Anda di halaman 1dari 4

NILAI SPIRITUAL DALAM TRADISI MUDIK LEBARAN

OLEH: IMAM MUDDIN, S.Pd.I


(Guru SKI di MIN 2 Madiun)

Mudik merupakan salah satu tradisi yang ada di Indonesia yang memiliki keunikan
tersendiri. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mudik berasal dari kata udik yang
mengandung makna dusun, desa atau kampung. Selama ini kesan udik cenderung bermakna
kejumudan, kampungan atau ketertinggalan. Padahal dalam pengertian lebih luas, mudik
bermakna merengkuh kembali semangat kampung yang identik dengan kebersamaan, gotong
royong, kesetiakawanan untuk dibawa lagi bila para pemudik kembali ke komunitas di mana
mereka tinggal. Tradisi ini dimulai di setiap tahunnya di penghujung bulan Ramadhan.
Umumnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar akan kembali ke kampung halaman
masing-masing. Mereka yang telah merencanakan mudik, tentunya akan disibukkan dengan
berbagai persiapan. Sebuah tradisi yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia. Tradisi ini
seakan-akan menjadi sebuah ritual yang wajib dilakukan umat Islam di Indonesia.
Tradisi mudik menjadi tradisi tahunan yang selalu menarik untuk dibahas dan
diceritakan. Umumnya, orang memilih mudik sebelum Syawal, beberapa yang lain, memilih
setelahnya. Pada dasarnya, mudik merupakan istilah umum yang disematkan pada mereka
yang pulang kampung dan tidak terbatas pada periode waktu tertentu. Setiap orang yang
pulang kampung disebut mudik.
Di Indonesia, mudik menjadi sebuah daya tarik yang sangat kuat dalam sebuah ikatan
komunitas masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis yang berpulau-pulau dan
bersuku-suku. Primordialisme menjadi identitas yang begitu mengakar dan kuat. Siapapun
yang merantau pasti akan rindu untuk pulang kampung dan berkumpul kembali dengan
keluarganya. Mudik telah menjadi sebuah kearifan local dan kebutuhan psikologis. Di mana
timbul dorongan dan kerinduan untuk menapak tilasi tempat lahir, dan mengenang kembali
masa-masa yang lalu.
Terlepas dari banyaknya serba serbi tentang mudik di tiap tahunnya, mulai dari
persiapannya, kemacetannya, serbu tiket angkutan umum dan kendala lainnya, mudik
menyimpan makna yang besar dari aspek duniawi dan ukhrowi. Para pemudik tidak
menghiraukan lagi berbagai kesulitan yang dijumpai, bahkan mereka tetap menampakkan
raut kebahagiaan ketika sampai di kampung halamannya. Mereka bahagia bertemu dengan
orang tua, saudara-saudara, dan para tetangga seakan seperti acara reunian tiap tahunnya.

Fenomena mudik ini juga menunjukkan bahwa hubungan emosional masyarakat


dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh ruang dan waktu.
Tidak hanya umat Islam yang mempunyai tradisi berkumpul dengan keluarga besarnya.
Orang Tiongkok misalkan, berkumpul melalui Imlek. Mungkin juga terdapat tradisi serupa
yang dilakukan agama mau pun bangsa lain. Menarik untuk digali dan dipelajari.
Momen idul fitri menjadi momen yang menyenangkan, karena akan ada waktu panjang
untuk dapat digunakan bersilaturrahim dengan sanak saudara dan handai taulan. Semangat ini
sejalan dengan seruan Islam agar kita senantiasa menjalin hubungan silaturrahim.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat An-Nisa’ ayat 1:

‫َٰٓيَأُّيَه ا ٱلَّناُس ٱَّتُقو۟ا َر َّبُك ُم ٱَّلِذى َخ َلَق ُك م ِّم ن َّنْف ٍس َٰو ِح َد ٍة َو َخ َلَق ِم ْنَه ا َز ْو َجَه ا َو َبَّث ِم ْنُه َم ا ِر َج ااًل‬

