Anda di halaman 1dari 4

Menjaga Nilai Islam Dengan Menjadikan Mesjid Sebagai Pusat Dakwah ( Studi Kasus

Masjid Jami' Kali Pasir Tangerang)

Irwan

Masjid berasal dari bahasa arab sajada yang berarti tempat sujud atau tempat
menyembah Allah SWT. Bumi yang kita tempati ini adalah masjid bagi kaum muslimin.
Setiap muslim boleh melakukan shalat di wilayah mana pun di bumi ini, terkecuali diatas
kuburan, di tempat yang bernajios, dan ditempat-tempat yang menurut ukuran syariat
Islam tidak sesuai untuk dijadikan tempat shalat.
Masjid merupakan suatu bangunan yang didirikan untuk tempat beribadah kepada Allah
SWT, khususnya untuk mengerjakan salat lima waktu, salat jum’at, dan ibadah lainnya, juga
digunakan untuk kegiatan syiar Islam, pendidikan agama, pelatihan dan kegiatan yang bersifat
sosial. Masjid merupakan sarana yang sangat penting dan strategis untuk membangun kuwalitas
umat. Karena pentingnya, maka Nabi Muhammad SAW dan para khalifah sesudahnya, setiap
menempati tempat yang baru untuk menetap, sarana yang pertama dibangun adalah masjid
(Shihab: 462).

Masjid Sebagai Pusat Dakwah Islam

Dalam sejarah perkembangan dakwah Rasulullah saw. Terutama dalam periode


Madinah, eksistensi masjid tidak hanya dimanfaatkan sebagai pusat ibadah yang bersifat
makhdhah atau khusus, seperti shalat, tapi juga mempunyai peran; pertama, sebagai kalender
Islam tahun Hijriyah dimulai dengan pendirian masjid yang pertama pada tanggal 12 Robiul
Awal, permulaan tahun hijriyah jatuh pada tanggal 1 Muharram. Kedua, di Makkah agama Islam
tumbuh dan Madinah agama Islam berkembang, pada kurun pertama atau periode Makkiyah,
Nabi Muhammad saw mengajarkan dasar-dasar agama. Memasuki kurun kedua atau periode
Madaniyah, Rasulullah saw menandai tapal batas itu dengan mendirikan masjid. Ketiga, Masjid
menghubungkan ikatan yang terdiri dari kelompok orang Muhajirin dan Anshar dengan satu
landasan keimanan kepada Allah SWT. Keempat, masjid didirikan oleh orang-orang takwa
secara bergotong royong untuk kemaslahatan bersama. (Ayub, 1996: 10)

Dalam pengaktualisasian ajaran Islam, masjid merupakan tempat yang strategis untuk
gerakan dakwah. Sebagai pusat gerakan dakwah, masjid dapat difungsikan sebagai pusat
pembinaan akidah umat, pusat informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta sebagai pusat gerakan dakwah bil hal, seperti pengajian, majlis ta’lim, penyelenggaraan
pendidikan dan maulid Nabi Muhammad SAW.

Dari masjid diharapkan tumbuh kehidupan khaira ummatin, predikat mulia yang
diberikan Allah kepada umat Islam. Allah SWT berfirman dalam Al- Qur’an surat Ali Imron
ayat 110 “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada
yang makruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah”.
Hal inilah yang setidaknya penulis temukan di Masjid Jami' Kali Pasir Tangerang,
Provinsi Banten.

Masjid Jami Kalipasir terletak di desa Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang,
Provinsi Banten ini menyimpan sejarah panjang dakwah Islam di Tangerang dan merupakan
Masjid tertua di Kota, dengan usia 445 tahun saat ini. Masjid ini memiliki dinding luar berwarna
krem dan didominasi warna putih di bagian dalam, dengan genteng hijau di atapnya.

Semula, bangunan Masjid Jami Kalipasir menghadap ke barat ke arah Sungai Cisadane.
Namun, di bagian depan masjid tidak ada pintu masuk, hanya halaman yang berisi beberapa
kuburan. Untuk memasuki area shalat, jamaah mengunjungi makam dan masuk melalui pintu di
sisi utara dan selatan masjid. Begitu masuk, mereka disambut oleh empat tiang kokoh berwarna
hitam di tengah masjid.

Salah satu keunikan masjid ini adalah empat tiang kayunya. Selain itu, terdapat sebelas
tiang yang menyerupai sanggurdi kuda, dengan lima di sisi selatan dan enam di sisi timur.
Bagian atas kolom memiliki list berwarna setengah lingkaran dengan diameter sekitar 2-3 cm.
Menara masjid menyerupai Pagoda dan tingginya sekitar 10 meter.

Salah satu pilar tersebut merupakan pemberian Sunan Kalijaga Sjairodji yang
menyatakan bahwa empat pilar masjid tersebut tidak pernah direnovasi. Salah satunya bahkan
hadiah eksklusif dari Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Islam yang juga dikenal sebagai salah satu
Wali Songo.

Masjid ini bermula sebagai gubuk kecil sebelum ditetapkan sebagai masjid pada tahun
1576. Masjid Jami Kalipasir telah berfungsi sebagai tempat ibadah selama ratusan tahun
sebelumnya, tepatnya sejak tahun 1412.

Saat itu datang seorang penceramah bernama Ki Tengger Jati dari Kerajaan Galuh Kawali untuk
menyebarkan Islam. Dia sebelumnya belajar Islam di bawah seorang guru bernama Syekh
Syubakir.
Ketika Ki Tengger Jati tiba di Tangerang, tanah di Desa Sukasari, tempat Masjid Jami
Kalipasir saat ini berdiri, masih berupa hutan. Sang khatib kemudian membangun gubuk kecil
untuk dirinya sendiri dan sebagai tempat ibadah. Selama empat tahun berikutnya, pada tahun
1416, area ibadah diperluas. Mengapa diperluas? Hal itu dikarenakan adanya Sungai Cisadane
yang dahulu disebut Sungai Cipamungkas dan merupakan jalur transportasi.

Karena Sungai Cisadane sering digunakan oleh banyak orang, Masjid Jami Kalipasir
yang terletak persis di seberang sungai banyak dikunjungi oleh para pemudik. Banyak orang
berhenti dan menetap di masjid, yang mendorong perluasan masjid. Kegiatan ibadah dilanjutkan
di Masjid Jami Kalipasir, dan pada tahun 1445, seorang ulama besar dari Persia mengunjungi
masjid tersebut. Namanya Said Hasan Ali Al-Husaini, juga dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil.

Semula ia tidak berniat datang ke masjid ini melainkan ke daerah lain di Banten. Namun,
dia mampir ke sini, dan kedatangannya menyebabkan perluasan masjid lebih lanjut. Sejak tahun
1412 hingga saat ini, Masjid Jami Kalipasir selalu digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai