Ilustrasi mencegah berita bohong dengan memanfaatkan teknologi (Oleh Chelsea Beck, Sumber: npr.org)
Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat 3 mengungkapkan secara gamblang bahwa
bela negara merupakan kewajiban setiap warga negara. Namun, bagaimana bentuk bela
negara yang relevan pada era digital ini?
Bela negara memiliki spektrum yang sangat luas di berbagai lini kehidupan, mulai dari
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sini dapat disimpulkan, bela negara tidak hanya
dilakukan oleh militer dengan kekuatan senjata, tetapi juga dilakukan oleh setiap warga
negara dengan kemampuannya. Apalagi seiring perubahan zaman, bentuk ancaman bagi
kedaulatan bangsa bukan lagi berupa serangan militer secara fisik.
Di era digital ini, salah satu hal yang mengancam negara ialah hoaks atau berita bohong.
Kemajuan teknologi memudahkan semua orang mengakses, membuat, atau menyebarkan
informasi yang belum jelas kebenarannya. Parahnya, penyebaran berita bohong ini bagaikan
bola salju yang efeknya semakin lama semakin besar dan berpotensi menyebabkan
perpecahan. Lebih-lebih jika isu yang “digoreng” berkaitan dengan suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA).
Ancaman berita hoaks bukan omong kosong. Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) mengungkapkan bahwa pada 2017 sudah terindikasi 800.000 situs web
penyebar berita bohong. Selain itu, Kemenkominfo juga mencatat bahwa dari 40.000 media
yang mengklaim diri sebagai media online, hanya 300 yang sudah terverifikasi oleh Dewan
Pers. Sungguh, internet merupakan pisau bermata dua.
Ilustrasi menghentikan berita palsu dan hoaks (sumber: bbc.com)
Masifnya penyebaran hoaks ini terasa pada Pemilu Presiden 2019 lalu. Efeknya, masyarakat
terpolarisasi menjadi dua kubu yang bahkan sampai hari ini masih sering cekcok di media
sosial. Selain itu, ribuan hoaks juga memperparah situasi pandemi Covid-19 yang masih
melanda Indonesia. Akibatnya, tidak sedikit yang percaya bahwa Covid-19 hanyalah
konspirasi belaka.
Padahal, berdasarkan data dari Center for Systems Science and Engineering (CSSE) di Johns
Hopkins University (JHU), pada 3 Desember 2020, Indonesia berhasil pecahkan rekor dengan
8369 kasus positif dalam satu hari. Nilai ini empat kali lebih banyak dari kasus harian
Indonesia pada Agustus. Akibat termakan hoaks, masyarakat Indonesia seolah menutup
mata dari fakta ini.
Dari dua kasus di atas, dapat diketahui bahwa hoaks tidak sekadar kesalahan informasi yang
lewat begitu saja. Nyatanya, berita bohong mampu berimbas pada masalah sosial,
kesehatan, dan ekonomi di suatu negara. Oleh karena itu, sebagai generasi yang cakap
dalam teknologi, tugas pemuda adalah membantu mengkampanyekan gerakan anti hoaks
agar informasi yang didapatkan oleh seluruh masyarakat adalah faktual.
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa kita tidak memiliki cukup tangan untuk menutup
mulut semua orang, tetapi kita memiliki cukup tangan untuk menutup telinga kita sendiri.
Konteks ini bisa diadaptasi pada kasus penyebaran hoaks. Kita tidak mampu menghilangkan
seluruh hoaks di internet, namun kita dapat memproteksi diri dengan memfilter berita yang
kita dapatkan. Kondisi ini juga biasa dikenal dengan gerakan “Saring sebelum Sharing”.
Ilustrasi “Saring sebelum Sharing” sebagai upaya pemutusan rantai penyebaran hoaks
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah hoaks adalah dengan membaca
seluruh isi artikel. Tidak dipungkiri dengan beralihnya media cetak ke media online, jumlah
kunjungan situs menjadi hal penting agar sebuah media online mampu bertahan. Tidak
heran jika kemudian berbagai portal berita menjadi media cetek yang memakai jurus
judul clickbait untuk menarik perhatian pembaca.
Hasilnya, berbagai berita di internet lahir dengan judul terlalu sensasional bahkan seringkali
tidak berhubungan dengan isinya. Inilah mengapa, membaca keseluruhan berita menjadi
penting dilakukan oleh pembaca cerdas. Pembaca juga perlu memperhatikan kredibilitas
sumber informasi yang dikutip media pada berita.
Selain itu, hoaks yang menyebar cepat akibat kemajuan teknologi harus dicegah juga
dengan pemanfaatan kemajuan teknologi. Terdapat situs pengecekan berita bohong yang
bisa dimanfaatkan untuk mencari tahu kebenaran informasi, beberapa diantaranya yakni
turnbackhoax.id dan cekfakta.com. Selain itu, ada pula platform untuk melaporkan hoaks
yakni aduankonten.id oleh Kemenkominfo Indonesia.
Tidak boleh sekadar memakai smartphone (gawai cerdas), penting bagi kita untuk
menjadi smart user (pengguna cerdas). Pilah-pilah informasi sebelum dibagikan. Sebab,
dengan menghentikan satu berita hoaks menyebar ke orang lain, anda telah
berkontribusi dalam membela negara.
Catatan :
Jika masih ada waktu, selain ditulis pada buku Literasi coba pertanyaan refleksi ini juga
kalian sharingkan/ungkapkan di depan kelas !