Anda di halaman 1dari 22

Dalam gelaran acara Forum G20 yang membahas dua bidang tematik

strategis yaitu jalur keuangan dan jalur Sherpa. Dalam jalur keuangan yang
mencakup topik keuangan seperti keuangan publik, keuangan, politik substantif,
investasi infrastruktur, regulasi keuangan, inklusi keuangan, dan perpajakan
internasional. Jalur Sherpa mencakup isu-isu non-keuangan seperti antikorupsi,
ekonomi digital, ketenagakerjaan, pertanian, pendidikan, kebijakan luar negeri,
budaya, kesehatan, pembangunan, lingkungan, pariwisata, energi berkelanjutan,
perdagangan, investasi, industri, dan pemberdayaan perempuan. bekerja di
lapangan yang lebih luas. Agenda lengkap konferensi, yang akan dilakukan
menurut sektor-sektor di atas, akan berujung pada komunike yang berisi
komitmen dan pernyataan bersama tentang isu-isu global terkini dan hasil
konsensus anggota Forum G20. Adanya G20 telah memberikan dampak berikut
bagi Indonesia.
a. Acara G20 akan menyumbang US$533 juta atau sekitar Rp 7,4
triliun terhadap PDB Indonesia.
b. Konsumsi dalam negeri meningkat menjadi Rp 1,7 triliun.
c. Acara G20 akan menarik hingga 1,8 hingga 3,6 juta wisatawan
asing dan 0,6 hingga 0,7 juta pekerjaan baru, didorong oleh kinerja
yang kuat di industri perhotelan, mode, dan kerajinan tangan.
d. Serangkaian kegiatan G20 di Indonesia akan melibatkan UMKM
dan akan menampung sekitar 33.000 tenaga kerja.
e. Presidensi G20 juga akan mendorong investasi UMKM dalam
negeri, mengingat 80% investor global saat ini berasal dari negara-
negara G20. Momentum menandai keberhasilan reformasi
struktural, termasuk Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja,
untuk meningkatkan kepercayaan investor secara global.
f. Indonesia akan berperan dalam membentuk kebijakan untuk
pemulihan ekonomi global. Seiring dengan membaiknya
perekonomian global akan memberikan dampak positif, salah
satunya ekspor yang akan tumbuh secara eksponensial.
g. Pemulihan ekonomi global dan domestik juga akan meningkatkan
konsumsi masyarakat, investasi, dan aktivitas ekspor/impor yang
tumbuh pesat. Hasilnya, penerimaan pajak meningkat lebih dari
18%, penerimaan bea cukai meningkat lebih dari 24% dan
penerimaan PNPB meningkat lebih dari 23%.
Oleh karenanya, Indonesia akan sangat diuntungkan karena ada
beberapa sektor yang terkena dampak G20, seperti sektor pariwisata yang
disebut-sebut akan meningkat potensinya karena kehadiran G20. Tak
hanya itu, konsumsi dalam negeri meningkat menjadi Rp 1,7 triliun.
Indonesia juga berkontribusi dalam kebijakan pemulihan ekonomi dunia,
yang pada gilirannya akan meningkatkan ekspor kita. Sejak saat itu,
dampak G20 juga menyebabkan peningkatan kegiatan investasi dan
ekspor-impor yang tumbuh pesat, dengan penerimaan pajak tumbuh lebih
dari 18%, penerimaan bea cukai lebih dari 24%, dan penerimaan PNPB
lebih dari dari 23%
ANALISIS HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL NON
TARIF PADA EKSPOR TUNA DI INDONESIA
Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Nilai Ujian Akhir Semester pada Mata
Kuliah Ekonomi Internasional