‫َك ِثًريا َو ِنَس ٓاًءۚ َو ٱَّتُقو۟ا ٱلَّلَه ٱَّلِذى َتَس ٓاَءُلوَن ِبِهۦ َو ٱَأْلْر َح اَمۚ ِإَّن ٱلَّلَه َك اَن َعَلْيُك ْم َر ِقيًبا‬
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
Bahkan Nabi juga bersabda:
‫ِص‬ ‫ِقِه‬
‫ َفْلَي ْل َر َمِحُه‬،‫ َو ُيْنَس َأ َلُه يِف َأَثِرِه‬، ‫َمْن َأَح َّب َأْن ُيْبَس َط َلُه يِف ِر ْز‬
Artinya: Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan ingin dipanjangkan usianya, maka
hendaklah dia menyambung silaturrahim.
Dalam ayat dan hadis di atas, Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan agar manusia
senantiasa saling bersilaturrahim. Oleh karenanya, tradisi mudik ini hendaknya diniati untuk
bersilaturrahim dengan keluarga, saudara, sahabat, dan handai tolan agar mudik membawa
keberkahan kepada kita semua.
Selain itu, mudik dapat digunakan sebagai moment untuk saling bermaaf-maafan.
Disinilah perlunya mudik, meskipun jauh dan merepotkan tetapi di saat tertentu memang
harus dilakukan mengingat Allah tidak ikut campur pada dua anak adam yang saling
berseteru, artinya Allah tidak akan mengampuni dosa salah satu pihak selama keduanya tidak
saling memaafkan. Jika mudik dimaknai dalam konteks ini, maka mudik memiliki makna
yang baik, tidak sia-sia betapapun kita telah mengeluarkan tenaga dan biaya serta kerepotan-
kerepotan lainnya saat mudik. Inilah yang kita sebut “Idul Fitri”, yaitu kembali kepada
kesucian.
Namun demikian, ada sisi negatif mudik, di mana mudik seringkali menjadi ajang
pamer kesuksesan. Para pemudik biasanya sangat bangga jika mudik lebaran dapat
memperlihatkan kesuksesannya kepada masyarakat di kampungnya, misalnya sudah dapat
membeli kendaraan, seperti motor, mobil atau barang-barang berharga lainnya. Kebanggaan
didapat manakala masyarakat sudah mengakuinya bahwa yang bersangkutan sukses di
perantauan. Karena itu, himbauan-himbauan pemerintah agar para pemudik menggunakan
angkutan umum tidak menggunakan sepeda motor tidak dihiraukan. Para pemudik
menggunakan sepeda motor, di samping dianggap praktis dan nantinya diperlukan untuk
silaturrahim di kampung, juga sebagai ajang untuk memperlihatkan bahwa dirinya sudah
mampu membeli kendaraan bermotor. Mudik juga sering kali mendorong sikap
konsumerisme. Banyak pemudik yang membelanjakan uangnya dengan sangat mudah,
bahkan kadang-kadang untuk keperluan yang tidak mendesak. Ada yang menjadikan momen
mudik seolah-olah untuk euphoria membelanjakan uangnya setelah sekian lama merantau.
Hal-hal negative di atas itulah yang harus dikurangi bahkan dihilangkan agar tradisi
mudik yang telah mengakar ini menjadi lebih bermakna dan bernilai ibadah. Karena itu,
andaikan para pemudik tidak dapat menghindari membawa hasil jerih payahnya
diperantauan, baik berupa kendaraan ataupun harta kekayaan lainnya harus diniati dalam
hatinya sebagai mensyukuri ni‟mat (tahadduts bin ni‟mah) sebagaimana perintah Allah Swt,
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan” (Qs. Al-Dhuhȃ/93: 11.
Mudik akan memiliki makna religius dan akan memperkuat spiritualitas jika kita
melakukannya tidak sekedar rutinitas tahunan tetapi disertai niat untuk beribadah kepada
Allah Swt yaitu untuk bersilaturrahim, bermaaf-maafan sesama anak adam, menghindari
konsumerisme dan bermegah-megahan dengan harta. Bukannya Nabi juga pernah bersabda:
‫ِلِه َفِه ُت ِإىَل اِهلل‬ ‫ِهلل‬ ‫ِه‬ ‫ِل‬ ‫ِت‬
‫ َفَمْن َك اَنْت ْج َر ُتُه ِإىَل ا َو َرُسْو ْج َر ُه‬.‫ِإَمَّنا ْاَألْع َم اُل ِبالِّنَّيا َو ِإَمَّنا ُك ِّل اْم ِر ٍئ َم ا َنَو ى‬
‫َك اَن ِه ُت ِلُد ا ِص ا َأ ا َأٍة ْنِك ا َفِه ُت ِإىَل ا ا ِإَل ِه‬ ‫ِلِه‬
‫ َو َمْن ْت ْج َر ُه ْنَي ُي ْيُبَه ْو ْم َر َي ُحَه ْج َر ُه َم َه َج َر ْي‬، ‫َو َرُسْو‬
Artinya: Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.
Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang
hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah," (HR. Bukhari, Muslim,
dan empat imam Ahli Hadits).
Dalam hal nilai spiritual, mudik setidaknya mengingatkan kita akan keluhuran manusia
yang masih memiliki semangat asal. Karena melalui mudiklah, kita sebenarnya diingatkan
kembali pada awal kejadian kita, di mana untuk pertama kalinya kita melihat dunia.
Merenungi saat berada di kandungan ibu, yang kita tahu kandungan disebut pula sebagai
rahim. Tuhan pun diseru dengan sebutan ya rahim. Wahai yang memberikan kasih sayang.
Kasih sayang Tuhan mewujud pada kasih sayang (rahim) ibu. Dalam makna esensj yang
lebih luas, mudik seharusnya mendorong kita mewujudkan nilai-nilai transenden untuk
kemudian sedikit demi sedikit meluruhkan belenggu hedonisme-materialisme yang tercipta di
tengah peradaban modern. Nilai spiritual lainnya, mudik mengandung nilai spiritual yang
tinggi, yaitu saling berbagi.
Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang diridhai Nya dan memberikan keselamatan
serta kelancaran bagi para pemudik tahun ini dan menjadi ajang untuk menguatkan ukhuwah
Insaniyah, ukhuwah Islamiyah, dan ukhuwah wathoniyah.

Anda mungkin juga menyukai