Oleh
KELOMPOK 2
NURBAITI
TRISILA WULANDARI
ARTIKEL 2
Sejak DPR dan pemerintah sepakat memasukkan tanggung jawab sosial dan
lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) sebagai suatu kewajiban dalam
amandemen RUU Perseroan Terbatas (PT) pada akhir Juni 2007, isu CSR menyedot
perhatian kalangan pelaku bisnis. Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Kamar Dagang Industri
(Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Lintas Industri Nasional (Linas),
dan lainnya menolak CSR dijadikan sebagai kewajiban korporasi (mandatory). Alasannya,
hal itu hanya akan kian membebani dunia usaha dan membuat banyak PT bangkrut. Selain
itu, juga akan mengganggu iklim usaha dan investasi serta memicu korporasi multinasional
hengkang dari Indonesia.
Penolakan itu menyebabkan DPR merevisi ayat-ayat dalam Pasal 74 RUU PT.
Semula, ayat-ayat CSR yang disepakati Tim Sinkronisasi Panja RUU PT adalah (1)
Perseroan wajib mengalokasikan sebagian laba bersih tahunan perseroan untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, (2) perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan
dan (3) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (Bisnis Indonesia,
2/7/2007)
Setelah mencermati polemik dan konsepsi CSR dalam Pasal 74 UUPT 2007, saya
berkesimpulan bahwa baik pelaku bisnis maupun pemerintah dan DPR telah salah kaprah
dalam memahami dan memformalisasi konsepsi CSR.
Salah kaprah pertama adalah CSR hanya dianggap sebagai suatu beban (expense) atau biaya
(cost) periodik yang sia-sia dan memberatkan. Salah kaprah berikutnya adalah CSR
dikonsepsikan secara kerdil, diskriminatif, dan berpotensi menjadi beban konsumen secara
permanen serta menimbulkan konflik kepentingan.
Dekonstruksi CSR
Pertama, dialokasikan dari laba bersih sebelum pajak dan besarnya dipatok, misalnya
minimal 5%. Sebagai konsekuensinya, jumlah pajak (PPh) yang disetor perusahaan ke kas
negara akan berkurang. Kedua, dialokasikan dari laba bersih setelah pajak, misalnyua 5%.
Misalnya, 5%. Syaratnya pemerintah harus legowo menurunkan tarif pajak pph sebesar 5%
juga. Dana untuk CSR tersebut dikelola perusahaan secara transparan untuk aktivitas CSR
didesain dengan baik dan pemakaiannya dipertanggungjawaban kepemerintah secara publik.
Argumentasi yang melandasi usulan itu adalah semakin kompleknya isu-isu sosial dan
lingkungan selama ini bukan semata-mata akibat ulah dunia usaha, tetapi juga akbiat
kegagalan negara dalam mengelola, menggunakan, dan mengalokasikan kembali cara efisien
dn efektif sumber dana pajak perusahaan beroperasi. Selama ini, pajak yang diterima dari
perusahaan disalahgunakan aparat megara untuk kepentingan lain, sehingga menetes kembali
kemasyarakat disekeliling perusahaan sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak ada.
Dalam konsepsi Milton Friedman (1972) pemenang hadiah nobel ekonomi 1976, dana
pajak tersebut seharusnya digunakan negara seefektif mungkin untuk mengatasi dan
mencegah masalah-masalah sosial serta lingkungan. Alsannya, hal itu merupakan tanggung
jawab sosial pemerintah(government social responbility (GSR) bukan tanggung jawab
perusahaan.
Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup, ada beberapa hal urgen yang harus disadari pelaku bisnis
dan DPR serta pemerintah. Pertama, formalisasi CSR dalam suatu regulasi (UU atau
peraturan pemerintah) janganlah hanya dipandang sebagai beban periodik atau kerikil
tajam yang akan mengganggu operasi bisnis dan kelangsungan usaha. Hal itu harus
dipandang sebagai suatu peluang investasi untuk membangun bisnis secara etis dan
berkelanjutan dengan berlandaskan pda prinsip-prinsip etika serta hukum yang legitimate.
Juga harus disadari dan disikapi secara arif bahwa legitimasi CSR bisa dieksploitasi
semaksimal mungkin untuk menumbuhkembangkan bisnis dan meningkatkan kualitas serta
nilai perusahaan secara berkelanjutan bersama semua stakeholder.