Disusun Oleh:
Reina Shahnaz Mahasti 2010116067

Dosen Pengampu:
1. Dr. Erric Wijaya, SE.,ME
2. Raden Parianom, SE.,M.SE

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2022

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................4
BAB I................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................8
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................9
1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................................9
BAB II.............................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................10
2.1 Pengertian Tuna.................................................................................................10
2.1.1 Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya di Indonesia................10
2.1.2 Ragam Produk Perdagangan Tuna............................................................11
2.2 Perdagangan Internasional.................................................................................11
2.3 Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers).......................................................12
BAB III...........................................................................................................................14
METODE PENELITIAN..............................................................................................14
3.1 Jenis Penelitian...................................................................................................14
BAB IV............................................................................................................................15
PEMBAHASAN.............................................................................................................15
4.1 Pemberlakuan Non Tarif Measures Terhadap Ekspor Tuna....................................15
4.2 Hambatan Non Tarif Measures Terhadap Ekspor Tuna..........................................17
BAB V.............................................................................................................................20
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................20
5.1 Kesimpulan..............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdagangan internasional bisa didefinisikan menjadi perdagangan antar
atau lintas negara, yg meliputi ekspor & impor. Perdagangan internasional dibagi
sebagai 2 kategori, yakni perdagangan barang (fisik) & perdagangan jasa.
Perdagangan jasa antara lain, terdiri berdasarkan porto perjalanan (travel),
asuransi, pembayaran bunga, & remittance. 1Seiring globalisasi yg semakin maju
perdagangan sebagai keliru satu unsur krusial pada perekonomian poly negara,
menggunakan begitu nir bisa dihindari lagi bahwa liberalisasi perekonomian
semakin tampak gencar dilakukan pada segala bidang pada global internasional.
Hal ini bisa dipandang berdasarkan terbentuknya WTO, APEC, G-20 & interaksi
baik bilateral juga multilateral. Hal ini adalah tanda-tanda liberalisasi
perekonomian, lebih khususnya bisa dikatakan liberalisasi perdagangan.
Perdagangan global sudah mengalami perluasan akbar -besaran selama 3
dasa warsa terakhir ini. Perubahan teknologi pada bidang transportasi &
komunikasi, keuangan global & sistem perdagangan yg terbuka sudah mendorong
peningkatan pendapatan negara-negara pada banyak sekali kawasan. Dapat
dipandang bahwa beberapa negara kemajuan ekonominya terhambat lantaran
mengabaikan dukungan perdagangan & efek berdasarkan luar negeri. Dalam 2
dasa warsa terakhir ini hampir semua negara putusan bulat bahwa mereka wajib
menerima laba berdasarkan meningkatnya globalisasi menjadi suatu cara buat
mempertinggi pertumbuhan ekonomi domestik secara optimal.
Pada dasarnya kendala perdagangan bisa dikelompokan sebagai empat
kategori yaitu pertama, & yg paling kentara merupakan tindakan restriksi yg
dilakukan sang pemerintah suatu negara misalnya tarif, kuota, anggaran bea
masuk, perizinan impor, & practices misalnya pengujian & sertifikasi. Kedua,
peraturan internal & praktek yg mempunyai sifat perlindungan misalnya peraturan
yg berkaitan menggunakan produk & jasa meliputi pendistribusian dan penjualan
produk & jasa, subsidi, monopoli perdagangan sang negara, kebijakan pengadaan
pemerintah, baku teknis persyaratan, dan langkah-langkah keselamatan dan
kesehatan. Ketiga, terkait praktik usaha partikelir & tata cara adat mencakup
restriksi praktik usaha, sosial, dan disparitas budaya yg menghipnotis prilaku
usaha, & preferensi konsumen. Keempat, terkait kendala yg berdari berdasarkan
ciri & struktur ekonomi berdasarkan negara pengimpor, misalnya kebijakan
pemerintah atas kredit & investasi, kebijakan idustrial, & kebijakan ekonomi
makro, misalnya mendorong penghematan & mengurangi konsumsi.
Indonesia merupakan negara kepulauan yg mempunyai luas huma
akuakultur kurang lebih 28,lima juta hektar, syarat tadi berakibat negara Indonesia
menjadi negara yg mempunyai kekayaan asal daya perikanan yg relatif berlimpah.
Posisi Indonesia yg terletak pada daerah khatulistiwa jua kentara sangat
menguntungkan, lantaran sebagian akbar daerah perairan nusantara adalah loka
berpijah atau kawin banyak sekali jenis ikan, termasuk ikan tuna, terutama pada
perairan Selat Makassar & Laut Banda. & ikan abu-abu (thunnus tonggol).
Persebaran ikan tuna hampir seluruhnya terdapat pada daerah perairan
bahari Indonesia. Luasnya daerah persebaran ikan tuna pada bahari Indonesia
sebagai laba tersendiri bagi Indonesia, lantaran syarat tadi bisa berakibat
Indonesia menjadi negara pembuat & eksportir tuna global. Berdasarkan data
Kementrian Kelautan & Perikanan mencatat nilai ekspor produk perikanan
sepanjang Januari-September mencapai US$4,61 miliar atau kurang lebih Rp71,8
triliun (perkiraan kurs Rp15.596). Realisasi eskpor itu baru mencapai 64,65 %
berdasarkan sasaran 2022. Komoditas primer penyumbang capaian ekspor tadi
mencakup udang, tuna-tongkol-cakalang, cumi-sotong-gurita, rumput bahari, &
rajungan-kepiting menggunakan total nilai US$ 3,68 miliar atau tumbuh positif
14,48 % year-on-year (yoy).
Uni Eropa adalah negara yang sebagai tujuan primer ekspor komoditas
ikan tuna dari Indonesia. Selain Uni Eropa, negara yg sebagai tujuan primer
ekspor tuna berdari Indonesia yakni Amerika Serikat & Jepang. apabila dipandang
dalam Gambar tiga pada bawah ini bisa diketahui bahwa pada tahun 2015 total
volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa menduduki peringkat ke 2 sesudah
Jepang menggunakan total volume ekspor sebesar 23.753.416 kg. apabila
dipandang dari total nilai ekspor maka negara Amerika Serikat menduduki
peringkat pertama menggunakan total nilai ekspor sebanyak USD 168.650.356.
Uni Eropa sendiri apabila dipandang total nilai ekspornya pada tahun 2015
menduduki peringkat ketiga menggunakan total nilai ekspor sebanyak USD
104.638.214. Nilai tadi tentu lebih rendah berdasarkan Amerika Serikat, meskipun
volume ekspornya jauh lebih tinggi.
Uni Eropa merupakan negara yg menjadi tujuan utama ekspor komoditas
ikan tuna berdasarkan Indonesia. Selain Uni Eropa, negara yang menjadi tujuan
utama ekspor tuna berdari Indonesia yakni Amerika Serikat & Jepang. bila
dicermati pada Gambar 3 dalam bawah ini sanggup diketahui bahwa dalam tahun
2015 total volume ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa menduduki peringkat ke
dua selesainya Jepang memakai total volume ekspor sebanyak 23.753.416 kg. bila
dicermati berdasarkan total nilai ekspor maka negara Amerika Serikat menduduki
peringkat pertama memakai total nilai ekspor sebesar USD 168.650.356. Uni
Eropa sendiri bila dicermati total nilai ekspornya dalam tahun 2015 menduduki
peringkat ketiga memakai total nilai ekspor sebesar USD 104.638.214. Nilai
tersebut tentu lebih rendah menurut Amerika Serikat, meskipun volume ekspornya
jauh lebih tinggi.
Berdasarkan data WTO (2017), bahwa negara Uni Eropa adalah negara yg
paling tak jarang memberlakukan kebijakan NTMs (SPS & TBT) dimana nilai
persentase total pemberlakuan NTMs-nya pada kurun saat 10 tahun merupakan
sebanyak 57%. Sedangkan negara Amerika Serikat menduduki peringkat ke 2
menggunakan nilai persentase 36%. Kemudian diikuti menggunakan Jepang
menggunakan nilai persentase 7%. Hal ini bisa menunjukan ketatnya peraturan yg
diberlakukan sang Uni Eropa. Bahkan ketatnya keamanan pangan yg diterapkan
sang pemerintahan Uni Eropa terhadap produk-produk perikanan yg dipasok ke
daerah tadi berakibat Uni Eropa menjadi barometer bagi pasar perikanan dunia.
Maraknya informasi kendala non-tarif misalnya SPS & TBT yg diterapkan sang
Uni Eropa menjadi bentuk proteksi, tentu sebagai perkara akbar bagi negara
berkembang misalnya Indonesia. Adanya peraturan, baku, tatalaksana, & sistem
pemeriksaan buat mengklaim bahwa produk yg diimpor sudah memenuhi
persyaratan keamanan pangan adalah galat satu kesulitan atau kendala yg
dirasakan sang eksportir Indonesia, terutama buat sektor perikanan. Bahkan semua
rantai pasokan ikan & produk perikanan yg diekspor ke Uni Eropa seluruhnya
diatur sang peraturan Uni Eropa, mulai berdasarkan penangkapan (catching),
budidaya (cultivation), pendaratan (landing), pengolahan (processing),
pengangkutan (transporting), mengimpor (importing), pemasaran (marketing),
distribusi (distribution) sampai penjualan (selling) pada pasar Eropa. Menurut
BAPPENAS (2005) pada Kemendag, konflik & tantangan utama yg dihadapi
pada bidang perdagangan internasional terutama dalam sektor perikanan
merupakan meningkatnya kendala non-tarif. Hambatan non-tarif tadi ditandai
menggunakan informasi lingkungan, misalnya ecolabelling & proteksi terhadap
spesies fauna eksklusif dan informasi pekerja anak dalam produk-produk
pertanian & perikanan. Kondisi tadi tentu akan berpengaruh terhadap kinerja
ekspor tuna Indonesia menjadi komoditas unggulan.
Eksportir tuna berdari Indonesia sendiri sampai ketika ini masih poly yg
belum menerima tunjangan profesi internasional The Marine Stewardship Council
(MSC). MSC merupakan sebuah forum non-pemerintah yg bertujuan memutuskan
baku penangkapan ikan secara ramah lingkungan (sustainable). Menurut Thomas
Darmawan selaku kepala AP5I (Asosiasi Pengusaha Pengolahan & Pemasaran
Produk Perikanan Indonesia) berkata meskipun MSC bukanlah baku harus yg
ditetapkan pasar internasional bagi para negara eksportir, tetapi tunjangan profesi
ini sudah ditetapkan sang perusahaan-perusahaan importir pada secara umum
dikuasai negara Eropa. Dampak berdasarkan adanya kebijakan tadi bahkan sudah
mengakibatkan tuna Indonesia pernah mengalami penolakan ekspor pada tahun
2014, dimana ikan tuna menjadi komoditas andalan ekspor Indonesia ke Spanyol
pernah mengalami kendala ekspor. Penolakan tadi terjadi dikarenakan produk
tuna Indonesia belum mempunyai sertifikat penangkapan yg ramah lingkungan.
Sedangkan, menurut output rendezvous bilateral antara pemerintah Indonesia &
Spanyol disebutkan bahwa Spanyol mengalami peningkatan permintaan
pembuktian sertifikat penangkapan. Saat itu negara Spanyol sedang melakukan
analisa risiko terhadap negara-negara yg impornya mengalami kenaikan signifikan
ke Spanyol, termasuk Indonesia

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pemberlakuan Non Tarif Meassures terhadap komoditas ikan
tuna di Indonesia?
2. Bagaimana hambatan Non Tarif Measures terhadap ekspor tuna bagi
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pemberlakuan Non Tarif Messures terhadap komoditas
ikan tuna di Indonesia
2. Untuk mengetahui hambatan Non Tarif Measures terhadap ekspor tuna
bagi Indonedia
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan serta informasi
yang berguna bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain:
1. Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi dari
perkuliahan yang diterima selama ini, yang akan sangat bermanfaat
dalam penyelesaian tugas Ujian Akhir Semester dalam Mata Kuliah
Ekonomi Internasional.
2. Akademisi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan
informasi bagi yang berminat melakukan penelitian dengan tema yang
sama.
3. Para Pengambil Kebijakan (Pemerintah dan Pelaku Usaha (Eksportir))
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi
dalam pengambilan kebijakan dan evaluasi untuk mewujudkan
kemajuan perdagangan ikan tuna Indonesia yang berdaya saing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Tuna
Tuna adalah jenis ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari
famili Scombridae, terutama genus Thunnus. Menurut Kemendag (2015:
6), dalam statistik perikanan tangkap Indonesia tuna merupakan nama
kelompok ikan yang terdiri dari beberapa jenis diantaranya yaitu:
1) Jenis tuna besar (Thunnus spp.) yakni bluefin tuna (Thunnus
thynnus), yellowfin tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna
(Thunnus obesus), southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii),
dan albacore (Thunnus alalunga) serta jenis ikan mirip tuna
(tuna-like species) seperti marlin, sailfish dan swordfish
2) Jenis cakalang (skipjack tuna)
3) Jenis tongkol, meliputi eastern little tuna (Euthynus spp.),
frigate and bullet tuna (Auxus spp.) dan longtail tuna (Thunnus
tonggol).
2.1.1 Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya di Indonesia
Ikan tuna adalah perenang handal (pernah diukur mencapai 77
km/jam). Tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging
berwarna putih, daging tuna berwarna merah muda sampai merah tua.
Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari
pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna
sirip biru (Thunnus thynnus), dapat menaikkan suhu darahnya di atas
suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat
hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang
beragam (DKP Padang Pariaman, 2014)
Menurut Burhanudin (1984) dalam Rastikarany (2008: 8),
menyebutkan bahwa suku Scombridae mencakup banyak jenis di dunia
dan tercatat ada 46 jenis. Dari 46 jenis suku Scombridae, perairan
Indonesia hanya memiliki 20 jenis dan untuk jenis tuna yang terdapat
di perairan Indonesia hanya sebanyak 9 jenis seperti Tongkol Pisang,
Tongkol, Cakalang, Madidihang, Albakora, Mata besar, dan Abu-abu
Selatan
Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan
Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan
sangat bergantung pada beberapa hal yang terkait dengan spesies tuna,
kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE
Indonesia, migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan
bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak
pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik (DKP, 2006 dalam Rastikarany, 2008: 9). Suhu dan
kedalaman perairan juga memberikan pengaruh yang paling kuat dan
utama terhadap penyebaran ikan tuna (Barata dkk., 2011: 165).
2.1.2 Ragam Produk Perdagangan Tuna
Indonesia merupakan salah satu negara supplier ikan tuna dunia
sejak dua puluh tahun terakhir (Kemendag, 2014a: 3). Jenis tuna yang
banyak di ekspor Indonesia diantaranya yaitu, jenis albakora, abu-abu
(southern bluefin), cakalang, dan madidihang (yellow fin). Secara
umum, tuna Indonesia diperdagangkan dalam bentuk segar
(fresh/chilled), beku (frozen), dan olahan (preserved), maupun wadah
vakum (airtight container). Dalam perdagangan dunia setiap komoditi
yang diperjualbelikan di pasar dunia memiliki nomor kode HS sebagai
identitas dari komoditi tersebut. Kode HS 6 digit untuk produk ikan
tuna baik segar (fresh) maupun beku (frozen) dibedakan berdasarkan
jenis ikannya, kecuali ikan tuna dalam kemasan (kaleng).
2.2 Perdagangan Internasional
Secara teori, perdagangan internasional terjadi terutama karena dua
alasan. Pertama, negara bertindak karena mereka secara fundamental
berbeda. Negara mana pun bisa menang jika melakukannya dengan relatif
baik. Kedua, negara bertindak dengan tujuan mencapai skala ekonomi
dalam produksi. Artinya, jika suatu negara hanya memproduksi sejumlah
komoditas tertentu, maka dapat memproduksi komoditas tersebut dalam
skala besar dan dengan demikian lebih efisien dibandingkan jika negara
tersebut memproduksi semua jenis komoditas (Basri dan Munandar,
2010:32).
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa aktivitas perdagangan
internasional didorong oleh penawaran dan permintaan suatu negara untuk
produk tertentu (Gambar 5). Misalnya, suatu negara (Negara A)
mengekspor barang (pakaian) ke negara lain (Negara B) jika harga
domestik di Negara A (sebelum perdagangan internasional) relatif lebih
rendah daripada harga domestik di Negara B. Struktur harga tercermin di
negara A akan terjadi karena produksi dalam negeri lebih besar dari
konsumsi dalam negeri, sehingga negara A akan kelebihan pasokan
(overproduction) dan dengan demikian akan berkurang. Oleh karena itu,
negara A memiliki peluang untuk menjual kelebihan produksinya ke
negara lain. Di sisi lain, konsumsi domestik negara B lebih tinggi dari
produksi domestiknya (excess demand), sehingga pasokannya terbatas,
sehingga harga negara B tinggi. Dalam hal ini, Negara B ingin membeli
pakaian dari negara lain yang harganya relatif murah. Dan ketika konsumsi
terjadi antara negara A dan B, terjadi perdagangan internasional antara
kedua negara, dan pada keseimbangan harga yang diterima kedua negara
adalah sama.

2.3 Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers)


Menurut Salvatore (1997: 315), waktu taraf tarif pada aneka
macam negara diturunkan secara berarti melalui serangkaian perundingan
perdagangan multilateral, jumlah & peranan aneka macam bentuk kendala
perdagangan non-tarif tadi justru melonjak. Hambatan non-tarif
merupakan kendala masuk sebuah produk yg bukan ditimbulkan lantaran
adanya pengenaan tarif impor, namun dampak adanya pelarangan,
penunjukan dalam perusahaan eksklusif saja menjadi pihak yg menangani
pemasaran & pembuatan satu jenis barang. Praktik non-tarif adalah
tindakan kebijakan & praktik yg merusak volume, komposisi & arah
perdagangan barang atau upaya merusak sampainya barang ke konsumen
pada suatu negara. Hambatan non-tarif terdapat yg tertulis terdapat yg
tidak. Baik kendala tarif juga non-tarif, keduanya dipercaya menjadi
kendala protesis atau yg dibentuk menjadi imbangan kendala alamiah yg
berupa jarak, asal alam & lain-lain (Halwani, 2002: 102).
Hambatan non-tarif ini adalah kendala birokrasi, yg adalah bagian
berdasarkan fungsi pemerintah mengenakan “tarif bayangan” (Shadow
tariff) dalam pembelian sektor publik. Yakni menetapkan barang yg akan
pada impor hanya bila harga barang yg akan pada impor tadi (X) lebih
murah daripada barang yg sebagai cara lain pilihan. Dalam perkara lain,
perlindungan identik menggunakan operasi normal yg dilakukan sang
forum birokrasi (Halwani, 2002:102).
Non Tariff Measures (NTMs) didefinisikan menjadi kebijakan-
kebijakan selain tarif yg secara potensial bisa mempunyai dampak
ekonomi dalam perdagangan komoditi internasional, menggunakan
membarui kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya (UNCTAD,
2013). UNCTAD mengklasifikasikan NTMs secara mendetail, dimana
pembagian terstruktur mengenai tadi adalah taksonomi berdasarkan
seluruh langkah tindakan yg dipercaya relevan pada perdagangan
internasional ketika ini. Terdapat enam belas pembagian terstruktur
mengenai yg dibentuk sang UNCTAD, dimana 6 kategori utamanya yaitu
price contol measures; finance measures; automatic licensing measures;
quantity control measures; monopolistic measures; & technical measures.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penulisan artikel menggunakan jenis pendekatan deskriptif
kualitatif. Untuk metode pengumpulan data, penulis menggunakan metode
penelitian studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengutip beberapa literatur
yang berasal dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal
ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan kata lain,
penulis mengumpulkan data yang sifat dokumennya berhubungan atau
sama dengan masalah yang dibahas. Dengan menggunakan metode
pengumpulan data studi kepustakaan (library research), penulis tidak perlu
terjun secara langsung ke lapangan untuk pengambilan data, tetapi dengan
mengambil berbagai sumber referensi yang mendukung baik itu referensi
online ataupun buku untuk mendukung penulisan artikel ini.
Sedangkan, sumber data yang digunakan adalah sumber data
sekunder. Sumber data sekunder merupakan data yang bersumber dari
hasil penelitian terdahulu, dimana data tersebut bersumber dari dokumen
suatu organisasi atau institusi lainnya yang dianggap berkaitan atau
relevan dengan permasalahan yang dibahas. Sumber data yang diperlukan
dalam penelitian ini dikumpulkan, kemudian dilakukan interpretasi sesuai
dengan kebutuhan. Kemudian hasilnya dimasukkan dalam bentuk uraian
yang sistematis sehingga menjadi sutau pernyataan yang utuh. Selain itu,
teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan mencatat
atau merangkum informasi penting dalam melakukan analisis data baik
dengan cara menganalisis data yang dicantumkan, dan mengambil
gambaran kesimpulan sehingga mendapatkan gambaran untuk
dikembangkan dalam penulisan ini.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pemberlakuan Non Tarif Measures Terhadap Ekspor Tuna


