Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH MATA KULIAH TEORI SASTRA

“Drama Pertunjukan”

Oleh :

Benny Alexandro Austin (202221570010)


Yessy Clara Nadya (202221570006)

Kelas : S7B
Dosen Pengampu : Jayakandi, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas untuk mata kuliah Teori Sastra “Drama Pertunjukan.”

Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan cara pembagian
tugas masing-masing kepada anggota kelompok, sehingga bisa memudahkan dalam
penyusunannya.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, baik dari segi penyusunan, bahasa, serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu,
dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat
dan juga dapat memberikan wawasan yang lebih luas, besar keinginan kami bisa menginspirasi
para pembaca untuk mengangkat berbagai permasalahan lainnya yang masih berhubungan pada
makalah-makalah berikutnya.

Hormat Kami

Kelompok 14
DAFTAR ISI

BAB I ......................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 5
1.3 Tujuan Masalah ................................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 6
2.1 Drama sebagai seni pertunjukan ....................................................................................................... 6
2.2 Teori Stanislavski ............................................................................................................................... 7
2.3 Teori Grotowski ................................................................................................................................. 9
2.4 Teori Brecht ..................................................................................................................................... 14
BAB III .................................................................................................................................................... 18
KESIMPULAN ....................................................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kesenian. Dan kesenian itu sendiri tidak
pernah mati dan menghilang atau pun habis termakan zaman/waktu. Baik itu seni bahasa atau
sastra, seni gerak (acting), seni rias (make-up), seni busana (costum), seni dekorasi (scenery)
seni suara atau musik, seni tata lampu (lighting), seni tari dan koreografi, seni rupa, maupun
seni pertunjukan/pentas. Salah satu seni pertunjukan yang masih disukai masyarakat pada saat
ini ialah teater. Teater merupakan seni pertunjukan yang banyak dikenal dengan berbagai
istilah seperti “drama”, “sandiwara” dan yang lainnya. Namun sebenarnya pengertian teater
lebih luas dari sekedar drama. Menurut Herman. J. Waluyo dalam bukunya Drama Teori Dan
Pengajarannya, Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang di proyeksikan diatas
pentas. Dengan kata lain drama merupakan potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit
manis, hitam putih kehidupan manusia (2001:1). Drama merupakan salah satu karya sastra
yang dipenuhi dengan dialog-dialog dan dipentaskan di atas panggung. Sebagai salah satu
karya sastra yang dipentaskan, maka dalam pementasannya senantiasa mengacu pada naskah
drama yang telah disiapkan. Penulisan naskah drama biasanya diambil melalui kejadian nyata
yang bersumber dari kehidupan manusia maupun kejadian fiktif yakni berdasarkan pada
imajinasi penulis. Naskah drama biasanya ditulis dalam bentuk dialog dan dipentaskan oleh
aktor dengan tujuan menggambarkan kejadian kehidupan melalui pertikaian dan konflik yang
terjadi di atas panggung. Dalam penulisan naskah drama terdapat unsur-unsur instrinsik yang
membangun naskah drama tersebut. Unsur-unsur tersebut diantaranya, yakni: tema, tokoh, alur,
latar. Unsur tokoh merupakan salah satu unsur yang berperan penting dalam penulisan naskah
drama yang akan dipentaskan. Karena unsur ini merupakan karakter yang mengambil bagian
dan mengalami peristiwa, baik sebagian maupun secara keseluruhan cerita. Selain itu, peran
unsur tokoh ini dalam karya sastra drama mempunyai sifat dan kedudukan yang penting. Unsur
tokoh dalam naskah drama biasanya terdiri dari tokoh penting dan tokoh pembantu. Tokoh
penting biasa disebut dengan tokoh mayor, sedangkan tokoh pembantu biasanya disebut
dengan tokoh minor. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi penggerak cerita yang menyebabkan
terciptanya tensi dramatik disetiap tahapan peristiwa dalam pementasan drama. Pentingnya
analisis terhadap unsur tokoh pada naskah drama dimaksudkan sebagai upaya dalam
memberikan apresiasi terhadap unsur-unsur intrinsik dalam naskah drama. Karena melalui
tingkah laku dan sikap para tokoh yang ditampilkan dalam naskah drama, maka akan
mempermudah dalam memberikan apresiasi terhadap drama yang dipentaskan. Hal ini
dipertegas oleh Soemanto dan Hassanuddin (Dewojaty, 2010:3) yang menyatakan bahwa
‘Keistimewaan drama dibandingkan karya sastra yang lain terletak pada tujuan pengarang yang
tidak hanya ingin berhenti pada berkomunikasi dengan pembacanya pada tahap pembeberan
imajinasi tokoh dan peristiwa. Pengarang biasanya langsung berkomunikasi dengan
audiensnya dengan cara menghidupkan tokoh dan peristiwa di atas panggung’. Maka dari itu
penulis ingin mengangkat penulisan makalah ini dengan judul ”Drama Pertunjukan”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu drama dalam seni pertunjukan?


2. Apa itu teori Stanilavski?
3. Apa itu teori Grotowski?
4. Apa itu teori Brecht?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui drama sebagai seni pertunjukan.


2. Untuk mengetahui tentang teori Stanilavski.
3. Untuk mengetahui tentang teori Grotowski.
4. Untuk mengetahui tentang teori Brecht.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Drama sebagai seni pertunjukan

Drama dalam dimensi seni pertunjukan merupakan hasil interpretasi dari sebuah teks drama. Sebagai
hasil interpretasi, drama yang dipertunjukkan sering mengalami pergeseran dari naskah asli. Hal ini
terjadi karena drama yang masih berbentuk teks tidak secara keseluruhan dapat diwujudkan di
panggung. Oleh karena itu, seorang sutradara harus menerjemahkan yang tertulis pada naskah dengan
yang seharusnya diwujudkan di panggung.
Drama yang dipertunjukkan merupakan sebuah sintesis dan mengimbau pada beberapa indera
sekaligus. Pementasan baru dapat terjadi jika didukung oleh banyak unsur secara bersama-sama.
Sebuah pementasan drama mungkin ditonton lebih kurang satu sampai dua jam, hakikatnya tidaklah
sesederhana persoalan satu atau dua jam yang dapat disaksikan di atas panggung petunjukkan.
Pementasan merupakan klimaks dari serentetan atau serangkaian kegiatan yang dipersiapkan
sebelumnya oleh berbagai unsur yang saling berkaitan yang secara bersama-sama mengarah pada
kegiatan pementasan.
Ada tiga unsur penting dalam membicarakan drama sebagai seni pertunjukan. Damono
menyebutnya sebagai satu kesatuan. Hal ini menyiratkan kehadiran ketiga sekaligus. Unsur dimaksud
adalah naskah, pementasan, dan penonton.
Teks drama sebelum diinterpretasikan untuk kepentingan pementasan hanyalah satu artefak. Bagi
kepentingan pementasan, sutradara bertanggung jawab menafsirkan dan menghidupkan teks dengan
kemampuan visualisasi imajinasinya. Hal-hal semacam dapat disebutkan sebagai penafsiran pertama
bagi teks-teks drama. Penafsiran pertama terhadap teks drama menghasilkan suatu kesan tertentu. Di
dalam pementasan, karena unsur yang terlihat relative beragam, maka pengonkretan dan
pemvisualisasian teks drama akan memberikan penafsiran lain bagi pembaca terhadap teks drama yang
telah dibacanya itu. Menyaksikan teks drama memberikan penafsiran lain bagi pembaca terhadap teks
drama yang telah di baca.
Naskah drama yang dipentaskan dalam pandangan Hassanudi (1996:140) dipahami sebagai
penafsiran kedua. Naskah yang sampai pada tahap pementasan telah melalui proses penggarapan yang
dipersiapkan sebelumnya. Pementasan merupakan klimaks dari rentetan proses kreatif. Dalam kaitan
ini, naskah yang sampai pada pementasan telah melalui sutradara sebagai penafsir, para pemain, dan
teknisi.
Sebuah pementasan, bagaimanapun bentuknya merupakan hasil penafsiran dari suatu teks (naskah)
drama. Meskipun di dalam teks drama terdapat suatu indeksi tentang bagaimana laku tokoh harus
dilakukan, tetapi tetaplah hal tersebut hanya merupakan suatu gagasan. Bagaimana mengonkretkan
gagasan itu menjadi hal yang nyata di atas pentas, tentu memerlukan suatu penafsiran. Penafsiran itu
biasanya dilakukan berdasarkan pada bagaimana kondisi pentasnya, siapa saja yang bakal mendukung
pementasan, lengkap tidaknya sarana pendukung serta bagaimana khalayak penontonnya. Oleh sebab
itu, penafsiran teks drama untuk kepentingan pementasan tidaklah sama dengan penafsiran teks drama
untuk kepentingan pembaca atau pemahaman teks.
Perlu disadari oleh penafsir, bahwa konsep pementasan yang disusunnya berdasarkan
pemahamannya atas suatu teks drama haruslah meliputi seluruh aspek yang akan berkaitan dengan
persolan pementasan. Penafsiran yang baik harus memikirkan sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya,
bahkan sampai pada kapan lampu tertentu harus dimatikan atau dihidupkan serta warna apa yang lebih
ekspresif dari cahaya lampu itu agar laku drama di atas pentas lebih berdaya saran. Dengan memikirkan
hal-hal sampai pada yang sekecil-kecilnya, maka kemungkinan terwujudnya pementasan semakin
mudah. Sebagai pemberi penafsiran yang kedua bagi teks drama, pementasan haruslah tetap menagkap
esensi teks drama bagaimanapun usaha mewujudkan pementasan, ide serta persoalan yang terdapat di
dalam teks drama harus diungkapkan. Perlu diingat bahwa laku drama di atas pentas jangan sampai
berulang-ulang ditampilkan.
Selain membosankan, lalu drama tersebut akan menjadi klise sehingga maksud yang ingin
disampaikan pengarang teks dan penafsiran tidak komunikatif bagi para penonton. Pementasan dalam
pandangan Rendra (1993:152) merupakan klimaks dari seluruh rangkaian proses kreatif. Sebuah
pementasan melibatkan banyak aspek pendukung dan membutuhkan kehadiran sebuah organisasi yang
dapat mengelola seluruh rangkaian kegiatan menuju pementasan drama. Organisasi dimakasud adalah
organisasi seni pertunjukan yang di dalamnya dibedakan menjadi dua, yaitu (1) unsur tata usaha, dan
(2) unsur tata kesenian.
Penonton sebagai unsur ketiga sangat penting dalam sebuah pertunjukan. Para penonton (dan tentu
saja pembaca), di dalam menyaksikan pementasan haruslah disadari bahwa kesemua itu merupakan
usaha dari penafsir untuk mewujudkan persoalan teks drama secara visualisasi. Dengann demikian,
mungkin saja pementasan disaksikan berada jauh dengan bayangann visualisasi pembaca sebelumnya.
Perbedaan itu justru akan memberikan nuansa pemikiran baru bagi usaha memahami drama secara
totalitas dan menyeluruh. Oleh sebab itu, penolakan terhadap pementasan tidak perlu dilakukan
tergesa-gesa dan apriori jika tidak cocok dengan bayangan visualisasi yang telah ada sebelumnya di
dalam pikiran. Bukanlah tidak tertutup kemungkinan bahwa pementasan yang berbeda dengan imej
pribadi mungkin dibangun oleh pandangan yang berbeda atau orientasi yang tak sama dengan imej
pribadi yang dimiliki. Harus disadari juga, bahwa penafsiran yang berbeda pada banyak orang dari
suatu teks drama menunjukkan bahwa teks drama tersebut memberikan kemungkinan ambiguitas yang
menarik.
Persoalan penonton erat kaitannya dengan fungsi sastra. Sebuah pementasan drama harus dapat
menyajikan hal-hal yang bermanfaat dan menghibur. Bermanfaat berarti sebuah pementasan dapat
memberi manfaat kepada masyarakat (penonton). Manfaat ini berkaitan dengan pandangan bahwa
karya sastra, termasuk drama dipandang sebagai cermin yang dapat memberikan gambaran kehidupan
masyarakat yang sebenarnya (apapun yang Nampak di permukaan cermin, itu pul yang tergambar;
terpantul). Demikian juga dengan drama, apapun yang terjadi dalam kehidupan, begitu pula yang
terlihat di panggung. Walaupun kenyataann kadang-kadang sengaja dihaluskan oleh penyair melalui
proses imajinasi untuk mengaburkan hal-hal buruk. Menghibur berarti sebuah pementasan dapat
membawa penonton/penikmat berada pada dunia baru yang serba indah dan ideal. Dunia yang
disuguhkan penyair dan sutradara tanpa celah dan cacat sedikitpun.

2.2 Teori Stanislavski

Jadi secara sederhana begini, teori Stanislavski adalah serangkaian pendekatan sistematis untuk
melatih aktor memainkan tokoh yang dikembangkan oleh Konstantin Stanislavski di awal abad ke 20.
Seperti sejarahnya, perjalanan sistem ini dimulai sekitar tahun 1906 dan berkembang sepanjang hidup
Stanislavski. Itu pengertian sederhananya. Lebih lanjut lagi, soal kenapa sistem ini bisa muncul adalah
karena Stanislavski berpikir bahwa pelatihan aktor harus melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar
latihan fisik dan vokal. Jadi harus ada pelatihan lain yang lebih mendalam dan terstruktur dengan baik
untuk mendekati dan menciptakan tokoh.
The system secara garis besar berpusat pada “Art of Experiencing” atau seni mengalami. Prinsip ini
menuntut seorang aktor untuk mengalami perasaan yang sesuai dengan perasaan yang dialami tokoh
setiap kali tokoh tersebut melakukan berbagai macam aktifitasnya. Dalam sistem ini, seorang aktor
juga harus berusaha mencari alasan atau motivasi dari laku tokohnya. Art of Experiencing kemudian
diuraikan kembali oleh Stanislavski. Dimana pada awalnya, cara untuk memunculkan “Pengalaman
atau Emosi tokoh” adalah dengan menggunakan memori internal, dimana aktor memicu emosi karakter
melalui emosi personal mereka. Cara itu kemudian dirubah menjadi Method of Physical Action, atau
metode aksi fisikal. Kenapa Stanislavski menolak sendiri metodenya? Menurutnya menggunakan
emosi personal tidak aman secara psikologis untuk si aktor. Hal itu bisa menimbulkan traumatik atau
semacamnya. Method of Physical Action sendiri secara sederhana berarti emosi tokoh dipicu oleh
tindakan fisik sederhana.
Dalam Art of Experiencing, Stanislavski mendefinisikan aktor yang “mengalami” sebagai aktor yang
bermain “secara kredibel”. Artinya aktor benar-benar berpikir, menginginkan, berjuang, berlaku jujur,
dalam urutan yang logis dengan cara yang manusiawi, di dalam karakter, dan membuat dirinya
(sebagai aktor) sejajar dengan apa yang dilakukan atau dialami tokoh. Sejajar artinya aktor tidak
boleh overlap atas tokoh. Ia tidak boleh menyertakan keinginan pribadinya sebagai aktor, tapi hanya
berjalan sejajar dengan tokohnya dan tidak berusaha mengendalikan laku tokoh sesuai keinginan
personal si aktor.
Pendekatan Stanislavski ini juga berupaya merangsang keinginan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan mengaktifkan proses bawah sadar secara sadar. Pernyataan ini agak kontradiktif menurut
kami. Tapi dalam pemahaman kami, menciptakan proses bawah sadar secara sadar artinya mengetahui
dengan detail dan sistematis apa saja yang sedang terjadi dalam pikiran bawah sadar si tokoh. Tentunya
untuk mengetahui hal tersebut digunakan pisau bedah psikologi. Itu kenapa Sistem Stanislavski ini
juga sangat erat kaitannya dengan Psikologi, terutama Psikoanalisis Sigmund Freud.
Mengenal Magic If
Di dalam Sistem Stanislavski, selain Art of Experiencing itu juga ada istilah yang disebut Magic If.
Magic If adalah kemampuan untuk membayangkan diri berada pada serangkaian situasi fiksi dan
membayangkan bagaimana dan apa yang akan dilakukan diri dalam menghadapi situasi tersebut. Diri
disini artinya tokoh. Jadi, secara sederhana magic if adalah kemampuan untuk membayangkan aktor
sebagai tokoh sedang berada dalam kondisi fiksi dan membayangkan kira-kira apa yang akan
dilakukan si tokoh dalam kondisi fiksi tersebut.
Dalam latihan The System sendiri, aktor harus mengembangkan rangsangan imajinernya, biasanya
rangsangan imajiner itu terdiri dari detail sensoris. Artinya semua indera yang dimiliki tokoh
menangkap apapun yang terjadi di dunia imajiner tersebut secara detail. Tujuannya adalah untuk
memunculkan laku yang organik atau natural dan respon dari alam bawah sadar si tokoh atas apapun
yang terjadi dalam dunia imajiner. Jadi ketika aktor menjalani peran, ia secara utuh terserap dalam
drama dan tenggelam dalam situasi fiksi tersebut. Stanislavski menggunakan istilah “I am being” atau
“Aku sedang” konsep yang sama seperti here and now atau disini dan sekarang.
Hal lain yang menarik soal sistem ini adalah bahwa Stanislavski tidak mendorong identifikasi lengkap
dari peran tersebut, karena baginya, seseorang yang jadi orang lain sepenuhnya, akan jadi obsesif atau
patologikal dalam bahasa Stanislavski. Sementara menurut Jean Benedetti, Stanislavski memang tidak
pernah puas dan tidak pernah berhasil mendefinisikan harus sejauh mana aktor mengidentifikasi tokoh
dan sejauh apa pikiran harus berada serta tetap mengontrol kesadaran “pertunjukan”. Ini mungkin
pertanyaan yang ditanyakan yakni “dimana posisi diri saat memainkan tokoh?” Menurut Jean
Benedetti, Stanislavski tidak menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut yang benar-benar
memuaskannya.
Mengenali Bit Agar Lebih Detail
Dalam sistem Stanislavski juga dikenal istilah bit. Bit ini secara sederhana artinya ketukan. Bit
sebenarnya kata yang berbeda dengan Beat. Tapi di Amerika, pada perkembangannya, dua istilah itu
menjadi sama. Praktek dari Bit kurang lebih seperti ini;
Aktor diwajibkan untuk memecah laku peran mereka menjadi beberapa “bit” yang terpisah. Dimana
masing-masing bit dibedakan oleh peristiwa yang berbeda-beda. Bit itu punya panjang satu motivasi,
satu laku, atau satu tujuan. Sederhananya begini, dalam satu adegan, seorang tokoh berdiri dari kursi,
memegang meja, mengusap rambut, dan berjalan menuju pintu, lalu pada langkah kelima ia menoleh.
Setiap aksi tersebut adalah bit. Dimana setiap bit itu memiliki motivasi yang berbeda. Misalnya ketika
ia berdiri dari kursi, itu satu bit, yang punya motivasi berbeda, katakanlah motivasinya ingin beranjak
dari kursi karena melihat pintu terbuka. Setelah ia selesai berdiri dari kursi, maka bit “berdiri dari
kursi” selesai. Lalu ia memegang meja, bit yang berbeda lagi dengan motivasi yang berbeda juga.
Kemudian bit mengusap kepala, dengan motivasi yang lain lagi, misal motivasinya adalah jengkel
karena pintu terbuka lagi. Setelah selesai dilakukan, maka muncul bit dengan laku berikutnya dengan
motivasi yang berbeda lagi, dan begitu seterusnya.
Jadi dalam laku tokohnya, ada sebuah motivasi besar yang menggerakkan tokoh selama pertunjukan
atau film. Lalu motivasi besar itu kemudian dipecah menjadi lebih kecil berdasarkan peristiwa yang
dialaminya. Lalu dari setiap peristiwa yang dialami tokoh, motivasi yang sudah dipecah itu, dipecah
kembali menjadi motivasi-motivasi yang lebih kecil. Tercatat Stanislavski pertama kali melakukan
praktek “Bit” itu pada sebuah pertunjukan berjudul A Month in the Country (1909).
Langkah dalam Sistem Stanislavski
Dalam sistem Stanislavski ini setidaknya ada 7 langkah yang perlu kalian tahu. Atau bahasa
sederhananya adalah 7 pertanyaan yang wajib ditanyakan aktor. Pertanyaan itu adalah;

1. Siapa aku?
2. Dimana aku?
3. Kapan ini terjadi?
4. Apa yang aku inginkan?
5. Kenapa aku menginginkan itu?
6. Bagaimana aku bisa mendapatkan itu?
7. Apa yang perlu aku atasi?

2.3 Teori Grotowski

Metode-Sistem-Teknik Pelatihan Akting


Mengeluarkan impuls melalui kekuatan semangat/spirit kemanusiaanlah yang, menurut Grotowski,
akan menjadi pusat pengkajian dan kreativitas para seniman untuk berkarya. Kreativitas yang otentik
milik seniman yang mempribadi serta bukan karya tiruan berbentuk massal. Melalui pendapat bahwa
proses menghasilkan impuls dalam diri manusia merupakan proses eksperimental yang memiliki
dimensi spiritual, Grotowski menterjemahkan proses tersebut melalui pelatihan yang berdasarkan pada
Metode Transformasi dan sistem latihan berpusat pada Sistem Via Negativa, yang keduanya
menghasilkan Teknik Trance.
Peter Brook (1991:93) menggambarkan kegiatan Grotowski tersebut sebagai usaha Grotowski untuk
menghasilkan sebuah bentuk kesenian yang tercipta melalui proses riset yang berlangsung secara
bertahap, konsisten, tanpa publikasi, serta hasilnya langsung memperkaya kerja kreatif seniman.
Sumbangan Grotowski seperti yang diakui oleh Brook ternyata tidak hanya melahirkan kerja penelitian
dengan menggunakan bentuk artistik lama dengan memberi makna baru, akan tetapi membongkar pula
bentuk lama tersebut menjadi bentuk baru dan diperkaya dengan makna dan nuansa baru sesuai kondisi
jaman. Nampaknya apa yang dikerjakan Grotowski saat ini tidaklah baru, namun saat dimana
Grotowski mulai berkarya kegiatan semacam itu nampak baru, nampak avantgarde. Dengan kata lain,
Grotowski secara radikal melakukan kerja atau praktek transformasi baik secara fisik maupun
metafisik. Kerja fisik berarti memiliki makna kerja eksperimen dan riset dalam pelatihan akting baik
tubuh maupun pikiran aktor, sedangkan kerja metafisik adalah pemahaman relijiusseperti pemahaman
tentang kondisi ‘kesadaran’ dan ‘ketidak sadaran’, kekuatan ‘micro dan macro cosmos’– yang
mendukung serta mempengaruhi program pelatihan keaktoran baik sebagai individu maupun kolektif.
Sebelum Grotowski tak ada sutradara yang mendekati kerja transformasi ini. Artinya transformasi
yang menggunakan fisik sekaligus metafisik dengan metode, sistem dan tekniknya. Stanislavsky
berhenti pada masalah bagaimana merubah bawah sadar ‘menjadi’ kesadaran aktor di atas pentas,
dimana Stanislavsky gagal meleburkan trauma pengalaman pribadi menjadi akting kekinian yang
diyakini oleh penonton. Brecht pun dengan sistem alinasi rasionalnya tetap mendudukkan tubuh-
pikiran, konsep-sensibilitas, sebagai dikotomi yang tak terlebur. Bahkan Artaud yang terkenal dengan
‘Teater Kejam’nya menemui kesulitan ketika harus menghadirkan kerja penyatuan metafisik–ia
menyebutnya dengan makro-mikro kosmos– tubuh-pikiran aktor ke dalam tubuh si aktor, karena Kerja
Artaud hanya terpusat pada kekuasaan makro kosmos yang bersifat abstrak. Dengan lain perkataan
baik kerja Stanislavsky, Brecht maupun Artaud bagi kepentingan pelatihan aktor masa kini tidak lagi
mampu mempengaruhi seniman untuk berproses kreatif. Kreativitas yang lebih bersifat holistik dan
aktual untuk memahami sekaligus menterjemahkan kondisi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat
yang lebih berkeinginan untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib mereka.
Meskipun Grotowski juga mengalami berbagai kesulitan pada proses latihan pembentukan ‘diri’ aktor,
seperti halnya Stanislavsky dan Brecht, namun ia berhasil menemukan dan mengembangkan metode
pelatihan seni peran dengan sistem dan teknis pelatihannya. Penemuan yang tetap berpijak pada
keutuhan ‘tubuh’ aktor. Tubuh yang merupakan media penghubung partisipasi baik dari sudut
keaktoran maupun penonton, dalam hal ini masyarakat. Hasil penemuan inilah yang dapat dikatakan
sebagai milik Grotowski pribadi. Untuk memahami proses terbentuknya pelatihan Grotowski, dapat
kiranya diuraikan terlebih dahulu pemahaman arti kata metode, sistem dan teknik dalam karya seni
akting. Metode merupakan langkahlangkah untuk menemukan kebenaran akting yang berhubungan
dengan gerak tubuh serta kebatinan aktor yang bersifat alami seperti kepekaan, pengenalan diri dan
lingkungan, konsentrasi, pengembangan rasa, pembentukan sikap, dan pengolahan kecerdasan.
Langkahlangkah pengembangan metode kearah kualitas artisitik dilakukan aktor melalui suatu sistem
kerja.
Dengan kata lain, sistem bertujuan untuk memperbaiki akting alami menjadi akting kreatif yang
mampu menempatkan aktor ke dalam bentuk transformasi bagi kepentingan panggung tanpa
pembatasan waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian sistem merupakan acuan atau reference book
bagaimana aktor memainkan seluruh kreativitas pikir, fisik dan batinnya. Kreativitas baik yang
berproses secara linear dari dirinya kemudian ‘menjadi’ tokoh, maupun simultan yang diperoleh dari
suasana timbal balik panggung dan penonton. Apabila sistem tak dapat dimainkan karena ia bukanlah
hasil akhir, tidak demikian dengan teknik. Teknik bertujuan untuk mencipta gerakan, gestur, akting
bisnis dari tokoh imajinatif. Melalui tekniklah, aktor dapat menterjemahkan, mengembangkan bahkan
menyempurnakan bakat alami yang dimilikinya ketika memainkan berbagai karakter tokoh. Dengan
demikian melalui teknik dapat diamati apakah sistem membantu teknik, dan bagaimana sistem
menjabarkan metode, serta apakah teknik membuktikan metode.
Metode Transformasi
Untuk melacak bahwa transformasi dapat dianggap sebagai suatu metode dalam kerja Grotowski,
mungkin dapat dilihat pendapat Lichte dalam buku The Semiotics of Theater (1992:200) yang
menjelaskan bahwa transformasi merupakan proses terjemahan dari satu materi ke materi lain dimana
transformasi tersebut mampu merubah keseluruhan sistem tanda menjadi suatu sistem tanda yang
