Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AKUNTANSI LINGKUNGAN DAN


SOSIAL
BN

Oleh

KELOMPOK 2

NURBAITI
TRISILA WULANDARI

INFORMATICS & BUSINESS


INSTITUTE DARMAJAYA
INFORMATICS & BUSINESS
INSTITUTE DARMAJAYA
PROGRAM STUDY AKUNTANSI
SALAH KAPRAH dan DEKONSTRUKSI CSR

ARTIKEL 2

Sejak DPR dan pemerintah sepakat memasukkan tanggung jawab sosial dan
lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) sebagai suatu kewajiban dalam
amandemen RUU Perseroan Terbatas (PT) pada akhir Juni 2007, isu CSR menyedot
perhatian kalangan pelaku bisnis. Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Kamar Dagang Industri
(Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Lintas Industri Nasional (Linas),
dan lainnya menolak CSR dijadikan sebagai kewajiban korporasi (mandatory). Alasannya,
hal itu hanya akan kian membebani dunia usaha dan membuat banyak PT bangkrut. Selain
itu, juga akan mengganggu iklim usaha dan investasi serta memicu korporasi multinasional
hengkang dari Indonesia.
Penolakan itu menyebabkan DPR merevisi ayat-ayat dalam Pasal 74 RUU PT.
Semula, ayat-ayat CSR yang disepakati Tim Sinkronisasi Panja RUU PT adalah (1)
Perseroan wajib mengalokasikan sebagian laba bersih tahunan perseroan untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, (2) perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan
dan (3) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (Bisnis Indonesia,
2/7/2007)
Setelah mencermati polemik dan konsepsi CSR dalam Pasal 74 UUPT 2007, saya
berkesimpulan bahwa baik pelaku bisnis maupun pemerintah dan DPR telah salah kaprah
dalam memahami dan memformalisasi konsepsi CSR.
Salah kaprah pertama adalah CSR hanya dianggap sebagai suatu beban (expense) atau biaya
(cost) periodik yang sia-sia dan memberatkan. Salah kaprah berikutnya adalah CSR
dikonsepsikan secara kerdil, diskriminatif, dan berpotensi menjadi beban konsumen secara
permanen serta menimbulkan konflik kepentingan.

Salah Kaprah Konsepsi CSR Sebagai Beban


Seperti telah disebutkan sebelumnya, alasan penolakan kalangan dunia usaha terhadap
formalisasi CSR sebagai suatu kewajiban adalah karena akan kian menambah beban dunia
usaha. Peningkatan beban tersebut dikuatirkan dapat mengganggu iklim usaha dan investasi,
serta memicu korporasi PMA hengkang atau tidak mau masuk ke Indonesia.
Kekuatiran tersebut terlalu berlebihan dan bisa dikatakan salah kaprah. Memang, dari
perspektif biaya (cost-based approach) keberatan itu bisa dimaklumi karena jika CSR
menjadi suatu kewajiban periodik, beban perusahaan akan meningkat. Akibatnya, laba bersih
pasti menurun. Penurunan laba tentu saja akan merugikan para manajer (CEO) dan pemegang
saham. Yaitu, kompensasi insentif yang diterima para manajer akan berkurang dan dividen
yang diterima para pemegang saham (pemilik) juga akan berkurang.
Namun, keberatan itu mencerminkan pelaku bisnis kita masih terbelenggu oleh
paradigma konservatif, yaitu shareholder-based approach. Paradigma ini mengagungkan
pencapaian laba yang sebesar-besarnya (profit maximize) dan meminimalisasi biaya sebagai
tolak ukur prestasi perusahaan. Paradigma yang dimotori Milton Friedman (peraih Hadiah
Nobel Ekonomi Tahun 1976) ini menyatakan: There is one and only one social
responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase
its profits, Dalam pandangan Friedman, dengan laba yang maksimal, perusahaan sebagai the
good citizen bisa menyetor pajak dalam jumlah yang meningkat kepada negara. Sementara
urusan terkait isu-isu sosial dan lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah.
Pemerintahlah yang harus mengalokasikan pajak perusahaan untuk kesejahteraan sosial dan
kelestarian lingkungan karena hal itu merupakan the governmental social responsibility
(GSR). Andaikan perusahaan membantu, itu hanya bersifat suka rela. Mewajibkan
perusahaan melakukan CSR melanggar HAM dari pemegang saham karena mengambil the
other peoples money (The Economist, Januari 2005).
Diatas kertas, pemikiran itu bagus. Namun, pengalaman empiris menunjukkan bahwa
ideologi bisnis itu telah melahirkan banyak korporasi ulat dan korporasi belalang yang
doyan mengeksploitasi serta merusak lingkungan, selain menimbulkan dampak degeneratif
yang luar biasa bagi masyarakat dan lingkungan (Elkington, 1997). Banyak korporasi yang
berperilaku tidak etis akhirnya tidak bertahan kelangsungan bisnisnya.
Dari perspetif manfaat (benefit-based approach), keberatan itu sungguh
memprihatinkan. Pasalnya, formalisasi CSR sebagai suatu kewajiban juga akan
mendatangkan sejumlah keuntungan yang langgeng bagi perusahaan, pemegang saham, dan
semua stakeholder. Keuntungan tersebut antara lain:
Sebagai investasi atau modal sosial (social capital) yang akan menjadi sumber
keunggulan kompetitif perusahaan dalam jangka panjang.
1. Memperkokoh profitabilitas dan kinerja keuangan perusahaan.
2. Meningkatnya akuntabilitas dan apresiasi positif dari komunitas investor,
kreditor, pemasok, serta konsumen.
3. Meningkatnya komitmen, etos kerja, efisiensi, dan produktivitas karyawan.
4. Menurunnya tingkat kerentanan gejolak sosial dan resistensi dari komunitas
sekitarnya karena merasa diperhatikan dan dihargai perusahaan.
5. Meningkatnya reputasi, goodwill, brand, dan nilai perusahaan dalam jangka
panjang.

Sementara hasil rangkuman Kompas (4/8/2007) menunjukkan ada 10 manfaat CSR


yang dapat diraih perusahaan, yaitu (1) mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta
citra merek perusahaan; (2) mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial; (3)
mereduksi risiko bisnis perusahaan; (4) melebarkan akses sumber daya bagi operasional
usaha; (5) membuka peluang pasar yang lebih luas; (6) mereduksi biaya, misalnya terkait
dampak pembuangan limbah; (7) memperbaiki hubungan dengan stakeholders; (8)
memperbaiki hubungan dengan regulator; (9) meningkatkan semangat dan produktivitas
karyawan; dan (10) membuka peluang mendapatkan penghargaan. Karena itu, bisa
dipastikan jika CSR diterima dan dipraktikkan secara etis dan berkelanjutan serta
terinternalisasi dalam strategi dan nilai-nilai budaya perusahaan (corporate culture),
perusahaan bisa meraih keuntungan yang langgeng (sustainable profits). Keuntungan
yang langgeng tersebut pada akhirnya akan berdampak positif bagi peningkatan nilai
fundamental dan nilai pasar perusahaan, nilai pemegang saham, nilai pajak yang disetorkan
ke negara, dan nilai stakeholders secara berkelanjutan. Sejumlah manfaat tersebut seharusnya
disadari oleh para pebisnis di Tanah Air.
Terkait dengan kecemasan pelaku bisnis bahwa menjadikan CSR sebagai kewajiban
akan mengganggu iklim investasi, saya nilai juga salah kaprah. Mengapa? Karena korporasi
PMA yang mau berinvestasi di Indonesia juga harus menaati etika korporasi dalam Global
Compact (2000). Aturan atau prinsip-prinsip dasar CSR dari PBB ini mewajibkan setiap
korporasi multinasional yang beroperasi di negara sedang berkembang memberi perhatian
serius pada hak asasi manusia (HAM), standar perburuhan dan hak-hak buruh, lingkungan
hidup, dan mengharamkan segala bentuk korupsi alias anti KKN.
Salah Kaprah Regulasi CSR
Salah kaprah berikutnya adalah DPR mengkonsepsikan CSR secara sempit,
deskriminatif, dan ambiguita dalam suatu regulasi. Setelah mencermati empat ayat dalam
pasal 74 UU PT (2007), saya menyimpulkan paling sedikit ada tiga salah kaprah
(miskonsepsi).
Pertama, ayat (1) menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Padahal, draft awal yang diajukan pemerintah mewajibkan
semua perseroan menyisihkan dana untuk aktivitas CSR.
Pasal Diskriminatif tersebut salah kaprah karena bertentangan dengan esensi CSR
berikut. Menurut The World Bank Group (2001) dan The World Business Council for
Sustainable Develompment (2004), CSR adalah suatu komitmen berkelanjutan dari dunia
usaha untuk berperilaku secara etis dan membantu pembangunan berkelanjutan (sustainable
develompent) bekerja sama dengan karyawan serta perwakilannya, familinya, masyarakatnya,
dan komunitas lokal umumnya untuk memperbaharui kualitas hidup dalam cara cara yang
baik bagi bisnis dan pembangunan. CSR juga bermakna sebagai suatu komitmen perusahaan
atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi secara
berkesinambungan dengan menyelaraskan pencapaian kinerja ekonomi dengan kinerja sosial
dan lingkungan dalam operasi bisnisnya. Dengan kata lain, korporasi harus menjaga
keseimbangan antara tujuan mendapatkan laba (profit) dan tujuan sosial (people) serta
lingkungan (planet) atau disebut triple bottom-line strategy (Elkingston,1997)
Sementara esensi CSR menurut Post dkk (2006) adalah suatu perusahaan harus
bertanggung jawab atas setiap tindakannya yang berdampak pada masyarakat, komunitas
mereka, dan lingkungan. Karena itu, setiap dampak negatif dari setiap aktivitas bisnis yang
merugikan masyarakat dan lingkungan harus diakui serta diungkapkan dalam pelaporan
perusahaan. Korporosi dituntut menyelaraskan pencapaian kinerja ekonominya dengan
kinerja sosial dan lingkungannya jika ingin bisnisnya langgeng.
Dari sejumlah esensi CSR tersebut, tampak jelas bahwa semua perusahaan, tanpa
kecuali harus memiliki komitmen etis dan moral untuk mengintregasikan serta melaksanakan
CSR secara berkelanjutan. Tujuannya adalah agar perusahaan masyarakat (termasuk
karyawan atau buruh, konsumen, komunitas lokal, suplier, komunitas investor, kreditor, dan
lainnya). Dan lingkungan bisa berdampingan secara damai.
Alasannya keberadaan suatu perusahaan tidak hanya semata-mata sebagai institusi
ekonomi yang mencari laba karena telah melakukan kontrak hukum dengan negara, tetapi
juga sebagai institusi sosial dan melakukan kontrak sosial dengan masyarakat dan pemerintah
setempat agar berperan sebagai agen ekonomi, agen perubahan, agen pembaruan. Berkat
sikap dan perilaku saling membutuhkan saling memberdayakan, dan saling membutuhkan
stakeholders secara berkesinambungan itu, perusahaan pun bisa menikmati kue laba secara
langgeng.
Kedua, selain diskriminatif ayat (1) juga salah kaprah karena mengkonsepsikan CSR
secara sempit alias kerdil yaitu hanya pada masyarakat dan lingkungan sekitar perusaah
beroperasi. Konsepsi itu, kerdil bila dibandingkan dengan konsepsi CSR dalam Global
Compact aturan dari PBB ini merumuskan 10 pilar etika bisnis (CSR) yang wajib dilakukan
korporasi global.
Dari 10 pilar tersebut, tampak fokus CSR adalah pengakuan dan penghormatan pada
HAM para stakeholder, apresiasi terhadap hak-hak karyawan atau buruh dan masyarakat
stakeholders, pencegahan aktivitas ekonomi dan penggunaan teknologi yang merusak
lingkungan, dan pencegahan segala bentuk KKN. Dengan demikian, fokus CSR tidak hanya
pada masyarakat dan lingkungan disekelilinh perusahaan, tetapi juga pada karywan atau
buruh selaku stakeholder itu terdekat diperusahaan. Sayangnya, hal ini tidak diperhatikan
DPR dan pemerintah dalam perumusan CSR.
Ketiga pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Padahal dalam rancangan awalnya dana untuk
aktivitas CSR dialokasikan dari keuntunggan atau laba bersih perusahaan.
Sepintas, ayat itu mengisyaratkan CSR akan menjadi beban periodik bagi perusahaan
dan berpotensi mengurangi setoran pajak kepada negara. Hal inilah yang menyebabkan
kalangan dunia usaha dan perpajakan meradang dan menolak CSR. Namun jika dikaji lenih
mendalam, ayat itu justru mengisyartkan bahwa beban masyarakat konsumen produk-produk
dari perseroan yang bergerak dalam usaha SDA akan kian bertambah. Pasalnya, perseroan
SDA nanti akan memperhitungkan alokasi anggaran biaya CSR kedalam komponen
penentuan harga jual produk-produknya yang akan dibeli konsumen. Dengan kata lain apda
awalnya CSR jadi beban perseroan, tetapi kemudian beban itu akan digeser menjadi beban
konsumen.
Selain itu, ayat (2) juga mengandung bias makna yang serius darn bisa menimbulkan
multi tafsir karena mensyaratkan kepatutan dan kewajaran dalam perhitungan anggaran biaya
CSR. Karena batasan kepatutan dan kewajaran bersifat sangat subjektif, ayat ini bisa
menimbulkan komflik yang tak kunjung akhir antara perseroan,masyarakat dan pemerintah.
Konflik ini bisa berdampak negatif bagi dunia usaha,iklim investasi dan perekonomian
nasional.
Karena itu salah kaprah jika alasan penolakan CSR karena CSR dianggap jadi beban
buat pelaku usaha. Saya justru setuju jika alasan penolakkan dikaitkan dengan beban pelaku
yang akan ditanggung masyarakat konsumen dan potensi konflik kepentingan yang dapat
merugikan perusahaan negara.
Selain tiga salah kaprah tersebut, jika dikuatirkan konsepsi CSR dalam dalam 74 UU
PT (2007) dapat melegitimasi perseroan yang bdiang usahanya tidak berkaitan dengan SDA
untuk tidak peduli lagi pada CSR. Padahal, dalam beberpa tahun terakhir kepedulian dan
kesadaran perusahaan dari berbagai skala usaha terhadap CSR sebagai suatu kebutuhan.

Dekonstruksi CSR
Pertama, dialokasikan dari laba bersih sebelum pajak dan besarnya dipatok, misalnya
minimal 5%. Sebagai konsekuensinya, jumlah pajak (PPh) yang disetor perusahaan ke kas
negara akan berkurang. Kedua, dialokasikan dari laba bersih setelah pajak, misalnyua 5%.
Misalnya, 5%. Syaratnya pemerintah harus legowo menurunkan tarif pajak pph sebesar 5%
juga. Dana untuk CSR tersebut dikelola perusahaan secara transparan untuk aktivitas CSR
didesain dengan baik dan pemakaiannya dipertanggungjawaban kepemerintah secara publik.
Argumentasi yang melandasi usulan itu adalah semakin kompleknya isu-isu sosial dan
lingkungan selama ini bukan semata-mata akibat ulah dunia usaha, tetapi juga akbiat
kegagalan negara dalam mengelola, menggunakan, dan mengalokasikan kembali cara efisien
dn efektif sumber dana pajak perusahaan beroperasi. Selama ini, pajak yang diterima dari
perusahaan disalahgunakan aparat megara untuk kepentingan lain, sehingga menetes kembali
kemasyarakat disekeliling perusahaan sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak ada.
Dalam konsepsi Milton Friedman (1972) pemenang hadiah nobel ekonomi 1976, dana
pajak tersebut seharusnya digunakan negara seefektif mungkin untuk mengatasi dan
mencegah masalah-masalah sosial serta lingkungan. Alsannya, hal itu merupakan tanggung
jawab sosial pemerintah(government social responbility (GSR) bukan tanggung jawab
perusahaan.

Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup, ada beberapa hal urgen yang harus disadari pelaku bisnis
dan DPR serta pemerintah. Pertama, formalisasi CSR dalam suatu regulasi (UU atau
peraturan pemerintah) janganlah hanya dipandang sebagai beban periodik atau kerikil
tajam yang akan mengganggu operasi bisnis dan kelangsungan usaha. Hal itu harus
dipandang sebagai suatu peluang investasi untuk membangun bisnis secara etis dan
berkelanjutan dengan berlandaskan pda prinsip-prinsip etika serta hukum yang legitimate.
Juga harus disadari dan disikapi secara arif bahwa legitimasi CSR bisa dieksploitasi
semaksimal mungkin untuk menumbuhkembangkan bisnis dan meningkatkan kualitas serta
nilai perusahaan secara berkelanjutan bersama semua stakeholder.
Karena itu, agenda mendesak yang perlu dilakukan pebisnis adalah bukan menolak
formalisasi CSR atau meminta MK membatalkan CSR sebagai suatu kewajiban, tetapi yang
terpenting adalah berdiskusi dengan pemerintah tentang formula ideal CSR yang pantas dan
dapat dilaksanakan dunia bisnis.
Kedua, pemerintah yang saat ini sedang mempersiapkan penyusunan Peraturan Pemerintah
(PP) untuk mengatur implementasi CSR bagi perseroan (PT) juga harus menyadari bahwa
sejumlah ayat dalam pasal 74 UU (2007) mengandung sakah kaprah yang serius. Bila salah
kaprah tersebut tetap dipaksakan dalam suatu PP, maka akan menimbulkan sejumlah masalah
baru yang juga serius di kemudian hari.
Karena itu, pemerintah harus berinisiatif berdialog lagi dengan DPR, pelaku bisnis,
dan pihak-pihak yang kompeten untuk merumuskan kembali konsepsi CSR yang
sesungguhnya yang tidak mengeksploitasi salah satu pihak. Prinsip dasar dan semangat CSR
yaitu saling membutuhkan, saling bergantung dan saling menumbuhkan antara pebisnis,
karyawan, masyarakat, lingkungan dan pemerintah dalam semangat yang sama, yang harus
menjadi titik pijaknya.

ARTIKEL 3
Sesuatu yang hanya dipikirkan sendiri dan dikerjakan terburu-buru hasilnya pasti
tidak bagus. Akan tetapi, kalau dipikirkan secara matang dan didiskusikan apa adanya dengan
orang lain yang lebih mengerti, hasilnya pasti bagusan bermanfaat..
Itulah komentar seorang rekan saya ketika mengkritisi pasal 74 Undang-undang
Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru saja disahkan DPR pada 20 Juli lalu. Akibat hanya
dipikirkan sendiri oleh para anggota DPR dan pemerintah serta disahkan terburu-buru, pasal
yang mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social
responsibility (CSR) itu menuai kontroversi dan merisaukan kalangan dunia usaha serta
masyarakat luas.
Salah Kaprah
Setelah mencermati empat ayat dalam Pasal 74 UU PT, saya berani menyimpulkan
bahwa ada sejumlah salah kaprah (miskonsepsi) yang telah dilakukan DPR dan pemerintah
tentang CSR. Pertama, ayat (1) menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Padahal, draft awal yang diajukan pemerintah
mewajibkan semua perseroan menyisihkan dana untuk aktivitas CSR.
Pasal Diskriminatif tersebut salah kaprah karena bertentangan dengan esensi CSR
sebagai suatu komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk membantu sustainable
develompent dengan mengintegrasikan kepedulian pada masyarakat dan lingkungan dalam
operasi bisnisnya. Dengan kata lain,dunia usaha perlu menjaga keseimbangan antara tujuan
mendapatkan laba (profit) dan tujuan sosial (people) serta lingkungan (planet) atau disebut
triple bottom-line strategy.
Dari sejumlah esensi tersebut jelas bahwa semua perusahaan, tanpa kecuali harus
memiliki komitmen moral untuk mengintregasikan serta melaksanakan CSR secara
berkelanjutan. Tujuannya adalah agar perusahaan, masyarakat dan lingkungan bisa
berdampingan secara damai. Alasannya keberadaan suatu perusahaan tidak hanya semata-
mata sebagai institusi ekonomi yang mencari laba karena telah melakukan kontrak hukum
dengan negara, tetapi juga sebagai institusi sosial dan bagian dari ekosistem setempat. Karena
itu, suatu perusahaan harus melakukan kontrak sosial dengan masyarakat dan pemerintah
setempat agar bisa saling memberdayakan serta sama-sama menikmati manfaat ekonomisnya
secara langgeng.
Kedua, selain diskriminatif ayat (1) juga salah kaprah karena mengkonsepsikan CSR
secara sempit. Yaitu hanya pada masyarakat dan lingkungan sekitar perusaah beroperasi.
Konsepsi itu, kerdil bila dibandingkan dengan konsepsi CSR dalam Global Compact (2000).
Aturan dari PBB ini merumuskan 10 pilar etika korporasi (CSR) yang wajib dilakukan
korporasi global.
Yaitu (1) menghormati hak asasi manusia (HAM), (2) memastikan dunia usaha tidak
terlibat secara langsung atau tidak langsung pada pelanggaran HAM, (3) menjamin
kebebasan berserikat dan mengakui hak buruh menyampaikan aspirasi, (4) menghapus segala
bentuk kerja paksa dan pemaksaan lainnya, (5) menghapus pekerja anak, (6) menghapus
perlakuan diskriminasi terhadap pekerja, (7) mencegah kerusakan lingkungan hidup, (8)
mengambil inisiatif untuk melestarikan lingkungan, (9) mendorong penggunaan teknologi
yang mendorong kelestarian lingkungan, dan (10) mencegah segala bentuk korupsi, termasuk
ancaman dan penyuapan.
Dari 10 pilar tersebut, terlihat bahwa fokus CSR tidak hanya pada masyarakat dan
lingkungan sekeliling perusahaan seperti dikonsepsikan DPR dan pemerintah kita, tetapi juga
pada karyawan/buruh selaku stakeholder inti terdekat perusahaan.
Ketiga pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan serta
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewahjaran. Padahal dalam rancangan awalnya dana untuk
aktivitas CSR dialokasikan dari keuntunggan atau laba bersih perusahaan.
Sepintas, ayat itu mengisyaratkan CSR akan menjadi beban periodik bagi perusahaan
dan berpotensi mengurangi setoran pajak kepada negara. Hal inilah yang menyebabkan
kalangan dunia usaha dan perpajakan meradang dan menolak CSR. Namun jika dikaji lebih
mendalam, ayat itu justru mengisyartkan bahwa beban masyarakat konsumen produk-produk
dari perseroan yang bergerak dalam usaha SDA akan kian membengkak. Pasalnya, perseroan
SDA nanti akan memperhitungkan anggaran biaya CSR kedalam komponen penentuan harga
jual produk-produknya yang akan dibeli konsumen.
Selain itu, ayat (2) juga mengandung bias makna yang serius dan bisa menimbulkan
multitafsir karena mensyaratkan kepatutan dan kewajaran dalam perhitungan anggaran biaya
CSR. Karena batasan kepatutan dan kewajaran bersifat sangat subjektif, ayat ini bisa
menimbulkan konflik yang tak kunjung akhir antara perseroan,masyarakat dan pemerintah.
Konflik itu bisa berdampak negatif bagi dunia usaha dan perekonomian nasional.
Selain tiga salah kaprah diatas, dikuatirkan konsepsi politis CSR dalam Pasal 74 UU
PT dapat melegitimasi perseroan yang bidang usahanya tidak terkait SDA untuk tidak peduli
lagi pada CSR. Padahal, dalam beberpa tahun terakhir kepedulian dan kesadaran perusahaan
dari berbagai skala usaha terhadap CSR sebagai suatu kebutuhan mulai tumbuh subur
walaupun masih dalam taraf charity, corporate public relation (CPR), dan marketing public
relation (MPR).

Kaji Ulang
Mengingat konsepsi politis CSR dalam Pasal 74 mengandung salah kaprah dan
potensi konflik yang serius, saya mengusulkan agar pasal itu dikaji ulang DPR dan
pemerintah atau Mahkamah Konstitusi (MK). Secara yuridis, pasal itu juga dinilai cacat
karena proses politis perumusannya tidak melibatkan kalangan dunia usaha dan masyarakat
selaku stakeholder inti yang langsung terkena dampaknya.
Sesuai esensinya, saya mengusulkan agar CSR menjadi kewajiban untuk semua
perusahaan. Untuk menghindari agar biaya CSR tidak digeser menjadi beban konsumen, ada
dua alternatif budgeting-nya. Pertama, dialokasikan dari laba bersih sebelum pajak dan
besarnya dipatok, misalnya minimal 2%. Syaratnya, pemerintah harus legowo menurunkan
tarif pajak (PPh) sebesar 2% juga. Dana itu dikelola perusahaan untuk aktivitas CSR yang
didesain dengan baik dan pemakaiannya dipertanggungjawabkan kepada pemerintah dan
publik.
Argumentasi yang mendasari usulan itu adalah semakin kompleksnya persoalan sosial
dan lingkungan selama ini bukan semata-mata akibat ulah dunia usaha, tetapi juga akibat
kegagalan negara dalam mengelola, menggunakan, dan mengalokasikan kembali secara
efisien serta efektif dana pajak dari perusahaan untuk peningkatan kesejahteraan sosial dan
kelestarian lingkungan di daerah suatu perusahaan beroperasi.
Selama ini pajak yang diterima dari perusahaan sering disalahgunakan aparat negara
sehingga yang menetes kembali ke masyarakat di sekitar perusahaan sangat kecil, atau
bahkan sama sekali tidak ada. Dalam konsepsi Milton Friedman (1972), pemenang Hadiah
Nobel Ekonomi 1976, dana pajak tersebut seharusnya digunakan negara seefektif mungkin
untuk mengatasi dan mencegah masalah masalah sosial serta lingkungan. Alasannya, hal itu
merupakan tanggung jawab sosial pemerintah (governmental social responsibility-GSR),
bukan tanggung jawab perusahaan.

ARTIKEL 4
Perseteruan pemerintah pengusaha terkait kewajiban sosial dan lingkungan atau
corporate social responsibility (CSR) bakal ramai lagi. Pemicunya, dalam Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan segera diterbitkan, pemerintah mematok perusahaan
menyisihkan 2%-4% dari laba tahunan untuk program CSR.
Saya mencermati, baik pemerintah maupun pengusaha telah salah kaprah dalam
memahami konsepsi CSR. Kok bisa ?
Ya! Disatu sisi, pemerintah memaknai CSR sebagai suatu kewajiban moral dan
yuridis yang harus dilaksanakan perusahaan. Alasannya, perusahaan telah menikmati
berbagai manfaat ekonomi dari masyarakat dan lingkungan. Dengan kata lain, laba yang
diraih perusahaan adalah hasil eksploitasi terhadap masyarakat dan lingkungan.
Di sisi lain, pengusaha memahami CSR sebagai suatu aktivitas kepedulian atau
kedermawan sosial (charity) pada masyarakat dan lingkungan yang bersifat suka rela. Itu pun
jika perusahaan sudah mampu secara keuangan. Menurut pengusaha, tanggung jawab
mengatasi isu-isu sosial dan lingkungan adalah tugas pemerintah karena telah menerima
pajak dari dunia usaha. Dana itulah yang harus dikelola untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dan lingkungan. Kalaupun pengusaha ikut membantu, itu sifatnya suka rela.
Lalu, dimana letak salah kaprahnya ? letaknya adalah pada cara pandang bahwa CSR
bukan bagian integral dari sistem tanggung jawab bisnis (corporate responsibility).
Secara tidak sadar, pemerintah telah mengingkari bahwa CSR bukan bagian integral yang
melekat dalam sistem tanggung jawab bisnis sehingga perlu membuat lagi regulasi khusus
untuk memungut iuran CSR. Padahal, dalam akte kontrak yuridis berdirinya suatu perseroan,
isu CSR masuk dalam klausul tanggung jawab perusahaan.
Klausul itu bermakna bahwa sejauh perusahaan menjalankan bisnisnya secara etis,
mematuhi kewajiban ekonominya kepada negara dengan membayar pajak yang sesuai
regulasi yang berlaku, dan tidak menimbulkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat serta
lingkungan di sekitarnya, pemerintah tidak boleh lagi memaksa perusahaan membayar
iuran CSR atau pajak lingkungan. Pemaksaan atas perusahaan melanggar HAM pengusaha
karena merampas porsi laba yang menjadi haknya.
Di sisi lain, pengusaha juga mengingkari CSR sebagai bukan bagian dari
tanggungjawab perusahaan. Seolah-olah tanggung jawab perusahaan hanya tertuju untuk
menghasilkan laba yang maksimal bagi perusahaan atau pemegang saham. Sementara pihak-
pihak di luar pengusaha atau pemegang saham, terutama masyarakat di sekitar dan
lingkungan yang merasakan langsung dampak eksternalitas aktivitas ekonomi perusahaan,
dianggapnya bukan tanggung jawab perusahaan melainkan tugas pemerintah.

Dekonstruksi CSR
Menurut hemat saya, hakikat CSR harus dilekatkan dalam konteks untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan dan sustainable business. Artinya, CSR harus dilihat sebagai
suatu komitmen berkelanjutan dari dunia bisnis untuk bertanggungjawab secara ekonimi,
sosial dan ekologis mencegah dampak-dampak negatif yang mungkin timbul dan untuk
meningkatkan kualitas masyarakat sekitar (termasuk karyawan, pemasok, dan pelanggan)
serta lingkungan yang menjadi pemangku kepentingan atau stakeholder.
Sementara peran pemerintah adalah mengontrol dan memastikan bahwa perusahaan
mematuhi CSR dalam konteks trilogi tanggung jawab korporasi. Pemerintah juga perlu
memberi umpan balik (feedback) dalam bentuk menghukum perusahaan yang melanggar dan
memberi insentif pajak bagi perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang cemerlang.

ARTIKEL 5
Esensi Konsepsi CSR Friedman
Sebelum Friedman mencetuskan ide ekstrimnya tentang CSR, korporasi di AS telah
banyak menganut prinsip-prinsip CSR klasik yang digagas Andrew Carnegie (1835-1919).
Dalam bukunya yang berjudul The Gospel of Wealth (1899), konglomerat bisnis besi-baja
AS ini merumuskan konsepsi CSR berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu charity principle atau
prinsip kemurahan hati dan stewardship principle atau prinsip melayani sesama. Dua prinsip
tersebut diadopsi dari Alkitab.
Menurut Carnigie, charity principle menuntut para anggota masyaarakat yang lebih
beruntung membantu para anggota masyarakat yang kurang beruntung. Sebagai contoh,
mereka yang menganggur, cacat, kena musibah, sakit, dan tetua jompo. Sementara stewarship
principle menuntut para pebisnis dan individu-individu yang mampu untuk memperlakukan
diri mereka sebagai stewards (pelayan) atau caretaker atas kekayaan yang mereka miliki
untuk membantu masyarakat lain. Orang-orang kaya (rich) harus mengelola uangnya untuk
melayani sesama dan memanfaatkan uangnya untuk tujuan-tujuan yang masyarakat anggap
pantas, demikian pandangan Carnigie.
Dalam bukunya Capitalism and freedom (1963) dan kemudian dipertegas lagi pada
awal tahun 1970-an, Friedman menyatakan bahwa ada satu dan hanya ada satu saja tanggung
jawab korporasi, yaitu menggunakan sumber daya dan energi yang dimiliki dalam berbagai
aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan profits-nya sejauh itu berada dalam batas-batas
aturan main (rules of game) . . . dan melakukannya secara terbuka dan bersaing secara bebas
tanpa tipu-muslihat. Penggunaan sumber daya dan energi yang dimiliki perusahaan untuk
memenuhi tanggung jawab sosial hanya akan membebani pemegang saham, karyawan, dan
pelanggan.
Menurut Friedman, tugas utama bisnis adalah menghasilkan barang atau jasa secara
efisien yang dibutuhkan masyarakat dengan harga yang terjangkau dan berkualitas baik. Jika
produk atau jasa yang dijual laku dipasar, maka kenaikan laba adalah yang paling penting
karena menaikkan akumulasi modal. Bila akumulasi modal meningkat, perusahaan dapat
menggunakannya untuk membuka atau memperluas usaha baru sehingga dapat memberi
lapangan kerja baru kepada masyarakat. Hal tersebut adalah wujud dari tanggung jawab
sosial korporasi (CSR).
Friedman menegaskan bahwa untuk pemecahan masalah-masalah sosial, seperti
kesejahteraan sosial dan keselamatan masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan,
diskriminasi rasial, pengangguran, dan kerusakan lingkungan, adalah tanggung jawab
pemerintah serta individu-individu masyarakat. Kewajiban perusahaan adalah patuh
membayar pajak, dividen, dan lainnya kepada pemerintah sesuai dengan aturan-aturan main
yang berlaku.

Kelemahan CSR Friedman


Dari perspektif teori stakeholder, ada dua argumen yang bisa menjelaskannya.
Pertama, orientasi bisnis yang hanya tertuju pada mengejar laba dapat mendorong korporasi
bertindak pragmatis dan tidak etis. Sebagai contoh mengeksploitasi alam secara membabi
buta dan tidak peduli pada masyarakat sekitar yang menanggung dampak-dampak negatif
dari aktivitas bisnis perusahaan. Pada akhirnya, prilaku tidak etis tersebut justru menjadi
bumerang bagi perusahaan. Misalnya munculnya tindakan-tindakan destruktif masyarakat
menuntut perusahaan ditutup karena mereka tidak merasakan adanya manfaat dari
keberadaan perusahaan tetapi justru menanggung dampak-dampak negatifnya.
Kedua, sikap menyerahkan dan mengandalkan sepenuhnya pada peran pemerintah
untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungan dapat menimbulkan berbagai
implikasi buruk terhadap kelangsungan hidup perusahaan.

Rekomendasi Praktis
Menurut Elkington, agar bisnis korporasi bisa tumbuh secara berkelanjutan hanya ada
satu pilihan yaitu menyelaraskan pencapain kinerja laba (profit) dengan kinerja sosial
(people) dan kinerja lingkungan (planet) secara berkesinambungan. Dengan menggunakan
metafora serangga yaitu (1) korporasi ulat, (2) korporasi belalang, (3) korporasi kupu-kupu,
dan (4) korporasi lebah madu.
Menurut model korporasi ulat dan korporasi belalang merupakan model korporasi
yang bersifat degeneratif atau merusak lingkungan dan tidak peduli pada CSR. Mereka
cenderung mengeksploitasi sumber daya alam melampaui daya dukung alam sehingga secara
kolektif menimbulkan dampak-dampak lokal dan regional yang serius.
Berbeda dengan sifat korporasi ulat dan belalang, model korporasi kupu-kupu dan
lebah madu memiliki sifat cenderung menumbuhkan (regenerative) dan menguntungkan serta
bertahan. Namun, antara korporasi kupu-kupu dan korporasi lebah madu memiliki sifat yang
berbeda. Korporasi kupu-kupu sering berperilaku menyimpang untuk meraup keuntungan
yang lebih besar seiring dengan pertumbuhan dan ekspansi yang dialaminya. Misalnya, suka
mengarahkan selera konsumen, punya komitmen kuat pada agenda CSR, serta suka
menggembar-gemborkan visi lingkungannya kepada publik agar mendapat apresiasi positif.
Sementara model korporasi lebah madu cenderung lebih tulus. Model korporasi ini
memiliki strategi dan model bisnis yang sustainable karena melakukan inovasi secara terus-
menerus, menerapkan etika bisnis, dan memiliki manajemen lingkungan yang baik secara
berkesinambungan. Korporasi ini juga memiliki jaringan dan ramah secara sosial-lingkungan,
mampu menetralisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh korporasi ulat dan
korporasi belalang, dan dapat mendorong korporasi kupu-kupu untuk bertransformasi
menjadi korporasi lebah madu.
Saya juga menilai konsepsi CSR versi Indonesia Business Links (IBL) juga layak
diadopsi. IBL merumuskan lima pilar CSR yaitu (1) pengembangan SDM dan pemberdayaan
masyarakat setempat, (2) memperkuat ekonomi komunitas di lingkungannya (3) menjaga
keharmonisan dengan masyarakat di sekitarnya, (4) mendorong good governance, dan (5)
menjaga kelestarian lingkungan. Pada hakikatnya, konsepsi CSR versi IBL tersebut juga
menekankan perlunya perusahaan menyelaraskan pencapaian tujuan ekonomi dengan tujuan
sosial dan lingkungan dalam visi serta praktik bisnisnya.
Dalam jangka pendek, tentu saja komitmen untuk mentransformasi perusahaan ke
arah model korporasi kupu-kupu atau lebah madu, atau menerapkan pilar-pilar CSR yang
disebutkan IBL memang akan menaikkan costs dn menyakitkan kinerja laba. Namun perlu
diingat, kenaikan costs tersebut adalah suatu investasi untuk menempatkan korporasi hidup
dalam lingkungan bisnis yang kondusif.
Dalam jangka panjang, kenaikan tersebut justru akan menghasilkan aset/aktiva tidak
berwujud (intangible assets) dan meningkatkan laba secara berkelanjutan. Hal tersebut tentu
akan berdampak positif pada kenaikan nilai korporasi dan nilai pemegang saham secara
berkelanjutan. Sejumlah hasil riset sudah mengkonfirmasi proposisi tersebut.

ARTIKEL 6
Pada tanggal 14 juni 2005, Sekjen PBB Kofi Annan mengkampanyekan etika
korporasi dalam pertemuan Global Compact di Paris, Perancis. Global Compact
merupakan sekumpulan aturan etika bisnis yang disusun PBB pada tahun 2000 untuk
diterapkan korporasi multinasional yang berbisnis di negara sedang berkembang.
Aturan itu antara lain mengatur bahwa korporasi perlu memberi penghargaan pada
hak-hak asasi manusia (HAM), memiliki standar ketenagakerjaan, meniadakan bentuk kerja
paksa dan diskriminasi pekerja, mengharamkan semua bentuk korupsi, pemerasan, dan
penyogokan, serta memiliki kepedulian lingkungan hidup.

Relevansi Global Compact


Aturan etika korporasi global compact memang sangat relevan untuk korporasi di
Indonesia. Sehingga perlu di respon positif oleh pemerintah kita. Paling sedikit, ada dua
alasan mendasar.
Pertama, terdapat banyak korporasi multinasional yang beroperasi di Indonesia dalam
beberapa sektor industri sepert pertambangan dan manufaktur. Selama ini sebagian besar
korporasi multinasional di nilai kurang memiliki etika korporasi terhadap isu-isu seperti di
nyatakan dalam global compact. Meraka hanya mementingkan tanggung jawab ekonomi dan
hukum kepada pemegang sahamnya (share holder) sementara tanggung jawab terhadap
masalah HAM pekerja serta masalah-masalah sosial dan lingkungan cenderung di abaikan.
Kasus pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah oleh PT. Freeport Indonesia di
Papua dan PT. Newmon Minahasa di Teluk Buyat sehingga menimbulkan penderitaan
masyarakat setempat adalah salah satu contohnya.
Kedua, kebanyakan korporasi nasional belum memiliki kepedulian yang tinggi pada
etika korporasi seperti di atur global compact. Kebanyakan korporasi tidak memberikan
penghargaan terhadap HAM, tidak memiliki standar ketenagakerjaan, tidak memberikan
keleluasaan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya, melakukan diskriminasi, menghalalkan
segala bentuk korupsi dan penyogokan, serta kurang peduli pada lingkungan hidup. Bahkan
untuk mencapai tujuan pragmatisnya, korporasi melakukan pemerasan terhadap kosumen
melalui penetapan harga jual produk/jasa yang tingi.
Cost-Benefit
Global compact di maksudkan untuk mendorong pebisnis mendukung tindakan
perlindungan lingkungan hidup dan mengambil inisiatif untuk mempromosikan tanggung
jawab atas lingkungan hidup yang lebih besar. Selain itu, pebisnis juga di dorong untuk
mengembangkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
Hal itu berarti korporasi tidak hanya di tuntut memiliki kepedulian kepada isu-isu
lingkungan hidup, tetapi juga pada isu-isu sosial dari masyarakat yang merasakan langsung
dampak-dampak negatif dari operasi perusahaan. Karena itu, biaya (cost) sosial dan
lingkungan yang akan di tanggung korporasi jika menerapkan etika lingkungan hidup yang
cukup besar.
Dari perspektif keputusan investasi ini, keputusan pebisnis untuk peduli pada
tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan suatu keputusan investasi jangka panjang
untuk mendapatkan citra baik dari stakeholders dan menempatkan korporasi hidup dalam
lingkungan bisnis yang kondusif. Meskipun pada awalnya terjadi pembengkakakan biaya di
satu sisi dan penurunan kinerja laba di sisi lainnya, namun dalam jangka panjang kepedulian
tersebut akan mendatangkan keuntungan yang berkelanjutan.
Singkatnya, citra baik merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu perusahaan.
Sejumlah riset telah memberikan bukti-bukti empiris yang mendukung hipotesis tersebut.
Sebagai catatan penutup, semoga pemerintah kita memiliki political will untuk
mengadopsi dan mengkampanyekan etika global compact bagi korporasi multinasional dan
nasional di Indonesia. Pemerintah perlu mendorong dan merangsang pebisnis untuk segera
menerapkan prinsip-prinsip dasar etka korporasi tersebut dengan memberikan insentif pajak
atau lainnya. Para pebisnis kita juga tidak perlu ragu-ragu mengadopsi dan menerapkan etika
korporasi tersebut.
Dorongan pemerintah dan kesadaran pebisnis untuk menerapkan secara serius dan
konsisten terhadap prinsip-prinsip global compact diharapkan akan mengurangi masalah
sosial dan lingkungan yang selama ini sering menjadi catatan hitam dalam sejarah
perkorporasian Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai