Anda di halaman 1dari 40

A.

Latar Belakang
Konsep CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah bentuk
tanggung jawab perusahaan bersama pemerintah untuk mengatasi permasalahan
sosial yang terjadi di masyarakat. CSR merupakan komitmen kalangan bisnis
berkontribusi dalam pembangunan masyarakat baik pada aspek sosial, ekonomis
maupun lingkungan. Kalau pada masa lalu tanggung jawab dalam mengatasi
permasalahan sosial sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, karena
dunia usaha sudah memberikan sumbangan kepada masyarakat dalam bentuk
penyediaan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produk yang
dihasilkan oleh perusahaan dan pembayaran pajak pada negara (Wibisono,
2007:24), beberapa tahun belakangan melalui konsep CSR ada kesadaran dari
kalangan bisnis untuk memberikan kontribusi berpartisipasi turut serta
menyelesaikan berbagai masalah sosial yang di hadapi masyarakat.
CSR di Indonesia dipahami sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan
oleh perusahaan, merupakan perluasan peran perusahaan dari peran klasiknya
mencetak laba sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik modal (Pesero) telah
tergeser tidak hanya memerankan peran klasiknya tetapi dilibatkan bahkan
diwajibkan untuk mengambil peran ikut serta dalam menyejahterakan masyarakat.
Perluasan peran tersebut sangatlah wajar kalau setiap perusaaan ikut
bertanggungjawab mengembang persoalan sosial dan lingkungan, karena setiap
perusahaan keberadaannya sangat dipastikan bersinggungan dengan masyarakat
dan sumber daya alam setempat.

Di samping itu secara konstitusional negara Indonesia adalah negara


kesejahteraan (welfare state) dan dilandasi filosofi tentang keadilan dan
pemerataan, sesuai yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pelibatan perusahaan dalam pelaksanaan menyejahterakan masyarakat
pada tataran normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas,dalam Pasal 66 ayat (1) disebutkan bahwa laba bersih
perusahaan tidak hanya dinikmat ioleh pemilik dan pengelola perusahaan
saja,tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas melalui dana sosial yang
dicadangkan oleh perusahaan (Perseroan Terbatas) diputuskan melalui Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), dengan demikian keterlibatan perseroan ikut
serta dalam menyejahterakan sosial hanya bersifat sukarela (voluntary) bukan
diwajibkan (mandatory). Dalam perjalanan waktu dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 merupakan suatu kebutuhan
yang dirasa perlu oleh kalangan pengusaha sebagai pelaku usaha maupun
pemerintah sebagai pihak regulator di bidang usaha, karena undang-undang yang
selama ini berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas sudah dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia usaha.

Seperti disebutkan di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun


2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
dipandang tidak dapat lagi memenuhi perkembangan dalam kehidupan
masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di
samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat,
kepastian serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan
prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) menuntut
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.
Perjuangan untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas ini berlangsung cukup lama yaitu sekitar dua tahun
sejak tanggal 12 Oktober 2005, dengan mengalami berbagai perombakan, sampai
akhirnya rancangan undang-undang yang berisi 14 bab dan 161 pasal ini disahkan
oleh DPR pada tanggal 16 Agustus 2007.
Secara keseluruhan kalangan dunia usaha menanggapi dengan baik
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hanya saja
kalangan pengusaha masih mempermasalahkan satu pasal dalam undang-undang
ini yaitu Pasal 74. Pasal itu mengatur tentang tanggung jawab ontro dan
lingkungan perusahaan atau biasa disebut sebagai corporate social responsibility
(selanjutnya disebut CSR).
Banyak kalangan yang menganggap Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas itu merupakan pasal yang menodai

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal ini


menjadi begitu controversial karena banyak kalangan memandang aturan
mengenai CSR ini seharusnya tidak perlu menjadi bagian dari sebuah UndangUndang Perseroan Terbatas (Widjaja dan Pratama,2008:2).
Tanggung jawab sosial perusahaan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas didefinisikan:
Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat,
baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat
pada umumnya.
Sejak DPR memasukkan konsep mengenai CSR ini dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas, muncul sikap pro dan kontra dari
masyarakat khususnya kalangan dunia usaha. Kontroversi ini muncul karena
adanya kewajiban pelaksanaan dari CSR. Pendapat dari beberapa pihak yang
kontra di antaranya adalah:
1. CSR seharusnya bersifat sukarela (Majalah Bisnis dan CSR, 2007:64).
Mereka yang melaksanakan CSR dalam pengelolaan perusahaannya akan
merasakan sendiri manfaat dari tanggung jawab sosial yang dilakukannya,
sehingga tidak perlu diwajibkan.
2. Diwajibkannya CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dianggap
akan memberatkan perusahaan, karena dapat menambah beban biaya
operasional. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS
Hidayat mengatakan (www.seputar-indonesia.com):

Kami dari dunia usaha keberatan secara prinsipil kalau CSR menjadi
sesuatu yang wajib seperti membayar pajak. Itu (CSR) sama saja dengan
pajak tambahan. Akan mengganggu iklim usaha dan investasi di
Indonesia.
3. Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya mewajibkan CSR bagi
perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan
dengan sumber daya alam. Ketentuan kegiatan usaha dibidang dan/atau
bersangkutan dengan sumber daya alam ini oleh Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dinilai sebagai kebijakan
yang tidak adil (Majalah Bisnis dan CSR,2007:65).
Sebaliknya, mereka yang mendukung berargumen kalau tidak diatur maka
perusahaan cenderung lalai menjalankan tanggung jawab sosialnya (Majalah
Bisnis dan CSR,2007:64). Pihak pro-CSR mengharapkan korporasi untuk dapat
ikut serta dalam proses pembangunan berkelanjutan. Korporasi bukanlah entitas
terpisah dari sebuah masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi
korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika memiliki
legitimasi sosial yang kuat. Untuk memiliki legitimasi yang kuat, sebuah
korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli terhadap lingkungan
sosialnya atau menjadi good corporate citizenship (Hidayah Muhallim, CSR dan
Politik Ekonomi Kita).
Sementara itu di lain pihak, DPR sebagai perumus konsep CSR ini dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas membantah
bahwa CSR akan membebani perusahaan. Hermansyah Nazirun anggota DPR dari

Fraksi Partai Amanat Nasional mengatakan: Program CSR bersifat penuh


toleransi dan tidak semena-mena (www.hukumonline.com).
Mengenai keberatan terhadap kebijakan CSR bagi perusahaan yang
kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam,
Mohammad Akil Mochtar, Ketua Panitia Khusus Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 mengatakan: Jangan hanya dilihat core business-nya. Rumah sakit
pun wajib CSR karena dia membuang limbah. Pokoknya semua usaha yang
berhubungan dengan lingkungan (www.hukumonline.com).
Di Indonesia ada dua instrumen hukum yang mewajibkan perseroan
terbatas untuk melakukan tanggung jawab sosial yakni Undang-Undang Pasar
Modal dan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pasal 15 huruf B UndangUndang Pasar Modal menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Kemudian disambung oleh
Pasal 16 huruf d menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab
terhadap kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya Pasal 16 huruf e UndangUndang Pasar Modal menyatakan bahwa setiap penanam modal bertanggung
jawab

untuk

menciptakan

keselamatan,

kesehatan,

kenyamanan,

dan

kesejahteraan pekerja.
Selanjutnya Pasal 17 Undang-Undang Pasar Modal menentukan bahwa
penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan
wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang
memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan yang berkaitan dengan CSR di dalam Undang-Undang


Perseroan Terbatas dapat ditemukan dalam Pasal 74. Pasal 74 ayat (1) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Menurut
penjelasan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan
yang selaras dan seimbang sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya
masyarakat setempat.
Oleh penjelasan ayat tersebut disebutkan pula bahwa perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Ditambahkan lagi bahwa, yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, adalah perseroan
yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan
usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan menurut Pasal 74 ayat (2) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Pasal 74 ayat (3) menentukan, bagi perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan ayat ini menyebutkan yang dimaksud dengan dikenai sanksi seasuai
dengan ketentuan peraturan perundangan adalah dikenai segala bentuk sanksi
yang diatur dalam peraturan perundangan yang terkait.
Pengaturan tentang di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas sangat umum dan tidak operasional. Pengaturan
operasionalnya diletakkan pada peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Sehubungan dengan hal ini Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, ketentuan lebih lanjut
mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Terhadap ketentuan ini, Sutan Remy Sjahdeini (Sjahdeini,2007:65-66)
memberikan catatan sebagai berikut:
1. CSR oleh UUPT telah ditetapkan sebagai kewajiban hukum bukan sebagai
kewajiban moral yang pelaksanaannya bersifat sukarela;
2. CSR hanya diberlakukan terbatas pada perseroan yang menjalankan
usahanya di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya
alam;
3. Apabila perseroan tersebut tidak melaksanakan CSR dikenakan sanksi;
4. Pendanaan untuk kegiatan CSR itu dapat dianggarkan dan pengeluarannya
dapat diperhitungkan sebagai biaya perseroan.
Menurut Pradjoto (2007) pertautan kedua undang-undang tersebut dianggap
membuat dunia usaha menjerit oleh daya saing, biaya ekonomi tinggi dan
segala masalah lain seperti reformasi birokrasi dan penguatan kelembagaan

hukum yang belum mendapat perhatian seksama. Berdasarkan uraian diatas,


peneliti akan mengkaji secara yuridis kewajiban melaksanak CSR bagi
perseroan terbatas menurut undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang lain
yang berlaku di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Dari beberapa hal yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengapa kewajiban melaksanakan CSR dikenakan bagi perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan
sumber daya alam?
2. Bagaimana pengawasan dan sangsi bila ada perseroan terbatas yang
kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya
alam tidak melaksanakan kewajiban CSR atau tanggung jawab sosial dan
lingkungan?

C. Batasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada kajian hukum tentang
kewajiban melaksanakan CSR bagi perseroan yang menjalankan usahanya
dibidang dan/atau bekaitan dengan sumber daya alam dan bagaimana
pengawasannya serta sangsi bila perseroan tersebut tidak melaksanakannya.

Ketentuan pasal 74 (ayat 1) undang-undang no 40 tahun 2007


menyebutkan bahwa perseroan menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan /
atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan. Selanjutnya ketentuan dalam pasal 74 (ayat 3) perseroan
yang tidak melaksanakankewajiban sebagaimana dimaksud (ayat 1) dikenai sangsi
sesuai dketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan kedua ayat dalam pasal tersebut diatas akan dikaji lebih
lanjut, karena sesungguhnya tidak ada perseroan yang tidak berkaitan dengan
sumber daya alam tergantung jenis usaha dan intensitasnya karena banyak
peraturan perundangan yang terkait dengan sumber daya alam yang berlaku
sebagai hukum positif di Indonesia.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan kajian yuridis terhadap kewajiban melaksanakan CSR
bagi perseroan terbatas menurut Undang-Undang No 40 tahun 2007 ini
berdasarkan penelusuran atas hasil penelitian belum pernah dilakukan pendekatan
masalah yang sama. Terdapat beberapa penelitian mengenai CSR yaitu:
1. Tesis di Universitas Atma Jaya Yogyakarta atas nama Valentinus
Ranom Boga yang berjudul Sinkronisasi Pengaturan Sosial
Responsibiliti dan Implementasinya di Perusahaan Pertambangan
Batubara (studi kasus di PT. Indominca Mandiri Bontang) tahun 2015
dengan rumusan masalah :

a. Bagaimana sinkronisasi peraturan hukum terkasit CSR di sektor


pertambangan?
b. Bagaimana Implementasi CSR di pertambangan PT. Indominica
Mandiri Bontang?
Dari pembahasan penelitian ini dikemukakan bahwa terdapat bebrapa
pengaturan mengenai CSR di sektor pertambangan namun keberagaman
pengaturan tersebut tidak ada perbedaan secara substansial, kecuali perbedan
redaksional. Pelaksanakan CSR di PT. Indominca Mandiri Bontang telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang CSR.
Implementasi CSR yang dilakukan oleh PT. Indominca Mandiri Bontang
sangat bermanfaat bagi masyarakat, memiliki dampak posistif berupa kesadaran
masyarakat terkait kesehatan, akses ekonomi makin terbuka, masyarakat lebih
menjadi melek huruf. Disamping itu juga memiliki dampak negatif yaitu CSR
belum mengarah pada pemberdayaan masyarakat serta berkurangnya penghargaan
mereka terhadap profesi petani yang mereka geluti selama ini yaitu sebagai petai
karet maupun petani Sawit. Mereka beranggapan bahwa seperti karyawan di
pertambangan PT. Indominica Mandiri Bontang terlebih karena sebagai karyawan
dipertambangan mempunyai penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penghasilan mereka sebagai petani karet atau petani sawit.
2.