benar-benar berbeda. Misalnya struktur sistem tanda teks naskah menjadi teks panggung (tekstur)
sistem tanda di atas pentas. Perubahan sistem tanda tersebut sekaligus akan merubah makna yang
dikandung oleh sistem tersebut. Selain itu perubahan dapat menentukan fungsi tekstur, yang pada
akhirnya melahirkan berbagai variasi interpretasi terhadap perubahan makna yang terjadi.
Metode Transformasi selalu diawali atas kehendak untuk merubah suatu sistem tanda dalam rangka
untuk mempertemukan unsur-unsur dalam tanda tersebut sehingga terjadi keseimbangan potensi yang
dimiliki oleh setiap unsur tersebut. Keseimbangan inilah yang menurut Grotowski dalam bukunya
Towards a Poor Theatre (1975:58) dianggap sebagai kondisi yang membimbing manusia mewujudkan
reaksi impuls. Berdasarkan pendapat tentang terjadinya transformasi tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi merupakan metode ‘keseimbangan’ potensi dari unsur-unsur dalam
tubuh manusia yang berfungsi untuk ‘mengeluarkan impuls’ dari dalam tubuh manusia. Kehadiran
impuls dari dalam tubuh aktor tersebut kemudian membawa aktor ke dalam kondisi liminal.
Liminalitas menurut Turner(1988:25) adalah pintu gerbang atau ambang pintu yang membawa
sekaligus merubah kondisi sekular aktor menjadi sakral yaitu kondisi yang belum pernah mereka
tempati, kemudian mengembalikan dari kondisi sakral tersebut menjadi sekular seperti kondisi semula.
Kondisi liminal inilah yang menurut Grotowski adalah kondisi dimana aktor mengalami trance, aktor
in-trance. Maka Metode Transformasi dalam pelatihan akting Grotowski adalah proses pelatihan aktor
menghadirkan impuls dari tubuhnya untuk mencapai kondisi trance.
Prosedur yang dilakukan Grotowski untuk mengembangkan Metode Transformasi sebagai berikut:
1. Melakukan stimulasi bagi terciptanya proses pengungkapan jati diri dengan kembali pada kondisi
bawah sadar, dan menyalurkan stimulus ini untuk menghasilkan reaksi kesadaran yang diinginkan
aktor.
2. Mampu mengartikulasikan proses penyatuan bawah sadar dan kesadaran, mengaturnya, dan
mengubahnya menjadi tanda. Dalam istilah yang tepat, menjadikannya suatu ‘skor’ yang terdiri dari
kontak yang sangat halus, reaksi yang mengarah pada dunia luar: apa yang kita sebut dengan proses
take and give.
3. Menghilangkan hambatan dan penolakan oleh organisme tubuh ketika menghadirkan keseimbangan
untuk terciptanya kreativitas baik secara fisik maupun psikis.
Sistem Via Negativa
Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam proses pelatihan akting suatu metode akan menghasilkan
teknik akting apabila terjabarkan melalui suatu sistem kerja. Menurut Grotowski Sistem Via Negativa
mampu memperkaya transformasi fisik dan batin aktor. Pada dasarnya Sistem Via Negativa yang
menjadi acuan Grotowski memiliki makna relijius-spiritual. Kerja spiritual berdasarkan Sistem Via
Negativa untuk membentuk keutuhan seni tersebut dapat dilacak melalui berbagai bentuk dan
pemahaman yang ada dalam tahapan proses kreatif Grotowski: berawal dari The Laboratory Theatre,
Teater Laboratorium (1961-1968), kemudian berkembang menjadi The Paratheatrical Work, Riset
Parateater (1970-1984), hingga The Objective Drama (1985-1987).
Sebenarnya ketiga tahapan proses kreatif tersebut tidak memiliki pembakuan batasan dan tahapan. Hal
ini disebabkan Grotowski melakukan eksplorasi secara terpisah berdasarkan waktu, akan tetapi
nampak bahwa setiap tahapan yang dilakukannya merupakan proses yang meruang yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dengan lain perkataan, proses kreatif Grotowski adalah suatu kerja dialektik
yang meskipun ketiganya berkembang tersendiri, namun saling mempengaruhi, sehingga masing-
masing tahapan mampu menjadi referensi. Konsep kerja yang ada pada Teater Laboratorium menjadi
landasan kerja Riset Parateater, yang kemudian menjadi langkah awal bagi Grotowski untuk
mengembangkan Drama Objektif. Demikian juga sebaliknya, di dalam Drama Objektif masih dapat
kita saksikan kerja kreatif Teater Laboratorium dan Riset Parateater. Ketiga tahapan tersebut nampak
berkembang linear, tetapi melalui proses yang melingkar. Inilah mungkin yang dapat kita katakan
sebagai cara berpikir spiritual. Cara berpikir yang ‘melompat’ ke depan dengan berbagai prediksi untuk
kemudian melakukan dialektika dengan masa lalu.
Sistem Via Negativa membantu Grotowski untuk mengembangkan tekniknya yang terkenal dengan
nama Poor Theatre, Teater Miskin. Melalui teknik ini Grotowski mengharuskan aktornya melatih otot-
otot wajah sehingga setiap aktor nampak seperti menggunakan topeng, yaitu topeng yang
mengekspresikan rasa kecewa, penderitaan, dan ketidak pedulian. Gerakan tubuh, gestur, dan akting
bisnis adalah bentuk pantomim yang menunjukkan de-personalisasi watak tokoh. Ketika aktor
kehilangan sosoknya maka ia menjadi stereotip makhluk hidup keseharian. Sistem Via Negativa telah
digunakan Grotowski pada seluruh pelatihan akting yang dilakukannya. Hal ini disebabkan melalui
sistem inilah keinginan Grotowski untuk menyatukan tubuh dan pikiran aktor dapat terwujudkan.
Penyatuan kekuatan psikis dan tubuh aktor adalah alat bagi aktor untuk melakukan kontak dan berada
lebih dekat dengan sisi dalam batinnya. Ada kemungkinan bahwa Grotowski tidak memberlakukan
Sistem Via Negativa untuk mencipta seorang aktor yang relijius dalam istilah keagamaan, namun
sistem ini akan memberlakukan penyatuan tubuh dan pikiran aktor–sebuah bentuk relijiusitas– sebagai
elemen teater yang mampu menjembatani jarak antara naskah, panggung dan penonton. Apabila arti
kata Via Negativa adalah kembali ke titik nol dengan menegasikan hal-hal yang menjadi penghalang
penyatuan antara manusia dan Tuhannya, Grotowski merubah pengertian tersebut dengan
menegasikan hambatan-hambatan proses penyatuan tubuh-pikiran aktor dan penyatuan panggung-
penonton. Maka Sistem Via Negativa dalam pelatihan Grotowski berfungsi untuk menegasikan hal-
hal yang menghalangi proses integrasi seluruh kekuatan tubuh-pikiran aktor dengan alam semesta.
Hasil yang diperoleh adalah pembebasan jarak waktu antara ‘menjadi’ peran dan kembali ‘menjadi’
dirinya, atau tak ada jarak antara peran dan dirinya sehingga peran akan menjadi dirinya dan demikian
juga sebaliknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Sistem Via Negativa pada akhirnya dipergunakan
Grotowski sebagai sistem kerja ‘penyatuan’: Sistem Via Negativa adalah sistem penyatuan unsurunsur
dalam diri aktor yaitu tubuh-pikiran-spirit.
Sistem Via Negativa dan Teater Laboratorium
Pelatihan akting Grotowski dalam Teater Laboratorium memiliki beberapa ciri khas:
1. Pelatihan akting terpusat pada latihan kreativitas dengan melakukan berbagai eksperimen fisik.
2. Mengakumulasikan unsur-unsur gerak yang secara teknis telah diuji coba untuk kemudian
didokumentasikan ke dalam bentuk latihan tertulis. Kegunaan dokumentasi tersebut adalah menjadi
dasar sekaligus acuan penciptaan peran.
3. Selain dokumentasi berbagai gerak eksperimen, tahapan Laboratorium juga melatih berbagai teknik
peran yang berasal dari gerak-gerak yang dilakukan aktor-aktor teater baik Barat maupun Timur
berdasarkan kepentingan panggung yang akan digarap, dan kemungkinan eksperimentasinya.
Eksperimen-eksperimen tersebut memusat pada latihan fisik seperti:
1. Gymnastik, akrobatik, latihan pernafasan, dan gerak-gerak ritmis.
2. Kerja biomekanik Meyerhold dan yoga dari teater Timur.
‘Bahasa’ baru yang menjadi otentik penemuan Grotowski tersebut merupakan wujud keinginannya
untuk ‘membentuk’ aktor agar secara fisik aktor mampu melampaui penonton–aktor dengan tiga
dimensidimana aktor mampu menggerakkan reaksi dalam hati penonton agar mereka dapat menyatu
dengan bahasa yang disampaikan aktor. Dengan lain perkataan melalui bahasa yang sudah mengalami
perubahan–dari bahasa kata ke bahasa bentuk–aktor dan penonton mampu menciptakan jenis bahasa
yang bersifat universal dan terpakai.
Sistem Via Negativa dan Riset Parateater
Konsep kerja Parateater (1970-1984) pada dasarnya digambarkan sebagai media uji coba bahasa
bentuk yang dihasilkan dari tahapan Teater Laboratorium. Uji coba dilaksanakan melalui dua cara
yaitu:
1. Melakukan eksperimen terhadap aktor yang telah terlatih dalam pelatihan Teater Laboratorium
untuk melakukan komunikasi tanpa hambatan dengan aktor yang lain.
2. Mencipta lingkungan baru dengan aktor saling mendukung satu sama lain dan membangun
komunikasi diantara mereka.
Di sini nampak bahwa Grotowski ingin memperluas batas eksperimen fisik aktor secara individu
menjadi eksperimen aktor secara kolektif. Aktor secara kolektif memiliki makna baik aktor yang
berlatih bersama dengan aktor lain maupun aktor yang menonton permainan aktor lain dalam ruang
yang berbeda. Yang terakhir tersebut dapat ditujukan pada penonton. Artinya aktor adalah juga
penonton, dan penonton dianggap pula sebagai aktor.
Teknik Trance
Di awal pembicaraan tentang teknik diketahui bahwa melalui teknik dengan dibantu oleh sistem dapat
dipahami bagaimana makna metode dapat pula dimengerti. Teknik trance pada dasarnya berawal pada
bahwa tubuh berfungsi sebagai organon atau yantra. Dalam bahasa Yunani organon berarti instrumen,
sedangkan dalam bahasa Sansekerta, Yantra berarti suatu instrumen untuk mengamati keadaan alam
semesta. Pula Grotowski berpendapat–yang menunjukkan pertentangannya dengan Artaud– bahwa
tubuh sebagai organon terdiri dari darah dan daging, material, yang dapat digunakan sebagai alat untuk
mengamati perkembangan tubuh setelah dikenai eksperimen. Melalui tubuhnya, aktor dapat pula
memberikan ilustrasi kekuatan alam atau supra natural melalui karakter yang diwadahi melalui
tubuhnya. Maka teknik trance selalu bertumpu pada tubuh aktor sebagai materi untuk dibentuk sebagai
karya seni. Maka aktor in-trance menurut Grotowski tidak hanya bertumpu pada tubuh sebagai alat
tetapi juga sebagai penghubung, channel, antara kekuatan supra natural dan peran yang akan
dimainkan. Apabila tubuh dianggap sebagai penghubung organik maka tubuh adalah pendorong
terjadinya transformasi. Bahwa metode transformasi sebagai langkah penyeimbangan akan
mempersatukan alam dan organon tubuh sehingga terbentuk akting primal, akting in-trance.satu titik
yang dinamakan ‘penghubung organik’, organism channel.
Untuk menghadirkan kondisi trance, Grotowski menganggap Akting primal, akting in-trance, akan
mengungkapkan gerakan tubuh secara otentik untuk penonton. Artinya, penonton secara impulsif akan
berpartisipasi untuk menerima ekspresi karakter melalui akting tersebut. Seperti diketahui bahwa
akting primal dihasilkan oleh impuls, sehingga apabila impuls yang disentuh dalam diri penonton maka
yang terjadi adalah pertemuan impuls antar manusia. Impuls ini adalah sumber gerak yang
dipraktekkan oleh Grotowski terutama pada era Drama Obyektif. Gerak yang merupakan penyatuan
tubuh, pikir, dan batin dalam membentuk arketip–artikulasi melalui tanda– yang tidak bertentangan
antara teknik gerak dan sistem tandanya.
Grotowski beranggapan bahwa melalui pertemuan impulslah tranformasi aktor-penonton dapat
terlaksana. Aktor dapat berubah posisi menjadi penonton, demikian juga sebaliknya. Gagasan
mencipta akting impulsif, akting in-trance, akting otentik, dengan aktor sebagai ‘channel’ mampu
mewujudkan akting yang menyatukan secara total aktor dengan penonton. Transformasi melalui
impuls dapat terlaksana juga dikarenakan impuls lebih mendekat pada rasa daripada pikir. Bahkan
impuls sudah merasuk ke dalam rasa yang dimiliki oleh penonton. Rasa di sini adalah rasa yang sudah
terakumulasikan oleh baik olah tubuh maupun pikir. Maka cipta–akting primal–, rasa dan karsa bersatu
dengan dorongan impuls, sehingga dapat dikatakan bahwa di titik inilah tercipta karya otentik.

