Anda di halaman 1dari 53

HUBUNGAN ANEMIA PADA IBU HAMIL TRIMESTER III

DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN PASCA PERSALINAN


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATU AJI PUTRI
BOTUNG, KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA,
KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2023

SKRIPSI
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT
UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

Disusun oleh:
ESTHER DATUARRANG
NIM. 152221092

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2024

1
DAFTAR DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

AKI : Angka Kematian Ibu

BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah

BT : Bleeding Time

CT : Clotting Time

HB : Hemoglobin

HPP : Hemorrhagic Postpartum

IMT : Indeks Masa Tubuh

IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

PRC : Packed red cells

PT : Prothrombin time

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

RAPB : Ratu Aji Putri Botung

SBR : Segmen bawah Rahim

WB : Whole blood

WHO : Word Health Organization

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator peka yang

mampu menggambarkan kesejahteraan masyarakat suatu negara. AKI adalah rasio

kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas yang disebabkan oleh

kehamilan, persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab

lain seperti kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup. (Anggi H.,

Purhadi, 2020)

Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 305 per

100.000 kelahiran hidup, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2015. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan SDKI

tahun 2012, yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Namun tahun 2018,

sebesar 522, tahun 2019 sebesar 520 dan tahun 2020 sebesar 565 per 100.000

kelahiran.[2] Walau begitu, angka tersebut masih belum mencapai target global

MDGs (Millenium Development Goals) ke-5 yaitu menurunkan Angka Kematian

Ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015

Millenium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir tahun 2015,

kemudian dilanjutkan dengan pembangunan Sustainability Development Goals

(SDGs) sampai tahun 2030. Lima penyebab kematian ibu terbesar di Indonesia

tahun 2010-2013, yaitu perdarahan (30,3%), Hipertensi dalam kehamilan (27,1%),

infeksi (7,3%), partus lama (1,8%), abortus (1,6%) dan lain-lain (31,9%).

(Shorayasari S, 2019)

3
Perdarahan obstetri dapat berupa perdarahan antepartum dan perdarahan

postpartum. Perdarahan obstetrik yang lebih sering terjadi adalah perdarahan

pascapersalinan.[4] Perdarahan pasca persalinan adalah kehilangan darah secara

abnormal lebih dari 500 ml pada persalinan pervaginam dan lebih dari 1000 ml

pada persalinan seksio sesarea.[5]

Menurut Kementerian Kesehatan RI, kematian akibat perdarahan

pascapersalinan dapat dicegah dengan deteksi dini faktor risiko yang

menyebabkan terjadinya perdarahan pascapersalinan. Berdasarkan penelitian

Yuliyati et al., 2018 faktor – faktor yang berisiko menyebabkan perdarahan pasca

persalinan pada ibu hamil antara lain yaitu penolong persalinan, riwayat obstetri

buruk, interval kehamilan, riwayat abortus dan anemia dalam kehamilan.[6]

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin <

11 g% pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10,5 g% pada trimester II,

nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil terjadi

karena hemodilusi, terutama pada trimester II.(Depkes RI, 2009). Sebagian besar

perempuan mengalami anemia selama masa kehamilan, baik di negara maju

maupun berkembang. Badan kesehatan dunia atau World Health Organization

(WHO) memperkirakan bahwa 35 – 75% ibu hamil di Negara berkembang

mengalami anemia.[7] Di indonesia sendiri, menurut hasil Riskesdas (Riset

Kesehatan Dasar) 2018 menyatakan bahwa anemia terjadi pada 48,9% ibu hamil

di Indonesia.[8]

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kadar

hemoglobin pada ibu hamil di trimester III dengan kejadian perdarahan

pascapersalinan, dimana seperti yang telah dijelaskan, kadar hemoglobin yang

4
rendah pada ibu hamil merupakan salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan

pascapersalinan. Perdarahan pascapersalinan merupakan penyebab utama dalam

kematian ibu yang harus dicegah dengan deteksi dini faktor risiko nya agar Angka

Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menurun sebagai salah satu indikator

keberhasilan upaya kesehatan ibu di Indonesia.

Pada penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan

menggunakan desain penelitian case control. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu

dengan faktor risiko tertentu.

Penelitian dilakukan di RSUD Ratu Aji Putri Botung yang dimulai pada

bulan Juni sampai Agustus 2023 yaitu dengan menggunakan data sekunder berupa

rekam medis ibu dengan persalinan spontan pervaginam. Populasi pada penelitian

ini adalah semua data rekam medis ibu dengan persalinan spontan pervaginam

baik yang mengalami perdarahan pascapersalinan maupun yang tidak mengalami

perdarahan pasca persalinan di RSUD Ratu Aji Putri Bitung tahun 2021 –

Penajam Paser Utara.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara anemia pada kehamilan trimester III dengan

kejadian perdarahan pasca salin di RSUD Penajam Paser Utara?

C. Tujuan Penelitian

C.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara anemia pada kehamilan dengan kejadian

perdarahan Pasca Persalinan di RSUD Penajam Paser Utara.

5
C.2 Tujuan Khusus

1) Mengidentifikasi kejadian perdarahan post partum di Rumah Sakit Umum

Daerah Ratu Aji Putri Botung Penajam Paser Utara Tahun 2023

2) Mengidentifikasi anemia dalam kehamilan di RSUD RAPB Penajam Paser

Utara tahun 2023

3) Menganalisis hubungan antara anemia pada kehamilan dengan kejadian

perdarahan pasca salin di RSUD Penajam Paser Utara tahun 2023.

D. Manfaat Penelitian

D.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan pembanding dan acuan

bagi penelitian selanjutnya berkaitan dengan anemia pada ibu hamil

dengan kejadian perdarahan postpartum.

D.2 Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hubungan

anemia pada ibu hamil dengan kejadian perdarahan pasca persalinan

dan pentingnya penanganan anemia pada ibu hamil untuk

meminimalkan risiko terjadinya perdarahan postpartum.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoretis

A.1 Definisi anemia dalam kehamilan

Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau

menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk

kebutuhan organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Selama

kehamilan, indikasi anemia adalah jika konsentrasi hemoglobin kurang dari

10,50 sampai dengan 11,00 g/dl (Varney, 2006) . Anemia dalam kehamilan

adalah kondisi ibu hamil dengan kadar hemoglobin di bawah 11g% pada

trimester I dan III a tau ka dar hemoglobin <10,5 g% pada trimester II

(Depkes RI, 2009).

Hemoglobin (Hb) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi

menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh

kekurangan oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses

metabolisme. Zat besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu

hamil mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi misalnya untuk membuat

jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ dan juga untuk

memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap beraktivitas normal sehari–hari

(Sin sin, 2008).

Fungsi Hb merupakan komponen utama eritrosit yang berfungsi

membawa oksigen dan karbondioksida. Warna merah pada darah disebabkan

oleh kandungan Hb yang merupakan susunan protein yang komplek yang

7
terdiri dari protein, globulin dan satu senyawa yang bukan protein yang

disebut heme. Heme tersusun dari suatu senyawa lingkar yang bernama

porfirin yang bagian pusatnya ditempati oleh logam besi (Fe). Jadi heme

adalah senyawa-senyawa porfirin-besi, sedangkan hemoglobin adalah

senyawa komplek antara globin dengan heme. (Masrizal, 2007)

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan

zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang

karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya

kadar zat besi dalam darah. Seseorang dikatakan telah mendekati anemia

walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis apabila simpanan zat besi

dalam tubuh orang tersebut sudah sangat rendah. Simpanan zat besi yang

sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah

merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di

bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi (Masrizal,

2007). Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh

berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya

saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin

sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai

anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis

hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia

subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi

dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.(Evatt dalam Masrizal, 2007).