Tesis di Universitas Sumatera Utara, atas nama Nilawaty berjudul

Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate Social Responsibility Antara

Indonesia Dengan Cina Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate


Governance di Indonesia, dengan rumusan masalah :
1) Bagaimanakah
Responsibility

perbandingan
antara

negara

pengaturan
Cina

dan

Corporate

Social

Indonesia

dalam

hambatan

dalam

mewujudkan Good Corporate Governance?


2) Faktor-faktor apa sajakah yang

menjadi

pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia dalam


upaya pemenuhan Good Corporate Governance untuk mewujudkan
sustainable development?
Penelitian tersebut menekankan bahwa Pertama, perbedaannya adalah
bahwa di Indonesia sifat Corporate Social Responsibility adalah wajib, lembaga
yang

melakukan

laporan

tahunan

perusahaan

untuk

Corporate

Social

Responsibility adalah Bursa Efek Indonesia, lembaga independennya belum ada


sanksinya belum ada, dan bidang perusahaan masih yang bergerak di bidang
pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan sifat Corporate Social Responsibility
di negara Cina adalah sukarela, lembaga yang melakukan laporan tahunan
perusahaan untuk Corporate Social Responsibility adalah Shenzen Stock
Exchange,

lembaga

independennya

adalah:

China

Corporate

Social

Responsibility, Guangdong, dan International Corporate Social Responsibility,


sanksinya adalah sanksi moral, bidang perusahaan bergerak pada semua bidang
perusahaan.
Kedua, Pengaturan Corporate Social Responsibility di Indonesia ternyata
belum didukung sepenuhnya dengan perangkat hukum sehingga mengalami

hambatan dalam pelaksanaannya antara lain; subyek yang diatur dalam UUPT
2007 masih bersifat terbatas yaitu hanya perusahaan yang mengelola sumber daya
alam, belum jelas adanya pengaturan mengenai perhitungan anggaran sebagai
biaya perseroan yang memperhatikan aspek kepatutan dan kewajaran, sanksi yang
belum dijelaskan secara rinci melainkan diserahkan pada ketentuan perundangundangan. Peraturan Pemerintah yang janjikan dalam UUPT 2007 untuk mengatur
lebih lanjut tentang Corporate Social Responsibility baru diterbitkan oleh
pemerintah pada tahun 2012 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Namun perlu
diketahui bahwa Peraturan Pemerintah tersebut tidak mengatur secara detail hanya
mengatur hal-hal yang substansial, yang berisi 9 pasal saja. Sebagai peraturan
tertulis yang berfungsi melaksanakan undang undang Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 tersebut memiliki banyak kelemahan/ kekurangan.

E. Manfaat dan Tujuan Penelitian


1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan dan pemahaman tentang ilmu hukum khususnya hukum
yang mengatur kewajiban pelaksanaan CSR di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a) Perseroan Terbatas dan Masyarakat
Bagi Perseroan Terbatas dan Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat untuk pemahaman mengenai kewajiban dan

hak-haknya berkaitan dengan CSR oleh Perseroan Terbatas berdasarkan


peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pemerintah khususnya untuk penyempurnaan undang-undang dan
regulasi yang berkaitan dengan CSR untuk kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi Perseroan Terbatas dan masyarakat di
Indonesia.
Adapun tujuan yang diharapkan dan akan dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.

Untuk mengkaji dan mengetahui tentang

kewajiban melaksanakan

corporate social responsibility bagi perseroan terbatas mengapa hanya


untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang / atau
sumber daya alam
2.

Untuk mengkaji dan mengetahui pengawasan dan sanksi bila ada


perseroan terbatas yang kegiatan usahanya di bidang dan / atau
berkegiatan dengan sumber daya alam tidak melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan.

F. Landasan Teori
1. Kewajiban
Dalam ilmu hukum pengertian kewajiban yang sesungguhnya
adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum. Misalnya

kewajiban seseorang untuk membayar pajak dari adanya ketentuan undangundang. hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam
melaksanakannya, sedang kewajiban merupakan pembatasan dan beban
sehingga menonjol dalam segi aktif dalam hubungan hukum itu, yaitu hak
(Mertokusumo,2005:42). Selanjutnya menurut Sudikno Mertokusumo, hak
dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan peraturan atau kaidah,
melainkan merupakan pertimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individu
disatu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Kalau ada hak
maka ada kewajiban. Hak dan kewajiban ini merupakan kewenangan kepada
seseorang oleh hukum. Kewajiban dikelompokkan sebagai berikut (Satjipto
Raharjo 2006 : 60):
1) Kewajiban yang mutlak dan nisbi
2) Kewajiban publik dan pernyataan
3) Kewajiban yang positif dan yang negatif
4) Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus
5) Kewajiban primer dan kewajiban yang memberi sanksi.
Kewajiban melaksanakan CSR

atau tanggung jawab sosial dan

lingkungan perusahaan oleh perseroan yang berusaha di bidang dan / atau


berkaitan dengan sumber daya alam termasuk kategori kewajiban publik karena
berkaitan dengan hak publik yaitu masalah kesejahteraan.

2. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)


Definisi dari Corporate Social Responsibility (CSR) itu sendiri telah
dikemukakan oleh banyak pakar. Di antaranya adalah definisi yang dikemukakan
oleh Magnan & Ferrel (2004) yang mendefinisikan CSR sebagai a business acts

in socially responsible manner when its decision and account for and balance
diverse stakeholder interest. Definisi ini menekankan kepada perlunya
memberikan

perhatian

secara

seimbang

terhadap

kepentingan

berbagai

stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil
oleh para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.
Sedangkan Komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada
galibnya bagaimana perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi
terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih
(Susanto,2007:21).
Sedangkan Elkington (1997) mengemukakan bahwa sebuah perusahaan
yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada
peningkatan kualitas perusahaan (profit); masyarakat, khususnya komunitas
sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet bumi) (Susanto,2007:22).
Menurut definisi yang dikemukakan oleh The Jakarta Consulting Group,
tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar
(eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada
pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Seperti diketahui,
pemegang saham telah menginvestasikan sumber daya yang dimilikinya guna
mendukung berbagai aktivitas operasional perusahaan, dan oleh karenanya
mereka akan mengharapkan profitabilitas yang optimal serta pertumbuhan
perusahaan sehingga kesejahteraan mereka di masa depan juga akan mengalami
peningkatan. Oleh karenanya perusahaan harus berjuang keras agar memperoleh
laba yang optimal dalam jangka panjang serta senantiasa mencari peluang bagi

