Anda di halaman 1dari 2

Eksplorasi Konsep - Perjalanan Pendidikan Nasional dari Perspektif Ki Hadjar Dewantara

Nama : Nahdiyah Nur Faidah

PTK ID : 7000206755

Mata Kuliah : Filosofi Pendidikan Indonesia

Argumentasi kritis : Gerakan Transformasi Ki Hadjar Dewantara dalam Perkembangan


Pendidikan Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan
Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang tidak bisa kita lepaskan dari perjalanan panjang
pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara merupakan pioner dan pelopor terbentuknya sistem
pendidikan di indonesia. Keberadaannya dalam menentang penjajahan Belanda adalah dengan
mendirikan Perguruan Taman Siswa. Dengan mendirikan perguruan tersebut ia bercita-cita agar
bangsa Indonesia merdeka lahir dan batin. Pemikirannya sangat relevan sebagai sebuah terobosan
dalam membangun pendidikan saat ini yang dalam keadaan kritis. Gerakan dari Ki Hajar
Dewantara memang sesuai keadaan pendidikan sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan
hingga sekarang. Pertama mengenai taraf tingkat pendidikan Indonesia, menurut Hewi (2020)
Indonesia menempati urutan ke 74 dari 79 negara yang dilakukan perhitungan taraf pendidikannya.
Ketertinggalan ini dirasa sudah dialami sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang sesuai yang
dikatakan Ki Hajar Dewantara dalam pidatonya "Baiklah di sini kita sadari, bahwa pendidikan dan
pengajaran secara Barat tidak boleh mutlak kita anggap jelek. Banyak ilmu pengetahuan yang
harus kita kejar, sekalipun dengan melalui sekolah-sekolah Barat." Mungkin ada beberapa orang
yang mampu memenangkan olimpiade perlombaan tingkat dunia dan akhirnya bersekolah di luar
negeri yang dibiayai oleh pemerintah. Pendidikan yang dilaksanakan secara Barat itu boleh saja
dilakukan, asalkan kepada anak-anak kita diberi pendidikan kultural dan nasional, yang semua-
semuanya kita tujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak dengan memisahkan
diri dari kesatuan kemanusiaan.
Semboyannya yang terkenal ialah Tut Wuri Handayani (dibelakang memberi dorongan), ing
madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sung tulada
(di depan memberi teladan). Ketiga semboyan ini apabila kita maknai serta hayati bersama
merupakan akar dan ujung tombak dari peran guru dalam menjalankan roda pendidikan nasional.
Semboyan ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Abidin (2015) bahwa tugas dan fungsi guru
didalam kelas tidak hanya mentransfer knowledge, melainkan inti dari tugas guru adalah
mengembangkan, mengarahkan, dan memberi motivasi. Ki Hadjar Dewantara juga
mengungkapkan dalam pidatonya bahwa "Kita lihat dizaman sekarang masih dipakainya bentuk-
bentuk rumah sekolah, daftar-daftar pelajaran yang tidak cukup memberi semangat mencari ilmu
pengetahuan sendiri, karena tiap-tiap hari, tiap-tiap triwulan, tiap tahun pelajar-pelajar kita terus
terancam oleh sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualis. Anak-anak dan pemuda-
pemuda kita sukar belajar dengan tentram, karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras
dalam tuntutan-tuntutannya. Alih-alih belajar dengan tujuan untuk memahami suatu materi dengan
baik, mereka malah belajar agar mendapatkan nilai yang tinggi.” Hal inilah yang harusnya menjadi
pertimbangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik terhadap asesmen yang
diberlakukan di setiap satuan pendidikan di Indonesia. Sehingga kita bisa terhindar dari penyakit
examen cultus dan diploma jacht yang pernah terjadi sebelumnya.
Seorang guru harus mampu membangkitkan semangat dan gairah siswa demi mewujudkan
asa dan cita-citanya. Seorang guru seyogianya mampu memberikan stimulus-stimulus positif
kepada siswa sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Guru membantu siswa untuk menemukan,
mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.
Dalam berbagai penjelasannya Ki Hajar memandang siswa atau peserta didik adalah manusia yang
mempunyai kodratnya sendiri dan juga kebebasan dalam menentukan hidupnya. Pandangan Ki
Hajar tentang siswa yang tidak mengekang kebebasan siswa ini sesuai dengan pandangan
humanistik terhadap siswa. Aliran humanistik ini membantu siswa dalam mengembangkan
potensinya dan membiarkan siswa belajar dari pengalaman yang dialaminya sendiri.

DAFTAR REFERENSI:
• Abidin, Y. (2015). Pembelajaran multiliterasi: sebuah jawaban atas tantangan
pendidikan abad ke-21dalam konteks keindonesiaan. Bandung: Refika Aditama
• Hewi, L., & Shaleh, M. (2020). Refleksi hasil PISA (the programme for international
student assesment): Upaya perbaikan bertumpu pada pendidikan anak usia dini. Jurnal
Golden Age, 4(01).

Anda mungkin juga menyukai