“Drama Pertunjukan”
Oleh :
Kelas : S7B
Dosen Pengampu : Jayakandi, M.Pd.
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas untuk mata kuliah Teori Sastra “Drama Pertunjukan.”
Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan cara pembagian
tugas masing-masing kepada anggota kelompok, sehingga bisa memudahkan dalam
penyusunannya.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, baik dari segi penyusunan, bahasa, serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu,
dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat
dan juga dapat memberikan wawasan yang lebih luas, besar keinginan kami bisa menginspirasi
para pembaca untuk mengangkat berbagai permasalahan lainnya yang masih berhubungan pada
makalah-makalah berikutnya.
Hormat Kami
Kelompok 14
DAFTAR ISI
BAB I ......................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan Masalah ................................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 6
2.1 Drama sebagai seni pertunjukan ....................................................................................................... 6
2.2 Teori Stanislavski ............................................................................................................................... 7
2.3 Teori Grotowski ................................................................................................................................. 9
2.4 Teori Brecht ..................................................................................................................................... 14
BAB III .................................................................................................................................................... 18
KESIMPULAN ....................................................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kesenian. Dan kesenian itu sendiri tidak
pernah mati dan menghilang atau pun habis termakan zaman/waktu. Baik itu seni bahasa atau
sastra, seni gerak (acting), seni rias (make-up), seni busana (costum), seni dekorasi (scenery)
seni suara atau musik, seni tata lampu (lighting), seni tari dan koreografi, seni rupa, maupun
seni pertunjukan/pentas. Salah satu seni pertunjukan yang masih disukai masyarakat pada saat
ini ialah teater. Teater merupakan seni pertunjukan yang banyak dikenal dengan berbagai
istilah seperti “drama”, “sandiwara” dan yang lainnya. Namun sebenarnya pengertian teater
lebih luas dari sekedar drama. Menurut Herman. J. Waluyo dalam bukunya Drama Teori Dan
Pengajarannya, Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang di proyeksikan diatas
pentas. Dengan kata lain drama merupakan potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit
manis, hitam putih kehidupan manusia (2001:1). Drama merupakan salah satu karya sastra
yang dipenuhi dengan dialog-dialog dan dipentaskan di atas panggung. Sebagai salah satu
karya sastra yang dipentaskan, maka dalam pementasannya senantiasa mengacu pada naskah
drama yang telah disiapkan. Penulisan naskah drama biasanya diambil melalui kejadian nyata
yang bersumber dari kehidupan manusia maupun kejadian fiktif yakni berdasarkan pada
imajinasi penulis. Naskah drama biasanya ditulis dalam bentuk dialog dan dipentaskan oleh
aktor dengan tujuan menggambarkan kejadian kehidupan melalui pertikaian dan konflik yang
terjadi di atas panggung. Dalam penulisan naskah drama terdapat unsur-unsur instrinsik yang
membangun naskah drama tersebut. Unsur-unsur tersebut diantaranya, yakni: tema, tokoh, alur,
latar. Unsur tokoh merupakan salah satu unsur yang berperan penting dalam penulisan naskah
drama yang akan dipentaskan. Karena unsur ini merupakan karakter yang mengambil bagian
dan mengalami peristiwa, baik sebagian maupun secara keseluruhan cerita. Selain itu, peran
unsur tokoh ini dalam karya sastra drama mempunyai sifat dan kedudukan yang penting. Unsur
tokoh dalam naskah drama biasanya terdiri dari tokoh penting dan tokoh pembantu. Tokoh
penting biasa disebut dengan tokoh mayor, sedangkan tokoh pembantu biasanya disebut
dengan tokoh minor. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi penggerak cerita yang menyebabkan
terciptanya tensi dramatik disetiap tahapan peristiwa dalam pementasan drama. Pentingnya
analisis terhadap unsur tokoh pada naskah drama dimaksudkan sebagai upaya dalam
memberikan apresiasi terhadap unsur-unsur intrinsik dalam naskah drama. Karena melalui
tingkah laku dan sikap para tokoh yang ditampilkan dalam naskah drama, maka akan
mempermudah dalam memberikan apresiasi terhadap drama yang dipentaskan. Hal ini
dipertegas oleh Soemanto dan Hassanuddin (Dewojaty, 2010:3) yang menyatakan bahwa
‘Keistimewaan drama dibandingkan karya sastra yang lain terletak pada tujuan pengarang yang
tidak hanya ingin berhenti pada berkomunikasi dengan pembacanya pada tahap pembeberan
imajinasi tokoh dan peristiwa. Pengarang biasanya langsung berkomunikasi dengan
audiensnya dengan cara menghidupkan tokoh dan peristiwa di atas panggung’. Maka dari itu
penulis ingin mengangkat penulisan makalah ini dengan judul ”Drama Pertunjukan”.
Drama dalam dimensi seni pertunjukan merupakan hasil interpretasi dari sebuah teks drama. Sebagai
hasil interpretasi, drama yang dipertunjukkan sering mengalami pergeseran dari naskah asli. Hal ini
terjadi karena drama yang masih berbentuk teks tidak secara keseluruhan dapat diwujudkan di
panggung. Oleh karena itu, seorang sutradara harus menerjemahkan yang tertulis pada naskah dengan
yang seharusnya diwujudkan di panggung.
Drama yang dipertunjukkan merupakan sebuah sintesis dan mengimbau pada beberapa indera
sekaligus. Pementasan baru dapat terjadi jika didukung oleh banyak unsur secara bersama-sama.
Sebuah pementasan drama mungkin ditonton lebih kurang satu sampai dua jam, hakikatnya tidaklah
sesederhana persoalan satu atau dua jam yang dapat disaksikan di atas panggung petunjukkan.
Pementasan merupakan klimaks dari serentetan atau serangkaian kegiatan yang dipersiapkan
sebelumnya oleh berbagai unsur yang saling berkaitan yang secara bersama-sama mengarah pada
kegiatan pementasan.
Ada tiga unsur penting dalam membicarakan drama sebagai seni pertunjukan. Damono
menyebutnya sebagai satu kesatuan. Hal ini menyiratkan kehadiran ketiga sekaligus. Unsur dimaksud
adalah naskah, pementasan, dan penonton.
Teks drama sebelum diinterpretasikan untuk kepentingan pementasan hanyalah satu artefak. Bagi
kepentingan pementasan, sutradara bertanggung jawab menafsirkan dan menghidupkan teks dengan
kemampuan visualisasi imajinasinya. Hal-hal semacam dapat disebutkan sebagai penafsiran pertama
bagi teks-teks drama. Penafsiran pertama terhadap teks drama menghasilkan suatu kesan tertentu. Di
dalam pementasan, karena unsur yang terlihat relative beragam, maka pengonkretan dan
pemvisualisasian teks drama akan memberikan penafsiran lain bagi pembaca terhadap teks drama yang
telah dibacanya itu. Menyaksikan teks drama memberikan penafsiran lain bagi pembaca terhadap teks
drama yang telah di baca.
Naskah drama yang dipentaskan dalam pandangan Hassanudi (1996:140) dipahami sebagai
penafsiran kedua. Naskah yang sampai pada tahap pementasan telah melalui proses penggarapan yang
dipersiapkan sebelumnya. Pementasan merupakan klimaks dari rentetan proses kreatif. Dalam kaitan
ini, naskah yang sampai pada pementasan telah melalui sutradara sebagai penafsir, para pemain, dan
teknisi.
Sebuah pementasan, bagaimanapun bentuknya merupakan hasil penafsiran dari suatu teks (naskah)
drama. Meskipun di dalam teks drama terdapat suatu indeksi tentang bagaimana laku tokoh harus
dilakukan, tetapi tetaplah hal tersebut hanya merupakan suatu gagasan. Bagaimana mengonkretkan
gagasan itu menjadi hal yang nyata di atas pentas, tentu memerlukan suatu penafsiran. Penafsiran itu
biasanya dilakukan berdasarkan pada bagaimana kondisi pentasnya, siapa saja yang bakal mendukung
pementasan, lengkap tidaknya sarana pendukung serta bagaimana khalayak penontonnya. Oleh sebab
itu, penafsiran teks drama untuk kepentingan pementasan tidaklah sama dengan penafsiran teks drama
untuk kepentingan pembaca atau pemahaman teks.
Perlu disadari oleh penafsir, bahwa konsep pementasan yang disusunnya berdasarkan
pemahamannya atas suatu teks drama haruslah meliputi seluruh aspek yang akan berkaitan dengan
persolan pementasan. Penafsiran yang baik harus memikirkan sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya,
bahkan sampai pada kapan lampu tertentu harus dimatikan atau dihidupkan serta warna apa yang lebih
ekspresif dari cahaya lampu itu agar laku drama di atas pentas lebih berdaya saran. Dengan memikirkan
hal-hal sampai pada yang sekecil-kecilnya, maka kemungkinan terwujudnya pementasan semakin
mudah. Sebagai pemberi penafsiran yang kedua bagi teks drama, pementasan haruslah tetap menagkap
esensi teks drama bagaimanapun usaha mewujudkan pementasan, ide serta persoalan yang terdapat di
dalam teks drama harus diungkapkan. Perlu diingat bahwa laku drama di atas pentas jangan sampai
berulang-ulang ditampilkan.
Selain membosankan, lalu drama tersebut akan menjadi klise sehingga maksud yang ingin
disampaikan pengarang teks dan penafsiran tidak komunikatif bagi para penonton. Pementasan dalam
pandangan Rendra (1993:152) merupakan klimaks dari seluruh rangkaian proses kreatif. Sebuah
pementasan melibatkan banyak aspek pendukung dan membutuhkan kehadiran sebuah organisasi yang
dapat mengelola seluruh rangkaian kegiatan menuju pementasan drama. Organisasi dimakasud adalah
organisasi seni pertunjukan yang di dalamnya dibedakan menjadi dua, yaitu (1) unsur tata usaha, dan
(2) unsur tata kesenian.
Penonton sebagai unsur ketiga sangat penting dalam sebuah pertunjukan. Para penonton (dan tentu
saja pembaca), di dalam menyaksikan pementasan haruslah disadari bahwa kesemua itu merupakan
usaha dari penafsir untuk mewujudkan persoalan teks drama secara visualisasi. Dengann demikian,
mungkin saja pementasan disaksikan berada jauh dengan bayangann visualisasi pembaca sebelumnya.
Perbedaan itu justru akan memberikan nuansa pemikiran baru bagi usaha memahami drama secara
totalitas dan menyeluruh. Oleh sebab itu, penolakan terhadap pementasan tidak perlu dilakukan
tergesa-gesa dan apriori jika tidak cocok dengan bayangan visualisasi yang telah ada sebelumnya di
dalam pikiran. Bukanlah tidak tertutup kemungkinan bahwa pementasan yang berbeda dengan imej
pribadi mungkin dibangun oleh pandangan yang berbeda atau orientasi yang tak sama dengan imej
pribadi yang dimiliki. Harus disadari juga, bahwa penafsiran yang berbeda pada banyak orang dari
suatu teks drama menunjukkan bahwa teks drama tersebut memberikan kemungkinan ambiguitas yang
menarik.
Persoalan penonton erat kaitannya dengan fungsi sastra. Sebuah pementasan drama harus dapat
menyajikan hal-hal yang bermanfaat dan menghibur. Bermanfaat berarti sebuah pementasan dapat
memberi manfaat kepada masyarakat (penonton). Manfaat ini berkaitan dengan pandangan bahwa
karya sastra, termasuk drama dipandang sebagai cermin yang dapat memberikan gambaran kehidupan
masyarakat yang sebenarnya (apapun yang Nampak di permukaan cermin, itu pul yang tergambar;
terpantul). Demikian juga dengan drama, apapun yang terjadi dalam kehidupan, begitu pula yang
terlihat di panggung. Walaupun kenyataann kadang-kadang sengaja dihaluskan oleh penyair melalui
proses imajinasi untuk mengaburkan hal-hal buruk. Menghibur berarti sebuah pementasan dapat
membawa penonton/penikmat berada pada dunia baru yang serba indah dan ideal. Dunia yang
disuguhkan penyair dan sutradara tanpa celah dan cacat sedikitpun.
