Anda di halaman 1dari 3

Studi kasus dalam Etika Bisnis

Kasus 1 : Industri Kimia


Marc Jones, usia 42 tahun, sudah selama 15 tahun bekerja untuk Krimsons
Corporation, sebuah perusahaan yang memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Karena
dedikasinya kepada perusahaan selama itu selalu besar, Jones dipromosikan menjadi manajer
sebuah unit produksi yang penting.
Setelah tiga minggu bertugas, ia dipanggil oleh manajer kepala, Kevin Lombard,
Karena yang terakhir ini merasa kurang puas dengan prestasi Jones. Ia mengeluh, karena sejak
Jones mengambil alih tugas dari pendahulunya irama produksi di unitnya menurun dengan
cukup mencolok. Lombard menegaskan bahwa keadaan itu tidak bisa diterima. Jones diberi
pesan: ”Tingkatkanlah laju produksi,minimal sampai taraf sebelumnya”.
Jones tentu kaget karena teguran yang tidak disangka-sangka itu. Ia menyelidiki
masalahnya dan menemukan bahwa pendahulunya hanya dapat mencapai laju produksi
setinggi itu, karena ia tidak teliti dalam menerapkan aturan-aturan keamanan. Jones
menyadari bahwa dengan cara kerja itu pendahulunya mengambil resiko besar, baik untuk
karyawan perusahaan maupun untuk lingkungan hidup disekitar pabrik. Namun
pendahulunya itu mujur. Selama ia bertugas tidak terjadi kecelakaan yang berarti. Beberapa
peristiwa kecil dapat diatasinya sendiri, sehingga bisa disembunyikan untuk dunia luar.
Jones melaporkan hal itu kepada bosnya. Ia yakin, dengan demikian bertindak demi
kepentingan perusahaan. Betapa besar keheranan Jones, ketika mendengar jawaban
Lombard: “Saya tidak bisa memperhatikan detail-detail” dan “Bagaimanapun juga, Saudara
harus sanggup mempertahankan tingkat produksi sebelumnya”. Lagi pula, Lombard mulai
meragukan apakah Jones itu orang yang tepat untuk job baru tersebut. “Bukankah Saudara
terlalu melebih-lebihkan? Saudara bersikap pengecut dengan membayang-bayangkan
khayalan yang kurang realistis. Dulu tidak pernah ada masalah!”.
(Sumber: J.Verstraeten/ J.Van Gerwen, Business en Ethiek, Tielt (Belgium), Lannoo, 1990,
hlm.15.)

Kasus 2 : Perusahaan W.V.K.


PT W.V.K adalah perusahaan besar yang ingin mengganti sistem komputernya, karena
membutuhkan computer tipe baru yang lebih canggih. Mereke menghubungi PT CTA yang
dapat memasok computer yang dicari. Proses penggantian computer direncanakan akan
selesai dalam satu tahun. Apabila proses penggantian berlangsung lebih lama, PT W.V.K akan
mengalami kerugian cukup besar. Kepala bagian penjualan PT CTA meragukan perusahaannya
mampu memenuhi permohonan ini tepat waktu, karena computer yang dicari itu popular,
sehingga produsen belum tentu dapat memenuhi permintaan pada waktunya. Tahap
pertama dari pesanan pasti dapat ia penuhi, tetapi sesudahnya masih ragu. Di sisi lain ia
mengkhawatirkan order ratusan juta rupiah ini akan diberikan kepada perusahaan lain, bila ia
menyatakan keraguannya untuk memenuhi permintaan tepat waktu. Ia memilih untuk diam
saja.
(Sumber: J. R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, hlm 1)
Kasus 3 : Perusahaan Asbes
Perusahaan Amerika “Kansas Asbestos Company” bergerak di bidang produk asbes.
Ketika pada tahun 1970-an semakin banyak peraturan mempersulit produksi dan
mengakibatkan biaya produksi naik, direksi perusahaan memutuskan untuk memindahkan
semua pabriknya ke suatu negara Afrika Barat. Jika dihirup dalam kuantitas cukup besar, serat
asbes diketahui mengakibatkan penyakit asbestosis (dalam jangka pendek) dan jugakanker
paru (dalam jangka panjang). Di Afrika tidak ada peraturan yang melindungi pekerja terhadap
occupational diseases ini. Juga, dibanding dengan Amerika Serikat, tenaga kerja di Afrika jauh
lebih murah.

Kasus 4 : Kerahasiaan Bank


"Rahasia Bank" merupakan suatu prinsip etis yang umum dan hampir semua negara
mempunyai peraturan hukum yang mengatur kerahasiaan itu. Relasi antara nasabah dan
bank merupakan suatu relasi kepercayaan. Bank tentu tidak berlaku etis bila memberitahukan
kepada pihak lain tentang kekayaan yang oleh orang tertentu dititipkan kepadanya. Tetapi
kewajiban bank menjaga kerahasiaan tentu mengenal batas. Sebab, ada kepentingan lain lagi
yang harus diperhatikan kecuali nasabah saja. Karena itu banyak negara mempunyai
peraturan hukum yang memungkinkan dinas pajak, misalnya, untuk mengontrol apakah
nasabah bank membayar pajak dari depositonya.
Peraturan hukum tentang kerahasiaan bank di semua negara tidak sama. Ada negara
yang lebih lunak dan ada negara yang lebih ketat dalam melindungi kerahasiaan bank.
Beberapa negara kecil seperti Swiss dan Luxemburg cenderung lebih ketat dalam melindungi
rahasia nasabah di bank. Alasannya dapat dipahami. Sebagai negara kecil mereka tidak bisa
menarik banyak dana dari dalam negeri. Melindungi rahasia bank merupakan salah satu
upaya untuk menarik nasabah dari luar negeri. Tetapi cara ini ada bahaya bahwa rahasia bank
disalahgunakan. Dana yang diperoleh dengan cara kurang etis (para baron obat bius, para
penjabat kuruptor dari luar negeri) dengan demikian "aman" terhadap pelacakan dari luar.
Instansi nasional yang memerangi kriminalitasi tidak bisa masuk di situ, apalagi instansi luar
negeri. Sehingga pada kenyataannya sistem itu bisa menguntungkan para kriminal.

