Membongkar Sisi Politis Hari Kebangkitan Nasional
Membongkar Sisi Politis Hari Kebangkitan Nasional
Negara adalah organisasi yang bersifat politis. Aturan dan lembaga-lembaga yang ada di
dalamnya dibentuk untuk melegetimasi dan mempertahankan kekuasaan. Negara bukanlah
sesuatu yang jatuh dari langit, ia dibentuk, disepakati, dan bahkan dipaksakan. Untuk mencapai
tujuannya negara melakukan berbagai cara, salah satunya dengan memperingati hari-hari yang
dianggap penting dalam perjalanan negara tersebut. Memperingati hari-hari tertentu penting
untuk memberi dan merawat ingatan kolektif sekaligus melegitimasi keberadaan negara beserta
kebijakan-kebijakan yang ada di dalamnya.
Pemilihan Budi Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional memiliki sisi politis. Budi Utomo
dipilih karen ia dianggap organisasi nasional pertama (organisasi yang tidak berdasarkan
kesukuan) walaupun tidak bergerak di bidang politik. Perdebatan mengenai penetapan Budi
Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia sudah mengemuka sejak dahulu.
Beberapa pertanyaan yang muncul adalah misalnya: benarkah Budi Utomo organisasi nasional
yang pertama? Atau sejauh mana peran politik Budi Utomo pada masa kolonial?. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut pada akhirnya bermuara pada satu pertanyaan besar: layakkah Budi Utomo
dijadikan tonggak kebangkitan nasional bangsa Indonesia?
Paham nasionalisme yang menyebar di Asia dan Afrika pada permulaan abad 20 menyebabkan
banyak berdiri organisasi-organisasi politik di wilayah yang berada di bawah kekuasaan kolonial
Eropa. Di Hindia Belanda beridri Sarekat Islam tahun 1905, Partai Komunis Hindia tahun 1914,
dan Partai Nasional Indonesia tahun 1927. Organisasi-organisasi tersebut adalah organisasi yang
bersifat politik dan memiliki anggota dari berbagai daerah di Hindia Belanda. Selain organisasi
yang berskala luas itu ada pula organisasi-organisasi kepemudaan yang hanya berskala daerah
dan menjungjung sifat kedaerahan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Pasundan, Jong Celebes,
Jong Madura, Jong Betawi dan lain sebagainya. Walau bersifat kedaerahan namun organisasi-
organisasi tersebut sudah memiliki sikap politik. Pertemuan organisasi-organisasi kedaerahan itu
pada tahun 1928 melahirkan Sumpah Pemuda.
Advertisement
Pertanyaan yang barangkali muncul adalah: Mengapa bukan hari lahir PNI yang dipilih sebagai
tonggak kebangkitan nasional? Kita tentu tahu bahwa setelah Indonesia merdeka pada tahun
1945 PNI berdiri sebagai partai politik hingga 1973. Pemilihan hari lahir PNI sebagai tonggak
kebangkitan nasional akan mengundang gejolak politik dalam pemerintahan. Partai-partai lain
akan melakukan protes karena apabila hal itu disepakati akan memberikan efek elektoral kepada
partai nasionalis berlambang kepala banteng tersebut. Pertanyaan lain misalnya: Mengapa bukan
Sarekat Dagang Islam? Sarekat Dagang Islam memang bersifat politis, namun Sarekat Dagang
Islam hanya mencerminkan semangat salah satu golongan tertentu (golongan Islam) sehingga
tidak relevan dengan istilah “nasional”. Pertanyaan: mengapa bukan hari lahir PKI? Akan
membuat anda akrab dengan sepatu tentara.