pertumbuhan di masa depan. Di samping kepada pemegang saham, tanggung


jawab sosial ke dalam ini juga diarahkan kepada karyawan, karena hanya dengan
kerja keras, kontribusi serta pengorbanan merekalah perusahaan dapat
menjalankan berbagai macam aktivitasnya serta meraih kesuksesan. Oleh
karenanya perusahaan dituntut untuk memberikan kompensasi yang adil serta
memberikan peluang pengembangan karir bagi karyawannya. Tentu saja
hubungan antara perusahaan dengan karyawan ini harus didasarkan pada prinsip
hubungan yang saling menguntungkan (mutually beneficial). Artinya perusahaan
harus memberikan kompensasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan,
namun di lain pihak karyawan pun dituntut untuk memberikan kontribusi yang
maksimal bagi kemajuan perusahaan (Susanto,2007:24).
Ke luar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan
sebagai

pembayar

pajak

dan

penyedia

lapangan

kerja,

meningkatkan

kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi


kepentingan generasi mendatang. Pajak diperoleh dari keuntungan yang diperoleh
perusahaan. Oleh karenanya perusahaan harus dikelola dengan sebaik-baiknya
sehingga mampu meraih laba yang maksimal. Demi kelancaran aktivitas
perusahaan dalam usaha mencapai tujuannya, perusahaan membutuhkan banyak
tenaga kerja. Seiring dengan tumbuh kembangnya perusahaan, kebutuhan akan
tenaga kerja ini akan mengalami peningkatan. Perusahaan berkewajiban untuk
ikut berpartisipasi menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Lapangan kerja
akan semakin banyak tersedia manakala perusahaan tumbuh dan berkembang.
Oleh karenanya perusahaan berkewajiban untuk selalu mencari peluang-peluang

baru bagi pertumbuhan, tentu saja dengan tetap mempertimbangkan faktor


keuntungan dan tingkat pengembalian finansial yang optimal. Perusahaan juga
memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, baik yang berkaitan dengan perusahaan
maupun yang tidak. Perusahaan juga bertanggung jawab untuk memelihara
kualitas lingkungan tempat mereka beroperasi demi peningkatan kualitas hidup
masyarakat dalam jangka panjang, baik untuk generasi saat ini maupun bagi
generasi penerus.
Rumusan atau definisi atau pengertian yang diberikan di atas
menunjukkan kepada masyarakat bahwa setidaknya ada tiga hal pokok yang
membentuk pemahaman atau konsep mengenai Corporate Social Responsibility.
Ketiga hal tersebut adalah:
a. bahwa sebagai suatu artificial person, perusahaan atau korporasi
tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak
dapat menyatakan bahwa mereka tidak memiliki tanggung jawab
terhadap keadaan ekonomi, lingkungan maupun sosialnya;
b. keberadaan

(eksistensi)

dan

keberlangsungan

(sustainability)

perusahaan atau korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh


stakeholdersnya

dan

bukan

hanya

shareholders-nya.

Para

stakeholders ini, terdiri dari shareholders, konsumen, pemasok, klien,


customer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan mereka
yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
perusahaan (the local community and society at large);

c. melaksanakan

Corporate

Social

Responsibility

berarti

juga

melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan atau


korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui
usaha yang dijalankan dan atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti
Corporate Social Responsibility adalah bagian terintegrasi dari
kegiatan usaha (business), sehingga Corporate Social Responsibility
berarti

juga

menjalankan

perusahaan

atau

korporasi

untuk

memperoleh keuntungan.(Widjaja dan Pratama,2008:9)


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Corporate Social Responsibility
sebagaimana halnya Corporate Citizenship, pada awalnya bukanlah suatu bentuk
tanggung jawab yang mempunyai akibat hukum yang memaksa. Jadi lebih
merupakan suatu moral obligation perusahaan terhadap:
a. keadaan ekonomi;
b. keadaan sosial; dan
c. keadaan lingkungan perusahaan yang terkait dengan kegiatan usaha
atau jalannya

perusahaan secara berkesinambungan. Hal ini

menunjukkan bahwa bentuk atau wujud pelaksanaan Corporate


Social Responsibility tidak selalu harus sama antara perusahaan yang
satu dengan yang lainnya (Widjaja dan Pratama,2008:10).
Perusahaan yang bergerak dalam bidang penambangan minyak harus
memiliki dana yang diperlukan untuk mencegah dan pada akhirnya untuk
merehabilitasi lingkungan yang tercemar sebagai akibat kegiatan yang dilakukan
olehnya, bahkan lebih jauh dari itu mereka harus memastikan bahwa semua

rekanan yang bekerja sama dengan mereka juga harus melakukan hal yang sama.
Selanjutnya bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan siap saji harus
memastikan bahwa pasokan yang diperoleh harus higienis, proses pengolahan
dengan mempergunakan alat-alat dan sarana-sarana yang ada ditujukan untuk
tetap menjaga tidak hanya higenitas tetapi juga kandungan gizi dan sebagainya
hingga proses pembuangan produk makanan yang memang sudah selayaknya
dibuang. Semua biaya yang terkait dengan proses tersebut adalah biaya yang
merupakan bagian dari pelaksanaan Corporate Social Responsibility dari
perusahaan-perusahaan

tersebut.

Kewajiban-kewajiban

ini

dalam

perkembangannya, kemudian ada yang berkembang menjadi aturan hukum yang


tegas dan wajib untuk dilaksanakan, manakala yang lainnya tetap bertahan sebagai
kewajiban moral.
Istilah CSR hanya diterapkan pada korporasi. Karena korporasi merupakan
institusi yang dominan di bumi ini di mana korporasi pasti berhadapan dengan
persoalan lingkungan dan sosial yang mempengaruhi kehidupan manusia.
World Bank Group menyebut CSR sebagai komitmen bisnis untuk
memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui
kerjasama dengan para karyawan serta perawkilan mereka, keluarga mereka,
komunitas setempat dan masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup
dengan cara-cara yang bermanfaat, baik bagi bisnis itu sendiri maupun untuk
pembangunan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa CSR adalah suatu
keharusan atau kewajiban. CSR itu sendiri bukanlah gimmick marketing,

melainkan bagian yang menyatu dengan misi dan nilai perusahaan (Etcheverry,
2005:498-499).
Menurut Soeharto Prawirokusumo, (2003:83) tangung jawab sosial adalah
sebuah konsep yang luas yang berhubungan dengan kewajiban perusahaan atau
organisasi dalam memaksimumkan impact positif terhadap masyarakatnya.
Tanggung jawab sosial para pelaku usaha dalam suatu perusahaan terdiri atas
empat dimensi tanggung jawab, yaitu; ekonomi, hukum, etika dan philanthropies.
Dari perspektif ekonomi, semua perusahaan harus bertanggung jawab kepada para
shareholder, karyawan dan masyarakat sekelilingnya dalam hal pendapatan
karyawan dan tersedianya pekerjaan. Kedua tanggung jawab tersebut di atas
merupakan tanggung jawab pokok perusahaan yang memperkokoh terjadinya
tanggung jawab etika dan kegiatan philanthropies.
CSR tidak sama dengan corporate philanthropies. Keduanya memiliki
perbedaan yang mendasar. Corporate philanthropies telah lama ekses seiring
dengan berkembangnya masyarakat. Landasan filosofis di balik corporate
philanthropies adalah aliansi antara untuk keuntungan dan bukan mencari
keuntungan, di mana modal dapat digunakan untuk keuntungan dari organisasi
yang tidak mencari keuntungan. Dengan demikian suatu korporasi dapat
mengaitkan dirinya pada corporate philanthropies dan tidak bertanggung jawab
sosial. Fakta menunjukkan bahwa, logika corporate philanthropies adalah salah
satu konsesi atau perasaan belas kasihan sedangkan CSR bersandar pada prinsip
kesamaan martabat dari semua yang terlibat dalam kegiatan perusahaan, dari
penyusunan tujuan-tujuan sampai dengan pemenuhan rencana entrepreneur.

Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa pemimpin bisnis selalu menyadari
bahwa untuk dapat menjamin kondisi kehidupan pekerja yang lebih baik, artinya
mendorong mereka untuk memiliki loyalitas dan identifikasi dengan tujuan-tujuan
perusahaan. Begitu juga perhatian yang sama berlaku bagi stakeholder lainnya,
seperti masyarakat di sekitar kegiatan perusahaan. (Srefana dan Schawallbenberg,
2006: 575-576).
Doktrin CSR yang diciptakan sebagai suatu etika atau moral dalam
perilaku perusahaan telah diterima ke dalam aturan hukum, undang-undang,
regulasi yang ada dalam Code-Code dan European System. Namun demikian,
istilah CSR memiliki makna yang berbeda dengan etika, moral, philanthropies
dan hukum.
CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-perilaku tertentu. CSR
muncul untuk meningkatkan image perusahaan di dalam masyarakat di mana
perusahaan itu menjalankan kegiatan usahanya. Ide untuk menjadikan kepedulian
sosial perusahaan sebagai unsur pemasaran. Perencanaan sosial harus selalu
masuk dalam rancana strategik perusahaan. Kegiatan sosial tersebut bukan suatu
biaya, tetapi merupakan suatu investasi.
Dilihat dari sudut pandang hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggung
jawab yang harus diajarkan dalam etika bisnis, yaitu tanggung jawab hukum
(legal responsibility) yang meliputi aspek perdata (civil liability) dan aspek pidana
(crime liability) dan aspek tanggung jawab sosial (social responsibility) yang
dibangun di atas landasan norma moral yang berlaku di dalam masyarakat.
Artinya, sekalipun suatu kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak

melanggar undang-undang atau peraturan, tetapi bisnis tersebut dilakukan dengan


melanggar moral masyarakat atau merugikan amsyarakat, maka bisnis tersebut
dianggap sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct) (Khairandy, 2009: 138).
Penerapan CSR oleh perusahaan berarti bahwa perusahaan bukan hanya
merupakan entitas bisnis yang hanya berusaha mencari keuntungan semata, tetapi
perusahaan itu merupakan satu kesatuan dengan keadaan ekonomi, sosial dan
lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Direksi dan pegawai perusahaan
seharusnya lebih menyadari pentingnya CSR karena CSR dapat memberikan
perlindungan hak asasi manusia bagi buruh dan perlindungan lingkungan bagi
masyarakat sekitar dan juga para pekerjanya. Kehadiran CSR dalam bisnis
perusahaan menjadi lebih jelas dengan adanya perkembangan globalisasi. Hal ini
dapat dilihat dari adanya:
a. Pengelolaan risiko;
b. Perlindungan dan meningkatkan reputasi dan image perusahaan;
c. Membangun kepercayaan dan license to operate bagi perusahaan;
d. Meningkatkan efisiensi sumber daya yang ada dan emningkatkan
akses terhadap modal;
e. Merespon atau mematuhi peraturan yang berlaku (Herman,2004:207).
f. Membina hubungan baik dengan stakeholder seperti pekerja,
konsumen, partner bisnis, investor yang mempunyai tanggung jawab
secara sosial, regulator dan komunitas di mana perusahaan itu
beroperasi;
g. Mendorong pemikiran yang inovatif;

h. Membangun kesempatan untuk mengikuti pasar masa depan.


Kebijakan CSR dapat memberikan nilai dalam rencana strategis kegiatan
perusahaan sehari-hari. Berdasarkan strategi ini yang mengintegrasikan praktikpraktik berusaha yang bertanggung jawab secara sosial, analisa keuntungan
perusahaan, return on investment (ROI) atau return on equity (ROE) sebagai
bottom line digantikan menjadi triple bottom line yang mencakup faktor ekonomi,
sosial dan lingkungan. Sebuah perusahaan yang mengabaikan persoalan sosial dan
ekonomi dalam kegiatan usahanya memang masih tetap dapat memperoleh
keuntungan pada saat ini, tetapi di kemudian hari perusahaan itu akan
memberikan dampak negatif kepada sosial dan lingkungan sehingga sulit bagi
perusahaan tersebut untuk mempertahankan eksistensinya. Hal ini akan
menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan pada masa depan.
Sony Keraf (Keraf dan Imam Haryono,1993: 97-98) membagi isi
tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam dua kategori, yakni:
a. Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah
dilakukan dengan perusahaan lain, memenuhi janji, membayar utang,
memberi pelayanan kepada konsumen dan pelanggan secara
memuaskan, bertanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa
kepada masyarakat dengan mutu yang baik, memperhatikan hak
karyawan, kesejahteraan karyawan dan keluarganya, meningkatkan
keterampilan dan pendidikan karyawan dan sebagainya.