Karena itu, agenda mendesak yang perlu dilakukan pebisnis adalah bukan menolak
formalisasi CSR atau meminta MK membatalkan CSR sebagai suatu kewajiban, tetapi yang
terpenting adalah berdiskusi dengan pemerintah tentang formula ideal CSR yang pantas dan
dapat dilaksanakan dunia bisnis.
Kedua, pemerintah yang saat ini sedang mempersiapkan penyusunan Peraturan Pemerintah
(PP) untuk mengatur implementasi CSR bagi perseroan (PT) juga harus menyadari bahwa
sejumlah ayat dalam pasal 74 UU (2007) mengandung sakah kaprah yang serius. Bila salah
kaprah tersebut tetap dipaksakan dalam suatu PP, maka akan menimbulkan sejumlah masalah
baru yang juga serius di kemudian hari.
Karena itu, pemerintah harus berinisiatif berdialog lagi dengan DPR, pelaku bisnis,
dan pihak-pihak yang kompeten untuk merumuskan kembali konsepsi CSR yang
sesungguhnya yang tidak mengeksploitasi salah satu pihak. Prinsip dasar dan semangat CSR
yaitu saling membutuhkan, saling bergantung dan saling menumbuhkan antara pebisnis,
karyawan, masyarakat, lingkungan dan pemerintah dalam semangat yang sama, yang harus
menjadi titik pijaknya.
ARTIKEL 3
Sesuatu yang hanya dipikirkan sendiri dan dikerjakan terburu-buru hasilnya pasti
tidak bagus. Akan tetapi, kalau dipikirkan secara matang dan didiskusikan apa adanya dengan
orang lain yang lebih mengerti, hasilnya pasti bagusan bermanfaat..
Itulah komentar seorang rekan saya ketika mengkritisi pasal 74 Undang-undang
Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru saja disahkan DPR pada 20 Juli lalu. Akibat hanya
dipikirkan sendiri oleh para anggota DPR dan pemerintah serta disahkan terburu-buru, pasal
yang mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social
responsibility (CSR) itu menuai kontroversi dan merisaukan kalangan dunia usaha serta
masyarakat luas.
Salah Kaprah
Setelah mencermati empat ayat dalam Pasal 74 UU PT, saya berani menyimpulkan
bahwa ada sejumlah salah kaprah (miskonsepsi) yang telah dilakukan DPR dan pemerintah
tentang CSR. Pertama, ayat (1) menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Padahal, draft awal yang diajukan pemerintah
mewajibkan semua perseroan menyisihkan dana untuk aktivitas CSR.
Pasal Diskriminatif tersebut salah kaprah karena bertentangan dengan esensi CSR
sebagai suatu komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk membantu sustainable
develompent dengan mengintegrasikan kepedulian pada masyarakat dan lingkungan dalam
operasi bisnisnya. Dengan kata lain,dunia usaha perlu menjaga keseimbangan antara tujuan
mendapatkan laba (profit) dan tujuan sosial (people) serta lingkungan (planet) atau disebut
triple bottom-line strategy.
Dari sejumlah esensi tersebut jelas bahwa semua perusahaan, tanpa kecuali harus
memiliki komitmen moral untuk mengintregasikan serta melaksanakan CSR secara
berkelanjutan. Tujuannya adalah agar perusahaan, masyarakat dan lingkungan bisa
berdampingan secara damai. Alasannya keberadaan suatu perusahaan tidak hanya semata-
mata sebagai institusi ekonomi yang mencari laba karena telah melakukan kontrak hukum
dengan negara, tetapi juga sebagai institusi sosial dan bagian dari ekosistem setempat. Karena
itu, suatu perusahaan harus melakukan kontrak sosial dengan masyarakat dan pemerintah
setempat agar bisa saling memberdayakan serta sama-sama menikmati manfaat ekonomisnya
secara langgeng.
Kedua, selain diskriminatif ayat (1) juga salah kaprah karena mengkonsepsikan CSR
secara sempit. Yaitu hanya pada masyarakat dan lingkungan sekitar perusaah beroperasi.
Konsepsi itu, kerdil bila dibandingkan dengan konsepsi CSR dalam Global Compact (2000).