Anemia defisiensi zat besi (kejadian 62,30%) adalah anemia dalam

kehamilan yang paling sering terjadi dalam kehamilan akibat kekurangan zat

8
besi. Kekurangan ini disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi

dalam makanan, gangguan reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat

besi. Anemia megaloblastik (kejadian 29,00%), dalam kehamilan adalah

anemia yang disebabkan karena defisiensi asam folat. Anemia

hipoplastik( kejadian 8,0% ) pada wanita hamil adalah anemia yang

disebabkan karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah

merah. Etiologinya belum diketahui dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen,

racun dan obat-obatan. Anemia Hemolitik (kejadian 0,70%), yaitu anemia

yang disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih

cepat, yaitu penyakit malaria (Mochtar,2011;Wiknjosastro, 2005).

A.2 Jenis Anemia Dalam Kehamilan

Pembagian anemia dalam kehamilan menurut Wiknjosastro (2005)

adalah anemia defisiensi besi ( 62,3%), anemia megaloblastik ( 29,0%),

anemia hipoplastik (8,0%), anemia hemolitik (0,7%).

A.2.1 Defisiensi besi

Anemia defisiensi zat besi merupakan kelainan gizi yang paling sering

ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bersifat

episodik. Anemi jenis ini menyerang lebih dari dua milyar penduduk dunia.

Di negara berkembang, terdapat 370 juta wanita menderita anemia karena

defisiensi zat besi. Prevalensi rata-rata lebih tinggi pada ibu hamil (51%)

dibandingkan pada wanita tidak hamil (41%). (Gibney dkk,2009).

Anemia dalam kehamilan karena kekurangan besi ini disebabkan

9
karena kurang masuknya unsur besi dengan makanan, karena gangguan

resorpsi, gangguan penggunaan, atau karena terlampau banyaknya besi keluar

dari badan, misalnya perdarahan. (Wiknjosastro,2005).

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan

zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang

karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya

kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang

sudah sangat rendah berarti orang tersebut menderita anemia walaupun belum

ditemukan gejala-gejala fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah

lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam

sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun dibawah batas

normal, keadaan ini yang disebut anemia gizi besi (Masrizal, 2007). Menurut

Evatt dalam Masrizal (2007) anemia defisiensi besi adalah anemia yang

disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai

dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau

hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan

sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada

sintesis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia.

Wanita usia subur sering mengalami anemia, karena kehilangan darah

sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.

A.2.2 Defisiensi asam folat

Asam folat adalah vitamin yang penting untuk pembentukan sel darah

merah normal. Defisiensi terjadi pada individu yang jarang makan sayuran

10
atau buah dimasak, terutama individu lansia yang tinggal sendiri atau individu

alkoholisme. Alkohol meningkatkan kebutuhan asam folat dan alkoholik

biasanya mempunyai diet kurang vitamin. Kebutuhan asam folat juga

meningkat pada anemia hemolitik dan kehamilan. Pasien dengan pemberian

makan intravena atau nutrisi parenteral jangka panjang akan mengalami

defisiensi folat setelah beberapa bulan tanpa suplemen IM. Beberapa pasien

penyakit usus halus tidak menyerap asam folat dengan normal.(Baughman,

2000).

Kebutuhan folat meningkat lima sampai sepuluh kali lipat pada

kehamilan karena transfer folat dari ibu ke janin yang menyebabkan

dilepasnya cadangan folat maternal. Peningkatan besar terjadi pada kehamilan

multiple, diet yang buruk, infeksi dan anemia hemolitik. Kadar estrogen dan

progesteron yang tinggi selama kehamilan juga menghambat penyerapan asam

folat. Defisiensi asam folat oleh karenanya sangat umum terjadi pada

kehamilan dan penyebab utama penyebab anemia megaloblastik pada

kehamilan. (Wiknjosastro,2005)

A.2.3 Anemia hipoplastik

Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsung tulang

kurang mampu membuat sel-sel darah baru, dinamakan anemia hipoplastik

dalam kehamilan. Wiknjosastro (2005). Etiologi anemia hipoplastik karena

kehamilan hingga kini belum diketahui dengan pasti, kecuali yang disebabkan

oleh sepsis, sinar rentgen, racun, atau obat-obat. (Wiknjosastro, 2005).

11
A.2.4 Anemia hemolitik

Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah merah

berlangsung lebih cepat dari pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik

sukar menjadi hamil, apabila ia hamil, maka anemianya biasanya menjadi

lebih berat. Sebaliknya mungkin pula bahwa kehamilan menyebabkan krisis

hemolitik pada wanita yang sebelumnya tidak menderita anemia.

(Wiknjosastro, 2005).

A.2.5 Penyebab anemia dalam kehamilan

Penyebab anemia umumnya adalah kurang gizi, kurang zat besi,

kehilangan darah saat persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik.

(Mochtar, 2011). Dalam kehamilan penurunan kadar hemoglobin yang

dijumpai selama kehamilan disebabkan oleh karena dalam kehamilan

keperluan zat makanan bertambah dan terjadinya perubahan-perubahan dalam

darah : penambahan volume plasma yang relatif lebih besar daripada

penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Darah

bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau

hipervolemia. Bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan

dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Dimana

pertambahan tersebut adalah sebagai berikut : plasma 30% , sel darah 18 %,

dan hemoglobin 19%. Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri

secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita hamil tersebut.

Pengenceran ini meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat

12
dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia tersebut, keluaran

jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini lebih ringan

apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga

tekanan darah tidak naik. (Wiknjosastro, 2005).

Pola makan adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai

dengan kebutuhan gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Pola

makan yang baik harus memenuhi konsep dasar gizi seimbang. Hal ini dapat

dicapai dengan mengonsumsi beraneka ragam makanan setiap hari dalam

jumlah yang tepat. Pengelompokan bahan makanan dibagi menjadi tiga fungsi

utama zat-zat gizi yaitu sebagai sumber energi atau tenaga, sumber zat

pembangun dan sumber zat pengatur. Makanan yang mengandung gizi

seimbang harus mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral.

(Ayudhitya, 2012). Seringnya ibu hamil mengkonsumsi makanan yang

mengandung zat yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh, kopi ,

kalsium (Kusumah, 2009). Wanita hamil cenderung terkena anemia pada

triwulan III karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi untuk

dirinya sendiri sebagai persediaan bulan pertama setelah lahir.(Sin sin, 2008).

Pada penelitian Djamilus dan Herlina (2008) menunjukkan adanya

kecenderungan bahwa semakin kurang baik pola makan, maka akan semakin

tinggi angka kejadian anemia.

Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai

risiko 2,429 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh

konsumsi tablet Fe.(Djamilus dan Herlina 2008). Kepatuhan mengkonsumsi

tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara

13
mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi konsumsi perhari. Suplementasi besi atau

pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan

menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan zat besi. Suplementasi

besi merupakan cara efektif karena kandungan besinya yang dilengkapi asam

folat yang sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan asam folat.

(Depkes, 2009).

Departemen kesehatan Republik Indonesia mengatakan kematian ibu

akibat perdarahan postpartum dapat dicegah melalui deteksi dini adanya

faktor risiko. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian perdarahan pasca

persalinan pada kehamilan, antara lain placenta praevia, atonia uteri, infeksi

penyakit, gizi buruk, eklamsia, paritas ibu hamil, anemia kehamilan, jarak

persalinan, usia kehamilan, umur ibu, riwayat pemeriksaan kehamilan (ANC),

dan riwayat persalinan terdahulu.(Manuaba,2001). Faktor umur merupakan

faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil.

Umur seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita.

Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 – 35 tahun. Kehamilan

di usia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia karena

pada kehamilan di usia < 20 tahun secara biologis belum optimal emosinya

cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami

kegoncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan

kebutuhan zat – zat gizi selama kehamilannya. Pada usia > 35 tahun terkait

dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit

yang sering menimpa di usia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu

pada saat hamil sangat berpengaruh terhadap kejadian anemia (Amirrudin dan

14
Wahyuddin, 2004).

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya

anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan

kebutuhan zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi

janin yang dikandung ( Wiknjosastro, 2005; Mochtar, 20 11). Jarak kelahiran

mempunyai risiko 1,146 kali lebih besar terhadap kejadian anemia (Amirrudin

dan Wahyuddin, 2004)

Paritas adalah jumlah anak yang telah di lahirkan oleh s eorang ibu

baik lahir hidup maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan

mempunyai risiko mengalami anemia pada kehamilan berikutnya apabila

tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi. Zat – zat gizi akan terbagi untuk ibu

dan untuk janin yang dikandungnya selama hamil. Hasil analisis didapatkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian anemia pada

ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1.454 kali lebih

besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas rendah ( Djamilus dan

Herlina, 2008)

status ekonomi merupakan faktor yang menjadi penyebab anemia

yakni memiliki efek apabila status ekonomi yang lebih rendah menimbulkan

angka nutrisi buruk yang lebih tinggi dan sehingga mengakibatkan angka

anemia defisiensi zat besi lebih tinggi. Ras juga memainkan peranan sebagai

contoh rata- rata orang kulit hitam kadar hemoglobinnya lebih rendah

daripada orang kulit putih tanpa memperhatikan tingkat sosio-ekonomi.

(Varney, 2006)

15
A.2.6 Gejala anemia pada kehamilan

Pada anamnesa sering didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing,

mata berkunang-kunang, nafsu makan berkurang dan keluhan muntah muntah

lebih hebat pada kehamilan muda (Manuaba,2008)

Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan

tekanan darah dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Ibu

dengan anemia defisiensi besi secara klinis dapat dilihat tubuh yang pucat dan

tampak lemah (malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu menderita anemia

atau tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan pemeriksaan

darah tepi. Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan

standar (Wiknjosastro, 2005).

Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui b eberapa

tahap: awalnya terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk

fertin di ha ti, s aat kons umsi z at be si da ri m akanan tidak c ukup, f ertin i

nilah yang diambil. Daya serap zat besi dari makanan sangat rendah, Zat besi

pada pangan hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu 20 – 30 % sedangkan

dari sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia, kerja jantung akan dipacu lebih

cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya

penderita sering berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah l emas,

cepat lelah, letih, mata berkunang kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak

mata, dan kuku pucat (Sin sin, 2008).

A.2.7 Derajat anemia pada kehamilan

16
Ibu hamil dikatakan anemia bila kadar hemoglobin atau darah

merahnya kurang dari 11,00 g r%. Anemia pada ibu hamil adalah kondisi ibu

dengan kadar Hb < 11 % menurut World

Health Organization (WHO). Anemia pada ibu hamil di Indonesia sangat be

sedang : H b 7 -8.9 gr%, Anemia berat : H b < 7gr %

(Depkes, 2009; Kusumah, 2009; Shafa, 2010).

Pengukuran Hb yang disarankan oleh WHO ialah dengan cara

cyanmet, namun cara oxyhaemoglobin dapat pula dipakai asal distandarisasi

terhadap cara cyanmet. Sampai saat ini baik di Puskesmas maupun di Rumah

Sakit masih menggunakan alat Sahli. Dan pemeriksaan darah dilakukan tiap

trimester dan minimal dua kali selama hamil trimester III (Depkes, 2009;

Kusumah, 2009).

A.2.8 Pengaruh anemia pada kehamilan

Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu,

baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya.

Penyulit- penyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah: keguguran

(abortus), kelahiran premature, persalinan yang lama akibat kelelahan otot

rahim di dalam berkontraksi ( inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan

karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat

bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat

menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat

menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro, 2005;

17
Saifuddin, 2006).

Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal: berat

badan kurang, placenta praevia, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada

masa intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengejan lemah, perdarahan

intranatal, shock, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan

komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus: pemature, apgar skor rendah,

gawat janin (Anonim,”tt”). Bahaya pada Trimester III, anemia dapat

menyebabkan terjadinya partus prematur, perdarahan antepartum, gangguan

pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian,

gestosis dan mudah terkena infeksi, mola hidatidosa, hiperemesis gravidarum,

perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, dan dekompensasi kordis hingga

kematian ibu (Wiknjosastro, 2005; Manuaba, 2007).

Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan

gangguan his – kekuatan mengejan, kala dua berlangsung lama sehingga dapat

melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, kala tiga

dapat diikuti retensio plasenta dan perdarahan postpartum akibat atonia uteri,

kala empat dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri.

primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-

tindakan tinggi karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan

perlu tindakan operatif (Manuaba, 2007). Anemia kehamilan dapat

menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan mempengaruhi ibu saat

mengejan untuk melahirkan bayi (Smith et.al., 2010).

Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena

terjadinya penurunan Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume darah

18
50% meningkat dari 4 ke 6 liter , volume plasma meningkat sedikit yang

menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini

akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan

volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan

untuk penyediaan cadangan saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama

kehamilan rahim, plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Smith et.al., 2010).

A.2.9 Pencegahan dan penanganan anemia pada ibu hamil

Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan

cara: meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan

hewani dalam jumlah cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga

masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain

untuk mencegah anemia gizi besi, memakan beraneka ragam makanan yang

memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat

meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi

vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan

zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber

vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak.

Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi

seperti: fitat, fosfat, tannin (Wiknjosastro, 2005; Masrizal, 2007).

Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang

diminum (oral) atau dapat secara suntikan (parenteral). Terapi oral adalah

dengan pemberian preparat besi: fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero

19
bisitrat. Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1

gr% perbulan. Sedangkan pemberian preparat parenteral adalah dengan ferum

dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2×10 ml secara

intramuskular, dapat meningkatkan hemoglobin relatif cepat yaitu 2 gr%.

Pemberian secara parenteral ini hanya berdasarkan indikasi, di mana terdapat

intoleransi besi pada traktus gastrointestinal, anemia yang berat, dan

kepatuhan pasien yang buruk. Pada daerah-daerah dengan frekuensi

kehamilan yang tinggi dan dengan tingkat pemenuhan nutrisi yang minim,

seperti di Indonesia, setiap wanita hamil haruslah diberikan sulfas ferosus atau

glukonas ferosus sebanyak satu tablet sehari selama masa kehamilannya.

Selain itu perlu juga dinasehatkan untuk makan lebih banyak protein dan

sayur-sayuran yang mengandung banyak mineral serta vitamin (Wiknjosastro,

2005).

B. Perdarahan Postpartum

B.1 Definisi perdarahan postpartum

Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam

masa 24 jam setelah anak lahir. Dalam pengertian ini dimasukkan juga

perdarahan karena retensio plasenta (Mochtar, 2011). Wiknjosastro (2010)

mengatakan perdarahan postpartum adalah perdarahan 500cc atau lebih

setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar

sukar untuk dilakukan secara tepat.

Perdarahan setelah melahirkan atau hemorrhagic postpartum (HPP)

20
adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta,

trauma di traktus genetalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya (Walyani,

2015). Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml

atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah

seksio sesaria (Kenneth, 2009).

B.2 Jenis perdarahan postpartum

Perdarahan postpartum dibagi atas dua bagian menurut waktu terjadinya

(Manuaba, 2001):

1) Perdarahan postpartum (postpartum hemorrhage) ialah perdarahan >500

cc yang terjadi dalam 2 4 jam pertama setelah bayi lahir.

2) Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) ialah

perdarahan > 500 cc setelah 24 jam pasca persalinan.

Selaras dengan Mochtar (2011) juga mengklasifikasikan perdarahan

postpartum menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:

Perdarahan Pasca Persalinan (early postpartum hemorrhage) yang terjadi

dalam 24 jam setelah anak lahir.

1) Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang

terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke 5 sampai 15 postpartum.

2) Kemenkes RI (2013) juga mengatakan, perdarahan pasca salin primer

terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan, sementara perdarahan

pasca salin sekunder adalah perdarahan pervaginam yang lebih banyak

dari normal antara 24 jam hingga 12 minggu setelah persalinan.

21
B.3 Penyebab perdarahan postpartum

Perdarahan setelah melahirkan menurut Walyani ( 2015), disebabkan

karena atonia uteri, retensio plasenta, dan robekan jalan lahir. Mochtar (2011)

menyebutkan, etiologi perdarahan postpartum yakni atonia uteri, sisa plasenta

dan selaput ketuban, robekan jalan lahir (robekan perineum, vagina serviks,

forniks dan rahim), serta penyakit darah.

Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,

retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Penyebab utama

perdarahan postpartum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta

(Manuaba, 2001). Etiologi perdarahan postpartum dini di antaranya atonia

uteri, laserasi jalan lahir, hematoma, dan lain-lain (sisa plasenta atau selaput

janin, ruptura uteri, inversio uteri), serta etiologi perdarahan postpartum

lambat yakni tertinggalnya sebagian plasenta, subinvolusi di daerah insersi

plasenta, luka bekas seksio sesarea. (Wiknjosastro, 2010).

Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah umur yang terlalu tua

atau muda, paritas yang sering dijumpai pada multipara dan grandemultipara,

partus lama, uterus terlalu regang dan besar (misalnya gemeli, hidramnion,

dan janin besar), kelainan pada uterus (seperti mioma uteri, uterus couvelaire

pada solusio plasenta) dan faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi. (Mochtar,

2011).

Departemen kesehatan RI menyebutkan bahwa kematian ibu akibat

perdarahan postpartum dapat dicegah melalui deteksi dini adanya faktor

risiko. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian perdarahan pasca

22
persalinan pada kehamilan, antara lain placenta previa, atonia uteri, infeksi

penyakit, gizi buruk, eklamsia, paritas ibu hamil, anemia kehamilan, jarak

persalinan, usia kehamilan, umur ibu, riwayat pemeriksaan kehamilan (ANC),

dan riwayat persalinan terdahulu. (Manuaba,2001).

B.4 Patofisiologi perdarahan postpartum

B.4.1 Atonia uteri

Ketidakmampuan uterus untuk berkontraksi sebagaimana mestinya

setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh

kontraksi serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh

darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri

terjadi ketika miometrium tidak dapat berkontraksi (Wiknjosastro, 2010).

Atonia uteri yakni keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi lahir dan plasenta lahir. Pada atonia uteri,

uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab

utama dari perdarahan postpartum. (Walyani, 2015).

Uterus yang sangat teregang (hidramnion, kehamilan ganda atau

kehamilan dengan janin besar), partus lama dan pemberian narkose

merupakan predisposisi terjadinya atonia uteri. (Wiknjosastro, 2005).

B.4.2 Retensio plasenta

Retensio plasenta yakni plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit

setelah anak lahir. Plasenta sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III

dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus (Walyani,

23
2015). Perdarahan akibat retensio plasenta yakni perdarahan yang disebabkan

oleh plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi

lahir. Hal itu disebabkan oleh plasenta belum lepas dari dinding uterus atau

plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan. (Wiknjosastro, 2010).

Menurut Mochtar (2011), retensio plasenta adalah keadaan dimana

plasenta belum lahir dalam waktu satu jam setelah bayi lahir. Sebab-sebabnya

adalah:

1) Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih

dalam, yang menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi (a) Plasenta

adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam; (b)

Plasenta inkreta, dimana vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus

desidua sampai ke miometrium; (c) Plasenta akreta, yang menembus lebih

dalam ke dalam miometrium tetapi belum menembus serosa; (d) Plasenta

perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.

2) Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan

menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran

konstriksi pada bagian bawah Rahim akibat kesalahan penanganan kala III,

yang menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan,

tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini

merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula

tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh, karena itu keduanya

harus dikosongkan. (Mochtar, 2011).

24
Pada kasus retensio plasenta, plasenta harus dikeluarkan karena dapat

menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena plasenta sebagai benda mati,

dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip plasenta dan terjadi

degenerasi sel ganas korio karsinoma (Manuaba, 2001).

B.4.3 Robekan jalan lahir

Perdarahan akibat robekan jalan lahir bisa disebabkan oleh robekan di

perineum, vagina, serviks, forniks, dan rahim (Mochtar, 2011). Perdarahan

akibat robekan jalan lahir adalah perdarahan yang terjadi karena adanya

robekan pada jalan lahir (perineum, vulva, vagina, portio, atau uterus).

Robekan pada perineum, vulva, vagina, dan portio biasa terjadi pada

persalinan pervaginam (Manuaba,2001). Perdarahan setelah plasenta lahir

lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat berasal dari perlukaan jalan lahir.

(Walyani, 2015).

Perlukaan serviks, vagina dan perineum dapat menimbulkan

perdarahan yang banyak bila tidak segera direparasi (Wiknjosastro, 2010).

Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak dijumpai pada pertolongan

persalinan oleh dukun karena tidak dijahit. Oleh sebab itu bidan diharapkan

melaksanakan pertolongan persalinan melalui polindes, sehingga intervensi

dukun berangsur-angsur berkurang. Dengan demikian komplikasi robekan

jalan lahir yang dapat menimbulkan perdarahan pun akan dapat berkurang

(Manuaba, 2001).

B. 4.4 Penyakit kelainan darah

Gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan perdarahan

25
postpartum. Hal ini disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan atau

penghancuran fibrin yang berlebihan (Wiknjosastro,2010). Kelainan

pembekuan darah misalnya hemofilia atau hipofibrinogenemia yang sering

dijumpai pada perdarahan yang banyak, solusio plasenta, kematian janin yang

lama dalam kandungan, preeklamsia dan eklamsia, infeksi, hepatitis, dan

septik syok. (Mochtar, 2011).

B.4.5 Sisa plasenta

Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus,

sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka sehingga terjadi

perdarahan. (Wiknjosastro, 2010).

B.4.6 Ruptura uteri

Ruptura uteri menurut waktunya dibagi menjadi ruptur uteri

gravidarum (terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi di korpus) dan

ruptura uteri durante partum (terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering

pada segmen bawah rahim). Jenis ruptura uteri durante partum inilah yang

terbanyak. (Mochtar, 2011) Ruptura uteri menurut lokasinya, yakni: (Mochtar,

2011)

1) Korpus uteri: biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami

operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.

2) Segmen bawah Rahim (SBR): Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan

lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan

akhirnya terjadilah ruptura uteri.

3) Serviks uteri: Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep

26
atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.

4) Kolpoporeksis-kolporeksis: Robekan-robekan diantara serviks dan

vagina.

Ruptura uteri menurut etiologinya: (Mochtar, 2011)

1) Ruptura espontanea: karena dinding rahim yang lemah dan cacat serta

peregangan yang luar biasa pada rahim.

2) Ruptura uteri violenta (traumatika): karena tindakan dan trauma lain seperti

ekstraksi forsep, versi dan ekstraksi, embriotomi, versi braxton hicks, sindroma

tolakan (pushing syndrome), manual plasenta, kuretase, ekspresi kristeller atau

crede, pemberian pitocin tanpa indikasi dan pengawasan, trauma tumpul dan

tajam dari luar.

B.4.7 Hematoma

Hematoma sering menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah yang

cukup besar. Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang

mengalami laserasi atau pada daerah jahitan perineum. (Wiknjosastro,2010)

B.4.8 Inversio uteri

Inversio uteri sangat jarang terjadi. Menurut kepustakaan angka

kejadiannya adalah 1: 5000-20000 persalinan. Sebab inversio uteri yang

tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus

terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari

insersinya. (Wiknjosastro,2010)

B.4.9 Sub involusi

27
Involusi adalah keadaan uterus mengecil oleh kontraksi rahim dimana

berat rahim dari 1000 gr saat setelah bersalin, menjadi 40-60 gram enam

minggu kemudian. Pengecilan ini apabila kurang baik atau terganggu disebut

sub involusi. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah infeksi

(endometritis), sisa uri, mioma uteri, bekuan-bekuan darah, dan sebagainya.

Sub involusi dapat menyebabkan perdarahan postpartum. (Mochtar,2011)

C. Diagnosis

Perdarahan pascasalin adalah perdarahan 500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mempengar

ada perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia.

Kejadian tersebut apabila dibiarkan berlangsung terus, pasien akan jatuh

dalam keadaan syok. Perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada mereka

yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan. (Walyani, 2015)

Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. Perdarahan yang

deras biasanya menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan

perdarahan yang merembes kurang nampak sehingga sering kali tidak

mendapat perhatian. Perdarahan yang merembes bila berlangsung lama akan

menghasilkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah

perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan

dicatat. (Wiknjosastro, 2010).

28
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat

dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat itu dapat jatuh kedalam

keadaan syok. Perdarahan postpartum juga dapat berupa perdarahan yang

menetes perlahan-lahan tetapi terus-menerus yang juga berbahaya karena kita

tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak sehingga ibu

menjadi lemas dan juga jatuh dalam sub syok atau syok. Penting sekali pada

setiap ibu yang bersalin dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin, serta

pengawasan tekanan darah, nadi, pernafasan ibu, dan periksa juga kontraksi

uterus dan perdarahan selama 1 jam. (Mochtar,2011).

Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi

menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui

karena adanya kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Etiologi dapat

ditentukan dari perdarahan postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang

meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan

pemeriksaan dalam. (Walyani,2015)

Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada

palpasi abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Laserasi jalan lahir

uterus berkontraksi dengan baik pada palpasi teraba uterus yang keras.

Eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo dilakukan pada

pemeriksaan dalam sehingga dapat ditemukan robekan dari serviks, vagina,

hematoma, dan adanya sisa-sisa plasenta.(Wiknjosastro, 2010).

Diagnosis biasanya tidak sulit bila timbul perdarahan banyak dalam

29
waktu pendek. Tetapi apabila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa

disadari penderita telah kehilangan banyak darah. Beberapa gejala yang bisa

menunjukkan perdarahan postpartum yakni terdapat pengeluaran darah yang

tidak terkontrol, penurunan tekanan darah, peningkatan detak jantung,

penurunan hitung sel darah merah (hematokrit) dan pembengkakan dan nyeri

pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum (Wiknjosastro, 2010).

Setiap perdarahan postpartum harus dicari penyebabnya. Secara ringkas

membuat diagnosis adalah seperti bagan dibawah ini: (Mochtar, 2011).

D. Pencegahan dan penanganan perdarahan postpartum

Cara terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum adalah

memimpin kala II dan kala III persalinan secara legeartis. Apabila persalinan

diawasi oleh seorang dokter spesialis obstetri-ginekologi ada yang

menganjurkan untuk memberikan suntikan ergometrin secara intravena

setelah anak lahir, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang

terjadi. (Wiknjosastro, 2005)

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus

yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan

tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil

dengan melakukan antenatal care yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai

predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk

bersalin di rumah sakit. (Mochtar, 2011).

30
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,

golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi

persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan uterotonika.

Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan

sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi dengan 5 IU

oksitosin. Hasilnya biasanya memuaskan. (Mochtar, 2011)

Tindakan pada perdarahan postpartum mempunyai dua tujuan, yaitu:

1) mengganti darah yang hilang; 2) menghentikan perdarahan. Pada umumnya

kedua tindakan di lakukan bersama-sama, tetapi apabila keadaan tidak

mengijinkan makan penggantian darah yang hilang diutamakan.

(Wiknjosastro, 2005)

Penanganan umum pada perdarahan postpartum yakni: 1)ketahui

dengan pasti kondisi pasien sejak awal ( saat masuk); 2) memimpin persalinan

dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman ( termasuk upaya

pencegahan perdarahan pasca persalinan); 3 ) melakukan observasi melekat

pada 2 jam pertama pasca persalinan ( di ruang persalinan) dan lanjutkan

pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung); 4)

selalu menyiapkan keperluan tindakan gawat darurat; 5) Segera melakukan

penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah

dan komplikasi; 6) mengatasi syok; 7) memastikan kontraksi berlangsung baik

( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU

IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit;

8) memastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan

31
robekan jalan lahir; 9) lakukan uji beku darah apabila perdarahan terus

berlangsung; 10) memasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-

output cairan. 11) mencari penyebab perdarahan dan lakukan penanganan

spesifik. (Walyani, 2015)

Tatalaksana awal perdarahan postpartum menurut Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia ( 2013) yakni: 1) memanggil bantuan tim

untuk tatalaksana secara simultan; 2) menilai sirkulasi, jalan napas, dan

pernapasan pasien; 3)lakukan penatalaksanaan syok apabila menemukan

tanda-tanda syok; 4)Memberikan oksigen; 5) memasang infus intravena

dengan kanul berukuran besar (16G atau 18G) dan mulai pemberian cairan

kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Ringer Asetat) sesuai dengan

kondisi ibu. Lakukan juga pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan pada

saat memasang infus; 6) mengambil sampel darah apabila fasilitas tersedia

dan lakukan pemeriksaan Kadar hemoglobin (pemeriksaan hematologi rutin),

Penggolongan ABO dan tipe Rh serta sampel untuk pencocokan silang dan

Profil Hemostasis (Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT), Waktu Pembekuan

(Clotting Time/CT), Prothrombin time (PT), Activated partial thromboplastin

time (APTT), hitung trombosit, Fibrinogen); 7)Melakukan pengawasan

tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu; 8) Memeriksa kondisi abdomen:

kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan tinggi fundus uteri; 9 )

Memeriksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan laserasi

(jika ad a, m isal: r obekan s erviks d an r obekan va gina); 10) Memeriksa

kelengkapan plasenta dan selaput ketuban; 11) Memasang kateter Foley untuk

32
memantau volume urin dibandingkan dengan jumlah cairan yang masuk.

(produksi urin normal 0.5 -1 ml/kgBB/jam atau sekitar 3 0 ml/jam);

12)Menyiapkan transfusi darah jika kadar Hb < 8 g /dl a tahu secara klinis

ditemukan keadaan anemia berat (1 unit whole blood (WB) atau packed red

cells (PRC) dapat menaikkan hemoglobin 1 g /dl atau hematokrit sebesar 3 %

pada dewasa normal dan melakukan transfusi darah setelah informed consent

ditandatangani untuk persetujuan transfusi); 13) Menentukan penyebab dari

perdarahan dan lakukan penatalaksanaan spesifik sesuai penyebab.

E. Hubungan Anemia dalam Kehamilan dengan Kejadian Perdarahan

Postpartum

Tingginya anemia yang menimpa ibu hamil memberikan dampak

negatif terhadap janin yang dikandung dari ibu dalam kehamilan, persalinan

maupun nifas yang diantaranya akan lahir janin dengan berat badan lahir

rendah (BBLR), partus prematur, abortus, perdarahan post partum, partus

lama dan syok. Hal ini berkaitan dengan banyak faktor antara lain; status gizi,

kadar hb, um ur, dan pekerjaan (Sarwono Prawirohardjo, 2011).

Pada anemia jumlah efektif sel darah merah berkurang. Hal ini

mempengaruhi jumlah hemoglobin dalam darah. Berkurangnya jumlah

hemoglobin menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dalam darah juga

sedikit, sehingga mengurangi jumlah pengiriman oksigen ke organ-organ

vital.(Anderson,1994). Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan

kurangnya oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak.

Sehingga dapat memberikan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi

33
yang dilahirkan ( Manuaba, 2001). Kekurangan suplai oksigen dapat

menyebabkan persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam

berkontraksi ( inersia uteri) dan perdarahan pasca melahirkan karena atonia

uteri yakni tidak adanya kontraksi otot rahim. (Wiknjosastro, 2005; Saifuddin,

2006).

F. Kerangka Konsep

Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian perdarahan antara lain paritas

ibu ( sering dijumpai pada multipara dan grande multipara), anemia kehamilan,

jarak persalinan, usia kehamilan, umur ibu (umur yang terlalu tua atau muda),

riwayat pemeriksaan kehamilan ( ANC), riwayat persalinan terdahulu dan faktor

sosio ekonomi yaitu malnutrisi. (Manuaba,2001; Mochtar, 2011)

Ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum

sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit (Mochtar,2011). Anemia dalam

kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan,

persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. ( Wiknjosastro, 2005; Saifudin,

2006). Penyebab anemia umumnya adalah kurang gizi, kurang zat besi,

kehilangan darah saat persalinan yang lalu, dan penyakit – penyakit kronik

(Mochtar, 2011).

Dalam kehamilan penurunan kadar hemoglobin yang dijumpai selama

kehamilan disebabkan oleh karena dalam kehamilan keperluan zat makanan

bertambah dan terjadinya perubahan-perubahan dalam darah : penambahan

volume plasma yang relatif lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin

dan volume sel darah merah. Bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika

dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah

34
(Wiknjosastro, 2005 ).

Pada anemia jumlah efektif sel darah merah berkurang. Hali ni

mempengaruhi jumlah hemoglobin dalam darah. Berkurangnya jumlah

hemoglobin menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dalam darah juga sedikit,

sehingga mengurangi jumlah pengiriman oksigen ke organ-organ vital

(Anderson,1994). Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen

yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Sehingga dapat memberikan

efek buruk pada ibu maupun pada bayi yang dilahirkan (Manuaba, 2001).

Kerja jantung akan dipacu lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke

semua organ tubuh apabila terjadi anemia, akibatnya penderita sering berdebar

dan jantung cepat lelah (Sin s in, 2008) . Tindakan operatif dalam persalinan

dilakukan apabila ibu cepat lelah dalam persalinan, sehingga dapat menyebabkan

robekan jalan lahir, ruptur uteri, dan inversio uteri yang merupakan penyebab

perdarahan. Kekurangan suplai oksigen dapat menyebabkan persalinan yang lama

akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi ( inersia uteri) dian perdarahan

pasca melahirkan karena atonia uteri yakni tidak adanya kontraksi otot rahim.

(Wiknjosastro, 2005; Saifuddin, 2006 ).

Status ekonomi yang lebih rendah menimbulkan angka nutrisi buruk

yang lebih tinggi dan sehingga mengakibatkan angka anemia defisiensi zat besi

lebih tinggi.(Varney, 2007). Umur seorang ibu berkaitan dengan alat–alat

reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 – 35

tahun. Kehamilan di usia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan

anemia karena pada kehamilan di usia < 20 tahun secara biologis belum optimal

35
emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah

mengalami kegoncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap

pemenuhan kebutuhan zat – zat gizi selama kehamilannya. Pada usia > 35 tahun

terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai

penyakit yang sering menimpa di usia ini. (Amirrudin dan Wahyuddin, 2004).

Penyakit malaria dapat menyebabkan anemia hemolitik ( kejadian

0 ,70%) yaitu anemia yang disebabkan karena penghancuran sel darah merah

dan berlangsung lebih cepat ( Mochtar, 2011; Wiknjosastro, 2005). Gangguan

pembekuan darah dapat pula menyebabkan perdarahan postpartum. Hal ini

disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan atau penghancuran fibrin

yang berlebihan (Wiknjosastro,2005).

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya

anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan

kebutuhan zat gizi belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi

janin yang dikandung (Wiknjosastro, 2005; Mochtar, 2011). Kasus perdarahan

postpartum sering dijumpai pada paritas multipara dan grandemultipara

(Mochtar, 2011)

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus

yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan

tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil

dengan melakukan antenatal care yang baik. (Mochtar, 2011) Pada antenatal

care dapat mendeteksi komplikasi kehamilan misalnya uterus terlalu tegang dan

besar (misalnya pada gemeli, hidramnion, dan janin besar), kelainan pada uterus

(seperti mioma uteri, uterus couvelaire pada solusio plasenta) dan faktor sosio

36
ekonomi yaitu malnutrisi. (Mochtar, 2011).

G. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan anemia dalam

kehamilan dengan kejadian perdarahan postpartum di RSUD RAPB Penajam

Paser Utara.

37
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional yang bersifat analitik.

Penelitian observasional yaitu penelitian yang tidak memberikan perlakuan

sama sekali tetapi hanya melakukan observasi atau pengamatan terhadap objek

penelitian. (Swarjana, 2015).

Penelitian analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana

dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis

dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor risiko dengan faktor efek

(Notoatmodjo, 2012). Sehingga yang dimaksud penelitian analitik

observasional adalah suatu pengamatan ataupun pengukuran yang mencoba

menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi tanpa

dilakukan manipulasi atau intervensi apapun yang kemudian di analisis. Untuk

menelaah hubungan anemia dalam kehamilan dengan kejadian perdarahan

postpartum, digunakan analisis data sekunder dengan pendekatan cross

sectional. Pendekatan cross sectional dipilih pada penelitian ini untuk melihat

seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi penyakit.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

B.1 LokasiPenelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ratu Aji

Putri Botung, Kabupaten Penajam Paser Utara

38
B.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2023 – Januari 2024.

C. Subjek Penelitian

Populasi adalah wilayahnya generalisasi yang terdiri atas subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2007). Subjek

dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin yang mengalami anemia dan

atau perdarahan post partum di RSUD RAPB Penajam Paser Utara dari 1

Januari 2023– 31 Desember 20123 yakni 45 ibu bersalin.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional digunakan untuk menjelaskan semua variabel yang

digunakan dalam penelitian secara operasional, sehingga mempermudah

pembaca dalam mengartikan makna penelitian. (Nursalam, 2013)

Tabel 3.1 Definisi operasional hubungan anemia dalam kehamilan dengan perdarahan
postpartum primer di RSUD RAPB, Kab Penajam Paser Utara
Variabel Definisi Parameter Instrumen Kriteria Hasil Skala
Operasional
Anemia Diagnosis Kadar Hb Lembar 1. Anemia dalam Nominal
dalam anemia dalam <11g/dL pada pengumpula kehamilan jika sesuai
kehamilan kehamilan trimester II n data kriteria.
dengan kadar dan III dan < 2. Tidak Anemia
Hb <11 g/dL 10,5g/dL pada dalam kehamilan jika
pada trimester I trimester II tidak sesuai kriteria
dan III dan <
10,5g/dL pada
trimester II
Perdarahan Diagnosis HPP Perdarahan > Lembar 1. Perdarahan Nominal
Postpartum yang tertulis 500cc pada 24 pengumpula postpartum jika sesuai
dalam rekam jam pertama n data parameter
medik post partum 2. Tidak perdarahan
post partum jika tidak
sesuai parameter

39
E. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas, yaitu anemia dalam

kehamilan dan variabel terikat, yaitu perdarahan post partum.

F. Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan dan proses

pengumpulan karakteristik sampel yang diperlukan dalam suatu penelitian yang

terbagi menjadi data primer dan data sekunder. (Nursalam, 2013).

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.

Peneliti mengumpulkan data variabel terikat dan variabel bebas yang

dibutuhkan dengan menggunakan sumber Buku Register dan Rekam Medik

Pasien RSUD RAPB Kabupaten Penajam Paser Utara. Peneliti mengambil data

sampel yang memenuhi kriteria inklusi.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan SPSS versi 26, yang mana setelah data

terkumpul, maka dilanjutkan dengan langkah-langkah berikut : Hidayat ( 2007)

1) Editing, merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap sebelum

atau setelah data terkumpul.

2) Coding, setelah data di edit maka akan dilakukan coding, yaitu mengubah

data yang ada dalam bentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau

40
bilangan dan dimasukkan dalam kategori yang sama. Coding yaitu

memberikan kode angka pada atribut variabel agar lebih mudah dalam

analisis data.

H. Analisis Data

Analisis dilakukan terhadap dua variabel yang diduga memiliki hubungan

yaitu Anemia dalam kehamilan (variabel bebas) dengan Perdarahan post partum

primer (variable terikat). Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji

Chi Square (x2). Uji Chi Square (x2) akan dapat disimpulkan adanya hubungan

dua variabel penelitian bermakna atau tidak bermakna ( Notoatmodjo, 2 012).

Hasil yang diperoleh tabel Contingency 2x2 diterapkan dengan menggunakan Chi

– Square dan dibantu dengan SPSS.

Tabel 3.1 Kontingensi 2 x 4 Pengaruh anemia dalam kehamilan terhadap kejadian


Perdarahan Postpartum
Variabel Anemia Dalam Kehamilan Total
Anemia Tidak Anemia
Perdarahan Post + a b
Partum - c d

Penelitian akan menggunakan analisa ini untuk mengetahui atau uji

kemaknaan hubungan kejadian Perdarahan Postpartum Primer dengan Anemia

dalam kehamilan. Dasar dalam pengambilan keputusannya adalah

membandingkan adalah membandingkan nilai signifikansi ( p) dengan nilai

tingkat kesalahan (α = 0.05).

Kesimpulan :

- Apabila p < 0,05 maka hasilnya signifikan artinya Ho ditolak dan Ha


diterima.

41
- Apabila p > 0,05 maka hasilnya tidak signifikan artinya Ho diterima dan Ha
ditolak.

- ika uji Chi square tidak memenuhi syarat maka dilakukan uji Fisher.

I. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah Ada Hubungan Anemia dalam

Kehamilan dengan Kejadian Perdarahan Pasca Persalinan Di RSUD Penajam

Paser Utara.

42
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Aji Putri Botung (RSUD RAPB) adalah

rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur

yang berada di lokasi strategis tepatnya di jalan Propinsi Km.09 Kelurahan Nipah-

nipah, yang merupakan jalan utama provinsi penghubung kota Balikpapan dengan

kabupaten Paser.

B. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di RSUD RAPB, Kabupaten Penajam Paser Utara,

Provinsi Kalimantan Timur. Proses penelitian dilakukan dari Bulan Agustus 2023

- Januari 2024. Penelitian ini melibatkan keseluruhan 1961 pasien hamil dan

mengalami persalinan dan di rawat di RSUD RAPB. Didapatkan 45 pasien subjek

penelitian yang dirawat dalam kurun waktu satu tahun (Januari 2023 - Desember

2023) yang masuk dalam kriteria inklusi yakni anemia dan terjadinya pendarahan

post partum. Sumber yang digunakan adalah rekam medik, baik rekam medik

manual maupun rekam medik elektronik; daftar pasien yang mengalami

persalinan dan/atau dirawat dengan persalinan atau post partum di RSUD RAPB.

Ada pun pasien ibu hamil yang diinklusikan adalah pasien-pasien:

1. Mengalami HPP dan anemia

2. Ada data tentang HPP dan ada data laboratorium tentang Hemoglobin.

Data total total persalinan sebanyak 1961 pasien dalam tahun 2023. Dari

43
total pasien tersebut, didapatkan 45 pasien sampel penelitian yang memenuhi

kriteria dan 1.916 pasien yang tidak memenuhi kriteria sehingga tidak dilakukan

analisis. Sebanyak 45 pasien yang memenuhi kriteria inklusi tersebut antara lain,

anemia 36 pasien, HPP 23 pasien, anemia dan HPP sebanyak 14 pasien, artemia

tanpa HPP sebanyak 22 pasien, serta HPP dengan tidak anemia sebanyak 9

pasien. Ringkasan data penelitian ini dirangkum pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Data Persalinan di RSUD RAPB Pada Tahun 2023


Sampel Anemia Anemia dan Anemia Tdk Hpp,Tdk
Persalinan HPP
Penelitian (Hb,11g/dL) HPP HPP Anemia
1961 45 36 23 14 22 9

Data Pasien Anemia dan/ Atau Perdarahan Post Partum di RSUD RAPB

Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur Tahun 2023 . Data tersebut diolah

dengan SPSS dan didapatkan hasil seperti pada tabel-tabel di bawah ini:

- Uji validitas menunjukkan data 100% valid dan tidak ada data yang hilang

pada perhitungan.

- Uji tabulasi silang menunjukkan ada tiga hasil di bawah angka lima, yaitu 0;

4,4; dan 4,6 sehingga untuk nilai p kita dapatkan dari Uji Fisher, dengan hasil

0,01. Dengan asumsi α=0,05, sehingga hasil ini signifikan (p<0,05).

- OR, didapatkan sebesar 2,571 dengan interval kepercayaan sebesar 95%.

Penelitian ini diuji dengan aplikasi Chi Square SPSS. Pada uji tersebut

dilakukan uji validitas, uji crosstab (tabulasi silang), dan risk estime (perkiraan

risiko).

Tabel 4.2 Uji Validitas Data Persalinan di RSUD RAPB Pada Tahun 2023
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Anemia * HPP 45 100,0% 0 0,0% 45 100,0%

44
Pada uji validasi data di atas, didapatkan pada uji antara anemia dalam

kehamilan dengan kasus HPP data valid 100% dan tidak ada data yang hilang

(missing).

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana

ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurannya

(Azwar 1986). Selain itu validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa

variabel yang diukur memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh

peneliti (Cooper dan Schindler, dalam Zulganef, 2006).

Sedangkan menurut Sugiharto dan Sitinjak (2006), validitas berhubungan dengan

suatu peubah mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas dalam penelitian

menyatakan derajat ketepatan alat ukur penelitian terhadap isi sebenarnya yang

diukur. Uji validitas adalah uji yang digunakan untuk menunjukkan sejauh mana

alat ukur yang digunakan dalam suatu mengukur apa yang diukur.

Suatu tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika teks tersebut

menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat

sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu tes menghasilkan data

yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes

yang memiliki validitas rendah.

Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran.

Suatu alat ukur yang valid dapat menjalankan fungsi ukurnya dengan tepat, juga

memiliki kecermatan tinggi. Arti kecermatan disini adalah dapat mendeteksi

perbedaan-perbedaan kecil yang ada pada atribut yang diukurnya.

45
Tabel 4.3 Uji Tabulasi Silang Data Persalinan di RSUD RAPB Pada Tahun 2023
HPP
Total
Tdk HPP HPP
Tidak Anemia Count 0 9 9
Anemia Expected Count 4,4 4,6 9,0
Anemia Count 22 14 36
Expected Count 17,6 18,4 36,0
Total Count 22 23 45
Expected Count 22,0 23,0 45,0

Tabel 4.4. Uji Faktor Risiko Data Persalinan di RSUD RAPB Pada Tahun 2023
Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For Cohort 2,571 1,707 3,873


HPP=HPP

N of Valid Case 45

Crosstab atau cross tabulation merupakan teknik analisis data yang

menyajikan dua variabel berbeda ke dalam satu matriks. Tujuan dari analisis

Crosstab adalah untuk melihat hubungan antara dua variabel dalam satu

tabel. Adapun variabel yang dianalisis dalam crosstab mengacu pada variabel

yang sifatnya kualitatif khususnya yang berskala nominal. Ciri dari analisis

crosstab atau yang lebih dikenal dengan tabulasi silang adalah adanya baris dan

kolom. Adanya dua variabel yang diperbandingkan masing-masing punya

hubungan secara deskriptif apabila menggunakan tabulasi silang.

Metode crosstab umumnya digunakan untuk melihat keterhubungan antara

dua variabel dalam satu tabel. Bisa dibilang analisis tabulasi silang (crosstab) ini

adalah analisis yang paling mudah karena peneliti bisa mempelajari hubungan

antara masing-masing variabel sehingga hasilnya mudah dikomunikasikan dan

46
dapat ditarik kesimpulan. Keberadaan analisis Crosstab dapat memberikan

masukan terkait sifat hubungan yang diuji karena penambahan satu atau lebih

variabel pada analisis kualifikasi silang dua arah adalah sama dengan

mempertahankan masing-masing variabel tetap konstan. Analisis Crosstab dapat

digunakan apabila salah satu variabel bersifat kualitatif dan variabel lainnya

bersifat kuantitatif.

Tabel 4.5 Uji Chi Square Data Persalinan di RSUD RAPB Pada Tahun 2023

Data persalinan di atas menunjukkan hasil pasda uji Pearson adalah 0,001,

Uji Korelasi Chi Square didapatkan hasil 0,004, uji Fisher didapatkan hasil 0,001

dan uji Asosiasi Linear didapatkan 0,001. Karena pada uji validitas 2x2

didapatkan nila kurang dari 5, maka yang digunakan adalah uji Fisher dengan

hasil 0,001 (bermakna) karena kurang dari 0,05.

C. Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan pada pengalaman langsung peneliti dalam proses penelitian ini, ada

beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi beberapa faktor yang agar dapat

untuk lebih diperhatikan bagi peneliti-peneliti yang akan datang dalam lebih

47
menyempurnakan penelitiannya karena penelitian ini sendiri tentu memiliki kekurangan

yang perlu terus diperbaiki dalam penelitian-penelitian kedepannya. Beberapa

keterbatasan dalam penelitian tersebut, antara lain :

1. Jumlah sampel yang diinklusi hanya 45 orang, tentunya masih kurang untuk

menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

2. Objek penelitian hanya difokuskan pada data sekunder, dalam arti tidak ada

perlakukan pada pasien.

3. Kriteria yang diteliti terbatas sehingga faktor-faktor yang berpengaruh masih perlu

untuk diteliti juga.

48
BAB V

PENUTUP

SIMPULAN

Ada hubungan anemia dalam kehamilan dengan kejadian perdarahan pasca

persalinan di RSUD APBD Penajam Paser Utara.

SARAN

1. Diharapkan setiap petugas tenaga medis mampu memberikan edukasi

kejadian perdarahan post partum

2. Diharapkan setiap petugas tenaga medis mampu mengidentifikasi anemia

pada kehamilan, sehingga mencegah resiko kejadian perdarahan Pasca

Persalinan di RSUD Penajam Paser Utara.

3. Penanganan anemia pada ibu hamil dengan pemberian tablet Fe guna

mencegah perdarahan pasca salin di RSUD Penajam Paser Utara tahun

2023.

49
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Wahyuddin. 2004. Studi kasus kontrol faktor biomedis terhadap


kejadian anemia ibu hamil di puskesmas Bantimurung. Jurnal M
edicalUNHAS.http://med.unhas.ac.id/en//index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=160

Anggi H., Purhadi, 2020. Pemodelan Jumlah Kematian Ibu Nifas di


Karesidenan Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017
Menggunakan Regresi Zero-Inflated Poisson Inverse Gaussian. Hal.
99-106. Inferensi, Viol 3(2), September 2020.

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah: buku saku untuk


Brunner dan Suddarth. Hal 31-32. Jakarta: EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah: buku saku untuk


Brunner dan Suddarth. Hal 31-32. Jakarta: EGC

Djamilus, Herlina, 2008, Faktor risiko kejadian anemia ibu hamil di wilayah
Kerja puskesmas Bogor, Artikel, Available from:
http://www.motekar.tk/topik/pengkajian-anemia-pada-ibu-hamil.html

Gibney, Michael J, B Arrie M . M argetts, John M. Kearney, Lenore A rab.


2009. Gizi kesehatan masyarakat. hal 94-96. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC

Hidayat, A. 2007. Metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data.


Surabaya: Salemba Medika

Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri william: panduan ringkas. Edisi ke-21. Hal
437.Jakarta: EGC.

Kusumah. 2009. Kadar haemoglobin ibu hamil triwulan ii-iii dan faktor –
faktor yang mempengaruhinya di RSUP H Adam Malik Medan. thesis.
Universitas Sumatera.

Manuaba, I.B.G. 2007. Pengantar kuliah obstetri. Hal 38-40 Jakarta: EGC

Masrizal. 2007. Anemia defisiensi besi. Jurnal kesehatan masyarakat, II (I).


available from; http://www.searchinpdf.com

Mochtar, R ustam. 2011. Sinopsis Obstetri. E disi 3. H al 109 -111, 199, 207 –
208.Jakarta: EGC

Nursalam. 2013. Metode penelitian ilmu keperawatan. Jakarta Selatan: S


elemba Medika

50
Saifuddin, A B. 2006. Acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal.Edisi 1. Cetakan ke -4. H al.145-181, 281 Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Sin – sin, 2008. Masa Kehamilan dan persalinan. Hal.64-66 Jakarta: PT Alex
Media Komputindo

Shorayasari S, Latief K, Rizkyana C N. 2019.Geographic Information System


Analysis dan Determinan yang Berpengaruh Terhadap Kematian
Maternal di RSU Kabupaten Tangerang. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Masyarakat Volume 11 Edisi 4. pp.308-316

Smith R John,evid C helnow, Chief, David C helnow. 2010. Management the


third stage of labor, medscape reference. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/275304-overview

Swarjana, I Ketut. 2015. Metodologi penelitian kesehatan (edisi revisi). Edisi 2. H


al209. Yogyakarta: Andi

Varney, H. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Ed.4. Vol.1. Hal. 127, 623.
Jakarta: EGC

Walyani, E lisabeth S iwi. 2015. Asuhan kebidanan kegawatdaruratan


maternal dan neonatal. Cetakan pertama. Hal. 46-49. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press

Wiknjosastro, Hanifa.2005. Ilmu Kebidanan. Edisi 3 Cetakan ke-10. Hal.448



456. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

51
LAMPIRAN

Hasil Pengolahan data dengan SPSS

52
53

Anda mungkin juga menyukai