b. Terhadap relasi sekunder, bertanggung jawab atas operasi dan dampak


bisnis terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah
sosial, seperti lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial dan pajak.
Berdasarkan isi tanggung jawab sosial tersebut, maka tanggung jawab para
pelaku usaha dalam bisnis adalah keterlibatan perusahaan mereka dalam
mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan sosial masyarakat, tanpa terlalu
menghiraukan untung ruginya dari segi ekonomis. Dengan demikian,menurut
Sony Keraf (Keraf dan Imam Haryono,1993:98) tanggung jawab sosial dapat
dirumuskan dalam dua wujud, yaitu:
a. Positif: melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan didasarkan pada
perhitungan untung rugi, melainkan didasarkan pada pertimbangan
demi kesejahteraan sosial
b. Negatif: tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari segi ekonomis
menguntungkan, tetapi dari segi sosial merugikan kepentingan dan
kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, dalam kerangka prinsip etika bisnis, dapat dikatakan
bahwa secara maksimum (positif) para pelaku usaha dituntut untuk aktif
mengupayakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat (prinsip berbuat baik),
paling kurang secara minimal (negatif) tidak melakukan tindakan yang merugikan
masyarakat (prinsip tidak berbuat jahat).
Sejauh pelaku usaha atau suatu bisnis arti segi ekonomi mampu
menjalankan tanggung jawab sosial dalam bentuknya yang positif, maka pelaku
usaha tersebut wajib untuk menjalankan tanggung jawab sosial yang positif.

Sejauh

kemampuan

finansialnya

memadai,

pelaku

suha

wajib

untuk

mengusahakan kesejahteraan karyawan dan keluarganya selain itu juga wajib


untuk memelihara lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang baik dalam
masyarakat itu. Namun, kalau situasinya tidak memungkinkan, maka minimal
pelaku usaha itu tidak melakukan kegiatan yang dari segi sosial tidak merugikan.
Tanggung jawab sosial tersebut juga selalu dikaitkan dengan kewajiban
perusahaan untuk memelihara lingkungan hidup. Hal ini perlu ada karena kegiatan
perusahaan terkadang juga berkaitan dengan lingkungan hidup. Salah satu yang
membuat masyarakat khawatir persoalan pencemaran lingkungan akibat kegiatan
perusahaan.
3.

Pengertian Perseroan Terbatas


Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas menentukan bahwa perseroan terbatas yang selanjutnya disebut


perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.
Perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang
dibuat dalam bahasa Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan orang di sini
adalah orang perseorangan atau badan hukum.
Dalam Undang-undang tentang perseroan ini berlaku prinsip bahwa pada
dasarnya sebagai badan hukum, perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian, dan
karena itu mempunyai lebih dari satu orang pemegang saham. Setiap pendiri
perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Apabila

setelah perseroan disahkan (oleh Menteri Kehakiman RI) kemudian jumlah


pemegang saham menjadi kurang dari dua orang (perseorangan/badan hukum),
maka dalam waktu enam bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham
yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain
(yang tidak merupakan kesatuan harta).
Pengertian orang lain di sini adalah yang tidak merupakan kesatuan
harta. Tentu saja dalam hal ini seorang istri dan suaminya tidak bisa dianggap
sebagai orang lain apabila pada saat melangsungkan perkawinannya mereka
tidak mempunyai atau tidak membuat perjanjian kawin, yang berarti bahwa
mereka tidak memiliki harta terpisah atau dengan kata lain merupakan kesatuan
harta (Widjaja, 2003:14).
Persyaratan atau ketentuan yang mewajibkan suatu perseroan didirikan
oleh dua orang atau lebih dan kewajiban untuk mengalihkan sebagian sahamnya
kepada orang lain, tidak berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha
Milik Negara yang mempunyai status dan karakteristik yang khusus, sehingga
persyaratan jumlah pendiri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri.
Bagaimana halnya apabila ternyata waktu enam bulan yang ditetapkan
tersebut terlampaui, dan pemegang sahamnya tetap kurang dari dua orang dan
belum mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain? Apabila belum,
pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi dan atas permohonan pihak
yang berkepentingan pengadilan negeri dapat membubarkan PT atau perseroan
tersebut.

Perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian


perseroan disahkan oleh Menteri Kehakiman RI. Dalam pembuatan Akta
Pendirian, pendiri dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa
(misalnya notaris).
Untuk memperoleh pengesahan, para pendiri bersama-sama atau kuasanya
(notaris atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa khusus)
mengajukan permohonan tertulis dengan melampirkan Akta Pendirian perseroan.
Pengesahan diberikan dalam waktu paling lama enam puluh hari setelah
permohonan diterima terhitung sejak permohonan yang diajukan dinyatakan telah
memenuhi syarat dan kelengkapan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan harus diberitahukan
kepada pemohon secara tertulis beserta alasannya dalam waktu paling lama enam
puluh hari setelah permohonan diterima.
Di sini terjadi perbedaan dengan ketentuan sebelumnya yang tidak
memberikan limitasi waktu. Juga kata pengesahan sebagai perubahan dari kata
persetujuan. Sedangkan kata persetujuan dalam Undang-Undang PT, dipakai
dalam hal adanya permohonan untuk melakukan perubahan atas Anggaran Dasar
Perseroan.
Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas secara tegas
menyatakan bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum. Rumusan ini
tentunya membawa konsekuensi bahwa sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas
memiliki karakteristik dan kemampuan bertindak sebagai layaknya suatu badan
hukum. Peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia yang berlaku

saat ini, meskipun cukup banyak yang menyebutkan atau mempergunakan istilah
badan hukum, namun tidak ada satupun juga memberikan pengertian atau definisi
badan hukum.
Pengertian dan definisi badan hukum lahir dari doktrin ilmu hukum, yang
dikembangkan oleh para ahli, berdasarkan pada kebutuhan praktek hukum dan
dunia usaha. Hal ini pada akhirnya melahirkan banyak teori tentang badan hukum
yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal dengan
sebutan rechtsperson, dan dalam kepustakaan Common Law seringkali disebut
dengan istilah-istilah legal entity, juristic person, atau artificial person.
Legal

Entity

dalam

Kamus

Hukum

Ekonomi

(Erawati

dan

Badudu,1996:78) diartikan sebagai badan hukum yaitu badan atau organisasi


yang oleh hukum diperlakukan sebagai subyek hukum, yaitu pemegang hak dan
kewajiban. Sedangkan juristic person, dalam Law Dictionary, karya PH Collin
(1991:150) disinonimkan dengan artificial person, yaitu body (such as company)
which is a person in the eye of the law. Sedangkan Black Campbell, (1990:123) Blacks
law Dictionary mendefinisikan artificial persons sebagai persons created and
devised by human laws for the purposes of society and government, as
distinguished from natural person Dan selanjutnya Black Campbell (1990:893894) legal entity adalah an entity, other than natural person, who has sufficient
existence in legal contemplation that it can function legally, be sued or sue and
make decisions through agents as in the case of corporation.

