70 64,66
59,14 60,23
60 58,07 58,55
57,24 53,83 53,77
51,85 51,48
49,39 49,67
50 47,00 50,22 47,44 48,46
44,96
45,40
40,82 41,20
40 35,50
28,75 30,30
30 27,98
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
BUTIR SOAL
Gambar 5 Persentase siswa MAN Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan butir soal kesetimbangan
kimia
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 32
Persentase siswa MAN 1 Banjarmasin yang mengalami miskonsepsi untuk setiap butir soal kesetimbangan
kimia disajikan pada Gambar 6.
90
78,13
80
70 65,63
59,38 59,38 62,50
60 56,25
59,38 53,13
53,13 50,00 50,00
50 46,88 46,88
43,75 46,88
46,88
37,50 37,50
40 34,38 34,38
31,25
28,13
30 25,00 25,00
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
BUTIR SOAL
Gambar 6 Persentase siswa MAN 1 Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan butir soal
kesetimbangan kimia
Persentase siswa MAN 2 Banjarmasin yang mengalami miskonsepsi untuk setiap butir soal kesetimbangan
kimia disajikan pada Gambar 7.
70 66,67 66,67
60,00 60,00
60 56,67 56,67 56,67
53,33 53,33 53,33 53,33
56,67
50 46,67
43,33 43,33 46,67 43,33 43,33
40
33,33
30,00 30,00 30,00
30
23,33 23,33
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
BUTIR SOAL
Gambar 7 Persentase siswa MAN 2 Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan butir soal
kesetimbangan kimia
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 33
Persentase siswa MAN 3 Banjarmasin yang mengalami miskonsepsi untuk setiap butir soal kesetimbangan
kimia disajikan pada Gambar 8.
100
87,10
90
80 74,19
67,74
70 64,52 61,29 61,29 61,29 61,29
60 58,06 54,84 54,84
51,61 48 , 39 48 , 39 48,39 45,16
50 54 , 84 45 , 16 41,94
40 32,26 29,03
30 22,58
19,35
20 12,90
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
BUTIR SOAL
Gambar 8 Persentase siswa MAN 3 Banjarmasin yang miskonsepsi berdasarkan butir soal
kesetimbangan kimia
Setelah semua data ditabulasi, siswa yang paling banyak mengalami miskonsepsi kesetimbangan kimia
terdapat di MAN 3 Banjarmasin dan siswa yang paling rendah mengalami miskonsepsi kesetimbangan kimia
terdapat di MAN 2 Banjarmasin. Uraian tersebut disajikan melalui Gambar 9.
52 51,08
51
50
49 48,05
48 47,5
47
46
45
MAN 1 MAN 2 MAN 3
SEKOLAH
Selanjutnya pola-pola jawaban siswa yang diidentifikasi mengalami miskonsepsi per butir soalnya
dikumpulkan dan ditabulasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui lebih spesifik mengenai miskonsepsi yang dialami
siswa pada materi kesetimbangan kimia. Beberapa miskonsepsi siswa yang ditemukan pada penelitian ini disajikan
pada Tabel. Berdasarkan uraian diatas, miskonsepsi yang terdapat pada konsep kesetimbangan kimia dapat dilihat
pada Tabel 3.
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 34
Konsep Miskonsepsi
Peran katalis dalam reaksi kesetimbangan kimia untuk mempercepat
tercapainya kesetimbangan dengan mempercepat reaksi dengan cara
menggeser kesetimbangan.
Jika suhu dinaikkan pada reaksi endoterm maka kesetimbangan
bergeser ke koefisien yang lebih besar
Suhu tidak berpengaruh pada pergeseran kesetimbangan.
Jika volume diperbesar kesetimbangan bergeser kearah ruas yang
mempunyai jumlah partikel (koefisien) yang kecil.
