MAKALAH
Disususn guna memenuhi tugas mata kuliah apresiasi drama
Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
Dr. Akhmad Tufiq, SS., M.Pd.
Fitri Nura Murti, S.Pd., M.Pd.
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas anugerah dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Formula Dramaturgi”.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Apresiasi
Drama. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai formula
dramaturgi bagi pembaca dan penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd., dan
Ibu Fitri, S.Pd., M.Pd., selaku dosen mata kuliah Stilistika yang telah memberikan tugas ini,
sehingga penulis dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis menyadari, makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangunakan penulis
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya kajian drama atau lakon memiliki kesamaan dengan kajian-kajian genre
sastra lainnya, seperti prosa dan cerpen. Kajian drama, prosa, dan puisi, sesungguhnya ingin
memahami makna yang ada di balik cerita atau peristiwa yang diungkapkan. Perbedaan
ketiganya terletak pada cara mengajinya, mengingat bahwa ketiga genre tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda. Drama diciptakan untuk dipentaskan di atas panggung (teater).
Sedangkan prosa dan puisi diciptakan untuk dibaca. Meskipun keduanya juga memungkinkan
untuk dipentaskan, tetapi penciptaan genre puisi dan cerpen yang utama untuk dibaca.
Drama, lakon, atau disebut juga sastra drama, memiliki struktur wacana yang berbeda. Hal
itu dapat segera dilihat ketika menghadapi naskah drama. Kesan pertama yang terlihat adalah,
drama diungkapkan dalam dialog-dialog. Berbeda dengan novel dan cerpen (prosa), yang lebih
menjabarkan ceritanya melalui pelukisan pelukisan dan penggambaran-penggamran tentang
tokoh, latar, dan peristiwa. Berbeda pula dengan puisi yang lebih ringkas dan padat yang lebih
ringkas dan padat dalam bentuk baris-bari dalam bentuk baris-baris dan bait-bait (tipografi).
Drama menceritakan peristiwa melalui dialog-dialog tokoh. Kalau ada penggambaran, hal itu
hanya sekedar notasi atau petunjuk laku bagi actor atau tokoh secara singkat dan petunjuk
tentang panggung tempat tokoh-tokoh tersebut berdialog. Dengan kata lain, drama ditulis
sebagai pedoman, acuan, dan sumber pelakonan dalam suatu pelakonan dalam suatu
pementasan teater.
1.3 Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dramaturgi
Jika bahasa memiliki Linguistik, film memiliki Sinematografi, sosial memiliki
Sosiologi, budaya memiliki Antropologi, maka drama dan teater memiliki dramaturgi sebagai
ilmunya. Dramaturgi merupakan ilmu yang me- ngaji dan mempelajari tentang segala aspek
drama dan teater. Menurut Santoso dkk. (2008: 2-3), dramaturgi ber- asal dari bahasa Inggris
dramaturgy yang berarti seni atau tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk
teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi mem- bahas proses penciptaan teater mulai
dari penulisan naskah hingga pementasannya.
Dalam pengertian yang lain, Tambayong dalam bukunya berjudul 123 Ayat Tentang
Seni menjelaskan dramaturgi itu kurang lebih adalah pola atau materi dasar seni pertunjukan
dalam seni tradisi kebudayaan Yunani sejak 500 tahun SM, diterangkan bentuknya dalam dua
ciriyang masing-masing kita kenal saat ini melalui gambaran topeng, yaitu “topeng menangis”
untuk drama yang disebut tragedi, dan “topeng tertawa” untuk drama yang disebiut komedi
(2012:190). Meski Tambayong dalam bukunya tersebut menolak dramaturgi sebagai ilmu,
sebagaimana yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun demikian
pengertian ilmu dalam konteks ini disebut sebagai ‘ilmu’ (dalam tanda petik). Artinya,
dramaturgi merupakan pengetahuan tentang penciptaan drama, baik dalam dimensinya sebagai
genre sastra maupun dalam dimensi seni pertunjukan. Apalagi jika memperhatikan
perkembangan wacana pengetahuan tentang drama/teater digali dari negara-negara Barat,
bukan semata-mata diserap langsung dari Yunani, meski secara etimologis kata ‘dramaturgi’
berasal dari bahasa Yunani dramatourgi.
Dramaturgi adalah ilmu yang mempelajari bangun- an sandiwara (Rendra, 1993:95).
Sebagai sebuah ilmu, tentu dramaturgi mesti memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai
landasannya, seperti ilmu-ilmu lain. Namun yang perlu diingat, bahwa dramaturgi memiliki
kekhasan untuk disebut sebagai ilmu. La cenderung dianggap masih dalam tataran sebagai
pengetahuan, belum menjadi sebuah ilmu. Dramaturgi masih dianggap sebagai pengetahuan
tentang drama dan teater. Bahkan sulit untuk menemukan referensi yang membahas khusus
tentang dramaturgi sebagai ilmu dalam khazanah pengetahuan kesenian di Indonesia.
2
dan drama sebagai seni pertunjukan. Berdasarkan substansinya, baik sebagai genre sastra
maupun sebagai seni pertunjukan, drama merupakan interpretasi kehidupan secara kreatif,
fiktif, imajinatif, dan estetik.
Drama pada dasarnya memahami problematika atau konflik kehidupan yang dialami
manusia dari sudut pandang seni, yaitu seni sastra dan seni teater. Dapat dikatakan, pada
hakikatnya drama adalah konflik dalam kehidupan manusia. Hal itulah yang menjadi obyek
material dramaturgi sebagai ilmu atau pengetahuan. Objek formal dramaturgi meliputi dimensi
drama sebagai karya sastra dan seni pertunjukan (teater) merupakan titik pijak atau sudut
pandang mengkaji tentang drama.
Upaya seseorang dalam memahami drama berkisar pada dua proses berdasarkan
dimensi drama itu sendiri. Pertama, dalam dimensi drama sebagai karya sastra, upaya
seseorang memahami drama adalah dalam rangka menemukan makna yang terkandung dalam
drama. Kedua, dalam dimensi drama sebagai seni pertunjukan, seseorang memahami drama
untuk mewujudkannya ke dalam permainan di atas panggung. Maka, kedua upaya memahami
drama dalam dua dimensi tersebut, menempatkan hubungan seseorang (subyek yang
memahami) dengan drama (obyek yang dipahami) bersifat fleksibel.
Berdasarkan fleksibilitas hubungan di atas, maka posisi yang bisa diambil oleh
seseorang di dalam memahami drama akan menentukan jarak kedekatan antara orang itu
(subyek) terhadap drama (obyeknya). Posisi atau kedudukan seseorang di dalam memahami
drama akan berkisar berikut :
1. Seseorang dapat berposisi sebagai seorang pengkaji atau peneliti untuk mengungkapkan
makna drama.
2. Seseorang dapat berposisi sebagai penghayat atau pemaham tentang makna drama.
3. Seseorang sebagai kreator yang menggali drama sebagai sumber kreatifnya dalam rangka
proses penggarapan drama ke dalam pertunjukan teater.
4. Seseorang dapat berposisi sebagai penghayat dan pemaham terhadap tokoh dan peristiwa
yang diceritakan untuk ditransfer ke dalam peran yang dimainkan.
Keempat posisi atau kedudukan itulah yang akan menentukan sejauh mana jarak atau
kedekatan yang bisa diambil terhadap drama sebagai obyek yang hendak dipahami. Pada
kedudukan keempat, hubungan antara seseorang terhadap drama seolah melebur dan tanpa
batas. Dengan cara seperti itulah, seseorang akan mampu mewujudkan dirinya ke dalam
permainan peran di atas pentas. Sebaliknya, pada kedudukan pertama, hubungan seseorang
terhadap drama terdapat jarak untuk memungkinkan seseorang itu dapat menggali dan
mengkaji apa yang hendak digali dan dikaji.
5
sebagai orang yang me-wujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton sebagai
komunikan
4. Menyaksikan
Tahap atau kegiatan terakhir dalam formula dramaturgi adalah menyaksikan. Kegiatan
menyaksikan berbeda dengan ketiga kegiatan sebelumnya. Menyaksikan dilakukan oleh
penonton, sementara kegiatan menghayal, menuliskan, dan memainkan dilakukan oleh pelaku
yang memerankan pertunjukan. Pementasan teater dapat dikatakan berhasil jika pesan yang
hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton. Penonton pergi menyaksikan
pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan terhadap kebutuhan dan
keinginannya terhadap tontonan tersebut.
6
memahami apa yang dikemukakan dalam keempat wilayah kajian dramaturgi tersebut. Mereka
tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman saja, tetapi juga membutuhkan ilmunya.
Perpaduan antara keduanya dapat menjamin apa yang mereka geluti dapat berkembang dan
mencapai kualitas.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian materi di atas tentang formula bahwa dramaturgi itu memiliki kekhasan
untuk disebut sebagai ilmu. Dramaturgi sebagai ilmu diperoleh dan dikembangkan melalaui
kegiatan penkajian, penganalisisan, dan penelitian mendalam tentang objeknya. Selanjutnya,
hasil-hasilnya akan menjadi konsep-konsep dan proporsisis-proporsisi sebagai isi dari
dramaturgi. Tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan formula
dramaturgi. Formula ini disebut dengn 4 M yang terdiri dari, menghayal, menuliskan,
memainkan, dan menyaksikan. Sebagai ilmu dramaturgi memiliki cakupan maupun wilayah
kajian yang dapat dipelajari yaitu : Dramaturgi, seni peran atau akting, penyutradaraan, dan
manajemen pementasan drama/Teater.
8
DAFTAR PUSTAKA