Dari pengertian yang diberikan tersebut di atas ada satu hal menarik yang
dapat dikemukakan, yaitu bahwa badan hukum merupakan penyandang hak dan
kewajibannya sendiri, yang memiliki suatu status yang dipersamakan dengan
orang perorangan sebagai subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang
hak dan kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberadaannya
sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya
melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum.
Keberadaan Perseroan sebagai suatu badan hukum diakui dengan tegas
dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dengan
syarat bahwa status badan hukum Perseroan baru diperoleh setelah Akta Pendirian
Perseroan disahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM. Pengesahan Akta
Pendirian ini, yang merupakan saat berubahnya status Perseroan menjadi badan
hukum membawa konsekuensi bahwa pemegang saham perseroan tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang
telah diambilnya.
Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai landasan teori adalah Teori
Negara Hukum dan Teori Negara Kesejahteraan serta teori keadilan. Ketiga teori
tersebut merupakan rangkaian teori yang tidak terpisahkan. Hal tersebut sesuai
dengan asas negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum
sebagaimana tersurat dalam filosofi bangsa Indonesia yang terkandung dalam sila
ke lima Pancasila dan alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

tentang tujuan negara Indonesia yakni kesejahteraan bagi seluruh rakyat


Indonesia. Kesejahteraan rakyat akan diwujudkan apabila rakyat memperoleh
keadilan. Dalam falsafat hukum, hukum bertujuan untuk mendapatkan keadilan
yang berujung pada kesejahteraan.

4. Teori Hukum
a. Teori Negara Hukum
Pemikiran tentang negara hukum telah ada beberapa waktu sebelum
masehi (Plato dan Aristoteles), sedangkan istilah negara hukum penggunaannya
baru dimulai abad ke 19 sejalan pemikiran manusia untuk menghapus sistem
pemerintahan yang absolut.
Pengertian negara hukum menurut teori kedaulatan hukum mengatakan
bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum. Oleh karena itu
seluruh alat kelengkapan negara apapun namanya termasuk negara-negara harus
tunduk dan patuh pada hukum (Cipto Handoyo 2003 : 12).
Hal itu sesuai pendapat Hugo Krabbe sebagai seorang ahli yang
mempelajari aliran ini berpendapat bahwa negara seharusnya negara hukum (recht
staat) dan tindakan setiap negara harus didasarkan pada hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan pada hukum.
Konsepsi negara hukum yang demikian negara berperan sebagai pencipta
hukum dan penegak hukum dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban
hidup bersama dalam ikatan organisasi yang disebut negara. Kendati negara
adalah pencipta hukum ia juga harus tunduk pada hukum ciptaannya (Cipto
Handoyo 2003:14).

Hal itu sesuai pemahaman Immanuel Kant memahami negara sebagai


Nachtwaker Staat (negara penjaga malam) yang tugasnya menjamin ketertiban
dan keamanan masyarakat, urusan kesejahteraan didasarkan pada persaingan
bebas, dan menolak campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Pemahaman Emmanuel Kant tersebut memberikan inspirasi kepada FY
Stahl seorang sarjana dari Jerman dalam mengemukakan konsepsinya mengenai
negara hukum sebagai berikut:
Negara harus menjadi negara hukum itulah semboyan dan sebenarnya
juga menjadi daya pendorong perkembangan pada zaman baru ini Negara
harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas
kegiatannya sebagai mana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara
menurut hukum itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa
dapat ditebus.
Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari
negara, juga secara langsung tidak lebih jauh daripada seharusnya
menurut hukum (Notohamidjojo, 1967:24)
Lebih lanjut FY Stahl mengemukakan unsur-unsur negara hukum
(rechtsstaat) adalah:
a.
b.
c.
d.

Perlindungan hak asasi manusia


Pemisahan / pembagian kekuasaan
Pemerintah berdasarkan perundang-undangan
Peradilan administrasi (Ridwan, 2006:2)

Kalau di Eropa kontinental berkembang konsep negara hukum (rechtsstaat), di


Inggris berkembang konsep Negara hukum yang dinamakan rule of law dari AV
Dicey yang mengatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law mencakup:
a. Supermasi aturan-aturan hukum (Supermasi of the law) yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of arbitrary power)

dalam arti bahwa sesorang hanya boleh dihukum kalau melanggar


hukum
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the
Law) dalil ini berlaku baik orang biasa maupun pejabat
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (di negara
lain

oleh

undang-undang

dasar)

serta

keputusan

pengadilan

(Budihardjo, 1982:57)
Dalam sistem konstitusi negara Indonesia, cita negara hukum merupakan
bagian

tak

terpisahkan

dari

perkembangan

gagasan

kenegaraan

sejak

kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ide negara hukum ditegaskan dalam penjelasan


Undang-undang dasar 1945 bahwa negara Indonesia menganut ide rechtsstaat
bukan machtsstaat. Baru setelah amandemen ke 4 UUD 1945 dalam pasal 1
ayat (3) disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
b. Teori Negara Kesejahteraan
Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) merupakan antitesis dari teori
negara hukum klasik atau negara penjaga malam (Nachtwaker staat) yang tumbuh
dan berkembang di abad 18 hingga pertengahan abad ke 19. Praktek dalam negara
hukum klasik bahwa idealisme dan individualisme ternyata telah menimbulkan
kepincangan sosial. Yang menjadi dasar hanya menguntungkan golongan ekonomi
kuat dan sangat merugikan mereka yang lemah secara ekonomis.
Menurut R Kranenburg pencetus teori Welfare State (Limbong, 2001:78)
mengatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan

seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu namun seluruh rakyat. Dari


pendapat tersebut dapat dipastikan bahwa teori negara kesejahteraan diilhami oleh
pemikir Jeremy Bentham tentang prinsip Utilitarianisme bahwa pemerintah
memiliki tanggung jawab untuk kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak-banyaknya (The greatest good of the greatest number).
Hal itu sesuai pendapat S.F Marbun dan Machfud MD (2000:45) bahwa
dalam negara Welfare State pemerintah dituntut untuk aktif turut serta dalam
kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.
Pemerintah wajib memberikan perlindungan politik, sosial dan ekonomi pada
seluruh masyarakat, sehingga kesewenang-wenangan dari golongan kaya mampu
dicegah oleh pemerintah .
Berkaitan dengan pendapat tersebut Jimmly Assidique (1994) menyatakan
bahwa Konsep negara kesejahteraan sebagai perubahan konsep negara hukum
klasik dijelaskan bahwa dalam negara kesejahteraan negara dituntut memperluas
kepada masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan
inilah yang memberikan legalisasi bagi intervensionis abad ke 20 negara justru
perlu dan bahkan harus intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi
untuk menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Adapun ciri atau persyaratan negara kesejahteraan disebutkan oleh Miriam
Budihardjo (1977:38) yaitu perlindungan konstitusional dalam arti bahwa selain
menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedur untuk
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu:
1. Badan Kehakiman yang bebas (Independent and Tinpertial Tribunals)

2. Kebebasan untuk menyatakan pendapat


3. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
4. Pendidikan kewarganegaraan
Negara republik Indonesia sesuai alinea ke empat pembukaan UUD 1945
dan sila kelima Pancasila sebagai dasar falsafah negara termasuk negara hukum
modern atau negara kesejahteraan (Welfare State). Pada tipe negara kesejahteraan
pemerintah negara Indonesia mempunyai tugas yang lebih luas yaitu
penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurs zorg).
c. Teori Keadilan
Pengertian keadilan menurut Mochtar Kusumaatmadja (Kusumaatmadja
dan Sidarta, 2009:52) bahwa keadilan adalah suatu yang sukar didefinisikan,
tetapi bisa dirasakan dan merupakan unsur yang tidak bisa tidak harus ada dan
tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang
menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat.
Menurut Sudikno Mertokusumo (Mertokusumo, 2003:77-78) hakikat
keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan yang
mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subjektif melebihi
norma-norma lain.Tentang isi keadilan sulit diberikan batasannya.
Aristoteles, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang sesuatu yang
menjadi haknya (unicuique suum tribuere) dan tidak merugikan orang lain
(Neminem Laedere). Emmanuel Kant merumuskan keadilan dengan honeste
vivere,neminem laedere,suum quique tribuere/tribuendi (hiduplah dengan
jujur,jangan merugikan orang lain,berikan kepada orang lain yang menjadi
haknya). (Masyhur Effendi, 1994:59). Kemudian Aristoteles membedakan ada

dua macam keadilan yaitu keadilan distributif (distributive justice) dan keadilan
komutatif (commutative justice). Kendala distributif menuntut bahwa setiap orang
mendapat apa yang menjadi hak atas jatahnya secara proporsional sedang keadilan
komutatif adalah keadilan yang menuntut kesamaan, setiap orang diperlakukan
sama tanpa memandang kedudukannya.
G. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative (Normative Law
Research), yaitu penelitian yang menggunakan kepustakaan sebagai bahan utama
(Mertokusumo,2007:27).

Penelitian

hukum

normative

dilakukan

dengan

menggunakan hukum baik primer, sekunder dan tersier.


Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagai hukum positif dan hukum sekunder berupa buku literatur, makalah, jurnal
hukum, yang berisi pendapat para ahli hukum dan bahan hukum tersier yang
berupa informasi yang melengkapi bahan penelitian.
1. Pendekatan
Menurut Peter Machmud Marzuki (2005:133) di dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Pendekatan Undang-undang
Pendekatan kasus
Pendekatan historis
Pendekatan komparatif
Pendekatan konseptual.

Dalam rangka mendapatkan jawaban atas masalah-masalah (isu hukum) yang


telah dirumuskan, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statutory approach) yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan


regulasi, pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah (historis). Berpedoman
pada pendapat Peter Machmud Marzuki bahwa pendekatan undang-undang
dilakukan untuk menelaah dan mengkaji semua perundang-undangan dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kewajiban tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan. Selain itu pendekatan konseptual dilakukan untuk
mengkaji semua pendapat dan ajaran para sarjana hukum yang berhubungan
dengan kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan
perusahaan sehingga diharapkan dengan menggunakan pendekatan konseptual ini
dapat memberikan jawaban termasuk masalah yang dihadapi. Pendekatan sejarah
(historis) dilakukan dengan menelaah dan mengkaji perundang-undangan dan
regulasi masa lalu sampai sekarang sehingga akan diketahui maksud dan
kehendak para pembentuk undang-undang dan regulasi tersebut.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif,
yaitu bahan hukum yang memiliki otoritas, jadi mutlak harus digunakan
dalam penelitian ini.
Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusanputusan hukum (Marzuki, 2005:181)
Dalam penelitian ini, bahan hukum primer tersebut meliputi:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIV tentang kesejahteraan sosial,


pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
pasal 1 angka 3, pasal 66 dan pasal 74 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4)
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
pasal 15 huruf b
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen khususnya mengenai hak-hak konsumen
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
khususnya mengenai hak-hak manusia untuk mendapatkan lingkungan
yang sehat
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan khususnya
mengenai pemanfaatan hutan yang bertujuan untuk memperoleh
manfaat

yang

optimal

bagi

kesejahteraan

masyarakat

secara

berkeadilan dan tetap menjaga kelestariannya.


7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
khususnya mengenai pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan
lingkungan dan masyarakat.
8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
khususnya mengenai perlindungan pengupahan dan kesejahteraan
karyawan, penggunaan tenaga kerja anak-anak dan hak-hak tenaga
kerja wanita.
9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara karena CSR juga berlaku bagi perseroan yang merupakan
BUMN

10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


khusunya mengenai penglolaan sumber daya air
11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara khususnya mengenai pengendalian kegiatan usaha,
amdal, reklamasi kegiatan pasca tambang dan pemberdayaan
masyarakat
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup khususnya mengenai pelestarian fungsi lingkungan
hidup, pelestarian daya tampung lingkungan hidup, perizinan usaha,
kewajiban melakukan amdal, RKL dan RPL dan tanggung jawab
perusahaan terhadap pencemaran lingkungan.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
14. Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER.No 05/MBU/2007 tentang
Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan.
15. Peraturan perundang-undangan yang lain yang berkaitan dengan
penelitian.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku
literatur, makalah, artikel, jurnal hukum yang berisi hasil penelitian dan
karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang
terdiri dari:
1. Kamus umum bahasa Indonesia

2. Kamus Inggris-Indonesia
3. Kamus hukum
4. Ensiklopedia
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
dokumen yaitu mengkaji, menelaah, dan mempelajari bahan-bahan hukum yang
ada kaitannya dengan penelitian ini.
4. Metode Analisa Data
Metode Analisa Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan secara
deskriptif dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data yang diperoleh dari penelitian, diklasifikasikan sesuai dengan
masalah-masalah dalam penelitian
b. Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan
c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan
dasar dalam mengambil keputusan.

Anda mungkin juga menyukai