Anda di halaman 1dari 4

ETIKA BISNIS

(Permasalahan Etika Bisnis di Indonesia dan Luar Negeri)

DOSEN PENGAJAR :
I Gusti Bagus Honor Satrya, Bbus Com., MIB

OLEH :
Qibtya Salma 1707521012

MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
1. Kasus 1: “Meeting of Minds” PT Garuda Indonesia
PT Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan Indonesia yang mulai
beroperasi pada 26 Januari 1949. Pada tahun 2020, maskapai penerbangan ini terkait
kasus yang tidak sesuai dengan etika bisnis, yaitu membuat persekongkolan dengan
pelaku usaha lain yang sejenis untuk meniadakan diskon, membuat keseragaman
diskon, serta kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah
di pasar. Kasus ini melanggar etika bisnis di Indonesia karena melanggar Pasal 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999 yang mencantumkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga. Tujuan
pembuatan undang-undang tersebut adalah untuk memberikan perlindungan yang
sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha
yang sehat, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia tersebut
tidak sesuai dengan etika bisnis di Indonesia.

2. Kasus 2: MCAS Boeing 737 max


Boeing adalah perusahaan manufaktur pesawat multinasional dari Amerika
yang dibangun pada tahun 1916 dan merupakan perusahaan manufaktur pesawat
komersil terbesar di dunia. Kasus permasalahan etika bisis Boeing diawali di bulan
November 2016 ketika dua Pilot Teknis Penerbangan Boeing 737 MAX, satu yang
saat itu adalah Kepala Pilot Teknis 737 MAX dan satu lagi yang kemudian menjadi
Kepala Pilot Teknis 737 MAX, menemukan informasi tentang perubahan penting
pada firut otomatisasi pesawat atau yang disebut dengan MCAS. Daripada berbagi
informasi tentang perubahan ini dengan FAA (Federal Aviation Administration),
kedua pilot tersebut menyembunyikan informasi ini dan menipu FAA tentang MCAS.
Akibatnya, manual pesawat dan materi pelatihan pilot untuk maskapai penerbangan
yang berbasis di AS tidak diinformasikan tentang MCAS dan merupakan penyebab
kecelakaan pesawat Boeing 737 Max milik Lion Air Penerbangan 610 pada 29
Oktober 2018. Semua 189 penumpang dan awak kabin di dalamnya tewas.
Sementara penyelidikan atas kecelakaan Lion Air berlanjut, dua Pilot Teknis
Penerbangan 737 MAX terus menyesatkan orang lain termasuk di Boeing dan FAA
tentang pengetahuan mereka sebelumnya mengenai perubahan MCAS. Kasus ini
merupakan pelanggaran etika bisnis di Amerika, bahkan di seluruh dunia dari segi
normatif, karena kedua pilot tersebut memaksimalkan kegunaan pesawat tanpa
menghiraukan perubahan pada MCAS sehingga mengakibatkan korban jiwa. Selain
itu, tindakan pilot untuk menyembunyikan perubahan pada MCAS merupakan
perbuatan yang melanggar standar FAA.

3. Kasus 3: Sogokan Uber Technologies Inc kepada kepolisian Indonesia


Pada tahun 2016, cabang Uber Technologies Inc di Indonesia mengalami
kasus pelanggaran etika yang terkait dengan lokasi bisnis. Diketahui karyawan
perusahaan ini telah menyogok atau menyuap salah seorang polisi lokal agar tetap
beroperasi di daerah yang sebenarnya diluar zona bisnis. Mengetahui hal tesebut
kepolisian langsung menindaklanjuti dengan menyelidiki siapa saja pihak yang harus
dihukum.
Setelah diselidiki, ternyata ditemukan bahwa CEO Uber Technologi Inc
Cabang Indosesia yang menjabat pada saat itu turut andil dalam pelanggaran karena
menyetujui laporan administrasi mengenai pengeluaran atas suap.
Sementara itu, pihak Pusat dari Uber Technologi Inc langsung meminta maaf
kepada Menteri Perbuhungan Indonesia serta mengambil tindakan dengan memecat
karyawan dan CEO tersebut sebagai konsekuensi telah melakukan pelanggaran etika
bisnis. Kasus ini merupakan pelanggaran etika bisnis di Indonesia karena melanggar
Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2001.

4. Kasus 4: Penimbunan masker saat pandemic Covid-19


Merebaknya wabah Covid-19 semenjak Desember 2019 yang pertama kali
ditemukan di Wuhan, China telah menimbulkan keresahan masyarakat di seluruh
dunia. Virus yang saat ini sudah tersebar ke 219 negara tersebut telah memakan
banyak korban jiwa dan memaksa hampir seluruh negara untuk ‘menutup pintu’
dalam upaya meredakan jumlah korban dan berdampak pada penurunan ekonomi.
Adanya peringatan untuk menggunakan masker pada awal pandemi ini membuat
masyarakat berburu masker kesehatan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum tidak
bertanggung jawab yang menimbun masker sehingga sulit untuk didapatkan di pusat
perdagangan. Oknum tersebut kemudian menjual kembali dengan harga yang
melambung tinggi. Para penimbun masker ini tersebar di berbagai daerah dari
kalangan mahasiswa dan pekerja.
Penimbunan barang terhadap kebutuhan pokok serta hal penting dan strategis
seperti kebutuhan masker di tengah wabah virus corona saat ini merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (1) juncto Pasal 107 UU Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan, dengan ancaman maksimal penjara 5 tahun dan
denda Rp 50 miliar. Selain itu, pelaku usaha juga dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan/atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Jika hal tersebut dilanggar, maka
diancam dengan denda antara Rp 25 – 100 miliar sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.

5. Kasus 5: ‘Utang Upah’ Jaba Garmindo


Jaba Garmindo merupakan perusahaan tekstil yang terletak di Cikupa dan
Majalengka yang menangani pengolahan garmen dari perusahaan tekstil S.Oliver,
Roxy, Fast Retailing (Uniqlo), serta H&M. Kabar soal utang upah kerja antara Jaba
Garmindo sudah tersebar sejak 2014. Laporan Workers Rights Consortium yang terbit
pada 21 Desember 2015 menyebut pada 2014 pekerja melayangkan protes terhadap
perusahaan karena dianggap melanggar ketentuan kontrak kerja, melakukan PHK
terhadap pekerja yang sedang hamil tanpa alasan jelas, meniadakan uang lembur, tak
menyediakan ruang kerja yang sehat dan aman, dan tidak mendukung aktivitas serikat
pekerja perusahaan. Tak lama setelah berbagai tuntutan diajukan, perusahaan
menyatakan bangkrut. Hal tersebut membuat pihak perusahaan berutang kepada 4000
pekerja. Total uang yang mesti diberikan kepada seluruh pekerja mencapai Rp141
miliar.
Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan pemilik Jaba Garmindo wajib
membayarkan upah kepada seluruh pekerja. Tapi langkah tersebut mustahil dilakukan
karena aset yang tersisa telah diserahkan pada pihak kreditur, dalam hal ini sejumlah
bank yang memberi pinjaman dana ke pemilik perusahaan. Hal ini membuat gaji
pekerja jadi terkatung-katung. Hal yang dilakukan oleh perusahaan ini melanggar UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan karena melakukan PHK atas dasar
kehamilan karyawan, menghilangkan upah lembur serta pelanggaran terhadap kontrak
kerja.

Anda mungkin juga menyukai