Aturan dari PBB ini merumuskan 10 pilar etika korporasi (CSR) yang wajib dilakukan
korporasi global.
Yaitu (1) menghormati hak asasi manusia (HAM), (2) memastikan dunia usaha tidak
terlibat secara langsung atau tidak langsung pada pelanggaran HAM, (3) menjamin
kebebasan berserikat dan mengakui hak buruh menyampaikan aspirasi, (4) menghapus segala
bentuk kerja paksa dan pemaksaan lainnya, (5) menghapus pekerja anak, (6) menghapus
perlakuan diskriminasi terhadap pekerja, (7) mencegah kerusakan lingkungan hidup, (8)
mengambil inisiatif untuk melestarikan lingkungan, (9) mendorong penggunaan teknologi
yang mendorong kelestarian lingkungan, dan (10) mencegah segala bentuk korupsi, termasuk
ancaman dan penyuapan.
Dari 10 pilar tersebut, terlihat bahwa fokus CSR tidak hanya pada masyarakat dan
lingkungan sekeliling perusahaan seperti dikonsepsikan DPR dan pemerintah kita, tetapi juga
pada karyawan/buruh selaku stakeholder inti terdekat perusahaan.
Ketiga pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan serta
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewahjaran. Padahal dalam rancangan awalnya dana untuk
aktivitas CSR dialokasikan dari keuntunggan atau laba bersih perusahaan.
Sepintas, ayat itu mengisyaratkan CSR akan menjadi beban periodik bagi perusahaan
dan berpotensi mengurangi setoran pajak kepada negara. Hal inilah yang menyebabkan
kalangan dunia usaha dan perpajakan meradang dan menolak CSR. Namun jika dikaji lebih
mendalam, ayat itu justru mengisyartkan bahwa beban masyarakat konsumen produk-produk
dari perseroan yang bergerak dalam usaha SDA akan kian membengkak. Pasalnya, perseroan
SDA nanti akan memperhitungkan anggaran biaya CSR kedalam komponen penentuan harga
jual produk-produknya yang akan dibeli konsumen.
Selain itu, ayat (2) juga mengandung bias makna yang serius dan bisa menimbulkan
multitafsir karena mensyaratkan kepatutan dan kewajaran dalam perhitungan anggaran biaya
CSR. Karena batasan kepatutan dan kewajaran bersifat sangat subjektif, ayat ini bisa
menimbulkan konflik yang tak kunjung akhir antara perseroan,masyarakat dan pemerintah.
Konflik itu bisa berdampak negatif bagi dunia usaha dan perekonomian nasional.
Selain tiga salah kaprah diatas, dikuatirkan konsepsi politis CSR dalam Pasal 74 UU
PT dapat melegitimasi perseroan yang bidang usahanya tidak terkait SDA untuk tidak peduli
lagi pada CSR. Padahal, dalam beberpa tahun terakhir kepedulian dan kesadaran perusahaan
dari berbagai skala usaha terhadap CSR sebagai suatu kebutuhan mulai tumbuh subur
walaupun masih dalam taraf charity, corporate public relation (CPR), dan marketing public
relation (MPR).
Kaji Ulang
Mengingat konsepsi politis CSR dalam Pasal 74 mengandung salah kaprah dan
potensi konflik yang serius, saya mengusulkan agar pasal itu dikaji ulang DPR dan
pemerintah atau Mahkamah Konstitusi (MK). Secara yuridis, pasal itu juga dinilai cacat
karena proses politis perumusannya tidak melibatkan kalangan dunia usaha dan masyarakat
selaku stakeholder inti yang langsung terkena dampaknya.
Sesuai esensinya, saya mengusulkan agar CSR menjadi kewajiban untuk semua
perusahaan. Untuk menghindari agar biaya CSR tidak digeser menjadi beban konsumen, ada
dua alternatif budgeting-nya. Pertama, dialokasikan dari laba bersih sebelum pajak dan
besarnya dipatok, misalnya minimal 2%. Syaratnya, pemerintah harus legowo menurunkan
tarif pajak (PPh) sebesar 2% juga. Dana itu dikelola perusahaan untuk aktivitas CSR yang
didesain dengan baik dan pemakaiannya dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan
publik.
Argumentasi yang mendasari usulan itu adalah semakin kompleksnya persoalan sosial
dan lingkungan selama ini bukan semata-mata akibat ulah dunia usaha, tetapi juga akibat
kegagalan negara dalam mengelola, menggunakan, dan mengalokasikan kembali secara
efisien serta efektif dana pajak dari perusahaan untuk peningkatan kesejahteraan sosial dan
kelestarian lingkungan di daerah suatu perusahaan beroperasi.
Selama ini pajak yang diterima dari perusahaan sering disalahgunakan aparat negara
sehingga yang menetes kembali ke masyarakat di sekitar perusahaan sangat kecil, atau
bahkan sama sekali tidak ada. Dalam konsepsi Milton Friedman (1972), pemenang Hadiah
Nobel Ekonomi 1976, dana pajak tersebut seharusnya digunakan negara seefektif mungkin
untuk mengatasi dan mencegah masalah masalah sosial serta lingkungan. Alasannya, hal itu
merupakan tanggung jawab sosial pemerintah (governmental social responsibility-GSR),
bukan tanggung jawab perusahaan.
ARTIKEL 4
Perseteruan pemerintah pengusaha terkait kewajiban sosial dan lingkungan atau
corporate social responsibility (CSR) bakal ramai lagi. Pemicunya, dalam Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan segera diterbitkan, pemerintah mematok perusahaan
menyisihkan 2%-4% dari laba tahunan untuk program CSR.
Saya mencermati, baik pemerintah maupun pengusaha telah salah kaprah dalam
memahami konsepsi CSR. Kok bisa ?
Ya! Disatu sisi, pemerintah memaknai CSR sebagai suatu kewajiban moral dan
yuridis yang harus dilaksanakan perusahaan. Alasannya, perusahaan telah menikmati
berbagai manfaat ekonomi dari masyarakat dan lingkungan. Dengan kata lain, laba yang
diraih perusahaan adalah hasil eksploitasi terhadap masyarakat dan lingkungan.
Di sisi lain, pengusaha memahami CSR sebagai suatu aktivitas kepedulian atau
kedermawan sosial (charity) pada masyarakat dan lingkungan yang bersifat suka rela. Itu pun
jika perusahaan sudah mampu secara keuangan. Menurut pengusaha, tanggung jawab
mengatasi isu-isu sosial dan lingkungan adalah tugas pemerintah karena telah menerima
pajak dari dunia usaha. Dana itulah yang harus dikelola untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dan lingkungan. Kalaupun pengusaha ikut membantu, itu sifatnya suka rela.
Lalu, dimana letak salah kaprahnya ? letaknya adalah pada cara pandang bahwa CSR
bukan bagian integral dari sistem tanggung jawab bisnis (corporate responsibility).
Secara tidak sadar, pemerintah telah mengingkari bahwa CSR bukan bagian integral yang
melekat dalam sistem tanggung jawab bisnis sehingga perlu membuat lagi regulasi khusus
untuk memungut iuran CSR. Padahal, dalam akte kontrak yuridis berdirinya suatu perseroan,
isu CSR masuk dalam klausul tanggung jawab perusahaan.
Klausul itu bermakna bahwa sejauh perusahaan menjalankan bisnisnya secara etis,
mematuhi kewajiban ekonominya kepada negara dengan membayar pajak yang sesuai
regulasi yang berlaku, dan tidak menimbulkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat serta
lingkungan di sekitarnya, pemerintah tidak boleh lagi memaksa perusahaan membayar
iuran CSR atau pajak lingkungan. Pemaksaan atas perusahaan melanggar HAM pengusaha
karena merampas porsi laba yang menjadi haknya.
Di sisi lain, pengusaha juga mengingkari CSR sebagai bukan bagian dari
tanggungjawab perusahaan. Seolah-olah tanggung jawab perusahaan hanya tertuju untuk
menghasilkan laba yang maksimal bagi perusahaan atau pemegang saham. Sementara pihak-
pihak di luar pengusaha atau pemegang saham, terutama masyarakat di sekitar dan
lingkungan yang merasakan langsung dampak eksternalitas aktivitas ekonomi perusahaan,
dianggapnya bukan tanggung jawab perusahaan melainkan tugas pemerintah.
Dekonstruksi CSR
Menurut hemat saya, hakikat CSR harus dilekatkan dalam konteks untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan dan sustainable business. Artinya, CSR harus dilihat sebagai
suatu komitmen berkelanjutan dari dunia bisnis untuk bertanggungjawab secara ekonimi,
sosial dan ekologis mencegah dampak-dampak negatif yang mungkin timbul dan untuk
meningkatkan kualitas masyarakat sekitar (termasuk karyawan, pemasok, dan pelanggan)
serta lingkungan yang menjadi pemangku kepentingan atau stakeholder.
Sementara peran pemerintah adalah mengontrol dan memastikan bahwa perusahaan
mematuhi CSR dalam konteks trilogi tanggung jawab korporasi. Pemerintah juga perlu
memberi umpan balik (feedback) dalam bentuk menghukum perusahaan yang melanggar dan
memberi insentif pajak bagi perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang cemerlang.
ARTIKEL 5
Esensi Konsepsi CSR Friedman
Sebelum Friedman mencetuskan ide ekstrimnya tentang CSR, korporasi di AS telah
banyak menganut prinsip-prinsip CSR klasik yang digagas Andrew Carnegie (1835-1919).
Dalam bukunya yang berjudul The Gospel of Wealth (1899), konglomerat bisnis besi-baja
AS ini merumuskan konsepsi CSR berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu charity principle atau
prinsip kemurahan hati dan stewardship principle atau prinsip melayani sesama. Dua prinsip
tersebut diadopsi dari Alkitab.
Menurut Carnigie, charity principle menuntut para anggota masyaarakat yang lebih
beruntung membantu para anggota masyarakat yang kurang beruntung. Sebagai contoh,
mereka yang menganggur, cacat, kena musibah, sakit, dan tetua jompo. Sementara stewarship
principle menuntut para pebisnis dan individu-individu yang mampu untuk memperlakukan
diri mereka sebagai stewards (pelayan) atau caretaker atas kekayaan yang mereka miliki
untuk membantu masyarakat lain. Orang-orang kaya (rich) harus mengelola uangnya untuk
melayani sesama dan memanfaatkan uangnya untuk tujuan-tujuan yang masyarakat anggap
pantas, demikian pandangan Carnigie.
Dalam bukunya Capitalism and freedom (1963) dan kemudian dipertegas lagi pada
awal tahun 1970-an, Friedman menyatakan bahwa ada satu dan hanya ada satu saja tanggung
jawab korporasi, yaitu menggunakan sumber daya dan energi yang dimiliki dalam berbagai
aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan profits-nya sejauh itu berada dalam batas-batas
aturan main (rules of game) . . . dan melakukannya secara terbuka dan bersaing secara bebas
tanpa tipu-muslihat. Penggunaan sumber daya dan energi yang dimiliki perusahaan untuk
memenuhi tanggung jawab sosial hanya akan membebani pemegang saham, karyawan, dan
pelanggan.
Menurut Friedman, tugas utama bisnis adalah menghasilkan barang atau jasa secara
efisien yang dibutuhkan masyarakat dengan harga yang terjangkau dan berkualitas baik. Jika
produk atau jasa yang dijual laku dipasar, maka kenaikan laba adalah yang paling penting
karena menaikkan akumulasi modal. Bila akumulasi modal meningkat, perusahaan dapat
menggunakannya untuk membuka atau memperluas usaha baru sehingga dapat memberi
lapangan kerja baru kepada masyarakat. Hal tersebut adalah wujud dari tanggung jawab
sosial korporasi (CSR).
Friedman menegaskan bahwa untuk pemecahan masalah-masalah sosial, seperti
kesejahteraan sosial dan keselamatan masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan,
diskriminasi rasial, pengangguran, dan kerusakan lingkungan, adalah tanggung jawab
pemerintah serta individu-individu masyarakat. Kewajiban perusahaan adalah patuh
membayar pajak, dividen, dan lainnya kepada pemerintah sesuai dengan aturan-aturan main
yang berlaku.
Rekomendasi Praktis
Menurut Elkington, agar bisnis korporasi bisa tumbuh secara berkelanjutan hanya ada
satu pilihan yaitu menyelaraskan pencapain kinerja laba (profit) dengan kinerja sosial
(people) dan kinerja lingkungan (planet) secara berkesinambungan. Dengan menggunakan
metafora serangga yaitu (1) korporasi ulat, (2) korporasi belalang, (3) korporasi kupu-kupu,
dan (4) korporasi lebah madu.
Menurut model korporasi ulat dan korporasi belalang merupakan model korporasi
yang bersifat degeneratif atau merusak lingkungan dan tidak peduli pada CSR. Mereka
cenderung mengeksploitasi sumber daya alam melampaui daya dukung alam sehingga secara
kolektif menimbulkan dampak-dampak lokal dan regional yang serius.
Berbeda dengan sifat korporasi ulat dan belalang, model korporasi kupu-kupu dan
lebah madu memiliki sifat cenderung menumbuhkan (regenerative) dan menguntungkan serta
bertahan. Namun, antara korporasi kupu-kupu dan korporasi lebah madu memiliki sifat yang
berbeda. Korporasi kupu-kupu sering berperilaku menyimpang untuk meraup keuntungan
yang lebih besar seiring dengan pertumbuhan dan ekspansi yang dialaminya. Misalnya, suka
mengarahkan selera konsumen, punya komitmen kuat pada agenda CSR, serta suka
menggembar-gemborkan visi lingkungannya kepada publik agar mendapat apresiasi positif.
Sementara model korporasi lebah madu cenderung lebih tulus. Model korporasi ini
memiliki strategi dan model bisnis yang sustainable karena melakukan inovasi secara terus-
menerus, menerapkan etika bisnis, dan memiliki manajemen lingkungan yang baik secara
berkesinambungan. Korporasi ini juga memiliki jaringan dan ramah secara sosial-lingkungan,
mampu menetralisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi ulat dan
korporasi belalang, dan dapat mendorong korporasi kupu-kupu untuk bertransformasi
menjadi korporasi lebah madu.
Saya juga menilai konsepsi CSR versi Indonesia Business Links (IBL) juga layak
diadopsi. IBL merumuskan lima pilar CSR yaitu (1) pengembangan SDM dan pemberdayaan
masyarakat setempat, (2) memperkuat ekonomi komunitas di lingkungannya (3) menjaga
keharmonisan dengan masyarakat di sekitarnya, (4) mendorong good governance, dan (5)
menjaga kelestarian lingkungan. Pada hakikatnya, konsepsi CSR versi IBL tersebut juga
menekankan perlunya perusahaan menyelaraskan pencapaian tujuan ekonomi dengan tujuan
sosial dan lingkungan dalam visi serta praktik bisnisnya.
Dalam jangka pendek, tentu saja komitmen untuk mentransformasi perusahaan ke
arah model korporasi kupu-kupu atau lebah madu, atau menerapkan pilar-pilar CSR yang
disebutkan IBL memang akan menaikkan costs dn menyakitkan kinerja laba. Namun perlu
diingat, kenaikan costs tersebut adalah suatu investasi untuk menempatkan korporasi hidup
dalam lingkungan bisnis yang kondusif.
Dalam jangka panjang, kenaikan tersebut justru akan menghasilkan aset/aktiva tidak
berwujud (intangible assets) dan meningkatkan laba secara berkelanjutan. Hal tersebut tentu
akan berdampak positif pada kenaikan nilai korporasi dan nilai pemegang saham secara
berkelanjutan. Sejumlah hasil riset sudah mengkonfirmasi proposisi tersebut.
ARTIKEL 6
Pada tanggal 14 juni 2005, Sekjen PBB Kofi Annan mengkampanyekan etika
korporasi dalam pertemuan Global Compact di Paris, Perancis. Global Compact
merupakan sekumpulan aturan etika bisnis yang disusun PBB pada tahun 2000 untuk
diterapkan korporasi multinasional yang berbisnis di negara sedang berkembang.
Aturan itu antara lain mengatur bahwa korporasi perlu memberi penghargaan pada
hak-hak asasi manusia (HAM), memiliki standar ketenagakerjaan, meniadakan bentuk kerja
paksa dan diskriminasi pekerja, mengharamkan semua bentuk korupsi, pemerasan, dan
penyogokan, serta memiliki kepedulian lingkungan hidup.