Praktik tidak adil yang diberlakukan oleh negara pengimpor
terhadap tuna olahan dari Indonesia meliputi SPS, TBT, inspeksi pra
pengapalan, lisensi, kuota dan tindakan pengendalian kuantitas
lainnya, tindakan pengendalian harga, tindakan ekonomi, tindakan
antipersaingan dan hak kekayaan intelektual.
a. Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS).
Kebijakan bebas bea yang paling umum diterapkan untuk
tuna olahan di Indonesia adalah inisiatif SPS. Langkah-langkah
ini bertujuan untuk melindungi kehidupan manusia atau hewan
terhadap risiko yang disebabkan oleh bahan tambahan
makanan, kontaminan, racun atau patogen. Hampir seluruh
negara importir tuna olahan Indonesia menerapkan persyaratan
operasional SPS, kecuali Togo. Dengan total 57 tindakan, Cina
adalah negara yang paling banyak menerapkan SPS.
Di urutan kedua adalah Amerika Serikat yang merupakan
importir tuna olahan terbesar di dunia. Jumlah tindakan SPS
adalah 50. Aljazair, Arab Saudi, Bahrain dan Uni Emirat Arab
juga termasuk negara pengimpor yang telah memperkenalkan
banyak tindakan SPS. Sumber daya tuna olahan Indonesia.
Negara-negara anggota Uni Eropa menerapkan langkah-
langkah sanitary dan phytosanitary yang sama, total 10. Ada 35
jenis praktik SPS yang diberlakukan oleh negara pengimpor
tuna olahan Indonesia. Praktik SPS yang paling umum adalah
persyaratan pelabelan, sertifikasi, pengemasan, dan toleransi
residu.
b. Technical Barriers to Trade (TBT)
Kebijakan nontarif kedua setelah UU SPS adalah UU TBT.
TBT adalah tindakan yang berkaitan dengan peraturan teknis
dan prosedur penilaian terkait kepatuhan terhadap peraturan
teknis yang tidak tercakup dalam tindakan SPS. Kegiatan TBT
untuk tuna olahan di Indonesia meliputi sertifikasi, pelabelan,
pengemasan produksi, persyaratan kualitas atau kinerja
produksi, transportasi dan penyimpanan, dan penilaian
kesesuaian TBT. Seperti halnya langkah-langkah SPS,
ketentuan pelabelan dan sertifikasi merupakan persyaratan
yang paling dapat diterapkan dalam kebijakan TBT.
Penandaan TBT berisi informasi teknis produk, seperti B.
Petunjuk penggunaan. Tindakan TBT yang diterapkan untuk
komoditas ini juga tertinggi di China dengan 49 tindakan,
sedangkan negara pengimpor tuna olahan Indonesia lainnya
masih memiliki kurang dari 20 tindakan. . Oman merupakan
satu-satunya negara yang tidak menerapkan kebijakan tidak
tetap berupa TBT terhadap tuna olahan asal Indonesia. Nigeria
dan Yordania hanya menerapkan satu jenis pengukuran TBT
untuk tuna olahan Indonesia. Nigeria hanya menerapkan
persyaratan pelabelan sedangkan Yordania hanya menerapkan
persyaratan,
c. Tindakan Pengendalian Harga
Kebijakan nontarif lain yang sering diterapkan pada tuna
olahan di Indonesia adalah tindakan pengendalian harga, yaitu
mengendalikan atau mempengaruhi harga barang impor. Tindakan
pengendalian harga ini bertujuan antara lain untuk mendukung
harga domestik produk tertentu ketika harga impor barang
tersebut lebih rendah, untuk menetapkan harga domestik untuk
produk tertentu karena fluktuasi harga di pasar domestik atau
ketidakstabilan di pasar luar negeri, dan untuk meningkatkan atau
mempertahankan penerimaan pajak. Kategori ini juga mencakup
tindakan non-tarif yang dapat meningkatkan biaya impor dengan
cara serupa, yaitu dengan persentase atau jumlah tetap, disebut
juga sebagai tindakan para-tarif. Bahrain, Cina, Selandia Baru dan
Togo adalah negara pengimpor tuna.

4.2 Hambatan Non Tarif Measures Terhadap Ekspor Tuna


Dari enam belas jenis hambatan nontarif yang paling sering dihadapi
eksportir Indonesia adalah persyaratan audit. Hal ini karena Jepang dan
Amerika Serikat sangat memperhatikan kualitas makanan yang dimakan
dan dikonsumsi masyarakatnya. Selain itu, persyaratan sertifikasi dan label
untuk mendukung keberlanjutan (environmental labeling) juga menjadi
topik hangat di negara-negara tersebut. Tes bakteri dan produk Indonesia
sejenis sudah pernah dilakukan, namun terkadang bakteri ini (salmonella)
muncul dalam perjalanan dari Indonesia ke negara tujuan, yang antara lain
disebabkan oleh kemasan yang tidak lengkap atau fluktuasi suhu. Pada
saat yang sama, Indonesia menghadapi hambatan non-tarif untuk ekspor
produk udang dan tuna secara umum.
Dalam rangka percepatan dan peningkatan ekspor hasil perikanan,
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - Kementerian Kelautan dan
Perikanan - mengembangkan sistem mutu dan keamanan nasional hasil
perikanan, yang didasarkan pada prinsip-prinsip operasi yang bertanggung
jawab. . dalam Pedoman Teknis Perikanan (CCRF) dan Hazard Analysis
Critical Control Points (HACCP). Sistem ini telah mencapai tingkat
standar internasional karena sistem ini telah mendapat banyak pengakuan
dari negara lain seperti Uni Eropa (UE) seperti dalam CD 94/394/EC dan
dengan amandemen terakhir CD 2001/254/EC . Yang saat ini menjadi
hambatan nontarif baru bagi produk Indonesia adalah adanya persyaratan
ekolabel, yaitu label yang menjamin bahwa produk tersebut tidak
mempengaruhi kelestarian sumber daya alam dan terjamin kualitasnya di
hulu. Hal ini kemudian menjadi sulit karena tidak ada peraturan atau
praktik di Indonesia untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, eksportir
harus mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan pengakuan ekolabel,
yang bahkan dapat merugikan bisnis. Berikut adalah beberapa sertifikat
yang harus dimiliki suatu produk ikan jika diperdagangkan di pasar
internasional.

a. Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI)


Sertifikat hasil tangkapan adalah pernyataan kapten
pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang
bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari illegal, unreported and
unregulated (IUU) fishing. Peraturan dan tata cara terkait dengan
Surat Keterangan Penangkapan Ikan (SHTI) ditetapkan dengan
Surat Keputusan No. 28 Tahun 2009. Dalam penerbitan SHTI ini,
yang berwenang adalah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap yang
ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, yang kemudian
mengkomunikasikan . kepada Direktur UPT Pelabuhan Pusat dan
UPT Daerah dilimpahkan. SHTI terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu:
1) Lembar Awal Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan.
2) Lembar Turunan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan.
3) Lembar Turunan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan Yang
Disederhanakan.

