Anda di halaman 1dari 2

Drama sebagai Seni Pertunjukan

Drama dalam dimensi seni pertunjukan merupakan hasil interpretasi dari sebuah teks drama.
Sebagai hasil interpretasi, drama yang dipertunjukkan sering mengalami pergeseran dari naskah asli. Hal
ini terjadi karena drama yang masih berbentuk teks tidak secara keseluruhan dapat diwujudkan di
panggung. Oleh karena itu, seorang sutradara harus menerjemahkan yang tertulis pada naskah dengan
yang seharusnya diwujudkan di panggung.

Drama yang dipertunjukkan merupakan sebuah sintesis dan mengimbau pada beberapa indera
sekaligus. Pementasan baru dapat terjadi jika didukung oleh banyak unsur secara bersama-sama.
Sebuah pementasan drama mungkin ditonton lebih kurang satu sampai dua jam, hakikatnya tidaklah
sesederhana persoalan satu atau dua jam yang dapat disaksikan di atas panggung petunjukkan.
Pementasan merupakan klimaks dari serentetan atau serangkaian kegiatan yang dipersiapkan
sebelumnya oleh berbagai unsur yang saling berkaitan yang secara bersama-sama mengarah pada
kegiatan pementasan.

Ada tiga unsur penting dalam membicarakan drama sebagai seni pertunjukan. Damono
menyebutnya sebagai satu kesatuan. Hal ini menyiratkan kehadiran ketiga sekaligus. Unsur dimaksud
adalah naskah, pementasan, dan penonton.

Teks drama sebelum diinterpretasikan untuk kepentingan pementasan hanyalah satu artefak.
Bagi kepentingan pementasan, sutradara bertanggung jawab menafsirkan dan menghidupkan teks
dengan kemampuan visualisasi imajinasinya. Hal-hal semacam dapat disebutkan sebagai penafsiran
pertama bagi teks-teks drama. Penafsiran pertama terhadap teks drama menghasilkan suatu kesan
tertentu. Di dalam pementasan, karena unsur yang terlihat relative beragam, maka pengonkretan dan
pemvisualisasian teks drama akan memberikan penafsiran lain bagi pembaca terhadap teks drama yang
telah dibacanya itu. Menyaksikan teks drama memberikan penafsiran lain bagi pembaca terhadap teks
drama yang telah di baca.

Naskah drama yang dipentaskan dalam pandangan Hassanudi (1996:140) dipahami sebagai
penafsiran kedua. Naskah yang sampai pada tahap pementasan telah melalui proses penggarapan yang
dipersiapkan sebelumnya. Pementasan merupakan klimaks dari rentetan proses kreatif. Dalam kaitan
ini, naskah yang sampai pada pementasan telah melalui sutradara sebagai penafsir, para pemain, dan
teknisi.

Sebuah pementasan, bagaimanapun bentuknya merupakan hasil penafsiran dari suatu teks
(naskah) drama. Meskipun di dalam teks drama terdapat suatu indeksi tentang bagaimana laku tokoh
harus dilakukan, tetapi tetaplah hal tersebut hanya merupakan suatu gagasan. Bagaimana
mengonkretkan gagasan itu menjadi hal yang nyata di atas pentas, tentu memerlukan suatu penafsiran.
Penafsiran itu biasanya dilakukan berdasarkan pada bagaimana kondisi pentasnya, siapa saja yang bakal
mendukung pementasan, lengkap tidaknya sarana pendukung serta bagaimana khalayak penontonnya.
Oleh sebab itu, penafsiran teks drama untuk kepentingan pementasan tidaklah sama dengan penafsiran
teks drama untuk kepentingan pembaca atau pemahaman teks.

Perlu disadari oleh penafsir, bahwa konsep pementasan yang disusunnya berdasarkan
pemahamannya atas suatu teks drama haruslah meliputi seluruh aspek yang akan berkaitan dengan
persolan pementasan. Penafsiran yang baik harus memikirkan sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya,
bahkan sampai pada kapan lampu tertentu harus dimatikan atau dihidupkan serta warna apa yang lebih
ekspresif dari cahaya lampu itu agar laku drama di atas pentas lebih berdaya saran. Dengan memikirkan
hal-hal sampai pada yang sekecil-kecilnya, maka kemungkinan terwujudnya pementasan semakin
mudah. Sebagai pemberi penafsiran yang kedua bagi teks drama, pementasan haruslah tetap menagkap
esensi teks drama bagaimanapun usaha mewujudkan pementasan, ide serta persoalan yang terdapat di
dalam teks drama harus diungkapkan. Perlu diingat bahwa laku drama di atas pentas jangan sampai
berulang-ulang ditampilkan.

Selain membosankan, lalu drama tersebut akan menjadi klise sehingga maksud yang ingin
disampaikan pengarang teks dan penafsiran tidak komunikatif bagi para penonton. Pementasan dalam
pandangan Rendra (1993:152) merupakan klimaks dari seluruh rangkaian proses kreatif. Sebuah
pementasan melibatkan banyak aspek pendukung dan membutuhkan kehadiran sebuah organisasi yang
dapat mengelola seluruh rangkaian kegiatan menuju pementasan drama. Organisasi dimakasud adalah
organisasi seni pertunjukan yang di dalamnya dibedakan menjadi dua, yaitu (1) unsur tata usaha, dan (2)
unsur tata kesenian.

Penonton sebagai unsur ketiga sangat penting dalam sebuah pertunjukan. Para penonton (dan
tentu saja pembaca), di dalam menyaksikan pementasan haruslah disadari bahwa kesemua itu
merupakan usaha dari penafsir untuk mewujudkan persoalan teks drama secara visualisasi. Dengann
demikian, mungkin saja pementasan disaksikan berada jauh dengan bayangann visualisasi pembaca
sebelumnya. Perbedaan itu justru akan memberikan nuansa pemikiran baru bagi usaha memahami
drama secara totalitas dan menyeluruh. Oleh sebab itu, penolakan terhadap pementasan tidak perlu
dilakukan tergesa-gesa dan apriori jika tidak cocok dengan bayangan visualisasi yang telah ada
sebelumnya di dalam pikiran. Bukanlah tidak tertutup kemungkinan bahwa pementasan yang berbeda
dengan imej pribadi mungkin dibangun oleh pandangan yang berbeda atau orientasi yang tak sama
dengan imej pribadi yang dimiliki. Harus disadari juga, bahwa penafsiran yang berbeda pada banyak
orang dari suatu teks drama menunjukkan bahwa teks drama tersebut memberikan kemungkinan
ambiguitas yang menarik.

Persoalan penonton erat kaitannya dengan fungsi sastra. Sebuah pementasan drama harus
dapat menyajikan hal-hal yang bermanfaat dan menghibur. Bermanfaat berarti sebuah pementasan
dapat memberi manfaat kepada masyarakat (penonton). Manfaat ini berkaitan dengan pandangan
bahwa karya sastra, termasuk drama dipandang sebagai cermin yang dapat memberikan gambaran
kehidupan masyarakat yang sebenarnya (apapun yang Nampak di permukaan cermin, itu pul yang
tergambar; terpantul). Demikian juga dengan drama, apapun yang terjadi dalam kehidupan, begitu pula
yang terlihat di panggung. Walaupun kenyataann kadang-kadang sengaja dihaluskan oleh penyair
melalui proses imajinasi untuk mengaburkan hal-hal buruk. Menghibur berarti sebuah pementasan
dapat membawa penonton/penikmat berada pada dunia baru yang serba indah dan ideal. Dunia yang
disuguhkan penyair dan sutradara tanpa celah dan cacat sedikitpun.

Anda mungkin juga menyukai