Menggagas Peran Universitas - Paperkop7
Menggagas Peran Universitas - Paperkop7
Soetandyo Wignjosoebroto
Gurubesar Emeritus pada Universitas Airlangga
Ada dua ihwal utama yang harus dibicarakan dan dijelaskan dahulu sebelum apa yang
disebutkan dalam tersebut di atas didiskusikan. Yang pertama, apakah universitas itu, dan apa
pula perannya dalam kehidupan dan peradaban manusia. Yang kedua ialah, apakah yang
disebut budaya bangsa itu, ialah budaya yang harus dikembangkan demi kelanjutan eksistensi
manusia sebangsa di permukaan bumi ini.
Menurut para penganut paradigma ilmiah yang baru ini, yang kelak dinamakan ‘para
saintis’, pengetahuan yang benar tentang universum ini sesungguhnya tidaklah berada dalam
kitab-kitab yang tersimpan di biara-biara para pendeta, melainkan tergelar di tengah alam
indrawi yang bisa didimak nyata secara langsung. Alam yang tergelar adalah wahyu fenomenal
yang dapat disimak langsung bersaranakan indra manusia, yang kemudian dapat disimpulkan
oleh nalar manusia, yang pada akhirnya akan menghasilkan pengetahuan yang dinyatakan
masuk akal dan dapat diterima akal, yang oleh sebab itu boleh dikualifikasi sebagai
pengetahuan yang benar.
Sir Isaac Newton (1643-1727) adalah representasi seorang scholarium yang bekerja
dengan “membuka mata” untuk melihat alam yang tergelar, untuk kemudian “membuka akal
pikiran” dengan sikapnya yang skeptik, yang bernaluri selalu ingin tahu dan selalu ingin
bertanya dan mempertanyakan: Mengapa? Apa betul begitu? Mana buktinya? Tatkala
Newton melihat sebuah apel masak jatuh dari batang pohon, pikiran rasionalnya yang skeptic
menyeruak ke depan untuk bertanya : mengapa jatuh ke tanah dan tidak jatuh ke langit. Apa
gerangan yang menyebabkan? Kalau apel yang lepas dari ranting jatuh ke bumi, mengapa
bulan tidak jatuh ke bumi? Mengapa?
Di sini, dengan sekali langkah, ilmu pengetahuan (science > sains) yang ditemukan
melalui pencarian (search and research) telah bisa menjadi teknon > teknologi. Apabila
“researcher/pencari” (yang di Indonesia secara salah kaprah sering disebut ‘peneliti’) telah
berhasil menemukan pengetahuan tentang ‘apa’ yang menyebabkan ‘apa’, maka dengan
mengontrol dan/atau memanipulasi ‘apa yang tersebut pertama’ orang akan dapat
memprediksi yang akan terjadi dengan ‘apa yang tersebut kedua’, dan kemudian daripada itu
juga akan punya kuasa untuk mengontrolnya guna tujuan-tujuan yang produktif. Benarlah apa
yang dikatakan orang Perancis, savoir est prévoir, et prévoir est pouvoir (= siapa yang mengetahui
akan bisa memprediksi dan siapa yang bisa memprediksi akan punya kuasa untuk mengontrol).
Universitas, Sains dan Teknologi
Sesungguhnya peran para scholaria (bentuk jamak dari scholarium) itu bukan pertama-
tama sebagai pendayaguna sains hasil temuannya. Mereka bukan teknolog, terlebih-lebih lagi
mereka bukanlah manusia-manusia yang sejak awalnya memang berkepribadian manusia
pencinta dan pemuas kebutuhan duniawi. Menilik sejarahnya, para scholaria ini boleh dibilang
tergolong penerus para biarawan yang hidup di biara-biara (berasal dari bahasa Sanskerta
vihara atau yang disebut monastery dalam bahasa Inggris, yang pada gilirannya berasal dari
istilah kuno monastērion), yang bekerja untuk mengajarkan moral dan filsafat hidup yang
bersumber pada ajaran Tuhan. Hanya saja, manakala para biarawan ini umumnya tinggal
menetap di biara-biara, para scholaria ini semula hidup berkelana untuk melalukan kerja
risetnya dan mengajarkan temuan-temuannya kepada para peminat. Baru kemudian mereka
menetap di perkampungan yang sampaikini terkenal dengan sebutan ‘kampus’.
Sebagai guru yang mendakwahkan ilmu, ada perbedaan menegnai konten yang diajrkan
di biara dan apa yang diajarkan di kampus. Para biarawan mengajarkan ilmu yang berhakikat
sebagai moral dan kearifan untuk tuntunan hidup sebagaimana yang bersumber pada ajaran
Tuhan yang diturunkan lewat para rasulNya. Sementara itu para scholaria mengajarkan
temuan-temuannya tentang rahasia alam semesta dan seterusnya juga tentang bagaimana
techne untuk mengontrol dan memanipilasinya untuk kepentingan kemanusiaan. Apabila para
biarawan mencari dalam renungannya untuk menemukan ‘apa yang baik (etis) dan apa yang
indah (estetis)’ dan kemudian mengajarkannya, para scholaria et magistroria bekerja dengan
segenap indra dan akal pikirannya untuk menemukan ‘apa yang sebetulnya terjadi (diskripsi)
dan apa yang sebetulnya merupakan sebab yang akan menyebabkan terjadinya akibat
(eksplanasi)’ dengan paparn dan penjelasan yang betul-betul masuk akal (logis).
Berbeda paradgma dalam cara berpikir dan bekerja, pada masa-masa yang lalu di
negeri-negeri asalnya, biara dan kampus tidak selamanya bisa bersinergi, bahkan acapkali saling
mencurigai dan menuduh untuk berebut pengaruh pada anak-anak generasi muda. Budaya
manusia terbelah seperti hendak saling mematikan laiknya. Ilmu pengetahuan (sains) yang
mendedikasikan diri untuk mengembangkan kebutuhan ragawi dan duniawi dengan segala
daya ciptanya pada akhirnya tak hanya menyandingi melainkan juga kian membandingi dan
menandingi ilmu (humaniora) yang mendedikasikan diri untuk memenuhi kebutuhan rohani
dan akhirati umat dengan segala daya karsa dan rasanya.
Syahdan kalaupun kemudian pada masa pasca-kolonial bukan sekolah tinggi yang
diupayakan berdirinya, melainkan universitas, misi tanpa visi yang lama masih saja diteruskan.
Universitas didirikan, namun begitu pada kenyataannya yang disebut universitas itu cuma
merupakan himpunan fakultas yang masing-masing bekerja tak beda dengan kerja sekolah
tinggi, ialah untuk memproduksi lulusan-lulusan yang maunya di“link-and-match”kan dengan
dunia kerja. Di negeri berkembang yang dibangun di atas puing-puing kolonialisme, tidak
segera ditemui adanya usaha yang sistematis untuk membangun dan membina suatu generasi
scholaria yang juga bersedia berkomitmen sebagai magistroria. Yang acapkali terlihat justru
banyak berbiaknya apa yang pernah disindirkan pada ketika Daud Jusuf menjabat Menteri
Pendidikan, yaitu dosen-dosen asongan yang tak produktif, yang kurang gairah sebagai penemu
pengetahuan dan teori baru, tetapi sungguh bersemangat untuk bersaing memperebutkan
jabatan struktural atau jabatan di proyek-proyek.
Tanpa diisi sepasukan scholaria dan magistroria yang berkualitas seperti yang
disebutkan di muka, tidaklah universitas-universitas di negeri ini akan mampu melaksanakan
perannya sebagai universitas dalam makna yang sesungguhnya. Tanpa hadirnya scholaria yang
berkeahlian dan beretika, dan alih-alih hanya diisi oleh PNS-PNS pemburu rente, tidaklah
universitas-universitas di negeri ini akan memenuhi perannya yang berjangka panjang sebagai
institusi yang menjanjikan kemaslahatan bagi masyarakat dan bangsa. Jalan mungkin masih
jauh, tetapi langkah pertama haruslah segera diambil.
oooo
Tidak cukup erbuka kesempatan untuk membangun sebarisan scholaria sebagai penemu