Kasus 5 : Live Aid


Nama penyanyi Irlandia-Inggris, Bob Geldof, melejit ke popularitas global ketika ia
berhasil menyelenggarakan konser amal raksasa, serentak di Stadion Wembley di London,
Inggris, dan di Stadion John F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 13 Juli 1985.
Konser amal yang diberi nama Live Aid ini bertujuan mengumpulkan dana untuk disalurkan
sebagai bantuan bagi korban kelaparan di Etiopia, Afrika. Banyak penyanyi kondang ikut serta
dan konser ini disiarkan melalui televisi ke seluruh pelosok dunia. Beberapa waktu kemudian
sebuah kaset rekaman Live Aid beredar, berisikan lagu-lagu yang dibawakan pada konser
tersebut. Kaset bajakan ini dibuat dari berbagai album yang sudah ada dan dijual di beberapa
negara Timur Tengah dan tempat lain. Ada yang mencantumkan made in Indonesia, ada yang
memakai pita cukai Indonesia, bahkan ada yang mencantumkan catatan bahwa hasil
keuntungan penjualan akan disumbangkan ke Etiopia. Diperkirakan kaset ini dibajak oleh
sekitar sepuluh perusahaan rekaman Indonesia. Bob Geldof dan artis-artis lain tentu marah
besar. Ia melontarkan kampanye protes dalam media massa sedunia yang menuduh
Indonesia tentang perilaku tidak etis. Secara hukum, Indonesia tidak bisa ditindak karena
pada saat itu belum menandatangani Konvensi Bern tentang hak cipta internasional dan di
dalam negeri belum memiliki undang-undang yang melarang pembajakan macam itu.
(Sumber: Tempo, 14 dan 21 Desember 1985)
Kasus 6 : Merek dagang Nike
Nike adalah merek dagang untuk pakaian, dan alat-alat olah raga yang diproduksi oleh
Nike International Ltd. yang berkedudukan di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat. Pada
tanggal 16 Desember 1986 Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan peninjauan kembali
terhadap putusan MA tahun sebelumnya, tanggal 24 Juli 1985. Dengan itu Nike International
Ltd. dinyatakan mempunyai hak tunggal untuk memakai merek dagang dan nama perniagaan
Nike dari Daftar Umum Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan nomor 141.589, yang sudah
terdaftar di situ sejak tahun 1980. Sebelumnya MA selalu memenangkan pengusaha
Indonesia dalam sengketa merek dengan pihak asing. Demikian juga pada 24 Juli 1985 PT.
Panarub, milik Lucas Sasmito, masih dimenangkan terhadap Nike International Ltd. Dengan
peninjauan kembali tersebut MA mengubahnya sikapnya. Konon, PT Panarub mulai
memproduksi sepatu olah raga Nike sejak tahun 1976, ketika merek Amerika belum dikenal
di Indonesia. Pada tahun 1980 ia menjadi pemilik merek dagang itu di Indonesia. Sepatu Nike
lokal dijual dengan kira-kira separo harga sepatu Nike Amerika. Karena merasa disaingi secara
curang, Nike International Ltd. pada tahun 1983 menggugat PT. Panarub di pengadilan. Pada
tingkat pertama pihaknya dimenangkan. Tetapi ketika perkara berlanjut ke tingkat kasasi,
pada tahun 1985, pihak Nike International Ltd. justru dikalahkan. Sebab, ketika gugatan itu
diajukan ke pengadilan pada tahun 1983, PT. Panarub telah resmi menjadi pemegang merek
itu, sejak haknya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara 1980. Sementara itu dalam
Undang-Undang Merek disebutkan bahwa segala keberatan terhadap merek bisa diajukan
dalam waktu 9 bulan setelah diumumkan. Alasan itulah pada tahun 1986 diralat oleh MA.
Sebab, Tambahan Lembaran Negara 1980 itu agar diketahui umum, menutur majelis baru
diterbitkan pada tahun 1985. Keterlambatan penerbitan itu, menurut majelis, tidak boleh
menyebabkan pihak yang beritikad buruk. Sebab, ternyata pada tahun 1982 PT. Panarub
pernah mengajak Nike International Ltd. bekerja sama. Ketika itu mereka sudah tahu siapa
pemilik merek yang asli.
(Sumber: Tempo, 21 Februari 1987)

Kasus 7 : Mengincar Pesangon


Ir. Abraham Maruli Sitomorang, 39 tahun usianya, sudah 12 tahun lamanya bekerja
sebagai kepala bagian teknis di sebuah pabrik sepatu di Jawa Barat. Saudaranya
merencanakan membuka pabrik sejenis di Medan dan mengajak Pak Abraham pindah kerja.
Ia ditawari menjadi direktur bagian teknis di pabrik itu. Pabrik akan beroprasi sesudah satu
setengah tahun lagi. Kalau sempat, ia bisa ikut juga dalam persiapan pabrik baru. Sesudah
menerima tawaran ini, Pak Abaraham dengan sengaja mengurangi disiplin kerja sampai suatu
tingkatan yang cukup mengkhawatirkan pimpinannya. Ia sering datang terlambat dan pulang
sebelum waktunya. Kadang-kadang ia sama sekali tidak masuk kerja tanpa memberitahukan
lebih dahulu. Ia juga tidak menyelesaikan tugas-tugasnya pada saat yang diharapkan. Dengan
kelakuan indisipliner ini Ir. Abraham berharap akan dipecat, supaya ia dapat menerima
pesangon yang cukup besar. Kecuali keluarganya, tidak ada yang tahu tentang rencananya
untuk pindah kerja.

Anda mungkin juga menyukai