Anda di halaman 1dari 6

TEKONS : TEKNOLOGI KONSTRUKSI PADA PENGGUNAAN

AGREGAT PLASTIK BERBASIS AMPAS SAGU DENGAN PENDEKATAN


METODE SELF HEALING CONCRETE DALAM MENDUKUNG KONSEP
BANGUNAN RAMAH LINGKUNGAN (GREEN BUILDING)

Disusun Oleh:

Slamet

UNIVERSITAS HALU OLEO

KOTA KENDARI

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Material beton sangat populer digunakan pada pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Bahan susun beton yang yang memiliki peran penting
yakni semen sebagai pengikat material yang terdapat dalam beton yang mengisi
sekitar 10 – 15% dalam campuran beton. Penggunaan beton dalam stuktur
bangunan memiliki kekurangan dalam menahan beban tarik. Kuat tarik yang
rendah dapat menyebabkan beton mudah retak di daerah tarik, sehingga ion
penyebab korosi pada tulangan beton mudah masuk melalui celah retak (Junaidi,
I., dkk, 2022).
Ekaputri, J. J., Purnomo, S., Sumartono, I. H., Agustin, W., & Astuti, W. (2022).
APLIKASI MIKROBA DALAM AGREGAT BUATAN UNTUK MENINGKATKAN KUAT
TARIK BELAH BETON MENGANDUNG FLY ASH. Jurnal Teknik Sipil, 16(4), 289-301.
Beton merupakan suatu bahan komposit (campuran) dari beberapa
material, yang bahan utamanya terdiri dari beberapa medium campuran antara
semen, agregat halus, agregat kasar, air serta bahan tambah lain dengan
perbandingan tertentu. Karena beton merupakan komposit, maka kualitas
beton sangat tergantung dari masing-masing material pembentuk
(Tjokrodimulyo, 1996). Komposisi beton terdiri dari semen, agregat halus,
agregat kasar, air dan rongga udara. Rongga udara mempunyai pengaruh terhadap
kuat tekan beton. Makin besar volume rongga udara yang terdapat dalam beton
maka kuat tekan bet on akan semakin menurun dan sebaliknya (Johan Oberlyn
Simanjuntak et al, 2021).
Johan Oberlyn Simanjuntak, Ros Anita Sidabuta, Humisar Pasaribu, Tiurma
Elita Saragi, Resinanta Panjaitan (2020). Beton Bermutu Dan Ramah Lingkungan
Dengan Abu Sekam Padi. Suparyanto Dan Rosad (2015, 5(3), 248–253.
Salah satu kekuatan tarik struktur bangunan beton yang berperan penting
dalam mencegah kerusakan akibat bencana alam seperti gempa yang saat ini
sering terjadi di Indonesia, gempa yang terjadi mengakibatkan keretakan hingga
keruntuhan bangunan. Teknik yang banyak digunakan untuk menutup retakan
beton adalah dengan menggunakan bahan pengisi sintetik, termasuk penggunaan

