Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

MATA KULIAH MORFOLOGI DAN ANATOMI BENIH


“IDENTIFIKASI TINGKAT KEMASAKAN BENIH TANAMAN
HORTIKULTURA, PERKEBUNAN, DAN PANGAN”

oleh
1) Gusti Ayu Veren Eda Wulandari A41222842
2) Muhammad Rizal Yusvian A41222792
3) Ocha Putri Nindyandaru A41222182
4) Wendy Tri Prayoga A41221990
5) Yuliariska A41222039

Dosen Pengampu:
Ir. Sri Rahayu, MP.
Moch Rosyadi Adnan, S.Si., M.Si.
Leli Kurniasari, SP, M.Si.
Teknisi:
Rina Sofiana, S.ST
Yuliatiningsih, S.ST

PROGRAM STUDI TEKNIK PRODUKSI BENIH


JURUSAN PRODUKSI PERTANIAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2023
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu kemampuan adaptasi dari varietas melon, jagung dan kakao yang
perlu untuk diteliti adalah viabilitas polen yang erat kaitannya terhadap kemampuan
pembentukan biji. Viabilitas polen merupakan parameter penting, karena polen harus
hidup dan mampu berkecambah setelah penyerbukan agar terjadi pembuahan.
Ketersediaan polen dengan viabilitas yang tinggi merupakan salah satu komponen
yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman.
Viabilitas polen berkaitan dengan potensi daya hidup polen untuk melakukan
fertilisasi sel telur dalam proses reproduksi tanaman untuk dapat melihat viabilitas
polen dapat menggunakan beberapa metode yang salah satu diantaranya yaitu
mengecambahkan polen secara in vitro. Oleh karena itu dilakukan praktikum uji
viabilitas polen.
Polen (serbuksari) merupakan spora mikroskopik pada tanaman berbiji yang
biasa muncul sebagai serbuk (tepung). Polen berukuran kecil serta memiliki bentuk
dan struktur yang bervariasi. Pembentukan polen yaitu berasak dari dalam stamen
tanaman, dan ditransfer ke putik dengan berbagai cara dimana akan terjadi
pembuahan. Kandungan protein polen bervariasi antara 8 -40%, selain itu polen
mengandung sedikit kerbohidrat, lemak dan mineral sehingga sangat dibutuhkan oleh
ratu lebah untuk menghasilkan telur.
Keberhasilan metode persilangan sangat dipengaruhi salah satunya oleh jumlah
dan kualitas serbuk sari (polen) dari tetua pejantan. Karakater tetua jantan yang baik
digunakan dalam persilangan harus dapat menghasilkan jumlah polen yang cukup
banyak, viabel dan dapat berkecambah. Polen yang ada harus mampu menghantarkan
inti sperma ke kandung lembaga (kantong embrio) setelah terjadinya penyerbukan.

1.2 Tujuan
Mengetahui kemampuan polen untuk berkecambah, presentase perkecambahan
pollen dan mengetahui tingkat kemasakan pollen dengan presentase
perkecambahannya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jagung


Jagung (Zea mays L) adalah salah satu tanaman pangan penghasil karbohidrat
yang terpenting di dunia, selain gandum dan padi. Bagi penduduk Amerika Tengah
dan Selatan, bulir jagung adalah pangan pokok, sebagaimana bagi sebagian
penduduk Afrika dan beberapa daerah di Indonesia.
Menurut Pratama (2015), sistematika tanaman jagung adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledone

Bangsa : Graminae

Suku : Graminaceae

Spesies : Zea mays L.


Jagung merupakan tanaman semusim (annual) yaitu tanaman yang dapat
menyelesaikan satu daur hidupnya dalam waktu 80-150 hari tergantung kultivar dan
saat tanam, maka munculah istilah “seumur jagung” yang menunjukkan bahwa usia
jagung hanya mencapai sekitar 3 sampai 5 bulan. Paruh pertama dari daur hidup
jagung merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua daur hidup jagung
untuk tahap reproduktif.
Pada satu tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang
letaknya terpisah. Bunga jantan terletak pada bagian ujung tanaman, sedangkan
bunga betina pada sepanjang pertengahan batang jagung dan berada pada salah satu
ketiak daun. Bunga jantan yang terbungkus ini di dalamnya terdapat benang sari,
sedangkan bunga betina dilindungi oleh suatu carpel yang memanjang atau tangkai
putik, yang kemudian berbentuk benang yang biasa disebut rambut (AAK, 1993).
Tanaman jagung bersifat protandry, yaitu bunga jantan matang lebih dulu 1-2 hari
daripada bunga betina, sehingga penyebukan tanaman jagung bersifat menyerbuk
silang (cross pollination) (Rukmana, 1997).
2.2 Tanaman Melon
Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman merambat dengan sistem
perakaran tunggang dan cabang akar menyebar ke segala arah sampai kedalaman 15
– 30 cm (Samadi, 2007). Batang melon berwarna hijau, berbentuk segilima, berbuku-
buku dan panjangnya 1,5 – 3 m. Daun berbentuk bundar bersudut lima dan letak satu
daun dengan berselang-seling (Rukmana, 1994). Bunga melon berbentuk lonceng
berwarna kuning cerah dan berkelopak sebanyak 5. Buah melon berbentuk bulat dan
lonjong, berwarna putih, hijau dan kuning dengan menghasilkan benih 500 – 600
benih (Nuryanto, 2007).
Menurut Soedarya (2010) Tanaman melon merupakan tanaman biji berkeping
dua dengan klasifikasinya sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida 5

Ordo : Violales

Famili : Cucurbitaceae

Genus : Cucumis

Spesies : Cucumis melo L.


Bunga melon berbentuk lonceng, berwaena kuning dan kebanyakan
uniseksual-monoesius. Oleh sebab itu, dalam penyerbukannya perlu bantuan
organisme lain. Bunga jantan melon berbentuk berkelompok 3-5 buah, terdapat pada
pangkal tangkai daun hanya terdiri dari mahkota bunga dan benang sari serta tidak
memiliki bakal buah. Jumlah bunga jantan relatif lebih banyak daripada bunga
betina. Bunga jantan memiliki tangkai yang tipis dan panjang, akan rontok dalam 1-2
hari setelah mekar. Bunga betina umunyamuncul dari pertumbuhan tunas lateral pada
ketiak daun dari batang utama, terdiri dari putik dan bakal buah. Tangkai bunga
betina pendek bulat dan agak tebal, bunga betina akan mekar pada pagi hari dan
gugur dalam waktu 2-3 hari bila gagal disebuki (Tjhajadi, 2000).
2.3 Tanaman Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman perkebunan, Secara umum
tanaman kakao dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu Forastero, Criollo, dan
Trinitario yang merupakan hasil persilangan antara Forastero dengan Criollo (Surti,
2012). Semua tanaman kakao dalam keadaan aslinya adalah pohon-pohon yang
terdapat pada hutan tropis, masalah kelembaban dan temperatur agak menonjol
pengaruhnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pohon kakao memerlukan
tempat-tempat yang lembab dan panas. Hampir setiap perkebunan kakao diusahakan
di daerah-daerah dataran rendah. Di Indonesia, perkebunan kakao terletak di dataran
rendah atau lereng-lereng gunung dengan ketinggian 500 m dpl (Waluyo, 2010).
Menurut Samudra (2005) Klasifikasi tanaman kakao adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Malvales

Family : Sterculiaceae

Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.


Kakao dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Hal yang terpenting adalah
lapisan tanah harus dalam, sehingga dapat memberi kesempatan pertumbuhan akar
dengan bebas, dan kandungan bahan organik yang cukup. Artinya tidak kekurangan
air dan tidak pula terendam air untuk waktu lebih dari 24 jam. Perbedaan dalam
pertumbuhan semata-mata akibat pengaruh curah hujan dan kesuburan tanah atau
kadar humus dari tanah (Waluyo, 2010).
Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang
dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut
semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan
bunga (Lukito, 2010). Bunga kakao akan terbentuk sepanjang tahun, jika
pertumbuhannya bagus dapat menghasilkan 6.000 bunga, bahkan beberapa jenis
dapat mencapai 10.000 bunga. Bunga kakao berwarna putih agak kemerah-merahan
dan tidak berbau (Heddy, 1990).
2.4 Polen
Polen merupakan salah satu komponen yang berperan dalam penyerbukan.
Pengecambahan polen memerlukan media yang sesuai dengan polen yang akan
dikecambahkan. Salah satu metode pengecambahan adalah dengan cara
pengecambahan polen secara in vitro. Menurut Warid dan Palupi (2009) metode ini
tidak dapat digunakan secara umum karena setiap tanaman memerlukan media
perkecambahan polen yang berbeda, sehingga diperlukan komposisi dan konsentrasi
bahan kimia yang tepat. Media perkecambahan polen PGM dan BK (Brewbaker dan
Kwack) tidak menunjukkan adanya hasil yang berbeda pada daya berkecambah
famili Poaceae, Euphorbiaceae, Solanaceae dan Myrtaceae.
Salah satu cara untuk menjaga ketersediaan polen adalah dengan
penyimpanan, polen yang dikumpulkan dan disimpan dapat digunakan untuk
keperluan pemuliaan. Meskipun jumlah polen yang berperan dalam pembentukan
individu baru hanya sedikit, namun hal tersebut akan lebih efisien apabila dilakukan
pengumpulan polen dalam jumlah yang lebih besar untuk memastikan ketersediaan
polen dalam jangka waktu yang cukup lama. Sabran et al. (2012) menyatakan bahwa
penyerbukan pada bunga bergantung pada ketersediaan polen. Setelah penggunaan
apabila polen tidak habis dipakai dapat disimpan. Sari et al. (2010) menyatakan
bahwa lama simpan serbuk sari dapat ditingkatkan dengan mengendalikan faktor-
faktor yang mempengaruhi viabilitasnya. Salah satu faktor yang paling
mempengaruhi dalam viabilitas polen pada saat penyimpanan adalah suhu. Tidak
semua polen habis dipakai dalam 1 hari pada persilangan buatan, bergantung pada
jumlah bunga betina yang sudah siap untuk diserbuki, sehingga polen perlu disimpan
dan proses penyimpanan polen akan mempengaruhi viabilitasnya. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mempertahankan kapasitas perkecambahan polen
yang disimpan dapat bermanfaat untuk menghemat waktu dalam program pemuliaan
dan juga dalam perbaikan tanaman.
BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum "Perkecambahan Pollen" dilaksanakan pada hari Rabu, 4 Oktober
2023 pukul 13.00 – 15.00 WIB bertempat di Laboratorium TPB 2, Politeknik Negeri
Jember.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini meliputi tube, gunting, mikroskop,
object glass, pinset, cover glass atau dglass, dan counter. Adapun bahan yang
digunakan yaitu alkohol, larutan PGM, bunga melon, bunga jagung, bunga kakao,
dan tisu.

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Penyimpanan pollen
Berikut ini langkah – langkah dalam penyimpanan pollen, sebagai berikut:
1) Menyiapkan bunga melon, bunga jagung, dan bunga kakao.
2) Lakukan ektraksi berdasarkan dua faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu
disimpan dan tidak disimpan selama 1 minggu. Serta, faktor kedua yaitu anthesis
dan tidak antesis. Berdasarkan faktor perlakuan maka diperoleh empat
kombinasi perlakuan, sebagai berikut:
a. L0A1 = Tidak disimpan, Anthesis
b. L0A2 = Tidak disimpan, Tidak anthesis
c. L1A1 = Disimpan, Anthesis
d. L1A2 = Disimpan, Tidak anthesis
3) Ekstraksi bunga melon dan kakao dilakukan dengan cara membuka mahkota
bunga terlebih dahulu dan sisakan serbuk sari atau pollennya. Sedangkan
ekstraksi bunga jagung dengan cara bunga dirontokkan dahulu dengan dihentak
– hentakkan lalu digunting secukupnya. Setelah itu, buka mahkota bunga jagung
dan sisakan serbuk sari atau pollennya.
4) Simpan masing – masing pollen dari bunga melon, bunga jagung, dan bunga
kakao di dalam tube yang telah disediakan.
5) Masing – masing pollen perlakuan disimpan (L1) dimasukkan ke dalam
germinator selama seminggu.
3.3.2 Perkecambahan pollen
Berikut ini langkah – langkah dalam perkecambahan pollen, sebagai berikut:
1) Menyiapkan pollen yang sudah diberi perlakuan pada saat penyimpanan pollen.
2) Masing – masing perlakuan diulang sebanyak enam ulangan dan tiap – tiap
kombinasi perlakuan diulang sebanyak empat kali.
3) Menyiapkan object glass lalu semprot object glass menggunakan alkohol.
Setelah itu, keringkan menggunakan tisu.
4) Keringkan pollen di bawah lampu. Setelah kering, letakkan pollen secukupnya
diatas object glass dan pastikan letaknya tepat di bagian tengah object glass.
5) Tetesi pollen mengunakan larutan PGM sebanyak setetes. Kemudian, tutup
menggunakan cover glass atau dglass dan diamkan selama satu jam.
6) Amati pollen menggunakan mikroskop. Lalu hitung banyaknya pollen yang
viabel atau berkecambah dan banyaknya pollen yang diamati menggunakan
counter. Pollen dikatakan viabel asalkan pollen memiliki panjang tabung pollen
dua kali lipat dari pollen.
7) Catat hasil dan hitung viabilitas pollen. Serta, tuangkan dalam bentuk excel.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Hasil persentase viabilitas polen disajikan pada Tabel 4.1
Perlakuan
Komoditi Ulangan
L0A1 L0A2 L1A1 L1A2
U1 42,24% 4% 30,21% 15,72%
U2 31,58% 13,83% 27,55% 13,38%
U3 1,35% 2,35% 4,70% 1,45%
Jagung
U4 1% 0,63% 5,82% 4,33%
U5 8,98% 4% 5,78% 0,86%
U6 4,91% 2,35% 13,45% 0%
Rerata 15,01% 5% 16,35% 5,96%
U1 19,12% 34% 8,11% 10,19%
U2 35,27% 19,88% 7,92% 10,37%
U3 6,15% 1,71% 0,7%% 5,60%
Melon
U4 4,21% 4% 11,30% 0,53%
U5 0% 19,88 % 3,88% 4,50%
U6 4,31% 4% 1,52% 24%
Rerata 7,37% 3,24% 6,98% 11,37%
U1 0,51% 1,07% 0% 0%
U2 7,07% 3,84% 0% 0%
U3 0% 0% 0% 0%
Kakao
U4 0% 0% 0% 0%
U5 2,33% 0% 13,59% 18,91%
U6 0% 0% 8,63% 22,67%
Rerata 1,65% 0 3% 5%

