Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEPERAWATAN ORTHOPEDI

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR PELVIS


Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Orthopedi
Dosen Pengampu: Sunarto, S. ST., Ns., M. Kes

Disusun Oleh:
Kelompok 9

1. Dian Septi Mulyani P27220022057


2. Iin Permatasari P27220022064
3. Nadia Udanti P27220022071

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN 2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayahnya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
tepat waktu. Makalah yang berjudul “Makalah Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Pelvis”
ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Orthopedi.
Tugas ini kami buat untuk melatih kami agar dapat membuat makalah yang baik dan benar.
Karena hasil yang memuaskan membutuhkan kerja keras dan bersungguh-sungguh. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Namun sebagai awal pembelajaran dan
penambah semangat belajar tidak ada salahnya jika kami mengucapkan rasa syukur. Oleh karena
itu, kritikdan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya sebagai media
pembelajaran agar lebih mendalami materi dari mata kuliah Keperawatan Orthopedi. Dan semoga
makalah ini dapat dipahami bagi pembacanya.
.

Surakarta, 10 Februari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan Makalah.......................................................................................................4
D. Manfaat Makalah.....................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
1. Definisi.....................................................................................................................6
2. Etiologi.....................................................................................................................8
3. Kalasifikasi...............................................................................................................9
4. Pathway..................................................................................................................10
5. Patofisiologi...........................................................................................................10
6. Manifestasi Klinis..................................................................................................11
7. Komplikasi.............................................................................................................11
8. Penatalaksanaan Medis..........................................................................................12
9. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................13
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN...........................................................14
1. Pengkajian..............................................................................................................14
2. Diagnosa Keperawatan..........................................................................................17
3. Intervensi Keperawatan..........................................................................................17
4. Implementasi Keperawatan....................................................................................23
5. Evaluasi Keperawatan............................................................................................23
BAB IV PENUTUP...........................................................................................................24
A. Kesimpulan............................................................................................................24
B. Saran.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pelvis merupakan organ yang berfungsi sebagai dasar dari rongga abdomen dan
sebagai penghubung antara columna vertebralis dengan ekstremitas bawah. Pelvis terbentuk
dari empat tulang, yaitu dua hip bones (ossa coxae), satu sacrum, dan satu coccyx
(Lampignano and Kendrick, 2018). Trauma adalah keadaan cedera yang parah dan
membahayakan jiwa yang terjadi ketika bagian tubuh terkena pukulan benda tumpul, tertusuk
benda tajam atau terkena ledakan secara tiba-tiba (Frank, Long and Smith, 2012).
Fraktur pelvis atau fraktur tulang panggul, merupakan cedera akibat patah pada pelvis
yang dapat disebabkan oleh suatu trauma. Insiden fraktur pelvis terjadi pada 3–8% dari
seluruh cedera musculoskeletal (Mostafa, 2021). Risiko fraktur pelvis meningkat pada
populasi lanjut usia, individu dengan dengan riwayat densitas mineral tulang yang rendah,
misalnya akibat osteoporosis, serta pada individu dengan riwayat radiasi akibat kanker
ginekologi. Kebiasaan kurang berhati-hati saat berkendara, juga dapat meningkatkan risiko
fraktur pelvis (Smith, 2021). Sementara itu, menurut World Health Organization (WHO),
pada tahun 2020, kecelakaan lalu lintas menyebabkan sekitar satu juta kematian di seluruh
dunia setiap tahunnya. Perdarahan luas akibat fraktur pelvis relatif sering terjadi. Sekitar 15%
sampai 30% pasien dengan cidera panggul berenergi tinggi tidak stabil secara hemodinamik
akibat perdarahan. Hal ini menjadikan perdarahan sebagai penyebab kematian paling umum
pada pasien fraktur pelvis, dengan tingkat kematian keseluruhan 6-35% (Khair, 2014).
Pada fraktur pelvis dimana perdarahan paling sering terjadi berada di sacrum atau
ilium, ramus pubis bilateral, separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikulasio
sakroiliaka (Michael Eliastam and Sternbach, 1998). Fraktur pelvis merupakan cedera yang
jarang terjadi dengan angka insiden antara 0,3% -6% dari seluruh fraktur. Pada politrauma,
cedera pelvis terjadi pada 20% kasus.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Konsep penyakit pada fraktur pelvis?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan klien dengan fraktur pelvis?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan studi kasus asuhan keperawatan pada klien dengan Fraktur Pelvis.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi fraktur pelfis

4
b. Untuk mengetahui etiologi fraktur pelfis
c. Untuk mengetahui klasifikasi fraktur pelfis
d. Untuk mengetahui patofisiologi fraktur pelfis
e. Untuk mengetahui pathway fraktur pelfis
f. Untuk mengetahui manifestasi klinis fraktur pelfis
g. Untuk mengetahui komplikasi fraktur pelfis
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan terkait fraktur pelfis
i. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang fraktur pelfis
j. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan terkait fraktur pelfis

D. MANFAAT
a. Mengetahui definisi fraktur pelfis
b. Mengetahui etiologi fraktur pelfis
c. Mengetahui klasifikasi fraktur pelfis
d. Mengetahui Patofisiologi fraktur pelfis
e. Mengetahui pathway fraktur pelfis
f. Mengetahui manifestasi klinis fraktur pelfis
g. Mengetahui komplikasi fraktur pelfis
h. Mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan terkait fraktur pelfis
i. Mengetahui pemeriksaan penunjang fraktur pelfis
j. Mengetahui konsep asuhan keperawatan fraktur pelfis

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Pelvis merupakan organ yang berfungsi sebagai dasar dari rongga abdomen dan
sebagai penghubung antara columna vertebralis dengan ekstremitas bawah. Pelvis terbentuk
dari empat tulang, yaitu dua hip bones (ossa coxae), satu sacrum, dan satu coccyx
(Lampignano and Kendrick, 2018). Trauma adalah keadaan cedera yang parah dan
membahayakan jiwa yang terjadi ketika bagian tubuh terkena pukulan benda tumpul,
tertusuk benda tajam atau terkena ledakan secara tiba-tiba (Frank, Long and Smith, 2012).

Panggul terdiri dari tulang pinggul besar, os coxae, di setiap sisinya. Os coxae sendiri
terdiri dari ilium (tonjolan superior yang datar), iskium (tonjolan anterior yang
melengkung), dan tulang pubis (tonjolan inferior yang melengkung). Os coxae menempel
satu sama lain di depan pada simfisis pubis dan di belakang setiap sisi sakrum, membentuk
sendi sakroiliaka. Ketiga tulang os coxae ini bertemu satu sama lain di acetabulum, suatu
struktur medial yang berfungsi sebagai titik perlekatan kepala tulang paha. Pubis dan iskium
juga berarti kulasi inferior pada epifisis ramal, dengan sifat melengkungnya meninggalkan
celah di antara keduanya yang dikenal sebagai foramen obturator. Foramen ini
memungkinkan saraf obturator meninggalkan rongga panggul (Verbruggen, 2017). Masing-
masing tulang panggul juga memiliki banyak penanda (yaitu tuberositas, takik) yang unik
pada tulang tertentu. Tepi superior ilium dinamai puncak ilium, atau, lebih umum, krista
iliaka, dengan tuberositas di bawahnya pada tepi anterior ilium yang dikenal sebagai tulang
iliaka anterior inferior. Ilium juga memiliki penanda posterior-inferior yang dikenal sebagai
takik sciatic mayor, dengan sciatic kecil berikutnya tidak berada di sisi posterior-inferior
iskium. Di sisi anterior tepi iskium yang sama terdapat tuberositas iskium (Navarro, 2013).
Fungsi utama tulang panggul adalah memindahkan beban tubuh bagian atas ke
anggota tubuh bagian bawah saat berdiri atau berjalan. Fungsi ini terjadi melalui hubungan
kerangka aksial dan apendikular pada sendi sakroiliaka. Ketika seseorang berdiri tegak,

6
pusat gravitasi

7
terletak di tengah tubuhnya. Panggul meneruskan beban ke tulang paha dan kedua
ekstremitas bawah. Struktur kaku tulang-tulang ini juga melindungi organ-organ yang
berada di dalamnya. Organ-organ tersebut termasuk kandung kemih, rektum, uretra, dan
rahim pada wanita (De Lancey, 2016).
Banyak pembuluh darah terkandung di dalam rongga yang diciptakan oleh tulang
panggul. Pembuluh darah ini termasuk arteri iliaka komunis, arteri iliaka eksternal dan
internal, arteri gluteal superior dan inferior, arteri obturator, arteri vesikalis superior, dan
arteri pudenda internal, beserta vena yang menyertainya. Beberapa dari arteri ini dan
cabang- cabangnya, seperti iliaka interna, tetap berada di dalam rongga panggul sementara
arteri lainnya keluar, seperti gluteal dan iliaka eksterna, untuk menyuplai daerah seperti
bokong dan ekstremitas bawah. Arteri gonad dan uterus juga akan mengalir melalui dan
masuk ke rongga panggul, tergantung pada jenis kelamin (Ohashi, 2017). Kelenjar getah
bening utama di wilayah ini termasuk kelenjar obturator, iliaka komunis, iliaka eksternal
dan internal, hipogastrik, rektal superior, presakral, presakral, tanjung, dan perirektal. Node
dengan pembuluh darah yang sesuai muncul berpasangan, satu di kiri anatomi dan yang
lainnya di kanan anatomi. Kelenjar getah bening panggul adalah tempat umum terjadinya
metastasis kanker prostat dan ginekologi (Lawton, 2009).
Fraktur merupakan gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu (Black &
Hawks, 2014). Fraktur merupakan salah satu penyebab cacat salah satunya akibat suatu
trauma karena kecelakaan. Fraktur adalah terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur pelvis dapat dikatakan sebagai trauma tulang
rawan pada pelvis yang disebabkan oleh ruda paksa, misal : kecelakaan, benturan hebat yang
ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan lain-lain.

Fraktur pelvis merupakan terputusnya hubungan tulang pelvis, baik pubis atau tulang
ileum yang disebabkan oleh suatu trauma (Helmi, 2012). Fraktur pada pelvis tergantung
pada mekanisme trauma. Jenis fraktur pada pelvis dibagi menjadi dua yaitu, fraktur stabil
dimana patahan hanya terjadi pada satu titik di cincin panggul dan tulang tetap pada
tempatnya, yang

8
kedua fraktur tidak stabil dimana ada dua atau lebih patahan pada cincin panggul dengan
perdarahan sedang hingga berat.
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah,
uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan
hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi
klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau
saluran kemih. Fraktur pelvis dimana perdarahan paling sering terjadi adalah serum atau
ilium, ramus pubis bilateral, separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikilasio
sakroiliaka (Michael Eliastam et al, 1998).

2. ETIOLOGI
1) Fraktur pelvis dapat disebabkan karena jatuh, kecelakaan, kendaraan bermotor atau cidera
remuk. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat terjadi stress ramus
pubis.
2) Trauma langsung: benturan pada tulang menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan mengakibatkan fraktur terbuka dengan garis patah melintan atau miring pada
tempat tersebut.
3) Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan
.
4) Proses penyakit: kanker dan riketsia.
5) Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan
fraktur kompresi tulang belakang.
6) Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan fraktur. Kekuatan berupa pemuntiran, penekukan, kombinasi dari ketiganya
penarikan dan penekanan (Helmi, 2012).

3. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur pelvis menurut Young-Burgess membagi fraktur pelvis
berdasarkan anatomi yang terlibat. Sedangkan klasifikasi fraktur pelvis menurut The World
Society of Emergency Surgery (WSES) membagi fraktur pelvis tidak hanya berdasarkan
anatomi, tetapi juga keadaan hemodinamik.
Berdasarkan Young dan Burgess, kategori fraktur pelvis dibagi menjadi lateral
compression, anteroposterior compression, vertical shear, dan combined mechanism, sebagai
berikut:
1) Lateral Compression (LC)

9
Cedera lateral compression (LC), terbagi atas 3 kategori, yaitu:

1
- LC 1: fraktur transversal atau oblique pada ramus pubis dan fraktur kompresi
pada ala sakrum di anterior ipsilateral
- LC 2: fraktur ramus pubis dan fraktur dislokasi pada posterior ipsilateral
(crescent fracture)
- LC 3: fraktur kompresi lateral ipsilateral dan open book fracture kontralateral.
2) Anteroposterior Compression (APC)
Cedera kompresi anteroposterior (anteroposterior compression/APC) terbagi atas 3
kategori, yaitu:
- APC 1: pelebaran pada simfisis pubis kurang dari 2,5 cm
- APC 2: pelebaran pada simfisis pubis lebih dari 2,5 cm, diastasis sendi sacroiliac
(SI) anterior, ligamen SI posterior utuh, ada kerusakan pada ligamen
sacrospinous dan sacrotuberous
- APC 3: dislokasi ligamen SI. Kerusakan pada ligamen sacrospinous dan
sacrotuberous.
3) Vertical Shear (VS)
Pada vertical shear (VS) terjadi diastasis simfisis pubis atau pergeseran ke arah
anterior maupun posterior. Pergeseran dapat terjadi melalui sendi SI, tetapi bisa juga
terjadi melalui sayap sacrum atau iliac.
4) Combined Mechanism
Combined mechanism (CM) merupakan klasifikasi yang digunakan pada gabungan
dua klasifikasi cedera. Paling sering terjadi lateral compression atau vertical shear.
World Society of Emergency Surgery (WSES) membagi fraktur pelvis berdasarkan
keadaan hemodinamik pasien. Selain itu, WSES juga memasukkan klasifikasi dari Young-
Burgess pada kategori mereka.
1) Kategori Minor
Kategori minor disebut juga WSES grade 1. Pada kategori ini fraktur stabil, yaitu
komponen fraktur berada pada lokasi anatomis yang seharusnya, dan hemodinamik
pasien juga stabil. Klasifikasi APC 1 dan LC 1 dari Young-Burgess termasuk ke
dalam kategori ini.
2) Kategori Menengah
Kategori menengah disebut juga WSES grade 2 dan 3. Termasuk pada kategori ini
adalah fraktur tidak stabil, tetapi keadaan hemodinamik stabil. Grade 2 adalah fraktur
APC 2 dan 3, serta fraktur LC 2 dan 3. Grade 3 adalah fraktur VS dan CM.
3) Kategori Berat
Kategori berat disebut juga sebagai WSES grade 4. Keadaan fraktur dapat stabil
ataupun tidak stabil, disertai dengan hemodinamik yang tidak stabil. Seluruh
klasifikasi Young- Burgess dengan ketidakstabilan hemodinamik masuk ke dalam

1
kategori ini.

1
4. PATHWAY

Trauma langsung Trauma tidak langsung Trauma patologis


perubahan
jaringan

Fraktur
Pereseran fragmen
Diakontinuitas tulangtulang
Nyeri

Kerusakan fragmen tulang

Lasersi kulit Spasme otot


Pergeseran
fragmen
reaksi stress pasien
Gangguan
integritas kulit Peningkatan
tekanan
deformitas
Melepask
putusnya vena/arteri pelepasan histamin an

Perdarahan Memobilisasi
gangguan fungsi protein plasma asam

gangguan
mobilitas Kehilangan
edem bergabung
volume
dengan

Risiko Hipovolemia penekanan


pembuluh emb

penurunan menyumbat
perfusi pembuluh

perfusi perifer
tidak

5. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang.

1
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut
dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi
sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul.
Fraktur pelvis atau fraktur tulang panggul dapat terjadi karena faktor trauma dan faktor
lainnya. Fraktur karena faktor trauma seperti tertabrak, jatauh atau melompat dari tempat tinggi,
dan tertimpa pohon tumbang. Sedangkan untuk faktor patologis yang dapat menyebabkan
fraktur pelvis, yitu seperti penurunan massa tulang, konsumsi kortikosteroid jangka panjang,
penyakit kronis, riwayat radioterapi, serta olahraga high impact (berlari dan melompat).

6. MANIFESTASI KLINIS
1) Pada cidera tipe A klien tidak mengalami syock berat tetapi merasa nyeri bila berusaha
berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis.
Foto polos pelvis dapat memperlihatkan fraktur.
2) Pada cidera tipe B dan C klien mengalami syock berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat BAK. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat
bersifat lokal tetapi meluas dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat
nyeri.
3) Fraktur pelvis sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan berupa gejala pembengkakan,
deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul. Penderita datang dalam keadaan
anemia dan syok karena perdarahan yang hebat.
4) Nyeri
5) Kehilangan fungsi
6) Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak
7) Perubahan warna dan memar
8) Krepitasi

7. KOMPLIKASI
1) Komplikasi Segera
a) Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan
antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
b) Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan
dari bagian tulang panggul yang tajam.

1
c) Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra
pars membranosa.
d) Trauma rektum dan vagina
e) Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai
syok.
f) Trauma pada saraf :
- Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi.
Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya
dilakukan eksplorasi.
- Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat
vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila
mengenai pusat saraf.
2) Komplikasi Lanjut
a) Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan
lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai
profilaksis.
b) Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
c) Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada
daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini
menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan
memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
d) Skoliosis kompensator.

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan fraktur pelvis atau fraktur tulang panggul terbagi menjadi penatalaksanaan
awal, yaitu resusitasi cairan, tindakan non operatif, seperti traksi tulang, dan tindakan operatif,
berupa fiksasi eksternal dan internal (Mostafa, et al, 2021).
1) Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggul.
2) Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
a) Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat,
traksi, pelvic sling.
b) Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang
dikembangkan oleh grup ASIF.
3) Berdasarkan klasifikasi Tipe:
a) Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan
dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa
menggunakan penopang.

1
b) Fraktur Tipe B:
1) Fraktur tipe open book, jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara
beristirahat ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika
celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara
miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada
kedua ala ossis ilii.
2) Fraktur tipe close book, beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu
tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang
kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu
dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
c) Fraktur Tipe C, sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan
traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur
sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan
reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi
dinamis.
Penatalaksanaan fraktur pelvis meliputi manajemen awal kegawatdaruratan pada kondisi
trauma, penentuan modalitas konservatif atau operatif, dan rehabilitasi medik. Manajemen
kegawatdaruratan meliputi resusitasi cairan, stabilisasi fraktur, dan mengatasi nyeri akut, serta
pemberian profilaksis awal. Algoritma penatalaksanaan fraktur pelvis dari World Society of
Emergency Surgery (WSES), dapat membantu dokter untuk menangani fraktur pelvis dengan
optimal.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan serum laktat dan
base excess pada analisa gas darah. Pencitraan pilihan pada pasien dengan hemodinamik
stabil adalah computed tomography (CT) scan. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik
dapat dilakukan foto polos panggul extended focused assessment with sonography for trauma
(E- FAST).
Pemeriksaan penunjang lain untuk pemeriksaan pelvis dapat dilakukan dengan CT Scan
yang berguna untuk menambah informasi anatomi dan patologi, mengevaluasi keterlibatan
jaringan lunak dari lesi atau menentukan luasnya fraktur, MRI hanya digunakan ketika
informasi tambahan yang tidak diperoleh dari radiografi konvensional, USG digunakan untuk
mengevaluasi dislokasi pinggul bayi yang dilakukan pada empat hingga enam bulan pertama
bayi untuk mengurangi paparan radiasi pengion (Lampignano and Kendrick, 2018).

1
BAB III

KOSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Biodata Pasien
1) Identitas pasien berupa nama, nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, alamat,
agama, suku bangsa, tanggal masuk, diagnosa medis. pada pasien dengan fraktur
pelvis lebih sering pada klien dengan jenis kelamin laki-laki dengan usia antara
15- 59 dan usia > 65 tahun.
2) Identitas penanggung jawab berupa nama, umur, jenis kelamin, Alamat dan
hubungan dengan pasien.
b. Keadaan Umum Dan Tanda-Tanda Vital
Kaji keadaan umum baik, sedang, lemah atau terdapat penurunan kesadaran. Tanda
tanda vital yang akan diperiksa meliputi suhu, nadi, respiratory rate, dan tekanan darah
serta identifikasi nyeri dengan PQRST.
c. Keluhan Utama
Kaji tentang gangguan terpenting yang dirasakan pasien sampai perlu pertolongan
(Pada klien dengan fraktur pelvis biasanya mengatakan nyeri).
d. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang pelvis, pertolongan
apa yang di dapatkan. Penyebab fraktur pelvis, yaitu kecelakakan lalu lintas
(tertabrak,terlindas ataupun terjepit) dan terjatuh.
e. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian kesehatan masa lalu bertujuan untuk menggali berbagai kondisi yang terjadi
saat ini, Perawat mengkaji riwayat MRS (masuk rumah sakit) dan penyakit berat yang
pernah diderita (DM, Hipertensi), penggunaan obat, dan adanya alergi.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pengkajian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat keluarga yang memiliki
penyakit menular, menurun ataupun menahun yang mungkin dapat diderita oleh pasien
juga.
g. Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)
1) Kepala dan Leher
Inspeksi : Pupil isokor dan ada reflek cahaya, konjungtiva anemis, tidak ada luka
dan jejas, terdapat sianosis pasien terlihat pucat
Palpasi: Tidak ada krepitasi leher, tidak ada deformitas trakea, tidak ada nyeri tekan

1
2) Pemeriksaan Dada
a) Pemeriksaan Paru
- Inspeksi : bentuk thorax normal, simetris atau tidak (nafas terlihat
cepat, tarikan dinding dada dalam).
- Palpasi : palpasi dinding thorax (tidak ada krepitasi).
- Perkusi : suara paru terdengar sonor
- Auskultasi : dengarkan irama nafas reguler atau irreguler, kaji
frekuensi nafas, taktil dan vocal fremitus terasa bergetar atau tidak,
bunyi nafas resonan atau tidak, ada suara tambahan nafas atau tidak
seperti wheezing dan ronchi atau tidak. (suara vesikuler).
b) Pemeriksaan Jantung
- Inspeksi : bentuk dada simetris. (ictus cordis tidak terlihat).
- Palpasi : kaji apakah ada nyeri tekan. (ictus cordis teraba pada ICS
4-5 mediclavicula sinistra).
- Perkusi : kaji apakah terdengar redup atau dullness (pekak terhadap
batas jantung).
- Auskultasi : terasa getaran pada daerah katup jantung atau tidak, kaji
suara jantung, dengarkan apakah ada suara tambahan bunyi jantung.
3) Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : apakah terjadi distensi abdomen (tidak ada asites, tidak ada lesi
dan jejas).
- Auskultasi : kaji apakah terdengar bising usus.
- Palpasi : terdapat nyeri abdomen region kanan bawah, tidak terdapat massa.
- Perkusi : bunyi timpani
4) Sistem Intergumen
Kaji warna kulit, kelembaban kulit, dan turgor kulit serta apakah terdapat edema
atau pembengkakan.
5) Pelvis
Inspeksi : tidak ada lesi dan jejas
Palpasi : ada krepitasi, ada nyeri tekan
6) Pemeriksaan Sistem Moskuloskeletal
a) Ekstremitas atas
Kaji terdapat edema atau tidak pada ekstermitas atas, pergerakan sendi apakah
baik ke segala arah atau tidak, ada nyeri tekan pada kedua lengan atau tidak,
tonus otot (kekuatan otot) penuh atau tidak, refleks trisep dan bisep kanan
kiri. Palpasi diaforesis, akral dingin.
b) Ekstremitas bawah

1
Pada ekstermitas dinilai apakah terdapat hambatan gerak internal dan
eksternal akibat deformitas pelvis. Keterbatasan gerak dapat terlihat serta
dapat ditemukan disfungsi motorik, berupa kelemahan dan kelumpuhan. Kaji
capillary refill time serta suhu perabaan ektremitas bawah dingin.
7) Punggung
Inspeksi : kaji ada tidaknya lesi dan jejas
Palpasi : kaji ada tidaknya krepitasi
8) Rectum dan Anus
Kaji apakah terdapat trauma pada rektum dan anus. Pada pemeriksaan rektum
apabila terdapat darah menandakan fraktur pelvis terbuka.
h. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pemeliharaan dan Persepsi Kesehatan
Kaji bagaimana klien memelihara kesehatan selama ini, persepsi terkait dengan
sakit, arti kesehatan, pengetahuan, dan penanganan kesehatan, kemampuan dalam
menyusun tujuan kesehatan.
2) Nutrisi
Perlu mengkaji bagaimana masukan nutrisi, nafsu makan, pola makan, diit,
perubahan BB, apakah ada gangguan menelan, mual/muntah, makanan favorit
pasien.
3) Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola ekresi, kebiasan miksi, defekasi, Adanya gangguan defekasi,
frekuensi miksi dan defekasi, karakteristik urin dan feses.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Kaji kemampuan perawatan diri seperti makan/minum, mandi, toileting,
berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi ROM.
5) Pola Tidur dan Istirahat
Kaji bagaimana pola tidur dan istirahat, kuantitas dan kualitas tidur, apakah
mengalami gangguan tidur pada pasien.
6) Pola Kognitif – Perseptual
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan
indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selai itu kaji nyeri yang
dialami klien dengan PQRST.
7) Pola Konsep Diri
Kaji dampak sakit terhadap konsep diri klien.
8) Pola Seksual dan Reproduksi
Kaji dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat penyakit hubungan seksual.
9) Pola Peran – Hubungan

1
Kaji hubungan klien dengan keluarga, lingkungan, dan pekerjaan
10) Pola Koping
Kaji bagaimana kemampuan pasien untuk menangani stres dan penggunaan sistem
pendukung penggunaan obat untuk menangani stres, metode koping yang biasa
digunakan.
11) Pola Keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam beribadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak
yang dialami klien.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung
aktual maupun potensial (SDKI, 2018). Diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan. Diagnosa Keperawatan Fraktur Pelvis menurut (SDKI, 2018),
sebagai berikut:
1. Nyeri Akut b.d Agen Pencedera Fisik (Trauma) (D.0077)
2. Gangguan Mobilitas Fisik b.d Kerusakan Integritas Struktur Tulang (D.0054)
3. Risiko Hipovolemia b.d Kehilangan Volume Cairan (D.0034)
4. Gangguan Integritas Kulit b.d Faktor Mekanis (robekan akibat patah tulang atau
penekanan pada tonjolan tulang) (D.0129)
5. Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d Penurunan Aliran Darah Arteri/Vena (D.0009)

3. Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Kriteria hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238)
pencedera fisik intervensi keperawatan Observasi
(Trauma) (D.0077) selama ..x24 jam maka - Identifikasi lokasi,
Tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil frekuensi, kualitas,
(L.08066): intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri
2. Meringis menurun - Identifikasi respon nyeri
3. Gelisah menurun non verbal

2
4. Ketegangan otot - Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan
5. Berfokus pada diri memperingan nyeri
sendiri menurun - Identifikasi pengetahuan
6. Perasaan takut dan keyakinan tentang
mengalami cedera nyeri
berulang menurun - Identifikasi pengaruh
7. Frekuensi nadi budaya terhadap respon
membaik nyeri
8. Tekanan darah - Identifikasi pengaruh nyeri
membaik pada kualitas hidup
9. Fokus membaik - Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresure, terapi musik,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat atau
dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi

2
- Jelaskan penyebab periode
dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi (I.06171)
fisik b.d Kerusakan intervensi keperawatan Observasi
integritas struktur selama ..x24 jam - Identifikasi adanya nyeri
tulang (D.0054) diharapkan Mobilitas fisik atau keluhan fisik lainnya
meningkat dengan kriteria - Identifikasi toleransi fisik
hasil (L. 05042): melakukan ambulasi
1. Rentang gerak ROM - Monitor frekuensi jantung
mengingkat dan tekanan darah sebelum
2. Nyeri menurun memulai ambulasi
3. Kecemasan menurun - Monitor kondisi umum
4. Gerakan terbatas selama melakukan
menurun ambulasi
5. Kelemahan fisik Terapeutik
menurun - Fasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu
(mis.tongkat, kruk)
- Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi

2
- Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan
ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan
dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi).
3. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan Pemantauan Cairan (I.03121)
b.d kehilangan volume intervensi keperawatan Observasi
cairan (D.0034) selama ..x24 jam - Monitor frekuensi dan
diharapkan Status cairan kekuatan nadi
membaik dengan kriteria - Monitor frekuensi napas
hasil (L. 03208): - Monitor tekanan darah
1. Turgor kulit meningkat - Monitor waktu pengisian
2. Frekuensi nadi kapiler
membaik - Monitor elastisitas atau
3. Tekanan darah turgor kulit
membaik - Monitor intake dan output
4. Intake cairan membaik cairan
5. Status mental - Identifikasi tanda-tanda
membaik hipovolemia (mis.
6. Suhu tubuh membaik frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan
darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membran
mukosa kering, lemah)
- Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbangan cairan
(mis. prosedur pembedahan
mayor, trauma atau
perdarahan)

2
Terapeutik
- Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
4. Gangguan Integritas Setelah dilakukan Perawatan Luka (I.14564)
Kulit b.d Faktor intervensi keperawatan Observasi
mekanis (robekan selama ..x24 jam - Monitor karakteristik luka
akibat patah tulang diharapkan Integritas kulit (mis. drainase, warna,
atau penekanan pada dan jaringan meningkat ukuran, bau)
tonjolan tulang) dengan kriteria hasil (L. - Monitor tanda-tanda infeksi
(D.0129) 14125): Terapeutik
1. Perfusi jaringan - Cukur rambut di sekitar
mengingkat daerah luka, jika perlu
2. Kerusakan jaringan - Pasang balutan sesuai jenis
menurun luka
3. Kerusakan lapisan kulit - Pertahankan teknik steril
menurun saat melakukan perawatan
4. Nyeri menurun luka
5. Perdarahan menurun - Berikan terapi TENS
6. Suhu kulit membaik (stimulasi saraf
7. Tekstur membaik transkutaneus), jika perlu
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
- Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
- Ajarkan prosedur
perawatan luka secara

2
mandiri
Kolaborasi
- Kolaborasi prosedur
debridement (mis.
enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik), jika
perlu
- Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
5. Perfusi Perifer Tidak Setelah dilakukan Manajemen Sensasi Perifer
Efektif b.d Penurunan intervensi keperawatan (I.06195)
aliran darah arteri/vena selama ..x24 jam Observasi
(D.0009) diharapkan Perfusi perifer - Identifikasi penyebab
meningkat dengan kriteria perubahan sensasi
hasil (L. 02011): - Periksa perbedaan sensasi
1. Sensasi membaik tajam atau tumpul
2. Nyeri ekstremitas - Periksa perbedaan sensasi
menurun panas atau dingin
3. Kelemahan dan - Periksa kemampuan
kram otot menurun mengidentifikasi lokasi dan
4. Akral membaik tekstur benda
5. Turgor kulit - Monitor terjadinya
membaik parestesia, jika perlu
6. Indeks ankel - Monitor perubahan kulit
brachial membaik - Monitor adanya
tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Terapeutik
- Hindari pemakaian benda-
benda yang berlebihan
suhunya (terlalu panas atau
dingin)
Edukasi
- Anjurkan penggunaan
termometer untuk menguji
suhu air

2
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu
- Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu

4. Implementasi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan (SIKI, 2018). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan. Mengevaluasi
tindakan yang telah dilakukan pada pasien yaitu menilai apakah tindakan yang dilakukan
perawat sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum.
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien,
digunakan komponen SOAP. Pengertian SOAP adalah sebagai berikut:
a. S (Subjektive): Data berdasarkan keluhan yang disampaikanpasien setelah dilakukan
tindakan.
b. O (Objektif): Data berdasarkan hasil pengukuran atau observasilangsung kepada pasien
setelah dilakukan tindakan.
c. A (analisis): Masalah keperawatan yang terjadi akibat perubahan status klien dalam data
subyektif dan obyektif.
d. P (Planning): Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan atau
dimodifikasi.

2
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Managemen fraktur pelvis yang makin maju telah memperbaiki hasil pengobatan.
Pada awal tahun 1980, pengenalan CT scan dan arteriografi dengan embolisasi dan teknik
fiksasi eksterna. Setelah lebih dari 25 tahun, modalitas semakin rumit sehingga pengambilan
keputusan fiksasi awal, mobilisasi awal, dan profilaksis tromboemboli tekah dilakukan
sebisa mungkin pada pasien. Dibutuhkan pemahaman anatomi dan fisiologi yang baik untuk
dapat mengerti tentang pengelolaan dan managemen fraktur pelvis, terutama yang
mengancam kehidupan. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama tim yang baik untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk pasien trauma yang berat seperti pada
fraktur pelvis.
B. SARAN
Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan tindakan
perawatan dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan tingkat
kenyamanan pasien, manajemen rasa sakit dan keamanan. Perawat harus mampu mamahami
faktor psikologis dan emosional yang berhubungan dengan diagnosa penyakit, dan perawat
juga harus terus mendukung pasien dan keluarga dalam menjalani proses penyakitnya.

2
DAFTAR PUSTAKA

Alton TB, Astaga AO. 2014. “Klasifikasi Secara Singkat: Klasifikasi Cedera Cincin Panggul Muda
dan Burgess”. Relat Relat Clin Orthop. 472 (8):2338-42.

Aryana IGADP, Mergawa PF, & Maharjana MA. 2023. “Karakteristik Pasien Fraktur Pelvis Di Unit
Gawat Darurat RSUP Prof. dr. I.G.N.G Ngoerah Periode Januari 2019 – September 2022”.
Intisari Sains Medis. Original Article. Vol. 14, No. 1: hlm. 28-35 P-ISSN: 2503-3638, E-
ISSN:
2089-9084. Avaibale at:
https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/download/1546/1152/7371. Diakses pada 06
Februari 2024 pukul 20.15 WIB.

Black, J.M., & Hawks, J.H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.

Cheung J, Wong C K K, et al. Young–Burgess classification: Inter-observer and intermethod


agreement between pelvic radiograph and computed tomography in emergency polytrauma
management. Hong Kong Journal of Emergency Medicine. 2021;28(3):143–151 DOI:
10.1177/1024907919857008

Coccolini F, Stahel PF, Montori G, et al. Pelvic trauma: WSES classification and guidelines. World
Journal of Emergency Surgery. 2017;12(5):1-18 DOI:10.1186/s13017-017-0117-6

Dalal SA, Burgess AR, Siegel JH, Young JW, Brumback RJ, Poka A, Dunham CM, Gens D, Bathon
H. 1989. “Fraktur Panggul Pada Trauma Multipel: Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme
Adalah Kunci Pola Cedera Organ, Persyaratan Resusitasi, dan Hasil”. Journal Trauma. 29
(7): 981- 1000.

De Lancey JO. 2016. “Apa Yang Baru Dalam Anatomi Fungsional Prolaps Organ Panggul?”. Opini
Curr Obstet Gynecol. 28 (5):420-9.

E. Frank, B. Long, and B. Smith. 2012. Radiographic Positioning and Procedures.

Eliastam, Michael, Sternbach, George L., & Bresler, Michael Jay. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Helmi, N.Z. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.

Khair M. 2014. Fraktur Pelvis. Program Pendidikan Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Islam Sultan Agung.

2
Lampignano, J.P & Kendrick, L.E. 2018. Textbook Of Radiographic Positioning and Related
Anatomy Ninth Edition. United States of America ; Mosby Elseveir.

Lawton CA, Michalski J, El-Naqa I, Buyyounouski MK, Lee WR, Menard C, O'Meara E, Rosenthal
SA, Ritter M, Seider M. RTOG GU. 2009. “Spesialis Onkologi Radiasi Mencapai
Konsensus Mengenai Volume Kelenjar Getah Bening Panggul Untuk Risiko Tinggi Kanker
Prostat”. Int Journal Radiat Oncol Biol Fisika. 74 (2):383-7.

Made N. 2020. Askep Fraktur Pelvis Ni Made Suci Cahyani Pertiwi.


https://id.scribd.com/document/485613897/

Mostafa A, Kyriacou H, et al. 2021. “An Overview Of The Key Principles and Guidelines In The
Management Of Pelvic Fractures”. Journal of Perioperative Practice. Vol. 31, No. 9: hlm.
341– 348 DOI: 10.1177/1750458920947358.

Moore N. Pelvic Fracture in Emergency Medicine. Medscape. 2017.

Navarro-Zarza JE, Villaseñor-Ovies P, Vargas A, Canoso JJ, Chiapas-Gasca K, Hernández-Díaz C,


Saavedra MÁ, Kalish RA. 2012. Anatomi klinis panggul dan pinggul. Klinik Reumatol. Vol.
8, No. 2 : hlm 33-8.

Ohashi H, Kikuchi S, Aota S, Hakozaki M, Konno S. 2017. “Anatomi Bedah Pembuluh Darah
Panggul, Dengan Referensi Khusus Untuk Fiksasi Sekrup Asetabular Pada Artroplasti
Pinggul Total Tanpa Semen Pada Populasi Asia”. Journal Orthop Bedah (Hong Kong). 25
(1): 2309499016685520 .

PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.

PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

Smith CT, Barton DW, et al. 2021. Pelvic Fragility Fractures. J Bone Joint Surg Am. 103:213-8. DOI:
http://dx.doi.org/10.2106/JBJS.20.00738.

Tomberg S. Pelvic trauma: Initial evaluation and management. UpToDate. 2021.

Verbruggen SW, Nowlan NC. 2017. Ontogeni Pelvis Manusia. Anat Rec (Hoboken). 300 (4):643-652.

WHO. 2020. Road Traffic Injuries. Available at: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/


detail/road-traffic-injuries. Diakses pada 06 Februari 2024 pukul 21.00 WIB.

Young JW, Burgess AR, Brumback RJ, Poka A. 1986. Fraktur panggul: Nilai Radiografi Polos Dalam
Penilaian dan Manajemen Awal. Radiologi. 160 (2):445-51.

Anda mungkin juga menyukai