Istilah Kebangkitan Nasional mengandung unsur politis. Kata “kebangkitan” berasal dari kata
“bangkit” yang berarti sesuatu yang dahulu pernah ada dan muncul kembali. Kata tersebut
mengacu pada ingatan sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan asing sejak
Cornelis de Houtman menginjakkan kaki di Banten tahun 1596 hingga pada Proklamasi
Kemerdekaan tahun 1945. Kata tersebut mengandung arti bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu
sudah melakukan perlawanan tetapi kemudian perlawanan itu meredup dan kemudian bangkit
lagi setelah Budi Utomo berdiri. Istilah “bangkit” mengandung makna bahwa sebelum Budi
Utomo berdiri bangsa Indonesia sudah melakukan perjuangan melawan penjajah. Istilah itu juga
mengandung makna bahwa sejak dahulu sudah ada ikatan batin antarsuku-bangsa yang
mendiami kepulauan Nusantara. Pertanyaannya kemudian apakah perlawanan yang dilakukan
sebelum Budi Utomo berdiri sudah didasari oleh perasaaan sebagai satu bangsa? Jawabannya
adalah tidak. Sultan Hassanudin melawan Belanda didasari oleh semangat mempertahankan
teritori Kesultanan Makassar, begitu pun dengan Sultan Agung, Raden Fattah, maupun tokoh-
tokoh lain masa kerajaan.
Kata “nasional” selain mengandung unsur politis juga mengandung dimensi geografis. Kata
“nasional” dalam istilah “kebangkitan nasional” mengacu pada kesatuan geografis wilayah
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Konstruk berpikir tersebut adalah masalah karena
imajinasi tentang wilayah geografis negara Indonesia tidak berasal dari kesadaran tradisional, ia
merupakan konstruk berpikir yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Belanda
menyatukan wilayah Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke melalui penaklukan. Mereka
melakukan ekspansi terhadap kerajaan-kerajaan di luar Pulau Jawa sejak abad 19 hingga awal
abad 20. Pada tahun 1941 wilayah Hindia Belanda sudah membentang dari Aceh hingga Papua.
Wilayah yang luas itu digambarkan dalam peta dan dipajang di sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah kolonial. Visualisasi itulah yang pada akhirnya mengkonstruk pola pikir para pendiri
bangsa mengenai wilayah “nation” Indonesia.
Istilah “kebangkitan nasional” yang mengandung dimensi geografis dari Sabang sampai Merauke
memiliki tujuan politis menyatukan wilayah bekas Hindia Belanda yang pada waktu itu masih
bergejolak karena pemberontakan-pemberontakan ke dalam satu kesatuan negara Indonesia.
Tahun 1948 ketika ide mengenai pentingnya hari kebangkitan nasional dimunculkan Indonesia
masih menghadapi Belanda dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. Setelah itu Indonesia
juga harus menghadapi masalah disintegrasi, yakni pemberontakan-pemberontakan yang terjadi
di beberapa daerah seperti DI/TII, Madiun Affair, RMS, Pemberontakan Andi Aziz, APRA,
MMC dan lain sebagainya. Tahun 1959 ketika Keppres mengenai hari Kebangkitan Nasional
disahkan Indonesia masih menghadapi sengketa wilayah Irian Barat dengan Belanda. Peringatan
hari Kebangkitan Nasional bertujuan untuk menyatukan semua elemen yang ada ke dalam satu
ingatan kolektif bersama. Pada saat yang sama, peringatan tersebut juga digunakan untuk
mendeligitimasi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan kepada negara Indonesia.
Sebuah Penutup
Negara adalah kumpulan dari kompromi-kompromi politik penguasa. Setiap kebijakan yang
dikeluarkannya selalu memiliki sisi politis. Peringatan hari-hari besar adalah sebagian kecil dari
politik negara dalam usaha melegitimasi kekuasaanya. Hari Kebangkitan Nasional memiliki sisi
politis karena ia digunakan untuk melegitimasi kekuasaan negara: mengukuhkan kuasa negara
atas wilayah teritotialnya sekaligus mendelegitimasi setiap usaha perlawanan terhadap kekuasaan
negara.
Gambar: wikisource.org