Kasus yang terjadi sekitar 6 tahun lalu mengingatkan kita pada kualitas jasa
penerbangan di Indonesia. Keselamatan penumpang diabaikan demi kepentingan segelintir
orang dan untuk menekan biaya. Kasus yang digugat oleh Koalisi Rakyat Konsumen Jasa
Penerbangan (KRKJP) pada maskapai "X" sejak 1 Januari 2007 yang lalu. Gugatan citizen
law dari beberapa serikat pekerja badan usaha milik negara dan serikat pekerja transportasi
udara itu rencananya akan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Koordinator
KRKJP F.X. Arief Puyuono mengatakan tuntutan itu intinya meminta hakim menyatakan
maskapai "X" telah melawan hukum. Dan mereka meminta maskapai tersebut memberikan
santutan sebesar Rp 1 miliar untuk setiap korban Adam Air, yang berjumlah 102 orang.
Maskapai "X" juga didesak untuk meminta maaf kepada keluarga korban dan konsumen atas
pelayanan yang buruk dan perbuatan melawan hukumnya. Arief menganggap ada
pelanggaran pasal 7-B Undang undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yakni diabaikannya keselamatan konsumen, karena kebijakan tarif murah yang
diberlakukan maskapai itu.
Ia mengindikasikan tarif murah ini bisa diberikan karena adanya pengurangan biaya
perawatan pesawat. Hal ini jelas melanggar regulasi keselamatan penerbangan atau Civil
Aviation Safety Regulation (CASR). CASR berlaku secara universal, sehingga ada dugaan
bahwa demi efisiensi maskapai tersebut melanggar CASR yang diberlakukan. Sedangkan
menurut kuasa hukum KRKJP Habiburrahman, gugatan ini dilakukan oleh koalisi dengan
memposisikan diri sebagai kelompok yang memiliki kepentingan hukum (legal standing).
Gugatannya terlepas dari konflik kepentingan manajemen antara maskapai BUMN dan
swasta. Semata mata gugatan tersebut hanya untuk menegakkan hak konsumen, tidak sertamerta setiap penerbangan dengan tarif murah bisa mengabaikan keselamatan penumpang.
Gugatan tersebut juga mempersoalkan buruknya pemeliharaan pesawat Maskapai "X" akibat
kesalahan manajemen yang hanya mementingkan kepentingan para stakeholder.
Menanggapi tuntutan KRKJP, Direktur Komersial Maskapai "X", Gugi Pringwa
Saputra mengatakan siap diproses pengadilan jika terbukti bersalah. Namun untuk dapat
membuktikan salah atau tidaknya tergantung dari pemeriksaan. Tim penyidik Mabes Polri
baru akan bergerak menyidik setelah menerima hasil investigasi teknis KNKT. Dari hasil
teknis KNKT akan diperiksa oleh tim penyidik, apakah ada kelalaian atau pelanggaran yang
kemudian akan diproses ke tahap selanjutnya.
Tuntutan tidak hanya disuarakan oleh KRKJP, sekitar 50 orang yang menyatakan diri
sebagai Masyarakat Transportasi Indonesia juga menyuarakan tuntutannya didepan kantor
maskapai tersebut di daerah Kalideres Jakarta Barat. Mereka menuntut komisaris maskapai
tersebut untuk segera menyerahkan diri ke pihak berwajib karena lalai dalam menjalankan
manajemen maskapai yang mengakibatkan kecelakaan pesawat.
Tanggapan :
Menanggapai kasus diatas, kesalahan dalam mengelola manajemen maskapai dapat
berakibat pada operasional yang kurang maksimal bahkan cenderung buruk. Dengan hanya
mengutamakan kepentingan segelintir orang, maskapai tersebut mengabaikan keselamatan
konsumen dengan menekan biaya perawatan pesawat. Dalam dunia penerbangan, praktik
seperti itu dinilai melanggar ketentuan. Menarik minat konsumen dengan memberikan tarif
murah namun pelayanan buruk, bukanlah cara yang bijak untuk memperoleh keuntungan.
Keputusan yang diambil oleh manajemen maskapai tersebut jelas tidak etis,
mengesampingkan keselamatan konsumen demi keuntungan yang diperoleh para stakeholder.
Biaya perawatan pesawat ditekan hingga batas minimum agar laba perusahaan yang
diperoleh maksimal, dampaknya adalah pesawat yang tumpangi para konsumen tidak layak
terbang, banyak komponen yang sudah seharusnya diganti namun tetap dibiarkan beroperasi,
yang akhirnya kecelakaan pesawat tidak bisa dihindarkan. Disini juga terlihat bahwa
manajemen tidak menerapkan risk management dengan efektif.
