Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Laporan Keuangan

Setiap entitas harus menyajikan laporan keuangan sesuai dengan kondisi

entitas dengan tetap memerhatikan setiap unsur dan komponennya telah sesuai

dengan standar akuntansi yang berlaku. Setiap entitas juga harus bertanggung jawab

atas kualitas pengungkapan laporan keuangan sebagai bentuk tanggung jawab

entitas terhadap para pengguna laporan keuangan dan penilaian kinerja entitas

terhadap proses bisnis yang dilakukan pada periode berjalan.

Berdasarkan PSAK 1 (2014) menyatakan bahwa manajemen entitas adalah

pihak yang bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan

entitas. Sehubungan dengah hal tersebut, penyajian secara wajar dan kepatuhan

terhadap oleh manajemen entitas juga diatur dalam PSAK 1 (2014) yang

menyatakan bahwa laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi

keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas. Penyajian yang wajar tersebut

mensyaratkan penyajian transaksi yang jujur, peristiwa terkait transaksi lainnya dan

kondisi sesuai dengan definisi dan kriteria pengakuan aset, liabilitas, penghasilan

dan beban yang diatur dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan

keuangan, kesesuaian dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, dengan

11
12

pengungkapan informasi tambahan jika dibutuhkan yang membuat penyajian

laporan keuangan menjadi wajar.

PSAK 1 (2014) menjelaskan juga bahwa tujuan urutan dalam menyajikan

catatan atas laporan keuangan adalah membantu para pengguna laporan keuangan

memahami dan membandingkan dengan laporan keuangan entitas lain.

Unsur-unsur yang memenuhi kualitas pelaporan laporan keuangan salah

satunya menurut Biswan & Mahrus (2020) adalah materiality (materialitas) disebut

material apabila terjadi kesalahan penyajian informasi cukup dapat memengaruhi

keputusan yang dibuat oleh pengguna laporan keuangan.

2.2 Corporate Social Responsibility (CSR)

2.2.1 Definisi CSR

Tanggung jawab sosial dan lingkungan menurut The Ministry of Environment

(dalam Deviarti, 2012) yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan

lingkungan merupakan kewajiban perusahaan dengan mengangarkan dan

memperhitungkan seluruh biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan

dengan memperhatikan tujuan dan kewajarannya. Bentuk tanggung jawab

perusahaan terhadap lingkungan tersebut dapat menyebabkan biaya lingkungan,

seperti biaya pencegahan, biaya pendeteksian, biaya kegagalan internal dan biaya

kegagalan eksternal. Semua biaya tersebut perusahaan disebut dana CSR dan

pencatatan pelaksanaan dana CSR tersebut menggunakan akuntansi lingkungan.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR sebagai bagian dari

pertanggungjawaban perusahaan atas keikutsertaan dalam mengelola dan


13

memanfaatkan sumber daya alam pada kegiatan usaha dan operasional, bukan

hanya terhadap pemegang saham namun juga terhadap lingkungan dan sosial yang

pengakuan, pengukuran, penyajian dan pelaporan setiap biaya-biaya atau sumber

daya yang dikeluarkan entitas yang kewajarannya sesuai dengan aturan dan prinsip

akuntansi yang berlaku serta perusahaan harus memiliki kualitas pelaporan laporan

yang wajar dan dapat dipercaya untuk dapat mempertanggungjawabkan

kewajibannya terhadap lingkungan dan sosial.

Menyadari arti pentingnya pemulihan lingkungan dan pascatambang sebagai

salah satu bagian dari bentuk tanggung jawab lingkungan dan sosial akibat ikut

serta mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, maka pembebanan biaya

lingkungan bagi perusahaan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Biaya

tersebut merupakan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan reklamasi dan

penutupan tambang. Perusahaan pertambangan biasanya menggunakan biaya-biaya

tersebut sebagai dasar untuk perhitungan provisi lingkungan (Dwipuspasari &

Hidayat, 2013).

Biaya pemulihan lingkungan atau reklamasi dan pascatambang sebagai bagian

dari bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan CSR merupakan bagian dari

pertanggungjawaban entitas bukan hanya terhadap pemegang saham namun juga

terhadap masyarakat dan lingkungan yang pengakuan, pengukuran, penyajian dan

pelaporan setiap biaya-biaya atau sumber daya yang dikeluarkan entitas sesuai

dengan aturan dan prinsip akuntansi yang berlaku dan memiliki kualitas pelaporan

laporan yang wajar dan dapat dipercaya.


14

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan terhadap tanggung

jawab sosial dan lingkungan atau CSR menggunakan akuntansi lingkungan

mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapannya. Dalam

penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan PSAK 57 sebagai standar akuntansi

dalam menganalisa pelaksanaan akuntansi lingkungan terkait provisi lingkungan

pada perusahaan pertambangan sub industri batu bara.

2.2.2 Regulasi CSR di Indonesia

Penerapan CSR di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menjelaskan tentang bagaimana tanggung

jawab perusahaan terhadap sosial dan lingkungan (Rukmana, 2020). Pada pasal 74

UU No. 40 Tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan

aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam memiliki kewajiban

untuk melaksanakan kewajiban lingkungan dan sosial. Berhubungan dengan hal

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan di industri pertambangan batu

bara sebagai salah satu industri yang ikut berpartisipasi dalam mengelola dan

memanfaatkan sumber daya alam memiliki kewajiban untuk melaksanakan

tanggung jawab lingkungan dan sosial. Penggunaan sumber daya alam oleh

perusahaan merupakan dasar untuk mengakui dan memiliki kewajiban

melaksanakan tanggung jawab atas lingkungan dan sosial.

Berhubungan dengan hal itu, pada UU No. 40 Tahun 2007 pasal 1 ayat ke-3

yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen

dari perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan


15

dengan tujuan menciptakan peningkatan kualitas kehidupan sosial dan lingkungan

serta bermanfaat bagi perusahaan itu sendiri, komunitas setempat, maupun

masyarakat pada umumnya.

Regulasi lainnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang

Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dengan adanya

Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang

Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa

setiap perusahaan merupakan subjek hukum berkewajiban melaksanakan tanggung

jawab sosial dan lingkungan.

Aturan dan ketentuan mengenai sanksi CSR kemudian dibahas dalam UUPT

yang menyebutkan bahwa bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR akan

dikenakan sanksi. Sanksi yang dimaksud bukan saja sanksi yang dikenakan karena

perusahaan tidak melakukan kewajiban CSR, melainkan apabila perusahaan telah

terbukti mengabaikan CSR yang menyebabkan perusahaan tersebut melanggar

aturan-aturan di bidang sosial yang berlaku (Widjaja & Yeremia, 2008). Sanksi

lainnya yaitu pada UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal menetapkan

bentuk hukuman administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan

usaha, pembekuan, atau pencabutan izin usaha. Begitu juga dengan UU No. 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa CSR bukan hanya

sekadar bentuk responsibility, melainkan telah menjadi liability. UU ini juga

mewajibkan Perseroan Terbatas supaya melaksanakan tanggung jawab lingkungan


16

dan sosial dan pasal 74 ayat (3) UU ini juga mengatur sanksi bagi PT yang tidak

melaksanakan kewajibannya (Praniningtyas, 2020).

Berkaitan dengan hal tersebut, tanggung jawab lingkungan dan sosial

perusahaan pertambangan terhadap kegiatan usaha dan operasional, mulai dari

kegiatan penyelidikan umum sampai dengan kegiatan pascatambang juga diatur

oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 supaya perusahaan di industri pertambangan

mengelola dan menanggulangi dampak negatif dari kegiatan operasional dengan

melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang. Pengertian reklamasi sendiri

menurut pasal 1 angka 26 UU Nomor 4 Tahun 2009 adalah kegiatan yang

dilaksanakan untuk seluruh tahapan kegiatan penambangan. Kegiatan reklamasi ini

bertujuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan, ekosistem alam, serta

mengembalikan fungsi lahan sesuai dengan peruntukannya (Rizki dan Firmansyah,

2021).

