Anda di halaman 1dari 18

Contoh Kasus dalam Etika Bisnis

Kasus yang terjadi sekitar 6 tahun lalu mengingatkan kita pada kualitas jasa
penerbangan di Indonesia. Keselamatan penumpang diabaikan demi kepentingan segelintir
orang dan untuk menekan biaya. Kasus yang digugat oleh Koalisi Rakyat Konsumen Jasa
Penerbangan (KRKJP) pada maskapai "X" sejak 1 Januari 2007 yang lalu. Gugatan citizen
law dari beberapa serikat pekerja badan usaha milik negara dan serikat pekerja transportasi
udara itu rencananya akan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Koordinator
KRKJP F.X. Arief Puyuono mengatakan tuntutan itu intinya meminta hakim menyatakan
maskapai "X" telah melawan hukum. Dan mereka meminta maskapai tersebut memberikan
santutan sebesar Rp 1 miliar untuk setiap korban Adam Air, yang berjumlah 102 orang.
Maskapai "X" juga didesak untuk meminta maaf kepada keluarga korban dan konsumen atas
pelayanan yang buruk dan perbuatan melawan hukumnya. Arief menganggap ada
pelanggaran pasal 7-B Undang undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yakni diabaikannya keselamatan konsumen, karena kebijakan tarif murah yang
diberlakukan maskapai itu.
Ia mengindikasikan tarif murah ini bisa diberikan karena adanya pengurangan biaya
perawatan pesawat. Hal ini jelas melanggar regulasi keselamatan penerbangan atau Civil
Aviation Safety Regulation (CASR). CASR berlaku secara universal, sehingga ada dugaan
bahwa demi efisiensi maskapai tersebut melanggar CASR yang diberlakukan. Sedangkan
menurut kuasa hukum KRKJP Habiburrahman, gugatan ini dilakukan oleh koalisi dengan
memposisikan diri sebagai kelompok yang memiliki kepentingan hukum (legal standing).
Gugatannya terlepas dari konflik kepentingan manajemen antara maskapai BUMN dan
swasta. Semata mata gugatan tersebut hanya untuk menegakkan hak konsumen, tidak sertamerta setiap penerbangan dengan tarif murah bisa mengabaikan keselamatan penumpang.
Gugatan tersebut juga mempersoalkan buruknya pemeliharaan pesawat Maskapai "X" akibat
kesalahan manajemen yang hanya mementingkan kepentingan para stakeholder.
Menanggapi tuntutan KRKJP, Direktur Komersial Maskapai "X", Gugi Pringwa
Saputra mengatakan siap diproses pengadilan jika terbukti bersalah. Namun untuk dapat
membuktikan salah atau tidaknya tergantung dari pemeriksaan. Tim penyidik Mabes Polri
baru akan bergerak menyidik setelah menerima hasil investigasi teknis KNKT. Dari hasil
teknis KNKT akan diperiksa oleh tim penyidik, apakah ada kelalaian atau pelanggaran yang
kemudian akan diproses ke tahap selanjutnya.
Tuntutan tidak hanya disuarakan oleh KRKJP, sekitar 50 orang yang menyatakan diri
sebagai Masyarakat Transportasi Indonesia juga menyuarakan tuntutannya didepan kantor
maskapai tersebut di daerah Kalideres Jakarta Barat. Mereka menuntut komisaris maskapai
tersebut untuk segera menyerahkan diri ke pihak berwajib karena lalai dalam menjalankan
manajemen maskapai yang mengakibatkan kecelakaan pesawat.
Tanggapan :
Menanggapai kasus diatas, kesalahan dalam mengelola manajemen maskapai dapat
berakibat pada operasional yang kurang maksimal bahkan cenderung buruk. Dengan hanya
mengutamakan kepentingan segelintir orang, maskapai tersebut mengabaikan keselamatan
konsumen dengan menekan biaya perawatan pesawat. Dalam dunia penerbangan, praktik
seperti itu dinilai melanggar ketentuan. Menarik minat konsumen dengan memberikan tarif
murah namun pelayanan buruk, bukanlah cara yang bijak untuk memperoleh keuntungan.
Keputusan yang diambil oleh manajemen maskapai tersebut jelas tidak etis,
mengesampingkan keselamatan konsumen demi keuntungan yang diperoleh para stakeholder.