Sebaiknya, manajemen mengevaluasi sistem yang digunakan. Manajemen juga harus
meminta maaf kepada seluruh korban pesawat dan menyantuni sesuai dengan UndangUndang yang berlaku. Memperbaiki wajah dunia penerbangan Indonesia yang saat ini masih
dinilai belum optimal pelayanannya.
http://mikailfirdaus.blogspot.co.id/2013/10/contoh-kasus-dalam-etika-bisnis.html
melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian
agen).Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya
sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan
kepentingannya. Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena dalam menentukan apakah
perintahklien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus
mempertimbangkan dan dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai
kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis. Dengan demikian,
kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan- batasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :Etika
bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.Terkadang kita salah memandang hukum dan
etika terlihat identik. Benar bahwa hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga
dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa
hukum tidak punya kaitandengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral
sehingga bertentangan denganmoralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan
kita memperlakukan budaksebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti
hukum.Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral
kitakadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar
moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan
dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.
http://wahyusetiyono.blogspot.co.id/2010/10/pro-kontra-yang-mendukung-danyang_30.html
pengaruh kejahataan etika bisnis terhadap korporasi
Perbankan nasional kembali diguncang kasus. Adalah Bank Century yang pada
akhir November 2008 diselamatkan pemerintah, karena dianggap berpotensi
memicu krisis sistemik, menyusul kalah kliring yang dialaminya. Mengenai
masalah gagal kliring Bank Century, Boediono (Gubernur BI) waktu itu
menegaskan bahwa hal itu disebabkan oleh faktor teknis berupa keterlambatan
penyetoran prefund.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, keputusan menyelamatkan
Bank Century pada tanggal 21 November 2008 adalah untuk menghindari
terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih
mahal dan lebih dahsyat dari 1998, dengan meminimalkan ongkosnya dan
dikelola oleh manajemen yang baik maka Bank Century punya potensi untuk bisa
dijual dengan harga yang baik. Maka, mulai hari jumat 21 November 2008 PT.
Bank Century telah diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), untuk
selanjutnya tetap beroperasi sebagai Bank Devisa penuh yang melayani
berbagai kebutuhan jasa erbankan bagi para nasabah. Pengambilalihan Bank
tersebut oleh Lembaga Pemerintah ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah. Tim manajemen baru yang
terdiri dari para professional telah ditunjuk hari itu juga untuk mengelola dan
meningkatkan Kinerja Bank.
Meskipun sudah diambil alih pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), bank yang membukukan laba Rp 139 miliar per semester pertama 2009
tersebut, kini disoroti DPR dan public. Pangkal persoalannya adalah kucuran
dana talangan hingga mencapai Rp 6,762 trilliun yang dianggap terlampau besar
dan tidak procedural, serta adanya potensi moral hazard demi melindungi dana
milik deposan kakap yang disimpan di bank itu.
Bank hasil merger Bank Pikko, Bank Danpac, serta Bank CIC pada 2004 tersebut
mengalami kemunduran kinerja secara kronis, sehingga perlu dana talangan.
Berdasarkan data LPS, pada rentang waktu 20-23 November 2008, suntikan dana
mencapai Rp 2,776 triliun, untuk menutup kebutuhan modal agar rasio
kecukupan modal terdongkrak hingga 10 persen. Tak lama berselang, yakni pada
5 Desember 2008, kembali disuntik Rp 2,201 triliun. Dengan demikian dalam
rentang 15 hari total dana talangan yang disuntikan mencapai Rp 4,977 triliun.
Tak berhenti disitu, dana talangan terus mengucur yakni pada 3 Februari 2009
sebesar Rp 1,155 triliun, disusul pada 21 Juli 2009 sebanyak Rp 630 miliar. Total
dana suntikan (bailout) menjadi Rp 6,726 triliun. Suatu jumlah yang fantastis dan
tidak mengherankan jika kini disoroti, dan DPR menuntut pertanggungjawaban
pemerintah, LPS dan Bank Indonesia (BI).
Mengurai persoalan yang kini menghangat kita harus menengok ke belakang.
Perlu diketahui, pemegang saham pengendali Bank Century adalah Rafat Ali
Rizvi dan Hesyam Al Warraq. Adapun pemegang saham mayoritasnya Robert
Tantular. Setelah merger ternyata tidak ada perbaikan. Sejak 2005 hingga 5
November 2008, bank itu bolak balik masuk pengawasan intensif BI.
Penyebabnya adalah exposure pada surat berharga valuta asing (valas) bodong
atau tidak berperingkat senilai US$ 203 juta, serta asset tidak produktif senilai
Rp 477 miliar, yang menekan modal bank.
