Anda di halaman 1dari 5

MENGGAGAS PERAN UNIVERSITAS

DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAN BUDAYA


DEMI KEMASLAHATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT BANGSA

Soetandyo Wignjosoebroto
Gurubesar Emeritus pada Universitas Airlangga

Ada dua ihwal utama yang harus dibicarakan dan dijelaskan dahulu sebelum apa yang
disebutkan dalam tersebut di atas didiskusikan. Yang pertama, apakah universitas itu, dan apa
pula perannya dalam kehidupan dan peradaban manusia. Yang kedua ialah, apakah yang
disebut budaya bangsa itu, ialah budaya yang harus dikembangkan demi kelanjutan eksistensi
manusia sebangsa di permukaan bumi ini.

Universitas : Sejarah Perkembangannya


Apakah universitas itu? Universitas adalah suatu institusi dalam kehidupan manusia,
yang dikenali sebagai pusat aktivitas pencarian dan penemuan pengetahuan tentang berbagai
keniscayaan faktual dan kausal yang berlakunya secara total akan tersimak sebagai tertib alam
semesta. Tertib alam semesta inilah yang di dalam bahasa asing disebut universal order atau
universum. Tetapi kata ‘universitas’ ini sebenarnya tidak berasal dari kata ‘universum’ itu,
melainkan pertama-tama menurut riwayatnya berasal dari kata istilah Latin ‘universitas magistro-
rum et scholarium’, yang berterjemah ‘komunitas para guru dan para ilmuwan’.

Bagaimana riwayat perkembangannya? Dalam catatan sejarah, institusi tempat berhim-


punnya para magistrorum -- yang sekaligus juga dikenali sebagai scholarium – sebenarnya
sudah beriwayat lama. Tetapi, sebagai institusi modern, apa yang disebut universitas ini baru
dikenal pada dan tumbuhkembang sejak sekitar abad 14, bersejaman dengan mulai terjadinya
pergeseran paradigma dalam cara berpikir para pemikir dan para pencari kebenaran.
Paradigma falsafati yang baru ini percaya bahwa pengetahuan yang benar itu hanya dapat
diperoleh melalui usaha manusia yang berpancaindra tetapi juga yang berpenalaran.
Paradigma seperti ini menanggalkan dan meninggalkan paradigma sebelumnya yang meyakini
bahwa kebenaran hanya ada dalam khazanah pengetahuan Tuhan, dan hanya bisa menjadi
bagian daripengetahuan manusia manakala telah diturunkan dari “langit” dan dikabarkan lewat
para rasul dan nabi.

Menurut para penganut paradigma ilmiah yang baru ini, yang kelak dinamakan ‘para
saintis’, pengetahuan yang benar tentang universum ini sesungguhnya tidaklah berada dalam
kitab-kitab yang tersimpan di biara-biara para pendeta, melainkan tergelar di tengah alam
indrawi yang bisa didimak nyata secara langsung. Alam yang tergelar adalah wahyu fenomenal
yang dapat disimak langsung bersaranakan indra manusia, yang kemudian dapat disimpulkan
oleh nalar manusia, yang pada akhirnya akan menghasilkan pengetahuan yang dinyatakan
masuk akal dan dapat diterima akal, yang oleh sebab itu boleh dikualifikasi sebagai
pengetahuan yang benar.

Sir Isaac Newton (1643-1727) adalah representasi seorang scholarium yang bekerja
dengan “membuka mata” untuk melihat alam yang tergelar, untuk kemudian “membuka akal
pikiran” dengan sikapnya yang skeptik, yang bernaluri selalu ingin tahu dan selalu ingin
bertanya dan mempertanyakan: Mengapa? Apa betul begitu? Mana buktinya? Tatkala
Newton melihat sebuah apel masak jatuh dari batang pohon, pikiran rasionalnya yang skeptic
menyeruak ke depan untuk bertanya : mengapa jatuh ke tanah dan tidak jatuh ke langit. Apa
gerangan yang menyebabkan? Kalau apel yang lepas dari ranting jatuh ke bumi, mengapa
bulan tidak jatuh ke bumi? Mengapa?

Rangkaian pertanyaan berawalan kata ‘mengapa’ -- yang seolah hendak mencabar


keyakinan-keyakinan lama yang irasional -- inilah yang kemudian menjadi ciri khas kepribadian
kaum scholarium yang banyak di antaranya menyatu untuk membentuk komunitas universitas,
dan sekalian bertindak sebagai magistrotum untuk mengajarkan buah gagasannya ke murid-
murid pewarisnya. Tak pelak lagi, universitas lalu berkembang sebagai pusat pencarian (search,
research) pengetahuan baru, bersaranakan penginderaan dan penalaran yang mandiri. Kerja
penginderaan menghasilkan ‘pemerian’ (diskripsi) tentang ‘apa’, sedangkan kerja penalaran
akan menghasilkan ‘penjelasan tentang apa yang boleh dipastikan akan menyebabkan apa’
(eksplanasi). Di sini hasil penginderaan dinalar kebenarannya secara induktif, dan sebaliknya
hasil penalaran akan diuji dengan hasil penginderaan secara deduktif.

Demikian itu kisah lahir dan berkembangnya universitas-universitas di negeri-negeri


Eropa kawasan Katolik Barat, pertama-tama sebagai pusat riset untuk mengungkap misteri
alam semesta, (nota bene alam semesta yang secara indrawi tertampak kisruh dan acak, namun
yang melalui penalaran manusia yang rasional dapat dijelaskan sebagai suatu tertib kausal yang
berkeniscayaan tinggi dan yang oleh sebab itu dapat diprediksi). Pada tahap berikutnya,
temuan-temuan mengenai berbagai pengetahuan tentang keniscayaan yang dapat diprediksi
ini, yang acap disebut teori atau dalil ini, akan memberikan kuasa kepada para praktisi untuk
mengontrol variabel sebab guna menghasilkan variabel akibat.

Di sini, dengan sekali langkah, ilmu pengetahuan (science > sains) yang ditemukan
melalui pencarian (search and research) telah bisa menjadi teknon > teknologi. Apabila
“researcher/pencari” (yang di Indonesia secara salah kaprah sering disebut ‘peneliti’) telah
berhasil menemukan pengetahuan tentang ‘apa’ yang menyebabkan ‘apa’, maka dengan
mengontrol dan/atau memanipulasi ‘apa yang tersebut pertama’ orang akan dapat
memprediksi yang akan terjadi dengan ‘apa yang tersebut kedua’, dan kemudian daripada itu
juga akan punya kuasa untuk mengontrolnya guna tujuan-tujuan yang produktif. Benarlah apa
yang dikatakan orang Perancis, savoir est prévoir, et prévoir est pouvoir (= siapa yang mengetahui
akan bisa memprediksi dan siapa yang bisa memprediksi akan punya kuasa untuk mengontrol).
Universitas, Sains dan Teknologi
Sesungguhnya peran para scholaria (bentuk jamak dari scholarium) itu bukan pertama-
tama sebagai pendayaguna sains hasil temuannya. Mereka bukan teknolog, terlebih-lebih lagi
mereka bukanlah manusia-manusia yang sejak awalnya memang berkepribadian manusia
pencinta dan pemuas kebutuhan duniawi. Menilik sejarahnya, para scholaria ini boleh dibilang
tergolong penerus para biarawan yang hidup di biara-biara (berasal dari bahasa Sanskerta
vihara atau yang disebut monastery dalam bahasa Inggris, yang pada gilirannya berasal dari
istilah kuno monastērion), yang bekerja untuk mengajarkan moral dan filsafat hidup yang
bersumber pada ajaran Tuhan. Hanya saja, manakala para biarawan ini umumnya tinggal
menetap di biara-biara, para scholaria ini semula hidup berkelana untuk melalukan kerja
risetnya dan mengajarkan temuan-temuannya kepada para peminat. Baru kemudian mereka
menetap di perkampungan yang sampaikini terkenal dengan sebutan ‘kampus’.

Sebagai guru yang mendakwahkan ilmu, ada perbedaan menegnai konten yang diajrkan
di biara dan apa yang diajarkan di kampus. Para biarawan mengajarkan ilmu yang berhakikat
sebagai moral dan kearifan untuk tuntunan hidup sebagaimana yang bersumber pada ajaran
Tuhan yang diturunkan lewat para rasulNya. Sementara itu para scholaria mengajarkan
temuan-temuannya tentang rahasia alam semesta dan seterusnya juga tentang bagaimana
techne untuk mengontrol dan memanipilasinya untuk kepentingan kemanusiaan. Apabila para
biarawan mencari dalam renungannya untuk menemukan ‘apa yang baik (etis) dan apa yang
indah (estetis)’ dan kemudian mengajarkannya, para scholaria et magistroria bekerja dengan
segenap indra dan akal pikirannya untuk menemukan ‘apa yang sebetulnya terjadi (diskripsi)
dan apa yang sebetulnya merupakan sebab yang akan menyebabkan terjadinya akibat
(eksplanasi)’ dengan paparn dan penjelasan yang betul-betul masuk akal (logis).

Berbeda paradgma dalam cara berpikir dan bekerja, pada masa-masa yang lalu di
negeri-negeri asalnya, biara dan kampus tidak selamanya bisa bersinergi, bahkan acapkali saling
mencurigai dan menuduh untuk berebut pengaruh pada anak-anak generasi muda. Budaya
manusia terbelah seperti hendak saling mematikan laiknya. Ilmu pengetahuan (sains) yang
mendedikasikan diri untuk mengembangkan kebutuhan ragawi dan duniawi dengan segala
daya ciptanya pada akhirnya tak hanya menyandingi melainkan juga kian membandingi dan
menandingi ilmu (humaniora) yang mendedikasikan diri untuk memenuhi kebutuhan rohani
dan akhirati umat dengan segala daya karsa dan rasanya.

Selewatnya masa renesans, temuan-temuan universitas – khususnya di bidang fisika dan


kimia -- kian bernilai teknologik dan kian bernilai produktif dengan hasil-hasil yang banyak
didayagunakan oleh para penguasa negara. Semua itu berlangsung seiring dengan tumbuh-
kembangnya negara-negara nasional di Eropa Barat yang pada waktu itu tengah berlomba
meningkatkan kekuatan finasial, industrial dan militernya. Tak pelak lagi, sejak saat itu banyak
universitas di’’kooptasi’ dan dihidupi oleh penguasa negara dan para scholaria beserta murid-
muridnya yang magang kian lama kian terkesan hanya siap bekerja untuk kepentingan negara
dan yterkadang bahkan untuk kepentingan para raja penguasa secarapribadi.
Keseimbangan antara kebebasan ilmiah dan komitmennya sebagai pengabdi pada
kepentingan penguasa nasional memang menjadi persoalan yang pelik sejak lama. Sebagai
pengkaji ia ingin bekerja bebas, sebagai pencari kebenaran yang tak punya majikan dan tidak
menjadi majikan. Namun, ironinya, sebagai manusia gajian ia harus melayani apa yang diminta
oleh para penguasa yang menghidupinya. Etika profesi dan etika ilmiah benar-benar diuji di
sini, sesuatu isyu yang sebenarnya pada mulanya tidak banyak menjadi pemikiran di kalangan
para pekerja sains. Baru kemudian, ketika persoalannya menjadi kian kritis, kesadaran untuk
mempersenyawakan disiplin ajaran biara yang serba etis dan disiplin kerja universitas yang
serba logis, tatkala harus menghadapi kekuasaan para elit politik dan elite industri, segera saja
menjadi kenyataan. Tanpa etika, ilmu pengetahuan akan menjadi monster; dan di lain pihak,
etika tanpa bantuan ilmu pengetahuan hanya akan bagaikan “malaikat tak bersayap”.

Universitas di Negeri Berkembang


Universitas adalah suatu institusi Eropa yang dikenal di negeri-negeri berkembang,
semisal Indonesia, berkat perkenalannya dengan bangsa-bangsa Barat penjajahnya. Karena
tidak tumbuhkembang sebagai bagian dari budaya bangsa sendiri, maka bisa saja yang tertiru
hanya struktur dan seremoni formalnya sedangkan tradisi dan moralnya tak begiru saja bisa
diresapi sebagai bagian dari budaya sendiri. Sebenarnya bukan pula maksud para penguasa
kolonial itu untuk mentransplantasi universitas secara total sebagai universitas dalam arti
sebenarnya, ialah sebagai suatu komunitas scholarium dan magistrorum seperti yang dikenal di
Barat. Mengambil contoh Indonesia, yang ditransfer ke Indonesia sebenarnya pada waktu
yang lalu “hanyalah” sekolah-sekolah tinggi kejuruan (opleiding school) untuk memproduksi
lulusan-lulusan yang bisa dipekerjakan sebagai punggawa pemerintah kolonial.

Syahdan kalaupun kemudian pada masa pasca-kolonial bukan sekolah tinggi yang
diupayakan berdirinya, melainkan universitas, misi tanpa visi yang lama masih saja diteruskan.
Universitas didirikan, namun begitu pada kenyataannya yang disebut universitas itu cuma
merupakan himpunan fakultas yang masing-masing bekerja tak beda dengan kerja sekolah
tinggi, ialah untuk memproduksi lulusan-lulusan yang maunya di“link-and-match”kan dengan
dunia kerja. Di negeri berkembang yang dibangun di atas puing-puing kolonialisme, tidak
segera ditemui adanya usaha yang sistematis untuk membangun dan membina suatu generasi
scholaria yang juga bersedia berkomitmen sebagai magistroria. Yang acapkali terlihat justru
banyak berbiaknya apa yang pernah disindirkan pada ketika Daud Jusuf menjabat Menteri
Pendidikan, yaitu dosen-dosen asongan yang tak produktif, yang kurang gairah sebagai penemu
pengetahuan dan teori baru, tetapi sungguh bersemangat untuk bersaing memperebutkan
jabatan struktural atau jabatan di proyek-proyek.

Manakala memang dikehendaki tertingkatnya fungsi universitas, tidak hanya sebagai


kumpulan individu yang berperan sebagai penerus ajaran-ajaran orang lain dari generasi
terdahulu ke generasi berikutnya, semacam pelari estafet yang ingin segera menyelesaikan
tugasnya dengan cara menyerahkan tongkat kuno “yang itu-itu saja” dari pelari sebelumnya ke
pelari berikutnya. Secara serius haruslah disiapkan, kalaupun belum bisa dilaksanakan dengan
segera saat ini, sejumlah upaya yang diprioritaskan untuk membukakan peluang bagi anak-anak
muda untuk mengembangkan diri menjadi scholaria yang handal dalam soal keilmuan.
Kemudian daripada itu, amat pula diharapkan scholaria muda ini menjadi magistroria yang
mampu mendidik murid-muridnya untuk selalu tahu menjaga kepribadiannya yang mandiri, dan
selalu sadar akan harga diri dan martabatnya, dan tidak terjerumus terlalu jauh menjadi
oknum-oknum pengasong yang sedia menghamba untuk beroleh imbalan.

Tanpa diisi sepasukan scholaria dan magistroria yang berkualitas seperti yang
disebutkan di muka, tidaklah universitas-universitas di negeri ini akan mampu melaksanakan
perannya sebagai universitas dalam makna yang sesungguhnya. Tanpa hadirnya scholaria yang
berkeahlian dan beretika, dan alih-alih hanya diisi oleh PNS-PNS pemburu rente, tidaklah
universitas-universitas di negeri ini akan memenuhi perannya yang berjangka panjang sebagai
institusi yang menjanjikan kemaslahatan bagi masyarakat dan bangsa. Jalan mungkin masih
jauh, tetapi langkah pertama haruslah segera diambil.

oooo

Tidak cukup erbuka kesempatan untuk membangun sebarisan scholaria sebagai penemu

Anda mungkin juga menyukai