2.4 Teori Brecht

Bertolt Brecht adalah seorang penulis drama realis revolusioner yang lahir di Augsburg, Jerman, pada
tahun 1898 dan bertugas dalam Perang Dunia Pertama sebelum beralih ke karir di dunia teater hingga
menjadi salah satu penulis paling berpengaruh di abad ke-20. Kesuksesan artistik terbesarnya
diantaranya adalah drama dramatis seperti The Threepenny Opera, Mother Courage and Her Children,
The Good Person of Setzuan dan The Resistible Rise of Arturo Ui. Mother Courage ditayangkan
perdana pada tahun 1941 dan telah banyak diadaptasi dengan brilian sejak pementasan pertamanya
pada pertengahan abad kedua puluh.
Tinggal di Berlin selama kebangkitan dan kejatuhan Republik Weimar, ketika Adolf Hitler dan Nazi
berkuasa, Brecht melarikan diri dari Nazisme dan republik, memiliki kewarganegaraan yang dihapus
oleh Hitler maka dia dipaksa untuk menjalani kehidupan di pengasingan. Dia menemukan dirinya di
Amerika di mana dia tinggal selama beberapa tahun (ketika dia mencoba menulis literatur untuk
Hollywood) sebelum kembali ke Eropa pada tahun 1947. Drama-dramanya, yang berfokus pada isu-
isu sosialis, dilarang di negara asalnya yang komunis di Jerman pada tahun 1930-an, tetapi Bertolt
terus menulis karya Brechtian-nya di wilayah non-soviet dan mementaskan serta mengarahkannya
dengan penuh kegembiraan.
Kurang dari sepuluh tahun kemudian, kehidupan Brecht berakhir, tetapi saat itu dirinya telah
memperoleh pengakuan sebagai praktisi teater yang hebat. Terbukti bahwa baik Perang Dunia Kedua
dan Perang Dunia Pertama, secara langsung berdampak dan mempengaruhi kehidupan serta elemen
dari setiap mahakaryanya. Misalnya, Brecht menulis tentang penderitaan hidup Yahudi selama teror
Reich ketiga. Bertolt Brecht meninggal pada tahun 1956 dan dimakamkan di Berlin, tetapi ingatannya
masih hidup di Jerman Barat dan Timur, serta di teater di seluruh dunia.
Sebagai seorang sutradara, prinsip utama Brecht adalah ia menyukai penonton yang tidak terikat atau
diasingkan dari pertunjukan agar menjaga emosi sehingga memungkinkan mereka untuk melihat
pertunjukan apa adanya. Ini disebut 'V-Effect', atau 'Verfremdungseffekt', sebuah perkembangan
baru dalam sejarah teater.
Keyakinannya adalah dengan tidak terlibat akan penderitaan karakter secara emosional, penonton
dapat fokus pada moral cerita dan tetap sepenuhnya objektif.
Dipengaruhi oleh teater Tiongkok dan Marxis, ia memiliki cara yang orisinal dan dinamis untuk
mengekspresikan dirinya, yang dapat dilihat dalam Mother Courage and Her Children, karya terkenal
yang ditulis pada tahun 1938-1939 namun berlatar belakang tahun 1600-an.
Selain dramanya, Bertold Brecht juga menulis puisi, termasuk occasional poem, puisi yang diiringi
musik dan ditampilkan dengan orkestra, lagu dan puisi untuk mengiringi dramanya, puisi pribadi
merekam anekdot emosional dan pemikiran, opera, dan puisi politik yang akan mengkritik Nazi dan
sikap Kapitalis.
Mengapa Brecht Begitu Penting Dalam Dunia Drama?
Tanpa keraguan, Bertolt Brecht adalah seorang yang jenius dan salah satu dramawan paling
berpengaruh di abad ke-20, yang menyebabkan kegemparan di seluruh dunia. Meskipun berasal dari
kota kecil di Jerman, kekuatannya membentang jauh ke luar Eropa.
Bertolt Brecht, dalam waktunya yang singkat, memperkaya teater, membentuk teater dan
perkembangan selanjutnya. Dia muncul dengan konsep-konsep revolusioner, yang masih terlihat di
teater modern saat ini. Ia menggunakan teater naturalistik sebagai upaya untuk memaksa perubahan
sosial, mendorong penontonnya untuk memikirkan hal-hal penting seperti kejahatan dan penderitaan
tanpa terjebak dalam perasaan.
Brecht ingin penonton tetap objektif ketika memasuki teater sehingga mereka dapat merespon
pertunjukan dengan cara yang rasional dan tidak emosional, menghilangkan moralitas dan makna
sebenarnya dari apa yang mereka tonton. Sebagai komposer saat latihan, Bert menjelaskan bahwa
penyekatan atau pemisahan sangat penting agar kolaborasi sastranya membangkitkan perasaan yang
tepat. Akibatnya, pembaca dan penonton tidak bisa tidak memperhatikan betapa relevan secara sosial
karya-karyanya dengan masalah nyata yang terjadi selama dan pasca perang. Brecht mungkin paling
terkenal karena teori komunisnya dan minatnya pada politik, yang sering menjadi elemen sentral dalam
banyak karya tertulis dan pertunjukannya.
Konon, Bertolt Brecht memiliki berbagai drama yang memberinya penghargaan dalam genre tersebut.
Teruslah membaca untuk mengetahui lebih lanjut tentang beberapa mahakarya Brecht yang
membantunya mendapatkan kekaguman dari orang-orang di seluruh dunia.
Karya Bertolt Brecht
• The Caucasian Chalk Circle
• Galileo
• The Good Woman of Setzuan
• Jungle of Cities
• The Measures Taken and Other Lehrstucke
• Mother Courage and Her Children
• The Resistible Rise of Arturo Ui
• The Threepenny Opera
Penggunaan Teknik Dalam Drama Bertolt Brecht
Jadi, teknik apa yang digunakan oleh seorang penulis drama terkenal untuk menggambarkan
ceritanya? Prinsip-prinsip apa yang dianut Brecht yang membuat karyanya sukses besar? Lihat di
bawah ini jenis teknik yang diterapkan penulis dan sutradara ke dalam penampilannya, atau cari tahu
lebih lanjut dengan mengambil kelas akting dan memerankan adegan dari dramanya.
Breaking the fourth wall
Dapat dibayangkan bahwa panggung dikelilingi oleh dinding, membentuk kubus, dan dinding
keempat adalah yang memisahkan panggung dari penonton. Alih-alih membiarkan penonton tersesat
dalam sebuah pertunjukan, para aktor akan mendobrak penghalang antara panggung dengan
penonton dan langsung berdialog kepada penonton. Mereka mungkin memberikan komentar,
memberikan penilaian, atau mengajukan pertanyaan kepada penonton untuk mendobrak tembok.
Meskipun umum terjadi di awal teater, drama menjadi lebih biasa untuk mencoba dan
membenamkan penonton dalam aksinya.
Montage
Seperti kedengarannya, montage adalah video klip pendek yang digunakan untuk menampilkan
peristiwa faktual. Brecht menggunakan ini cukup banyak untuk menyampaikan pesan, terkadang
untuk menyoroti masalah sosial atau politik tertentu. Terkadang, membandingkan klip dibuat untuk
membuat penonton benar-benar berpikir.
Lagu, musik, dan tarian
Brecht adalah pencinta lirik dan musik, sehingga tidak heran jika ia memasukkan elemen kreatif ini
ke dalam karyanya. Banyak dramanya termasuk lagu, tarian, dan musik, dan lagi-lagi dramawan
akan memainkan kata-kata atau reaksi dengan menempatkan musik ceria dan upbeat dengan lirik
kotor atau mengerikan.
Narasi
Narasi telah lama digunakan untuk menceritakan kisah saat terungkap, dan Brecht memanfaatkan ini
untuk keuntungannya, dia membuat narator mengingatkan penonton tentang apa yang mereka tonton,
terkadang memberi tahu mereka hal-hal yang akan terjadi di masa depan dalam waktu yang
diperkirakan. Ini, sekali lagi, untuk memberi mereka peringatan dan menghentikan mereka agar tidak
terpengaruh oleh keadaan secara emosional.
Minimal Akan Set, Kostum, Properti, Dan Pencahayaan
Brecht menjauh dari pencahayaan kreatif dan lebih suka membiarkan para aktor berbicara sendiri,
membuat panggung menyala terang. Dia juga tidak terlalu tertarik pada properti dan membuatnya
seminimal mungkin, hanya mengizinkan satu per karakter jika diperlukan. Dia sering bersikeras
bahwa properti ini didaur ulang dan digunakan kembali di tempat lain selama pertunjukan.
Keluar dari karakter
Agar tidak membodohi penonton untuk percaya bahwa situasi yang sedang berlangsung itu nyata
atau otentik, karakter memisahkan penonton dari cerita secara berkala dengan keluar dari karakter,
dalam upaya untuk mengingatkan mereka yang menonton bahwa mereka hanya menonton sepotong
fiksi. Ini pasti tampak sangat kontra-intuitif bagi para aktor yang terlatih dalam teknik akting untuk
membawa keaslian dan emosi yang sebenarnya ke panggung!
Menggunakan plakat
Plakat, atau layar proyeksi, kadang-kadang digunakan untuk memberi penonton beberapa informasi
faktual tambahan, misalnya, detail tentang perang atau peristiwa penting lainnya dalam sejarah yang
relevan dengan cerita. Plakat juga digunakan untuk memperkenalkan karakter, adegan, atau untuk
memberi tahu penonton ketika seseorang telah selesai.
Bingkai beku / tableaux
Akhirnya, sekali lagi Brecht menggunakan bingkai beku untuk membuat jeda dalam aksi. Sementara
beberapa dari teknik kontroversial ini digunakan untuk menghentikan penonton menjadi terlalu
terlibat dalam cerita, beberapa digunakan untuk memberi mereka waktu dan ruang untuk memikirkan
akting yang telah mereka lihat sesaat. Selama jeda singkat inilah teknik-teknik lain saling
bersilangan, seperti narator yang mengatakan karyanya, aktor yang keluar dari karakternya untuk
sementara atau pemain yang mendobrak dinding keempat, ya begitulah.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Pertunjukan teater merupakan pertunjukkan hasil kerja kolektif dari berbagai elemen. Elemen tersebut
meliputi tata artistik, tata cahaya, tata busana, tata rias, dan musik pengiring. Semua berkolaborasi
sehingga tercipta kesatuan pertunjukkan yang utuh. Keutuhan tersebut tak lepas dari peran sutradara.
Sutradara berperan dalam penggabungan elemen, sehingga tercipta pertunjukkan yang harmonis.
Kesuksesan pertunjukan lebih terlihat dalam diri aktor. Permainan aktor yang akan lebih terlihat oleh
penonton. Keberhasilan aktor terlihat jika aktor terlepas dari pribadinya. Aktor dituntut untuk bisa
berimajinasi seakan-akan dirinya sendiri adalah tokoh yang dimainkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor. Bandung: Rekamedia Multiprakarsa.


Asmara, Adhy. 1983. Apresiasi Drama. Yogyakarta : C.V Nur Cahaya.
Cicely, Berry. 1986. Voice and The Actor. London : HARRAP
Dewojati, Cahyaningrum. 2012. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta : Javakarsa
Media. Endraswara, Suwardi. 2014. Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan
Pengkajian). Jakarta : PT Buku Seru.
Harymawan, RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
I. Wayan Lendra, Bali and Grotowski, Some Parallels in the Training Process, in The drama Review,
A Journal of Performance Studies, Vol. 35. No 1 (T129), MIT Press, Cambridge, 19
Samsudin, 2023. Drama Dalam Dimensi Seni Pertunjukan. Yogyakarta:deepublish
https://akuaktor.com/mengenal-sedikit-lebih-dalam-sistem-stanislavski/

Anda mungkin juga menyukai