Sebagai tindak lanjut pengawasan intensif BI meminta bank menjual tunai surat
berharga valasnya paling lambat akhir Desember 2005. Namun, bank
mengajukan proposal penyelesaian melalui skema penjaminan tunai (assets
management agreement/ AMA), dan disetujui BI pada 21 Februari 2006.
Kemudian BI juga meminta bank menambah modal Rp 500 miliar. Permintaan ini
dipenuhi pemilik bank sebesar US$ 10,5 juta dan US$ 14,85 juta. Terakhir bank
melakukan right issue dan meraup dana Rp 442 miliar.
Namun semua itu sia-sia, Bank Century semakin terperosok sehingga masuk
status pengawasan khusus pada 6 November 2008. Berdasarkan pemeriksaan
berjalan (assessment) BI per 30 September 2008, rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) turun ke posisi 2,35 persen. Kondisi ini juga diperburuk oleh
turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, khususnya deposan besar,
seperti Sampoerna dan PT Timah, yang menarik depositonya pada juli 2008, dan
berlanjut menjadi penarikan dana besar-besaran (rush). Dalam rentang
November hingga Desember 2008, total simpanan yang ditarik mencapai Rp
5,67 triliun.
1.
B.
Permasalahan
2.
3.
perbankan?
1.
A.
Menimbulkan dampak terhadap sector riil jika bank century ditutup. Dalam
parameter pertama itu Bank century yang memiliki 65 ribu nasabah tersebut
memang tidak berdampak luas. Istilahnya low impact. Tapi ini hanya salah satu
parameter.
2.
2.
ditutup. Dalam parameter tersebut BI menilai imbasnya bias sangat besar. Sebab
data BI menunjukkan saat Bank Century sekarat (November 2008), ada
beberapa bank kecil yang memiliki exposure besar di Bank Century. Artinya,
dana bank-bank tersebut kecantol di Bank Century melalui fasilitas Pasar Uang
Antar Bank (PUAB). Berdasarkan kalkulasi BI jika dana bank-bank tersebut tidak
bias kembali, bank-bank itu bakal mengalami kesulitan likuiditas, rasio
kecukupan modal (CAR)-nya turun, dan akhirnya harus masuk dalam
pengawasan khusus. Jika bank-bank tersebut masuk pengawasan khusus, bankbank lain yang memiliki exposure juga akan demikian. Karena itu, bisa
menimbulkan efek berantai ke seluruh perbankan.
3.
3.
pemerintah dan bursa saham. Kalau century ditutup, ada bank lain bermasalah.
Karena bank lain itu mempunyai exposure SUN cukup besar, sehingga SUN harus
dijual. Itu akan menggoyangkan pasar SUN karena terjadi penjualan besarbesaran. Kalau bank-bank tadi adalah listed company ( perusahaan tercatat
dibursa saham ) itu akan menggoyang pasar saham.
4.
4.
ditutup, bank-bank lain yang memiliki tagihan ke Bank Century sulit menagih
dan ini tidak dijamin. Ini bisa mengakibatkan system pembayaran chaos. Dalam
artian adanya imbas psikologis masyarakat jika Bank Century ditutup. Semua
menunjukkan imbasnya mulai medium to high impact hingga high impact.
5.
5.
1.
1.
Penyebab lain ambruknya Bank Century adalah penipuan oleh pemilik dan
manajemen dengan menggelapkan uang nasabah. Mereka adalah Robert
Tantular, Anggota Dewan Direksi Dewi Tantular, Hermanus Hasan Muslim dan
Laurance Kusuma serta pemegang Saham yaitu Hesham Al Warraq Thalat dan
Rafat Ali Rijvi. Pengelapannya dilakukan dengan beberapa cara. Pertama,
memanfaatkan produk reksa dana fiktif yang diterbitkan PT Antaboga Delta
Sekuritas Indonesia yang dijual terselubung di Bank Century. Kedua,
menyalurkan sejumlah kredit fiktif. Ketiga, menerbitkan letter of Credit ( L/C )
Fiktif. Modusnya yaitu pemilik Bank Century membuat perusahaan atas nama
orang lain untuk kelompok mereka. Lantas mereka mengajukan permohonan
kredit, tanpa prosedur semestinya serta jaminan yang memadai mereka dengan
mudah mendapatkan kredit. Bahkan ada kredit Rp. 98 Milyar yang cair hanya
dalam 2 (dua ) jam. Jaminan mereka tambahnya hanya surat berharga yang
ternyata bodong.
Selain itu Robert Tantular juga menyalahgunakan kewenangan memindah
bukukan dan mencairkan dana deposito valas sebesar Rp. 18 Juta Dollar AS
tanpa izin sang pemilik dana, Budi Sampoerna. Robert juga mengucurkan kredit
kepada PT Wibowo Wadah Rezeki Rp. 121 Milyar dan PT Accent Investindo Rp. 60
Milyar. Pengucuran dana ini diduga tidak sesuai prosedur. Robert Tantular juga
melanggar Letter Of Commitmen dengan tidak mengembalikan surat surat
berharga Bank Century di luar negri dan menambah modal Bank.
2.
Century sejak 2005 leluasa melarikan dana milik nasabah ke luar negri melalui
penerbitan Obligasi bodong.
b. DPR merasa dilangkahi pemerintah, karena pemerintah dan DPR hanya
bersepakat mengeluarkan dana rekap sebesar 1,3 Trilyun, nyatanya 6,7 trilyun.
c. Pengambilalihan Bank Century oleh pemerintah melalui LPS tidak memiliki
konsep yang jelas dan akan menimbulkan kerugianyang cukup besar.Dana yang
dikeluarkan LPS dalam upaya penyehatan Century yang mencapai Rp. 6,77
Trilyun dapat dipastikan tidak akan bisa kembali. Dan akan menimbulkan
kerugian yang besar, artinya upaya LPS memperetahankan deposan
deposannya tidak lari gagal.
d. Saat ini muncul dugaan dana rekap Bank Century bukan hanya 6,7 trilyun
tetapi mencapai hingga 9 Trilyun.
3. Penyelesaian
a.
Karena itu audit investigasi BPK harus dilakukan dengan tuntas. Jangan sampai
ada penumpang gelap yang bermain dengan mengatasnamakan penyelamatan
ekonomi nasional. Misteri itulah yang ditindaklanjuti komisi pemberantasan
Korupsi (KPK) dengan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk
melakukan audit investigasi terhadap bank. Tidak hanya KPK, DPR pun minta KPK
mengaudit proses bailout tersebut. Itu karena sebelumnya DPR pada tanggal 18
Desember 2008 telah menolak peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang jaringan pengaman sector keuangan
(JPSK) sebagai payung hukum dari penyelamatan bank milik pengusaha Robert
Tantular itu.
b.
lainnya di luar negeri dengan membentuk tim pemburu asset. Tim ini
beranggotakan staf Departemen Keuangan, Markas Besar Polri, Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan,
Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, serta Departemen Hukum dan Hak
Azasi manusia. Untuk di dalam negeri jumlah asset yang disita polisis terkaitb
kasus tindak pidana perbankan di Bank Century sebesar Rp 1,191 miliar.
Sementara di luar negeri, polisis berhasiul menemukan dan memblokir asset
milik Robert Tantular senilai 19,25 Juta dolar AS atau setara Rp 192,5 Miliar. Uang
sebesar itu antara lain terdapat di USB AG Bank Hongkong senilai 1,8 juta dolar
AS, PJK Jersey sejumlah 16,5 juta dolar AS, dan British Virgin Island ( Inggris )
sebesar 927 ribu dolar AS. Selain itu polisisjuga menemukan dan memblokir aset
Hesham Al Warraq \talaat serta Rafat Ali Rizvi senilai Rp 11,64 triliun. Aset itu
tersebar di UBS AG Bank sejumlah 3,5 juta dolar AS, Standard Chartered Bank
senilai 650 ribu dolar AS dan sejumlah SGD 4.006, di ING Bank sebesar 388 ribu
dolar AS.
c.
Dalam proses hukum bank Century, pemilik bank century Robert tantular
adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal
dengan actus non facit reum, nisi mens sit rea.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro
terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua
hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu,
pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus
dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada
korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat
dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi
maka digunakanlah asas identifikasi. Dengan asas tersebut maka perbuatan
pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan
perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam
ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering
dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke
dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran pelaku fungsional
(functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan
pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku
sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau
culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.
Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran
tersebut adalah doctrine of strict liability dan doctrine of vicarious liability.
Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta
pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan
menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan
pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A
kepada B.
Selanjutnya menurut Sudarto, memang harus diakui, bahwa untuk sistematik
dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana dalam arti keseluruhan syarat
untuk adanya pidana (der inbegriff dervoraussetzungen der strafe), pandangan
dualistis itu memberikan manfaat. Yang penting ialah kita harus senantiasa
menyadari bahwa untuk mengenakan pidana itu diperlukan syarat-syarat
tertentu. Apakah syarat itu demi jelasnya kita jadikan satu melekat
padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh Simons dan
sebagainya,ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat pada perbuatan dan
ada syarat yang melekat pada orangnya seperti dikemukakan oleh Moelyatno,
itu adalah tidak prinsipiil, yang penting ialah bahwa semua syarat yang
diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia ataupun peraturan lainnya,
namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan karena akan bertentangan
dengan rasa keadilan, bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali
tidak bersalah.