Jadi secara sederhana begini, teori Stanislavski adalah serangkaian pendekatan sistematis untuk
melatih aktor memainkan tokoh yang dikembangkan oleh Konstantin Stanislavski di awal abad ke 20.
Seperti sejarahnya, perjalanan sistem ini dimulai sekitar tahun 1906 dan berkembang sepanjang hidup
Stanislavski. Itu pengertian sederhananya. Lebih lanjut lagi, soal kenapa sistem ini bisa muncul adalah
karena Stanislavski berpikir bahwa pelatihan aktor harus melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar
latihan fisik dan vokal. Jadi harus ada pelatihan lain yang lebih mendalam dan terstruktur dengan baik
untuk mendekati dan menciptakan tokoh.
The system secara garis besar berpusat pada “Art of Experiencing” atau seni mengalami. Prinsip ini
menuntut seorang aktor untuk mengalami perasaan yang sesuai dengan perasaan yang dialami tokoh
setiap kali tokoh tersebut melakukan berbagai macam aktifitasnya. Dalam sistem ini, seorang aktor
juga harus berusaha mencari alasan atau motivasi dari laku tokohnya. Art of Experiencing kemudian
diuraikan kembali oleh Stanislavski. Dimana pada awalnya, cara untuk memunculkan “Pengalaman
atau Emosi tokoh” adalah dengan menggunakan memori internal, dimana aktor memicu emosi karakter
melalui emosi personal mereka. Cara itu kemudian dirubah menjadi Method of Physical Action, atau
metode aksi fisikal. Kenapa Stanislavski menolak sendiri metodenya? Menurutnya menggunakan
emosi personal tidak aman secara psikologis untuk si aktor. Hal itu bisa menimbulkan traumatik atau
semacamnya. Method of Physical Action sendiri secara sederhana berarti emosi tokoh dipicu oleh
tindakan fisik sederhana.
Dalam Art of Experiencing, Stanislavski mendefinisikan aktor yang “mengalami” sebagai aktor yang
bermain “secara kredibel”. Artinya aktor benar-benar berpikir, menginginkan, berjuang, berlaku jujur,
dalam urutan yang logis dengan cara yang manusiawi, di dalam karakter, dan membuat dirinya
(sebagai aktor) sejajar dengan apa yang dilakukan atau dialami tokoh. Sejajar artinya aktor tidak
boleh overlap atas tokoh. Ia tidak boleh menyertakan keinginan pribadinya sebagai aktor, tapi hanya
berjalan sejajar dengan tokohnya dan tidak berusaha mengendalikan laku tokoh sesuai keinginan
personal si aktor.
Pendekatan Stanislavski ini juga berupaya merangsang keinginan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan mengaktifkan proses bawah sadar secara sadar. Pernyataan ini agak kontradiktif menurut
kami. Tapi dalam pemahaman kami, menciptakan proses bawah sadar secara sadar artinya mengetahui
dengan detail dan sistematis apa saja yang sedang terjadi dalam pikiran bawah sadar si tokoh. Tentunya
untuk mengetahui hal tersebut digunakan pisau bedah psikologi. Itu kenapa Sistem Stanislavski ini
juga sangat erat kaitannya dengan Psikologi, terutama Psikoanalisis Sigmund Freud.
Mengenal Magic If
Di dalam Sistem Stanislavski, selain Art of Experiencing itu juga ada istilah yang disebut Magic If.
Magic If adalah kemampuan untuk membayangkan diri berada pada serangkaian situasi fiksi dan
membayangkan bagaimana dan apa yang akan dilakukan diri dalam menghadapi situasi tersebut. Diri
disini artinya tokoh. Jadi, secara sederhana magic if adalah kemampuan untuk membayangkan aktor
sebagai tokoh sedang berada dalam kondisi fiksi dan membayangkan kira-kira apa yang akan
dilakukan si tokoh dalam kondisi fiksi tersebut.
Dalam latihan The System sendiri, aktor harus mengembangkan rangsangan imajinernya, biasanya
rangsangan imajiner itu terdiri dari detail sensoris. Artinya semua indera yang dimiliki tokoh
menangkap apapun yang terjadi di dunia imajiner tersebut secara detail. Tujuannya adalah untuk
memunculkan laku yang organik atau natural dan respon dari alam bawah sadar si tokoh atas apapun
yang terjadi dalam dunia imajiner. Jadi ketika aktor menjalani peran, ia secara utuh terserap dalam
drama dan tenggelam dalam situasi fiksi tersebut. Stanislavski menggunakan istilah “I am being” atau
“Aku sedang” konsep yang sama seperti here and now atau disini dan sekarang.
Hal lain yang menarik soal sistem ini adalah bahwa Stanislavski tidak mendorong identifikasi lengkap
dari peran tersebut, karena baginya, seseorang yang jadi orang lain sepenuhnya, akan jadi obsesif atau
patologikal dalam bahasa Stanislavski. Sementara menurut Jean Benedetti, Stanislavski memang tidak
pernah puas dan tidak pernah berhasil mendefinisikan harus sejauh mana aktor mengidentifikasi tokoh
dan sejauh apa pikiran harus berada serta tetap mengontrol kesadaran “pertunjukan”. Ini mungkin
pertanyaan yang ditanyakan yakni “dimana posisi diri saat memainkan tokoh?” Menurut Jean
Benedetti, Stanislavski tidak menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut yang benar-benar
memuaskannya.
Mengenali Bit Agar Lebih Detail
Dalam sistem Stanislavski juga dikenal istilah bit. Bit ini secara sederhana artinya ketukan. Bit
sebenarnya kata yang berbeda dengan Beat. Tapi di Amerika, pada perkembangannya, dua istilah itu
menjadi sama. Praktek dari Bit kurang lebih seperti ini;
Aktor diwajibkan untuk memecah laku peran mereka menjadi beberapa “bit” yang terpisah. Dimana
masing-masing bit dibedakan oleh peristiwa yang berbeda-beda. Bit itu punya panjang satu motivasi,
satu laku, atau satu tujuan. Sederhananya begini, dalam satu adegan, seorang tokoh berdiri dari kursi,
memegang meja, mengusap rambut, dan berjalan menuju pintu, lalu pada langkah kelima ia menoleh.
Setiap aksi tersebut adalah bit. Dimana setiap bit itu memiliki motivasi yang berbeda. Misalnya ketika
ia berdiri dari kursi, itu satu bit, yang punya motivasi berbeda, katakanlah motivasinya ingin beranjak
dari kursi karena melihat pintu terbuka. Setelah ia selesai berdiri dari kursi, maka bit “berdiri dari
kursi” selesai. Lalu ia memegang meja, bit yang berbeda lagi dengan motivasi yang berbeda juga.
Kemudian bit mengusap kepala, dengan motivasi yang lain lagi, misal motivasinya adalah jengkel
karena pintu terbuka lagi. Setelah selesai dilakukan, maka muncul bit dengan laku berikutnya dengan
motivasi yang berbeda lagi, dan begitu seterusnya.
Jadi dalam laku tokohnya, ada sebuah motivasi besar yang menggerakkan tokoh selama pertunjukan
atau film. Lalu motivasi besar itu kemudian dipecah menjadi lebih kecil berdasarkan peristiwa yang
dialaminya. Lalu dari setiap peristiwa yang dialami tokoh, motivasi yang sudah dipecah itu, dipecah
kembali menjadi motivasi-motivasi yang lebih kecil. Tercatat Stanislavski pertama kali melakukan
praktek “Bit” itu pada sebuah pertunjukan berjudul A Month in the Country (1909).
Langkah dalam Sistem Stanislavski
Dalam sistem Stanislavski ini setidaknya ada 7 langkah yang perlu kalian tahu. Atau bahasa
sederhananya adalah 7 pertanyaan yang wajib ditanyakan aktor. Pertanyaan itu adalah;
1. Siapa aku?
2. Dimana aku?
3. Kapan ini terjadi?
4. Apa yang aku inginkan?
5. Kenapa aku menginginkan itu?
6. Bagaimana aku bisa mendapatkan itu?
7. Apa yang perlu aku atasi?
Bertolt Brecht adalah seorang penulis drama realis revolusioner yang lahir di Augsburg, Jerman, pada
tahun 1898 dan bertugas dalam Perang Dunia Pertama sebelum beralih ke karir di dunia teater hingga
menjadi salah satu penulis paling berpengaruh di abad ke-20. Kesuksesan artistik terbesarnya
diantaranya adalah drama dramatis seperti The Threepenny Opera, Mother Courage and Her Children,
The Good Person of Setzuan dan The Resistible Rise of Arturo Ui. Mother Courage ditayangkan
perdana pada tahun 1941 dan telah banyak diadaptasi dengan brilian sejak pementasan pertamanya
pada pertengahan abad kedua puluh.
Tinggal di Berlin selama kebangkitan dan kejatuhan Republik Weimar, ketika Adolf Hitler dan Nazi
berkuasa, Brecht melarikan diri dari Nazisme dan republik, memiliki kewarganegaraan yang dihapus
oleh Hitler maka dia dipaksa untuk menjalani kehidupan di pengasingan. Dia menemukan dirinya di
Amerika di mana dia tinggal selama beberapa tahun (ketika dia mencoba menulis literatur untuk
Hollywood) sebelum kembali ke Eropa pada tahun 1947. Drama-dramanya, yang berfokus pada isu-
isu sosialis, dilarang di negara asalnya yang komunis di Jerman pada tahun 1930-an, tetapi Bertolt
terus menulis karya Brechtian-nya di wilayah non-soviet dan mementaskan serta mengarahkannya
dengan penuh kegembiraan.
Kurang dari sepuluh tahun kemudian, kehidupan Brecht berakhir, tetapi saat itu dirinya telah
memperoleh pengakuan sebagai praktisi teater yang hebat. Terbukti bahwa baik Perang Dunia Kedua
dan Perang Dunia Pertama, secara langsung berdampak dan mempengaruhi kehidupan serta elemen
dari setiap mahakaryanya. Misalnya, Brecht menulis tentang penderitaan hidup Yahudi selama teror
Reich ketiga. Bertolt Brecht meninggal pada tahun 1956 dan dimakamkan di Berlin, tetapi ingatannya
masih hidup di Jerman Barat dan Timur, serta di teater di seluruh dunia.
Sebagai seorang sutradara, prinsip utama Brecht adalah ia menyukai penonton yang tidak terikat atau
diasingkan dari pertunjukan agar menjaga emosi sehingga memungkinkan mereka untuk melihat
pertunjukan apa adanya. Ini disebut 'V-Effect', atau 'Verfremdungseffekt', sebuah perkembangan
baru dalam sejarah teater.
Keyakinannya adalah dengan tidak terlibat akan penderitaan karakter secara emosional, penonton
dapat fokus pada moral cerita dan tetap sepenuhnya objektif.
Dipengaruhi oleh teater Tiongkok dan Marxis, ia memiliki cara yang orisinal dan dinamis untuk
mengekspresikan dirinya, yang dapat dilihat dalam Mother Courage and Her Children, karya terkenal
yang ditulis pada tahun 1938-1939 namun berlatar belakang tahun 1600-an.
Selain dramanya, Bertold Brecht juga menulis puisi, termasuk occasional poem, puisi yang diiringi
musik dan ditampilkan dengan orkestra, lagu dan puisi untuk mengiringi dramanya, puisi pribadi
merekam anekdot emosional dan pemikiran, opera, dan puisi politik yang akan mengkritik Nazi dan
sikap Kapitalis.
Mengapa Brecht Begitu Penting Dalam Dunia Drama?
Tanpa keraguan, Bertolt Brecht adalah seorang yang jenius dan salah satu dramawan paling
berpengaruh di abad ke-20, yang menyebabkan kegemparan di seluruh dunia. Meskipun berasal dari
kota kecil di Jerman, kekuatannya membentang jauh ke luar Eropa.
Bertolt Brecht, dalam waktunya yang singkat, memperkaya teater, membentuk teater dan
perkembangan selanjutnya. Dia muncul dengan konsep-konsep revolusioner, yang masih terlihat di
teater modern saat ini. Ia menggunakan teater naturalistik sebagai upaya untuk memaksa perubahan
sosial, mendorong penontonnya untuk memikirkan hal-hal penting seperti kejahatan dan penderitaan
tanpa terjebak dalam perasaan.
Brecht ingin penonton tetap objektif ketika memasuki teater sehingga mereka dapat merespon
pertunjukan dengan cara yang rasional dan tidak emosional, menghilangkan moralitas dan makna
sebenarnya dari apa yang mereka tonton. Sebagai komposer saat latihan, Bert menjelaskan bahwa
penyekatan atau pemisahan sangat penting agar kolaborasi sastranya membangkitkan perasaan yang
tepat. Akibatnya, pembaca dan penonton tidak bisa tidak memperhatikan betapa relevan secara sosial
karya-karyanya dengan masalah nyata yang terjadi selama dan pasca perang. Brecht mungkin paling
terkenal karena teori komunisnya dan minatnya pada politik, yang sering menjadi elemen sentral dalam
banyak karya tertulis dan pertunjukannya.
Konon, Bertolt Brecht memiliki berbagai drama yang memberinya penghargaan dalam genre tersebut.
Teruslah membaca untuk mengetahui lebih lanjut tentang beberapa mahakarya Brecht yang
membantunya mendapatkan kekaguman dari orang-orang di seluruh dunia.
Karya Bertolt Brecht
• The Caucasian Chalk Circle
• Galileo
• The Good Woman of Setzuan
• Jungle of Cities
• The Measures Taken and Other Lehrstucke
• Mother Courage and Her Children
• The Resistible Rise of Arturo Ui
• The Threepenny Opera
Penggunaan Teknik Dalam Drama Bertolt Brecht
Jadi, teknik apa yang digunakan oleh seorang penulis drama terkenal untuk menggambarkan
ceritanya? Prinsip-prinsip apa yang dianut Brecht yang membuat karyanya sukses besar? Lihat di
bawah ini jenis teknik yang diterapkan penulis dan sutradara ke dalam penampilannya, atau cari tahu
lebih lanjut dengan mengambil kelas akting dan memerankan adegan dari dramanya.
Breaking the fourth wall
Dapat dibayangkan bahwa panggung dikelilingi oleh dinding, membentuk kubus, dan dinding
keempat adalah yang memisahkan panggung dari penonton. Alih-alih membiarkan penonton tersesat
dalam sebuah pertunjukan, para aktor akan mendobrak penghalang antara panggung dengan
penonton dan langsung berdialog kepada penonton. Mereka mungkin memberikan komentar,
memberikan penilaian, atau mengajukan pertanyaan kepada penonton untuk mendobrak tembok.
Meskipun umum terjadi di awal teater, drama menjadi lebih biasa untuk mencoba dan
membenamkan penonton dalam aksinya.
Montage
Seperti kedengarannya, montage adalah video klip pendek yang digunakan untuk menampilkan
peristiwa faktual. Brecht menggunakan ini cukup banyak untuk menyampaikan pesan, terkadang
untuk menyoroti masalah sosial atau politik tertentu. Terkadang, membandingkan klip dibuat untuk
membuat penonton benar-benar berpikir.
Lagu, musik, dan tarian
Brecht adalah pencinta lirik dan musik, sehingga tidak heran jika ia memasukkan elemen kreatif ini
ke dalam karyanya. Banyak dramanya termasuk lagu, tarian, dan musik, dan lagi-lagi dramawan
akan memainkan kata-kata atau reaksi dengan menempatkan musik ceria dan upbeat dengan lirik
kotor atau mengerikan.
Narasi
Narasi telah lama digunakan untuk menceritakan kisah saat terungkap, dan Brecht memanfaatkan ini
untuk keuntungannya, dia membuat narator mengingatkan penonton tentang apa yang mereka tonton,
terkadang memberi tahu mereka hal-hal yang akan terjadi di masa depan dalam waktu yang
diperkirakan. Ini, sekali lagi, untuk memberi mereka peringatan dan menghentikan mereka agar tidak
terpengaruh oleh keadaan secara emosional.
Minimal Akan Set, Kostum, Properti, Dan Pencahayaan
Brecht menjauh dari pencahayaan kreatif dan lebih suka membiarkan para aktor berbicara sendiri,
membuat panggung menyala terang. Dia juga tidak terlalu tertarik pada properti dan membuatnya
seminimal mungkin, hanya mengizinkan satu per karakter jika diperlukan. Dia sering bersikeras
bahwa properti ini didaur ulang dan digunakan kembali di tempat lain selama pertunjukan.
Keluar dari karakter
Agar tidak membodohi penonton untuk percaya bahwa situasi yang sedang berlangsung itu nyata
atau otentik, karakter memisahkan penonton dari cerita secara berkala dengan keluar dari karakter,
dalam upaya untuk mengingatkan mereka yang menonton bahwa mereka hanya menonton sepotong
fiksi. Ini pasti tampak sangat kontra-intuitif bagi para aktor yang terlatih dalam teknik akting untuk
membawa keaslian dan emosi yang sebenarnya ke panggung!
Menggunakan plakat
Plakat, atau layar proyeksi, kadang-kadang digunakan untuk memberi penonton beberapa informasi
faktual tambahan, misalnya, detail tentang perang atau peristiwa penting lainnya dalam sejarah yang
relevan dengan cerita. Plakat juga digunakan untuk memperkenalkan karakter, adegan, atau untuk
memberi tahu penonton ketika seseorang telah selesai.
Bingkai beku / tableaux
Akhirnya, sekali lagi Brecht menggunakan bingkai beku untuk membuat jeda dalam aksi. Sementara
beberapa dari teknik kontroversial ini digunakan untuk menghentikan penonton menjadi terlalu
terlibat dalam cerita, beberapa digunakan untuk memberi mereka waktu dan ruang untuk memikirkan
akting yang telah mereka lihat sesaat. Selama jeda singkat inilah teknik-teknik lain saling
bersilangan, seperti narator yang mengatakan karyanya, aktor yang keluar dari karakternya untuk
sementara atau pemain yang mendobrak dinding keempat, ya begitulah.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pertunjukan teater merupakan pertunjukkan hasil kerja kolektif dari berbagai elemen. Elemen tersebut
meliputi tata artistik, tata cahaya, tata busana, tata rias, dan musik pengiring. Semua berkolaborasi
sehingga tercipta kesatuan pertunjukkan yang utuh. Keutuhan tersebut tak lepas dari peran sutradara.
Sutradara berperan dalam penggabungan elemen, sehingga tercipta pertunjukkan yang harmonis.
Kesuksesan pertunjukan lebih terlihat dalam diri aktor. Permainan aktor yang akan lebih terlihat oleh
penonton. Keberhasilan aktor terlihat jika aktor terlepas dari pribadinya. Aktor dituntut untuk bisa
berimajinasi seakan-akan dirinya sendiri adalah tokoh yang dimainkan.
DAFTAR PUSTAKA