Biaya perawatan pesawat ditekan hingga batas minimum agar laba perusahaan yang
diperoleh maksimal, dampaknya adalah pesawat yang tumpangi para konsumen tidak layak
terbang, banyak komponen yang sudah seharusnya diganti namun tetap dibiarkan beroperasi,
yang akhirnya kecelakaan pesawat tidak bisa dihindarkan. Disini juga terlihat bahwa
manajemen tidak menerapkan risk management dengan efektif.
Sebaiknya, manajemen mengevaluasi sistem yang digunakan. Manajemen juga harus
meminta maaf kepada seluruh korban pesawat dan menyantuni sesuai dengan UndangUndang yang berlaku. Memperbaiki wajah dunia penerbangan Indonesia yang saat ini masih
dinilai belum optimal pelayanannya.
http://mikailfirdaus.blogspot.co.id/2013/10/contoh-kasus-dalam-etika-bisnis.html

PRO KONTRA YANG MENDUKUNG DAN YANG MENETANG ETIKA


BISNIS
PRO KONTRA YANG MENDUKUNG DAN YANG MENETANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini
membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan berkenaan
dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :Orang yang terlibat dalam bisnis, kata
mereka hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak
membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan pekerjaan
baik. Tiga argumen diajukan untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian
keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi
dengancara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing
perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan
harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakatakan
sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan
dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus. Pernyataan tersebut menyembunyikan
sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar industri tidak kompetitif secara sempurna,
dan sejauh sejauh perusahaan tidak harusberkompetisi, mereka dapat memaksimumkan
keuntungan sekalipun produksi tidak efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa
langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan
secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan
keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru,
menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb. Ketiga, argumen itu
mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli,
perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika
kenyataankeinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak
diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar.
Keempat,argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus
mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang olehAle
C. Michales disebut argumen dari agen yang loyal. Argumen tersebut secara sederhana
adalah sbb :Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk

melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian
agen).Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya
sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan
kepentingannya. Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena dalam menentukan apakah
perintahklien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus
mempertimbangkan dan dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai
kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis. Dengan demikian,
kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan- batasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :Etika
bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.Terkadang kita salah memandang hukum dan
etika terlihat identik. Benar bahwa hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga
dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa
hukum tidak punya kaitandengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral
sehingga bertentangan denganmoralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan
kita memperlakukan budaksebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti
hukum.Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral
kitakadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar
moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan
dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.
http://wahyusetiyono.blogspot.co.id/2010/10/pro-kontra-yang-mendukung-danyang_30.html
pengaruh kejahataan etika bisnis terhadap korporasi
Perbankan nasional kembali diguncang kasus. Adalah Bank Century yang pada
akhir November 2008 diselamatkan pemerintah, karena dianggap berpotensi
memicu krisis sistemik, menyusul kalah kliring yang dialaminya. Mengenai
masalah gagal kliring Bank Century, Boediono (Gubernur BI) waktu itu
menegaskan bahwa hal itu disebabkan oleh faktor teknis berupa keterlambatan
penyetoran prefund.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, keputusan menyelamatkan
Bank Century pada tanggal 21 November 2008 adalah untuk menghindari
terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih
mahal dan lebih dahsyat dari 1998, dengan meminimalkan ongkosnya dan
dikelola oleh manajemen yang baik maka Bank Century punya potensi untuk bisa
dijual dengan harga yang baik. Maka, mulai hari jumat 21 November 2008 PT.
Bank Century telah diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), untuk
selanjutnya tetap beroperasi sebagai Bank Devisa penuh yang melayani
berbagai kebutuhan jasa erbankan bagi para nasabah. Pengambilalihan Bank
tersebut oleh Lembaga Pemerintah ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan

keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah. Tim manajemen baru yang
terdiri dari para professional telah ditunjuk hari itu juga untuk mengelola dan
meningkatkan Kinerja Bank.
Meskipun sudah diambil alih pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), bank yang membukukan laba Rp 139 miliar per semester pertama 2009
tersebut, kini disoroti DPR dan public. Pangkal persoalannya adalah kucuran
dana talangan hingga mencapai Rp 6,762 trilliun yang dianggap terlampau besar
dan tidak procedural, serta adanya potensi moral hazard demi melindungi dana
milik deposan kakap yang disimpan di bank itu.
Bank hasil merger Bank Pikko, Bank Danpac, serta Bank CIC pada 2004 tersebut
mengalami kemunduran kinerja secara kronis, sehingga perlu dana talangan.
Berdasarkan data LPS, pada rentang waktu 20-23 November 2008, suntikan dana
mencapai Rp 2,776 triliun, untuk menutup kebutuhan modal agar rasio
kecukupan modal terdongkrak hingga 10 persen. Tak lama berselang, yakni pada
5 Desember 2008, kembali disuntik Rp 2,201 triliun. Dengan demikian dalam
rentang 15 hari total dana talangan yang disuntikan mencapai Rp 4,977 triliun.
Tak berhenti disitu, dana talangan terus mengucur yakni pada 3 Februari 2009
sebesar Rp 1,155 triliun, disusul pada 21 Juli 2009 sebanyak Rp 630 miliar. Total
dana suntikan (bailout) menjadi Rp 6,726 triliun. Suatu jumlah yang fantastis dan
tidak mengherankan jika kini disoroti, dan DPR menuntut pertanggungjawaban
pemerintah, LPS dan Bank Indonesia (BI).
Mengurai persoalan yang kini menghangat kita harus menengok ke belakang.
Perlu diketahui, pemegang saham pengendali Bank Century adalah Rafat Ali
Rizvi dan Hesyam Al Warraq. Adapun pemegang saham mayoritasnya Robert
Tantular. Setelah merger ternyata tidak ada perbaikan. Sejak 2005 hingga 5
November 2008, bank itu bolak balik masuk pengawasan intensif BI.
Penyebabnya adalah exposure pada surat berharga valuta asing (valas) bodong
atau tidak berperingkat senilai US$ 203 juta, serta asset tidak produktif senilai
Rp 477 miliar, yang menekan modal bank.
Sebagai tindak lanjut pengawasan intensif BI meminta bank menjual tunai surat
berharga valasnya paling lambat akhir Desember 2005. Namun, bank
mengajukan proposal penyelesaian melalui skema penjaminan tunai (assets
management agreement/ AMA), dan disetujui BI pada 21 Februari 2006.
Kemudian BI juga meminta bank menambah modal Rp 500 miliar. Permintaan ini

dipenuhi pemilik bank sebesar US$ 10,5 juta dan US$ 14,85 juta. Terakhir bank
melakukan right issue dan meraup dana Rp 442 miliar.
Namun semua itu sia-sia, Bank Century semakin terperosok sehingga masuk
status pengawasan khusus pada 6 November 2008. Berdasarkan pemeriksaan
berjalan (assessment) BI per 30 September 2008, rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) turun ke posisi 2,35 persen. Kondisi ini juga diperburuk oleh
turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, khususnya deposan besar,
seperti Sampoerna dan PT Timah, yang menarik depositonya pada juli 2008, dan
berlanjut menjadi penarikan dana besar-besaran (rush). Dalam rentang
November hingga Desember 2008, total simpanan yang ditarik mencapai Rp
5,67 triliun.
1.

B.

Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang kasus tersebut di atas penulis dapat


mengemukakan permasalahan sebagai berikut:
1.

Bagaimanakah dampak dari kasus bank Century terhadap perekonomian?

2.

Bagaimanakah tinjauan hukum (aspek pidana) kasus bank Century tersebut?

3.

Bagaimanakah pertanggungjawaban tindak pidana korporasi di bidang

perbankan?

1.

A.

Dampak Dari Kasus Bank Century Terhadap Perekonomian

Bank Indonesia (BI) membeberkan alas an terkait keputusan BI saat memberikan


predikat bank gagal dan berpotensi sistemik, sehingga harus diserahkan kepada
LPS. Akibatnya LPS harus meraguh kocek hingga Rp 6,7 triliun untuk
menyelamatkan bank tersebut.
Ada 5 (lima) criteria bank century masuk kategori sistemik antara lain :
1.

Menimbulkan dampak terhadap sector riil jika bank century ditutup. Dalam

parameter pertama itu Bank century yang memiliki 65 ribu nasabah tersebut

memang tidak berdampak luas. Istilahnya low impact. Tapi ini hanya salah satu
parameter.
2.

2.

Menimbulkan dampak terhadap bank-bank lain jika Bank Century

ditutup. Dalam parameter tersebut BI menilai imbasnya bias sangat besar. Sebab
data BI menunjukkan saat Bank Century sekarat (November 2008), ada
beberapa bank kecil yang memiliki exposure besar di Bank Century. Artinya,
dana bank-bank tersebut kecantol di Bank Century melalui fasilitas Pasar Uang
Antar Bank (PUAB). Berdasarkan kalkulasi BI jika dana bank-bank tersebut tidak
bias kembali, bank-bank itu bakal mengalami kesulitan likuiditas, rasio
kecukupan modal (CAR)-nya turun, dan akhirnya harus masuk dalam
pengawasan khusus. Jika bank-bank tersebut masuk pengawasan khusus, bankbank lain yang memiliki exposure juga akan demikian. Karena itu, bisa
menimbulkan efek berantai ke seluruh perbankan.
3.

3.

Menimbulkan dampak pada pasar keuangan yakni pasar obligasi

pemerintah dan bursa saham. Kalau century ditutup, ada bank lain bermasalah.
Karena bank lain itu mempunyai exposure SUN cukup besar, sehingga SUN harus
dijual. Itu akan menggoyangkan pasar SUN karena terjadi penjualan besarbesaran. Kalau bank-bank tadi adalah listed company ( perusahaan tercatat
dibursa saham ) itu akan menggoyang pasar saham.
4.

4.

Menimbulkan dampak kepada system pembayaran antar bank. Kalau

ditutup, bank-bank lain yang memiliki tagihan ke Bank Century sulit menagih
dan ini tidak dijamin. Ini bisa mengakibatkan system pembayaran chaos. Dalam
artian adanya imbas psikologis masyarakat jika Bank Century ditutup. Semua
menunjukkan imbasnya mulai medium to high impact hingga high impact.
5.

5.

Sejak pertengahan 2008, saat krisis ekonomi global mulai menghebat

system keuangan di Indonesia mengalami tekanan hebat. Dana perbankan di


Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang biasanya mencapai Rp 200 triliun tiba-tiba
menyusust tinggal Rp 89 triliun.
Artinya ada indikasi penarikan dana masyarakat dari bank dalam jumlah besar.
Untuk membayar itu, bank harus mencairkan dana mereka yang disimpan di SBI.
Indikator lain anjloknya dana deposito masyarakat. Akibatnya untuk menarik
dana masyarakat bank mulai menaikkan suku bunga simpanan hingga terjadi
perang suku bunga. Bahkan bank-bank besar yang sebelumnya menjadi supplier
dalam fasilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAb) mulai menahan dana. Hal itu

mengakibatkan bank-bank kecil dan menengah mengalami kesulitan likuiditas.


Saat itu PUAB sangat tegang. Selain itu resiko gagal kredit ( credit default swap)
Indonesia melonjak dari angka normal 200 basis poin (bps) menjadi 1.400 bps.
Ditambah pencairan dana investor asing sekitar USD 6 miliar. Intinya ada
tekanan besar di pasar uang.

1.

B. Tinjauan Hukum (Aspek Pidana) Kasus Bank Century.

1.

Tindak Pidana Penggelapan

Penyebab lain ambruknya Bank Century adalah penipuan oleh pemilik dan
manajemen dengan menggelapkan uang nasabah. Mereka adalah Robert
Tantular, Anggota Dewan Direksi Dewi Tantular, Hermanus Hasan Muslim dan
Laurance Kusuma serta pemegang Saham yaitu Hesham Al Warraq Thalat dan
Rafat Ali Rijvi. Pengelapannya dilakukan dengan beberapa cara. Pertama,
memanfaatkan produk reksa dana fiktif yang diterbitkan PT Antaboga Delta
Sekuritas Indonesia yang dijual terselubung di Bank Century. Kedua,
menyalurkan sejumlah kredit fiktif. Ketiga, menerbitkan letter of Credit ( L/C )
Fiktif. Modusnya yaitu pemilik Bank Century membuat perusahaan atas nama
orang lain untuk kelompok mereka. Lantas mereka mengajukan permohonan
kredit, tanpa prosedur semestinya serta jaminan yang memadai mereka dengan
mudah mendapatkan kredit. Bahkan ada kredit Rp. 98 Milyar yang cair hanya
dalam 2 (dua ) jam. Jaminan mereka tambahnya hanya surat berharga yang
ternyata bodong.
Selain itu Robert Tantular juga menyalahgunakan kewenangan memindah
bukukan dan mencairkan dana deposito valas sebesar Rp. 18 Juta Dollar AS
tanpa izin sang pemilik dana, Budi Sampoerna. Robert juga mengucurkan kredit
kepada PT Wibowo Wadah Rezeki Rp. 121 Milyar dan PT Accent Investindo Rp. 60
Milyar. Pengucuran dana ini diduga tidak sesuai prosedur. Robert Tantular juga
melanggar Letter Of Commitmen dengan tidak mengembalikan surat surat
berharga Bank Century di luar negri dan menambah modal Bank.
2.

Permasalahan yang mencuat

a. Bahwa masalah di Bank Century disebabkan lemahnya Bank Indonesia


mengawasi pengoperasian perbankan nasional, sehingga merugikan keuangan
Negara. BI dinilai lalai dalam pengawasan, sehingga direksi dan pemilik Bank

Century sejak 2005 leluasa melarikan dana milik nasabah ke luar negri melalui
penerbitan Obligasi bodong.
b. DPR merasa dilangkahi pemerintah, karena pemerintah dan DPR hanya
bersepakat mengeluarkan dana rekap sebesar 1,3 Trilyun, nyatanya 6,7 trilyun.
c. Pengambilalihan Bank Century oleh pemerintah melalui LPS tidak memiliki
konsep yang jelas dan akan menimbulkan kerugianyang cukup besar.Dana yang
dikeluarkan LPS dalam upaya penyehatan Century yang mencapai Rp. 6,77
Trilyun dapat dipastikan tidak akan bisa kembali. Dan akan menimbulkan
kerugian yang besar, artinya upaya LPS memperetahankan deposan
deposannya tidak lari gagal.
d. Saat ini muncul dugaan dana rekap Bank Century bukan hanya 6,7 trilyun
tetapi mencapai hingga 9 Trilyun.
3. Penyelesaian
a.

Masih banyak misteri yang melingkupi kasus penyelamatan Bank Century.

Karena itu audit investigasi BPK harus dilakukan dengan tuntas. Jangan sampai
ada penumpang gelap yang bermain dengan mengatasnamakan penyelamatan
ekonomi nasional. Misteri itulah yang ditindaklanjuti komisi pemberantasan
Korupsi (KPK) dengan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk
melakukan audit investigasi terhadap bank. Tidak hanya KPK, DPR pun minta KPK
mengaudit proses bailout tersebut. Itu karena sebelumnya DPR pada tanggal 18
Desember 2008 telah menolak peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang jaringan pengaman sector keuangan
(JPSK) sebagai payung hukum dari penyelamatan bank milik pengusaha Robert
Tantular itu.
b.

Pemerintah terus memburu asset Robert Tantular dan pemegang saham

lainnya di luar negeri dengan membentuk tim pemburu asset. Tim ini
beranggotakan staf Departemen Keuangan, Markas Besar Polri, Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan,
Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, serta Departemen Hukum dan Hak
Azasi manusia. Untuk di dalam negeri jumlah asset yang disita polisis terkaitb
kasus tindak pidana perbankan di Bank Century sebesar Rp 1,191 miliar.
Sementara di luar negeri, polisis berhasiul menemukan dan memblokir asset
milik Robert Tantular senilai 19,25 Juta dolar AS atau setara Rp 192,5 Miliar. Uang

sebesar itu antara lain terdapat di USB AG Bank Hongkong senilai 1,8 juta dolar
AS, PJK Jersey sejumlah 16,5 juta dolar AS, dan British Virgin Island ( Inggris )
sebesar 927 ribu dolar AS. Selain itu polisisjuga menemukan dan memblokir aset
Hesham Al Warraq \talaat serta Rafat Ali Rizvi senilai Rp 11,64 triliun. Aset itu
tersebar di UBS AG Bank sejumlah 3,5 juta dolar AS, Standard Chartered Bank
senilai 650 ribu dolar AS dan sejumlah SGD 4.006, di ING Bank sebesar 388 ribu
dolar AS.
c.

Dalam proses hukum bank Century, pemilik bank century Robert tantular

beserta pejabat bank century telah ditetapkan sebagai terdakwa kasus


penggelapan dana nasabah. Bahkan manajemen Bank Century telah terlibat
dalam memasarkan produk reksadana PT Antaboga Sekuritas yang jelas-jelas
dalam pasal 10 UU Perbankan telah dilarang. Prinsip the five Cs of credit
analysis yang menjadi dasar pemberian dana talangan rupanya tidak diterapkan
oleh LPS. LPS harusnya meneliti Character (kejujuran pemilik bank), collateral
(jaminan utang bank), capital (modal), capacity ( kemampuan mengelola bank )
dan condition of economy sebelum bailout diberikan. Artinya dari segi the five
C;s of credit analysis Bank Century sebenarnya tidak layak sama sekali
mendapatkan dana talangan dari LPS. Ironisnya LPS justru mengucurkan dana
sampai 6,7 triliun ke bank itu.
d. Solusi untuk mengatasi bank-bank bermasalah bukan dengan memberikan
penjaminan penuh ( blanket guarantee atau bailout ) seperti yang diberikan ke
Bank Century. Hal itu berdasar pengalaman krisis keuangan 1998 yang akhirnya
mengakibatkan munculnya bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga Rp
600 triliun.
C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Di Bidang Perbankan
1. Kejahatan Korporasi
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak
menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana.
Di hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas
delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini
dipengaruhi pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana
hanyalah fiksi hukum yang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai
suatu nilai moral yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana
(unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak pidana mensyaratkan

adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal
dengan actus non facit reum, nisi mens sit rea.
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro
terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua
hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu,
pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus
dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada
korporasi. Menurut pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat
dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi
maka digunakanlah asas identifikasi. Dengan asas tersebut maka perbuatan
pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan
perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini dalam
ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering
dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke
dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran pelaku fungsional
(functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan
pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku
sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus atau
culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan korporasi.
Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran
tersebut adalah doctrine of strict liability dan doctrine of vicarious liability.
Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana dapat diminta
pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan sedangkan
menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan
pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan, misalnya oleh A
kepada B.
Selanjutnya menurut Sudarto, memang harus diakui, bahwa untuk sistematik
dan jelasnya pengertian tentang tindak pidana dalam arti keseluruhan syarat
untuk adanya pidana (der inbegriff dervoraussetzungen der strafe), pandangan
dualistis itu memberikan manfaat. Yang penting ialah kita harus senantiasa
menyadari bahwa untuk mengenakan pidana itu diperlukan syarat-syarat
tertentu. Apakah syarat itu demi jelasnya kita jadikan satu melekat
padaperbuatan, atau seperti yang dilakukan oleh Simons dan
sebagainya,ataukah dipilah-pilah, ada syarat yang melekat pada perbuatan dan

ada syarat yang melekat pada orangnya seperti dikemukakan oleh Moelyatno,
itu adalah tidak prinsipiil, yang penting ialah bahwa semua syarat yang
diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia ataupun peraturan lainnya,
namun berlakunya asas ini sekarang tidak diragukan karena akan bertentangan
dengan rasa keadilan, bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali
tidak bersalah.
Karena asas utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, maka
timbul permasalahan baru dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum
pidana.
Menurut Mardjono Reksodipuro, sehubungan dengan diterimanya korporasi
sebagai subjek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari
pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).
Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi. Asas utama dalam pertanggungjawaban
pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku.
Bagaimanakah harus dikonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi ?. Ajaran
yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatan yang melawan
hukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawaban pidana menurut
hukum pidana. Perbuatan melawan hukum oleh korporasi sekarang sudah
dimungkinkan. Tetapi bagaimana mempertimbangkan tentang
pertanggungjawaban pidananya ?. Dapatkah dibayangkan pada korporasi
terdapat unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus atau kealpaan
atau culpa)?. Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini
dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dan karena itu
berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku. Bagaimana halnya dengan
pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi ?.
Dalam kenyataan diketahui bahwa korporasi berbuat dan bertindak melalui
manusia (yang dapat pengurus maupun orang lain). Jadi pertanyaan yang
pertama adalah, bagaimana konstruksi hukumnya bahwa perbuatan pengurus
(atau orang lain) dapat dinyatakan sebagai sebagai perbuatan korporasi yang
melawan hukum (menurut hukum pidana). Dan pertanyaan kedua adalah
bagaimana konstruksi hukumnya bahwa pelaku korporasi dapat dinyatakan

mempunyai kesalahan dan karena itu dipertanggung-jawabkan menurut hukum


pidana. Pertanyaan ini menjadi lebih sulit apabila difahami bahwa hukum pidana
Indonesia mempunyai asas yang sangat mendasar yaitu : bahwa tidak dapat
diberikan pidana apabila tidak ada kesalahan (dalam arti celaan)[1]
Merujuk pada pendapat beberapa ahli tersebut di atas, dalam
menganalisis kasus bank century dalam konteks
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi di bidang perbankan, bahwa
telah terjadi tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh pemilik dan
manajemen dengan cara menggelapkan uang nasabah sehingga menimbulkan
ambruknya Bank century. Proses penggelapannya dilakukan dengan berbagai
cara yaitu: Pertama, memanfaatkan produk reksa dana fiktif yang diterbitkan PT
Antaboga Delta Sekuritas Indonesia yang dijual terselubung di Bank Century.
Kedua, menyalurkan sejumlah kredit fiktif. Ketiga, menerbitkan letter of Credit
( L/C ) Fiktif. Dalam hal ini perbuatan pengurus (atau orang lain) dapat
dinyatakan sebagai sebagai perbuatan korporasi yang melawan hukum (menurut
hukum pidana). Oleh karena itu mereka dituntut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam system peradilan pidana sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
Namun hingga saat ini kasus tersebut masih belum jelas. Seingga pada
kesempatan yang lalu, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjanji
akan meningkatkan status hukum kasus Bank Century dari penyelidikan menjadi
penyidikan pada tahun ini sesuai dengan rekomendasi DPR pada rapat Tim
Pengawas Kasus Bank Century DPR. KPK akan berusaha meningkatkan status
hukum kasus Bank Century dari penyelidikan menjadi penyidikan pada tahun ini,
tapi waktunya tidak bisa terlalu cepat, kata Ketua KPK, Abraham Samad, pada
rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan pimpinan KPK di
Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/2).
Pemberian bailout atau dana talangan oleh pemerintah kepada bank century
yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun dari semula 1,3 triliun harus menjadi
bahkan pembicaraan dan perdebatan seru. Bukan hanyua dimedia massa
dikalangan para ahli dan birokrasi pemerintah, tapi juga departemen karena hal
ini menyangkut dua aspek yaitu politik dan hukum.

Pemberian dana bailout century yang sekarang terus diperjualkan bisa berakibat
buruk terhadap bank tersebut. Dimana akan mengurangirasa percaya nasabah
pada dunia perbankan.
Kasus Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan Bank Indonesia (BI)
sebagai bank sentral terhadap bank umum. Bank-bank umumnya hendaknya
mendapat pengawasan ketat dari bank Central.
Ambruknya Bank Century telah menimbulkan dampak negative terhadap citra
perbankan dan berdampak sistemik terhadap perekonomian Indonesia jika
dibiarkan berlarut-larut. Oleh karena itu KSSK telah mengambil langkah-langkah
untuk mengambil alih dan menyuntik sejumlah dana untuk menyehatkan
kembali meskipun pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah.
Dari kaca mata hukum, kasus bank Century telah terdeteksi adanya pelanggaran
tindak pidana oleh pemilik dan manajemen dengan cara penggelapan dana
nasabah. Oleh pendapat para ahli kegiatan ini dapat digolongkan sebagai tindak
pidana kejahatan korporasi, yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
peraturan perundangan yang berlaku sebagai pertanggungjawaban tindak
pidana korporasi
Sumber :

http://alenfis.blogspot.com/
http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2013/01/12/pertanggungjawaban-tindakpidana-korporasi-atas-kejahatan-di-bidang-perbankan-studi-kasus-bank-century/
Pengusaha Ingin Gaji Buruh Selevel dengan Kemampuan

Penulis :

Fabian Januarius Kuwado

Senin, 4 November 2013 | 18:11 WIB


Ribuan buruh berunjuk rasa di depan Balaikota Jakarta, Jumat (1/11/2013).
Mereka mendesak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk merevisi penetapan
upah minimum provinsi 2014 sebesar Rp 2,4 juta. | KOMPAS.com/UMMI HADYAH
SALEH

JAKARTA, KOMPAS.com Ketua Kamar Dagang Indonesia DKI Jakarta Sarman


Simanjorang mengatakan, pengusaha di Jakarta ingin menggaji buruh sesuai
dengan kemampuan buruh. Oleh sebab itu, dalam waktu dekat, pengusaha di
Jakarta akan meningkatkan kemampuan buruh melalui program kompetensi.
"Perusahaan akan memperjuangkan adanya anggaran khusus yang digunakan
untuk pelatihan meningkatkan kompetensi dan keahlian supaya SDM-nya
semakin baik," ujar Sartam melalui surat elektronik ke Kompas.com, Senin
(4/11/2013) siang.
Ia mengatakan, jika buruh memiliki kompetensi dan keahlian bagus, upah buruh
akan disesuaikan tanpa perlu ada tuntutan dari buruh. Jika memang masih ada
tuntutan, Sarman sepakat dengan Gubernur DKI Joko Widodo bahwa hubungan
antara para buruh dan pekerja memang harus harmonis. Menurutnya, akan jauh
lebih efektif ada dialog melalui saluran yang ada, baik melalui dialog antara
perusahaan dan buruh atau serikat pekerja. "Daripada harus demonstrasidemonstrasi yang bisa menurunkan produktivitas dan daya saing barang di
Indonesia," ujarnya.
Sarman menyebutkan, peningkatan kemampuan pekerja, bukan hanya berimbas
pada kenaikan kesejahteraan buruh, melainkan juga sebagai bekal menyambut
ASEAN Economy Community pada tahun 2015. ASEAN Economy Community
merupakan situasi di mana persaingan antartenaga kerja negara-negara ASEAN
semakin terbuka. "Pekerja Jakarta harus siap soal skill. Jika pekerja kita siap, kita
tidak hanya menjadi penonton di negara sendiri," ujarnya.

Analisis :
Etika didefinisikan sebagai penyelidikan terhadap alam dan ranah moralitas
dimana istilah moralitas dimaksudkan untuk merujuk pada penghakiman akan
standar dan aturan tata laku moral. Etika juga bisa disebut sebagai studi filosofi
perilaku manusia dengan penekanan pada penentuan apa yang dianggap salah
dan benar.
Dari definisi itu kita bisa mengembangkan sebuah konsep etika bisnis. Tentu
sebagian kita akan setuju bila standar etika yang tinggi membutuhkan individu
yang punya prinsip moral yang kokoh dalam melaksanakannya. Namun,
beberapa aspek khusus harus dipertimbangkan saat menerapkan prinsip etika ke
dalam bisnis.

Pertama, untuk bisa bertahan, sebuah bisnis harus mendapatkan keuntungan.


Jika keuntungan dicapai melalui perbuatan yang kurang terpuji, keberlangsungan
perusahaan bisa terancam. Banyak perusahaan terkenal telah mencoreng
reputasi mereka sendiri dengan skandal dan kebohongan. Kedua, sebuah bisnis
harus dapat menciptakan keseimbangan antara ambisi untuk mendapatkan laba
dan kebutuhan serta tuntutan masyarakat sekitarnya. Memelihara keseimbangan
seperti ini sering membutuhkan kompromi atau bahkan barter.
Tujuan etika bisnis adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis dalam
menjalankan good business dan tidak melakukan monkey business atau dirty
business. Etika bisnis mengajak para pelaku bisnis mewujudkan citra dan
manajemen bisnis yang etis agar bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang
yang mempercayai adanya dimensi etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus
menghalau citra buruk dunia bisnis sebagai kegiatan yang kotor, licik, dan tipu
muslihat. Kegiatan bisnis mempunyai implikasi etis dan oleh karenanya
membawa serta tanggung jawab etis bagi pelakunya.
Berbisnis dengan etika adalah menerapkan aturan umum mengenai etika pada
perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan
kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai
etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika,
maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya,
pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia
dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita
mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan
cara peka dan toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis ada untuk mengontrol
bisnis agar tidak tamak.
Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk
meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai
pelanggaran moral. Praktik curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain,
melainkan juga masyarakat dan negara. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) tumbuh subur di banyak perusahaan.
Dari mana upaya penegakkan etika bisnis dimulai? Etika bisnis paling gampang
diterapkan di perusahaan sendiri. Pemimpin perusahaan memulai langkah ini
karena mereka menjadi panutan bagi karyawannya. Selain itu, etika bisnis harus
dilaksanakan secara transparan. Pemimpin perusahaan seyogyanya bisa
memisahkan perusahaan dengan milik sendiri. Dalam operasinya, perusahaan
mengikuti aturan berdagang yang diatur oleh tata cara undang-undang.
Etika bisnis tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sanksi. Kalau semua tingkah
laku salah dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma
yang salah ini akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar
aturan diberikan sanksi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan.
Ada tiga sasaran dan ruang lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis
sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang
terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Dengan kata lain, etika bisnis
pertama-tama bertujuan untuk menghimbau para pelaku bisnis untuk
menjalankan bisnis secara baik dan etis.

Kedua, menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh, atau karyawan


dan masyarakatluas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak
dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktik bisnis siapapun
juga. Pada tingkat ini, etika bisnis berfungsi menggugah masyarakat bertindak
menuntut para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik demi terjaminnya hak
dan kepentingan masyarakat tersebut.
Ketiga, etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat
menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis lebih
bersifat makro atau lebih tepat disebut etika ekonomi. Dalam lingkup makro
semacam ini, etika bisnis bicara soal monopoli, oligopoli, kolusi, dan praktik
semacamnya yang akan sangat mempengaruhi, tidak saja sehat tidaknya suatu
ekonomi, melainkan juga baik tidaknya praktik bisnis dalam sebuah negara.
Ditulis oleh: Ir. Istanto Oerip (Ketua Komite Keanggotaan PII)

Landasan teori
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang
muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya
dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan
yang dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup
pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur
organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul
seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan
tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan
prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh
masing-masing masyarakat.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
1. Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang
dianggapnya baik untuk dilakukan.

2. Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan
secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak
didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat
perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa
dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja
intern dalam suatu perusahaan.
3. Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat
dipertanggung jawabkan.
4. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar
bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
5. Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.
2.2 Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan
kewajiban diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada
orang (individu) sebagai perilaku moral yang nyata? Ada dua pandangan yang
muncul atas masalah ini .
Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan
yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa
perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas
apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab
secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah
bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama yang dilakukan
manusia.
Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk
akal berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia
gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki
kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus
secara membabi buta mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya
dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap
organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar
moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara
moral.

Sumber :

1.
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/11/04/1811330/Pengusaha.Ingin.Gaji.
Buruh.Selevel.dengan.Kemampuan
2.

http://pii.or.id/etika-bisnis

3.

http://hizkiayufioctaviani.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-pelanggaranetika-bisnis_15.html

Anda mungkin juga menyukai