Anda di halaman 1dari 7

Teori Penyutradaraan

PENYUTRADARAAN *)

Sutradara dan penyutradaraan

Pada mulanya pementasan teater tidak mengenal sutradara. Pementasan


teater muncul dari sekumpulan pemain yang memiliki gagasan untuk
mementaskan sebuah cerita. Kemudian mereka berlatih dan
memainkkannya di hadapan penonton. Sejalan dengan kebutuhan akan
pementasan teater yang semakin meningkat, maka para aktor memerlukan
peremajaan pemain. Para aktor yang telah memiliki banyak pengalaman
akhirnya mengajarkan pengetahuannya kepada aktor muda. Proses
mengajar tersebut dijadikan tonggak awal lahirnya “sutradara”.

Dalam terminologi Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang


berarti guru bahkan pada abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang
digunakan untuk seorang sutradara dapat diartikan sebagai master. Istilah
sutradara seperti yang dipahami dewasa ini baru muncul pada jaman Geroge
II. Seorang bangsawan (duke) dari Saxe-Meiningen yang memimpin sebuah
grup teater dan menyelenggarakan pementasan keliling Eropa pada akhir
tahun 1870-1880. Dengan banyaknya jumlah pentas yang harus dilakukan,
maka kehadiran seorang sutradara yang mampu mengatur dan
mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik pementasan dibutuhkan.
Meskipun demikian, produksi pementasan teater Saxe-Meiningen masih
mengutamakan kerja bersama antar pemain yang dengan giat berlatih
untuk meningkatkan kemampuan berakting mereka (Robert Cohen, 1994).

Model penyutradaraan seperti yang dilakukan oleh George II diteruskan


pada masa lahir dan berkembangnya gaya realisme. Andre Antoine di
Perancis dengan Teater Libre serta Stanislavsky di Rusia adalah dua
sutradara berbakat yang mulai menekankan idealisme dalam setiap
produksinya. Max Reinhart mengembangkan penyutradaraan dengan
mengorganisasi proses latihan para aktor dalam waktu yang panjang.
Gordon Craig merupakan seorang sutradara yang menanamkan gagasannya
untuk para aktor sehingga ia menjadikan sutradara sebagai pemegang
kendali penuh sebuah pertunjukan teater (Herman J. Waluyo, 2001).
Tugas dan Fungsi Sutradara

Oleh karena kedudukannya yang penting, maka seorang sutradara harus


mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan bidang kerjanya .
Oscar G. Brockett (1964) merumuskan fungsi sutradara sebagai berikut: 1).
Melakukan penafsiran terhadap naskah; 2). Memilih para pemeran (casting);
3). Melakukan kerja sama dengan penulis naskah, penata pentas dan lain-
lain dalam merencanakan pentas; 4). Melatih (memimpin latihan) para
pemeran; 5). Menjadi koordinator dalam menyelesaikan tugas-tugas akhir.
Atau, senada dengan itu, apa yang diungkapkan oleh Derek Bowskill (1973)
sebagai tahapan-tahapan yang harus dilalui sutradara: 1). Pemilihan
naskah; 2). Mempelajari naskah, yaitu mencari tema dari naskah drama, to
abstract the theme of the play; 3). Melatih aktor, 4). Mementaskannya. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa secara umum kerja Sutradara
(penyutradaan) meliputi:

1. Melakukan interpretasi Lakon (naskah). Interpretasi inilah yang akan


mendasari terbentuknya desain akting, desain artistik, desain musikal dan
pilihan gaya.

2.  Melatih para pemeran. Latihan ini terpusat pada empat kegiatan utama,
yakni Casting (pemilihan pemain), reading( membaca
naskah), blocking (penyusunan gerak dan pengelompokan
pemain),dan finishing (detailisasi dan keutuhan visual).

3.  Menentukan desain dan perancangan artistik (Set-dekor, kostum, musik,


rias, properti cahaya) dengan para penata artistik.

4.      Mewujudkan perancangan lakon dalam visualisasi (pementasan).

Penyikapan Naskah

            Terkait dengan penyikapan terhadap naskah (lakon), maka secara


umum sutradara memiliki empat penyikapan (pendekatan), yang meliputi:

1.  Pendekatan presentasional, pendekatan ini menggarisbawahi ‘kesetiaan’


pada naskah. Berbagai penambahan dan pengurangan terhadap naskah
tetap berlandaskan pada struktur dramatik yang otentik dari naskah/lakon.
Uji kemampuan pada bidang penyutradaan lebih ditekankan pada keahlian
dan ketrampilan artistik. Sutradara semacam ini lazim disebut sebagai
pekerja teater.

2.  Pendekatan representasional. Pendekatan ini menempatkan sutradara


sebagai pekerja sekaligus pengolah lakon. Adaftasi dan penambahan adegan
diniscayakan untuk keperluan dramatik.Struktur lakon dimodifikasi, tambal
sulam menjadi pekerjaan penting, sehingga latarpun bisa berubah, tokohpun
bisa lebih komplek dan stilisasipun seperti menjadi keharusan.

3.  Pendekatan spirit naskah/lakon. Pendekatan ini hanya berpedoman pada


subtansi dan konflik utama dalam lakon. Sutradara membuat perombakan
secara signifikan bahkan hanya berpedoman pada konflik yang melandasi
terbentuknya lakon itu dan menjadikannya sebagai lakon yang telah
menyerupai lakon baru.

4.   Pendekatan Eksploratif. Pendekatan ini dilakukan dengan cara


mengawali proses melaui ide/gagasan. Secara serempak kerja penyusunan
teks lakon dilakukan bersamaan dengan pencarian elemen-elemen artistik di
panggung. Sutradara-sutradara inilah yang lazim disebut sebagai “seniman
teater” (Yudiaryani,2002).

Sutradara dan Idiologi

Ideologi (Ma’da) adalah cara pandang terhadap kehidupan yang diyakini dan


menjadi daya dorong, yang akan mengarahkan setiap kreativitas dalam
kehidupan. Sulit memisahkan teater (sutradara) dengan ideologi. Sebagai
gambaran dapat dicontohkan perkembangan teater itu sendiri yang ternyata
terus bergerak secara dinamis. Bukankah teater selalu berada dalam sejarah
yang bersifat dialektis. Kontruksi  baru dalam teater selalu muncul seiring
dengan ‘koreksi’ bahkan mungkin suatu ‘perlawanan’ terhadap genre bahkan
‘peradapan’sebelumnya. Pergulatan itu menggambarkan betapa perjalanan
estetik dalam teater bergerak seiring dengan jiwa jaman, seiring dengan
percikan sosial dan bahkan seiring dengan pemberontakan-pemberontakan
terhadap ‘kemapanan- paradikma’ yang terkadang berlangsung
secara rigid dan sama sekali tidak mencerdaskan.

Begitulah, mulanya adalah teater romantik (berjouis) yang dinilai selalu


menjual omong kosong, penuh taburan bahasa yang terkesan diperindah
dan dilebih-lebihkan, lalu keberadaan tokohnya yang dihadirkan secara
tegas dalam posisi ‘hitam putih’, semua berpacu pada satu jalinan cerita:
dalam hidup harus ada pahlawan besar, harus ada gadis menawan hati,
harus ada ketulusan cinta yang tak berbatas, harus ada pedang, harus ada
racun, harus ada kesetiaan sejati. Pendeknya teater adalah tempat
mengekspresikan impian yang jauh dari obyektivitas. Akhirnya, realismepun
hadir untuk mengoreksi semua itu. Realisme adalah obyektivitas. Realisme
adalah mendekatkan panggung dengan kenyataan sehari-hari. Dan lebih
dari itu realisme adalah ungkapan kenyataan bahwa manusia adalah
‘produk’ sosial, bahwa sebagai ‘produk’ sosial manusia sesungguhnya tidak
bisa dilihat secara hitam-putih. Kontek inilah yang menggiring teater harus
disejajarkan dengan fakta dan data, lalu beranjak membenahi lakon-lakon
agar selaras dengan logika (Scribe, 1950). Maka lahirlah bentuk drama
sebagai well made play. Sebuah lakon, apakah itu bersifat ‘alami’ (naturalis)
atau mengutamakan kesan (impresionis), yang mengajarkan penikmat
untuk melihat realitas secara jernih, bahwa di tengah masyarakat telah
menjamur kemunafikan, krisis moral, dan bobroknya feodalisme, lalu
menyajikannya dalam dinamika plot, penokohan yang terukur, ketegangan
yang dinamis, disamping penyelesaian yang harus logis.

Sampai kemudian realismepun digugat. Realisme bahkan hanya dicap


sebagai potret yang boleh jadi mampu membelalakan mata tapi tak sanggup
menjangkau episentrum persoalan yang lebih dalam. Salah satunya adalah
kesenjangan sosial akibat penghisapan kaum pemodal. Teater ternyata
hanya menjadi ruang sentimentil yang sekedar sanggup menjangkau
wilayah privat yang dingin, tak sanggup melahirkan argumentasi-
argumentasi buat ‘berontak’ pada penindasan kelas apalagi ‘menggerakan
masyarakat’. Ia hanya menempatkan penonton sebagai obyek impatik yang
intens tapi tak sanggup medatangkan ‘penyadaran’. Demikian seloroh kaum
realisme sosialis yang lahir sesudahnya. Begitu seterusnya. Idealogi
bergerak searah dengan munculnya aliran-aliran baru dalam teater, yang
sudah pasti mempengaruhi gagasan dan kerja penyutradaraan.

Dasar penyutradaraan

DASAR PENYUTRADARAAN
1.       Awal munculnya sutradara: Saxe Mainangen

2.       Ruang lingkup kerja sutradara: dari struktur naskah menjadi tekstur


panggung.

2.1   Kemampuan konseptual

2.1.1          Intelektualitas

2.1.2          Imajinasi

2.1.3          Audio

2.1.4          visual

2.2   Kemampuan teknis (Robert Cohen)

2.1   Memilih dan menganalisis naskah

2.2   Memilih dan melatih pemain

2.3   Kerjasama dengan seluruh team artistik

2.4   Menyatukan berbagai elemen pertunjukan

2.3 Kemampuan Psikologi

3.       Produksi teater:  3 langkah produksi teater: klasifikasi, analisis, dan


pemilihan materi dan teknik pemanggungan (George K. Kernoddle)

        3.1 Klasifikasi

                3.1.1  Jenis naskah

                3.1.2  Hubungan teater dan penonton

                3.1.3  Konvensi

                3.1.4  Gaya

        3.2 Analisis

                3.2.1 Struktur
                          a. Plot

                        b. Penokohan

                          c. Tema

3.2.2 Tekstur

          a. Dialog

          b. Suasana

          c. Spektakel

3.3 Pemilihan materi dan teknik pemanggungan

3.3.1 Bagi Sutradara:

         a. Pilihan materi: akting, ruang, waktu, garis, warna, cahaya.

         b. Pilihan teknik: komposisi, gambar, atau sketsa, movement,


dramatisasi

             pantomimic, irama.

3.3.2 Bagi Aktor:

         a. Pilihan materi: tubuh, suara, pikiran, perasaan

         b. Pilihan teknik: membaca dialog, movement, dramatisasi, irama,


gesture

3.3.3 Bagi Perancang Artistik:

         a. Pilihan materi: ruang, garis, bentuk, warna, gerakan.

         b. Pilihan teknik: berawal dari realism, bergerak kea rah acting,
mendalami kualitas 

              suasana dan atmosfer, skeneri sebagai pencetur gagasan.

4.       Pendekatan penyutradaraan

4.1   Pendekatan presentasi: Realis

4.2   Pendekatan representasi: Non realis

Anda mungkin juga menyukai