Kesetimbangan Adanya kesetimbangan kimia dalam industri memungkinkan untuk
kimia dalam proses menyiasati volume dan tekanan sedemikian rupa agar kesetimbangan
industri cepat tercapai dan bergeser ke kanan
Adanya kesetimbangan kimia dalam industri memungkinkan untuk
menyiasati tekanan dan suhu sedemikian rupa agar kesetimbangan
cepat tercapai dan bergeser ke kanan
Adanya kesetimbangan kimia dalam industri adalah sebagai dasar untuk
menghabiskan zat reaktan dalam proses produksi
Fungsi penambahan H2SO4 pekat pada proses kontak pembuatan asam
sulfat adalah untuk pengoksidasian SO3 hasil reaksi pembakaran
belerang murni
SO3 hasil reaksi pembakaran belerang murni hanya dapat dioksidasi
dengan baik menggunakan H2SO4 pekat
Penambahan NH3 secara terus menerus akan menggeser
kesetimbangan kearah kanan
Penurunkan suhu dan ditambahkan katalis Fe yang diberi promotor
Al2O3 dan K2O merupakan kondisi optimum pembuatan NH3 dilakukan
pada suhu tinggi agar reaksinya berlangsung endoterm
Penambah konsentrasi NH3 dengan cara pengurangan H2 secara
terus menerus akan menggeser kesetimbangan kearah kanan
Tekanan diperbesar antara 140 atm – 340 atm kesetimbangan
bergeser kearah reaktan
Selanjutnya, mengkriteriakan miskonsepsi dari persentase siswa yang mengalami miskonsepsi berdasarkan
konsep kesetimbangan kimia.
Penyebab miskonsepsi karena prakonsepsi siswa itu sendiri terdapat pada penelitian ini. Hasil wawancara
siswa menunjukkan prakonsepsinya tentang kesetimbangan dinamis. Siswa menganggap kesetimbangan
dikatakan dinamis karena massa reaktan dan massa produk sama. Hal ini terjadi karena pengalaman disekitarnya,
dimana sesuatu yang setimbang pasti berkaitan dengan kesamaan massa, seperti hanya fungsi suatu timbangan.
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 36
Hal ini serupa dengan temuan Erdemik (2000) yaitu siswa sering memiliki ide-ide naif tentang alam, yang
dapat menghambat pembelajaran sains. Hal ini jelas bahwa siswa menggunakan konsep yang sudah ada dibangun
dari refleksi pada pengalaman sebelumnya untuk alasan pada konsep yang baru disajikan.
Selanjutnya, asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari kadangkadang dapat menyebabkan
miskonsepsi. Pemikiran asosiatif siswa juga ditemukan pada hasil wawancara yaitu pada konsep persamaan
tetapan kesetimbangan. Siswa menganggap bahwa persamaan tetapan kesetimbangan adalah produk dibagi
reaktan. Pemikiran asosiatif siswa ini akan salah jika siswa tidak mengetahui fase apa yang terlibat, sehingga
perhitungan harga tetapan kesetimbanganya pun akan salah. Setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata siswa juga
menganggap bahwa fase yang terlibat pada kesetimbangan adalah semua fase.
Pemikiran seperti ini hampir serupa dengan temuan Fahmi (2015) yaitu kebanyakan siswa menganggap
definisi dari suatu hal tidaklah terlalu penting, padahal ketika siswa kehilangan kata inti dari suatu definisi, siswa
akan kebingungan untuk mengembangkan konsep yang dimilikinya, sehingga timbul pemikiran asosiatif dari siswa
itu sendiri. Siswa juga cenderung kesusahan dalam mengartikan simbol fase larutan (aq). Siswa menganggap fase
(a ) itu adalah cair/cairan, bukan larutan. Sejalan dengan hasil penelitian oleh Sirhan (2007) bahwa penggunaan
simbolisme dalam kimia bisa menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi, karena siswa seringkali salah dalam
menafsirkan simbol. Siswa mengalami kesulitan besar dalam memahami konsep abstrak yang tidak dapat diamati
seperti partikulat dasar kimia (Garnett dkk., 2008). Hal ini terjadi pada siswa MAN Banjarmasin. Konsep kenaikan
suhu pada reaksi endoterm merupakan konsep yang bersifat abstrak. Hasil wawancara menunjukkan siswa
menganggap pada reaksi endoterm ketika suhu dinaikkan pada volume tetap kesetimbangan bergeser ke arah ke
koefisien yang lebih besar. Ada juga yang menganggap bahwa suhu tidak bepengaruh pada pergeseran
kesetimbangan. Hal serupa juga ditemukan oleh Sendur (2010) pada hasil wawancaranya bahwa penyebab
miskonsepsi ini terjadi berakar pada pengetahuan siswa yang tidak memadai.
Salirawati (2010) menjelaskan bahwa kemampuan siswa diartikan sama dengan inteligensi, yaitu
kemampuan mental yang dimiliki seseorang. Intelegensi yang kurang (rendah) tentu sangat berpengaruh terhadap
kecepatan dan ketepatan peserta didik dalam menangkap dan memahami materi yang sedang dipelajarinya.
Penyebab miskonsepsi karena kemampuan siswa terjadi pada konsep alogaritmik. Hasil wawancara menunjukkan
siswa sangat kesusahan dalam perhitungan matematika terutama ketika menghitung tetapan kesetimbangan.
Siswa mengaku paham menuliskan persamaan tetapan kesetimbangan, tetapi sulit untuk menghitungnya.
Reasoning siswa yang salah atau tidak tepat adalah alasan yang digunakan siswa untuk menjelaskan
konsep parsial yang mereka miliki dengan menggunakan nalar. Siswa yang memiliki pemahaman tidak utuh
cenderung menggunakan nalarnya untuk menjelaskan satu konsep (Mahardika, 2014). Siswa berusaha
memberikan jawaban namun dengan reasoning atau alasan yang salah. Sehingga siswa yang memberikan
reasoning yang tidak tepat mengalami miskonsepsi. Penyebab ini dapat dilihat pada miskonsepsi soal nomor 18
tentang penggunaan katalis pada reaksi kesetimbangan. Siswa mengungkapkan katalis merupakan faktor yang
dapat menggeser kesetimbangan.
Sedikitnya miskonsepsi yang terjadi pada siswa disebabkan oleh guru yang mengajar. Hasil wawancara
menyebutkan siswa mengaku kesusahan dalam menangkap pembelajaran. Hal ini dikarenakan bahasa yang
digunakan guru terlalu tinggi sehingga sulit dimengerti oleh siswa. Menurut Garnett, dkk. (2008) siswa yang
miskonsepsi sering membingungkan interpretasi bahasa sehari-hari dengan bahasa ilmiah tertentu. Selanjutnya,
hasil wawancara lainnya vokal guru yang kecil juga dikeluhkan oleh para siswa yang mengalami miskonsepi.
Akibatnya, ketika satu jam pembelajaran berlangsung siswa masih berminat dalam pembelajaran kimia,
kemudian jam berikutnya siswa sudah tidak terlalu berminat lagi.
Penyebab miskonsepsi lainnya yang berasal dari guru adalah guru tidak memberikan penjelasan yang
mendalam dan penekanan pada konsep kesetimbangan kimia. Hal ini ditunjukkan pada hasil wawancara yaitu
biasanya guru menjelaskan suatu konsep terutama konsep alogaritmik, kemudian siswa diberi contoh soal oleh
gurunya yang menurutnya mudah untuk penyelesaiannya. Selanjutnya, guru memberikan soal lagi untuk dikerjakan
secara invidu. Siswa banyak yang mengeluhkan akan hal itu karena soal yang diberikan berbeda dari apa yang
diberikan contoh oleh gurunya. Hal ini terjadi karena guru menganggap siswa akan mempelajari sendiri melalui
buku pegangan, tanpa mengungkapkan miskonsepsinya. Penyebab ini juga ditemukan oleh Mentari (2014) untuk
materi larutan penyangga yaitu guru tidak memberikan penekanan dan pendalaman pada konsep-konsep
yang penting.
Hasil wawancara menyebutkan siswa mengganggap ketika suatu reaksi dalam setimbang, maka mol
reaktan dan mol produk tetap. Konsep itu mereka dapatkan dari guru yang mengajarnya. Hal ini bisa disebut
kekeliruan guru dalam menjelaskan konsep. Artinya, guru tersebut hanya menekankan konsep kesetimbangan
dinamis pada tingkat makroskopis, sehingga siswa mengalami miskonsepsi kesetimbangan dinamis pada tingkat
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 37
mikroskopis. Ini juga terjadi pada penelitian Sidauruk (2005) untuk konsep stoikiometri yaitu guru keliru dalam
mengajarkan konsep stoikiometri yang sangat menekankan penerapan rumus matematika. Akibatnya, siswa
kurang untuk mengembangkan kemampuan konseptualnya dan mengalami miskonsepsi. Kemudian menurut
Talaquer (2010) siswa kerap kali belajar konsep kimia dengan berpikir pada tingkat makroskopis dan mereka
berjuang untuk memaknai konsep tersebut agar berhubungan dengan tingkat yang lainnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
(1) Terdapat miskonsepsi pada siswa MAN Banjarmasin tahun pelajaran 2015/2016 pada konsep kesetimbangan
kimia, yaitu:
(a) konsep kesetimbangan dinamis berkriteria rendah.
(b) konsep kesetimbangan homogen dan heterogen berkriteria sedang.
(c) konsep tetapan kesetimbangan berkriteria sedang.
(d) konsep hubungan kuantitatif antar komponen dalam reaksi kesetimbangan berkriteria sedang.
(e) konsep pergeseran kesetimbangan berkriteria sedang.
(f) konsep kesetimbangan kimia dalam proses industri berkriteria sedang.
(2) Penyebab-penyebab miskonsepsi siswa yang berasal dari siswa itu sendiri, yaitu :
(a) prakonsepsi yang ditandai dengan siswa menganggap massa reaktan sama dengan massa produk.
(b) pemikiran asosiatif siswa yang ditandai dengan siswa mengasosiasikan tetapan kesetimbangan
merupakan produk dibagi reaktan.
(c) pemahaman konsep abstrak siswa yang ditandai dengan siswa kesusahan pada konsep konsep
kenaikan suhu pada reaksi endoterm.
(d) kemampuan siswa yang ditandai dengan siswa kesulitan dalam perhitungan matematika terutama ketika
menghitung tetapan kesetimbangan
(e) reasoning siswa yang salah ditandai dengan siswa menganggap katalis merupakan faktor yang dapat
menggeser kesetimbangan.
(3) Penyebab-penyebab miskonsepsi siswa yang berasal dari guru yang mengajar, yaitu :
(a) penggunaan bahasa verbal yang terlalu tinggi dan vokal yang kecil.
(b) guru tidak memberikan penjelasan yang mendalam dan penekanan pada konsep
(c) kekeliruan penjelasan guru.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis dapat mengemukakan saran-
saran sebagai berikut:
(1) Siswa hendaknya dapat membedakan konsep ilmiah pada mata pelajaran kimia dengan konsep yang ada
dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dapat menyebabkan miskonsepi.
(2) Siswa hendaknya juga terampil dalam berhitung matematika, karena konsep kimia sebagian merupakan
konsep algoritmik.
(3) Siswa hendaknya juga meningkatkan pemahaman pada konsep-konsep kesetimbangan kimia dengan cara
belajar, berdiskusi, atau bertanya kepada guru sehingga dapat meminimalisir miskonsepsi.
(4) Guru perlu memperhatikan capaian pemahaman konsep siswa sebelum melaksanakan kegiatan
pembelajaran agar pemahaman siswa dapat sesuai dengan pemahaman secara ilmiah, pembelajaran yang
dipilih hendaknya dapat membantu siswa dalam memahami konsep materi dengan melatihkan keterampilan
berpikir siswa agar kegiatan pembelajaran yang dilakukan tidak sekedar menghafal materi.
(5) Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian remediasi
penanggulangan miskonsepsi.
QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No.1, April 2016, hlm. 27-38 38
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Bilgin, I., E. Uzuntiryaki dan O. Geban. 2003. Student’s Misconceptions on the Concept of Chemical Equilibrium.
Education and Science. 28 (127) :10-17.
Cohen, R.J. 2010. Psychological Testing and Assesment. McGraw-Hill, New York
Erdemir, A., O. Geban dan E. Uzuntiryaki. 2000. Freshman Students' Misconceptions in Chemical Equilibrium.
Hacettepe Üniversitesi Eğitim Fakültesi Dergisi. 18: 79-84.
Fahmi. 2015. Analisis Miskonsepsi Siswa Sma Negeri Banjarmasin pada Materi Ikatan Kimia Tahun Pelajaran
2014/2015. Skripsi Sarjana. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.
Franckel, J.R., N.E. Wallen., dan H.H. Hyun. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education. McGraw-
Hill, New York.
Garnett, P.J, P.J. Garnet dan M.W. Hackling. 2008. Students' Alternative Conceptions in Chemistry: A Review of
Research and Implications for Teaching and Learning. Studies in Science Education. 25: 69-95
Gurel, D.K., A. Eryilmaz dan L.C. Mcdermott. 2015. A Review and Comparison of Diagnostic Instrumensts to Identify
Students’ Misconceptions in Science. Eurasia Journal of Mathematics Science and Technology Education.
11 (5) : 989-1008.
Johnstone, A.H. (2000). Teaching of Chemistry – logical or psychological? Chemistry Education: Research and
Practice in Europe, 1, 9–15.
Kirbulut, Z.D., dan O.Geban. 2014. Using Three-Tier Diagnostic Test to Assess Students’ Misconception of States
of Matter. Eurasia Journal of Mathematics, Science And Technology Education 2014, 10 (5) : 509-521
Kurniawan, Y., dan A. Suhandi. 2015. The Three Tier-Test for Identification The Quantity ofStudents’ Misconception
on Newton’s First Laws. Global Illuminators. 2: 313-319.
Mahardika, R. 2014. Identifikasi Miskonsepsi Siswa Mengguanakan Certainty Response Index (CRI) dan
Wawancara Diagnosis pada Konsep Sel. Skripsi Sarjana. Universitas Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Tidak dipublikasikan.
Mentari, L., I.N. Suardana dan I.W. Subagia. 2014. Analisis Miskonsepsi Siswa
SMA pada Pembelajaran Kimia untuk Materi Larutan Penyangga. eJournal Kimia Visvitalis Universitas Pendidikan
Ganesha. Jurusan Pendidikan Kimia. 2(1) : 76-87.
Salirawati, D. 2010. Pengembangan Model Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia Pada Peserta Didik SMA.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Sendur, G., M. Toprak, dan E.S. Pekmez. 2010. Analyzing of Students’ Misconceptions About Chemical
Equilibrium. International Conference on New Trends in Education and Their Implications. Antalya, Turkey.
Sidauruk, S. 2005. Miskonsepsi Stoikiometri pada Siswa SMA. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. 7 (2):
253-272.
Sirhan, G. 2007. Learning Difficulties in Chemistry. An overview. Turkish science education. 4:2.
Suparno, P. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Grasindo, Jakarta.
Suwarto. 2012. Pengembangan Tes Diagnostik Dalam Pembelajaran. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Talanquer, V. 2010. Macro, Submicro, and Symbolic: The many faces of the chemistry “triplet”. International Journal
of Science Education. 33(2): 179-195.
Zeilik, M. 1998. Classroom Assessment Techniques Conceptual Diagnostic Test. Diakses melalui
http://www.flaguide.org/cat/diagnostic/diagnostic7.php. Pada tanggal 12 November 2015