SHTI diterbitkan apabila terdapat permohonan dari pemilik


kapal, eksportir atau Unit Pengolah Ikan (UPI).

b. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)


Sertifikat kemampuan olah yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP)
dengan nomor PER.09/DJ-P2HP/2010. Sertifikat ini diperlukan
oleh UPI (Unit Pengolahan Ikan) untuk mendukung pemasaran
ikan olahan secara nasional dan internasional. Sertifikat ini juga
mendukung Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
PER.19/MEN/2010 tentang pengawasan dan keamanan sistem
mutu hasil perikanan. Sertifikat Laik Proses (SKP) adalah sertifikat
yang diberikan kepada UPI yang telah menerapkan Good
Manufacturing Practices/GMP dan memenuhi Standard Sanitation
Operating Procedures (SSOP).
c. Sertifikat HACCP
Layanan Sertifikat HACCP adalah layanan pelaksana
nomor Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan:
PER19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: KEP01./MEN/2007 tentang persyaratan mutu
dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan
dan distribusi. UPI dapat memperoleh Sertifikat Kesehatan jika
telah menerapkan prinsip-prinsip Pusat Sertifikasi Mutu BKIPM
(Hazard Analysis Critical Control Point, HACCP) berdasarkan
PER.03/BKIPM/2011 Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jakarta.
d. Health Certificate (HC)
Sertifikasi kesehatan perikanan adalah pelayanan yang
melaksanakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor:
PER19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.KEP01./MEN/2007 tentang persyaratan mutu dan
keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan dan
distribusi. Penerbitan sertifikat ini tidak dipungut biaya, karena
dibiayai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk
jangka waktu 2 tahun, setelah itu dapat diperpanjang kembali.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hambatan non-tarif untuk perdagangan harus menjadi satu Masalah
mengganggu eksportir tuna dan udang di Indonesia. Penghalang Non-klasifikasi
ini biasanya mengambil berbagai bentuk Ketentuan, Perjanjian atau Persyaratan.
Jenis hambatan non-tarif menengah untuk perdagangan Subjek diskusi panjang
adalah sertifikat Kualitas. Sertifikat kualitas adalah dokumen sertifikasi yang
menjamin kualitas ikan bebas ekspor bakteri, penyakit dan kejahatan lainnya. Di
beberapa negara pengimpor, seperti Amerika Serikat dan berbagai sertifikat sudah
digunakan di UE Alasan yang menjamin kualitas dan keamanan makanan bagi
rakyat negaranya. Di Indonesia sebenarnya dokumen sertifikat yang harus dimiliki
prosesor dan eksportir hanya ada 4 (empat) yaitu sertifikat Processability (SKP),
HC, dan SHTI HACCP tapi untuk melanjutkan perkembangan Dunia perdagangan
internasional, eksportir mulai mendapatkan sertifikat secara bertahap untuk
peluncuran produknya ke negara pengimpor. sertifikat pendukung termasuk
praktik akuakultur terbaik (BAP), MSC, ASC, BRC dan ISO 22000.
Namun keinginan eksportir untuk mengurusnya berbagai sertifikat hilang
Dukungan pemerintah pun terkesan membiarkan, meskipun ada banyak bukti
kualitas yang harus dipenuhi membutuhkan biaya dan tidak sedikit. Mahal dan
lamanya waktu yang terkait dengan kurangnya dukungan atau perhatian
pemerintah terhadap masalah tersebut Eksportir sangat sulit mengancam
Hambatan nontarif semacam ini jika diperbolehkan dan tidak sampai pada
perjanjian lebih bisa menjadi hambatan membahayakan kelangsungan operasi
pengolahan di Indonesia kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan


(BKIPM). 2016. Rencana Strategis 2015-2019. Badan Karantina Ikan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. KKP. Jakarta
Bristish Retail Consortium (BRC). 2001. Definitions about British Retail
Consortium.
Dietz, M. 2006. The New Management Systems for Food Safety.
Hady, H. 2004. Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional Buku Kesatu.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
PER.28/MEN/2009, tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
PER.19/MEN/2010, tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
KEP.01/MEN/2007, tentang Persyaratan Jaminan Mutu Dan Keamanan
Hasil Perikanan Pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
Peraturan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor 09/DJ-
P2HP/2010, tentang Persyaratan, Tata Penerbitan Bentuk dan Format
SKP.
Peraturan Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan Nomo PER.03/BKIPM/2011, tentang Tata cara dan persyaratan
penerbitan HACCP.
Nugroho, A. 2007. Peran dan Kedudukan Indonesia dalam Peta
DiplomasiPemasaran Produk Ekspor Hasil Perikanan Indonesia di Pasar
Global.Jakarta: Departemen Perikanan dan Kelautan.
Haliqi M. 2017. Dampak Kebijakan Non-tariff Measures Terhadap
Ekspor Udang Indonesia [tesis]. Bogor
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220727165420-4-359074/ternyata-
banyak-produk-ri-yang-masih-dihambat-masuk-jepang (diakses pada
Jum’at, 16 Desember 2022 pukul 23.42 WIB)
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14784/Presidensi-G-20-
Pulihkan-Perekonomian-Indonesia.html (diakses pada Kamis, 15
Desember 2022 pukul 22.40 WIB)

Anda mungkin juga menyukai