Karena asas utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, maka
timbul permasalahan baru dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum
pidana.
Menurut Mardjono Reksodipuro, sehubungan dengan diterimanya korporasi
sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari
pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).
Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi. Asas utama dalam pertanggungjawaban
pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku.
Bagaimanakah harus dikonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi ?. Ajaran
yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatan yang melawan
hukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawaban pidana menurut
hukum pidana. Perbuatan melawan hukum oleh korporasi sekarang sudah
dimungkinkan. Tetapi bagaimana mempertimbangkan tentang
pertanggungjawaban pidananya ?. Dapatkah dibayangkan pada korporasi
terdapat unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus atau kealpaan
atau culpa)?. Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini
dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dan karena itu
berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana halnya dengan
pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi ?.
Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan bertindak melalui
manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan yang
pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan pengurus
(atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai perbuatan korporasi yang
melawan hukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaan kedua adalah
bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat dinyatakan
Pemberian dana bailout century yang sekarang terus diperjualkan bisa berakibat
buruk terhadap bank tersebut. Dimana akan mengurangirasa percaya nasabah
pada dunia perbankan.
Kasus Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan Bank Indonesia (BI)
sebagai bank sentral terhadap bank umum. Bank-bank umumnya hendaknya
mendapat pengawasan ketat dari bank Central.
Ambruknya Bank Century telah menimbulkan dampak negative terhadap citra
perbankan dan berdampak sistemik terhadap perekonomian Indonesia jika
dibiarkan berlarut-larut. Oleh karena itu KSSK telah mengambil langkah-langkah
untuk mengambil alih dan menyuntik sejumlah dana untuk menyehatkan
kembali meskipun pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah.
Dari kaca mata hukum, kasus bank Century telah terdeteksi adanya pelanggaran
tindak pidana oleh pemilik dan manajemen dengan cara penggelapan dana
nasabah. Oleh pendapat para ahli kegiatan ini dapat digolongkan sebagai tindak
pidana kejahatan korporasi, yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
peraturan perundangan yang berlaku sebagai pertanggungjawaban tindak
pidana korporasi
Sumber :
http://alenfis.blogspot.com/
http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2013/01/12/pertanggungjawaban-tindakpidana-korporasi-atas-kejahatan-di-bidang-perbankan-studi-kasus-bank-century/
Pengusaha Ingin Gaji Buruh Selevel dengan Kemampuan
Penulis :
Analisis :
Etika didefinisikan sebagai penyelidikan terhadap alam dan ranah moralitas
dimana istilah moralitas dimaksudkan untuk merujuk pada penghakiman akan
standar dan aturan tata laku moral. Etika juga bisa disebut sebagai studi filosofi
perilaku manusia dengan penekanan pada penentuan apa yang dianggap salah
dan benar.
Dari definisi itu kita bisa mengembangkan sebuah konsep etika bisnis. Tentu
sebagian kita akan setuju bila standar etika yang tinggi membutuhkan individu
yang punya prinsip moral yang kokoh dalam melaksanakannya. Namun,
beberapa aspek khusus harus dipertimbangkan saat menerapkan prinsip etika ke
dalam bisnis.
Landasan teori
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang
muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya
dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan
yang dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup
pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur
organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul
seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan
tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan
prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh
masing-masing masyarakat.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
1. Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang
dianggapnya baik untuk dilakukan.
2. Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan
secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak
didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat
perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa
dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja
intern dalam suatu perusahaan.
3. Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat
dipertanggung jawabkan.
4. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar
bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
5. Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.
2.2 Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan
kewajiban diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada
orang (individu) sebagai perilaku moral yang nyata? Ada dua pandangan yang
muncul atas masalah ini .
Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan
yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa
perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas
apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab
secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah
bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama yang dilakukan
manusia.
Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk
akal berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia
gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki
kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus
secara membabi buta mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya
dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap
organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar
moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara
moral.
Sumber :
1.
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/11/04/1811330/Pengusaha.Ingin.Gaji.
Buruh.Selevel.dengan.Kemampuan
2.
http://pii.or.id/etika-bisnis
3.
http://hizkiayufioctaviani.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-pelanggaranetika-bisnis_15.html