4.2 Pembahasan
Pada praktikum rancangan acak perkecambahan polen ini menggunakan 3
komoditi tanaman yaitu jagung, melon, dan kakao dengan 2 faktor perlakuan yaitu
L0 tidak disimpan, L1 disimpan 1 minggu dengan tingkat kematangan bunga
anthesis/matang(A1) dan tidak anthesis/tidak matang (A2). Dengan parameter
pengamatan yaitu jumlah polen yang berkecambah, polen yang berkecambah
ditandai dengan terbentuknya tabung polen dan mempunyai panjang kecambah yang
sama dengan diameter polen. Sedangkan Polen yang tidak berkecambah merupakan
polen yang memiliki ukuran tetrad lebih besar dari ukuran tetrad normal di mana
polen yang tidak berkecambah tidak memiliki tabung sari.
Polen dinyatakan viable apabila mampu menunjukkan kemampun atau
fungsinya menghantarkan sperma ke kandung lembaga, setelah terjadinya
penyerbukan. Polen dapat kehilangan viabilitasnya pada suatu periode waktu
tertentu. Hilangnyaa viabilitas sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama
suhu dan kelembaban relative. Polen segar menunjukkan kemampuan berkecambah
85-90%.
Viabilitas polen didefinisikan sebagai kemampuan polen untuk hidup, dan
berkembang, dan berkecambah jika berada dalam kondisi yang menguntungkan.
Anita-Sari & Susilo (2011), menyatakan bahwa viabilitas polen dapat dihitung
dengan cara, jumlah polen berkecambah dibagi dengan total polen yang diamati
dikalikan 100%.
Dari hasil pengamatan respon perkecambahan polen pada komoditi jagung
yang mengalami perlakuan penyimpanan selama 1 minggu dan yang tidak
mengalami penyimpanan. Pada polen yang mengalami penyimpanan menunjukkan
respon perkecambahan yang berbeda nyata pada tingkat kematangan bunga. Bunga
yang anthesis memiliki respon perkecambahan sebesar 20,79% dibandingkan dengan
bunga yang tidak anthesis yang hanya memiliki respon perkecambahan sebesar 5%.
Sedangkan pada polen yang tidak mengalami penyimpanan juga menunjukan respon
perkecambahan yang berbeda pada tingkat kematangan bunga, pada bunga yang
anthesis memiliki respon perkecambahan sebesar 16,35% dan pada bunga yang tidak
anthesis hanya memiliki respon perkecambahan sebesar 5,96%. Artinya
penyimpanan tidak berpengaruh terhadap respon perkecambahan polen pada jagung.
Yang mempengaruhi respon perkecambahan serbuk sari pada jagung adalah tingkat
kematangan bunga (lancar dan belum terbuka).
Hasil pengamatan respon perkecambahan polen pada komoditi melon yang
mengalami perlakuan penyimpanan selama 1 minggu dan yang tidak mengalami
penyimpanan. Polen yang mengalami penyimpanan L0A1 memiliki respon
perkecambahan 7,37% sedangkan L0A2 memiliki respon perkecambahan 3.24%
yang berarti dimana proses penyimpanan 1 minggu dapat mempertahankan viabilitas
polen tetapi untuk respon perkecambahan polen dipengaruhi oleh tingkat kematangan
polen (anthesis dan tidak anthesis). Sedangkan pada polen yang tidak mengalami
perlakuan penyimpanan L1A1 memiliki respon perkecambahan 6,98% dan pada
L1A2 memiliki respon perkecambahan lebih tinggi yaitu 11,37% hal ini bisa
dipengaruhi karena polen pada melon yang tidak anthesis (belum melepaskan serbuk
sari) dapat memiliki respon perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan yang
sudah anthesis (sudah melepaskan serbuk sari) karena beberapa alasan seperti kondisi
kematangan, kelembaban, kondisi lingkungan.
Hasil pengamatan respon perkecambahan polen pada komoditi kakao yang
mengalami perlakuan penyimpanan selama 1 minggu dan yang tidak mengalami
penyimpanan. Polen yang mengalami penyimpanan L0A1 memiliki respon
perkecambahan 1,65% sedangkan L0A2 memiliki respon perkecambahan 0%.
Perlakuan penyimpanan polen kakao dapat menghasilkan respon perkecambahan
yang sedikit bisa disebabkan oleh penanganan yang tidak benar, kelembaban dan
suhu penyimpanan yang tidak tepat. Polen kakao cenderung sensitif karena dapat
menyebabkan penyerapan kelembaban oleh butir polen sehingga kehilangan
viabilitasnya. serta tingkat kematangan polen juga berpengaruh pada tingkat respon
perkecambahan polen. Sedangkan pada polen yang tidak mengalami perlakuan
penyimpanan L1A1 memiliki respon perkecambahan 3% dan L1A2 memiliki respon
perkecambahan 5% dimana menunjukan respon perkecambahan lebih tinggi terjadi
di polen yang tidak anthesis hal ini bisa di sebabkan oleh kondisi kematangan polen
yang belum anthesis masih dalam kondisi matang secara genetik, tetapi belum terlalu
kering hal ini bisa membuat mereka lebih mampu untuk menghasilkan tabung polen
yang kuat saat tumbuh. Serta kondisi optimal, polen yang tidak mengalami proses
penyimpanan masih dalam kondisi optimal untuk perkecambahan, mereka belum
terkena stres penyimpanan yang dapat merusak viabilitasnya.
Polen merupakan jaringan hidup yang dapat mengalami kemunduran dan
kematian. Daya hidup polen berbeda pada setiap spesies, dari beberapa jam, beberapa
bulan, hingga beberapa tahun. Lama simpan polen dapat ditingkatkan dengan
mengendalikan faktorfaktor yang mempengaruhi viabilitasnya. Faktor ini mencakup
cahaya, suhu, udara, dan kelembaban (Rahmawati, 2013). Viabilitas polen
merupakan parameter penting, karena polen harus hidup dan mampu berkecambah
setelah penyerbukan agar terjadi pembuahan. Ketersediaan polen dengan viabilitas
yang tinggi merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan
persilangan tanaman.
Kualitas dan kuantitas biji pada buah ditentukan oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah kuantitas polen viabel yang berhasil membuahi ovule. Menurut
Widiastuti dan Palupi (2008), jumlah buah yang tinggi dapat dicapai jika pada saat
bunga betina mekar, terdapat polen yang viabel dalam jumlah cukup, sehingga semua
bunga dapat diserbuki. Di samping itu viabilitas polen juga dapat mempengaruhi
viabilitas benih yang dihasilkan. Polen dengan viabilitas tinggi akan lebih dahulu
membuahi sel telur, serta menghasilkan buah bermutu baik dan benih berviabilitas
tinggi.
PENUTUP

1.5 Kesimpulan
Dari kegiatan praktikum yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pollen yang
telah disimpan selama 7 hari memiliki kualitas pollen yang bagus dibandingkan
polen yang tidak disimpan. Ini dapat terlihat dari data hasil pengamatan yang
menunjukkan rata-rata polen yang disimpan lebih besar dibandingkan yang tidak
disimpan. Sedangkan pollen yang antesis memiliki kualitas yang lebih bagus
dibandingkan yang tidak antesis karena pada polen yang antesis pollen tersebut sudah
siap untuk berkecambah.

Pada saat pengamatan dilakukan perhitungan pollen,menghitung jumlah


seluruh polen dan juga menghitung jumlah pollen yang viabel. Pollen viabel
menunjukkan ciri-ciri tabung yang memiliki panjang 2x lipat dari pollen tersebut.
Pollen yang viabel menunjukkan bahwa pollen tersebut siap untuk membuahi bakal
biji.

Proses penyimpanan pollen memiliki pengaruh terhadap kualitas pollen itu


sendiri,jika pada saat penyimpanan pollen lembab maka pollen tersebut akan rusak
atau kualitasnya sudah berkurang.

2.5 Saran
Praktikum telah dilaksanakan dengan baik, dan beralan lancar. Hanya perlu
mengelolah waktu pengerjaan agar lebih efesien.
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Yogyakarta : Kanisius. 140 Hal.
Ashari. S. 1998. Pengantar Biologi Reproduksi Tanaman. Rineka Cipta
Jakarta. Him. 42-63.
Lukito, 2010. Budidaya Kakao. Pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia. Jakarta.
298 ha.
Nuryanto, H . 2007. Budidaya Melon. Azka Press, Jakarta.
Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Yogyakarta : Kanisius. 84 hlm.
Rukmana, R. 1994. Melon Hibrida.Kanisius. Jogjakarta. 71 hal
Sabran, M. dkk. 2012. Inovasi Teknologi Membangun Ketahanan Pangan dan
Kesejahteraan Petani. IAARD Press. Jakarta.
Samadi, B. 2007. Melon: Usaha Tani dan Penanganan Pasca Panen. Yogyakarta:
Kanisius.
Samudra, U. 2005. Bertanam Coklat. PT Musa Perkasa Utama. 42 hal.
Soedarya, A.P. 2010. Agribisnis Melon. CV Pustaka Grafika. Bandung. 160 hal.
Surti. 2012. Jenis Tanaman Kakao. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tjahjadi, N. 2000. Bertanam Melon. Kanisius. Jogjakarta. 48 hal.
Waluyo, K. 2010. Budidaya Coklat. Epsilon Grup. Buahbatu. Bandung. 50 hal.
Warid. Palupi ER. 2009. Korelasi metode pengecambahan in vitro dan pewarnaan
dalam pengujian viabilitas polen. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai