Anda di halaman 1dari 16

Kelompok 1

MAKALAH
FILSAFAT KETUHANAN DAN KENABIAN SEBAGAI SYAR’I

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr Syarifuddin

Disusun Oleh:

Fitria Auliani Sagita


2112140142
Siti Apriyani Rosu
2112140155
Ahmad Fajri
2112140192

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
2024 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya
tim penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Filsafat Ketuhanan Dan
Kenabian Sebagai Syar’i”.Makalah ini disusun dalam rangka memahami Filsafat
Hukum Islam.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya
kepada Bapak Dr.Syarifuddin selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Hukum
Islam yang telah memberikan tugas terhadap kami ini.

Kami menyadari betapa pentingnya Filsafat Ketuhanan Dan Kenabian


Sebagai Syar’i. Oleh karena itu, melalui makalah ini, kami berharap dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai memahami Filsafat
Ketuhanan Dan Kenabian Sebagai Syar’i. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca nya.

Palangka Raya, Maret 2024

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………….....2

Daftar Isi……………………………………………………………….......3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….…4

A. Latar Belakang…………………………..…………………………......4

B. Rumusan Masalah…………………………………..………………….5

C. Tujuan Penulisan…………………………………………………...…..5

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………..…….6

1. Kedudukan Allah sebagai tuhan/pencipta dalam perspektif akidah.........6

2. Allah sebagai syar'i dalam perspektif ushul fiqh …………………….....7

3. Fungsi Dan Peran Rasul Dalam Perspektif Akidah ……………………10

4. Rasul sebagai syari dalam perspektif ushul figh………………………..12

BAB III PENUTUP……………………………...……………………..…..15

A. Kesimpulan…………………………………………..…………….…..15

B. Saran……………………………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………...……………………..16

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran
dan hakikat dari sesuatu. la berbicara tentang hakikat sesuatu.
Manusia adalah makhluk yang diberikan Allah keistmewaan dibanding makhluk
lain, yaitu akal. di dalam al- Qur'an, di banyak kesempatan Allah menyuruh makhluk-
Nya untuk menggerakkan akalnya, berpikir untuk mengetahui. hakikat sesuatu yang
ada di alam ini (inna fi dzalika laayatan li ulil albab, la'allakum tatafakkarun,
la'allakum ta'qilun, afala tatafakkarun). Dalam haditsnya Rasulullah saw juga bersabda,
yang artinya "pikirkanlah hakikat ciptaan Allah, dan janganlah kamu sekalian
memikirkan hakikat Allah.
Filsafat yang menjadi salah satu disiplin ilmu dan sekaligus metode berpikir
memuat dua buah objek. Pertama objek materia, kedua objek forma. Objek materia
filsafat berisi segala sesuatu yang dipersoalkan dan objek formanya berisi usaha
mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai keakarnya) tentang
obyek materi filsafat tersebut. Filsafat kenabian menujukan pemahaman bahwa objek
materia yang menjadi persoalan filsafat adalah konsep kenabian. Konsep kenabian ini
berusaha dibongkar sedalam- dalamnya sampai menemukan kesimpulan-kesimpulan
yang universal. Persoalan kenabian merupakan persoalan agama. Ketika mengkaji
filsafat kenabian, maka perlu kita pahami bahwa kajian ini termasuk dalam ranah
keagamaan. Benar, konsep kenabian hanya diakui oleh agama. Prinsipnya, nabi adalah
manusia pembawa berita langit yang berbicara atas nama Tuhan.
Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan panjang yang tak
berujung hingga saat ini.. Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar
atas teori kenabian ini adalah Ibnu Sina. Dalam sejarah Islam, perdebatan tentang
wacana kenabian diwakili dua kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang
direpresentasikan oleh para teolog Sunni.
Dalam pandangan Kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah anugerah
dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada
siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum

4
heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian
sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.1

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Kedudukan Allah sebagai tuhan/pencipta dalam perspektif akidah?
2. Jelaskan Allah sebagai syar'i dalam perspektif ushul fiqh?
3. Jelaskan Fungsi Dan Peran Rasul Dalam Perspektif Akidah?
4. Jelaskan Rasul sebagai syari dalam perspektif ushul figh?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Kedudukan Allah sebagai tuhan/pencipta dalam perspektif akidah.
2. Untuk Mengetahui Allah sebagai syar'i dalam perspektif ushul fiqh.
3. Untuk Mengetahui Fungsi Dan Peran Rasul Dalam Perspektif Akidah.
4. Untuk Mengetahui Rasul sebagai syari dalam perspektif ushul figh

1
Rusdi, K. (2014). Pengantar Filsafat Hukum Islam.

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kedudukan Allah Sebagai Tuhan/Pencipta Dalam Perspektif Akidah


Pokok bahasan akidah Islam menyangkut rukun iman yang enam. Semua hal tersebut
tidak bisa dibuk- tikan kebenaran atau kesalahannya dengan menggu- nakan panca
indera atau akal manusia semata. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang lebih
mengetahui. tentang Allah, tentang sifat yang wajib ada bagi-Nya dan apa yang harus
disucikan dari-Nya, melainkan Allah sendiri. Kemudian selain dari Allah tidak ada yang
lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah SAW. Oleh karena itu, sumber yang
digunakan untuk menetapkan. persoalan akidah terbatas pada informasi (bayun) yang
berasal dari Allah dan dari Rasulullah SAW, yakni Alquran dan sunah.
Persoalan akidah apapun yang ditunjukkan oleh Alquran dan as-Sunah tentang hak
Allah maka wajib diimani, diyakini, dan diamalkan. Adapun persoalan yang tidak
ditunjukkan oleh Alquran dan as-Sunah maka harus ditolak dan dinafikan dari Allah.
Tidak ada ruang sedikitpun bagi akal untuk menggali konsep- konsep akidah Islam.
Demikianlah metode para shahabat dan tabi'in dalam menetapkan persoalan akidah.
Oleh karena itu, tidak ada pertentangan di antara mereka di dalam akidah. Bahkan,
akidah mereka adalah satu dan jamaah mereka juga satu. Karena Allah sudah menjamin
orang yang berpegang teguh dengan Alquran dan sunah rasul-Nya dengan kesatuan kata,
kebenaran akidah dan kesatuan manhaj tidak akan berpecah-belah.2
Dalam perspektif akidah atau keyakinan agama, kedudukan Allah sebagai Tuhan atau
Pencipta adalah esensial dan sangat penting. Sebagai Pencipta, Allah dianggap sebagai
sumber segala keberadaan, kekuatan, dan kehidupan di alam semesta. Allah diakui
sebagai entitas yang maha kuasa, maha bijaksana, dan maha pemurah. Beberapa poin
kunci dalam mendeskripsikan kedudukan Allah sebagai Tuhan/Pencipta dalam
perspektif akidah adalah sebagai berikut:
1. Kedaulatan Mutlak: Allah dianggap memiliki kedaulatan mutlak atas alam semesta
dan ciptaan-Nya. Segala sesuatu tunduk kepada kehendak-Nya dan kekuasaan-Nya yang
tidak terbatas.

2
Suryani, I., Ma'tsum, H., Fittria, M., & Tarmizi, M. (2021). Peta Konsep Terminologi Teologi dan Ruang
Lingkup Studi Akidah Akhlak. Islam & Contemporary Issues, 1(1), 11-22.

6
2. Kekuasaan dan Penciptaan: Sebagai Pencipta, Allah diakui memiliki kekuasaan
untuk menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan menjadi keberadaan. Semua yang ada
di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya yang diciptakan dengan kebijaksanaan dan
tujuan tertentu.
3. Kehidupan dan Kematian: Allah adalah Maha Pemberi kehidupan dan Maha
Pemilik kehidupan serta kematian. Semua makhluk hidup bergantung pada-Nya dan
kembali kepada-Nya setelah ajal tiba.
4. Maha Bijaksana: Allah dianggap sebagai sumber segala kebijaksanaan dan
pengetahuan mutlak. Setiap tindakan-Nya adalah penuh hikmah dan tujuan yang baik.
5. Maha Adil dan Maha Pemurah: Allah dianggap sebagai Pemilik sifat-sifat mulia
seperti keadilan dan kemurahan hati. Dia memberikan balasan yang adil dan pahala
yang besar bagi hamba-Nya yang taat.
6. Kemahabesaran dan Kebesaran Allah: Allah diakui sebagai Zat yang Maha Agung
dan Maha Mulia. Kebesaran-Nya tidak terbanding dengan apapun dan segala sesuatu
tunduk kepada-Nya

2. Allah Sebagai Syar'i Dalam Perspektif Ushul Fiqh

Secara etimologi azimah adalah tekad yang kuat. Adapun secara terminologi
terdapat beragam redaksi dari para ushuliyyin dalam mendefinisikan azimah,
misalkan syeikh abdul wahab kholaf menyebutkan bahwa azimah adalah :Hukum
universal yang disyariatkan Allah sebagai hukum permulaan dan berlaku disetiap
kondisi dan pada setiap mukallaf (Kholaf, 2023). Senada dengan definisi di atas
Prof Wahbah Azzuhaili menyebutkan bahwa azimah adalah: Hukum universal yang
disyariatkan secara permulaan agar menjadi aturan dan berlaku umum atas semua
mukallaf dan disetiap kondisi (Zuhaili, 1986). Lalu dengan redaksi yang sedikit
berbeda Abdul Aziz Muhammad Azzam mendifinisikan azimah sebagai Hukum
tetap yang didasari dalil syar'i yang tidak didapati dalil lain yang besifat kontra dan
lebih rajih (Azzam, 2005). Adapun rukhsoh secara etimologi adalah kemudahan
atau perpindahan dari perkara yang sulit ke kondisi yang lebih mudah. Adapun
secara terminologi Rukhsoh diartikan sebagai sesuatu yang disyariatkan Allah
dalam rangka meringankan beban bagi seorang mukallaf dikarena sedang dalam
kondisi yang mengharuskan adanya keringanan, seperti kondisi yang sangat sulit
atau adanya kondisi darurat yang tak bisa dihindari (Kholaf, 2023).

7
Dari beberapa keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa azimah adalah
ketentuan asal dari syariat yang berlaku pada setiap mukallaf dalam kondisi normal,
dengan kata lain hukum wajibnya puasa bagi muslim yang sedang tidak sakit atau
bepergian, dan haramnya memakan daging babi disaat tidak darurat dan sejenisnya
itulah yang disebut hukum azimah. Adapun rukhshoh adalah kebalikannya yaitu
ketentuan yang diberlakukan dalam kondisi tidak normal seperti kondisi darurat
yang mengakibatkan hilangnya nyawa, sepertinya halalnya makan babi ketika
dalam kondisi lapar yang hebat dan tidak didapati makanan halal yang bisa
menghilangkan rasa lapar tersebut, juga seperti bolehnya tidak berpuasa pada bulan
ramadhan bagi orang sakit atau musafir.

Konsep azimah dan rukhsohnya sejatinya menegaskan kesempurnaan syariat


Islam yang bisa diberlakukan baik dalam kondisi normal ataupun darurat, dan
merupakan kezaliman dalam beragama jika menerapkan hukum azimah dalam
kondisi rukhsoh, begitupun sebaliknya jika menerapkan rukhshoh dalam kondisi
azimah. Dari sudut hukum maka azimah terbagi menjadi lima; ada yang bersifat
wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. contoh wajib seperti shalat, haji, puasa.
Contoh sunnah seperti sedekah mengawali uacapan salam. Contoh haram seperti
berzina, membunuh. Contoh makruh seperti memakan sesuatu yang berbau
menyekat. Contoh mubah seperti tidur, makan dan lain sebagainya. Adapun
rukhsoh dari sisi hukum Syeikh khudhori menyebutkan beberapa pendapat, yang
pertama pendapat imam assyathibi yang menyatakan hukum rukhshoh ibahah atau
boleh secara mutlak. Syatibi berargumen dengan beberapa dalil di antaranya ayat-
ayat rukhshoh seperti pada Al maidah ayat 3 dan beberapa argumentasi lainnya.3

Kalimat ushul figh berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata, al-ushul
dan al-fiqh. Kata al-ushul adalah jamak dari kata al-ashl yang artinya pondasi atau
landasan untuk membangun sesuatu. Sedangkan al-fiqh berarti pemahaman secara
mendalam yang membutuhkan potensi akal.

Ushul figh adalah ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang
dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari

3
Purnomo, B. (2023). Analisa Fatwa MUI Di Masa Covid 19 Dalam Perspektif Ushul Fiqih: Konsep Azimah
Dan Rukhshoh. NALAR: Journal Of Law and Sharia, 1(2), 120-130.

8
sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang- kadang ilmu ini digunakan untuk
menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum
dengan. mempergunakan dalil ayat-ayat Al-Qur'an dan As-Sunnah yang
berhubungan dengan perbuatan mukalaf, dirumuskan berbentuk hukum figh supaya
dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu
yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan
menggunakan dalil. (Muhsin Haryanto, 2015:2)

Menurut Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam bukunya yang berjudul Tahrir,
memberikan definisi ushul figh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang
dijadikan sarana untuk menggali hukum- hukum figh, atau dengan kata lain, ushul
figh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara penggalian hukum-
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar'i. (Abu
Zahrah, 2013:3).

Oleh karena itu, ushul figh merupakan metode yang harus ditempuh oleh ahli
figh, dalam menetapkan hukum-hukum syara' berdasarkan dalil-dalil syar'i, serta
mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan kualitas.

Proses kehidupan dan kebudayaan manusia yang semakin dinamis ini, tentunya
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak ada pada masa lalu, ataupun
tidak tersurat dari Al-Qur'an maupun As- Sunnah. Disinilah pentingnya ilmu ushul
figh, karena bisa menetapkan hukum-hukum tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah
(batasan-batasan) yang diajarkan oleh para ulama terdahulu, bukan hanya
menggunakan hasil atau produk yang dibuat oleh para ulama terdahulu.4

Dalam perspektif ushul fiqh, yang merupakan cabang dari ilmu ushul al-fiqh
yang mempelajari prinsip-prinsip hukum Islam, deskripsi tentang Allah sebagai
Syar'i memiliki makna yang penting. Berikut adalah beberapa konsep yang relevan
mengenai Allah sebagai Syar'i dalam perspektif ushul fiqh:

1. Kedaulatan Allah: Allah dianggap sebagai sumber hukum tertinggi (asal)


dalam Islam. Setiap hukum dan peraturan yang ada berasal dari kehendak-Nya dan
kekuasaan-Nya yang mutlak.

4
Hermawan, I. (2019). Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam. Hidayatul Quran.

9
2. Kewahyuan: Dalam ushul fiqh, keputusan hukum Islam diyakini berasal dari
wahyu Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Allah sebagai Syar'i menetapkan hukum-hukum tersebut untuk menjadi pedoman
bagi umat manusia.

3. Sifat-sifat Allah: Dalam perspektif ushul fiqh, sifat-sifat Allah yang terkait
dengan hukum-hukum-Nya, seperti keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan,
ditekankan sebagai landasan dari hukum-hukum Islam yang diturunkan-Nya.

4. Keadilan: Allah dianggap sebagai sumber keadilan yang sempurna. Hukum-


hukum yang ditetapkan-Nya dalam syariat Islam didasarkan pada prinsip keadilan
untuk memberikan arahan yang adil bagi umat manusia.

5. Penetapan Hukum: Allah sebagai Syar'i memiliki kewenangan mutlak untuk


menetapkan hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Manusia
diwajibkan untuk tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum tersebut.

6. Kebijaksanaan: Hukum-hukum Islam yang diturunkan Allah dianggap


mendasar sebagai ekspresi dari kebijaksanaan-Nya. Setiap aturan atau larangan
yang terdapat dalam syariat Islam diyakini bermanfaat dan sesuai dengan
kebutuhan manusia.

Dalam ushul fiqh, pemahaman tentang Allah sebagai Syar'i penting untuk
menjelaskan dasar-dasar hukum Islam, etika, dan tata nilai dalam kehidupan umat
Islam. Konsep keberadaan hukum Allah sebagai hukum yang harus diikuti dan
dihormati merupakan inti dari upaya para ulama dalam memahami dan
mengimplementasikan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

3. Fungsi Dan Peran Rasul Dalam Perspektif Akidah


Dalam bukunya An-Nubuwwah wal Anbiya', Muhammad Ali Ash-Shabuni
menyebutkan tugas rasul, yaitu sebagai berikut:5
1. Mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah, Dzat yang Maha Esa lagi Maha
perkasa. Ini merupa- kan tugas pokok sebagaimana ditegaskan dalam Al- Qur'an yaitu
dalam Q.S. Al-Anbiya' (21): 25.

5
Amri, M., & La Ode Ismail Ahmad, M. R. (2018). Aqidah Akhlak. Cet. I.

10
2. Menyampaikan perintah dan larangan Allah. Ditegaskan dalam Al-Qur'an yaitu
dalam Q.S. Al- Ahzab (33): 39.
3. Memberikan petunjuk pada jalan yang benar kepada manusia. Ditegaskan dalam Al-
Qur'an yaitu dalam Q.S. Al-Ahzab (33): 45-46.
4. Menjadi panutan bagi setiap manusia. Ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. Al-Ahzab
(33): 21.
5. Memberi peringatan tentang adanya hari kebang- kitan, dan tentang siksa yang berat
sesudah mati.
6. Mengalihkan perhatian manusia dari kehidupan yang fana pada kehidupan yang
kekal. Ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. Al-Ankabut (29): 64.
7. Supaya tidak ada lagi alasan bagi manusia kelak dihadapan Allah. Ditegaskan oleh
Allah dalam Q.S.
Dalam perspektif akidah atau keyakinan, kedudukan Allah sebagai Tuhan dan Pencipta
adalah central dan fundamental dalam Islam. Dalam ajaran Islam, Allah diakui sebagai
Satu-satunya Tuhan yang Maha Esa, Maha Pencipta, dan Maha Pengatur alam semesta
dan segala isinya. Berikut adalah beberapa poin utama yang menjelaskan kedudukan
Allah sebagai Tuhan dan Pencipta dalam perspektif akidah:
1. Pencipta Alam Semesta: Allah dianggap sebagai Pencipta alam semesta beserta
isinya. Dia menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan menjadi keberadaan dengan
kekuasaan-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.
2. Pemelihara dan Pengatur: Allah tidak hanya menciptakan alam semesta, tetapi juga
memelihara dan mengatur seluruh makhluk dan peristiwa di dalamnya. Segala sesuatu
tunduk pada kehendak dan kuasa-Nya.
3. Penyembahan yang Eksklusif: Posisi Allah sebagai Tuhan dan Pencipta menjadikan-
Nya layak untuk disembah secara eksklusif. Dalam Islam, ibadah hanya boleh ditujukan
kepada Allah semata, tanpa keterlibatan makhluk lain.
4. Kesempurnaan Sifat-sifat Allah: Allah diakui memiliki sifat-sifat luhur seperti
Kebijaksanaan, Keadilan, Kasih Sayang, dan lain-lain. Sifat-sifat ini memberikan
gambaran tentang kebesaran dan keagungan-Nya.
5. Kemahaesaan Allah: Allah dianggap sebagai Zat yang Maha Agung dan Maha
Tinggi. Tidak ada yang mendekati kebesaran-Nya dan segala sesuatu bergantung pada-
Nya.

11
6. Solusi atas Keberadaan: Keyakinan akan Allah sebagai Pencipta memberikan solusi
atas pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai asal-usul kehidupan dan makhluk, serta
memberikan tujuan dan arah hidup bagi manusia.

4. Rasul Sebagai Syari Dalam Perspektif Ushul Figh


Hubungannya dengan persoalan- persoalan syariah, Abdul Wahab Khallaf
mempertanyakan Apakah akal mampu untuk mengetahui ketentuan- ketentuan Allah
baik berupa kewajiban atau larangan tanpa melalui wahyu atau tanpa rasul. (Wahhab
Khallaf, 1970: 108) Jadi itu berkenaan dengan orang yang belum mendapat penjelasan
dari seorang rasul atau disebut sebagai Ahlul Fatrah.
Secara umum al-Syahrastani menyebutnya sebagai orang yang belum mengetahui
adanya Wahyu tentu saja bila dihadapkan pada masa sebelum datangnya Rasul yaitu
pada masa fatrah atau bara'ah, maka jawabannya antara kelompok mu'ta- zilah,
maturidiyah dan asy'ariyah terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena Mu'tazilah tidak menga- kui adanya masa fatrah mereka menjelaskan bahwa
di samping adanya mereka juga mengakui adanya. Oleh sebab itu akal mampu
mengetahui tentang baik atau buruknya sesuatu maka tentu saja akibatnya adalah taklif
saja yang melaksanakan taklif akan diberi pahala atau upah dan siapa saja yang
meninggalkannya akan diberi siksa atau dosa. mengakui adanya masa fatrah dan tidak
mengakui adanya maka akal tidak dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan
karena itu menurut Asy'ariyah tidak ada hukum atau taklif sebelum datangnya wahyu
tidak ada pahala dan dosa tidak diberi pahala orang yang mengerjakan sesuatu dan tidak
disiksa orang yang meninggalkan sesuatu pada masa fatrah atau pada masa Bara atul
Ashliyah ini pada hakikatnya tidak ada keharusan untuk mengerjakan sesuatu atau
meninggal- kan sesuatu atau dengan kata lain boleh saja mengerjakan atau me-
ninggalkan sesuatu.
Masalah yang timbul selanjutnya adalah bagaimana setelah datangnya wahyu apakah
akal masih dapat atau diperbolehkan menetapkan sesuatu secara mandiri ataukah hanya
ber- fungsi sebagai alat bantu untuk memahami apa yang tertuang di dalam nash atau
wahyu apalagi secara literal wahyu memiliki keterbatasan dalam memuat persoalan-
persoalan hukum apa lagi yang sifatnya terperinci.6

6
Alwana, H. A. (2020). Aliran Pemikiran Ushul Figh dan Pengaruhnya terhadap Pendekatan Hukum Islam.
JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 19(2), 147- 162.

12
Beberapa aliran dalam Ushul Figh lahir sejak abad ke-2 Hijriyah (Wahhab Khallaf,
1978: 16) berangkat dari keadaan pada awal abad Hijriyah ini tidak diperlukan karena
keberadaan Rasulullah masih bisa mengeluarkan fatwa dan menetapkan suatu hukum
berdasarkan Wahyu yang ia terima disamping sunnah beliau sendiri. Disamping itu
sejatinya ijtihad Rasul tidak membutuhkan Ushul Figh atau kaidah-kaidah yang dapat
membantu beliau melakukan istinbath dan ijtihad.
Ketika dunia Islam sudah semakin meluas mereka tidak lagi hanya terdiri dari
kalangan bangsa Arab jumlahnya sudah semakin banyak. Hal ini menyebab- kan
terjadinya asimilasi kebudayaan,interaksi sosial, serta pencampuran dan penyerapan
bahasa akibatnya pema- haman terhadap teks mulai dipengaruhi oleh perkembangan
masyarakatnya ter- sebut. Hal inilah yang mendorong munculnya kebutuhan akan batas-
batas dan kaidah bahasa yang dapat mendukung pemahaman al-Nushush agar
pembangunan tersebut tetap pada maksudnya semula inilah yang mendorong lahirnya
ilmu Ushul Figh
Ilmu ini berkembang dengan pesat bersamaan dengan pesatnya per- kembangan
hukum Islam atau figh karena setiap Imam Mujtahid selalu memberikan petunjuk
dengan dalil hukum yang di- sertai metodologi atau Ushul Figh secara
berkesinambungan, mereka menyusun ilmu ini dengan uraian yang panjang lebar, juga
ada yang membuat secara ringkas para ulama kalam meniru cara- cara dan metode serta
sistem yang dikembangkan ilmu ini namun ulama Hanafiyah menempuh cara lain dalam
penyusunan ilmu Ushul Figh mereka.(Wahhab Khallaf, 1978: 17-20)
Ketidaksepakatan para ulama dalam menggunakan istilah-istilah dan cara-cara yang
ditempuh dalam pembahasan Ushul Figh telah melahirkan corak pandangan atau aliran
dalam Ushul Figh sekurang- kurangnya pada abad ke-5 dan ke-6 Hijriyah telah muncul
tiga aliran pemikiran Ushul Figh, yaitu; (Khudari Bek, 1969: 6 dan 9) Aliran
Mutakallimin; Aliran Fuqaha; dan Aliran Gabungan. (Busyro, 2017b: 44-47
Dalam perspektif Ushul Fiqh, Rasul (Nabi) dianggap sebagai Syari atau legislator
kedua setelah Allah. Konsep Rasul sebagai Syari memiliki implikasi penting dalam
menetapkan hukum-hukum Islam dan menjadi penjelasan tentang bagaimana
melaksanakan ajaran agama dengan benar. Berikut adalah beberapa poin utama yang
menjelaskan Rasul sebagai Syari dalam perspektif Ushul Fiqh:
1. Penyampai Wahyu: Rasul merupakan utusan Allah yang bertugas menyampaikan
wahyu-Nya kepada umat manusia. Ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
Sunnah merupakan wahyu yang disampaikan oleh Rasul kepada umat manusia.
13
2. Penjelasan dan Implementasi Hukum: Rasul tidak hanya menyampaikan wahyu Allah,
tetapi juga memberikan penjelasan dan contoh terkait penerapan hukum-hukum Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Sunnah Nabi merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an yang dijadikan pedoman dalam memahami dan mengimplementasikan
ajaran Islam.
3. Kewenangan Legislatif Terbatas: Meskipun Rasul memiliki wewenang sebagai Syari
untuk menetapkan hukum-hukum agama, kewenangan ini terbatas pada penyampaian
wahyu yang diterimanya dari Allah. Oleh karena itu, hukum-hukum yang ditetapkan
Rasul harus selaras dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.
4. Sunnah sebagai Sumber Hukum: Sunnah Nabi mengandung petunjuk dan contoh
konkret tentang bagaimana menjalankan ajaran Islam sesuai dengan kemauan Allah.
Pengamalan Sunnah menjadi bagian integral dalam memahami dan menjalankan
hukum-hukum Islam.
5. Ketaatan dan Kepatuhan: Ketaatan terhadap Rasul sebagai Syari merupakan bagian
penting dalam menjalankan ibadah dan hukum-hukum Islam. Mengikuti petunjuk
dan tuntunan Rasul adalah kunci dalam meraih keberkahan dan ridha Allah

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filosofi ketuhanan dan kenabian sebagai syar'i merupakan landasan utama dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam. Konsep ketuhanan yang
mengacu pada keesaan Allah sebagai sumber segala keberadaan dan kekuasaan
tertinggi, serta kenabian yang menunjukkan wahyu Allah melalui para nabi sebagai
pedoman hidup umat manusia, menjadi pondasi penting dalam ajaran Islam.
Filosofi ini mencerminkan prinsip-prinsip inti agama Islam yang meliputi
keimanan, ibadah, akhlak, dan tata cara hidup yang sesuai dengan ajaran-Nya.

B. Saran
1. Pemahaman Mendalam: Dalam memahami filosofi ketuhanan dan kenabian
sebagai syar'i, penting untuk terus mendalami ajaran agama Islam melalui studi
Al-Qur'an, hadis, dan kajian ilmiah yang mendukung. Pembelajaran yang
mendalam akan memperkuat keyakinan dan pengetahuan kita tentang aspek-
aspek esensial dalam ajaran Islam.

2. Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari: Penting untuk menerapkan nilai-


nilai yang terkandung dalam filosofi ketuhanan dan kenabian dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini meliputi ketaatan terhadap perintah Allah, mengikuti contoh
Nabi Muhammad sebagai teladan, serta menjalankan ibadah dan akhlak yang
sesuai dengan ajaran Islam.

3. Berbagi Pengetahuan: Dukunglah penyebaran pengetahuan tentang filosofi


ketuhanan dan kenabian kepada orang lain, baik dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun komunitas. Berbagi pengetahuan akan membantu
memperluas pemahaman dan mendekatkan orang lain kepada ajaran Islam.

15
DAFTAR PUSTAKA

Rusdi, K. (2014). Pengantar Filsafat Hukum Islam.

Suryani, I., Ma'tsum, H., Fittria, M., & Tarmizi, M. (2021). Peta Konsep
Terminologi Teologi dan Ruang Lingkup Studi Akidah Akhlak. Islam &
Contemporary Issues, 1(1), 11-22.

Purnomo, B. (2023). Analisa Fatwa MUI Di Masa Covid 19 Dalam Perspektif Ushul
Fiqih: Konsep Azimah Dan Rukhshoh. NALAR: Journal Of Law and Sharia,
1(2), 120-130.

Hermawan, I. (2019). Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam. Hidayatul Quran.

Budiarto, D. (2019). Sumber Hukum Islam yang Disetujui Oleh Para Ulama Ushul
Fiqih. Sukabumi: Farha Pustaka.

Amri, M., & La Ode Ismail Ahmad, M. R. (2018). Aqidah Akhlak. Cet. I.

Alwana, H. A. (2020). Aliran Pemikiran Ushul Figh dan Pengaruhnya terhadap


Pendekatan Hukum Islam. JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 19(2), 147- 162.

Sattar, A. (2010). Filsafat Islam: Antara duplikasi dan kreasi. Ulumuna, 14(1), 1-20.

Rakhmat, A. KRITIK MU'TAZILAH TERHADAP SISTEM FILSAFAT IBN


SINA: ANALISIS PEMIKIRAN TAKLIF IBN AL-MALAHIMI. Living Islam:
Journal of Islamic Discourses, 5(1), 61- 78.

Ilyasin, M. (2012). Filsafat Hukum Islam: Implikasi Logis terhadap Konstruksi


Pendidikan Islam. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, 46(2).

16

Anda mungkin juga menyukai