Anda di halaman 1dari 5

1.

Latar Belakang munculnya peraturan CSR di Indonesia

Coorporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau dunia


bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada
keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi sosial, lingkungan (Aziz. 2013).
Perkembangan dan fokus Indonesia akan program CSR terlihat pada tahun 2005 dimana
untuk pertama kalinya Indonesia mulai mengadakan CSR award. Event CSR Award
adalah event yang diadakan untuk memberikan penghargaan kepada organisasi yang
membuat program khusus tanggung jawab sosial dalam suatu nilai-nilai dan sudut
pandang terntentu. Untuk itu banyak perusahaan yang menyadari pentingnya Corporate
Social Responsibility (CSR) pada perusahaannya, mengingat pemerintah juga membuat
peraturan yang dituangkan dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 kemudian ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas mewajibkan perseroan yang bidang
usahanya dibidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Peran BUMN dalam memberikan pelayanan
publik juga didorong dalam Pasal 2 jo Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu dari beberapa
tanggung jawab perusahaan kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Pemangku
kepentingan dalam hal ini adalah orang atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh berbagai keputusan, kebijakan maupun operasi perusahaan
(Solihin.2009). Menurut Lukita Wardhani dalam artikelnya yang berjudul Analisa
terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia menjelaskan
Teori Chairil N. Siregar bahwa dalam perjalanannya Corporate Social Responsibility
(CSR) banyak menghadapi kendala-kendala yang diantaranya adalah program Corporate
Social Responsibility (CSR) belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat, masih
terjadi perbedaan antara institusi-institusi pemerintah mengenai Corporate Social
Responsibility (CSR) berdasarkan UU PT Tahun 74 yang baru, belum adanya aturan jelas
peraturan Corporate Social Responsibility (CSR) dikalangan perusahaan. Menurut
Lukita, apapun konsep yang digunakan, tidak akan efektif dilaksanakan jika pada saat
penyusunan program perusahaan tidak berusaha melakukan survei kebutuhan program
terhadap target penerima manfaatnya terlebih dahulu, terlebih lagi tidak melakukan
pemetaan siapa saja yang menjadi pemangku kepentingan atas operasional usahanya
tersebut
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai tanggung jawab sosial, yang diatur
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 pasal 74 tahun 2007 , ayat (1)
berbunyi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Ayat (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran, atau secara singkat menyiratkan bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan
usaha di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung
jawab sosial dan lingkungan. Undang-undang tersebut telah mewajibkan industri atau
korporasikorporasi untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu
beban yang memberatkan.
Melalui Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 74 ayat (1) merupakan refleksi
bentuk perhatian yang tinggi pemerintah Indonesia akan perlunya tanggung jawab sosial.
Kehadiran Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 74 ayat (1) menjadi momentum
bagi organisasi di Indonesia untuk menjadikan CSR sebagai agenda penting organisasi.
Juga terdapat dalam pasal 15, 17, dan 34 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Undang-undang tersebut mewajibkan industri atau korporasikorporasi
untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang
memberatkan. Praktik pengungkapan CSR di Indonesia diatur dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Revisi 2009 paragraf 9 yang menyatakan bahwa:
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai
lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value addedstatement), khususnya bagi
industri dimana faktor faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi
industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang
peranan penting”.
Pembangunan suatu negara bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan
industri saja, tetapi setiap manusia juga berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Kini dunia usaha tidak lagi hanya
memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan
sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan (Triple bottom line). Sinergi tiga
elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tanggung
jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal tahun 1970, yang secara umum
diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder,
nilai-nilai, pemenuhan kebutuhan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta
komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan.
CSR tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada
pemenuhan aturan hukum semata (Alma., dkk.2009).

2. Pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan CSR perusahaan


Ceo, investor, dewan direksi dan dewan komisaris perusahaan

3. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh Negara Berkembang seperti Indonesia
dalam pelaksanaan CSR

1) Banyak tuduhan skeptis bahwa penormaan CSR sebagai suatu kewajiban yang disertai
sanksi menunjukkan bahwa pemerintah memaknai CSR hanya dari sisi peluang sumber
daya finansial perusahaan yang dapat dimanfaatkan untuk mengalihkan beban
pembangunan kepada perusahaan (Sefriani.,dkk.2015)
2) Perusahaan kurang memerhatikan kondisi masyarakat di mana perusahaan beroperasi.
Seperti kasus Freeport, Indo Rayon, dan sebagainya mencerminkan kekakuan hubungan
antara perusahaan dan lingkungannya, di mana masyarakat seolah justru menjadi objek
atau pelengkap penderita bagi perusahaan. Masyarakat pun merasa dikesampingkan
keberadaannya, sehingga muncul konflik yang kemudian mengganggu proses operasional
perusahaan;
3) Perusahaan melakukan bisnis tanpa memerhatikan kerusakan lingkungan alam di
wilayah yang ditempatinya, padahal wilayah tersebut juga menjadi tempat bergantungnya
kehidupan masyarakat. Pencemaran yang terjadi di Teluk Buyat adalah contoh dari
pengabaian itu, yang mengakibatkan penderitaan masyarakat karena harus tercemar
limbah tailing;
4) Perusahaan melakukan eksploitasi alam hingga merusaknya dan merugikan kehidupan
masyarakat yang luas, tanpa memperhitungkan ganti rugi masyarakat secara adil. Kasus
lumpur Lapindo adalah contoh konkret kejamnya perusahaan terhadap masyarakat
sekitar, dan bahkan hingga kini permasalahan belum teratasi secara tuntas;
5) Perusahaan masih memandang sebelah mata pada pentingnya program CSR bagi
kelangsungan perusahaan, dan bahkan ada perusahaan yang menganggap CSR sebagai
kendala dalam upaya mereka meraih keuntungan yang maksimal;
6) Perusahaan masih setengah hati dalam mengimplementasikan CSR, sehingga
masyarakat tidak dapat merasakan sepenuhnya manfaat program yang diberikan. Hal ini
terlihat pada sejumlah kasus di mana masyarakat hanya diperlakukan seperti objek, dan
perusahaanlah yang banyak menentukan kegiatan program, padahal dalam upaya
pemberdayaan dibutuhkan partisipasi yang baik dari masyarakat;
7) Perusahaan mengimplementasikan CSR hanya untuk dalih pencitraan perusahaan.
Implementasi dengan model seperti ini pada umumnya kurang banyak manfaatnya bagi
masyarkat karena biasanya programprogram yang dilakukan bersifat instan, sehingga
benefitnya tidak berkelanjutan bagi masyarakat (Retnangsih, 2015)

4. Cara yang harus dilakukukan perusahaan dan pemerintah dalam mengatasi permasalahan
CSR
1) Sebenarnya penormaan CSR sebagai suatu kewajiban yang disertai sanksi telah dikuatkan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannnya Nomor 53/PUU-VI/2008. Nomor
53/PUUVI/2008 Penormaan TJSL sebagai kewajiban diserta sanksi sudah tepat namun
masih perlu pengawasan yang intens (Sefriani.,dkk.2015).
2) Pemerintah dan perusahaan meninjau kondisi lingkungan masyarakat sekitar sehingga
dapat menentukan kegiatan CSR yang minimum dapat dilakukan dalam memberdayakan
lingkungan masyarakat sekitar. Hal selanjutya yang harus dilakukan ialah perlunya dialog
antara perusahaan dan masyarakat dengan penengah yakni pemerintah sehingga terbentuk
hubungan yang baik dari kedua pihak dan tidak akan memunculkan permasalahan
dikemudian hari yang akan dating
3) Dalam upaya pengendalian pencemaran acuan tegas yang harus diberlakukan ialah
undang-undang tentang ligkungan hidup dan implementasi dari sisi izin perusahaan yang
mengacu pada dokumen amdal. Pemerintah harus pro aktif dalam mendengar kegaduhan
di dalam masyarakat sehingga ketika terjadi pelanggaran maka pemerintah dapat
mengambil langkah yang tepat dalam menindak perusahaan dan upaya pemulihan
lingkungan yang terdampak
4) Perlu adanya batasan kegiatan yang dimiliki perusahaan. Pemerintah harus tegas dalam
meninjau kapabilitas sumber daya alam yang dapat di eksploitasi tanpa memiliki dampak
massif terhadap lingkungan sehingga pemerintah harus bertindak tegas ketika ada
pelanggaran yang merugikan tanpa memikirkan sistem keberlangsungan di masa depan
5) Pemerintah harus melakukan sosialisasi terhadap pentingnya CSR dan dalam
menumbuhkan kesadaran CSR pemerintah dapat membuat indicator masing-masing
perusahaan dalam upaya mengelompokan status perusahaan yang baik dan tidak. Hal ini
dapat menjadikan masing-masing perusahaan terpacu dan memperbaiki CSR nya
6) Dalam implementasi CSR pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap progam CSR
yang telah dilakukan sehingga pemerintah dapat memberikan arahan, sangsi maupun
reward bagi perusahaan yang CSR nya telah pada level yang bagus
7) Implementasi CSR perlu dikaji ulang dalam beberapa tempo untuk mengetahui nilai,
efektifitas dan kelebihan atau kekurangan dalam progam CSR yang dikeluarkan

Daftar Pustaka
Alma, B. Juni, D.2009. Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: Alfabeta.2009. 178
Aziz, A. 2013. Etika Bisnis Perspektif Islam. Cirebon: Alfabeta.208
Retnaningsih, H. 2015. Permasalahan Corporate Social Responsibility (Csr) Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI.
Sefriani, Sri Wartini, S.2015. Corporate Social Responsibility Dan Tanggung Jawab Negara
Terhadap Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya Di Indonesia. Vol 4
Solihin, I. 2009. Corporate Social Responsibility (CSR). Jakarta: Salemba Empat

Galang Ayuz Firstian Adjid


Progam Magister PSLP
196000100011001

Anda mungkin juga menyukai