1
resin epoksi untuk memperbaiki retak dalam beton. Penggunaan resin epoksi
memiliki kelemahan yaitu perbedaannya koefisien muai panas, sehingga dapat
melemahkan seiring dengan waktu (Utomo, M. A. P., 2018).
Utomo, M. A. P., & Zulaika, E. (2018). Bakteri Karbonatogenik Sebagai
Agen Biosemen Untuk Alternatif Memperbaiki Retakan Beton (Doctoral dissertation,
Tesis. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember).
Solusi untuk mengendalikan retakan beton yang efisien dari segi biaya dan
bersifat ramah lingkungan saat ini Pemanfaatan limbah serat sagu sebagai bahan
pengisi beton berpotensi dapat meningkatkan kuat tekan beton. Serat sagu atau
ampas mempunyai karakteristik yaitu: kadar air 12.5%, protein 0.85%, lemak
0.91% dan serat kasar 10.5% serta kerapatan jenis 1.56 g/m3. Berdasarkan
komposisi ini serat sagu berpotensi untuk digunakan sebagai material konstruksi.
Serat sagu mengandung silikat bentok amorof yang umumnya silikat ini jauh lebih
reaktif dari pada silikat bentuk kristal. Di daerah produksi sagu, di Sulawesi
Tenggara, Indonesia, pemanfaatan sagu sekam ataupun abunya akan sangat
bermanfaat bagi lingkungan karena sampah selalu tidak terkendali dan
menyebabkan berdampak buruk pada kerusakan lingkugan (Abdi Manaf et al,
2022).
Abdi Manaf, Apriansyah, Amalia Nurdin, I. R. (2018). Sago Ash Sebagai Bahan
Pengganti Semen Pada Beton. Seminar Nasional Sains Dan Teknologi, 17(2), 1–8.
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek/article/view/3556
Saat ini tengah dikembangkan penelitian mengenai bakteri yang dapat
meningkatkan perkuatan beton dengan mengisi keretakan yang timbul akibat
gesekan tulangan maupun akibat getaran gempa. Salah satu bakteri penghasil
enzim urease seperti bakteri Bacillus sp yang akan mengendapkan urea dan
menghasilkan ion karbonat (CO3 2-) dan amonia (NH3). Hasil metabolisme
tersebut dapat meningkatkan pH dan konsentrasi CO3 2-, sehingga Ca2+ dapat
terikat dan membentuk kalsium karbonat (CaCO3). Serta penelitian tentang
pemanfaatan limbah serat batang sagu untuk pembuatan batako. Produk batako
yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan seperti
dinding rumah. Bahan dasar pembuatanbatako ini adalah semen dan pasir dengan
komposisi campuran 1 : 7 dan serat batang sagu dengan panjang tetap yaitu 5 mm.

2
Hasil pengujian yang telah dilakukan, diperoleh nilai kuat tekan optimal pada
penambahan serat batang sagudengan komposisi 10% dengan nilai kuat tekan
2,03 N/mm2. Pada komposisi ini, nilai maksimum kuat lentur yangdiperoleh yaitu
sebesar 3,02 N/mm2. Nilai kuat tekan ini memenuhi SNI-3-0349-1989 dengan
kelas batako mutu IV (Darmawati dkk, 2016).
Oleh karena itu, bakteri Bacillus sp sangat baik digunakan memulihkan
celah akibat retak pada beton serta pengolahan agregat ringan berbasis ampas sagu
sebab agregat tersebut memiliki resistensi yang baik terhadap udara dengan
kelembaban yang tinggi. Sehingga menjadikan agregat plastik berbasis ampas
sagu tersebut menjadi agregat ringan yang ramah lingkungan dalam mewujudkan
pembangunan nasional yang tangguh dan berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan dan Manfaat

BAB II
LANDASAN TEORI

Gambar 12.
Agregat kasar buatan (biodegradable plastic) dan pasir sungai pohara

3
Gambar ilustrasi proses isolasi DNA

Gambar : pengujian urease ,motilitas dan produksi CaCo3

Lampiran 3
Bakteri karbonatogenik banyak ditemukan di daerah pegunungan dan goa berkapur
(Jimenez-Lopez et al., 2008). Jenis bakteri karbonatogenik dari daerah yang banyak
diaplikasikan untuk perbaikan beton adalah Sporosarcina pasteurii (Whiffin et al., 2007;
Sarada et al., 2009), Bacillus megaterium (Siddique et al., 2008; Soon et al., 2013; Dhami
et al., 2014), Bacillus cohnii (Jonkers dan Schlangen, 2008), Bacillus sphaericus (Parmar
et al., 2013; De Belie dan Muynck, 2009), Bacillus licheniformis (Krisnapriya et al., 2015;
Vahabi et al., 2013), Bacillus flexus (Krisnapriya et al., 2015) dan Bacillus sp. (Rukmana
dan Zulaika, 2017).

4
5

Anda mungkin juga menyukai