Anda di halaman 1dari 9

1.

Fakta Hukum
Fakta hukum yang disajikan dalam konteks tersebut
menggambarkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia dan
Malaysia, yang telah memiliki undang-undang perlindungan konsumen
masing-masing. Di Indonesia, terdapat Undang-Undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang tidak pernah mengalami
amendemen sejak diberlakukan. Sementara itu, di Malaysia, terdapat Akta
Perlindungan Pengguna 1999 (Akta 599) yang telah mengalami lima kali
amendemen. Perbedaan dalam proses amendemen ini menunjukkan
tingkat perubahan dan adaptasi yang berbeda dalam kedua negara tersebut
terkait isu perlindungan konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Indonesia
mencatat sebanyak 3.555 keluhan dari konsumen antara tahun 2017 hingga
19 Oktober 2020, sedangkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) menerima 1.871 keluhan pada tahun 2019 dan meningkat menjadi
3.692 pada tahun 2020. Di sisi lain, Malaysia melalui Malaysian
Consumers Claims Tribunal (TTPM) berhasil menyelesaikan perselisihan
konsumen tanpa kegagalan selama periode 2017-2020. Perbandingan ini
mencerminkan efektivitas sistem penyelesaian sengketa konsumen di
kedua negara dan menunjukkan perbedaan dalam kinerja lembaga-
lembaga yang mengatur perlindungan konsumen.1
Hal ini juga memunculkan permasalahan terkait dengan kinerja
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Indonesia. Meskipun
BPSK memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang meliputi mediasi,
arbitrase, dan konciliasi, namun kinerja BPSK dinilai masih kurang efektif
dalam memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen. Kekuatan
pelaksanaan keputusan arbitrase BPSK juga terbatas dan dapat diajukan
pembatalan hingga ke Mahkamah Agung. Sejumlah putusan BPSK telah
dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena berbagai alasan, termasuk

1
Musataklima, “EFEKTIVITAS PENANGANAN SENGKATA KONSUMEN OLEH BADAN
PENYELESAIAN KONSUMEN (BPSK) PRESPEKTIF POLITIK HUKUM DI INDONESIA,”
Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology., 2023.
kewenangan yang tidak tepat dan ketidaktepatan dalam menentukan jenis
sengketa konsumen.2
Perbandingan dengan Malaysia menunjukkan bahwa model
penyelesaian sengketa konsumen yang digunakan oleh TTPM telah
berhasil dengan baik dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari
konsumen. Penyesuaian aturan dan praktek yang berhasil dilakukan oleh
TTPM dapat menjadi acuan untuk memperkuat BPSK di Indonesia agar
lebih efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan memberikan
perlindungan yang memadai bagi konsumen. Dalam konteks ini,
diperlukan langkah-langkah reformasi hukum yang memperkuat
kewenangan dan mekanisme BPSK agar lebih sesuai dengan praktik yang
telah berhasil diterapkan di Malaysia.3
2. Masalah Hukum
Masalah hukum yang muncul dari konteks yang telah dijelaskan
adalah multi-dimensi dan menyangkut beberapa aspek krusial dalam
penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).
Pertama-tama, terdapat masalah terkait kinerja BPSK dalam
memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen. Meskipun
UUPK telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK, namun efektivitas dari mekanisme tersebut masih
dipertanyakan. Hal ini terlihat dari sejumlah putusan BPSK yang
kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, menandakan adanya
kelemahan dalam proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK.
Kedua, terdapat permasalahan terkait dengan kewenangan yang
terlalu luas dan belum terfokus dari BPSK dalam menangani sengketa
konsumen. Meskipun BPSK memiliki mekanisme mediasi, arbitrase, dan
konciliasi, namun dalam praktiknya, kinerja BPSK masih belum
memberikan hasil yang optimal bagi konsumen. Terdapat kecenderungan

2
Musataklima.
3
Zulham Effendi, Selamat Lumban Gaol, dan Nurlely Darwis, “Pelaksanaan Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Lembaga Quasi Yudisial dalam Penyelesaian
Sengketa Konsumen di Indonesia,” Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial dan Sains 12, no. 2
(2023), https://doi.org/10.19109/intelektualita.v12i2.18848.
bahwa kewenangan yang terlalu luas dapat mengaburkan fokus BPSK
dalam menangani sengketa konsumen secara efektif dan spesifik.4
Selanjutnya, masalah terkait independensi dan otoritas BPSK
dalam menyelesaikan sengketa konsumen menjadi perhatian penting.
Artikel 45 paragraf (4) UUPK menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa
di BPSK harus melalui mediasi terlebih dahulu sebelum tuntutan dapat
diajukan ke pengadilan. Namun, dalam praktiknya, terdapat potensi bagi
pihak-pihak yang tidak memiliki niat baik untuk mengklaim bahwa upaya
penyelesaian sengketa BPSK telah gagal, meskipun prosesnya masih
berlangsung. Hal ini dapat merusak otoritas BPSK dan mengurangi
kepercayaan dari pihak-pihak yang bersengketa.
Tak kalah penting, masalah spesialisasi dan fokus BPSK dalam
menangani sengketa konsumen juga merupakan isu yang patut
diperhatikan. Dengan memiliki kewenangan yang sangat luas, termasuk
sebagai regulator administratif, penyelesaian sengketa, dan fungsi
ombudsman, BPSK harus mampu mengelola tanggung jawabnya secara
efektif dan efisien. Namun, kewenangan yang terlalu beragam ini dapat
mengaburkan fokus BPSK dalam memberikan perlindungan yang konkret
dan khusus bagi konsumen.
Terakhir, masalah yang muncul terkait dengan perlunya reformasi
hukum dan perubahan dalam mekanisme penyelesaian sengketa konsumen
di BPSK. Diperlukan upaya konkret untuk memperkuat kewenangan
BPSK agar lebih terfokus pada penyelesaian sengketa konsumen sebagai
prioritas utama. Reformasi ini harus memperhitungkan berbagai aspek,
mulai dari independensi, otoritas, spesialisasi, hingga efektivitas dalam
memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen.5
Secara menyeluruh, masalah-masalah yang muncul menunjukkan
bahwa ada kebutuhan mendesak untuk melakukan evaluasi menyeluruh

4
Sri Lestari, “The Legal Certainty for Resolving Consumer and Business Actor Disputes from the
Perspective of Social Engineering Justice from Roscoe Pound,” Jurnal IUS Kajian Hukum dan
Keadilan 11, no. 3 (2023): 557–68, https://doi.org/10.29303/ius.v11i3.1309.
5
DPR REPUBLIK INDONESIA, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” Direktorat Utama Pembinaan dan
Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan, no. 16100
(2023): 1–345.
terhadap kinerja dan struktur BPSK dalam menangani sengketa konsumen.
Diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan efektivitas dan
memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen di Indonesia.
3. Inventarisasi Peraturan Hukum
Inventarisasi peraturan hukum terkait penyelesaian sengketa
konsumen di Indonesia mencakup beberapa aspek yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). Sebagai bagian dari peraturan hukum yang mengatur hak dan
perlindungan konsumen di Indonesia, UUPK memiliki beberapa pasal
yang relevan dengan penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berikut adalah inventarisasi
peraturan hukum yang terkait:
1. Pasal 45 UUPK mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, termasuk melalui BPSK. Pasal ini menegaskan bahwa
upaya penyelesaian sengketa harus dilakukan secara sukarela oleh
pihak-pihak yang bersengketa sebelum dapat diajukan ke pengadilan.6
2. Pasal 46 UUPK mengatur tentang mediasi sebagai salah satu
mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK. Mediasi dilakukan oleh
mediator yang ditunjuk oleh BPSK untuk membantu pihak-pihak
mencapai kesepakatan damai.7
3. Pasal 47 UUPK mengatur tentang arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa di BPSK. Arbitrase dilakukan oleh panel arbiter
yang memiliki kewenangan untuk memberikan putusan yang mengikat
bagi pihak-pihak yang bersengketa.8
4. Pasal 48 UUPK mengatur tentang konciliasi sebagai mekanisme
penyelesaian sengketa di BPSK. Konciliasi merupakan upaya mediasi
yang dilakukan dengan bantuan ahli atau pakar yang ditunjuk oleh
BPSK.9

6
DPR REPUBLIK INDONESIA.
7
DPR REPUBLIK INDONESIA.
8
DPR REPUBLIK INDONESIA.
9
DPR REPUBLIK INDONESIA.
5. Pasal 49 UUPK mengatur tentang keputusan BPSK yang memiliki
kekuatan hukum tetap jika tidak diajukan gugatan pembatalan ke
pengadilan dalam waktu tertentu setelah keputusan diterbitkan.10
6. Pasal 50 UUPK mengatur tentang kewenangan BPSK untuk
mengeluarkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar
ketentuan UUPK.11
7. Pasal 51 UUPK mengatur tentang kewajiban pelaku usaha untuk
mematuhi keputusan BPSK dan mengimplementasikannya dengan
segera.12
8. Pasal 52 UUPK mengatur tentang mekanisme pembatalan keputusan
BPSK melalui gugatan ke pengadilan jika terdapat alasan yang sah dan
meyakinkan.13
9. Selain UUPK, terdapat juga peraturan lain yang terkait dengan
penyelesaian sengketa konsumen, seperti Peraturan Pemerintah Nomor
99 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara
Elektronik yang mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen
dalam konteks transaksi elektronik.14
Dengan adanya inventarisasi peraturan hukum di atas, dapat
disimpulkan bahwa kerangka hukum penyelesaian sengketa konsumen di
Indonesia telah diatur secara komprehensif dalam UUPK dan peraturan
terkait lainnya. Namun, masih diperlukan evaluasi terus-menerus dan
pembaruan hukum untuk meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa
konsumen melalui BPSK sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan
tantangan zaman.
4. Analisa Hukum
Analisis hukum terhadap penyelesaian sengketa konsumen di
Indonesia melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
melibatkan beberapa aspek yang perlu dievaluasi secara mendalam.
Berikut adalah analisis hukum terkait:

10
DPR REPUBLIK INDONESIA.
11
DPR REPUBLIK INDONESIA.
12
DPR REPUBLIK INDONESIA.
13
DPR REPUBLIK INDONESIA.
14
DPR REPUBLIK INDONESIA.
1. Kewenangan dan Efektivitas BPSK
Meskipun BPSK memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
konsumen di luar pengadilan, efektivitasnya dalam memberikan
perlindungan yang efektif bagi konsumen menjadi perhatian utama.
Sebagai lembaga yang ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa
konsumen dengan cara yang cepat, murah, dan efisien, BPSK harus
dapat memberikan keputusan yang dapat dijalankan dengan baik oleh
kedua belah pihak.
2. Kasus-Kasus yang Dapat Disengketakan
Analisis terhadap jenis-jenis sengketa konsumen yang dapat
disengketakan di BPSK juga penting. Sebagai contoh, sengketa dalam
sektor e-commerce memiliki jumlah yang signifikan, sehingga
perlunya penyesuaian dan pembaruan regulasi untuk mengakomodasi
perubahan tren konsumsi modern.
3. Kualitas Keputusan BPSK
Penting untuk mengevaluasi kualitas keputusan yang dihasilkan oleh
BPSK. Hal ini mencakup aspek-aspek seperti keterbukaan, konsistensi,
keadilan, dan kepastian hukum dalam setiap keputusan yang
dikeluarkan.
Penyebab Pembatalan Keputusan BPSK oleh Pengadilan: Analisis
terhadap alasan-alasan pembatalan keputusan BPSK oleh pengadilan,
seperti kurangnya otoritas dalam mengadili isi kontrak atau keputusan
yang tidak memenuhi kriteria sengketa konsumen, perlu dilakukan untuk
memahami tantangan yang dihadapi oleh BPSK.
Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Keputusan BPSK: Evaluasi
terhadap tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap keputusan yang
dikeluarkan oleh BPSK juga menjadi bagian penting dari analisis hukum
ini. Kepatuhan ini mencerminkan efektivitas BPSK dalam menerapkan
sanksi administratif dan menjamin perlindungan hak konsumen.15

15
Ahmad Wahidi, Mustaklima Mustaklima, dan Nur Jannani, “The Authority of Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) and Tribunal Tuntutan Pengguna Malaysia (TTPM) in
Consumer Dispute Resolution,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 23, no. 1 (2023): 87,
https://doi.org/10.30641/dejure.2023.v23.87-100.
Pembaruan Regulasi: Berdasarkan temuan dan analisis yang
dilakukan, diperlukan pembaruan regulasi yang lebih responsif dan adaptif
terhadap perubahan-perubahan dalam dinamika konsumsi dan
perkembangan teknologi. Regulasi yang terbaru harus mampu mengatasi
masalah-masalah yang menghambat efektivitas penyelesaian sengketa
konsumen di BPSK.16
Kesesuaian dengan Standar Internasional: Sebagai anggota
ASEAN, penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa mekanisme
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK sesuai dengan standar
internasional yang telah ditetapkan, seperti perlindungan hak konsumen
yang menyeluruh dan efektif.
Melalui analisis mendalam terhadap aspek-aspek di atas, dapat
diidentifikasi langkah-langkah perbaikan dan pembaruan yang perlu
dilakukan dalam kerangka hukum penyelesaian sengketa konsumen di
Indonesia untuk meningkatkan perlindungan dan keadilan bagi konsumen.
5. Perbandingan dengan hukum Indonesia
Dalam menganalisis perbandingan antara BPSK Indonesia dan
TTPM Malaysia dalam konteks penyelesaian sengketa konsumen, terdapat
sejumlah perbedaan dan kesamaan yang penting untuk diperhatikan.
Berikut adalah poin-poin yang lebih rinci dalam perbandingan tersebut:

1. Kewenangan dan Batasan


BPSK Indonesia memiliki kewenangan yang luas dalam
menangani berbagai jenis sengketa konsumen, mulai dari masalah
kontrak hingga perselisihan produk dan layanan. Namun, kendala yang
sering muncul adalah dalam hal keberlanjutan keputusan dan tingkat
kepatuhan pelaku usaha terhadap keputusan BPSK. Di sisi lain, TTPM
Malaysia memiliki batasan kewenangan yang lebih jelas, terutama
dalam hal jenis sengketa yang dapat disengketakan dan batasan nilai
klaim yang dapat diajukan. Meskipun demikian, TTPM dikenal karena
efektivitasnya dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang telah
diatur dalam undang-undang dengan jelas.
16
Wahidi, Mustaklima, dan Jannani.
2. Kualitas Keputusan
Aspek penting dalam perbandingan ini adalah kualitas keputusan
yang dihasilkan oleh BPSK dan TTPM. Hal ini mencakup aspek
keterbukaan, konsistensi, keadilan, dan kepastian hukum dalam setiap
keputusan yang dikeluarkan. TTPM terkenal karena keputusan-
keputusannya yang cermat, jelas, dan memberikan solusi yang adil
bagi kedua belah pihak, yang pada akhirnya meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
3. Perubahan Regulasi
TTPM Malaysia telah mengalami beberapa perubahan regulasi
seiring berjalannya waktu untuk meningkatkan efektivitasnya.
Perubahan-perubahan ini mencakup penyesuaian batasan nilai klaim
yang dapat diajukan ke TTPM, prosedur penyelesaian sengketa yang
lebih efisien, dan upaya-upaya lainnya untuk memperkuat peran
TTPM dalam perlindungan konsumen. Di Indonesia, meskipun ada
regulasi yang mengatur BPSK, perubahan-perubahan lebih lanjut
mungkin diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas
penyelesaian sengketa konsumen. 17
4. Kesesuaian dengan Standar Internasional
Sebagai negara-negara anggota ASEAN, Indonesia dan Malaysia
memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa mekanisme
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dan TTPM sesuai dengan
standar internasional yang telah ditetapkan dalam konteks
perlindungan hak konsumen. Evaluasi terhadap kesesuaian dan
pemenuhan standar internasional dalam penyelesaian sengketa
konsumen menjadi penting untuk memastikan bahwa kedua lembaga
tersebut dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi konsumen.
5. Implementasi dan Kepatuhan
Selain kewenangan dan regulasi, implementasi keputusan dan tingkat
kepatuhan pelaku usaha terhadap keputusan BPSK dan TTPM juga
merupakan faktor penting dalam menilai efektivitas kedua lembaga
17
Effendi, Gaol, dan Darwis, “Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Sebagai Lembaga Quasi Yudisial dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia.”
tersebut. Peningkatan kesadaran akan pentingnya mematuhi keputusan
penyelesaian sengketa konsumen serta tindak lanjut yang tegas
terhadap pelanggaran dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga penyelesaian sengketa konsumen.
Dengan memperhatikan aspek-aspek di atas, Indonesia dapat
mengambil pelajaran dari praktik penyelesaian sengketa konsumen yang
efektif di Malaysia, termasuk dalam hal pembaruan regulasi, kualitas
keputusan, kesesuaian dengan standar internasional, dan upaya-upaya
untuk meningkatkan implementasi serta kepatuhan terhadap keputusan
penyelesaian sengketa konsumen. Langkah-langkah ini menjadi penting
dalam meningkatkan perlindungan dan keadilan bagi konsumen serta
memperkuat peran lembaga penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia.
6. Kesimpulan
Dari perbandingan antara BPSK Indonesia dan TTPM Malaysia
dalam penyelesaian sengketa konsumen, beberapa kesimpulan dapat
diambil. Pertama, terdapat perbedaan dalam peraturan hukum antara kedua
negara, dengan Malaysia yang telah melakukan lebih banyak amendemen
dalam lima tahun terakhir, termasuk peningkatan batas nilai klaim. Kedua,
BPSK Indonesia menghadapi masalah seperti kegagalan dalam
menyelesaikan kasus dan rendahnya kepercayaan konsumen, sementara
TTPM Malaysia memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dan
tingkat keberhasilan yang baik. Ketiga, pembaruan peraturan hukum di
kedua negara perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas
lembaga-lembaga seperti BPSK dan TTPM. Keempat, adopsi praktik yang
efektif dari TTPM dapat membantu meningkatkan kinerja BPSK
Indonesia, seperti peningkatan batas nilai klaim dan peran yang lebih jelas
dalam penyelesaian sengketa. Terakhir, pembaruan regulasi dan praktik
penyelesaian sengketa konsumen dapat memberikan perlindungan yang
lebih baik bagi konsumen di kedua negara

Anda mungkin juga menyukai