Berhubungan dengan hal tersebut, menurut World Coal Association (WCA)

(dalam Firmansyah, 2021) menyatakan bahwa reklamasi adalah suatu kegiatan

untuk melakukan kegiatan pemulihan atas tanah dan revegetasi (penanaman

kembali) di wilayah tambang atau wilayah yang berdekatan dengan tambang yang

terdampak selama kegiatan penambangan.

Tidak hanya selama kegiatan penambangan saja, namun ketika kegiatan usaha

telah selesai, perusahaan harus melaksanakan kegiatan pascatambang untuk

memulihkan lingkungan yang terdampak oleh kegiatan penambangan yang diatur

oleh pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Kegiatan


17

pascatambang ini bertujuan untuk melakukan kegiatan pemulihkan lingkungan

alam dan sosial masyarakat di seluruh wilayah sekitar penambangan (Rizki dan

Firmansyah, 2021).

Regulasi lainnya seperti pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2010

dijelaskan mengenai reklamasi dan pascatambang dan pada Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 26 Tahun 2018 dijelaskan

tentang pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik dan pengawasan

pertambangan mineral dan batu bara. Regulasi ini sebagai pedoman bagi

perusahaan di industri pertambangan melaksanakan tanggung jawab lingkungan

terkait reklamasi dan pasca tambang. Regulasi ini juga dapat disebut sebagai

kewajiban yang bersifat hukum atau konstruktif.

Peraturan PP No. 78 tersebut dimaksudkan kepada Pemegang pemegang Izin

Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar

melaksanakan kewajiban dengan menyediakan program reklamasi selama lima

tahun; program pascatambang; dan penempatan saldo jaminan berupa rekening atau

deposito berjangka untuk kegiatan reklamasi dan pascatambang di bank Pemerintah

atau bank garansi.

2.3 Akuntansi Lingkungan

Menurut The Ministry of Environment (dalam Deviarti, 2012) yang menyatakan

bahwa akuntansi lingkungan merupakan suatu proses mengenali pengeluaran

sumber daya perusahaan atau arus kas keluar dan mengetahui keuntungan dari

aktivitas-aktivitas seperti penataan lingkungan, membuat teknik atau metode


18

terbaik melalui pengukuran yang menekankan pada data angka untuk tata kelola

perusahaan yang baik di mana hal tersebut bertujuan agar perusahaan memenuhi

prinsip going concern, menciptakan harmonisasi sebagai wujud komitmen

perusahaan terhadap para pengguna laporan keuangan, dan mencapai

keefektivitasan dan keefisiensian dalam kegiatan penataan lingkungan yang

dilakukan.

Tidak hanya itu, Menurut The Ministry of Environment (dalam Deviarti, 2012)

menjelaskan juga bahwa fungsi akuntansi lingkungan diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu internal dan eksternal. Fungsi internal digunakan oleh perusahaan untuk

mengatur biaya konservasi lingkungan, mengidentifikasi dan menganalisis biaya

lingkungan dengan manfaatnya, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi

kegiatan konservasi lingkungan terkait dengan keputusan yang dibuat. Melalui

adanya pengungkapan hasil pengukuran kuantitatif dari kegiatan konservasi

lingkungan yang dilakukan perusahaan, fungsi eksternal digunakan oleh

perusahaan untuk memengaruhi keputusan stakeholder, seperti konsumen, mitra

bisnis, investor, dan masyarakat lokal. Tujuan publikasi dari akuntansi lingkungan

juga diharapkan dapat memenuhi tanggung jawab perusahaan dalam akuntabilitas

terhadap stakeholder dan digunakan untuk evaluasi dari konservasi lingkungan.

Penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa akuntansi lingkungan menjadi

wadah untuk mengakui, mengukur, menyajikan dan mengungkapkan biaya yang

berkaitan dengan lingkungan. Penerapan akuntansi lingkungan sebagai salah satu

bentuk komitmen perusahaan pertambangan melakukan perbaikan dan pemulihan


19

lingkungan termasuk tanah bekas tambang ketika kegiatan pertambangan telah

selesai. Adanya akuntansi lingkungan juga dapat membantu perusahaan

mempertanggungjawabkan pelaporan kewajiban lingkungannya sebagai bentuk

tanggung jawab lingkungan dan sosial atas keikutsertaan perusahaan dalam

mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan juga atas kegiatan

operasional mulai dari kegiatan penyelidikan umum sampai dengan kegiatan

pascatambang oleh perusahaan di industri pertambangan.

2.4 Provisi Lingkungan

2.4.1 Pengertian Provisi

Dalam hal pelaporan keuangan, hal penting bagi setiap perusahaan

mengidentifikasi sifat dari provisi itu sendiri. Hal ini menentukan layak atau

tidaknya provisi tersebut diakui dan dicatat ke dalam laporan keuangan. Berikut

merupakan ruang lingkup provisi berdasarkan PSAK 57 (2014) yaitu:

1. Provisi dianggap sebagai liabilitas masa kini;

2. Provisi adalah liabilitas yang keterjadiannya belum pasti baik dari segi

waktu maupun jumlahnya;

3. Provisi diakui sebagai liabilitas di laporan keuangan jika memiliki estimasi

andal;

4. Provisi diakui sebagai liabilitas jika memiliki kemungkinan besar

(probable) terhadap keluarnya sumber daya ekonomik perusahaan untuk

menyelesaikan kewajiban tersebut di masa depan; dan


20

5. Provisi berbeda dari liabilitas lain seperti utang usaha dan akrual. Letak

perbedaannya adalah pada tingkat ketidakpastian keterjadiaannya jumlah

dan waktu dikeluarkan untuk menyelesaikan provisi di masa depan. Utang

usaha dan akrual lebih rendah daripada provisi.

Kriteria sebagai liabilitas tersebut telah didefinisikan PSAK 57 (2014) yaitu

kewajiban di mana peristiwa atau kejadiannya telah terjadi sebelumnya dan untuk

menyelesaikan kewajiban tersebut menyebabkan adanya pengeluaran sumber daya

ekonomik.

Provisi sendiri berbeda dengan kewajiban kontinjensi. Hal tersebut dikarenakan

kewajiban kontinjensi tidak memenuhi kriteria sebagai liabilitas. Kriteria tersebut

sama halnya dengan kriteria sebagai liabilitas oleh provisi seperti telah diuraikan

sebelumnya.

2.4.2 Pengakuan Provisi

Beberapa hal atau kriteria wajib dipenuhi dalam hal pengakuan provisi sebagai

liabilitas berdasarkan PSAK 57 (2014) yaitu:

1. Perusahaan memiliki kewajiban kini. Kewajiban kini tersebut bersifat

hukum maupun konstruktif karena adanya peristiwa masa lalu;

2. Perusahaan memiliki kemungkinan besar (probable) terhadap keluarnya

sumber daya ekonomik perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban

tersebut; dan

3. Perusahaan memiliki jumlah estimasi yang dapat diandalkan.


21

Semua kriteria tersebut harus terpenuhi jika tidak terpenuhi tidak ada

pengakuan provisi namun tetap dianggap dan dilaporkan sebagai kewajiban

kontijensi.

Berdasarkan PSAK 57 (2014), kewajiban kini yang timbul akibat peristiwa

masa lalu yang mengikat dapat dikenali dengan ciri-ciri yaitu adanya peraturan

perundang-undangan atau hukum memaksa sebuah entitas untuk menyelesaikan

kewajiban tersebut dan sebuah entitas memiliki komitmen untuk bertanggung

jawab terhadap pihak lain melalui estimasi andal dan kemungkinan besar keluarnya

sumber daya ekonomik untuk menyelesaikan kewajiban tersebut atau dikenal

sebagai kewajiban konstruktif. Contoh kewajiban kini yang timbul akibat peristiwa

masa lalu yang mengikat, yaitu: berupa denda atau biaya pemulihan pencemaran

lingkungan. Melalui biaya pemulihan ini perusahaan mengeluarkan sumber daya

ekonomiknya untuk menyelesaikan kewajiban tersebut seperti biaya purnaoperasi

(instalasi minyak atau instalasi nuklir untuk memperbaiki kerusakan yang telah

ditimbulkan akibat operasi yang dilakukan).

Pemenuhan syarat tersebut terjadi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

apabila kondisi di mana perusahaan tersebut memiliki kewajiban kini yang bersifat

hukum dan hal tersebut dapat dilihat dari komitmen perusahaan mematuhi

peraturan hukum yang berlaku. Kewajiban kini tersebut timbul karena merupakan

amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 78 Tahun 2010 yang mewajibkan melakukan aktivitas reklamasi dan

pascatambang untuk pemegang IUP-Eksplorasi dan IUP-Operasi Produksi. Adapun


22

isi dari PP No. 78 Tahun 2010 yang menjelaskan pemegang Izin Usaha

Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar

melaksanakan kewajiban dengan menyediakan program reklamasi selama lima

tahun; program pascatambang; dan penempatan saldo jaminan berupa rekening atau

deposito berjangka untuk kegiatan reklamasi dan pascatambang di bank Pemerintah

atau bank garansi.

Pemenuhan syarat lainnya adalah jika perusahaan memiliki kemungkinan besar

(probable) penyelesaian kewajiban tersebut yang mengakibatkan arus kas keluar

atau sumber daya ekonomi perusahaan. Berkaitan dengan adanya komitmen

perusahaan mematuhi peraturan hukum yang berlaku seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, kondisi tersebut juga mempengaruhi pengakuan provisi yaitu adanya

probabilitas yang besar menyelesaikan provisi yang mengakibatkan adanya

pengeluaran arus kas atau sumber daya ekonomi. Pemenuhan syarat tersebut dapat

diliat ketika perusahaan memenuhi peraturan hukum yang berlaku dengan

menyediakan jaminan berupa deposito berjangka untuk kegiatan reklamasi dan

pascatambang dan telah mempertimbangkan berbagai hal untuk menyelesaikan

kewajiban tersebut di mana besar kemungkinan menimbulkan pengeluaran arus

kas. Jaminan tersebut bukan berarti begitu saja menggantikan kewajiban

perusahaan dikarenakan ada kemungkinan besar terjadinya pengeluaran arus kas

perusahaan ketika melakukan reklamasi setiap tahun dan pascatambang di masa

mendatang.
23

Pemenuhan syarat lainnya adalah jika perusahaan memiliki etimasi yang dapat

diandalkan mengenai jumlah provisi. Berkaitan dengan komitmen perusahaan

mematuhi peraturan hukum yang berlaku seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

kondisi tersebut juga mempengaruhi pengakuan provisi yaitu estimasi yang andal

mengenai jumlah provisi tersebut dapat dibuat. Pemenuhan syarat tersebut dapat

diliat ketika perusahaan memenuhi peraturan hukum yang berlaku dengan membuat

rencana kerja dan anggaran biaya operasi untuk membuat rencana reklamasi dan

pascatambang dalam 5 tahun kemudian. Melalui rencana tersebut, perusahaan dapat

mengukur jumlah provisi setiap tahunnya dikarenakan perencanaan kerja dan

anggaran biaya operasi merupakan biaya di mana di dalamnya terdapat biaya

provisi. Perencanaan kerja dan anggaran biaya operasi tersebut merupakan kegiatan

yang mendasari bahwa perusahaan memiliki alasan untuk dapat membuat estimasi

yang andal.

Kondisi-kondisi tersebut menjadi standar Penulis untuk meneliti perlakuan

perusahaan sampel dalam mengakui provisi lingkungan.

2.4.3 Pengukuran Provisi

Berdasarkan PSAK 57 (2014) menyatakan bahwa pengukuran provisi melalui

estimasi terbaik dari pengeluaran dalam menyelesaikan kewajiban kini yang telah

diakui sebelumnya oleh perusahaan. Pengukuran tersebut dilakukan sebelum pajak.

Estimasi pengeluaran tersebut adalah jumlah pengeluaran yang rasional yang

dikeluarkan perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban kini yang diakui.


24

Berdasarkan PSAK 57 (2014), jumlah estimasi terbaik tersebut tidak lepas dari

ketidakpastian sehingga penting bagi perusahaan dalam hal penentuan estimasi

terbaik berhati-hati dan mempertimbangkan beberapa hal seperti pertimbangan

manajemen perusahaan, pengalaman perusahaan dengan transaksi serupa, laporan

beberapa ahli independen yang menyelesaikan beberapa kasus, bukti tambahan dari

peristiwa setelah tanggal neraca, penyesuaian terhadap kondisi dan unsur-unsur

yang ada, dan resiko serta ketidakpastian lainnya. Hal ini bertujuan mencegah

perusahaan dengan sengaja mengambil peluang dari ketidakpastian tersebut dengan

membuat provisi berlebihan atau menyajikan liabilitas menjadi lebih besar sehingga

nantinya terjadinya bias dan hal tersebut berdampak pada penghasilan atau aset

overvalue dan beban atau liabilitas undervalue.

Hal yang menjadi pertimbangan lainnya yaitu jika dampak nilai waktu dari uang

cukup material dan mempengaruhi pelaporan, maka penentuan jumlah provisi

menggunakan nilai kini atau nilai sekaran dari jumlah pengeluaran yang

dibutuhkan. Nilai kini tersebut merupakan hasil dari tingkat pasar sebelum pajak.

Tingkat pasar harus mencerminkan risiko yang sudah diperhitungkan dalam

estimasi arus kas sekarang dan merupakan penilaian pasar.

2.4.4 Penyajian Provisi

Berdasarkan PSAK 57 tidak terdapat aturan secara jelas mengenai penyajian

provisi, namun PSAK 1 2014 mengatur penyajian provisi. Pada PSAK 1 (2014)

menyatakan bahwa penyajian provisi yang telah diakui dan diukur sebelumnya

dapat dibedakan menjadi provisi untuk imbalan kerja dan provisi lain. Mengacu
25

pada arah pembahasan Penulis mengenai provisi lingkungan, provisi lingkungan

merupakan akun yang termasuk kriteria pengakuan provisi berdasarkan pada PSAK

57 (2014) di mana menyatakan bahwa kriteria pengakuan provisi tersebut termasuk

dalam kriteria liabilitas dan berdasarkan pada PSAK 1 (2014) yang juga

menyatakan bahwa perusahaan yang telah mengakui adanya kewajiban atas provisi

harus menyajikan provisi tersebut dalam laporan posisi keuangan. Untuk itu,

perusahaan wajib menyajikan provisi yang telah diakui dan diukur sebelumnya

sebagai kelompok liabilitas di laporan posisi keuangannya.

Berdasarkan uraian tersebut, hal yang perlu ditekankan bahwa pencatatan

terkait akun provisi lingkungan pada laporan keuangan menyesuaikan kebijakan

perusahaan, akan tetapi pengelompokkan provisi tersebut harus disajikan sebagai

kelompok liabilitas pada laporan posisi keuangannya.

2.4.5 Pengungkapan Provisi

Berdasarkan PSAK 57 (2014) menyatakan bahwa pengungkapan untuk setiap

jenis provisi, entitas mengungkapkan nilai tercatat pada awal dan akhir tahun,

provisi tambahan yang dibuat selama tahun berjalan, termasuk peningkatan jumlah

provisi yang ada, jumlah yang terealiasi atau aktual (yaitu jumlah yang terjadi dan

dibebankan pada provisi), jumlah yang belum teraliasi dan dibatalkan selama tahun

berjalan, dan peningkatan nilai kini yang timbul karena berlalunya waktu dan

dampak dari setiap perubahaan tingkat pasar selama tahun berjalan.

Berdasarkan PSAK 57 (2014) terdapat beberapa hal penting diungkapkan oleh

perusahaan ketika mengungkapkan setiap jenis provisi pada laporan keuangan yaitu
26

penjelasan singkat terkait karakteristik kewajiban dan estimasi saat terjadi

keluarnya sumber daya ekonomik dan indikasi terkait ketidakpastian saat atau

jumlah keluarnya sumber daya ekonomik tersebut. Keperluan lainnya agar

informasi cukup memadai, perusahaan mengungkapkan asumsi utama yang

mendasari estimasi peristiwa masa depan dan jumlah estimasi penggantian yang

akan diterima dengan menyebutkan jumlah aset apapun yang telah diakui.

Anda mungkin juga menyukai