Anda di halaman 1dari 8

ETIKA BISNIS EKU221E 

(C1)
“STUDI KASUS”

Dosen Pengampu : Dra. Ni Ketut Purnawati, M.S.

Oleh Kelompok 2 :

- Anjelika Cinta Aprilia (2007511027) 3

- I Putu Wahyu Permana (2007511069) 4

S1 EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB 1
IDENTIFIKASI KASUS

KASUS I
Kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :

Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut


disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada
operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui
mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk
level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal,
bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini,
perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras
menolak tuntutan pekerja, entah apadasar pertimbangannya.
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu
pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI.
Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat
berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak
ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua
sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport.

Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer


penting kestabilan politik koloni Papua.Induksi ekonomi yang terjadi dari
berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan
Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan,
nasional, bahkan global. Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational
company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari
AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan
pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme
satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar
produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen
dalam hal pemberian gaji yang layak.

Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia
terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif
yang sangat mendasar.Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada
PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia.
Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati
bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba.
Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara.Padahal,
tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara.
Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika,
bukan Indonesia. Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI
berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas,
perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan
tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya,
PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-
McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit
memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja
lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI
memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan
bisa di ketahui oleh pihak imigrasi.

KASUS 2
Masalah Philip Morris Philip Morris, dengan tenaga kerja lebih dari
144.000 orang, merupakan perusahaan rokok terbesar, perusahaan makanan
terbesar, dan perusahaan bir terbesar kedua di Amerika. Sebelum tahun 1970-an,
hampir seluruh pendapatan Philip Morris diperoleh dari tembakau. Para aktivis
menuduh perusahaan ini melakukan "pencucian uang" yang diperoleh dari bisnis
rokok dengan menggunakannya untuk membeli bisnis-bisnis kecil dan murah-
dengan tujuan melindungi dana-dana mereka dari kemungkinan terjadinya
penurunan dalam bisnis tembakau. Perusahaan makanan Philip Morris juga
berusaha meyakinkan konsumen untuk tidak mengkhawatirkan teknologi baru
yang digunakan perusahaan-misalnya iradiasi, yang dipakai untuk mengawetkan
makanan, dan rekayasa genetika, yang merupakan proses dasar dalam
pengembangan bahan makanan baru yang dipakai perusahaan. Meskipun sejumlah
perusahaan makanan menginformasikan pada konsumen produk-produk apa saja
yang dibuat dari hasil rekayasa genetika atau yang dibuat dengan menggunakan
proses iradiasi, Philip Morris tidak melakukannya. Program tindakan afirmatif
memiliki dan mengoperasikan delapan perusahaan bir di Amerika. Industri bir
saat itu sangat kompetitif. Semenjak tahun 1991, volume pertumbuhan rata-rata
kurang dari 1 persen setiap tahun, dan produk bir ini berusaha meraih pangsa
pasar melalui harga yang lebih murah dan promosi yang inovatif. Jumlah
konsumen yang memasuki usia yang diizinkan untuk mengkonsumsi bir di
Amerika naik pada tahun 1998 dan1999, namun banyak Perusahaan bir yang
beralih ke Cina, Eropa Timur, dan Amerika Latin untuk menaikkan penjualan.
Menjelang tahun 1999, Cina telah menjadi pasar bir terbesar kedua di dunia dan
mengambil alih pasar Amerika tahun 2000; Eropa Timur adalah benteng industri
bir, dan kondisi demografi yang menguntungkan serta kenaikan perekonomian
menjadikan Amerika Latin sebagai pilihan menarik bagi Philip Morris. Namun
bisnis paling sukses Philip Morris masih bisnis rokok. Tahun 1998, tembakau
merupakan industri dengan nilai 953 miliar di Amerika, dan rokok mewakili 94
persen dari jumlah total. Sekitar satu dari empat orang Amerika merokok, dengan
rata-rata pengeluaran untuk rokok sebesar $260 setahun. Tahun 1998, warga
Amerika mengkonsumsi 420 miliar rokok. Merek "Marlboro" dari Philip Morris,
merek dengan penjualan paling tinggi di dunia, menguasai 34 persen pasar
Amerika 8,1 miliar bungkus-turun dari 35 persen tahun 1997. Bersama dengan
merek-merek lain, Philip Morris menguasai 49,4 persen pasar rokok Amerika.
Namun persaingan bukan faktor utama yang mengancam bisnis tembakau Philip
Morris. Semenjak tahun 1950-an, industri tembakau telah banyak mendapat kritik
dari berbagai hasil penelitian yang mengaitkan merokok dengan penyakit kanker
paru-paru dan penyakit paru-paru kronis lain, penyakit jantung, dan cacat lahir.
Tahun 1966,1969, dan 1985, Kongres menetapkan peraturan yang mewajibkan
pemasangan peringatan bahaya merokok di setiap bungkus rokok. Satu
pertimbangan baru muncul tahun 1986 saat U.S. Surgeon General dan National
Academy of Sciences melaporkan bahwa orang-orang bukan perokok juga
berkemungkinan terkena penyakit kanker paru-paru akibat asap rokok yang
dihisap orang lain. Tahun 1991, U'S. Environmental Protection Agency
mengeluarkan laporan tentang risiko yang diterima oleh orang-orang bukan
perokok. Philip Morris pertama menanggapi semakin besarnya keprihatinan
masalah kesehatan dengan membuat iklan bahwa penelitian-penelitian yang
memelajari hubungan antara penyakit kanker Paru-Paru dengan merokok masih
belum jelas. Secara khusus, perusahaan mengklaim bahwa, karena tidak semua
perokok mengalami kanker paru-paru, maka tidak ada hubungan sebab-akibat
yang dapat ditunjukkan antara merokok dengan kanker paru-paru. Perusahaan
juga menyatakan bahwa merokok tidak menyebabkan kecanduan dan para
perokok bebas berhenti merokok kapan saja mereka inginkan. Merokok, kata
perusahaan, adalah masalah piiihan pribadi, dan semua orang bebas melaksanakan
hak pribadi mereka untuk merokok kapan saja, di mana saja, dan seberapa pun
banyaknya yang mereka inginkan. Lebih jauh lagi, sekalipun merokok adalah
berbahaya, menurut perusahaan, label peringatan sesuai yang disyaratkan
pemerintah federal memberi informasi pada perokok tentang risikorisiko yang
berkaitan dengan merokok, jadi tidak bisa disimpulkan bahwa mereka tidak secara
sukarela menerima risiko-risiko tersebut. Pandangan-pandangan ini diajukan
dalam beberapa halaman sebuah majalah dan majalah tersebut dikirimkan pada
para perokok semenjak akhir tahu 1980-an. Namun pada tahun 1999, untuk yang
pertama kalinya, perusahaan mengakui adanya hubungan antara merokok dan
penyakit kanker. Tetapi, mereka tetap bersikeras bahwa merokok tidak
menyebabkan kecanduan, namun lebih merupakan masalah pilihan dan tanggung
jawab pribadi. Meskipun pertimbangan masalah kesehatan memengaruhi nilai
penjualan di Amerika Serikat, namun pemerintah-pemerintah negara lain,
khususnya di negara-negara Dunia Ketiga, tidak banyak menghabiskan uang
untuk kampanye-kampanye antimerokok dan enggan melepaskan pendapatan
pajak yang diperoleh dari rokok. Akibatnya, perusahaanperusahaan rokok,
khususnya Philip Morris, mulai melakukan investasi besarbesaran ke pasar luar
negeri, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, dan, belum lama ini, pasar Eropa
Timur.

Bisnis bir Philip Morris juga mengalami tekanan. Sejumlah kelompok


kepentingan dibentuk seputar masalah mengemudi sambil mabuk, termasuk
SADD (Students Agninst Drizting Drunk) dan MADD (Mothers Against Driaing
Drunk), dan merupakan lobi yang sangat efektif dalam menaikkan batasan usia
untuk mengonslrmsi bir, menaikkan hukuman terhadap tindakan mengemudi
sambil mabuk, dan membatasi ketersediaan alkohol pada kaum minoritas.
Kelompok lain, SMART (Stop Marketing Alcohot on Radio and Teleoision) juga
berttsaha melobi pembenlukan peraturan yang membatasi iklan bir dengan
berdasarkan bahwa alkohol berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan dan
bahwa iklan radio dan televisi banyak ditujukan pada kelompok minoritas.
Industri bir juga semakin banyak mendapat kecaman sejalan dengan semakin
tingginya perhatian terhadap masalah kesehatan dan konsumsi. Kesadaran akan
pengaruhpengaruh alkohol jangka panjang pada organ-organ intemal, khususnya
jantung dan hati, semakin banyak mendapat perhatian. Sebagai tambahan,
minuman beralkohol dengan kadar kalori tinggi mendorong semakin besarnya
kecenderungan terhadap konsumsi minuman nonalkohol atau berkadar alkohol
rendah, yang mengandung kadar kalori yang juga lebih rendah.

BAB II 
PEMBAHASAN 
 
KASUS I
Kita telah menidentifikasi mengenai mogoknya karyawan PT Freeport Indonesia
karna tidak adanya persamaan hak dalam penggajian yang dilakukan oleh PT
Freeport Indonesia. Hal ini dilatar belakangi karna karyawan PT Freeport
Indonesia merasa dicurangi mengenai gaji yang diterimanya tidak sesuai dengan
standar gaji PT Freeport McMoran di mana tak sebanding jika dibandingkan
dengan PT Freeport lainnya yang beroperasi diluar negeri. Padahal PT Freeport
Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas terbaik di dunia. Hak
didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena
itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis, seperti Indonesia.
Namun hal itu dilanggar secara terang-terangan oleh pihak Freeport itu sendiri.
Negara dapat dikatakan gagal karna tidak memberikan perlindungan dan
menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak
memberikan dukungan penuh kepada PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan
dengan pengerahan personil militer dan pembiaran kerusakan lingkungan dan hak
penggajian karyawan harus beradu otot akan tetapi mogoknya hampir seluruh
pekerja PT Freeport Indonesia disebabkan karena perbedaan indeks standar gaji
yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport diseluruh dunia.
Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah dari pada
pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama perundingannya
masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan
pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
1. Teori Etika Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport Indonesia dalam hal ini sangat
bertentangan karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk
mensejahterakan masyarakat sekitar, melainkan untuk negara Amerika.
2. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan
yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan
atau perilaku.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan
kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak
didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena
itu hak sangat cocok dengan suasana Demokratis. Dalam kasus ini, PT Freeport
Indonesia sangat tidak etis dimana kewajiban terhadap para karyawan tidak
terpenuhi karena gaji yang diterima tidak layak dibandingkan dengan pekerja
Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport Indonesia merupakan tambang emas
dengan kualitas emas terbaik di dunia.
 Kesimpulan
Ada hal mendasar yang harus terus dikelola, yaitu aspek kemanusiaan. Mungkin
bagi pemegang sahamnya, atau bagi peminat saham PT Freeport, tambang
Grasberg di kabupaten Mimika hanyalah portofolio dan unit bisnis yang bisa saja
mereka matikan, atau mereka jual-belikan setiap saat. Tapi bagi puluhan ribu,
bahkan ratusan ribu keluarga, tambang Grasberg adalah kehidupan. Tidak penting
berapa jumlahnya, tetapi mereka sudah puluhan tahun hidup, memajukan ekonomi
keluarga, sekolah, membangun usaha, dan seterusnya. Aspek kemanusiaan ini,
terutama kehidupan warga Papua tetap harus jadi yang utama. Solusi dari masalah
utama terkait dengan Foreign Direct Investment (FDI) adalah pemerintah harus
tegas dalam menjalankan kebijakan yang telah disepakati dan mengubah konsep
pemikiran bahwa FDI tidak selalu membawa dampak positif bagi negara
Indonesia

KASUS II

1. Identifikasikan semua masalah moral yang muncul dari kegiatan Phillip Morris
dalam industri tembakau, bir, dan makanan. Diskusikan masalah-masalah
tersebut dalam kaitannya dengan pandangan utilitarian, hak, keadilan, dan
perhatian.

 Masalah utilitarian :
Philip morris diduga akan memodifikasi dan meningkatkan tingkat nikotin yang
jelas-jelas menyalahgunakan pengetahuan tentang sifat adiktif nikotin hanya
untuk mendapatkan keuntungan lebih.

Philip morris sedang mencoba untuk menjauhi industri tembakau untuk mengejar
pangsa pasar di industri lain seperti makanan dan minuman. Ini adalah
kontingensi untuk mengamankan perusahaan dari kejatuhan yang akan datang dari
meningkatnya jumlah tuntutan hukum menyerang mereka, akibat dari kegiatan
mereka di industri tembakau dan alkohol

 Masalah hak :

Gugatan diajukan karena gagal untuk memperingatkan konsumen dari resiko


kesehatan. Philip morris berpendapat bahwa bahkan jika produk mereka
mempunyai resiko kesehatan, itu adalah hak individu untuk rela memikul resiko.
Mereka mengklaim bahwa perokok dapat berhenti kapan saja mereka ingin dan
bahwa individu harus dibiarkan bebas untuk menggunakan hak pribadi mereka
untuk merokok kapan, di mana, dan sebanyak yang mereka pilih.

Sehubungan dengan bisnis makanan mereka, philip morris memiliki hak untuk
terlibat dan berkembang didaerah ini karena telah sah membeli perusahaan
makanan. Lawan berpendapat bahwa mereka 'mencuci' dan 'mencemari' uang
rokok untuk mencapai status mereka dalam industri makanan.
 Masalah keadilan :

Dalam keadilan untuk kerusakan yang disebabkan oleh produk mereka, philip
morris menghadapi tuntutan untuk membayar ganti rugi sebagai kompensasi
kesehatan untuk individu yang menderita sakit akibat konsumsi tembakau dan
alkohol.

Masalah kepedulian :

Philip morris tampaknya tidak benar-benar peduli pada konsumen mereka. Wajar
untuk mengasumsikan bahwa untuk perusahaan yang besar lebih peduli tentang
keuntungan dan ekspansi ketimbang memprioritaskan dalam menunjukkan
perawatan asli dan kepedulian terhadap kesehatan individu dan kesejahteraan.

2. Industri bir dan tembakau dikarateristikkan sebagai “industri dosa”. Berikan


komentar dalam kaitannya dengan apa yang bisa diberikan oleh teori kebaikan
atas aktivitas perusahaan dalam industri-industri tersebut

Keutamaan pengendalian diri individu sedang diuji dengan industri ini. Mereka
menggunakan iklan untuk menghasut dan menggoda orang untuk "bergabung
dengan klub dari orang-orang keren". Begitu mereka lakukan, orang akan sulit
berhenti dari kebiasaan buruk. Fakta kreatif ini dieksploitasi oleh perusahaan
philip morris.

3. Menurut anda, apakah tepat bila lembaga pemerintah mengambil tindakan


dalam kasus ini?

Menurut kelompok kami, sangatlah tepat bila lembaga pemerintah mengambil


tindakan dalam kasus ini. Soalnya jika dibiarkan saja tanpa diberikan
kebijakankebijakan tertentu maka bisa saja pihak dari Phillip Morris tak dapat di
bendung lagi kegiatan-kegiatan mereka yang menyimpang dan dapat merugikan
masayarakat.

KESIMPULAN

Kasus II

Secara moral, Phillip Morris tidak bertanggung jawab atas tindakannya tanpa
memikirkan resiko yang dihadapi konsumennya. Philip morris diduga akan
memodifikasi dan meningkatkan tingkat nikotin yang jelas-jelas
menyalahgunakan pengetahuan tentang sifat adiktif nikotin hanya untuk
mendapatkan keuntungan lebih. Walaupun sudah dituntut oleh konsumennya
pihaknya tetap tidak mau bertanggung jawab terhadap resiko yang didapatkan
oleh konsumennya. Mereka tetap mengatakan ini tanggung jawab pribadi dan
ternggantung dari pilihan konsumen itu sendiri. Dia juga tetap menolak bahwa
nikotin yang terkandung dalam rokok produksi itu yang menyebabkan kecanduan
terhadap konsumennya. Walaupun hasil penilitian sudah menunjukan bahwa
nikotin positif membuat penggunanya kecanduan. Namun akhirnya dia
mengakuinya namun tidak bertanggung jawab dan menyatakan ini adalah
tanggungan pribadi. Begitu juga dengan kandungan alkohol yang terdapat pada
birnya yang kandungannya lebih besar dari ketentuannya. Sehingga campur
tangan pemerintah disini sangat dibutuhkan, agar penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan produsen seperti Phillip Morris tidak terulang dan pihak
konsumen tidak dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai