Anda di halaman 1dari 26

GRAMMAR TRANSLATION METHOD, DIRECT METHOD,

AUDIOLINGUAL AND AUDIOVISUAL METHOD, COMMUNITY


LANGUAGE LEARNING & SCIENTIFIC METHOD

Disusun oleh:
Anis Kurlillah - 1213622013
Karen Angel - 1213622015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA MANDARIN


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun dengan tujuan memberikan pemahaman
bagi mahasiswa program studi yang bergerak pada bidang pendidikan mengenai
pengembangan kurikulum. Terima kasih kepada Bapak Rendy Aditya, B.TCFL., M.Pd. dan
Ibu Rizky Wardhani S.S., M.TCSOL selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi
Pengajaran Bahasa Mandarin atas bimbingannya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan
baik.

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa dalam
memahami apa dan bagaimana pengembangan kurikulum yang efektif dan berkualitas, serta
dapat menjadi sumber inspirasi dan referensi belajar bagi mahasiswa dalam dalam memahami
serta mengembangkan suatu kurikulum yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Kritik
dan saran yang membangun sangat diapresiasi agar makalah ini dapat terus dikembangkan
menjadi lebih baik lagi.

Penyusun,
5 Maret 2024

2
DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………………………...1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..4
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………4
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………...4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………...5
2.1 Metode Penerjemahan Tata Bahasa (Grammar Translation Method)..................................5
2.2 Metode Langsung (Direct Method)....................................................................................10
2.3 Metode Audiolingual dan Audiovisual (Audiolingual and Audiovisual Method).............12
2.3.1 Metode Audiolingual (Audiolingual Method)............................................................12
2.3.2 Metode Audiovisual (Audiovisual Method)...............................................................14
2.4 Pembelajaran Bahasa Komunitas (Community Language Learning)................................16
2.5 Metode Saintifik (Scientific Method).................................................................................19

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………..24


3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………….24
3.2 Saran……………………………………………………………………………………...24

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018), metode adalah cara teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki, sedangkan pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan belajar.
Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah proses
atau cara teratur yang digunakan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran
sehingga proses pembelajaran dalam diri siswa terjadi sesuai yang dikehendaki.

Dalam kegiatan pengajaran, guru akan menggunakan satu atau berbagai jenis metode
pengajaran agar sasaran pembelajaran yang ingin diraih dapat tercapai dalam diri siswa.
Sebelum menggunakan suatu metode, guru perlu mempertimbangkan ciri khas metode yang
akan dipakai serta kesinambungannya dengan kesediaan fasilitas, karakteristik siswa dalam
kelas yang akan diajar, tingkat kemampuannya sendiri.

Maka dari itu, dalam rangka menambah pengetahuan serta memperluas wawasan
sesama mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin tentang metode-metode
pembelajaran bahasa asing, dalam makalah ini akan dibahas 5 metode pengajaran yang dapat
dipakai, yaitu 1) Grammar Translation Method, 2) Direct Method, 3) Audiolingual and
Audiovisual Method, 4) Community Language Learning, dan 5) Scientific Method.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja definisi, latar belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan
kekurangan dari Grammar Translation Method?
2. Apa saja definisi, latar belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan
kekurangan dari Direct Method?
3. Apa saja definisi, latar belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan
kekurangan dari Audiolingual and Audiovisual Method?
4. Apa saja definisi, latar belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan
kekurangan dari Community Language Learning?
5. Apa saja definisi, latar belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan
kekurangan dari Scientific Method?

1.3 Tujuan
1. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang apa saja definisi, latar
belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan kekurangan dari Grammar
Translation Method.
2. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang apa saja definisi, latar
belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan kekurangan dari Direct Method.

4
3. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang apa saja definisi, latar
belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan kekurangan dari Audiolingual and
Audiovisual Method.
4. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang apa saja definisi, latar
belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan kekurangan dari Community
Language Learning.
5. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang apa saja definisi, latar
belakang, proses pembelajaran, serta kelebihan dan kekurangan dari Scientific
Method.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode Penerjemahan Tata Bahasa (Grammar Translation Method)


Grammar Translation Method (GTM) adalah sebuah pengajaran metodologi bahasa
asing yang berasal dari metode klasik (kadang-kadang disebut metode tradisional) dalam
pengajaran Bahasa Yunani dan Latin. Dalam metode ini, para guru biasanya meminta siswa
untuk menerjemahkan seluruh teks kata demi kata dan menghafal aturan tata bahasa dan
pengecualian serta kumpulan kata. Metode ini bergantung pada aktivitas membaca dan
menerjemahkan teks.

Digunakan dalam studi bahasa Latin klasik yang dipakai dalam karya-karya klasik
seperti Virgil, Ovid, dan Cicero, GTM diterapkan sebagai model standar pembelajaran bahasa
asing dari abad ke-17 sampai abad ke-19 Masehi. Akibatnya, saat bahasa-bahasa yang relatif
lebih “modern” memasuki kurikulum sekolah-sekolah Eropa pada abad ke-18, semua bahasa
tersebut diajarkan dengan prosedur dasar yang sama dengan yang digunakan untuk
mengajarkan bahasa Latin. Namun, menjelang pertengahan abad ke-19, terjadilah Gerakan
Reformasi yang mengandung pertentangan terhadap GTM serta kemunculan berbagai ide
pendekatan alternatif terhadap pengajaran bahasa.

Larsen-Freeman (1986) dalam Lestary (2019) memberikan beberapa teknik khas yang
terkait dengan Grammar Translation Method, yaitu:
1. Penerjemahan. Para siswa diinstruksikan untuk menerjemahkan sebuah teks dalam
bahasa target ke dalam bahasa ibu mereka.
2. Pemahaman bacaan. Para siswa perlu untuk menjawab beberapa pertanyaan dan
menemukan beberapa informasi berdasarkan teks yang mereka mereka pelajari.
3. Antonim dan sinonim. Para siswa diinstruksikan untuk menemukan antonim atau
sinonim dari sekumpulan kata.
4. Mengisi bagian yang rumpang. Guru menyediakan kalimat yang tidak lengkap dan
siswa diinstruksikan untuk mengisi bagian yang rumpang dengan kata-kata atau yang
baru saja mereka pelajari.
5. Menghafal. Para siswa menghafal satu set kosakata baru atau aturan tata bahasa.
6. Menggunakan kata-kata dalam kalimat. Para siswa perlu membuat kalimat untuk
mendefinisikan atau mendeskripsikan kata atau istilah yang baru saja mereka pelajari.

Berhubungan dengan teknik-teknik khas yang diberikan di atas, Prator dan Celce
Murcia (1979) dalam Brown (2000) menjabarkan karakteristik utama Grammar Translation
Method:
1. Kelas dilaksanakan menggunakan bahasa ibu, dengan sedikit penggunaan aktif bahasa
sasaran.
2. Banyak kosakata diajarkan dalam bentuk daftar kosakata tertutup.
3. Penjelasan panjang dan mendetail dari rincian tata bahasa diberikan.

6
4. Tata bahasa menyediakan aturan untuk merangkai kata-kata, dan instruksi seringkali
berfokus pada bentuk dan infleksi kata-kata.
5. Pembacaan teks klasik sulit dimulai sejak tahap awal.
6. Sedikit perhatian ditujukan kepada isi teks, yang dianggap sebagai latihan analisis tata
bahasa.
7. Seringkali latihan yang diberikan hanyalah latihan menerjemahkan kalimat-kalimat
yang tidak berkesinambungan dari bahasa ibu ke bahasa sasaran.
8. Sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali perhatian yang ditujukan kepada pelafalan.

Lebih lanjut, Larsen-Freeman dan Anderson (2011) menghubungkan hasil-hasil


observasi pelaksanaan kelas bahasa Inggris tingkat tinggi-menengah dalam sebuah perguruan
tinggi di Kolombia dengan prinsip-prinsip GTM yang dipakai dalam kelas tersebut.

Tabel 1
Hasil Observasi Kelas yang Menggunakan Metode Grammar Translation Method serta
Prinsip GTM yang Terdapat dalam Kelas Tersebut (diambil dari Larsen-Freeman dan
Anderson, 2011: 18-19 dengan sedikit modifikasi)

Hasil Observasi Prinsip GTM

1. Seisi kelas membaca cuplikan Prinsip dasar mempelajari suatu bahasa


memoar Life on the Missisippi karya adalah mampu membaca literatur yang
Mark Twain. tertulis di dalamnya. Bahasa sastra lebih
unggul dibandingkan bahasa lisan.
Pembelajaran budaya sasaran para siswa
terbatas pada sastra dan seni rupa.

2. Siswa menerjemahkan bagian teks Suatu tujuan penting adalah agar siswa
tersebut dari bahasa Inggris ke mampu menerjemahkan setiap bahasa ke
bahasa Spanyol. dalam bahasa lainnya. Jika siswa dapat
menerjemahkan satu bahasa ke dalam
bahasa lain, mereka dianggap sebagai
pemelajar bahasa yang sukses.

3. Guru bertanya dalam bahasa ibu Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa


kepada para siswa apakah mereka sasaran bukan merupakan tujuan instruksi
memiliki pertanyaan. Seorang siswa bahasa.
menanyakan satu hal dan dijawab
dalam bahasa ibunya.

4. Siswa menuliskan jawaban terhadap Kemampuan dasar yang dikembangkan


soal pemahaman membaca. adalah kemampuan membaca dan menulis.
Sedikit perhatian ditujukan pada
kemampuan berbicara dan menyimak, dan
hampir tidak ada sama sekali bagi pelafalan.

5. Guru memutuskan apakah sebuah Guru adalah figur otoritas dalam ruang

7
jawaban betul atau tidak. Jika kelas. Sangat penting bagi siswa untuk
jawaban salah, guru memilih siswa mendapatkan jawaban yang betul.
lain untuk menyediakan jawaban
yang betul atau guru sendirilah yang
memberikan jawaban yang betul.

6. Siswa menerjemahkan kata-kata Ada kemungkinan untuk mencari padanan


baru dari bahasa Inggris ke bahasa dalam bahasa ibu bagi semua kata dalam
Spanyol. bahasa sasaran.

7. Siswa mempelajari bahwa akhiran Pembelajaran difasilitasi melalui perhatian


‘-ty’ dalam bahasa Inggris sesuai terhadap kemiripan di antara bahasa sasaran
dengan akhiran ‘-dad’ dan ‘-tad’ dan bahasa ibu.
dalam bahasa Spanyol.

8. Siswa diberi sebuah aturan tata Penting bagi siswa untuk mempelajari tata
bahasa untuk penggunaan objek bahasa atau bentuk bahasa sasaran.
langsung dengan verba dua kata.

9. Siswa mengaplikasikan sebuah Aplikasi deduktif dari sebuah aturan tata


aturan pada contoh yang diberikan. bahasa yang eksplisit merupakan sebuah
teknik pedagogik yang berguna.

10. Siswa menghafal kosakata. Pembelajaran bahasa menyediakan latihan


mental yang baik.

11. Guru meminta para siswa untuk Siswa harus sadar akan aturan tata bahasa
menerangkan aturan tata bahasa. dalam bahasa sasaran.

12. Siswa menghafal bentuk present Sebisa mungkin, konjugasi verba dan
tense, past tense, dan past participle paradigma tata bahasa lainnya harus diingat
tense sekumpulan irregular verbs. dalam memori.

Dinilai terlalu menitikberatkan sisi teoritis dan mengabaikan sisi praktis kemampuan
berbahasa asing, Grammar Translation Method telah menuai banyak kritik dan
ketidakpuasan, terutama dari pelajar bahasa asing di ribuan sekolah yang akibat metode ini
memandang kegiatan pembelajaran bahasa asing sebagai “pengalaman melelahkan menghafal
daftar tata bahasa tidak terpakai yang tak ada habisnya serta mencoba menghasilkan
terjemahan sempurna dari prosa kaku atau sastra” (Richards & Rodgers, 1986). Brown (2000)
pun menganggap bahwa GTM “tidak melakukan apapun untuk meningkatkan kemampuan
komunikatif siswa dalam bahasa [asing] tersebut.”

Sehubungan dengan pernyataan di atas, Asi (2015) dalam Lestary (2019) merangkum
sejumlah kelemahan dalam GTM:
1. Kemampuan berbicara dan pemahaman lebih penting bagi pemelajar bahasa modern
dibandingkan kemampuan membaca dan menulis. Namun, GTM fokus terhadap
kemampuan membaca dan menulis alih-alih kemampuan berbicara.

8
2. Pemelajar harus secara bertahap mengakumulasi pengetahuan dari tingkat dasar ke
tingkat lanjut sebelum mereka dapat menggunakan bahasa tersebut dengan baik.
3. Dewasa ini, guru dan institusi lebih menyukai pembelajaran melalui metode
pemaparan dan pengalaman sedangkan GTM menggunakan penghafalan aturan tata
bahasa atau kosakata.
4. Guru dan pemelajar kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa pertama, tetapi banyak
ahli telah memperdebatkan pentingnya penggunaan bahasa sasaran dalam ruang kelas.
5. Guru adalah pusat dari proses pembelajaran. Siswa berinteraksi dengan guru dengan
sedikit atau tanpa interaksi antarsiswa.
6. Akhir-akhir ini, para ahli dan praktisi memercayai bahwa penerjemahan bukanlah
teknik terbaik dalam mempelajari suatu bahasa.
7. Grammar Translation Method menitikberatkan akurasi, yang cukup berlawanan
dengan metode-metode pengajaran terkini yang mementingkan kelancaran berbahasa.

Meski begitu, pada kenyataannya GTM masih diterapkan secara luas dalam
pembelajaran bahasa asing hingga kini, terutama dalam situasi di mana “memahami teks
sastra merupakan fokus utama pembelajaran bahasa asing dan pengetahuan berbicara dalam
bahasa tersebut tidak begitu dibutuhkan” (Richards & Rodgers, 1986). Brown (2000) pun
berpendapat bahwa “mudah bagi guru untuk menyusun dan menilai secara objektif tes
peraturan tata bahasa dan penerjemahan, karena ada banyak tes bahasa asing terstandarisasi
yang tidak mencoba menguji kemampuan komunikatif, sehingga siswa memiliki sedikit
motivasi untuk mempelajari apapun selain analogi tata bahasa, penerjemahan, dan latihan
hafalan.”

Lebih lanjut, Lestary (2019) juga menjabarkan beberapa keuntungan GTM yang
membuatnya terus bertahan lama:
1. Banyak sekolah masih memiliki kelas-kelas dengan jumlah siswa yang banyak,
sehingga GTM menjadi salah satu metode paling efektif dalam mengajar kelas besar
karena berpusat pada guru.
2. Teknik penerjemahan teks ke dalam bahasa pertama (L1) membantu pemelajar
memahami teks secara penuh dan menghindari terjadinya kesalahpahaman.
3. Kata dan frasa dalam bahasa sasaran dapat dijelaskan secara cepat saat siswa
menerjemahkan teks sehingga menghemat waktu. Bahkan, guru yang tidak lancar
berbicara dalam bahasa kedua (L2) masih dapat mengajarkannya karena metode ini
tidak bergantung pada kemampuan berbicara guru.
4. Para siswa tidak akan kesulitan dalam merespon pertanyaan karena pertanyaan
kemungkinan besar diberikan dalam bahasa pertama. Ini membantu guru memahami
apakah para siswa telah atau belum mempelajari apa yang sudah diajarkan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa GTM adalah metode klasik yang
membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menerjemahkan teks dalam
bahasa sasaran serta relatif tidak begitu menuntut guru untuk lancar berbicara dalam bahasa
tersebut, tetapi bersifat satu-arah serta tidak cocok bagi siswa yang memerlukan kemampuan
berbicara bahasa asing secara praktis dalam dunia nyata.

9
Berikut contoh kegiatan pelaksanaan pembelajaran menggunakan Grammar
Translation Method yang dapat diamati melalui tautan video ini: The Grammar Translation
Method (youtube.com)

2.2 Metode Langsung (Direct Method)


Metode langsung melakukan pembelajaran bahasa asing mirip dengan cara kita belajar
bahasa ibu, yakni dengan langsung terlibat dalam komunikasi intensif menggunakan bahasa
tersebut. Dalam metode ini, para pelajar didorong untuk mendengarkan dan berbicara dalam
bahasa asing, sementara kemampuan membaca dan menulis akan dikembangkan secara
bertahap (Hermawan, 2011 dalam Bakri). Pendekatan ini menekankan pengalaman langsung
dalam menggunakan bahasa asing sebagai sarana utama untuk memperoleh pemahaman dan
keterampilan komunikatif yang baik.

Prinsip mendasar dari metode ini adalah bahwa proses pembelajaran bahasa kedua
seharusnya meniru proses pembelajaran bahasa pertama, dengan fokus pada interaksi lisan
yang aktif, penggunaan bahasa secara spontan, serta minimnya atau bahkan tanpa
penerjemahan antara bahasa pertama dan kedua. Selain itu, analisis gramatikal yang terlalu
mendalam juga dihindari, dengan guru lebih memilih untuk mengajarkan tata bahasa secara
induktif. Pendekatan ini menciptakan lingkungan belajar yang lebih alami dan menekankan
pengalaman langsung dalam menggunakan bahasa, sehingga memfasilitasi pemahaman dan
penggunaan bahasa yang lebih efektif. (Stephen D. Krashen, 1982: 135)

Metode langsung (direct method) dikembangkan oleh Maximilian Berlitz, seorang ahli
pengajaran bahasa di Jerman menjelang abad ke-19. Faktor pendorong munculnya metode
langsung yakni adanya penolakan atau ketidakpuasan terhadap metode pengajaran tata bahasa
dan terjemahan. Pada saat itu memang metode pengajaran tata bahasa dan terjemahan
merupakan metode pengajaran bahasa kedua dan asing yang populer.

Menurut H.G. Palmer, metode langsung memiliki beberapa ciri khas yang mencakup:
1. Penghilangan Terjemahan: Terjemahan dalam segala bentuknya dihilangkan dari
lingkungan kelas, termasuk penggunaan bahasa ibu dan kamus dwibahasa.
2. Tata Bahasa Induktif: Jika tata bahasa diajarkan, itu dilakukan secara induktif, artinya
melalui pengamatan dan penalaran dari contoh-contoh yang diberikan, membantu
siswa memahami aturan tata bahasa secara alami.
3. Prioritas Pengajaran Lisan: Pembelajaran lisan ditempatkan di depan segala bentuk
membaca dan menulis. Komunikasi verbal menjadi fokus utama, memungkinkan
siswa untuk mengembangkan keterampilan berbicara dan mendengarkan secara
efektif.
4. Penggunaan Teks yang Bersambung: Kalimat-kalimat yang terputus digantikan
dengan teks-teks yang saling terkait, sehingga menciptakan konteks yang lebih alami
bagi pembelajaran.

10
5. Pembelajaran Pengucapan yang Sistematis: Pengucapan diajarkan secara terstruktur
berdasarkan prinsip-prinsip fonetik dan fonologi dari bahasa yang
dipelajari,membantu siswa menguasai pengucapan yang akurat dan fasih.
6. Pengajaran Makna Melalui Konteks: Makna kata dan bentuk diajarkan melalui objek
atau konteks alamiah, memungkinkan peserta didik untuk memahami penggunaan
bahasa dalam situasi nyata.
7. Interaksi Guru-Siswa dalam Pemahaman Kosakata dan Struktur Bahasa: Kosakata
dan struktur bahasa ditanamkan terutama oleh guru, sementara siswa merespons dan
berinteraksi dengan materi pembelajaran tersebut.

Dengan prinsip-prinsip ini, metode langsung bertujuan untuk menciptakan lingkungan


belajar yang mendukung pengalaman langsung dalam menggunakan bahasa target, serta
meningkatkan kemampuan komunikatif secara alami.

Kelebihan metode langsung dalam pembelajaran bahasa asing meliputi:


1. Kontrol Penuh Guru: Metode ini memungkinkan guru memiliki kendali penuh
terhadap isi materi yang diajarkan dan urutan informasi yang disampaikan kepada
siswa.
2. Pengembangan Pengetahuan Prosedural dan Deklaratif: Metode ini membantu siswa
dalam mengembangkan pengetahuan prosedural (keterampilan) dan deklaratif
(pengetahuan faktual) dalam bahasa target.
3. Pengembangan Kemampuan Menyimak dan Berbicara: Metode ini terutama fokus
pada pengembangan kemampuan mendengarkan dan berbicara siswa dalam bahasa
target, yang merupakan aspek penting dalam komunikasi.
4. Cocok untuk Kelas Kecil: Metode ini lebih efektif diterapkan dalam kelas kecil di
mana guru dapat memberikan perhatian individual kepada setiap siswa.

Kekurangan metode langsung dalam pembelajaran bahasa asing meliputi:


1. Kurang dalam Keterampilan Menulis dan Membaca: Siswa cenderung menjadi terlalu
bergantung pada kemampuan mereka dalam mendengarkan, mengamati, dan
mencatat, tanpa cukup fokus pada pengembangan keterampilan berbicara dan
menulis.
2. Pengajaran Dapat Menjadi Pasif: Pengajaran bisa menjadi tidak efektif jika guru tidak
mampu menginspirasi siswa, bahkan mungkin menyebabkan mereka merasa bosan
dan frustrasi karena guru menggunakan bahasa asing tanpa memberikan terjemahan
yang memadai. Hal ini membuat siswa sulit memahami materi yang disampaikan.
3. Kurang Efektif di Kelas Besar: Metode ini mungkin kurang efektif jika diterapkan di
kelas yang besar, karena sulit bagi guru untuk memberikan perhatian individual
kepada setiap siswa.
4. Sulit diterapkan untuk Pemula: Menerapkan metode ini pada tahap awal pembelajaran
terasa sulit karena siswa belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal kosakata
yang diperlukan.

11
Berdasarkan penjabaran sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa metode langsung dalam
pembelajaran bahasa asing bertujuan untuk meniru proses pembelajaran bahasa pertama
dengan fokus pada interaksi lisan yang intensif. Dalam metode ini, siswa didorong untuk
mendengarkan dan berbicara dalam bahasa target, sementara kemampuan membaca dan
menulis dikembangkan secara bertahap. Meskipun memiliki kelebihan seperti kontrol penuh
guru dan pengembangan kemampuan berbicara siswa, metode ini juga memiliki kekurangan
seperti ketergantungan pada kemampuan mendengarkan dan kurangnya penguasaan
membaca dan menulis. Oleh karena itu, penerapan metode langsung perlu disesuaikan
dengan konteks pembelajaran dan kebutuhan siswa untuk memaksimalkan efektivitasnya.

Berikut contoh kegiatan pelaksanaan pembelajaran menggunakan Direct Method yang


dapat diamati melalui tautan video ini: Direct Method (youtube.com)

2.3 Metode Audiolingual dan Audiovisual (Audiolingual and Audiovisual Method)


Metode audiolingual dan metode audiovisual adalah dua pendekatan yang sering
digunakan dalam pembelajaran bahasa. Kedua metode ini memiliki karakteristik unik yang
memberikan berbagai kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan dalam konteks
pembelajaran bahasa yang berbeda.

Metode audiolingual dan audiovisual memiliki potensi yang kuat untuk saling
berkolaborasi dalam pembelajaran bahasa. Metode audiolingual, dengan fokusnya pada
latihan berulang-ulang dalam struktur bahasa dan pengembangan keterampilan lisan, dapat
diintegrasikan dengan metode audiovisual yang menekankan pada penggunaan berbagai
media untuk menyajikan materi pembelajaran secara menarik dan kontekstual. Penggunaan
audiovisual dalam pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman konteks dan memberikan
stimulus visual yang mendukung proses pembelajaran bahasa. Dengan kolaborasi ini, siswa
dapat memperoleh manfaat dari kelebihan masing-masing metode, menciptakan pengalaman
pembelajaran yang lebih holistik dan mendalam. Integrasi keduanya dapat memberikan
variasi dalam pembelajaran, meningkatkan motivasi siswa, dan meningkatkan efektivitas
pembelajaran bahasa secara keseluruhan.

Berikut contoh kegiatan pelaksanaan pembelajaran menggunakan Audiolingual and


Audiovisual Method yang dapat diamati melalui tautan video ini: Classroom Supplies -
Audio-Visual Method with an Unprompted Activity (youtube.com)

2.3.1 Metode Audiolingual (Audiolingual Method)


Metode audiolingual berasal dari kata "audio" yang berarti hal yang terdengar dan
"lingual" yang berarti berkaitan dengan bahasa. Metode ini merupakan pendekatan dalam
menyampaikan materi pembelajaran bahasa asing dengan melakukan latihan mendengarkan
terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan latihan mengucapkan kata-kata dan kalimat dalam
bahasa yang dipelajari (Hanani, 2016: 249).

12
Metode audiolingual memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, bahasa dipandang
sebagai ujaran, yang berarti bahasa dipahami melalui kegiatan berbicara dan mendengarkan.
Asumsi lainnya adalah bahwa bahasa adalah kebiasaan, yang berarti perilaku berbahasa akan
menjadi kebiasaan jika dilatih secara berulang-ulang. Oleh karena itu, metode ini
menekankan pada pengulangan (repetisi) dalam proses pembelajaran (Effendi, 2009: 47).

Proses perkembangan metode pembelajaran audiolingual telah melalui evolusi yang


signifikan dari waktu ke waktu. Metode ini merupakan hasil dari perpaduan antara
pendekatan linguistik struktural dengan prinsip psikologi behavioris. Fokus utama dari proses
pembelajaran ini adalah pada latihan mendengarkan dan berbicara sebelum siswa diajarkan
membaca dan menulis.

Menurut Yani (2016), metode pembelajaran audiolingual memiliki sejumlah kelebihan


dan kekurangan yang perlu diperhatikan. Berikut ini kelebihan dari metode audiolingual:

1. Meningkatkan kemampuan siswa dalam menyusun kalimat: Siswa menjadi mahir


dalam menciptakan pola kalimat yang telah dipraktekkan secara intensif. Latihan
berulang-ulang dilakukan menggunakan teknik substitution drill, sehingga siswa
terlatih dan mampu mengingat dengan mudah pola-pola kalimat yang telah dipelajari.
2. Pelafalan siswa yang lebih tepat: Dengan melakukan pengulangan kata atau kalimat
secara berulang-ulang, para pelajar dapat mengembangkan kemampuan dalam
melafalkan dengan baik dan benar. Hal ini membuat mereka terbiasa dengan
pengucapan yang tepat. Selain itu, perhatian khusus dari pengajar terhadap pelafalan
yang dilakukan oleh para pelajar juga sangat membantu. Dengan demikian, kata-kata
atau kalimat yang dipelajari dapat dilafalkan dengan tepat dan akurat oleh para
pelajar.
3. Aktivitas siswa yang intensif: Melalui teknik pengulangan, dramatisasi dialog, dan
pemanfaatan media audio, siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Ini
dapat meningkatkan motivasi dan partisipasi siswa di dalam kelas.

Kemudian, berikut ini kekurangan dari metode audiolingual:

1. Keterbatasan dalam aspek literasi: Metode ini cenderung kurang memberikan


penekanan pada aspek literasi seperti membaca dan menulis. Fokus pada latihan
mendengarkan dan berbicara dapat mengabaikan pengembangan keterampilan
membaca dan menulis secara signifikan.
2. Ketergantungan pada pengulangan: Penggunaan teknik pengulangan dalam metode ini
dapat membuat siswa kurang terlatih untuk berpikir kritis dan kreatif. Proses
pembelajaran yang terlalu terfokus pada pengulangan bisa menghambat kemampuan
siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir yang lebih kompleks.
3. Para siswa cenderung seperti membeo: Siswa sering kali mengulangi apa yang
diajarkan tanpa memahami maknanya terlebih dahulu. Hal ini dimulai dengan
pengulangan kata-kata yang diajarkan oleh pengajar tanpa penjelasan makna, dengan
tujuan awal adalah mengingat kata-kata tersebut. Sebagai akibatnya, pada tahap awal

13
pembelajaran, beberapa siswa mungkin hanya mengulangi tanpa memahami
maknanya, seperti berbicara tanpa pemahaman yang mendalam.

Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan tersebut, penting bagi pengajar


untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan
karakteristik siswa yang diajar. Integrasi metode audiolingual dengan pendekatan
pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran berbasis proyek atau pembelajaran aktif, dapat
membantu mengatasi beberapa kekurangan yang dimiliki oleh metode ini.

Langkah-langkah dalam metode pembelajaran audio-lingual dapat diuraikan sebagai


berikut:

1. Pemanfaatan media audio: Penggunaan media audio seperti kaset, video, film, slide,
dan media pendukung lainnya untuk memberikan contoh dan penjelasan yang lebih
jelas tentang materi pembelajaran. Ini membantu siswa memperkuat pemahaman
mereka terhadap materi yang diajarkan
2. Penggunaan teknik mimikri dan penghafalan: Penggunaan teknik mimikri dan
penghafalan untuk melatih kemampuan siswa dalam berkomunikasi secara lisan.
Dengan berulang-ulang mengikuti dan mengulangi pola bahasa yang diajarkan,
diharapkan siswa dapat lebih lancar dan percaya diri dalam berbicara.
3. Dramatisasi dialog: Melibatkan siswa dalam dramatisasi dialog atau teks yang telah
dipelajari untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi mereka. Hal ini
memungkinkan siswa untuk berlatih menggunakan bahasa dalam konteks yang lebih
nyata dan relevan.
4. Fokus pada latihan mendengarkan dan berbicara: Pemberian fokus utama pada latihan
mendengarkan dan berbicara sebelum siswa mulai membaca dan menulis. Tujuannya
adalah agar siswa dapat menguasai kemampuan berbicara dalam bahasa target
sebelum mempelajari keterampilan lainnya.
5. Integrasi media audiovisual: Pemanfaatan berbagai media audio visual seperti kaset,
video, film, slide, dan media pendukung lainnya untuk memperkuat pemahaman
siswa terhadap materi pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengalaman
belajar yang lebih mendalam dan menarik bagi siswa.

Secara keseluruhan, metode pembelajaran audiolingual menawarkan pendekatan yang


terstruktur dan terarah dalam mengajarkan bahasa kepada siswa. Dengan memanfaatkan
berbagai teknik, termasuk penggunaan media audio visual, dramatisasi dialog, dan latihan
mendengarkan serta berbicara, metode ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam berkomunikasi secara lisan dalam bahasa target. Meskipun demikian, terdapat
beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan, seperti keterbatasan dalam pengembangan
aspek literasi siswa dan ketergantungan pada pengulangan dalam proses pembelajaran.

Berikut contoh kegiatan pelaksanaan pembelajaran menggunakan Audiolingual Method


yang dapat diamati melalui tautan video ini: Audiolingual Method (youtube.com)

2.3.2 Metode Audiovisual (Audiovisual Method)

14
Media pembelajaran audiovisual merupakan sebuah unit media pembelajaran elektronik
yang menggabungkan elemen auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan) sebagai sarana
untuk menyampaikan informasi kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar. Menurut
Nasution (1999), penggunaan film dalam konteks pendidikan sangat berharga karena dapat
membantu dalam mengembangkan pemikiran dan pendapat peserta didik, meningkatkan daya
ingat terhadap materi pelajaran, merangsang imajinasi peserta didik, serta memupuk minat
dan motivasi belajar.

Meskipun metode pembelajaran audiovisual telah dikenal sejak lama, popularitasnya


meningkat seiring dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarahnya,
media pembelajaran audiovisual telah dimanfaatkan untuk menggambarkan
peristiwa-peristiwa sejarah dan membantu siswa dalam memahami konsep dan ide-ide yang
kompleks. Penggunaan media audiovisual dalam pembelajaran sejarah, sebagai contoh, telah
membantu memvisualisasikan peristiwa sejarah secara lebih nyata dan menarik perhatian
siswa.

Penggunaan media audiovisual dalam pembelajaran telah terbukti meningkatkan minat


belajar siswa dan membantu mereka memahami materi secara lebih mendalam. Dengan
adanya elemen visual dan auditif yang disajikan secara bersama-sama, media audiovisual
mampu menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan efektif bagi peserta didik.
Ini berarti bahwa media pembelajaran audiovisual memiliki peran yang signifikan dalam
memfasilitasi proses pembelajaran yang lebih dinamis dan bermakna bagi siswa.

Menurut Sanja (2014:109), penggunaan media audiovisual dalam pembelajaran


memiliki kelebihan, di antaranya:
1. Mempermudah dalam mempelajari hal yang sulit dijangkau: Media audiovisual
memungkinkan siswa mendapatkan pengalaman belajar yang tidak dapat diperoleh
secara langsung. Sebagai contoh, untuk mempelajari sistem tata surya, siswa dapat
menggunakan film sebagai alat pembelajaran karena sulit bagi mereka untuk langsung
mengamati objek di luar angkasa. Hal ini juga berlaku untuk materi lain yang tidak
dapat dipraktekkan secara langsung.
2. Menjadi sarana untuk belajar mandiri: Media audiovisual berperan sebagai sumber
belajar yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri tanpa bergantung pada
ceramah guru. Siswa dapat mengakses berbagai sumber belajar yang tersedia dalam
bentuk audiovisual.
3. Membuat belajar lebih menyenangkan: Media audiovisual menyediakan variasi dalam
metode pembelajaran, yang dapat meningkatkan motivasi dan antusiasme belajar
siswa. Dengan adanya variasi ini, siswa lebih terlibat dalam proses belajar.

Namun, terdapat pula beberapa kekurangan dalam penggunaan media audiovisual:


1. Biaya mahal: Membutuhkan biaya yang besar untuk mendukung pembelajaran. Hal
ini termasuk biaya pembelian perangkat audiovisual dan produksi konten
pembelajaran yang berkualitas.

15
2. Tidak dapat dinikmati siapa saja: Bergantung pada sumber energi listrik atau internet,
sehingga daerah yang belum terjangkau oleh ketersediaan listrik atau internet
mungkin tidak dapat mengaksesnya dengan baik.
3. Mengurangi interaksi siswa dan guru: Sifat komunikasi yang searah dalam
penggunaan media audiovisual mengurangi kesempatan untuk memberikan umpan
balik. Ini dapat menghambat interaksi antara guru dan siswa serta antara sesama siswa
dalam pembelajaran.

Dengan mempertimbangkan baik kelebihan maupun kekurangan tersebut, penting bagi


pendidik dan pembuat kebijakan untuk merancang strategi penggunaan media audiovisual
yang efektif, sambil memperhitungkan konteks, kebutuhan, dan ketersediaan sumber daya di
lingkungan pendidikan. Dengan demikian, penggunaan media audiovisual dapat menjadi alat
yang berharga dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengajaran.

Integrasi media pembelajaran audio visual dalam proses pembelajaran melibatkan


beberapa langkah, antara lain:

1. Pemilihan Media yang Tepat: Diusahakan untuk memilih media pembelajaran audio
visual yang sesuai dengan materi pelajaran dan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai.
2. Persiapan Perangkat: Pastikan semua perangkat yang diperlukan, seperti laptop,
proyektor, speaker, dan materi audio visual sudah siap digunakan sebelum sesi
pembelajaran dimulai.
3. Perhatikan Penataan Ruang: Pastikan posisi duduk siswa dan pencahayaan ruangan
mendukung agar siswa dapat melihat dan mendengar dengan jelas.
4. Penggunaan Media dalam Pembelajaran: Gunakan media audio visual secara efektif
dalam penyampaian materi pembelajaran, mendorong kreativitas siswa, dan
mempertahankan minat mereka selama proses pembelajaran.

Dengan mengikuti langkah-langkah ini, guru dapat meningkatkan kualitas


pembelajaran dengan memanfaatkan keunggulan media pembelajaran audio visual untuk
membuat pembelajaran lebih menarik, efektif, dan menyenangkan bagi siswa.

Berikut contoh kegiatan pelaksanaan pembelajaran menggunakan Audiovisual Method


yang dapat diamati melalui tautan video ini: Audiovisual class with real students
(youtube.com)

2.4 Pembelajaran Bahasa Komunitas (Community Language Learning)


Community Language Learning (CLL) dikembangkan pertama kali oleh Charles A.
Curran dan rekan-rekannya. Curran adalah seorang spesialis dalam konseling dan profesor
psikologi di Loyola University, Chicago. Penerapan teknik konseling psikologis untuk belajar
dikenal sebagai Counseling-Learning. Community Language Learning (CLL) mewakili
penggunaan teori Counseling-Learning untuk mengajar bahasa.

16
Dalam tradisi pengajaran bahasa Community Language Learning kadang-kadang
disebut sebagai contoh "pendekatan humanistik" (humanistic approach). Hubungan juga
dapat ditarik antara prosedur CLL dan pendidikan bilingual, khususnya serangkaian prosedur
bilingual yang disebut sebagai "pergantian bahasa" (language alternation) atau "peralihan
kode" (code switching). Pembelajaran Bahasa Komunitas mengacu pada metafora konseling
untuk mendefinisikan kembali peran guru (konselor) dan pemelajar (klien) di kelas bahasa.
Dengan demikian, prosedur dasar CLL dengan demikian dapat dilihat sebagai berasal dari
hubungan konselor-klien (Richards & Rodgers, 1986).

Tabel 2
Perbandingan Hubungan Klien-Konselor dalam Psychological counseling dan CLL (Richards
& Rodgers, 1986: 114)

Psychological counseling (klien-konselor) Community Language Learning


(pemelajar-pengajar)

1. Klien dan konselor setuju [masuk ke 1. Pemelajar dan pengajar setuju untuk
dalam kontrak] untuk melakukan menjalankan proses pemelajaran
konseling. bahasa.
2. Klien mengutarakan masalahnya 2. Pemelajar menyajikan (dalam L1)
dalam bahasa afeksi. kepada pengajar pesan yang ingin
3. Konselor menyimak dengan disampaikan kepada orang lain.
saksama. 3. Pengajar menyimak dan pemelajar
4. Konselor menyatakan kembali isi lain ikut mendengar.
pesan klien dalam bahasa kognisi. 4. Pengajar menyatakan kembali pesan
5. Klien mengevaluasi akurasi pemelajar dalam L2.
pernyataan kembali pesan konselor. 5. Pemelajar mengulang pesan dalam
6. Klien bereaksi terhadap interaksi bentuk L2 kepada penerima pesan
dari sesi konseling. tersebut.
6. Pemelajar memutar ulang (dari kaset
atau memori) dan merefleksikan
pesan yang ditukarkan dalam kelas
bahasa.

Seperti kebanyakan metode, CLL menggabungkan tugas dan aktivitas pembelajaran


inovatif dengan pembelajaran konvensional seperti berikut:
1. Terjemahan. Para pemelajar membentuk lingkaran kecil. Seorang pemelajar
membisikkan suatu pesan atau makna yang ingin diungkapkannya, guru
menerjemahkannya ke dalam (dan mungkin menafsirkannya ke dalam) bahasa
sasaran, dan pemelajar mengulangi terjemahan guru.
2. Kerja kelompok. Para pemelajar dapat terlibat dalam berbagai tugas kelompok, seperti
diskusi kelompok kecil tentang suatu topik, menyiapkan percakapan, menyiapkan
ringkasan topik untuk dipresentasikan kepada kelompok lain, serta menyiapkan cerita
yang akan disajikan kepada guru dan seluruh kelas.
3. Rekaman. Pemelajar merekam percakapan dalam bahasa sasaran.

17
4. Transkripsi. Pemelajar menuliskan ucapan dan percakapan yang telah mereka rekam
untuk latihan dan analisis bentuk linguistik.
5. Analisis. Pemelajar menganalisis dan mempelajari transkripsi kalimat bahasa sasaran
untuk fokus pada penggunaan leksikal tertentu atau pada penerapannya aturan tata
bahasa tertentu.
6. Refleksi dan observasi. Pemelajar merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka
kelas, baik sebagai satu kelas maupun dalam kelompok. Hal ini biasanya terdiri dari
ekspresi perasaan – perasaan terhadap satu sama lain, reaksi terhadap keheningan,
kekhawatiran terhadap sesuatu yang ingin dikatakan, dan sebagainya.
7. Mendengarkan. Pemelajar mendengarkan monolog guru yang melibatkan unsur-unsur
yang mungkin mereka pernah peroleh atau dengar dalam interaksi kelas.
8. Percakapan bebas. Para pemelajar terlibat dalam percakapan bebas dengan guru atau
dengan sesama pemelajar lainnya. Ini mungkin mencakup pembahasan mengenai apa
yang mereka pelajari serta perasaan yang mereka miliki mengenai cara mereka
mempelajarinya.

Dieter Stroinigg dalam Stevick (1980) menyajikan protokol yang dibahas di hari
pertama kelas CLL yang diuraikan di bawah ini:
1. Melakukan salam informal dan perkenalan diri.
2. Pengajar membuat pernyataan tentang tujuan dan pedoman kelas.
3. Terjadi sesi percakapan bahasa asing.
a. Sebuah lingkaran dibentuk sehingga setiap orang dapat melakukan kontak
visual satu sama lain dan semuanya mudah dijangkau oleh mikrofon tape
recorder.
b. Seorang siswa memulai percakapan dengan siswa lainnya dengan memberikan
pesan di L1 (bahasa pertama).
c. Instruktur, yang berdiri di belakang siswa, membisikkan pesan yang mirip
dengan pesan dalam L2 (bahasa kedua).
d. Siswa tersebut kemudian mengulangi pesan dalam L2 kepada penerimanya
dan juga ke mikrofon tape recorder.
e. Setiap siswa mempunyai kesempatan untuk menyusun dan merekam beberapa
pesan.
f. Tape recorder diputar ulang secara berkala.
g. Setiap siswa mengulangi arti dalam L1 dari apa yang dia katakan di L2 dan
membantu menyegarkan ingatan siswa lain.
4. Siswa kemudian berpartisipasi dalam periode refleksi, di mana mereka diminta untuk
mengungkapkan perasaan mereka tentang pengalaman sebelumnya dengan jujur.
5. Dari materi yang baru dicatat guru memilih kalimat-kalimat untuk ditulis di papan
tulis yang menonjolkan unsur tata bahasa, ejaan, dan kekhasan penggunaan huruf
kapital dalam L2.
6. Siswa didorong untuk bertanya tentang hal-hal di atas.
7. Siswa didorong untuk menyalin kalimat dari papan tulis yang diberi catatan arti dan
kegunaannya. Ini menjadi "buku teks" mereka untuk pembelajaran di rumah.

18
Brown (2000) menunjukkan bahwa CLL memiliki banyak kelebihan dan kekurangan.
Melalui CLL, segala ancaman yang dapat menimbulkan perasaan diasingkan dan
ketidakcakapan dalam kelas, seperti ancaman dari guru mahatahu, ancaman membuat
kesalahan dalam bahasa asing di depan teman sekelas, serta ancaman berkompetisi dengan
siswa lain agaknya dihilangkan. Konselor memperbolehkan pemelajar untuk menentukan
jenis percakapan serta menganalisis bahasa asing secara induktif. Dalam situasi di mana
penjelasan atau penerjemahan dirasa tidak memungkinkan, seringkali klien-pemelajarlah
yang turun tangan dan menjadi konselor untuk membantu motivasi tersebut dan
memanfaatkan motivasi intrinsik.

Sebaliknya, ada pula beberapa masalah praktis dan teoritis dari CLL yang
dipertanyakan Brown, di antara lain:
1. Peran guru yang dapat menjadi terlalu kurang mengarahkan. Siswa seringkali perlu
arahan, terutama dalam tahap pertama, di mana seolah-olah ada pergumulan
terus-menerus dalam mempelajari bahasa asing. Hal ini dapat diatasi dengan arahan
supportif dan juga asertif dari guru.
2. Ketergantungan CLL dengan strategi pembelajaran induktif. Brown menyatakan
bahwa pembelajaran deduktif telah banyak diakui sebagai strategi pembelajaran yang
layak dan efektif serta bahwa orang dewasa khususnya dapat mengambil manfaat dari
strategi pembelajaran deduktif maupun induktif. Brown berpendapat bahwa kesulitan
pemelajar bahasa asing pada tahap pertama dapat diatasi dengan pengajaran yang
lebih terarah dan deduktif, kemudian barulah memakai strategi pembelajaran induktif
di tahap kedua atau ketiga ketika pemelajar sudah lebih mandiri.
3. Kesuksesan CLL sangat bergantung pada keahlian penerjemahan konselor.
Penerjemahan adalah suatu proses intrik dan kompleks yang “lebih mudah diucapkan
daripada dilakukan”; jika aspek halus dalam suatu bahasa salah diterjemahkan, maka
akan timbul pemahaman yang kurang dari efektif mengenai bahasa sasaran.

Berikut contoh kegiatan pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode Community


Language Learning yang dapat diamati melalui tautan video ini: Language Teaching
Methods: Community Language Learning (youtube.com)

2.5 Metode Saintifik (Scientific Method)


Kata saintifik berasal dari bahasa Inggris scientific yang berarti ilmiah, yaitu
bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan atau berdasarkan ilmu pengetahuan, sedangkan
approach yang berarti pendekatan adalah konsep dasar yang mewadahi, menginspirasi,
menguatkan, dan melatari pemikiran tentang sesuatu. Dengan demikian, maka pendekatan
ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran yang dimaksud disini adalah bagaimana
metode pembelajaran diterapkan berdasarkan teori ilmiah tertentu (Yolanda dan Suryana,
2018).

Sejalan dengan rencana pergantian kurikulum 2013, istilah pendekatan ilmiah


atau scientific approach pada pelaksanaan pembelajaran menjadi bahan pembahasan yang
menarik perhatian para pendidik akhir-akhir ini. Yang menjadi latar belakang pentingnya

19
materi ini karena produk pendidikan dasar menengah belum menghasilkan lulusan yang
mampu berpikir kritis setara dengan kemampuan anak-anak bangsa lain (Nurdin dan
Adriantoni, 2019).

Kemendikbud (2013) menyebut bahwa proses pembelajaran disebut ilmiah jika


memenuhi kriteria di bawah ini:
1. Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan,
legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik
terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang
menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
substansi atau materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat
perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau materi
pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi
atau materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem
penyajiannya.

Nurdin dan Adriantoni (2019) juga menulis bahwa proses pembelajaran menyentuh tiga
ranah, yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil belajar melahirkan peserta didik
yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang terintegrasi.
a. Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik
"tahu mengapa."
b. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik "tahu bagaimana".
c. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik "tahu apa."
d. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk
menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan
pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi
aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
e. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran,
yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.
f. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud
meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua
mata pelajaran.

20
Salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam Kurikulum 2013 adalah
pembelajaran tematik terpadu. Pembelajaran tematik terpadu dilaksanakan dalam tahapan
kegiatan pembukaan, inti, dan penutup. Salah satu tahapan pembelajaran yaitu kegiatan inti
dilaksanakan dengan pendekatan saintifik yang meliputi kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan.
1. Mengamati
Mengamati dilakukan untuk mengetahui objek di antaranya dengan menggunakan
indera seperti melihat, mendengar, menghirup, merasa, dan meraba.
2. Menanya
Anak didorong untuk bertanya, baik tentang objek yang telah diamati maupun hal-hal
lain yang ingin diketahui.
3. Mengumpulkan Informasi
Mengumpulkan informasi dilakukan melalui beragam cara, misalnya: dengan
melakukan, mencoba, mendiskusikan dan menyimpulkan hasil dari berbagai sumber.
4. Menalar
Menalar merupakan kemampuan menghubungkan informasi yang sudah dimiliki
dengan informasi yang baru diperoleh sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang suatu hal.
5. Mengomunikasikan
Mengomunikasikan merupakan kegiatan untuk menyampaikan hal-hal yang telah
dipelajari dalam berbagai bentuk, misalnya melalui cerita, gerakan, dan dengan
menunjukkan hasil karya berupa gambar, berbagai bentuk dari adonan, boneka dari
bubur kertas, kriya dari bahan daur ulang, dan hasil anyaman (Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 146 tahun 2014).

Berikut langkah-langkah pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah/pendekatan saintifik


di dalam tabel yang diambil dari Yolanda dan Suryana (2018):

Tabel 3
Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Pendekatan Ilmiah/Pendekatan Saintifik (Yolanda
dan Suryana, 2018: 17-18)

Guru Kegiatan Anak

● Mengondisikan kelas serta Observasi ● Mengamati objek dengan


dengan cara menyiapkan menggunakan indera seperti
sejumlah alat permainan penglihatan dan
edukatif (APE). pendengaran.
● Guru membuka secara luas
dan bervariasi kesempatan
peserta didik untuk
melakukan kegiatan
observasi.

21
● Menstimulus anak untuk Menanya ● Bertanya tentang segala
bertanya. sesuatu yang diamati.
● Membimbing anak untuk ● Belajar merangkai kalimat
menyempurnakan bertanya.
pertanyaannya. ● Berupaya untuk mencari
● Mengembangkan rasa ingin informasi tentang segala
tahu anak. sesuatu yang dia kerjakan.

● Bertanya tentang apa yang Asosiasi ● Mengingat kejadian,


pernah dialami anak pengalaman atau kegiatan
sebelumnya terkait dengan serupa yang pernah
aktivitas yang dilakukan dilaluinya.
saat ini. ● Menyempurnakan
● Bertanya yang bersifat pengalaman.
membimbing agar anak bisa
menyempurnakan
pengalamannya.

● Membimbing anak Percobaan ● Melakukan berbagai


melakukan aktivitas yang pencobaan.
membuktikan rasa ingin ● Melihat pembuktian
tahunya. sebab-akibat.
● Mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat sebab akibat.

● Meminta anak untuk Melaporkan ● Menceritakan kegiatan.


bercerita tentang kegiatan ● Menunjukkan hasil
yang dilakukannya. kegiatan.
● Meminta anak untuk
menunjukkan hasil
kegiatannya.

Kelebihan pendekatan saintifik menggunakan pembelajaran discovery learning adalah


sebagai berikut:
1. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan
dan proses-proses kognitif.
2. Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan ampuh karena
menguatkan pengertian, ingatan, dan transfer.
3. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan
berhasil.
4. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan
akalnya dan motivasi sendiri.
5. Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan
bekerjasama dengan yang lainnya.
6. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan.

22
7. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
8. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
9. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
10. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
11. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
12. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
13. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
14. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu (Kemendikbud, 2014 dalam
Ambarsari, 2016).

Adapun kelemahan dari pendekatan saintifik adalah sebagai berikut:


1. Menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang
kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan
hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya
akan menimbulkan frustasi.
2. Tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu
yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah
lainnya.
3. Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar berhadapan dengan
siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
4. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan
aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat
perhatian.
5. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan
(Kemendikbud, 2014 dalam Ambarsari, 2016).

Berikut contoh pelaksanaan kegiatan pembelajaran menggunakan metode saintifik yang


dapat diamati melalui tautan video ini: Model Pembelajaran Saintifik (youtube.com)

23
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Memahami dan menggali berbagai metode pembelajaran bahasa seperti Grammar
Translation Method, Direct Method, Audiolingual Method, Audiovisual Method, Community
Language Learning, dan Scientific Method adalah langkah kunci untuk menciptakan
pengalaman pembelajaran yang bervariasi dan berdaya guna bagi siswa. Setiap metode
memiliki pendekatan yang unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan
memilih dan mengintegrasikan berbagai metode ini sesuai dengan kebutuhan dan preferensi
siswa, pendidik dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, berdaya guna,
dan bermakna, memperkaya proses pembelajaran bahasa secara menyeluruh.

3.2 Saran
Dalam penggunaan berbagai metode pembelajaran bahasa, penting bagi pendidik
untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang setiap metode yang tersedia. Pastikan
untuk memilih teknologi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan ketersediaan sumber
daya di lingkungan pembelajaran. Cobalah untuk menggabungkan berbagai metode
pembelajaran bahasa secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa.
Gunakan variasi dalam pendekatan pembelajaran untuk menjaga minat dan motivasi siswa.
Terakhir, lakukan evaluasi terhadap efektivitas metode pembelajaran yang digunakan dan
sesuaikan strategi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan respons siswa. Dengan
memperhatikan saran-saran ini, pendidik dapat menciptakan pengalaman pembelajaran
bahasa yang lebih bervariasi, menarik, dan efektif bagi siswa.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ambarsari, Desi. (2016). Peningkatan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Prestasi


Belajar IPA melalui Penerapan Pendekatan Saintifik pada Siswa Kelas IV A Sekolah Dasar
Negeri Rejowinangun 1 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Azizi, Miswarul Abdi. (2023). Penggunaan Metode Langsung dalam Pembelajaran


Muhadatsah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 2(1), 89-97.

Brown, Henry Douglas. (2000). Teaching by Principles: An Interactive Approach to


Language Pedagogy (2nd ed.). New York: Pearson Education.

Humaidah, Nur. (2016). Relevansi Penerapan Metode Audiolingual dalam Pembelajaran


Bahasa Arab di Lembaga Pendidikan. Arabi: Journal of Arabic Studies, 8(2), 306-326.

Kasmiati. (2023). Implementasi Metode Langsung dalam Pembelajaran Bahasa Arab untuk
Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(3), 3067-3076.

Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Metode. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/metode

Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Pembelajaran. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pembelajaran

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Konsep Pendekatan Saintifik. Materi


Diklat Guru dalam Rangka Implementasi Kurikulum 2013.

Larsen-Freeman, Diane, dan Anderson, Marti. (2011). Techniques & Principles in Language
Teaching (3rd ed). New York: Oxford University Press.

Lestary, Agustina. (2019). The Use of Grammar Translation Method (GTM) in Teaching
Bahasa Indonesia to Foreign Learner. TEFLA Journal (Teaching English as Foreign
Language and Applied Linguistic Journal), 1(2), 1-4.

Nurdin, Syarifuddin dan Adriantoni. (2019). Kurikulum dan Pembelajaran (edisi kedua).
Depok: Rajawali Pers.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 146 tahun 2014. Tentang Kurikulum 2013
Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.

Qudrotulloh, Alvin., Sudjani, D.H., Indra, Syukri. (2020). Direct Method: Pembelajaran
Bahasa Arab Dengan Menggunakan Metode Langsung. Tatsqifiy: Jurnal Pendidikan Bahasa
Arab, 2(2), 119-131.

Richards, Jack C., dan Rodgers, Theodore S.. (1986). Approaches and methods in language
teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

25
Stevick, Earl Wilson. (1980). Teaching Languages: A Way and Ways. Rowley, Mass.:
Newbury House.

Yani, Damai. (2016). Audio-Lingual Method in Teaching Kaiwa. Lingua Didaktika: Jurnal
Bahasa dan Pengajaran Bahasa, 10(1), 9-17.

Yolanda, Erick dan Suryana, Dadan. (2018). Pendekatan Pembelajaran Saintifik dalam
Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Padang: Universitas Negeri Padang.

26

Anda mungkin juga menyukai